Anda di halaman 1dari 210

PANDUAN POLIKLINIK

TELINGA HIDUNG TENGGOROK

LABORATORIUM ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK


RSUD MARDI WALUYO KOTA BLITAR
TAHUN 2016
0
i

KATA PENGANTAR

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Puji syukur Alhamdulillaah atas berkat rahmat Allooh SWT


akhirnya kami dapat menyelesaikan Panduan Poliklinik Telinga
Hidung Tenggorok RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar.

Panduan ini disusun untuk memenuhi kegiatan


Kepaniteraan Klinik Madya Laboratorium Ilmu Telinga Hidung
Tenggorok Fakultas Kedokteran UNISMA, dan dengan adanya
Materi Bimbingan diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi
para mahasiswa Program Pendidikan Dokter UNISMA, khususnya
untuk kegiatan sehari-hari di Poliklinik THT maupun kegiatan di
rawat nginap RSUD Mardi Waluyo.

Kami menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah


membantu penyelesaian Panduan ini. Penulis menyadari Panduan ini
masih memiliki kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik
dan saran untuk penyempurnaan Panduan ini. Semoga bermanfaat
bagi penulis, pembaca dan para Dokter Muda serta In sya Allooh
kita semua mendapatkan pahala berlipat ganda yang terus mengalir
dari Allooh SWT. Aamiin Yaa Robbal ‘Aalamiin, Al Fatikah . . . . . . .

Wassalamu ‘ alaikum Wr. Wb.

Blitar, 1 Januari 2016

Penyusun,

Dr. ERIE TRIJONO, Sp.THT

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………….…i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………...1

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………4

1.1 TUJUAN..............................................................4

1.2 MANFAAT............................................................4

1.3 ETIKA TERHADAP PASIEN.....................................4

BAB II TELINGA…………………………………………………………………………………6

2.1 STADIUM OTITIS MEDIA AKUT………………………………….6

2.2 OTORE...............................................................11

2.3 PENYEBAB TINITUS............................................. 12

2.4 ARTIKEL UNTUK AWAM : PILEK BISA PECAHKAN 14


MEMBRANA TIMPANI DAN KOMPLIKASI KE OTAK…..

2.5 ARTIKEL UNTUK AWAM : GEGAR OTAK BISA 17


MERUSAK TELINGA.............................................

2.6 TABEL TES PENDENGARAN………………………………………..19

2.7 TABEL DERAJAT GANGGUAN PENDENGARAN…………..20

2.8 PB LIST / PHONASI BILINGUAL LIST………………………22

2.9 TES PENDENGARAN : KUANTITATIF DAN 23


KUALITATIF………………………………………………………………..

2.10 DERAJAT GANGGUAN PENDENGARAN……………………… 23

2.11 FUNGSI TUBA EUSTACHIUS……………………………………….24

2.12 KLASIFIKASI OTITIS MEDIA………………………………………25

2.13 JENIS OPERASI TELINGA……………………………………………26

2.14 CARA MEMBACA MEMBRANA TIMPANI………………………27

2.15 OMK MALIGNA : KHOLESTEATOMA…………………………..28

2
2.16 CARA MEMBACA RONTGEN MASTOID
POSISI SCHULLER……………………………………………………… 30

2.17 AUTISM, DELAYED SPEECH DAN DEAF MUTE………….. 32

BAB III HIDUNG………………………………………………………………………………….33

3.1 GAMBAR MITE / TUNGAU…………………………………………..33

3.2 DEFINISI DEBU RUMAH……………………………………………..33

3.3 PENATAAN RUANGAN BED………………………………………..34

3.4 TERAPI RINITIS ALERGI……………………………………………. 35

3.5 PATOFISIOLOGI SINUSITIS MAKSILARIS………………… 36

3.6 STADIUM SINUSITIS MAKSILARIS…………………………….37

3.7 RINOSINUSITIS…………………………………………………………. 38

3.8 TIPS BERHENTI MEROKOK………………………………………… 40

BAB IV TENGGOROK…………………………………………………………………………. 41

4.1 GAMBAR AMANDEL DAN WALDEYER RING……………....41

4.2 TONSILITIS AKUT………………………………………………………44

4.3 TONSILITISKRONIK……………………………………...…………..48

BAB V SOP / PROTAP / PROSEDUR TETAP……………………………………… 59

5.1 SOP TONSILEKTOMY…………………………………………………..59

A. OBAT-OBATAN PRE OPERASI TONSILEKTOMY………… 59

B. PENULISAN DI STATUS RAWAT NGINAP…………………..59

C. OPTEK TONSILEKTOMY……………………………………………… 60

D. POST OPERASI TONSILEKTOMY…………………………………61

E. KODE ICD DIAGNOSIS DAN PROSEDUR TINDAKAN.. 61

F. PERAWATAN POST OPERASI TONSILEKTOMY…………..62

G. KOMPLIKASI POST OPERASI TONSILEKTOMY…………. 64

3
5.2 SOP POLIP EKSTRAKSI………………………………………………64

A. OBAT-OBATAN PRE OPERASI POLIP EKSTRAKSI……..64

B. PENULISAN DI STATUS RAWAT NGINAP…………………..65

C. OPTEK POLIP EKSTRAKSI…………………………………………..65

D. POST OPERASI POLIP EKSTRAKSI…………………………….66

E. PERAWATAN POST OPERASI POLIP EKSTRAKSI……… 66

F. KODE ICD DIAGNOSIS DAN PROSEDUR TINDAKAN. 66

BAB VI JENIS OBAT – OBAT……………………………………………………………..67

6.1 OBAT-OBAT DI THT…………………………………………………… 67

6.2 JENIS ANTIBIOTIKA DI BIDANG THT......................72

6.3 SPEKTRUM CHLORAMPHENCOL………………………………… 76

6.4 CARA MENETESI OBAT SERUMENOLITIK………………….76

6.5 DIIT MAKANAN……………………………………………………………77

6.6 DIIT POST OPERASI……………………………………………………79

BAB VII KESIMPULAN………………………………………………………………………….80

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………80

BLANGKO PENILAIAN DOKTER MUDA……...................................... 82

RESUME KEGIATAN DOKTER MUDA…………………………………………………….88

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 TUJUAN
1. Mengetahui anatomi Telinga, Hidung dan Tenggorok.
2. Mengetahui cara yang tepat dalamberkomunikasi dengan pasien.
3. Mengetahui pemeriksaan pada Telinga, Hidung dan Tenggorok.
4. Mengetahui patofisiologi dan komplikasi penyakit THT.
5. Dapat melakukan diagnosis, penatalaksanaan non farmakoterapi /
tindakan, dan penatalaksanaan farmakoterapi yang tepat.
6. Mengetahui obat-obatan secara umum, khusunya dalam bidang THT.

1.2 MANFAAT
1. Menambah pengetahuan tentang pemeriksaan fisik Telinga, Hidung,
dan Tenggorok.
2. Sebagai proses pembelajaran dan studi literatur bagi Dokter Muda
yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian Laboratorium
Telinga, Hidung, dan Tenggorok, sehingga Dokter Muda mampu dan
bisa memahami tentang Telinga, Hidung, dan Tenggorok.

1.3 ETIKA TERHADAP PASIEN


1. Dokter Muda memperkenalkan diri : saya DM…...........mohon ijin akan
memeriksa Bp / Ibu / Sdr./Sdri. ………….
2. Kemampuan Anamnesis
Kemampuan peserta ujian memfasilitasi pasien untuk menceritakan
kesakitannya. Menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai untuk
mendapatkan informasi yang akurat dan adekuat. Memberikan respon
yang sesuai terhadap isyarat pasien baik verbal maupun non verbal.
3. Kemampuan Pemeriksaan Fisik
Kemampuan peserta ujian melakukan pemeriksaan fisik sesuai masalah
klinik pasien dengan menggunakan teknik pemeriksaan yang logis,
sistematik / runut dan efisien. Tanggap terhadap kenyamanan pasien
dan memberikan penjelasan ke pasien.
4. Melakukan tes/prosedur klinik atau interpretasi data untuk
menunjang diagnosis utama dan diagnosisbanding
Kemampuan peserta ujian untuk melakukan suatu tes / prosedur klinik
dengan benar dan menyampaikan prosedur hasilnya atau
menginterpretasi hasil pemeriksaan penunjang dengan benar dan
menjelaskan kepada pasien dengan tepat.
5. Penegakan diagnosis utama dan diagnosis banding
Kemampuan peserta ujian menetapkan diagnosis utama dan diagnosis
banding yang tepat, sesuai dengan masalah klinik pasien.

5
6. Tatalaksana nonfarmakoterapi ( tindakan )
Kemampuan peserta ujian melakukan tindakan yang sesuai dengan
masalah klinik pasien, menyampaikan alasan dan prosedur pelaksanaan
tindakan.
7. Tatalaksana farmakoterapi
Kemampuan peserta ujian memilih obat yang rasional dengan lengkap
dan benar meliputi 5 ( lima ) tepat :
A. Tepat indikasi,
B. Tepat dosis ( berapa milligram ),
C. Tepat sediaan ( untuk berapa hari ),
D. Tepat cara pemberian ( cara minum sebelum makan / setelah
makan, cara olesi salep, cara pemberian tetes obat ), dan
E. Tepat harga ( tulis resep generik bila ada generiknya ).
Disingkat : I DO SEDIA CA-HAR ( “Saya bekerja menyediakan
pencahar ?” )
8. Komunikasi dan atau edukasi pasien
Kemampuan peserta ujian menunjukkankemampuan berkomunikasi
dengan baik, meliputi menggali perspektif pasien dengan bahasa yang
bisa dimengerti, memberikan kesempatan bertanya kepada pasien,
menanggapi pertanyaan/pernyataan pasien baik verbal maupun non
verbal, melakukan diskusi, negosiasi dan membina hubungan baik
dengan pasien dan atau memberikan penyuluhan yang isinya sesuai
dengan masalah pasien dengan cara yang tepat.
9. Perilaku profesional
Kemampuan peserta ujian menunjukkan aspek profesionalisme dengan
baik diantaranya : meminta informed consent, melakukan setiap
tindakan dengan berhati-hati dan teliti sehingga tidak membahayakan
pasien, memperhatikan kenyamanan pasien, melakukan tindakan sesuai
prioritas dan menunjukkan rasa hormat kepada pasien serta menyadari
keterbatasan.
10. Terhadap pasien bersikap empati, buka simpati.
11. Berupaya agar pasien tidak merasa dibuat praktek.
12. Tetap menjaga privacy pasien.
13. Dihadapan pasien jangan bergurau, tertawa, mengucap wuuihh…
baunya serumennya, dan lain-lain agar pasien tidak tersinggung.
14. Selalu menggunakan voice hipno terapi untuk anak maupun dewasa.
15. Saat memeriksa faring, pemeriksa dapat tahan napas agar tidak
terkena droplet infeksi, dan pakai masker bila diperlukan.
16. Sehingga bila pasien complain, pasien tidak terlalu banyak mengkritik.
17. Lain-lain akan disampaikan kemudian saat melakukan pemeriksaan
terhadap pasien.

6
BAB II

TELINGA

2.1 STADIUM OTITIS MEDIA AKUT

OMA : otore < 2 bulan terus menerus

OMK : otore ≥ 2 bulan terus menerus

OMK dibagi dua :

- OMK Benigna / Tipe Aman / Tipe Mukosa

- OMK Maligna / Tipe Bahaya / Tipe Tulang

KLASIFIKASI OTITIS MEDIA AKUT

Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi


atas 5 stadium :

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius,

2. Stadium Hiperemis/ Kataralis/ Presupurasi,

3. Stadium Supurasi/ Bombans/ Bulging,

4. Stadium Perforasi, dan

5. Stadium Resolusi/ Penyembuhan.

Keadaan ini berdasarkan pada gambaran membrane timpani yang diamati


melalui liang telinga luar.

NO STADIUM ANAMNESIS OTOSKOPI

1. OKLUSI TUBA Biasanyadiawalidengan - Membran timpani


ISPA retraksi, namun
akutdandiikutidengang kadang tetap normal
ejala di telinga : tidak ada kelainan
atau hanya
- Terasa penuh. berwarna keruh
- Grebeg – grebeg.
pucat.
- Biasanyatidak
didapatkan demam. - Posisi maleus
horizontal.
- Refleks cahaya
berkurang.

7
NO STADIUM ANAMNESIS OTOSKOPI

2. HIPEREMI/ Biasanyadapatdiawalideng - Membran timpani


KATARALIS/ ankeluhanbatukdanpilek, mengalami hiperemi,
PRESUPURASI dengangejala di edema mukosa.
telingaseperti : - Eksudat serosa
yang sulit
- Nyeri pada telinga terlihat.
- Grebeg – grebeg
- Telinga terasa penuh
- Demam
- Gangguan pendengaran
3. SUPURASI/ - Otalgia berat - Membran
BOMBANS/ - Gangguan pendengaran timpani :
BULGING - Febris , batuk, pilek Bombans dan
- Pada bayi dan anak hiperemia
kadang disertai - Belum ada sekret
dengan gelisah, di telinga luar
rewel, konvulsi,
gastroentritis
- Belum terjadi otore.
4. PERFORASI - Otore mukopurulen - Membran timpani :
- Otalgi dan febris mereda Perforasi sentral
- Gangguan pendengaran kecil di kuadran
- Masih ada batuk pilek anteroinferior
- Sekret :
mukopurulen
kadang tampak
pulsasi / light
house sign.
- Warna membran
timpani hiperemia
5. RESOLUSI / - Gejala – gejala pada - Membran
PENYEMBUHAN stadium sebelumnya timpani: sudah
sudah banyak mereda pulih menjadi
- Kadang – kadang masih normal kembali
ada gejala sisa: Tinitus - Masih dijumpai
dan gangguan lubang perforasi
pendengaran - Tidak dijumpai
sekret lagi
( telinga telah
kering )

8
PATOFISIOLOGI OTITIS MEDIA AKUT

1. STADIUM OKLUSI TUBA EUSTACHIUS


Tanda adanya oklusi tuba Eustachius ialah gambaran retraksi
membrana timpani akibat terjadinya tekanan negative di dalam telinga
tengah, akibat absorbsi udara.Kadang-kadang membrana timpani tampak
normal ( tidak ada kelainan ) atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin
telah terjadi, tetapi tidak dapat dideteksi.Stadium ini sukar dibedakan
dengan Otitis Media Serosa yang disebabkan oleh virus atau alergi.
Keradangan yang mengenai mukosa hidung dan nasofaring akibat adanya
URI ( Upper Respiratory Infection ), juga diteruskan pada mukosa tuba
Eustachii dan cavum timpani. Akibatnya mukosa tuba Eustachii mengalami
udema dan udema ini akan menyempitkan lumen tuba Eustachii itu sendiri.
Keadaan ini akan mengakibatkan terganggunya fungsi tuba Eustachii itu
sendiri (gangguan fungsi ventilasi / aerasi,proteksi, dan drainase).
Gangguan fungsi ini antara lain akan menyebabkan kurangnya “supply” O2
kedalam cavum timpani. Zat asam yang terus – menerus selalu dibutuhkan
untuk kehidupan mukosa cavum timpani makin lama makin berkurang,
padahal “supply” dari tuba Eustachii menjadi kurang lancar akibat udema
tadi ( oklusi ). Akibatnya tekanan udara dalam cavum timpani menjadi
berkurang ( hipotensi ), kurang dari 1 atmosfer. Keadaan ini disebut
“vaccum”. Keadaan “vaccum” ini mengakibatkan timbulnya beberapa
perubahan pada mukosa cavum timpani antara lain :

a. Meningkatnya permeabilitas tabung – tabung darah dan limfe,


b. Meningkatnya permeabilitas dinding – dinding sel, dan
c. Terjadinya proliferasi sel –sel kelenjar submukosa.
Perubahan – perubahan yang terjadi pada mukosa cavum timpani tersebut,
mengakibatkan tejadinya perembesan cairan kedalam cavum timpani
( transudasi ). Keadaan ini disebut sebagai “Hydrops ex vacuo”.

9
2. STADIUM HIPEREMIS / KATARALIS / PRESUPURASI
Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di
membrana timpani atau seluruh membrana timpani tampak hiperemis atau
edem.Secret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang
serosa sehingga sukar terlihat.

3. STADIUM SUPURASI/ BOMBANS/ BULGING


Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel
epitel superfisial, serta terbentuknya eksudat yang purulent di kavum
timpani, menyebabkan membrana timpani menonjol ( bulging ) ke arah
liang telinga luar / ke lateral.
Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu
meningkat, serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat.
Apabila tekanan nanah di kavum timpani tidak berkurang, maka
terjadi iskemia, akibat tekanan pada kapiler-kapiler, serta timbul
tromboflebitis pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan
submukosa.Nekrosis ini pada membrana timpani terlihat sebagai daerah
yang lebih lembek dan berwarna kekuningan. Di tempat ini akan terjadi
rupture. Bila tidak dilakukan insisi membrane timpani ( Miringotomi /
Parasintesa / Timpanosinteis ) pada stadium ini, maka kemungkinan besar
membrana timpani akan rupture dan nanah akan ke luar ke liang telinga
luar.
Dengan melakukan miringotomi, luka insisi akan menutup kembali,
sedangkan apabila terjadi rupture, maka lubang tempat rupture ( perforasi )
tidak mudah menutup kembali.
Perubahan – perubahan yang mengenai mukosa cavum timpani akibat
adanya “vaccum” pada stadium kataralis, menyebabkan menurunnya
pertahanan mukosa setempat ( lokal ). Kuman – kuman yang datangnya
dari hidung dan nasofaring ( akibat salah dalam cara membuang
ingus ), besar kemungkinannya untuk mampu mengadakan penetrasi

10
kedalam jaringan mukosa cavum timpani. Pus dengan cepat terbentuk,
sehingga tekanan di dalam cavum timpani berubah menjadi lebih tinggi
( hipertensi ).

4. STADIUM PERFORASI
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika
atau virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi rupture membrana
timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar.
Anak yang tadinya gelisah sekarang menjadi tenang, suhu badan turun dan
anak dapat tertidur nyenyak.Keadaan ini disebut dengan otitis media akut
stadium perforasi.
Tekanan yang tinggi pada cavum timpani akibat kumpulan muko – pus,
akhirnya akan menimbulkan lubang perforasi pada membrana timpani.
Pus kemudian mengalir ke arah meatus eksternus, sehingga keadaan ini
akan menurunkan tekanan dalam cavum timpani.

5. STADIUM RESOLUSI / PENYEMBUHAN


Bila membrana timpani tetap utuh, maka keadaan membrana timpani
perlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi, maka
secret akan berkurang dan akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh baik dan
daya virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa
pengobatan. OMA akan berubah menjadi Otitis Media Supuratif Kronik bila
perforasi menetap dengan secret yang keluar terus - menerus atau hilang
timbul.
OMA dapat menimbulkan gejala sisa ( sequel ) otitis media serosa,bila secret
menetap di kavum timpani tanpa terjadinya perforasi.
Pada stadium ini proses penyakit telah menyembuh. Infeksi di dalam
mukosa telah dapat diatasi. Mukosa sudah tidak mengalami udema lagi,
juga sekresi sudah jauh berkurang atau bahkan telah berhenti. Akibatnya
gangguan fungsi juga telah mereda.

11
2.2 OTORE

A. Diagnosis Banding : ( 6 O )
1. Otitis Eksterna
2. Otitis EksternaCirkumkripta / Furunkel MAE
3. Otitis Media Akut Stadium Perforasi
4. Otits Media Kronik :
a. TipeBenigna / Aman / Mukosa
b. TipeMaligna / Bahaya / Tulang
5. Otitis EksternaMaligna ( OODU) :
Otore, Otalgiaterutamapadamalamhari, Diabetes Mellitus,
Usiatua
6. Otomikosis ( Ada HifaHitam)
B. Baru dilihat hasil OOR Toilet Atau Spooling / Irigasi MAE bila :
1. Serosa / Purulent :
a. Otitis Eksterna
b. Otitis EksternaCirkumkripta / Furunkel MAE
c. Otitis EksternaMaligna
2. Mukopurulent ( Molor seperti ingus )
a. OMA Stadium Perforasi : Perforasi Sentral, Subtotal
( Pada Pars Tensa )
b. OMKTipeBenigna : Perforasi Total ( Pada Pars Tensa)
c. OMKTipeMaligna : Perfoarsi Atik, Marginal( Pada Pars
Flacida )
3. Purulent kehitaman, ada hifa : Otomikosis

12
2.3 PENYEBAB TINITUS

( = mendenging / grebeq-grebeq / angin mendesis / gemrosok /


mendengung / telinga terasa buntu ) :
1. Hipertensi : tekanan darah yang tinggi menyebabkan gangguan pada
sistem kohlea.
2. Diabetes Mellitus : karena neuropati diabetikum.
3. Otitis Media Akut Stadium Oklusio / Hiperemi / Bombans / Perforasi.
4. Otitis eksterna : ada sekret yang menutupi membrana timpani.
5. Rinitis Akut / Rinitis Alergi yang menyebabkan komplikasi ke telinga.
6. Trauma Capitis / Kecelakaan Lalu Lintas / jatuh / terpeleset mengenai
kepala / ditampar kepalanya.
7. Faktor usia / Prebyakusis.
8. Trauma Akustik : terima telephone lama, pakai head set, dengar suara
keras dari sound sistem / mesin pabrik / mesin diesel, naik motor
ngebut tanpa penutup telinga dengan kain / kapas, dengar petasan /
mercon, ledakan pistol / meriam / senapan ( ABRI / POLRI sering
latihan menembak / menembak langsung tanpa pelindung telinga ).
9. Hipotensi / Fatique / kelelahan / kurang nutrisi.
10. Serumen Obsturan yang menutupi penuh MAE dan membrana timpani.
11. Furunkel MAE yang menutupi penuh MAE.
12. Merokok : asap rokok masuk tuba Eustachius sehingga mengganggu
fungsi sistem kohlea.
13. Obat-obat ototoksik : Streptomicyn dll
14. Hamil
15. Post hemodialisa ( adanya zat Ureum merusak koklea )
16. Terapi obat asma terus menerus
17. Meniere’s Disease / Aural Glaukoma / Hidrops Endolim

Catatan : Sumbat kapas ditelinga dapat mengurangi Intensitas / kekerasan


bunyi sampai 20 dB.

13
TINITUS

Membrana timpani PerforasiOMA Perforasi, OMK Benigna,


OMK MalignaIntak, kemungkinan : PTT

P ( Pendengaran ) ada 3 :

1. Pendengaran< Unilateral : MAR SOFu

 Meniere’s Disease ( pada wanita )


 Ada cephalgia : Neuroma Akustikus
 Perokok berat
 Serumen obsturan
 Otitis eksterna ada sekret
 Furunkel MAE ( MAE menyempit )

Bilateral : USOb

 Usia tua : Presbyakusis


 Serumen obsturan dekstra sinistra
 Obat-obat ototoksik
2. Pendengaran<, ada pilek : OMA stadium oklusi tuba / hiperemi /
bombans.
3. Pendengaran<, ada penyakit penyerta : DAPo
 Diabetes melitus
 Asma bronkial karena minum obat asma lama
 Post hemodialisa

Tensi Hipertensi
Hipotensi Kecapaian
Hamil

Trauma Akustik

Capitis

14
2.4 ARTIKEL UNTUK AWAM :

PILEK BISA PECAHKAN MEMBRANA TIMPANI DAN KOMPLIKASI


KE OTAKKARENA TEKANAN TAK SEIMBANG

Kerja gendang telinga dipengaruhi oleh tekanan udara di telinga luar dan
telinga tengah. “Kalau tekanan udara di kedua tempat ini sama, gendang
telinga bisa bergetar dengan bagus”. Tutur dr. Ramschie, Sp.THT.
Sedangkan tekanan udara di telinga tengah dipengaruhi oleh saluran
Eustschius. Apa lagi ini ? Tuba Eustachius adalah saluran yang
menghubungkan telinga tengah dengan hidung bagian belakang atau
tenggorok atas.

“Saluran ini terbuka kalau kita menelan, mengunyah, dan mengecap”.


Nah, pada saat pilek, saluran Eustachius ini tertutup. Efeknya,
menurutspesialis penyakit Telinga, Hidung Dan Tenggorok ini, tekanan udara
antara telinga tengah dan telinga luar tak sama. “tekanan di telinga luar
lebih besar.” Akibatnya, gendang telinga tertarik ke dalam.
Ini pula yang terjadi saat kita naik kendaraan atau pesawat terbang
atau menyelam. Makanya, kalau kita menguap saat pilek atau di dalam
pesawat dan kendaraan lain, pendengaran terasa lebih jelas. Soalnya
tekanan udara antara telinga tengah dan telinga luar sudah seimbang.

KOMPLIKASINYA KE OTAK

15
Radang telinga tengah disebut Otitis Media atau disingkat OM. Ada dua
macam OM, yaitu OM akut dan OM kronis.
Akut. OM dikatakan akut kalau serangannya tak lebih dari 2 bulan.
“Tandanya,si kecil mengalami panas tinggi, rewel, kesakitan di telinga, dan
susah makan”. Kata dr. Ramschie, Sp.THT. Otitis Media Akut ini sebagian
besar karena radang tenggorok. “Karena pilek lama atau alergi”.
Kronis. Nah, OM kronis yang seperti apa? Bila kondisi ini berlangsung
selama lebih dari 60 hari ( 2 bulan ) dan tak sembuh-sembuh, disebut Otitis
Media Kronis. “OM kronis ada dua macam, jinak dan ganas” ungkap
Ramschie. Yang jinak biasanya karena alergi. Kalau OM kronis masih jinak
umumnya diberi obat dulu” jelasnya. Kalau tak sembuh juga, baru operasi.
OM kronis dikatakan ganas jika cairan yang bau sekali ini sudah mengenai
tulang pendengaran.Ini harus dioperasi.
Karenanya, infeksi telinga tengah tak bisa dibiarkan. Kalau dibiarkan,
bisa muncul nanah. Rumah siput yang ada di telinga bagian dalampun bisa
terganggu, bahkan infeksi pula. “Akhirnya, anak bisa tuli.” Kalau si kecil tuli
karena rumah siputnya terganggu, sulit dibantu dengan alat pendengaran-
nya.
Nah, kalau infeksi yang dibiarkan ini berlanjut sampai alat
keseimbangan, bisa terjadi vertigo, yakni : pusing, dan bumi bagai
berputar. Seringkali ini terjadi pada OM kronis tipe ganas. Padahal, di ujung
alat keseimbangan ini terdapat labirin. Kalau terjadi infeksi namanya
labirinitis. “Cirinya : mual, muntah dan bumi berputar”
Perlu diketahui, hanya gara-gara telinga tengah terinfeksi ini, efeknya
bisa sampai otak. “ Nah, salah satu komplikasi OM kronis adalah Abses
( nanah ) pada otak”. Ini karena ada pembuluh darah yang
menghubungkan telinga tengah dengan otak. “Akibatnya, bisa Encephalitis
( radang otak ) atau dapat terjadiMeningitis ( radang selaput otak )”.
Kalau kondisi sudah parah seperti ini, kemungkinan sembuh sangat kecil
untuk pendengarannya. Jadi kami sarankan untuk telinga bernanah / bahasa
lainnya congek atau kopokan, cepatlah diperiksakan ke THT agar
pendengarannya tidak terjadi komplikasi yang makin memberat.

16
PILEK PECAHKAN GENDANG TELINGA

Rani sedang pilek. Tak seperti biasanya, lendir tidak hanya mengalir
dari hidungnya. Tetapi, juga dari telinga. Baunya, ampun deh. Aduh, selain
telinga terasa sakit, Rani juga malu pada teman-temannya di sekolah.
Segera, sepulang sekolah, Rani langsung melapor pada mama. Mama bilang,
dik kamu congekan. Wah, Rani takut sekali. Apa yang akan dilakukan dokter
ya ?
Bisa dikatakan,
punya berapa telinga ? Telinga sih cuma
satu. Tetapi, dibagi menjadi 3 bagian. Ada
telinga luar, tengah dan dalam. “Meskipun
letaknya di dalam, telinga tengah juga bisa
terinfeksi” kata dr. Ramschie, Sp.THT.
Telinga luar terdiri luar terdiri atas daun
telinga hingga liang telinga.
Nah, mulai
tengah“. Gendang telinga dan tiga tulang
pendengaran ini merupakan alat penerus
getaran suara ke telinga bagian dalam.”
Jelas staf medis klinik THT ( Telinga, Hidung, Dan Tenggorok ) RS Pusat
Pertamina, Jakarta ini. Sedangkan di bagian telinga dalam terdapat saraf
pendengaran.
Telinga sakit. Dinding telinga tengah menghasilkan cairan dari
selaput lendir. Bila terjadi peradangan, cairan lendir ini lama-lama bisa
menjadi congek ( keluar cairan mirip nanah ). Dampaknya, cairan akan
semakin menumpuk di telinga tengah. “Tekanan udara di telinga tengah
menjadi lebih kecil daripada tekanan udara di telinga luar.” Lama-lama,
gendang telinga yang awalnya tertarik ke dalam menjadi terdesak keluar.
Audio terganggu. Penderita akan mengeluh sakit dan pendengarannya
terganggu. “Kalau gendang telinga baru dalam taraf tertarik ke dalam, masih
bisa diobati.” Namun, jika gendang telinga sudah terdesak ke luar, selaput
gendang telinga ini harus harus dilubangi agar cairan yang mengganggu itu
ke luar. Tapi, jangan dikira irisan berukuran besar lho. “ Lubangnya kecil dan
lurus. Harapannya, gendang telinga bisa menutup sendiri.”
Gendang Telinga bisa pecah. “ Bila tak segera diatasi, gendang telinga ini
justru pecah sendiri.” Karena pecah sendiri, robeknya justru tak teratur.
Nah, hal ini menyulitkan penyembuhan. Apa tanda gendang telinga yang
bakal pecah ? Diantaranya, pasien demam tinggi bahkan bisa kejang. Karena
gendang telinga pecah, congek lantas keluar. “ Jika kasus seperti ini, mesti
dilakukan operasi untuk menutup gendang telinga.”
Masalahnya, bila gendang telinga tidak segera ditambal, telinga selalu
mengeluarkan congek saat pilek. Ini karena saluran Eustachius tertutup saat

17
pilek tadi. Jadi, tekanan di telinga tengah lebih besar daripada tekanan di
telinga luar itu memaksa congek untuk keluar.
Gendang telinga ditambal. Lantas, bagaimana menambalnya ?
Biasanya bahan tambalan diambil dari fasia ( bagian yang membungkus )
otot temporal. Namun, bisa juga dari kulit liang telinga sendiri. “ Dengan
demikian, lubang yang ada pada gendang telinga bisa ditutup lagi. Lantas,
apakah bahan penambal diambil lagi kalau gendang telinga sudah tertutup ?
Ternyata tidak. Penambal akan diserap oleh tubuh.”
Cerita seperti itu terjadi akibat infeksi dari dalam. Namun, infeksi pada
telinga tengah bisa juga terjadi karena faktor dari luar. “ Misalnya, karena
infeksi kuman dari hidung yang masuk melalui saluran Eustachius.” Atau,
karena radang pada hidung dan tenggorok. Bisa juga karena trauma atau
tumor. “Tumor yang dimaksud adalah tumor nasofaring diatas tenggorok.”
Operasi telinga seperti ini tergolong operasi besar. “ Oleh karenanya,
operasi membutuhkan mikroskop.” Jelas Ramschie. Ini karena pembedahan
telinga tersebut melibatkan banyak saraf yang ukurannya kecil. “ Nah, kalau
tidak pakai mikroskkop, bisa ada kesalahan tindakan yang berakibat
negative pada saraf.”

2.5 ARTIKEL UNTUK AWAM : GEGAR OTAK BISA MERUSAK TELINGA

Terjadi Akibat Pecahnya Pembuluh


Darah.
Jangan remehkan benturan pada kepala.
Banyak yang bilang, cedera kepala bisa
mengakibatkan gangguan pendengaran.
Benarkah ?
Pada beberapa penelitian terbukti, ada
kaitan antara cedera kepala dengan
gangguan pendengaran berhubungan dengan
macam dan keparahan cedera kepala yang terjadi. Gangguan pendengaran
ini dapat berupa tuli konduksi ( kerusakan pada telinga bagian luar atau
tengah ), tuli persepsi ( kerusakan pada telinga bagian dalam ), ataupun tuli
campuran (kerusakan telinga bagian bagian tengah dan dalam).

18
Sekitar telinga. Lantas bagian kepala mana yang jika terbentur akan
berdampak pada gangguan pendengarannya ?
Tentu saja, yang wilayahnya dekat dengan
telinga. Yakni, bagian tulang temporal. Tulang
temporal merupakan bagian dari tulang tengkorak
yang berada di sisi kanan dan kiri, tepatnya di
atas telinga. Jika daerah temporal mengalami
benturan dan berpengaruh pada pendengaran,
umumnya tanda awalnya adalah pendarahan dari telinga. Pendarahan yang
terjadi ini, mungkin berkaitan dengan kerusakan saraf pada telinga. “Saat
kepala mengalami benturan yang parah, karena kecelakaan misalnya, dan
telinga juga mengalami pendarahan, maka yang terjadi adalah pecahnya
sebagian pembuluh darah di telinga tengah,” papar Prof. Dr. Mulyarjo,
Sp.THT. Jika cedera tidak terlalu parah, biasanya bisa sembuh dengan
sendirinya. Namun, lanjut ketua SMF THT ( Telinga Hidung Tenggorok ) RSU
Dr. Soetomo Surabaya ini, tetap saja korban harus diperiksa untuk
mengetahui tingkat keparahan.

Jika hasil pemeriksaan menunjukkan kerusakan telinga bagian dalam,


misalnya bagian rumah siput telinga, maka orang tersebut berisiko
mengalami tuli total. “Yang paling banyak, ini terjadi akibat gegar otak
berat.” Satu sisi, yang jelas, benturan di salah satu bagian temporal tidak
mengakibatkan gangguan pendengaran pada telinga sisi sebelahnya.
“Yang akan terganggu, jelas yang dekat dengan benturan. Sedangkan
telinga yang tidak terbentur aman-aman saja,” katanya.
Seseorang tidak perlu terlalu mengkhawatirkan hal ini, karena menurut
Mulyarjo, tidak semua benturan pada kepala mengakibatkan gangguan
pendengaran. Asalkan, tidak tampak adanya pendarahan. Meskipun
demikian, tetap saja harus diperiksakan terlebih dahulu untuk mengetahui
kondisi sebenarnya.

Empat Derajat Tuli


Ada beberapa derajat gangguan pendengaran atau tingkat ketulian.
Yakni, tuli ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Berikut penjelasan
Prof. Dr. Mulyarjo Sp.THT :
1. Tuli ringan. Tandanya, seseorang kurang bisa menangkap percakapan
yang lemah atau dalam lingkungan yang berisik.
2. Tuli sedang. Penyandangnya akan mengalami kesulitan menangkap
percakapan sehari-hari. Biasanya, pergaulannya menjadi terganggu.
3. Ketulian berat. Kondisi ini mengakibatkan seseorang hanya dapat
mendengar suara keras dan harus berjarak dekat.

19
4. Tuli sangat berat. Penyandang gangguan pendengaran yang satu ini
memerlukan pertolongan khusus untuk komunikasi. Hal inilah yang
disebut ketulian total.

20
2.6 TABEL TES PENDENGARAN

21
2.7 TABEL DERAJAT GANGGUAN PENDENGARAN

Derajat Tingkat Contoh Kemungkinan kesulitan


gangguan Desibel kekuatan pendengaran dan
pendengaran (Hearing Loss) suara kebutuhannya
Pendengaran 0 sampai 25 Desir daun, Tak ada masalah
Normal dB Detak jam pendengaran
Kesulitan mendengar suara
Gangguan Bisikan / pelan. Dapat diatasi dengan
Pendengaran 25-45 dB suara Alat Bantu Dengar.
Ringan lembut, Kemungkinan
Suara klik membutuhkan bantuan
jari ekstra di sekolah
( Misalnya FM )
Mengerti percakapan normal,
jika berada di depan dan di
Gangguan 45-60 dB Percakapan dekat si pembicara.
Pendengaran normal / Membutuhkan Alat Bantu
Sedang tenang Dengar. Kemungkinan
membutuhkan bantuan
ekstra di sekolah
( Misalnya FM ).
Percakapan harus keras.
Gangguan 60-75 dB Percakapan Namun dengan Alat Bantu
Pendengaran normal / Dengar, suara percakapan
Sedang tenang, terdengar normal.
Berat Bel pintu Membutuhkan alat bantu
ekstra ( misalnya FM ) /
lokasi tempat duduk yang
tepat di sekolah.
Mendengarkan suara keras
Gangguan 75-90 dB Dering hanya dari jarak dekat.
Pendengaran Telpon, Selalu membutuhkan alat
Berat Guntur, bantu ekstra (misalnya FM )
Tangis bayi / lokasi tempat duduk yang
tepat di sekolah
Membutuhkan teknologi
Gangguan Diatas 90 dB Truk, pengerasan suara
Pendengaran Gergaji ( amplifikasi ) yang sesuai
Berat Sekali Listrik ( misalnya Alat Bantu
Dengar, implantasi cochlea )
serta alat bantu ekstra
( misalnya FM ).

22
FREKUENSI ( HERTZ ) INTENSITAS ( DECIBEL )
BUNYI = TINGGI = KERAS
RENDAHNYA NADA LEMAHNYA NADA
Kulkas 250 Hertz 20 Decibel
Sepeda motor Honda 250 Hertz 80 Decibel
Bor beton 250 Hertz 110 Decibel
Suara di 500 s/d 1.000 Hertz 5 s/d 25 Decibel
perpustakaan
Suara di pasar 600 Hertz 50 s/d 60 Decibel
Vacuum cleaner 600 Hertz 70 s/d 80 Decibel
Ketuk dasar cangkir 900 Hertz 75 s/d 90 Decibel
dengan sendok
Suara bicara biasa 1.000 Hertz 5 s/d 25 Decibel
Di depan sound 1.000 s/d 1.500 Hertz 110 Decibel
system band
Suara bel 2.000 Hertz 60 s/d 75 Decibel
Lonceng kecil 2.000 Hertz 75 Decibel
Kicau burung 3.000 Hertz 15 Decibel
Pemutar lagu stereo 3.000 Hertz 90 Decibel
pakai headset
Mobil dijalan tol 3.000 s/d 4.000 Hertz 80 s/d 100 Decibel
Ujung sendok dipukul 4.000 Hertz 80 Decibel
ke tepi cangkir
Jangkrik 4.000 Hertz 70 Decibel
Pesawat udara 4.000 Hertz 110 Decibel
Suara tembakan / 4.000 Hertz s/d 50 s/d 110 Decibel
meriam / mercon 8.000 Hertz

23
2.8PB LIST / PHONASI BILINGUAL LIST

( Untuk tes bisik dengan menggunakan cadangan paru-paru setelah


ekspirasi biasa )

NO. 1 2 3 4 5
1. Mata Kuda Piring Bakmi Rambut
2. Pintu Malam Kapal Kaca Kursi
3. Rumah Tikus Bulan Dinding Sama
4. Susu Lampu Garam Bangku Pipa
5. Sapi Gigi Sapu Minum Gula
6. Meja Bawang Ibu Sawah Hidung
7. Kaki Roti Sendok Susah Becak
8. Makan Sukar Buku Papa Koran
9. Goreng Basah Sikat Kue Apa
10. Babi Merah Bawah Roda Lidah
Benar : Benar : Benar : Benar : Benar :

NO. 6 7 8 9 10
1. Kapal Sapi Kursi Bakmi Bawang
2. Sikat Meja Lidah Kaca Kuda
3. Sendok Rumah Sama Dinding Merah
4. Buku Kaki Rambut Bangku Gigi
5. Nama Goreng Becak Minum Malam
6. Piring Susu Apa Sawah Tikus
7. Bulan Pintu Gula Susah Lampu
8. Ibu Babi Orang Papa Sukar
9. Garam Mata Papa Kue Roti
10. Sapu Makan Hidung Roda Basah
Benar : Benar : Benar : Benar : Benar :

24
2.9 TES PENDENGARAN : KUANTITATIF DAN KUALITATIF

Perbedaan tes pendengaran kuantitatif dan kualitatif antara lain :

Kuantitatif Kualitatif
Fungsipendengaran Suara bisik TULI SENSORINEURAL
Normal 6m Tidak mendengar huruf desis
Tuli ringan 4m – 6m (frekwensi tinggi)
Tuli sedang 1m – 4m TULI KONDUKSI
Tuli berat <10cm Tidak mendengar huruf lunak
Tuli total Bila berteriak di (frekwensi rendah)
depan telinga, Missal : SUSU
penderita tetap tidak Tuli konduksi →
mendengar mendengar s – s
Tuli sensorineural →
mendengar u – u

2.10DERAJAT GANGGUANPENDENGARAN

1. Ada 2 ( dua ) jenis utama gangguan pendengaran, yaitu gangguan


pendengaran conductive dan gangguan pendengaran sensorineural
( gangguan pendengaran yang disebabkan oleh penyakit di bagian
dalam telinga atau saraf pendengaran ).
2. Derajat gangguan pendengaran ( dihitung dari rata-rata
Air Conduction ) antara lain :
a. Pendengaran normal : 0 - 25 dB
b. Gangguan pendengaran ringan : 25 - 45 dB
c. Gangguan pendengaran sedang : 45 - 60 dB
d. Gangguan pendengaran sedang berat : 60 - 75 dB
e. Gangguan pendengaran berat : 75 – 90 dB
f. Gangguan pendengaran berat sekali : diatas 90 dB

25
3. Cara mengatasi gangguan pendengaran dapat dimulai dengan
memakai ABD, bila masih belum mengatasi dapat digunakan Sistem
FM, Implantasi koklea ataupun dengan tehnologi BAHA. Tehnologi
terbaru saat ini adalah dengan sistem pendengaran implan bone
conduction : BAHA ( = Bone Anchor Hearing Aids / ABD yang
ditancapkan pada tulang ).

2.11 FUNGSI TUBA EUSTACHIUS

Ada 3 yaitu :

a. Fungsi Ventilasi / Aerasi : mengalirkan udara dari luar ke


dalam cavum timpani.

b. Fungsi Proteksi : melindungi masuknya kuman dari


nasofaring ke dalam cavum timpani. Tuba Eustachius hanya
membuka saat menelan, dan mengunyah.

c. Fungsi Drainase : mengalirkan secret dari cavum timpani


ke arah nasofaring.

( DisingkatVPD = Ventilasi Penyakit Dalam )

2.12

26
KLASIFIKASI OTITIS MEDIA

Otitis Media Otitis Media Supuratif Otitis Media Akut / OMA :

- Stadium Oklusio

- Stadium Hiperemia

- Stadium Bombans

- Stadium Perforasi

- Stadium Resolusi

Otitis Media Supuratif Kronik

/ OMSK / OMK :

- OMK Benigna/Aman/Mukosa

- OMK Maligna/Bahaya/Tulang

Otitis Media Non Supuratif / Otitis Media Serosa

Otitis Media Serosa Akut /

Barotrauma / Aerotitis

Otitis Media Serosa Kronik /

Glue Ear

27
2.13 JENIS OPERASI TELINGA

Bila Perforasi kering : membrana timpaninya dalam 2 tahun

tidak menutup, dilakukan operasi Myringoplasti.

OTITIS MEDIA KRONIK

( otore terus menerus ≥ 2 bulan )

Tes Bisik : Tes Garpu Tala : Audiometri : Rontgen


Mastoid
Normal - Batas Atas - Tuli Konduksi Posisi
8/10 m - Batas Bawah - Tuli Persepsi Schuller :

9/10 m - Rinne - Tuli Total - Sklerotik

10/10 m - Schwabach ( lihat macam2 - Berongga


gambar
- Weber audiogram )

Rontgen Mastoid

Sklerotik : Berongga :
OMK Benigna / Klinis ada secret mukopus, foetor.
Tipe Aman / OMK Maligna / Tipe Bahaya /
Tipe Mukosa Tipe Tulang dapat disertai :
Tuli Total, Parese N.VII Perifer,
Abses Otak, Meningitis dll.

Operasi Operasi
Timpanoplasty Radikal Mastodektomy

28
2.14 CARA MEMBACA MEMBRANA TIMPANI

GENDANG TELINGA NORMAL

CARA MENENTUKAN

MEMBRANA TIMPANI DEKSTRA/SINISTRA :

1. Reflek cahaya membrana timpani mengarah ke anterior / tuba


eustachius.
2. Prosesus Lateralis Maleus / Prosesus Brevis mengarah ke anterior /
tuba eustachius.
3. Plika Maleolaris Anterior ( lengkungannya lebih pendek daripada Plika
Maleolaris Posterior ) mengarah ke anterior / tuba eustachius.
4. Bayangkan posisi pasien menghadap ke kanan / ke kiri.
5. Baru sebutkan membrana timpani dekstra / sinistra.

29
2.15 OTITIS MEDIA KRONIK TIPE GANAS : KOLESTEATOM
Penamaan kolesteatom, sebenarnya terlanjur salah sebab
sebenarnya bukan tumor dan tidak selalu mengandung kolesterin seperti
namanya, melainkan epitel berlapis gepeng yang mengalami
keratinisasi yang terjebak di dalam telinga tengah. Istilah tersebut
tetap dipakai antara lain oleh karena sifatnya yang seperti tumor di dalam
tulang temporal yang dapat meluas dan merusak tulang.
Kolesteatom bisa terjadi secara kongenital berupa sisa embrionik
epitel berlapis gepeng di dalam tulang temporal, tetapi biasanya terjadi
setelah lahir berupa invaginasi membran timpani oleh karena tekanan
negatif yang berkepanjangan di telinga tengah misalnya pada otitis media
yang berulang, maupun oleh karena tumbuhnya epitel berlapis gepeng ke
dalam telinga tengah pada perforasi maligna membran timpani misalnya
akibat otitis media akut nekrotik.
Sifat karakteristik kolesteatoma adalah terbentuknya kantung
seperti rahim (matrix). Dinding dalamnya adalah lapisan tanduk epidermis
yang selalu berdeskwamasi membentuk lapisan-lapisan konsentris seperti
bawang mengisi kavum timpani dan antrum. Kolesteatom merupakan media
yang baik bagi kuman patogen dan bakteri pembusuk, menghasilkan nanah
berbau busuk yang khas. Kuman yang tumbuh biasanya merupakan
campuran antara lain Stafilokokus. Gambaran kolesteatom dapat dilihat pada
Gambar di bawah ini.

GAMBAR 1. PERFORASI ATIK DAN KOLESTEATOM.

GAMBAR 2. GAMBAR PEMBENTUKAN KANTUNG KOLESTEATOM PADA


DAERAH ATIK MEMBRAN TIMPANI.

30
GAMBAR 3. PERFORASI SUBTOTAL MEMBRAN TIMPANI DENGAN
PEMBENTUKAN JARINGAN GRANULASI (PANAH A) DAN
KOLESTEATOM (PANAH B).

GAMBAR 4. JARINGAN GRANULASI.

GAMBAR 5. TAMPAK GRANULASI PADA KAVUM TIMPANI KANAN


YANG CUKUP BESAR.

31
2.16 CARA MEMBACA RONTGEN MASTOID POSISI SCHULLER

1. Tentukan kepala menghadap ke kanan atau kekiri.


2. Simpulkan hasil rontgen adalah telinga kanan atau kiri.
3. Cari fossa mandibularis ( tempat melekatnya condilus mandibula dalam
membentuk TMJ / Temporal Mandibular Joint ).
4. Belakang fossa mandibularis ada lubang adalah MAE / Meatus Akustikus
Eksterna / Liang telinga luar.
5. Belakang MAE adalah mastoid tampak seperti segitiga terbalik.
6. Bila disekeliling MAE ada gambaran radioopaque / perselubungan artinya:
- ada penulangan akibat infeksi yang telah sembuh, atau
- terjadi proses infeksi kronik.
7. Bila di dalam mastoid ada gambaran pneumatisasi / sarang tawon artinya
mastoid dalam batas normal.
8. Bila di dalam mastoid ada gambaran radioopaque / perselubungan pada
sebagian / seluruh mastoid bacaannya : mastoid sklerotik.
9. Bila di dalam mastoid ada gambaran rongga kosong berlubang bacaannya
: mastoid berongga.

ANATOMI TULANG MASTOID ( BOIES BUKU AJAR THT HALAMAN 30 – 36 )

32
Gambar Rontgen Mastoid Posisi Schuller

M N

33
O
P

BACAAN RONTGEN

M, N : SEKLEROTIK

O,P,Q : BERONGGA
Q

2.17 AUTISM, DELAYED SPEECH DAN DEAF MUTE


Pada anak-anak dengan gangguan bicara :
a. Bila masih bisa mendengar kemungkinannya :
- pendengaran normal, bicara lambat Diagnosa : Autism
- pendengaran menurun, bicara lambat Diagnosa : Delayed Speech
b. Bila tidak bisa mendengar kemungkinannya Diagnosa : Deaf Mute
c. Diagnosa pasti : dilakukan Audiometri Anak dan Tes BERA.d. Terapi :
semua Diagnosa tsb.dilakukan Speech Terapi di Poli Bina Wicara
Rehabilitasi Medik.

34
BAB III

HIDUNG

3.1 GAMBAR MITE / TUNGAU

Mite / Tungau penyebab pilek, bersin-bersin dan hidung buntu

3.2 DEFINISI DEBU RUMAH


1. Berisi : Serat dari kertas, serbuk penghapus dari karet, rambut
manusia, macam-macam wool berwarna, kapas serat sintetis dari
nilon / rayon, daki, serangga, bulu hewan, sisa makanan, jamur,
tepung sari bunga, serpihan kayu, kulit, abu rokok dan kotoran
kuku.
2. Adalah partikel yang berada diudara, kamar, maupun ruangan
dengan ukuran 6 x 10-7 mm s/d 1 mm.

35
3. Makin dekat ke lantai / kasur, maka densitas makin tinggi.

36
4. Tungau / mite adalah jasad hidup yang berkembang biak di karpet,
kasur, dan selimut tebal, dengan gambaran sebagai berikut :
a. Terdapat 143 jenis tungau / mite, yang terbanyak dikenal oleh
manusia adalah golongan Dermatophagoides Pteronyssinus.
b. Berat molekul : 24.000 Dalon.
c. 1 gram DR / Debu rumah = 1 cc berisi 104 tungau.
d. Hidup dari daki manusia.
e. Manusia dalam 1 malam / 1hari / 24 jam mengalami
penguapan sebanyak 500ml air berisi : daki manusia 0.5 gr s/d 1
gr yang dapat menghidupi 200.000 tungau.
f. Tinggal di : rumah tua yang lembab, bantal, guling, kapuk,
boneka (60%), perabot rumah (20%), karpet (15%) danbaju
mainan anak-anak(5%).
g. Sepertiga hidup manusia (8jam) : berada di kamar tidur.

JADI BILA ANDA INGIN BEBAS ALERGI, JAUHKAN DAN BASMI TUNGAU
/ MITE DARI LINGKUNGAN KITA.
MEN SANA IN CORPORE SANO = DIDALAM BADAN YANG SEHAT,
TERDAPAT JIWA YANG SEHAT SEHINGGA DAPAT BERAMAL DENGAN
SEHAT & IKHLAS ( DIKUTIP OLEH : dr. ERIE TRIJONO, SP.THT )

3.3 PENATAAN RUANGAN BED / KAMAR TIDUR ( MYGIND 1986 )


1. Penderita punya bed sendiri, dan tidak melakukan kegiatan di
kamar tidur selain untuk tidur (tidak boleh senam dikamar tidur).
2. Hewan dilarang masuk dan tidak merokok dikamar tidur.
3. Lantai terbuat dari kayu / bahan lain yang permukaannya licin
sehingga mudah dibersihkan dengan kain basah.
4. Hindari barang-barang tidak perlu yang dapat menjadi tempat dari
debu seperti bingkai foto yang banyak lipatannya.
5. Pergunakan meubel sederhana dan tirai / gorden yang mudah
dicuci.
6. Pakai kasur dari air / kasur sintetik = spoon = dakron = busa /
kasur biasa yang dilapisi plastik.
7. Jangan pakai selimut dengan bahan dari kapas / bantal berbulu.
8. Sprei dan sarung bantal lebih sering diganti yang baru (1 minggu 2
kali ganti).
9. Bersihkan tempat tidur dengan penyedot debu.

37
3.4 TERAPI RHINTIS ALERGI

Anti Histamin Klasik

Anti Histamin
Generasi Parasimpatolitik
Baru : Rinore Cair =
Atrovent

Dekongestan/ Stabilisator
Simpatomimetik mastosit

Kortikosteroid
: Tidak Boleh Digabung
: Boleh Digabung
Terapi Rhinitis Alergi :
 Maksimal 2 obat ( sebaiknya pilih 1 obat tunggal saja ).
 Sakit Gastritis, Hipertensi, Diabetes Melitus, Ibu hamil, Ibu menyusui :
tidak boleh diberikan obat kortikosteroid.
 Hipertensi dan Diebetes Melitus diberi terapi :
- Anti Histamin Generasi Baru
- Stabilisator Mastosit
 Ibu Hamil :
1. Jika pilek : terapi - Tetes hidung drops / spray
- Antihistamine Generasi baru ( bila perlu)
2. Tidak boleh menggunakan dekongestan dan kortikosteroid karena dapat
menyebabkan preeklampsi dan memicu HIS/kontraksi uteri.

38
3.5 PATOFISOLOGI SINUSITIS MAKSILARIS

Pada skema di bawah ini akan lebih jelas menggambarkan kondisi tersebut :
4.
Sumbatan ostium

Hipoksia
Disfungsi kelenjar
Vasodilatasi Disfungsi silia mukus

Transudasi Stagnasi sekret Sekret mengental

Penumpukan
sekret kental

Pada permulaan terjadi kenaikan tekanan intra sinus yang kemudian diikuti
terjadinya tekanan negatif. Pada saat bersin, mengeluarkan ingus atau
menghirup udara kuman dapat masuk ke dalam sinus yang kemudian terjadi
sinusitis bakterial. Faktor penyebab yang lain adalah infeksi apeks gigi
geraham atas, atresia koane, barotrauma, polip hidung, benda asing atau
tampon hidung yang lama.
Kuman penyebab yang sering di dapatkan adalah : Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus Influinzae dan Branhamella catarrhalis. Kuman
lain yang lebih jarang adalah : Staphilococcus aureus dan kuman anaerob.

Menurut Douek ada 2 pendapat tentang terjadinya infeksi antrum :


Infeksi gigi yang kronik ( Pre Molar 1, Pre molar 2, Molar 1, Molar 2, Molar 3
terbanyak :Pre Molar 2, Molar 1 ) dapat menimbulkan jaringan
granulasi pada mukosa sinus yang berbatasan.
Fungsi mukosa pada daerah ini berubah, akibatnya aktifitas silia dan sekresi
mukosa terganggu. Keadaan ini akanmemudahkan terjadinya infeksi antrum
yang berasal dari infeksi hidung. Schulz, dikutip oleh Van Alyea, mengatakan
bahwa empiema sinus maksilaris yang dentogen baru timbul ada faktor
predisposisi seperti :rinitis akuta, atau apabila ada abses yang pecah
kedalam sinus maksilaris dan mengalirkan pus kedalamnya. Bakteri dapat
menyebar secara langsung dari granuloma pada apex atau kantong
periodontal atau mungkin menyebar ke antrum secara lymfatik.

39
Ericson dan Wolander, dikutip oleh Lindahl menemukan adanya hyperplasia
mukosa sinus maksilaris yang terletak dekat gigi yang infeksi dengan
perincian sebagai berikut :

- 78 % dari 29 penderita, dengan infeksi periapikal


- 62 % dari 21 penderita, dengan periodontitis.

3.6STADIUM SINUSITIS MAKSILARIS

Dalam menghadapi kasus sinusitis maksilaris, akan timbul kesulitan


membedakan antara sinusitis yang akut dan kronis.

Litton pada tahun 1971 seperti dikutip oleh Sunoto membagi sinusitis
maksilaris berdasarkan lamanya sakit :

a. Sinusitis maksilaris akuta : 1 minggu – 3 minggu


b. Sinusitis maksilaris subakuta : >3 minggu – 3 bulan
c. Sinusitis maksilaris kronika : 3 bulan atau lebih
Sedangkan Weijerman tahun 1972, membagi sinusitis maksilaris tipe
dentogen sebagai berikut :

a. Sinusitis maksilaris konkomitan


b. Sinusitis maksilaris akuta
c. Sinusitis maksilaris subakuta
d. Sinusitis maksilaris kronika
Pada sinusitis maksilaris konkomitan, maka perubahan yang terjadi masih
terbatas pada mukosa didasarkan sinus, tepat diatas gigi yang infeksi.
Bacaan foto Water’s :
a. Stadium I : penebalan mukosa sinus maksilaris.
b. Stadium II : perselubungan sinus maksilaris.

c. Stadium III : air fluid level ( level antara udara dan cairan ) sinus
maksilaris  berarti ada nanah di dalam sinus maksilaris.

40
3.7 RINOSINUSITIS

Rinosinusitis adalah keradangan pada satu atau lebih mukosa sinus


paranasal dengan gejala hidung buntu, nyeri fasial , dan pilek.
Penatalaksanaan rinosinusitis (RS) tergantung dari jenis. Derajat serat lama
penyakit dari masing-masing penderita. Pada Rinosinusitis Akut (RSA) terapi
medikamentosa merupakan terapi utama, sedang pada Rinosinusitis Kronis
(RSK) terapi bedah mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dari pada
medikamentosa. Terapi medikamentosa pada rinosinusitis bertujuan untuk
mengembalikan fungsi drainase ostium sinus. Dan hal tersebut dapat dicapai
melalui pelembapan untuk mengurangi udim pada mukosa serta
mengembalikan transport mukosiliar dengan menggunakan nasal spray,
humidification ( steaming ), pemberian mukolitik, dan irigasi garam faali.
Obat-obatan yang digunakan untuk pengobatan RS antara lain
dekongestan yang merupakan perangsang alfa adrenergik dan
menyebabkan vasokontriksi pembuluh kapiler mukosa ronga hidung dan
meghilangkan buntu hidung. Kortikosteroid topikal dapat mengurangi
infalamasi dan sensitifitas reseptor kolinergik mukosa rongga hidung
sehingga mengurangi sekresi, dan antihistamin efektif mencegah serangan
alergi, serta antibiotik yang pemberiannya harus didasarkan pada kuman
penyebabnya.
Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama
jamur, yang dapat menghambat atau membunuh mikroba jenis lain. Secara
invitro, antibiotika dibagi menjadi dua bagian, yaitu : 1. bersifat
bakteriostatik yang berefek utama menghambat pertumbuhan dan
multiplikasi bakteri misalnya Sulfonamida, Tetrasiklin, Kloramfenikol,
Eritromisin, Linkomisin, Klindamisin; dan 2. bersifat bakterisida yang
berefek utama membunuh bakteri misalnya Penisilin, Sefalosporin,
Aminoglikosida, Eritromisin, Kotrimoksazol, Rifampisin dan Vankomisin.
Sedangkan berdasarkan spektrumnya dibagi menjadi antibiotika
berspektrum sempit , yang efek utamanya hanya pada bakteri gram positif
kokus dan basil seperti Penisilin-G, Golongan Makrolid, Linkomisin dan
Vankomisin, atau yang efek utamanya hanya pada bakteri gram negatif
aerob seperti Aminoglikosida dan Polimiksin. Spektrum diperluas,
contohnya Ampicillin terhadap gram positif dan beberapa gram negatif.
Kedua yaitu antibiotika spektrum luas, yang efek utamanya adalah terhadap
bakteri gram positif dan negatif seperti Penisilin spektrum luas ( Ampisilin,
Amoksisilin ), Sefalosporin, Tetrasiklin, Kloramfenikol dan Sulfonamida.

41
HUBUNGAN ANTARA SINUS MAKSILARIS DENGAN GIGI PADA ORANG
DEWASA (OLEH HOLLINSHEAD, DIKUTIP OLEH ALBERTI)

SKEMA PERMULAAN MELUASNYA INFEKSI GIGI KERONGA SINUS


MAKSILARIS( WEIJERMAN )

42
3.8 TIPS BERHENTI MEROKOK

TIPS BERHENTI MEROKOK


1. Buatlah daftar alasan mengapa Anda harus berhenti merokok,
baca alasan tersebut setiap hari sebelum dan sesudah berhenti
merokok.
2. Buatlah daftar aktivitas apa saja yang dapat dilakukan,
jika Anda tidak merokok.
3. Berhenti merokok pada situasi tertentu, misalnya sesudah
makan, atau saat bersantai, hingga akhirnya Anda dapat
berhenti merokok sama sekali.
4. Pilihlah satu hari penuh untuk Anda benar-benar berhenti
merokok, dan patuhi aturan yang telah Anda buat sendiri.
5. Carilah sahabat untuk membantu Anda agar bisa berhenti
merokok, mintalah dukungan keluarga dan teman-teman
lainnya.
6. Bertanyalah kepada Dokter Anda untuk minta obat mirip nikotin
yang dapat membantu mengurangi ketergantungan terhadap
rokok.

Pesan penting :

1. Sholat wajib 5 waktu / hari, bila sempat sholat Dhuha, sholat Tahajud.
2. Kesehatan lebih diutamakan dari segalanya.
3. Lebih baik mencegah daripada mengobati.
4. Makanan 4 sehat 5 sempurna.
5. Senam ringan / olah raga teratur.

43
BAB IV

TENGGOROK

4.1 GAMBARAMANDEL DAN WALDEYER RING


BAGIAN UTAMA DARI CINCIN WALDEYER

Keseluruhan jaringan limfoid tersebut membentuk Cincin Waldeyer.


Bagian – bagian lain cincin ini dibentuk oleh tonsil lidah dan jaringan
limfe di mulut tuba Eustachius. Fungsi jaringan limfoid ini adalah
sebagai benteng pertahanan pertama dari infeksi saluran nafas atas dan
berperan membentuk antibodi pada anak – anak.
Tonsil dan adenoid ukuranya mengalami hipertrofi fisiologis, adenoid
pada umur 3 tahun, dan tonsil pada usia 5 tahun. Adenoid yang
membesar mengakibatkan terbentuk pernafasan melalui mulut,
sehingga tonsil berhadapan langsung saat pernafasan inspirasi lewat
mulut, sehingga tonsil membesar.
Pada usia lima tahun, anak mulai sekolah dan lebih terbuka kesempatan
untuk mendapat infeksi dari anak lain. Hal ini juga menyebabkan tonsil
membesar. Setelah usia 5 tahun kedua struktur ini menciut, tetapi tonsil
membesar lagi pada usia 10 tahun. Tonsil dan adenoid ini akhirnya
mengalami atrofi pada usia pubertas, adenoid menghilang
keseluruhannya, sedangkan tonsil menjadi sangat kecil.
Pada usia dewasa tonsil dan adenoid secara bertahap mengecil. Tonsil
dapat tetap membesar pada dewasa, bila sering mengalami infeksi
kuman. Pembesaran tonsil dan adenoid maksimal pada umur 3 – 7
tahun, dan menghilang / regresi pada umur 12 tahun.
Kurva pertumbuhan tonsil dan adenoid dapat dilihat pada gambar sbb :

44
KURVA PERTUMBUHAN TONSIL DAN ADENOID

CATATAN :

1. Adenoid = Tonsil Nasofaring = Tonsil Faringeal

2. Tonsil tuba = Tonsil Gerlach=Tonsil di daerah tuba Eustachius

3. Tonsil fausial = Tonsil Palatina = Amandel ( yang sering disebut


orang awam )

4. Tonsil lingualis = Tonsil pada daerah lidah

5. Lateral band = Berbentuk granula-granula di lateral faring kiri


dan kanan

6. Nodul-nodul = Nodul-nodul limfoid yang tersebar di dinding


limfoid faring

7. Tonsil laring = Tonsil di daerah laring

1 s/d 7 = Membentuk Waldeyer Ring

Bagian dari Faring :

1. Epifaring = Nasofaring = Rinofaring : diatas palatum mole


sampai koane.

2. Faring = Mesofaring = Orofaring : antara palatum mole


sampai ujung atas epiglotis.

3. Laring = Hipofaring = Laringofaring : bawah ujung


epiglotis sampai lubang masuk ke laring dan
trakea.

45
Besarnya amandel menurut Cody dan Thane 1993 :

Arkus anterior

Fossa tonsilaris ( tempat menempelnya amandel )

Arkus posterior

Garis 1 : garis yang ditarik lurus kebawah dari arkus anterior.


Garis 2 : garis yang ditarik lurus kebawah dari uvula.
Garis 3 : garis yang ditarik lurus kebawah dari pertengahan garis 1 dan garis 2.

Amandel dalam bahasa awam = Tonsila Palatina = Tonsila Faucial


T = Tumor / pembesaran
T0 = Amandel sudah di Tonsilektomi
T1 = Amandel di dalam fossa tonsilaris
T2 = Amandel di antara arkus anterior / T1 dan garis tengah 3
T3 = Amandel antara garis 3 dan uvula
T4 = Amandel di garis 2 atau melewati uvula

Pengobatan amandel pada :


Reversibel : tidak perlu operasi
a. Umur 0 – 11 Tahun
Irreversibel : harus operasi

b. Bila umur lebih dari 11 Tahun  harus operasi karena bisa sering
kambuh dan dapat tambah membesar.

46
T0/T0 T1/T1 T2/T2

T3/T3 T4/T3

4.2 TONSILITIS AKUT

DEFINISI

Keradangan akut pada tonsil sebagai suatu reaksi dari infeksi kuman atau
bisa juga virus.

ETIOLOGI

Streptococcus B-hemolitikus, Streptococcus viridans dan Streptococcus


pyogenes adalah penyebab terbanyak. Dapat juga disebabkan oleh virus.

PATOFISIOLOGI

Penularan terjadi melalui droplet. Terjadi radang pada folikel tonsil, timbul
edema dan eksudasi. Eksudat keluar ke permukaan, sehingga terjadi
penumpukan pada kripte yang disebut detritus. Hal ini terjadi pada infeksi
kuman streptokokus.

47
ANAMNESA / GEJALA KLINIS

o Tenggorok rasa kering


o Nyeri telan hebat dan mendadak ( anak sampai tidak mau minum /
makan ), nyeri menjalar ke telinga “ Referred pain “
o Demam, pada anak dapat sangat tinggi dan menyebabkan kejang. Dapat
menyebabkan mual dan muntah, anak tidak mau minum / makan
o Nyeri telan ringan, nyeri hebat pada eksaserbasi akut
o Rasa mengganjal di samping kiri / kanan / keduanya.
o Buntu hidung ( ngorok ) jika adenoid membesar
o “ Adenoid face “
o Gangguan pendengaran ( pada adenoid yang membesar )
o Nafsu makan berkurang
o Badan rasa lesu dan panas
o Gangguan bicara seperti mengulum kentang panas ( plummy voice )
o Hipersekresi kelenjar mukosa ( ptialismus )
o Mulut berbau busuk ( foetoe ex ore )
o Tonsil terlihat sembab, merah, kripte tertutup oleh bercak putih
kekuningan yaitu penumpukan lekosit dan jaringan nekrotik epitel
bercampur bakteri ( detritus )
o Adenoid biasanya juga ikut meradang demikian pula palatum mole dan
pilar tonsilaris
o Kelenjar limfe regional bengkak dan nyeri

CATATAN :

A. Persarafan daerah MAE dan aurikulum adalah cabang dari nervus


X / Vagus yaitu Arnold Nerve dan cabang nervus V / Trigeminus
yaitu Nervus Aurikulotemporalis.

B. Sehingga bila telinga di korek-korek, ada MAE yang sensitif maka terjadi
batuk-batuk, adalah akibat terangsangnyacabang dari nervus X /
Vagus yaitu Arnold Nerve.( Pak Arnold batuk-batuk, bila MAE nya di
korek-korek )

C. Adanya tonsilitis akut / kronik / sakit gigi / tumor di cavum oris, dapat
terjadi refered pain ke daerah telinga, adalah akibat
terangsangnyacabang nervus V / Trigeminus yaitu Nervus
Aurikulotemporalis.

48
PEMERIKSAAN FISIK

o “ Plummy Voice “ atau “Potato Voice” ( suara seperti sedang


mengulum kentang panas )
o “ Foetor ex ore “
o Ptialismus
o Tonsil udim, hiperemi, detritus
o Ismus fausium menyempit
o Palatum mole, arkus anterior dan arcus posterior udim, hiperemi
o Kelenjar limfe jugulodigastrikus membesar dan nyeri tekan
o Tonsil membengkak dan hiperemis : tonsilitis folikularisbilaterdapat
detritus,kadang detritus berdekatan dan jadi satu,tonsilitis lakunarisbila
palatum mole, arkus anterior dan posterior tonsil edema dan hiperemi.
Bisa didapatkan pseudomembran (terutama bila disebabkan oleh
difteri), pembengkakan kelenjar submandibula / jugulodigastrikus
disertai nyeri tekan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

o Kultur / swab tenggorok

o Uji resistensi.

DIAGNOSIS UTAMA : Tonsilitis Akut

DIAGNOSIS BANDING :

1. Tonsilitis difteri : ada pseudomembran warna keabuan, melekat dan bila


dilepas timbul perdarahan meluas keluar dari tonsil.

2. Tonsilitis monokleosis : masa tonsil tertutup membran.

3. Tonsilitis ulserasi membranosa

49
PENATALAKSANAAN

A. UMUM

o istirahat, makan lunak, minum hangat

o obat kumur (Gargarisma Kan, atau Betadin kumur )

B. MEDIKAMENTOSA

o analgesik/antipiretik : asetosal, parasetamol 3-4x sehari 500 mg, 3-5


hari

o untuk kasus berat (sulit menelan), diberikan :

 Penisilin Prokain 2 x 0.6-1.2jt IU/hari, im, diteruskan dengan

 Fenoksimetil penisilin 4 x 500 mg/hari secara oral

o pengobatan diberikan selama 5-10 hari

Untuk kasus ringan pengobatan langsung dengan Fenoksimetil penisilin 4


x 500 mg / hr ( anak : 7,5-12,5 mg / kgBB / dosis, 4xsehari ), atau
Eritromisin 4 x 500 mg / hari (anak : 12,5mg / kgBB / dosis, 4 x sehari)
diberikan selama 5-10 hari. Bila terjadi komplikasi abses peritonsil /
parafaring, dilakukan insisi abses tsb.

KOMPLIKASI TONSILITIS AKUT


Komplikasi local
o Pada anak-anak dapat terjadi otitis media akut
o Tidur mendengkur, sulit tidur
o Abses peritonsil
o Abses parafaring
o Bronchitis

Komplikasi sistemik bilapenyebabnya Streptococcus pyogenes :

o Glomerulo Nephritis Akut / GNA, demam reumatik, rematoid artritis,


endokarditis bakterial sub akut / miokarditis
o Sepsis

50
4.3TONSILITIS KRONIK

Tonsillitis kronik merupakan kerandangan kronik pada tonsil. Sebagai


kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinik pada tonsil.

Biasanya terjadi pembesaran tonsil sebagai akibat hipertrofi folikel-folikel


getah bening. Pada anak-anak biasanya disertai hipertrofi adenoid sehingga
sering disebut adenotonsilitis kronik

ANAMNESIS / GEJALA KLINIS

 Nyeri tenggorok atau nyeri menelan ringan yang bersifat kronik,


menghebat bila terjadi serangan akut.
 Rasa mengganjal ditenggorok.
 Mulut berbau.
 Badan lesu, nafsu makan berkurang, sakit kepala.
 Pada adenoiditis kronik, terjadi buntu hidung, tidur mendengkur (ngorok).
 Pada anak dengan adenoid yang besar dapat terjadi pernapasan melalui
mulut. Karena gangguan pernapasan, tidur penderita terganggu, nafsu
makan berkurang, anak lesu, daya tangkap pelajaran berkurang. Anak
tampak bodoh, mulut selalu terbuka. Gambaran demikian sering disebut
dengan “Adenoid Face” ( Fasies Adenoid ).
 Sering juga terjadi gangguan pendengaran karena sumbatan tuba
eustakhius.

PEMERIKSAAN FISIK / TANDA KLINIS

o Tonsil membesar, pada eksaserbasi akut tonsil hiperemi.


o Kripta melebar dan terisi detritus. Detritus keluar bila tonsil ditekan.
o Arkus anterior dan posterior hiperemi.
o Pada adenotonsilitis kronik, dapat terjadi “ adenoid face “.
o Pada rinoskopi anterior : fenomena palatum mole negatif.

PENYULIT

 Dapat terjadi penyulit seperti pada tonsillitis akut.


 Pada adenotonsilitis dapat terjadi penyulit seperti :
o Otitis media serosa dan sinusitis paranasal kronik.
o Dapat terjadi bronchitis kronik.

51
FARINGITIS KRONIK : TAMPAK GRANULA DI FARING

TONSILITIS KRONIK T 3 / T 3 DENGAN ADANYA DETRITUS

52
BESARNYA AMANDEL MENURUT CODY DAN THANE 1993,
DITENTUKAN SEBAGAI BERIKUT ( GAMBAR BAWAH ) :
T0 : Tonsil telah diangkat / Post Tonsilektomi
T1 : Bila besarnya ¼ jarak arkus anterior dan uvula ( A ).
T2 : Bila besarnya ½ jarak arkus anterior dan uvula ( B ).
T3 : Bila besarnya ¾ jarak arkus anterior dan uvula ( C ).
T4 : Bila besarnya mencapai uvula atau lebih ( D ).

53
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil /
Tonsilektomi
o Definisi

Tonsilektomi adalah tindakan pembedahan untuk membuang satu tonsil,


atau keduanya.

o Indikasi Umum

Jika tonsil menjadi sumber infeksi, dimana resiko terhadap tubuh lebih
besar dari pada resiko operasi, dapat mulai umur 3-60 tahun.

o Indikasi Khusus

1. Tonsilitis akut residivans, yang kumat 4-5 kali setahun

2. Tonsilitis akut dengan komplikasi (Abses Peritonsil / Quincy, Parafaring,


Sepsis)

3. Tonsilitis kronis dengan eksaserbasi akut

4. Tonsil sebagai carier seperti pada Difteri Tonsil

5. Tonsil sebagai fokal infeksi ( Arthritis, Glumerulonephitis )

6. Tonsil permagna

7. Tumor benigna tonsil

Bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan adenotonsilektomi ( lihat


indikasi ).

INDIKASI TONSILEKTOMI / ADENOTONSILEKTOMI


Secara umum indikasi operasi ialah bila tonsil/adenoid menjadi sumber
infeksi yang memberi resiko yang lebih besar dari pada resiko operasi, atau
memberikan penyulit yang merugikan penderita.

TONSILITIS KRONIK

54
TONSILITIS AKUT TONSILITIS KRONIK

PERBANDINGAN TONSILITIS AKUT DAN


TONSILITIS KRONIK

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, mengukur


jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan
medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :

o T0 : Tonsil sudah dioperasi.


o T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring.
o T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring.
o T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring.
o T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

GRADASI PEMBESARAN TONSIL


55
PEMERIKSAAN PENUNJANG TONSILITIS
o Uji resistensi ( sensitifitas ) kuman dari sediaan hapus tonsil.
o Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan
derajat keganasan yang rendah seperti Streptokokus Hemolitikus,
Streptokokus Viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus.

DIAGNOSA BANDING TONSILITIS


Difteri tonsil pada pemeriksaan fisik didapatkan pseudomembran
putih keabuan, melekat erat, bila dilepas timbul perdarahan, meluas keluar
dari tonsil. Didapatkan udem perifokal kelenjar leher yang disebut bull neck.

pseudomembran

detritus

Tonsilitis Difteri TonsilitisKronik

PERBANDINGAN ANTARA TONSILITIS DIFTERI DAN TONSILITIS KRONIK

56
PENATALAKSANAAN TONSILITIS
 NON FARMAKOLOGI

1. Mencegah penularan
o tidak bergantian alat makan atau minum
o tutup mulut atau hidung bila batuk atau bersin
2. Meningkatkan kondisi badan
o olah raga teratur
o makanan bergizi
3. Meningkatkan daya tahan lokal
o menghindari makanan dan minuman yang meng-iritasi mukosa

 FARMAKOLOGI

A. TONSILITIS AKUT

o Analgesic antipiretik : Asetosal, Parasetamol 3-4x sehari 500 mg, 3-5 hari
o Untuk kasus berat ( sulit menelan ), diberikan :
o Penisilin Prokain 2 x 0.6-1.2jt IU / hari intra muskulus, diteruskan dengan
Fenoksimetil Penisilin 4 x 500 mg / hari secara oral. Pengobatan
diberikan selama 5-10 hari.
o Untuk kasus ringan pengobatan langsung dengan Fenoksimetil penisilin 4
x 500 mg / hr (anak : 7,5-12,5 mg / kgBB / dosis, 4xsehari), atau
Eritromisin 4 x 500 mg / hari (anak : 12,5 mg / kgBB / dosis, 4 x
sehari),diberikan selama 5-10 hari.
o Bila terjadi komplikasi abses peritonsil / parafaring, dilakukan insisi
absestsb.
o Penatalaksanaan tonsillitis akut menurut Hoetomo dkk. adalah :
 Istirahat, makan lunak, minum hangat
 Obat kumur
 Analgesik/antipiretik : Paracetamol 3-4 x 500 mg ( jika perlu )
( Anak-anak : 10 mg / kgBB / dosis )

 Antibiotik ( pada tonsilitis karena streptoccus ) :


Phenoximethyl Penicilin 4x500 mg / hari, 5-10 hari

( anak-anak : 7,5-12,5 mg / kgBB / dosis, 4 x sehari )

Bila alergi terhadap penicillin dapat diganti makrolid


( Eritromisin, Spiramisin, Azitromisin ).

Eritromisin 4 x 500 mg / hari, 5-10 hari ( anak-anak : 12,5 mg /


kgBB / dosis, 4 x sehari )

Penyembuhan : 5-7 hari.

57
B. TONSILITIS KRONIS

Terapi tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut


yang baik, obat kumur, obat hisap, dan tonsilektomi jika terapi konservatif
tidak memberikan hasil. Pengobatan tonsilitis kronis eksaserbasi akut seperti
pada tonsilitis akut.

Secara umum penatalaksanaan tonsilektomi antara umur 0-11


tahun pada tonsilitis kronis yang reversibel tidak dilakukan operasi, dan
pada yang irreversibel dilakukan operasi. Sedangkan pada pasien yang
menderita tonsilitis kronis yang berusia umur lebih dari 11 tahun ( bila
sering kambuh dan makin membesar ) penatalaksanaannya dilakukan
operasi tonsilektomy. Di bidang THT operasi tonsilektomy biasanya
minimal umur 7 tahun, dengan pertimbangan :

1. Imunitas tubuh lainnya sudah cukup kuat, antara lain : kelenjar getah
bening, RES / Retikulo Endotelial Sel, dan kelenjar tonsil lainnya sudah
cukup kuat untuk menggantikan tonsil palatina / faucial yang diangkat / di
operasi Tonsilektomy.
2. Lapangan pandang operasi sudah cukup lebar : untuk memasukkan alat-
alat operasi dan tindakan Tonsilektomy terhadap amandel / tonsil
palatina / faucial kanan dan kiri.15

58
OPERASI TONSILEKTOMI

a. Batasan tonsilektomi
Tonsilektomi adalah tindakan pembedahan untuk membuang satu tonsil
atau keduanya.
b.Indikasi tonsilektomi
 Indikasi umum : jika tonsil menjadi sumber infeksi dimana resiko
terhadap tubuh lebih besar dari pada resiko operasi, dapat mulai umur
3-60 tahun.
 Indikasi khusus :
1. Tonsilitis akut residivans, yang kambuh 4-5 kali setahun
2. Tonsilitis akut dengan komplikasi (abses peritonsil / Quincy,
parafaring, sepsis)
3. Tonsilitis kronis dengan eksaserbasi akut
4. Tonsil sebagai carier seperti pada difteri tonsil
5. Tonsil sebagai fokal infeksi ( arthritis, glomerulonephritis, SBE )
6. Tonsil permagna
7. Tumor benigna tonsil
c.Kontra indikasi
1. Infeksi akut saluran nafas, resiko pada anestesi, kardiovaskuler,
respirasi
2. Penyakit-penyakit darah terutama hemofilia, trombositopenia
3. Anemia, diobati dulu sampai Hb > 10 gr.%
4. DM, diregulasi dulu
5. TBC aktif
6. Kelainan jantung / ginjal
7. Epidemic poliomyelitis
8. Umur < 3 tahun karena bila sirkulasi darah meningkat dapat terjadi
perdarahan
9. Hamil : bila terpaksa minggu ke 13-25, resiko anestesi pada fetus
10. Pada keadaan menstruasi dianggap beresiko perdarahan yang lebih
besar, danbila dipandang dari sudut pasien lebih menyenangkan bila
operasi dilakukan di luar periode menstruasi.
d. Untuk infeksi akut jalan napas bagian atas / panas badan / nyeri
telan dapat minimal 4 ( empat ) minggu sembuh, baru dilakukan
Tonsilektomy karena adanya infeksi :
1. Tindakan anestesinya beresiko untuk menyebarkan infeksi jalan napas
bawah.
2. Adanya bronchitis akut / kronik : vascularisasi pembuluh darah di
paru-paru meningkat, efek anestesi dapat menyebabkan odem paru.
3. Beresiko perdarahan yang lebih banyak, karena Tonsil masih udem dan
hiperemia.

59
TONSILITIS KRONIS

Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah


sekitarnya berupa rinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara
perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen
dan dapat timbul endokarditis, artritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis,
dermatitis, pruritus, utrikaria dan furunkulosis.

FARINGITIS KRONIK

TONSILITIS DIFTERI

PSEUDOMEMBRAN PADA DIFTERI FARING

60
TONSILLITIS AKUT ( SEBELAH KIRI ) DAN ABSES PERITONSIL /
QUINCY ( SEBELAH KANAN )

PATOFISIOLOGI TONSILITIS KRONIK

Infeksi Berulang

Erosi Mukosa Dan Jaringan Parut

Hipertrofi Tonsil Pengerutan Infeksi Membran Kapsul

Pelebaran Kripte Pelebaran Menembus Kampus

Pembesaran Kelenjar Submandibula


/ Kelenjar Jugulo Digastrikus

61
BAB V

SOP / STANDARD OPERATING PROCEDURE /

PROTAP / PROSEDUR TETAP

5.1 SOP TONSILEKTOMY


A. OBAT-OBAT PRE OPERASI TONSILEKTOMY
R/ Ampicilin 1 gr inj No. III
Aquabides 25 cc No. I
Dexametason inj No. III
Vitamin K inj No. III
Novaldo inj No. III
Spuit 10 cc No. III
Spuit 1 cc No. III
RL infus flas No. I
Tranfusi Set No. I
Medicut nomer 16 / 20 No. I
S I.m.m
R/ Adona 10cc inj No. III
SI.m.m

B. PENULISAN DI STATUS RAWAT NGINAP


Lengkapi pada saat tanggal MRS antara lain :
1. Status Pemeriksaan / Lokalis DMK 2 saat tanggal MRS.
2. Lembar putih Harian DMK 4 saat tanggal MRS.
3. Lembar merah Terapi DMK 4a : tulis terapi yang diberikan untuk
pre operasi saat tanggal MRS.
4. Selanjutnya lengkapi data setelah operasi pada Lembar putih
Harian DMK 4 dan Lembar merah Terapi DMK 4a.
5. Tanggal dan jam dilengkapi semua.

62
C. OPTEK TONSILEKTOMY
1. Mulut dibuka dengan mouth gag, mucus, dan saliva disuction
2. Tonsil sinistra dipegang dengan Ellips clamp / forcep / paak tonsil
pada pole atas, ditarik ke medial dari plika tonsilaris .
3. Insisi bagian atas tepi tonsil sinistra dengan pisau tonsil dari plika
tringularis, diperlebar dengan menggunakan tampon tang sampai
tampak fossa supratonsilaris dan plika posterior.
4. Kapsul tonsil sinistra mudah dipisahkan bila tonsil ditarik ke
medial, pole atau kutup atas tonsil dilepas secara tumpul dengan
bola kasa.
5. Bila kapsul tonsil sinistra sudah lepas dari melekatnya dengan
muskulus konstriktor faring superior, tonsil sinistra dapat
dipisahkan dari fosa tonsilaris.
6. Tangkai pole bawah yang masih melekat dilepaskan dengan
senar tonsil, dengan cara memasukkan senar kawat melalui
forcep tonsil sampai kerangka tonsil sinistra yang masih melekat,
lalu senar tonsil ditutup sampai tonsil sinistra terlepas.
7. Perdarahan yang terjadi diatasi dengan depper / bola kasa, clem
ikat atau jahitan, ligasi plain / chromic cat gut, atau dengan
electrocauter.
8. Tonsil dekstra dilakukan optek yang sama sesuai point 2 sampai
dengan 7.
9. Di evaluasi sudah tidak ada perdarahan.
10. Other excision / kauterpada granula chronic pharyngitis.
11. Mouth gag dilepas perlahan-lahan secara hati-hati jangan
menyentuh hasil operasi, dan mandibula dikembalikan ke posisi
normal.
12. Operasi selesai.

63
D. POST OPERASI TONSILEKTOMY
 Pasang kalung es sampai dengan jam 19.00 WIB
 Minum es krim sedikit-sedikit mulai jam 17.00 WIB
 Besok pagi diit TKTP bubur cair
 Es teh sedikit-sedikit mulai jam 20.00 WIB
 Ampicillin 3 x 1 gram iv ( untuk dewasa )
 Vit K 3 x 1 amp iv ( untuk dewasa )
 Dexametason 3 x 1 amp iv ( untuk dewasa )
 Novaldo 3 x 1 amp iv ( untuk dewasa )
 Adona 10 cc drip dalam RL = 12 tetes / menit
 ParacetamolSyr 4 x 2 sendok( untuk anak-anak )
E. KODE ICD DIAGNOSIS DAN PROSEDUR TINDAKAN
Tulislah pada DMK 1A dan Resume akhir sebagai berikut :

1
DIAGNOSIS DIAGNOSIS KODE
/PROSEDUR
Dx. Utama Chronic tonsilitis J 35.0
Dx. Sekunder 1 Haemorhagic & T 81.0
haematoma
compliction a procedur
Dx. Sekunder 2 Chronic pharyngitis J 31.2
Prosedur 1 Tonsilectomy 28.3
Prosedur 2 Control of haemorhagic 28.7
/ hecting
Prosedur 3 Other excision / kauter 29.39

64
F. PERAWATAN POST OPERASI TONSILEKTOMY

Pada pasien tonsilektomi dengan general anesthesia, segera sesudah


operasi penting dijaga kelancaran jalan napas, antara lain :

1. Pasien dijaga dan di observasi mulai endotrakeal tube dilepas


sampai dengan keluar dari ruangan observasi.
2. Keluarga pasien diberi KIE, untuk pemasangan kalung es, cara
pegang jari tangan ( bersalaman ) yang dipasang infus, dll.
3. Sampai pasien dapat batuk spontan, daerah laring dan faring
harus dijaga tetap bersih dari darah atu muntahan.
4. Kepala pasien dimiringkan ke satu sisi, dengan “artificial airway /
mayo” tetap didalam mulut.
5. Waktu membawa pasien keluar dari kamar operasi menuju ke
ruangan / ICU, pegang mandibula kedepan, supaya dasar lidah
tidak jatuh pada dinding faring.
6. Tempatkan suction dengan kateter yang dapat melewati “mayo”,
bila sewaktu-waktu diperlukan untuk membersihkan di jalan
napas.

Pencatatan denyut nadi pasien dilakukan pada :

1. Dua jam pertama dicatat tiap 15 menit


2. Empat jam berikutnya dicatat tiap 30 menit
3. Enam jam berikutnya dicatat tiap 60 menit
4. Dua belas jam berikutnya dicatat tiap 4 jam
5. Untuk selanjutnya dicatat tiap 6 jam

Adanya peningkatan denyut nadi dicurigai perdarahan sehingga


perlu di cek luka operasinya. Gerakan menelan yang berulang
terutama pada pasien setengah sadar menunjukkan perdarahan
yang ditelan.

65
Bunyi pernapasan yang tidak bersih menunjukkan adanya udara
yang melalui cairan dan darah. Kalung es yang diletakkan di leher
bagian kiri dan kanan (regio submandibula) akan mengurangi rasa
sakit dan perdarahan dari fossa tonsilaris. Sesudah pasien sadar,
diberikan es krim yang ditelan cair pelan-pelan 6 jam paska bedah.

Selama 5 hari pertama paska bedah diberikan diit cair / lunak,


hindari makanan yang panas, keras, pedas dan yang masam. Makanan
/ minuman yang masam akan menyebabkan rasa panas / terbakar
pada luka operasi. Pasien dapat control kembali hari ke 6 paska bedah.

Penyembuhan biasanya terjadi pada hari ke 10 sampai ke 15,


dimulai dari proses hemostasis pada fossa tonsilaris dengan
pembentukan “hemostatic plug” / beslag. Setelah putusnya
pembuluh darah kecil, platelet dari darah menempel mengeluarkan
sub-endotelial collagen fibrils, bersama-sama platelet lainnya
membentuk semacam kapsul yang melapisi permukaan luka.

Kemudian terjadi retraksi platelet yang bersamaan, hemostatic


plug ini merupakan penyembuhan sementara pembuluh darah yang
terpotong dan masih mudah berdarah / terlukai.

Hemostatic plug diperkuat dengan pembentukan serabut-serabut


fibrin oleh thrombin dengan pengaruh proses pembentukan darah. Lalu
tebentuk lapisan fibrin skeleton yang secara mekanis cukup kuat.
Disamping pengendapan fibrin yang dipengaruhi proses pembekuan,
mekanisme dasar lainnya untuk proses penyembuhan luka adalah
fibrinolisis. Serabut-serabut fibrin dilarutkan oleh aktivitas enzim
proteolitik yang disebut plasmin.

Jadi pada tonsilektomi, terbentuk beslag putih pada fossa tonsilaris


sebagai proses penyembuhan luka dan merupakan lapisan fibrin. Luka
operasi dinyatakan sembuh bila lapisan fibrin / beslag putih tersebut
sudah hilang, dan warna sudah sama dengan jaringan sekitarnya.

66
G. KOMPLIKASI POST OPERASI TONSILEKTOMY

Yang sering adalah perdarahan, bisa primer bila terjadi dalam 24


jam pertama paska bedah, ataupun perdarahan sekunder bila terjadi
setelah>24jam. Gardner menyimpulkan bahwa dengan posisi Rose,
fossa tonsilaris bagian bawah lebih jelas tapi kemungkinan dapat
melukai arteri fasialis saat dijahit, yang dapat mengakibatkan
perdarahan sekunder berulang.

Komplikasi lain adalah kerusakan / perlukaan uvula, palatum mole,


lidah, dinding faring, gigi, fraktur procesus styloideus, otitis media,
phlegmon pada leher, atelektasis, bronchitis, pneumonia, abses paru,
meningitis, abses otak, cavernosus sinus thrombosis, emfisema
mediastinalis, dan komplikasi dari anesthesinya sendiri. Emfisema
mediastinalis terjadi karena udara melalui fossa tonsilaris yang
terbuka, masuk kedalam facial planes dari leher, sepanjang trachea
terus masuk kedalam mediastiinum.

5.2 SOP POLIP EKSTRAKSI


B. OBAT-OBAT PRE OPERASI POLIP EKSTRASI
R/ Ampicilin 1 gr inj No. III
Aquabides 25 cc No. I
Dexametason inj No. III
Vitamin K inj No. III
Novaldo inj No. III
Spuit 10 cc No. III
Spuit 1 cc No. III
RL flas No. I
Tranfusi Set No. I
Medicut nomor 16/20 No. I
S I.m.m
R/ Adona 10cc inj No. III
SI.m.m
R/ Pehacain 2cc inj No. V
SI.m.m

67
C. PENULISAN DI STATUS RAWAT NGINAP
Lengkapi pada saat tanggal MRS antara lain :
1. Status Pemeriksaan / LokalisDMK 2saat tanggal MRS.
2. Lembar putih HarianDMK 4saat tanggal MRS.
3. Lembar merah TerapiDMK 4a : tulis terapi yang diberikan untuk pre
operasi saat tanggal MRS.
4. Selanjutnya lengkapi data setelah operasi pada Lembar putih Harian
DMK 4dan Lembar merah Terapi DMK 4a.
5. Tanggal dan jam dilengkapi semua.
D. OPTEK POLIP EKSTRASI
1. Pasang kapas anastesi lidokain efedrin 1% di kavum nasi selama 10
menit.
2. Bila dengan lokal anastesi, penderita dengan posisi duduk.
3. Kapas anastesi dilepas dari kavum nasi.
4. Senar polip disusupkan pada fundus polip sampai ke tangkainya,
kemudian dirapatkan.
5. Polip ditarik seperti menarik ketela /singkong, sehingga polip terlepas.
6. Perdarahan di rawat dengan suction dan sprotjes efedrin 1 % - lidokain
1 %, atau pehacain 1 % ( pehacain 2 % diencerkan dalam aquadest ).
7. Evaluasi kavum nasi, bila masih ada polip, maka di ambil dengan
forsep Blakesly sampai bersih.
8. Dilakukan Intranasal antrotomy / Irigation maxillary sinus yang sakit.
9. Dilakukan Other turbinectomypada konka inferior yang hipertrofi.
10. Pasang tampon kemicetine 10 % pada kavum nasi yang dioperasi.
11. Pasang tampon selama 3 hari.
12. Setelah pasang tampon, evaluasi perdarahan dan sisa polip.
13. Di evaluasi sudah tidak ada perdarahan.
14. Operasi selesai.
E. POST OPERASI POLIP EKSTRASI
 Lepas tampon hari ke 3
68
 Diit TKTP bubur cair
 Ampicillin 3 x 1 gram iv ( untuk dewasa )
 Vit K 3 x 1 amp iv ( untuk dewasa )
 Dexametason 3 x 1 amp iv ( untuk dewasa )
 Novaldo 3 x 1 amp iv ( untuk dewasa )
 Adona 10 ccDrip dalam RL
 Paracetamol Syr 4 x 2 sendok ( untuk anak-anak )
F. PERAWATAN POST OPERASI POLIP EKSTRASI
Diit TKTP bubur cair 3 hari sampai dengan tampon dilepas.

G. KODE ICD DIAGNOSIS DAN PROSEDUR TINDAKAN


Tulislah pada DMK 1 A dan Resume akhir sebagai berikut :

2
DIAGNOSIS DIAGNOSIS KODE
/PROSEDUR
Diagnosis Utama Nasal polyp J 33.9
Diagnosis Sekunder 1 Chronic maxillary sinusitis J 32.0
Diagnosis Sekunder 2 Hypertrophy of nasal J 34.3
turbinate
Prosedur 1 Local excision/ polip 21.31
ekstraksi
Prosedur 2 Intranasal antrotomy / 22.2
Irigationmaxillary sinus
Prosedur 3 Other turbinectomy 21.69
Prosedur 4 Control of epistaxis by 21.01
anterior nasal packing

69
BAB VI

JENIS OBAT – OBAT

6.1 OBAT – OBAT DI THT

OBAT-OBAT YANG SERING DIPAKAI DI POLI THT

Resep Umum
Analgesic NSAID =
Non Steroid Anti Inflamation Diseases dosis 25 Catatan :
mg, 50 mg

Dominan Anti Odem Dominan Anti Nyeri Bagaimana bila


Kalium / Potasium Natrium / Sodium obat yang
Diclofenac Diclofenac : diberikan sekaligus
- Osteoartritis berupa :
- Rheumatic Natrium
diseases
Diclofenac, Asam
- Bedah Orthopedic
- Myositis, dll mefenemat,
Cataflam ( Novartis ) Voltaren ( Geigy ) Deksamethasone
Eflagen ( Sanbe ) Divoltar ( Kalbe ) dan antasida
Nonflamin ( berisi Reclofen ( Combiphar ) selama 1 ( satu )
Tinoridin HCl dari Renadinac ( Fahrenheit ) bulan ?
Takeda ) Fakta : akan
Obat Kalium / Voltadex ( Dexa ) terjadi Steven
Potasium Diclofenac Dolofenec ( Merck ) Johnson’s
lainnya yang jarang Flamar ( Sanbe )
Sindroma,
dipakai THT :
Reflamid ( Kalbe ) mungkin pasien
X Flam ( Combiphar ) timbul alergi
Exaflam ( Guardian ) kombinasi obat
Merflam ( Mersi ) Natrium Diclofenac
dan
Asam mefenemat
yang diminum 1
bulan tsb.

70
Dominan Anti Odem Dominan Anti Nyeri
lainnya : lainnya :
Berisi Ketoprofen :
- Kaltrofen ( Kalbe )
- Profenid ( Aventis )
Berisi Metampiron 250mg,
500mg : Antalgin, untuk
Novalgin (ada sirup &
injeksi )
Berisi Metamizol : Norages
1000mg dalam 2 ml.
Berisi Asetaminofen :
Decolgen
Berisi Ketorolac
Trometamina
10mg,30mg/ml.injeksi :
Toradol Roche
Berisi Tramadol HCl
50mg / ml.injeksi :
Tradosik 2 ml. Sanbe

Obat Telinga

R/ Solutio Glyserin 50 % No.10 cc : S 6 dd gtt III telinga yang kotor, kepala


miring ke sisi sehat

R/ Forumen ear drop No. I : S 3 dd gtt III telinga yang kotor, kepala miring
ke sisi sehat.

R/ Otopain ear drop No. I : S 3 dd gtt III telinga yang sakit, kepala miring
ke sisi sehat 10 menit

R/ Tarivid ear drop No. I : S 3 dd gtt III telinga yang sakit, kepala miring
ke sisi sehat 10 menit

Obat Hidung

R/ Solutio glukosa 5% - HCl Efedrin 1 % No.5cc

S 3 dd gtt.II hidung kanan dan kiri

Flutamol Plus cpl dan syrup ( Isi : Parasetamol 500mg, Phenylpropanolamine


HCl 15mg, Chlorpheniramin maleate 1 mg, Dextromethorphan HBr 15mg ).
Flutamol saja : tanpa Dextromethorphan HBr. Kontraindikasi : hipertensi,
diabetes, glukoma, gondok, gangguan jantung / fungsi hepar / ginjal. Efek
samping : ngantuk, mual, muntah, konstipasi, sedasi.

71
Tremenza tab. ( Isi : Pseudoefedrin HCl 60mg, Tripolidina HCl 2,5mg )

Alloris tab. ( Isi : Loratadin 10 mg, diberikan tiap pagi 1 karena efek 12
jam ). Indikasi : Rinitis alergi, urtikaria kronik, dermatitis alergi, rasa gatal
pada hidung dan mata, rasa terbakar pada mata.

Iliadin drop nasal 0,025 % untuk bayi;

Iliadin spray nasal 0,05 % untuk dewasa.

Otrivin nasal drop 0,05 % untuk anak.

Otrivin nasal drop 0,1 % untuk dewasa.

ISI FEXOFENADINE PSEUDOEFEDRIN KETERANGAN


HCL HCL ( ER )

Telfast Plus 60 mg 120 mg Tak boleh


diberikan pada
( artinya Plus hipertensi, dan
Pseudoefedrin glaucoma, karena
HCl ) obat dapat
menaikkan
tekanan darah.

Telfast OD 120 mg Tidak ada Boleh diberikan


pada hipertensi,
(= One Day ) glaucoma.

Obat Tenggorok

Hexadol non alcohol gargle mouth No.I : 3 dd c1 kumur

Betadin gargle mouth No.I : 3 dd c1 kumur

Cara pakai obat kumur : di kumur selama 5 detik saja, dikumur selama 3
hari ( pagi, siang dan malam ), 3 hari berhenti. Bila ada keluhan, pakai 3
hari, 3 hari berhenti, selanjutnya kontrol ke Dokter THT bila belum membaik.

Antibiotika

Amoksisilin tab 250mg, 500mg. Sediaan paten Amoksisilin : Amoxan, dan


sirup biasa ( 125 mg/5 ml ), sirup Forte ( 250mg/5ml ).

( Dosis 10 mg/kb.BB/kali pemberian, 1 hari 3 x )

72
Cefadroksil tab 250mg, 500mg, dan sirup biasa ( 125 mg/5 ml ), sirup Forte
( 250mg/5ml ). Sediaan paten Cefadroksil : Cefat, Qidrox, Pyricef. ( Dosis 10
mg/kb.BB/kali pemberian, 1 hari 2 x )

Ciprofloxacin tab 25mg, 500mg. Sediaan paten Ciprofloxacin : Volinol.

( Dosis 10 mg/kb.BB/kali pemberian, 1 hari 2 x ). Tak boleh diberikan pada


anak umur < 12 tahun, karena dapat menyebabkan depresi sumsum tulang
yang mempengaruhi produksi sel-sel darah.

Clindamycin cps 150mg, 300 mg. Sedian patennya : Climadan

( Dosis 6 mg/kb.BB/kali pemberian, 1 hari 3 x )

Metronidazole tab.250mg, 500mg

Analgetik :

Cataflam 25mg, 50 mg

Eflagen 25mg, 50 mg

Non flamin 25mg, 50 mg

( 3 obat analgesik tsb. dosis 1 mg/kb.BB/kali pemberian, 1 hari 3 x )

Novalgin / Novaldo injeksi. Isi : Metampiron 250mg, 500mg

Coditam cpl : isi Codein 30 mg dan Parasetamol 500 mg. Bila diberikan
Coditam diberikan juga Dulcolax tab malam hari, karena Codein
menyebabkan konstipasi.

Kortikosteroid

Reaksi segera / short acting : Hidrokortison cream 2,5 %.

Reaksi sedang / intermediate acting : Prednison. Metil prednisolon : Prednox


dan Hexilon dosis : 4mg, 8 mg, 16mg, Somerol : 4mg dan 16 mg.

Reaksi lama / long acting : Deksametason tab 0,5mg; injeksi : 5mg/ml ( 1


ampul isi 1ml ). Sediaan paten : Cortidex.

Suplemen

Vitamin B complek, B1, dan B6. Vitamin A

Asthin Force 6 cpl. ( dari Herbal ) Isi antioksidan : 6.000 kali lebih kuat
dibanding vitamin C;550-1.000 kali lebih kuat dibanding vitamin E, 40 kali
lebih kuat dibanding beta caroten / vitamin A.

73
Imunomodulator ada caplet dan sirup : Imudator, Imboost Force.

Neurotropik : Neurosanbe tsb

Vasodilator perifer : Rotaver tab

Lain-lain : Trombofob gel

Avil ( anti alergi )

Obat Askes, BPJS,Jamkesmas, Jamkesda

Bioalergi tab ( untuk flu )

Betahistin Mesylate tab 5 mg ( Vasodilator perifer )

Neutropik : Neurodex tab, Sohobion tab

Interhistin tab ( untuk gatal, flu )

Renadinac tab 25 mg, 50 mg ( Analgetik NSAID anti nyeri : isi Natrium /


Sodium Diclofenac )

Otopraf ear drop, Sofradex ear drop

Papaverin tab.

Demacolin tab 250 mg, 500 mg, dan syrup, berisi :

- Parasetamol 500 mg
- Klorferamin maleat 2 mg
- Pseudoefedrin HCl 7,5 mg
- Kafein 10 mg
Indikasi : meringankan gejala flu seperti demam, sakit kepala, demam,
hidung tersumbat dan bersin-bersin.

Paratusin tab 250 mg, 500 mg, dan syrup, berisi :

- Parasetamol 500 mg
- Klorferamin maleat 2 mg
- Phenylpropanolamin HCl 15 mg
- Noscapine 10 mg : untuk tekan batuk / antitusif
- Glyseril guaicolat 50 mg
Indikasi : meringankan gejala flu seperti demam, sakit kepala, demam,
hidung tersumbat, bersin-bersin, dan batuk.

74
6.2 JENIS ANTIBIOTIKADI BIDANG THT

GOLONGAN JENIS OBAT KLASIFIKASI OBAT SENSITIF TERHADAP


KUMAN
BETALAKTAM Penicillin Narrow Spectrum
- Penicilin G
- Prokain Penicilin
- Benzatin Penicilin
- Fenoksimetil
Penicilin
Antistafilokokus
- Metisilin
- Kloksasilin
- Flikoksasilin
Broad Spectrum
- Ampisilin
- Amoksisilin
Anti Pseudomonas
- Tikarsilin
- Sulbensilin
- Karbensilin
Inhibit Betalaktam - Staphylococcus
- Sulbaktam Aureus
- Asam klavulanat - Nisseria Gonorhea
- Haemophilus
Influenza
- B. Fragilis
Karbapenem Dikombinasi dengan - Enterobacter
inhibitor peptidase - Pseudomonas
(silastin) Aeroginosa.
- B. Fragilis
- Kokus anaerob
gram positif

75
GOLONGAN JENIS OBAT KLASIFIKASI OBAT SENSITIF TERHADAP
KUMAN
Sefalosporin Generasi I - Escherichia colli
- Sefalosporin - Klebsiella
- Sefradin
- Sefazolin
- Sefalexin
Generasi II Stabil terhadap
- Sefamandol betalaktam.
- Seforoksin - Proteus SP
- Citrobacter
- Enterobacter
- B. Fragilis
Generasi III Stabil terhadap enzim
- Sefotaxim betalaktam. Menembus
- Seftriakson SSP.
- Seftazidim - Pseudomonas
- Sefoperazon Aeroginosa
- Enterobacteriacene

AMINOGLIKOSIDA Streptomisin - Infeksi paru dan


Gentamisin selaput otak
Tobramisin - Infeksi bakteri
Amikasin gram negatif
- Pseudomonas
Aeroginosa
- Kuman yang
resisten terhadap
tobramicin
/gentamicin
KUINOLON Norfloksasin
Enoksasin
Spirofloksasin
Ofloksasin
MAKROLID Eritromisin - infeksi gram positif
Spiramisin - Mikroplasma
- Hipersensitif
penicilin
LINKOSAMID Linkomisin
Klindamisin
ANTI JAMUR Griseofulvin Dermatofibrosis
Nistatin Candida spp

76
Peka
Clavulanat

Gentamicin

Keterangan :
Klindamycin

Ciprofloxacin
Amoxicillin +
Metronidazole

Chloramfenicol
Staphylococcus aureus
(penicillinase –producing)
Staphylococcus epidemidis

Tidak peka
(penicillinase –and nin penicilinaseproducing)
Streptococci A/B/C Viridans
(exept S. Faecalis)
GRAM
POSITIF

Streptococcus pneumoniae
Staphylococcus saproticus
Enterococcus faecalis

*
AEROB

Echerichia coli

Gentamicin dan Chloramfenicol


Haemophilus Influenza
Klebsiella species, Klebsiella. Pneumonia,
Klebsiella oxytoca, Salmonella
Enterobacter species, Shigella
GRAM
NEGATIF

Proteus species
* Pseudomonas aeroginosa
Propionibacterium species

Tidak aktif pada beberapa strain


Eubacterium species
Peptococcus spesies
Peptosterptococcus species
Actinomyces species
GRAM
POSITIF

Mycroaerophylic sreptococci
KEPEKAAN TERAPI ANTIBIOTIK TERHADAP BAKTERI

Listeria monocytogenes
ANAEROB
GRAM

77
NEGATIF
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

78
6.3 SPEKTRUM / BAKTERI YANG SENSITIVE TERHADAP
CHLORAMPHENICOL

1. Bakteri Gram Negatif :


a. Haemophilus Influenza
b. Streptococcus Pneumonia
c. Salmonella Thypii
d. Brucella
e. Boedetella Pertusis
f. Pseudomonas
2. Bakteri Gram Positif :
a. Streptococcus Pyogenes
b. Streptococcus Pneumoniae
c. Staphylococcus Aureus
d. Klebsiella Pneumonia

6.4 CARA MENETESIOBAT SERUMENOLITIK

Cara menetesi tetes telinga Serumen Obsturan

( Obat Solutio Glyserin 50 % No. 10 cc )

1. Telinga yang kotor ditetesi sampai hanya lubang telinga penuh.


2. Untuk siang, sore, malam, telinga ditutup kapas agar cairan obat
tidak keluar telinga.
3. Bila pagi cuma ditetesi saja, tak perlu ditutup kapas.
4. Tetesi tiap 2 jam sekali bila tidak tidur.
5. Selama tidur cukup 1 kali saja, sebelum tidur.
6. Posisi tidur miring sehingga telinga yang sakit diatas.
7. Kontrol ulang minimal 1 minggu / sesuai petunjuk Dokter.

Cara menetesi tetes telinga Serumen Obsturan

( Obat Forumen ear drop )

1. Telinga yang kotor ditetesi 3 ( tiga ) tetes saja.


2. Untuk siang, sore, malam, telinga ditutup kapas agar cairan obat
tidak keluar telinga.
3. Bila pagi cuma ditetesi saja, tak perlu ditutup kapas.
4. Tetesi tiap 6 jam sekali bila tidak tidur.
5. Selama tidur cukup 1 kali saja, sebelum tidur.
6. Posisi tidur miring sehingga telinga yang sakit diatas.
7. Kontrol ulang minimal 4 hari / sesuai petunjuk Dokter.

79
6.5 DIIT MAKANAN
A. Yang tak boleh di konsumsi : A. Yang banyak di konsumsi :

1 Bakso 1 Wortel

2 Soda / Soft drink : Sprite, Fanta, 2 Pisang


Coca Cola dll

3 Jamu, obat stelan, jahe, kunir, 3 Sayuran hijau


temulawak

4 Es batu, Air es 4 Susu ( dapat Produgen )

5 Telur asin 5 Kacang hijau tanpa santan

6 Ikan asin A. Untuk penyakit :

7 Makanan kaleng, ciki bervitsin 1 Tinitus / mendenging /


grebek2 /angin mendesis

2 Prebyakusis ( usia tua )

3 Rinitis Alergi

4 Sinusitis Maksilaris Akut, Kronik

B. Yang tak boleh di konsumsi : B. Yang banyak di konsumsi :

1 Mie, Krupuk, Santan 1 Wortel

2 Bakso 2 Pisang

3 Soda / Soft drink : Sprite, 3 Sayuran hijau


Fanta, Coca Cola dll
4 Susu ( dapat Produgen )

4 Jamu, obat stelan, jahe, kunir, 5 Kacang hijau tanpa santan


temulawak B. Untuk penyakit :

5 Daging kambing 1 Faringitis Akut, Kronik

6 Es batu, Air es 2 Tonsilitis Akut, Kronik

7 Telur asin, Ikan asin 3 Laringitis Akut, Kronik

8 Makanan kaleng, ciki bervitsin 4 Stomatitis, Epistaxis

80
C. Yang tak boleh di konsumsi : C. Yang banyak di konsumsi :

1 Telur 1 Wortel

2 Krupuk 2 Pisang

3 Ikan laut 3 Sayuran hijau

4 Santan 4 Susu ( dapat Produgen )

5 Bumbu kacang pecel 5 Kacang hijau tanpa santan

6 Coklat C. Untuk penyakit :

7 Bakso 1 Otitis Eksterna

8 Soda / Soft drink : Sprite, 2 Furunkel MAE


Fanta, Coca Cola dll

9 Jamu, obat stelan, jahe, kunir, 3 Othematoma ( bekuan darah di


temulawak aurikel / daun telinga )

10 Daging kambing 4 Otitis Media Akut & Kronik

11 Es batu, Air es 5 Fistel Pre Aurikularis

12 Telur asin 6

13 Ikan asin 7

14 Makanan kaleng, ciki bervitsin 8

81
6.6 DIIT POST OPERASI
UNTUK POST OPERASI :

1. Tonsilektomy ( amandel )
2. Polip ektraksi
3. Fraktur os nasale
4. Dan lain- lain sesuai indikasi

PERAWATAN DIRUMAH :

1. Makan bubur cair : jenang sumsum, bubur kacang hijau

2. Bubur cair SUN aneka rasa penambah gizi

3. Roti manis yang dicelupkan ke susu

4. Agar –agar /pudding

5. Pisang yang sudah dihaluskan

6. Pepaya

7. Banyak minum susu, teh manis

8. Telur setengah matang

9. Madu murni

YANG TIDAK BOLEH DIMAKAN:

1. Mie goreng, mie instan , nasi goreng, pedas-pedas

2. Kecut-kecut, jeruk kecut, rujak

3. Kasar-kasar seperti : krupuk, peyek, kacang goreng, kacang rebus.

4. Soda / soft drink, bakso , ciki-ciki bervitsin

5. Air es / es krim ( Hari kedua setelah operasi tidak boleh, karena akan
berakibat batuk- batuk berulang dan demam ).

82
BAB VII

KESIMPULAN
1. Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan tubuh pasien secara keseluruhan
atau hanya bagian tertentu yang di anggap perlu, untuk memperoleh data
sistematis dan komperehensif,memastikan/ membuktikan hasil anamnesa,
menentukan diagnosa dan pengobatan yang tepat.
2. Untuk dapat menegakkan diagnosa suatu penyakit / kelainan di telinga,
hidung dan tenggorok diperlukan kemampuan untuk melakukan anamnesa
dan keterampilan melakukan pemeriksaan organ –organ tersebut.
Kemampuan ini merupakan bagian dari pemeriksaan fisik bila terdapat
keluhan dan gejala yang berhubungan dengan daerah kepala dan leher.
3. Setelah penyakit terdiagnosa, maka tindakan yang selanjutnya dilakukan
adalah menentukan terapi yang tepat sesuai,baik dari jenis antibiotik,
jenis maupun indikasi dan kontraindikasi serta perlu tidaknya dilakukan
tindakan operasi. Sebelum dan sesudah melakukan tindakan operasi, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan seperti :diit makanan sebelum dan
sesudah operasi. Pencegahan supaya tidak terjadi kekambuhan juga
penting di beritahukan kepada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Siregar P. Otogenic Meningitis (Berita mengenai 21 penderita)


Otorhinolaryngologica Indonesia 1975. 1 : 25.
2. Wisnubroto. Otogenic Meningitis. Kumpulan Naskah Ilmiah Konas V
Perhati. Semarang, 1977 : 89-95.
3. Wisnubroto, Sri Rukmini, Supriyadi. Komplikasi Intra Kranial Akibat Otitis
Media Kronika. Mini Simposium RSUD Dr.Soetomo Surabaya,1981: 8-18.
4. Teti Mediadipoera, Iwin Sumarwan, Empu Driyanto. Komplikasi Intra
Kranial Pada Mastoiditis Kronika. Dalam : Sardjono S, Wisnubroto,

83
Adriani I dkk, eds. Kumpulan Naskah Ilmiah VII Perhati. Surabaya,
1983 : 198-209.
5. Dindy Samiadi. Kelainan-Kelainan Mastoid Dan Telinga Tengah Pada
Beberapa Pasien Dengan Otogenik Meningitis. Dalam : Sedjawidada,
Gozal, Anton M dkk, eds. Kumpulan Naskah Ilmiah VIII Perhati.
Ujungpandang, 1986 : 381-8.
6. Zainul A.D, Sosialisman, Helmi, Hatmansyah. Otitis Media Supurativa
Kronik Dengan Abses Intrakranial (Diagnosis dan Penatalaksanaan)
Dalam : Sedjawidada, Gozal, Anton M dkk, eds. Kumpulan Naskah Ilmiah
VIII Perhati. Ujungpandang, 1986 : 413-24.
7. Soepriyadi, Wisnubroto. Penanganan Komplikasi Intra Kranial Akibat
Otitis Media Kronis Dengan Mastoiditis. Media IDI Surabaya 1994 : 7-11.
8. Wolfowitz BL. Otogenin Intracranial Complications. Arch Otolaryngol
1972; 96 : 220-22
9. Gaspersz MHP. Bakteriologi Otitis Media Dan Komplikasi Intrakranial.
Penanggulangan Komplikasi Intra Kranial Akibat Otitis Media Kronika.
Kumpulan penelitian F.K.UNAIR/RSUD Dr.Soetomo Surabaya,1981 : 1-7.
10. Shambaugh DE. Meningeal Complication Of Otitis Media. Surgery Of The
Ear. 3th ed. Philadelphia : WB Saunders Company, 1980 : 289-302.
11. Stuart EA, O’Brien FH. McNally WJ. Some Observations On Brain Abcess.
Arch Otolaryngol 1966; 61 : 212-16.
12. Samuel J, Fenzandes CMC, Steinberg JL. Intracranial Otogenic
Complications : A Persisting Problem. Laryngoscope 1986; 96 : 272-8.
13. Lokakarya Penguatan Kapasitas Dosen Pembimbing Klinik tanggal
7 s/d 8 Juni 2013 di UNISMA Malang.
14. Pelatihan OSCE tanggal 27 Agustus 2013dan Penguji OSCE di UNISMA.
15. Presentasi Blangko Penilaian Dokter Muda oleh Dr. Dian Suprojo, Sp.THT
RSD Kanjuruhan Kepanjen di forum Dekan UNISMA, yang selanjutnya
diaplikasikan di semua bagian Lab / SMF tempat pendidikan UNISMA.

84
REFERAT DM PERIODE S/D
5 : amat baik, 4 : baik, 3 : cukup, 2 : kurang, 1 : jelek
PAPER / Pa
A. PENGUASAAN MATERI

NILAI BOBOT HASIL


1. Definisi / batasan :54321 1
2. Patofisiologi :54321 1
3. Anamnesa :54321 1
4. Pemeriksaan klinis :54321 1
5. Penatalaksanaan :54321 1
6. Komplikasi :54321 1

B. PENULISAN MAKALAH NILAI BOBOT HASIL


1. Sistimatika penulisan :54321 1
JUMLAH
NILAI = JML / 35 X 100 =

PRESENTASI / Pr
A. PENYAJIAN NILAI BOBOT HASIL
( PRESENTASI SKILL )
1. Bahasa :54321 1
2. Power point :54321 1
3. Penampilan :54321 1
4. Diskusi / Tanya Jawab :54321 1
JUMLAH
NILAI = JML / 20 X 100 =

85
LAPSUS DM PERIODE S/D

5 : amat baik, 4 : baik, 3 : cukup, 2 : kurang, 1 : jelek


PAPER / Pa
A. KETRAMPILAN NILAI BOBOT HASIL
1. Anamnesa :54321 1
2. Pemeriksaan klinis :54321 2
3. Resume :54321 1
4. Status ( keseluruhan ) :54321 1

B. KEMAMPUAN PENALARAN NILAI BOBOT HASIL


1. Masalah / diagnosa :54321 2
2. Penatalaksanaan :54321 2
3. Komplikasi :54321 1
4. Prognosa :54321 1

C. PENGETAHUAN TEORI NILAI BOBOT HASIL


1. Patofisiologi kelainan pasien :54321 2
JUMLAH
NILAI = JML / 65 X 100 =

PRESENTASI / Pr
A. PENYAJIAN NILAI BOBOT HASIL
( PRESENTASI SKILL )
1. Bahasa :54321 1
2. Power point :54321 1
3. Penampilan :54321 1
4. Diskusi / Tanya Jawab :54321 1
JUMLAH
NILAI = JML / 20 X 100 =

86
UJIAN KASUS DM PERIODE S/D

5 : amat baik, 4 : baik, 3 : cukup, 2 : kurang, 1 : jelek

A. KETRAMPILAN NILAI BOBOT HASIL

1. Anamnesa :54321 1

2. Pemeriksaan klinis :54321 2

3. Resume :54321 1

4. Status ( keseluruhan ) :54321 1

B. KEMAMPUAN PENALARAN NILAI BOBOT HASIL

1. Masalah / diagnosa :54321 2

2. Penatalaksanaan :54321 2

3. Komplikasi :54321 1

4. Prognosa :54321 1

C. PENGETAHUAN TEORI NILAI BOBOT HASIL

1. Patofisiologi kelainan pasien :54321 2

JUMLAH

NILAI = JML / 65 X 100 =

UJIAN SKILL DM PERIODE S/D

5 : amat baik, 4 : baik, 3 : cukup, 2 : kurang, 1 : jelek

A. KETRAMPILAN NILAI BOBOT HASIL

1. Anamnesa :54321 1

2. Pemeriksaan klinis :54321 2

87
3. Resume :54321 1

4. Status ( keseluruhan ) :54321 1

B. KEMAMPUAN PENALARAN NILAI BOBOT HASIL

1. Masalah / diagnosa :54321 2

2. Penatalaksanaan :54321 2

3. Komplikasi :54321 1

4. Prognosa :54321 1

C. PENGETAHUAN TEORI NILAI BOBOT HASIL

1. Patofisiologi kelainan pasien :54321 2

2. MCQ / Multi Choice Question 0,1

JUMLAH

NILAI = JML / 75 X 100 =

LEMBAR PENILAIAN MINI CLINICAL EXAMINATION LAPORAN KASUS


NAMA : DM PERIODE S/D
TANGGAL :
DIAGNOSIS :
RUANGAN : Rawat Jalan / Poliklinik Rawat nginap IGD
BOBOT : Amat baik = 5, Baik = 4, Cukup = 3, Kurang = 2, Jelek = 1

PAPER / Pa
A. KETRAMPILAN NILAI BOBOT HASIL
1. Anamnesa :54321 1
2. Pemeriksaan klinis :54321 2
3. Resume :54321 1
4. Status ( keseluruhan ) :54321 1

B. KEMAMPUAN PENALARAN NILAI BOBOT HASIL


1. Masalah / diagnosa :54321 2

88
2. Penatalaksanaan :54321 2
3. Komplikasi :54321 1
4. Prognosa :54321 1

C. PENGETAHUAN TEORI NILAI BOBOT HASIL


1. Patofisiologi kelainan pasien :54321 2
JUMLAH
NILAI = JML / 65 X 100 =

PRESENTASI / Pr
A. PENYAJIAN NILAI BOBOT HASIL
( PRESENTASI SKILL )
1. Bahasa :54321 1
2. Power point :54321 1
3. Penampilan :54321 1
4. Diskusi / Tanya Jawab :54321 1
JUMLAH
NILAI = JML / 20 X 100 =

UMPAN BALIK TERHADAP KOMPETENSI KLINIK


Sudah bagus Perlu perbaikan

Action plan yang disetujui bersama :

CATATAN :
1. Waktu Mini-Cex : Observasi = 30 menit. Memberikan umpan balik = 30 menit.
2. Kepuasan Penilai terhadap Mini Clinical Examination :
Rendah  1 - 2 - 3 - 4 - 5 - 6 - 7 - 8 - 9  Tinggi
3. Kepuasan Dokter Muda terhadap Mini Clinical Examination :
Rendah  1 - 2 - 3 - 4 - 5 - 6 - 7 - 8 - 9  Tinggi

…………. , tgl. ………………………………….


Dosen Pembimbing Klinik
89
Dr.

NAMA :DM PERIODE S/D

REFERAT LAPSUS NS = NILAI AKHIR


Pa Pr Pa Pr NF UK US (UK+US)/2 ANGKA HURUF

NF X Y=NF+X NA
( Pa+Pr dari Referat dan
Lapsus ) / 4 NS X 2 NF+(NSX2) Y/3

NILAI DM ...……., tgl. ……………..


= / > 80 A Dosen Pembimbing Klinik
70-79 B
60-69 C
50-59 D
< 50 E Dr.

90
ChecklistUntuk Evaluasi Latihan Pembimbing Melakukan
Bed Side Teaching / Laporan Kasus Rawat Jalan / Rawat Nginap
Nama DM :..................................................Tanggal :..................................................
Laporan Kasus :...........................................................................................................................

Ya / Masukan
Aspek yang dinilai Tidak ( Cukup / Baik / Sangat baik )
A. Memberikan briefing kepada mahasiswa Ya ( Cukup / Baik / Sangat baik )
B. Menyiapkan pasien Ya ( Cukup / Baik / Sangat baik )
D. Berhadapan dengan pasien
a. Observasi mahasiswa, atau Ya ( Cukup / Baik / Sangat baik )

b. Memberikan demonstrasi
Ya ( Cukup / Baik / Sangat baik )
D. Melakukan Debriefing Ya ( Cukup / Baik / Sangat baik )
E. Diskusi lebih lanjut ( Alokasi one-minute precertoship )
1. Get Commitment ( meminta mahasiswa
memaparkan apa yang diperlukan atau
yang telah dilakukan ). Ya ( Cukup / Baik / Sangat baik )
2. Probe For Supporting Evidence Ya ( Cukup / Baik / Sangat baik )
( menanyakan alasan /bukti pendukung ).
3. Reinforce what was Right ( memberikan
penguatan apa yang sudah dilakukan
dengan baik ). Ya ( Cukup / Baik / Sangat baik )
4. Correct Mistakes ( mengkoreksi kesalahan Ya ( Cukup / Baik / Sangat baik )
yang dilakukan mahasiswa ).
5. Teaching General Rules ( menyampaikan
prinsip umum yang perlu diketahui
mahasiswa ). Ya ( Cukup / Baik / Sangat baik )

Total Ya = 10 (Cukup / Baik / Sangat baik )=

91
RESUME KEGIATAN DM .......................................................
MINGGU KE I TANGGAL TEST PEMERIKSAAN THT

1.
2.3.4.5.
s/d

MINGGU KE II TANGGAL REFERAT

s/d

MINGGU KE III TANGGAL LAPORAN KASUS

s/d

MINGGU KE IV TANGGAL UJIAN KASUS METODE OSCE

1.2.
3.4.
s/d
5.
6.
7.

MINGGU KE V TANGGAL UJIAN SKILL

1.
2.
s/d
3.
4.
5.
6.

7. MCQ = Multi Choice Question

92
MATERI BIMBINGAN
TELINGA HIDUNG TENGGOROK

LABORATORIUM ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK


RSUD MARDI WALUYO KOTA BLITAR
TAHUN 2016

93
DAFTAR ISI
1. ANATOMI TELINGA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 93

1.1 PEMBAGIAN TELINGA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 93

1.2 ETIOLOGI TINITUS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 93

1.3 POTONGAN KOKLEA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 94

1.4 SKALA VESTIBULI, MEDIA DAN TIMPANI . . . . . . . . . . . . . . 95

1.5 FISIOLOGI PENDENGARAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 95

1.6 HANTARAN SUARA MELALUI TELINGA. . . . . . . . . . . . . . . . . 96

1.7 PENYEBAB KETULIAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 96

2. FLOW CHART DETEKSI DINI KETULIAN. . . . . . . . . . . . . . . . . 97

1. PENDAHULUAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . … 97

1.1 LATAR BELAKANG. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . … 97

1.2 RUMUSAN MASALAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 97

1.3 TUJUAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 97

1.4 MANFAAT . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 97

2 TINJAUAN PUSTAKA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 98

2.1 BUNYI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 98

2.2 PENGHANTARAN ENERGI SUARA PADA TELINGA TENGAH. . .. 99

2.2.1 Peran Telinga Luar pada Penghantaran Bunyi. . . . . . . 99

Fungsi
2.2.2 Telinga Tengah dalam Penghantaran Bunyi. . . . . . . … 99

2.3 PENGARUH KELAINAN TELINGA TENGAH TERHADAP


PENDENGARAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 100

2.4 TULI KONGENITAL. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 101

2.4.1 Definisi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 101

2.4.2 Epidemiologi Tuli Kongenital . . . . . . . . . . . . . . . . .. 101

2.4.3 Dampak Tuli Kongenital . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 101

94
2.4.4 Yang perlu Diperhatikan dalam Gangguan
Pendengaran dan Ketulian pada Anak . . . . . . . . . . . 101

2.4.5 Perlunya Alat OAE dalam Deteksi Tuli Kongenital . . . 102

2.4.6 Perlunya Habilitasi Sejak Dini / Usia 6 bulan . . . . . .. 102

2.4.7 Cara Habilitasi Dini dan Cepat . . . . . . . . . . . . . . . .. 102

2.4.8 Anjuran WHO Dan Sound Hearing 2030 Terhadap


Tuli Kongenital. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 102

2.4.9 Flow Chart Deteksi Dini Tuli Kongenital. . . . . . . . . . 102

2.4.10 Faktor Penyebab Tuli Kongenital. . . . . . . . . . . . . . . 106

2.4.11 Jenis Tuli Kongenital. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 107

2.4.12 Sindroma Menyertai Tuli Kongenital. . . . . . . . . . . . . 107

2.4.13 Pemeriksaan Baku Emas. . . . . . . . . . . . . . . . . . . … 108

2.4.14 Pencegahan Tuli Kongenital. . . . . . . . . . . . . . . . . .. 109

2.4.15 Masalah yang Dihadapi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . … 109

2.4.16 Upaya Preventif / Sosialisasi. . . . . . . . . . . . . . . . .. 109

3. PENUTUP. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 110

3.1 KESIMPULAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 110

3.2 SARAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 110

4. DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 110

3. SISTEM KOKLEA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 111

3.1 ANATOMI FISIOLOGI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . … 111

3.1.1 Telinga Luar. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 111

3.1.2 Telinga Tengah. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 112

3.1.3 Telinga Dalam . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 113

95
3.2 OTITIS MEDIA AKUT. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 118

3.2.1 Definisi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 118

3.2.2 Etiologi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 119

3.2.3 Patofosiologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 119

3.2.4 Stadium OMA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 120

3.2.5 Manifestasi Klinis. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 121

3.2.6 Terapi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 122

3.2.7 Komplikasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . … 122

3.2.8 Pemeriksaan Diagnostik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 123

3.2.9 Pencegahan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 123

3.3 RINITIS AKUT. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . … 123

3.3.1 Definisi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 123

3.3.2 Epidemiologi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 124

3.3.3 Klasifikasi Dan Etiologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 124

3.3.4 Stadium Rinitis Akut . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 125

3.3.5 Manifestasi Klinis. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . … 126

3.3.6 Patofisiologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 126

3.3.7 Diagnosis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . … 126

3.3.8 Penatalaksanaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 126

3.3.9 Pencegahan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 127

3.3.10 Komplikasi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 127

3.3.11 Prognosis. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . …. 127

4. DAFTAR PUSTAKA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . … 127

96
4. PUSAT BAHASA DAN BICARA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 128

4.1 PUSAT BAHASA DAN BICARA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 128

4.2 FUNGSI TELINGA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 129

4.2.1 Fungsi Dari Membrara Timpani Dan System Osikular. 130

4.2.2 Batasan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 131

5. PERKEMBANGAN BAHASA DAN BICARA NORMAL. . . . . . . . .. 131

5.1 PERKEMBANGAN PRA-LINGUISTIK. . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 131

5.2 PERKEMBANGAN LINGUISTIK. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 132

6. SKRINING DOKTER. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 133

7. GANGGUAN BAHASA DAN BICARA PADA ANAK . . . . . . . . . .. 134

7.1 GANGGUAN PENDENGARAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 134

7.2 GANGGUAN SUARA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 135

7.3 PALATOSKISIS. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 135

7.4 GAGAP. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 136

7.5 GANGGUAN TINGKAH LAKU / EMOSIONAL . . . . . . . . . . . . . 136

7.6 CEREBRAL PALSY. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . … 136

7.7 KETIDAKMAMPUAN BICARA SPESIFIK . . . . . . . . . . . . . . . . 137

7.8 RETARDASI MENTAL. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 137

7.9 GANGGUAN ARTIKULASI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 137

8. GANGGUAN BAHASA DAN BICARA PADA DEWASA . . . . . . … 138

8.1 GANGGUAN SUARA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 138

8.2 GANGGUAN FUNGSIONAL VERSUS ORGANIK . . . . . . . . . . 138

8.3 PARAMETER VOKAL ( TINGGI NADA, KEKERASAN DAN


KUALITAS ) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 139

97
9. TERAPI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 139

9.1 TERAPI SUARA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 139

9.2 EFEK MEKANIS LARINGEKTOMI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 140

9.3 CARA MEMAKAI SUARA ESOFAGU. . . . . . . . . . . . . . . . . . . 140

9.4 LARING ARTIFISIA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 140

9.5 PUNGSI TRAKEOESOFAGUS DAN PROSTESIS SUARA . . . . . 140

9.6 PERJALANAN TERAPI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 141

9.7 FAKTOR-FAKTOR YANG BERKAITAN DENGAN


KEBERHASILAN DAN KEGAGALAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . 141

10. GANGGUAN KOMUNIKASI LAINNYA. . . . . . . . . . . . . . . . . . 141

11. DISFUNGSI ORAL ATAU DISFAGIA. . . . . . . . . . . . . . . . . . 141

5. RINITIS ALERGI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 142

1. DEFINISI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 142

2. ETIOLOGI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 142

3. EPIDEMIOLOGI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 142

4. PATOFISOLOGI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 142

5. KLASIFIKASI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 144

6. KOMPLEKS OSTIOMEATAL (KOM ) . . . . . . . . . . . . . . . . . 145

7. SKEMA PATOFISIOLOGI RINITIS ALERGI . . . . . . . . . . . . . 146

8. DAFTAR PUSTAKA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 147

6. TONSIL. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 149

1. ANATOMI TONSIL. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 149

2. TONSIL PALATINA / FAUCIAL. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 149

2.1 EMBRIOLOGI TONSIL PALATINA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 150

2.2 VASKULARISASI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 150

2.3 ALIRAN GETAH BENING. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 150

98
2.4 INNERVASI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 150

2.5 IMUNOLOGI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 150

3. TONSILITIS KRONIS. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 151

3.1 DEFINISI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 151

3.2 EPIDEMIOLOGI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 151

3.3 ETIOLOGI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 152

3.4 FAKTOR PREDISPOSISI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 152

3.5 PATOFISIOLOGI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 153

3.6 GEJALA KLINIS. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 153

4. PENEGAKAN DIAGNOSIS. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 154

4.1 ANAMNESIS. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 154

4.2 PEMERIKSAAN FISIK. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 154

4.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 155

5. DIAGNOSIS BANDING. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 155

5.1 TONSILLITIS DIFTERI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 155

5.2 ANGINA PLAUT VINCENT ( STOMATITIS


ULSEROMEMBRANOSA ) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 156

5.3 FARINGITIS. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 156

5.4 FARINGITIS LEUTIKA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 157

5.5 FARINGITIS TUBERKULOSIS. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 157

6. PENATALAKSANAAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 157

6.1 MEDIKAMENTOSA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 157

6.2 OPERATIP. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 158

6.3 KOMPLIKASI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 161

7. PROGNOSIS. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 162

8. DAFTAR PUSTAKA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 162

99
1. ANATOMI TELINGA

1.1 PEMBAGIAN TELINGA

100
1.2 ETIOLOGI TINITUS
( Adams, Goerge L. Boies : Buku Ajar Penyakit THT / Boies Fundamentals Of
Otolaryngology, Edisi ke-6, Jakarta: EGC, 2008 )

101
1.3 POTONGAN KOKLEA
( Roeser RJ. Audiology Desk Reference. Thieme,
New York Stugart, 1996, p.15 )

102
1.4 SCALA VESTIBULI, MEDIA DAN TIMPANI

1.5 FISIOLOGI PENDENGARAN

103
104
105
2. FLOW
CHART DETEKSI DINI KETULIAN

1. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Tuli kongenital adalah gangguan pendengaran yang terjadi sejak lahir dan dapat
terjadi saat kehamilan dan saat persalinan. Penyebabnya adalah genetik dan non genetik.
Dimana jenis ketulian dapat sebagian dan total ( sama sekali tidak dapat mendengar ).
Bayi Tuli dapat tidak mendengar pada ambang dengar normal, dan dapat mendengar
pada ambang di atas 30-40 dB / lebih. Tuli kongenital merupakan masalah anak yang serius
karena akan menyebabkan gangguan perkembangan bicara dan berbahasa. Dampaknya tidak
hanya gangguan komunikasi tetapi bisa lebih luas yaitu pada kemampuan kognitif, perilaku,
social, akademik, dan kesempatan kerja.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Rumusan masalah dalam tinjauan pustaka ini adalah mendeteksi dini tuli kongenital,
serta penanganan dan pencegahannya.

1.3 TUJUAN
Tujuan penyusunan makalah ini untuk mengetahui flow chart deteksi dini tuli
kongenital, dampaknya serta penanganan dan pencegahannya.

1.4 MANFAAT
Manfaat penyusunan makalah ini agar kita bisa mendeteksi dini tuli kongenital dan
mengetahui cara penanganannya agar tidak menyebabkan dampak yang lebih parah.

106
107
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 BUNYI
Bunyi dihasilkan oleh suatu tenaga getaran dengan frekuensi dan amplitudo tertentu.
Frekuensi menentukan tinggi nada, satuannya Hertz ( Hz ), amplitudo menentukan kerasnya
suara, satuannya deci Bell ( dB ). Getaran energi dari sumber bunyi akan menggetarkan partikel
zat penghantar, memindahkan partikel secara bolak-balik menurut frekuensi dan amplitudo
tertentu, sehingga ada komponen perapatan dan ada komponen peregangan partikel-partikel yang
bergerak. Jadi, perpindahan partikel itu mempunyai komponen pergerakan dan komponen
penekanan. Oleh karena lebih mudah mengukur tekanan dari pada mengukur perpindahan
partikel penghantar, maka tekanan suara dipakai sebagai ukuran tenaga suara. Suatu tekanan
adalah tenaga per area. Unit internasional untuk tekanan adalah pascal ( Pa ).
Sistem auditori manusia sensitif terhadap skala variasi tekanan yang luas. Tekanan yang
dihasilkan oleh suara percakapan adalah 100 sampai 500 kali tekanan suara ambang pendengaran.
Musik dapat menimbulkan tekanan suara 10.000 kali ambang pendengaran, sedangkan tembakan
dan mesin jet menghasilkan tekanan suara lebih dari satu juta kali tekanan untuk ambang
pendengaran. Karena sensitivitas telinga manusia terhadap tekanan dapat bervariasi sampai lebih
dari 1 juta kali dan dapat membedakan perubahan tekanan suara sampai secara sebagian-
sebagian, maka gradasi tekanan suara diukur secara logaritmik.
Telinga manusia dapat mendengar suara dengan frekuensi 20 sampai 20.000 Hz.
Ambang pendengaran terhadap masing-masing frekuensi berbeda, paling sensitif terhadap
frekuensi 500 sampai 8000 Hz. Berdasarkan ambang pendengaran menurut American National
Standard ( ANSI ), ambang pendengaran yang terukur pada audiometri nada murni pada setiap
frekuensi diplotkan sehingga tergambar sebagai grafik ambang pendengaran pada audiogram.
Pada audiogram, tertulis bahwa ambang pendengaran sebuah telinga tertera 10 dB untuk
frekuensi tertentu, itu berarti bahwa ambang pendengaran telinga tersebut adalah terhadap suara
yang 10 dB lebih nyaring dibandingkan ambang pendengaran menurut standard ANSI.

108
2.2 PENGHANTARAN ENERGI SUARA PADA TELINGA NORMAL
2.2.1 Peran Telinga Luar pada Penghantaran Bunyi
Semua bagian tubuh kita ikut bergetar apabila terpapar energi dari sumber bunyi.
Turut bergetarnya bagian-bagian tubuh tersebut ikut menguatkan energi suara yang berasal dari
sumber bunyi sesampainya di membrana timpani. Fungsi tersebut disebut fungsi akustik
bagian-bagian tubuh, yaitu fungsi penguatan tenaga suara karena bagian tubuh ikut begetar.
Penguatan tersebut bervariasi menurut bagian tubuh yang ikut bergetar dan menurut frekuansi
bunyi. Fungsi akustik telinga luar dapat menguatkan suara paling tinggi untuk nada 250 Hz,
yaitu sekitar 20 dB untuk bunyi yang datang dari sebelah telinga yang diukur. Untuk suara yang
datang dari sebelah yang berlawanan akan terjadi pengurangan energi suara. Selain menguatkan
energi suara, daun telinga juga berfungsi untuk energi perasaan kesan ruang dari
datangnya suara.

2.2.2 Fungsi Telinga Tengah dalam Penghantaran Bunyi


Telinga tengah mengkopling ( meneruskan sambil menguatkan atau melemahkan )
energi akustik dari medium udara ke medium cairan. Hal tersebut memerlukan sistem
penyesuaian impedans. Teori klasik mengemukakan bahwa penyesuaian itu terjadi melalui
catenary lever, ossicular lever dan hydraulic lever.
Catenary lever menerangkan bahwa perlekatan membran timpani pada anulus
timpanikus menyebabkan tenaga suara yang diterima diteruskan ke bagian tengah yang lentur
untuk kemudian diterima oleh prosesus longus maleus. Catenary lever menguatkan energi suara
menjadi dua kali sesampainya di maleus.
Ossicular lever beranjak dari konsep bahwa maleus dan inkus beraksi sebagai satu
kesatuan sebagai pengungkit. Maleus dan inkus berotasi dengan sumbu yang berjalan antara
ligamentum maleus anterior dengan ligamentum inkus posterior. Ossicular lever adalah panjang
manubrium maleus dibagi panjang prosesus longus inkus, kira-kira 1 : 1,3. Karena adanya
tahanan maka pembesaran tenaga tidak 1,3 melainkan menjadi kira-kira 1,15 kali.
Hydraulic lever, kadang-kadang disebut sebagai areal ratio, terjadi karena perbedaan
ukuran membran timpani dengan kaki stapes. Energi suara yang diterima di membran timpani
dan diteruskan ke kaki stapes akan mengalami konsentrasi tenaga sehingga tenaga yang diterima
per satuan luas akan meningkat secara proporsional sesuai dengan perbandingan luas ke-2 luas
permukaan tersebut. Perbedaan luas tersebut adalah sekitar 17 : 1.
Dengan demikian maka catenary lever dan ossicular lever bersama-sama mengeraskan
tenaga suara menjadi 2,3 kali, sedangkan hydraulic lever sebanyak 17 kali, tetapi karena adanya
tenaga yang hilang akibat tahanan penghantaran akan terjadi total penguatan energi akibat
catenary lever, ossicular lever dan hydraulic lever sekitar 20.8 kali.
Perhitungan yang lebih klasik lagi mengatakan bahwa penguatan energi tersebut adalah
sebesar 22 kali yang didapat dari rasio hidraulic sebesar 17 kali dikali rasio osikular
sebesar 1,3 kali.
Penelitian yang lebih mutakhir oleh Marchan et al pada tahun 1997 menyimpulkan bahwa
teori transformasi akustik di telinga tengah harus dimodifikasi. Dikemukakannya bahwa transmisi
suara di telinga tengah merupakan hasil kopling osikular, kopling akustik dan input impedansi
stapes-koklea. Selain itu aerasi telinga tengah ( kavum timpani dan mastoid ) juga perlu sekali
untuk sistem konduksi suara di telinga tengah.

109
Kopling Osikuler ( Ossicular coupling )
Kopling osikuler adalah pembesaran energi suara yang disampaikan ke telinga dalam
melalui membran timpani dan rantai osikel. Penambahan pendengaran adalah sekitar 20 dB pada
nada 250-500 Hz, mencapai penambahan maksimum sebesar 25 dB pada nada 1000 Hz,
kemudian turun sekitar 6 dB per oktaf pada frekuensi di atas 1000 Hz.
Pada nada rendah, seluruh membran timpani bergerak dalam satu fase, sedangkan pada
nada di atas 1000 Hz gerakan membran timpani terbagi-bagi menjadi bagian-bagian kecil yang
bergerak dengan fase berbeda. Hal ini yang juga menyebabkan berkurangnya penguatan suara
pada nada tinggi adalah terpelesetnya gerakan rantai tulang pendengaran akibat rotasi aksis osikel
dan fleksi sendi tulang-tulang pendengaran. Sebagian tenaga juga hilang untuk mengatasi
ketegangan dan massa membran timpani serta tulang pendengaran.

Kopling Akustik ( Acoustic Coupling )


Kopling akustik adalah perbedaan tekanan suara yang beraksi langsung pada tingkap
lonjong dan tingkap bulat. Gerakan membran timpani menyebabkan tekanan suara di telinga
tengah yang dihantarkan langsung ( selain yang melalui osikel ) ke tingkap lonjong dan
tingkap bulat. Tekanan ke tiap foramen tersebut berbeda karena perbedaan orientasi letaknya
terhadap membran timpani. Pada telinga yang normal dengan membran timpani yang utuh
perbedaan itu dapat diabaikan. Ditutupnya tingkat bulat pada keadaan perforasi membran
timpani, seperti pada timpanoplastitipe IV Wulstein misalnya, akan menjuruskan seluruh
tekanan suara ke tingkap lonjong, sehingga akan terjadi penguatan persepsi suara.

Impedansi input Stapes - kokhlear ( Stapes-Cochlear Input Impedance )


Impedansi input stapes - kokhlear adalah gerakan kaki stapes yang tertahan oleh beberapa
struktur anatomi antara lain ligamen anulare, cairan koklea, partisi-partisi di dalam koklea, dan
membran tingkap bulat. Impedansi tingkat bulat dapat diabaikan pada telinga normal, tetapi
apabila round window nice terisi oleh cairan ataupun jaringan patologik lain, akan terjadi
peningkatan impedansi tingkat bulat, berakibat meningkatnya impedansi input stapes-koklear
sehingga akan menyebabkan tuli konduktif.

Aerasi Telinga Tengah


Adanya rongga udara dengan volume yang cukup dengan tekanan yang sama dengan
tekanan udara luar perlu sekali untuk dapat bergeraknya membran timpani. Tahanan telinga
tengah berbanding terbalik dengan volumenya. Bila rongga telinga tengah mengecil misalnya
pada inflamasi kronis dan pada timpanoplasti dinding runtuh maka impedansi dan tekanan telinga
tengah akan meningkat sehingga terjadi perbedaan dengan telinga luar. Pada batas tertentu
pengecilan volume tersebut mengganggu kopling osikuler. Diperkirakan bahwa volume minimal
yang diperlukan untuk kopling osikuler dalam 10 dB telinga normal adalah 0,5 ml.
2.3 PENGARUH KELAINAN TELINGA TENGAH TERHADAP PENDENGARAN
Kelainan telinga tengah yang mempengaruhi kurve audiogram dapat berupa penambahan
massa, kekakuan dan friksi / diskontinuitas sistem penghantaran suara. Tiap jenis kelainan
tersebut bila terjadi secara sendiri-sendiri akan mempunyai kurve audiogram yang berbeda.
Johansen mengemukakan rumus tahanan akustik yang dapat membantu pemahaman
terjadinya perbedaan kurve audiogram pada berbagai kelainan tersebut. Rumus tersebut adalah:
Impedance = √ (friction2 + mass x frequency – stiffess2 / fequency)

110
Dengan demikian kurva kesenjangan hantaran udara dengan hantaran tulang
( ABG=Air Bone Gap ) audiogram akan naik ( ketulian terutama nada rendah ) pada kekakuan,
hampir datar pada diskontinuitas, dan menurun ( ketulian terutama nada tinggi ) pada
pertambahan masa. Harus diingat bahwa pada keadaan klinis biasanya kelainan tersebut tidak
terjadi sendiri-sendiri, melainkan seringkali terjadi bersama-sama, sehingga yang tergambar pada
audiogram merupakan resultante beberapa kelainan
Kurang pendengaran yang terjadi pada berbagai kelainan telinga tengah akan lebih mudah
diterangkan dengan memperhitungkan penghantaran energi suara melalui kopling osikel dan
kopling akustik dari telinga luar melalui telinga tengah ke telinga dalam.
2.4 TULI KONGENITAL
2.4.1 Definisi
Tuli kongenital adalah gangguan pendengaran yang terjadi sejak lahir, dapat terjadi saat
kehamilan dan saat persalinan.

2.4.2 Epidemiologi Tuli Kongenital


Angka kekerapan tuli kengenital di negara maju ( Sininger, USA, 2002 ) menyebutkan
0,1% - 0,3% kelahiran hidup dengan 50% tanpa factor resiko terhadap ketulian. Umumnya baru
diketahui pada usia 18-24 bulan. Di Indonesia berdasarkan survai Depkes 7 provinsi
( 1994-1996 ) , angka kekerapan di Indonesia 0,1% dengan angka kelahiran 0,22% dari
jumlah penduduk 252.370.792. Diperkirakan kurang lebih 5.000 bayi lahir tuli / tahun.

2.4.3 Dampak Tuli Kongenital


Dampak tuli kongenital, paling gawat jika tidak ditolong. Terjadi gangguan
perkembangan kognitif, psikologi, social dengan akibat:
- Gangguan proses bicara
- Gangguan perkembangan kemampuan berbahasa
- Gangguan komunikasi
- Gangguan proses belajar dan perkembangan kepandaian
- Menjadi SDM rendah yang kurang mandiri, tidak mampu bersosialisasi,
menjadi beban keluarga, masyarakat dan Negara.

2.4.4 Yang Perlu Diperhatikan Dalam Gangguan Pendengaran Dan Ketulian Pada Anak
Gangguan pendengaran pada anak dapat berdampak :
- Gangguan bicara
- Gangguan emosional
- Gangguan perkembangan lainnya
Gangguan pendengaran seringkali diketahui karena adanya keterlambatan bicara
( delayed speech ). Kondisi ini dapat ditolong jika diketahui sejak dini yaitu :
 Sebelum anak berusia 3 bulan ( pada usia ini harus sudah diketahui adanya
gangguan pendengaran ).
 Habilitas pendengaran sudah dapat dimulai pada usia 6 bulan.
 Sehingga anak tidak terlambat bicara, dan akhirnya anak dapat bicara normal.
 Uji pendengaran setiap bayi baru lahir ( UNHS = Universal Neonatal Hearing
Screening ).

111
2.4.5 Perlunya Alat OAE Dalam Deteksi Tuli Kongenital
Alat OAE dapat memeriksa pendengaran bayi secara obyektif ( bisa sejak berusia baru
lahir ). Caranya : ujung ( probe ) alat OAE ditempelkan ke liang telinga bayi, aman, tidak
menyakiti, mudah singkat ( 2-5 menit ), akurat dan relative murah. Bayi dalam keadaan tidur /
tenang setelah menyusui. Tanpa pemeriksaan OAE, anak tuli kongenital umumnya baru diketahui
setelah 2-3 tahun dengan dampak kemampuan bicara kurang optimal.
2.4.6 Perlunya Habilitasi Sejak Dini / Usia 6 bulan
Saraf dan sentral pendengaran di otak perlu dirangsang dengan suara / bunyi-bunyi sejak
dini yaitu yang didengar dan dikenal sejak lahir, bayi mendengar dan mengenali setiap bunyi agar
terjadi perkembangan dan kematangan proses mendengar di otak. Anak dengan tuli kongenital
dipasang ABD setelah besar sehingga dia bisa mendengar tetapi tidak mengenali itu bunyi apa
akibat tidak adanya proses perkembangan dan kematangan tersebut. Tanpa rangsangan, terjadi
atrofi syaraf dan sentra pendengaran sehingga upaya pemulihan pendengaran terganggu.
Sehingga akhirnya terjadi delayed speech / perkembangan bahasanya lambat.
Pengenalan bunyi sejak dini diperlukan untuk proses kognitif untuk kematangan sentral
pendengaran di otak. Sejak dini bayi / anak harus mendengar dan mengenali bunyi :
- Mengenali suara ibu
- Gelas pecah
- Klakson
- Suara anggota keluarga
- Suara binatang
Agar bisa mengenal bunyi sejak dini, identifikasi tuli kongenital sangat penting kemudian
dilanjutkan dengan habilitas dini dan tepat sehingga upaya ini menyelamatkan anak, sehingga
anak dapat:
- Mendengar, mengenali bunyi
- Bicara, belajar, dan punya masa depan sama seperti anak normal
2.4.7 Cara Habilitasi Dini Dan Cepat
Diawali dengan evaluasi audiologist dan klinis yang lengkap, dilaksanakan sampai anak
umur 3 bulan yaitu pemeriksaan AABR. Dilanjutkan intervensi ( pakai ABD ) sebelum anak
umur 6 bulan agar proses kognitif dan bicara bisa berkembang seperti anak normal yaitu
bayi pakai ABD dan pakai implant kohlea.
2.4.8 Anjuran WHO Dan Sound Hearing 2030 Terhadap Tuli Kongenital
Anjuran WHO adalah Negara Asia Tenggara harus melaksanakan skrining semua bayi
lahir atau UNHS ( Universal Neonatal Hearing Screening ). Caranya dengan alat OAE
( Oto-Acoustic Emission ) untuk memeriksa semua bayi lahir, caranya mudah, tidak invasive,
oleh perawat yang dilatih. Jika ada kelainan, dilanjutkan dengan evaluasi lebih lengkap dengan
pemeriksaan audiologist dan klinis lengkap. Mengingat dampak tuli kongenital yang berat dan
luas maka kejadian tuli kongenital harus diturunkan melalui kerjasama berbagai disiplin umum.
2.4.9 Flow Chart Deteksi Dini Tuli Kongenital
a. Skrining pendengaran
1. Hospital Based
Untuk RS yang benar-benar sudah siap melaksanakan paket :
o Deteksi dini :
Alat : OAE ( Otoacoustic emission )
Sasaran : di tiap RSU / klinik melahirkan; biaya pemeriksaan OAE harus masuk
paket partus

112
 Bayi 2 hari setelah lahir, sebelum pulang, periksa OAE
 Selambat-lambatnya 2 bulan bagi yang lahir di fasilitas kesehatan tanpa OAE
o Diagnose pasti ( selambat-lambatnya usia 3 bulan ) :
Alat : AABR
Sasaran : di tiap RS propinsi
 Pemeriksaan audiologik komprehensif
 OAE lagi + timpanometri, BERA click + Tone Burst atau ASSR ( Auditory
Steady State Response )
o Habilitasi pendengaran dan wicara ( usia 6 bulan )
Alat : ABD ( alat bantu dengar ), implant koklea dan PAUD
Sasaran : masuk asuransi pemerintah; masuk alat kesehatan sehingga pajak murah
 Pasang ABD dst
 Implant koklea dst
2. Community Based
Perlu disiapkan alur rujukan dari Komunitas ke RS kabupaten ke RS propinsi yang siap
melaksanakan paket penatalaksanaan tuli kongenital
- Pencegahan
Alat : vaksinasi Rubella
Sasaran : ibu hamil
- Pelatihan tenaga medis
Alat : pelatihan bidan cara diagnosis dini
Sasaran : di seluruh Indonesia
- Sosialisasi
Alat : Leaflet, poster, billboard,media elektronik
Sasaran : anjuran memeriksa pendengaran bayi baru lahir

113
b. Deteksi dini
Cara sederhana deteksi kemungkinan tuli kongenital
- Observasi respon bayi terhadap suara :
o Memperhatikan tingkah laku bayi / anak saat diberi stimulus bunyi.
o Usia 0-4 bulan : respon bayi terhadap bunyi masih berbatas sebagai refleks.
o Bayi umur 0-1 bulan: refleks Moro ( bayi kaget ), Auropalpebra
( mengejapkan mata ), Grimacing ( mengerutkan wajah ), berhenti
menyusu / mengisap lebih cepat, bernapas lebih cepat, dan ritme jantung
bertambah cepat.
- Stimulus bunyi dengan frekuensi bunyi benda-benda disekitar kita, sesuai
gambar berikut ini :

- Kita perlu curiga jika:


Usia Kepandaian bicara

12 bulan Belum dapat mengoceh ( babbling ) atau meniru bunyi

18 bulan Tidak dapat menyebut 1 kata yang mempunyai arti

24 bulan Perbendaharaan kata > 10 kata

30 bulan Belum dapat merangkai kata

114
115
- Perhatikan evaluasi perkembangan pendengaran dan bicara bayi anda

116
c. Habilitasi
- Fitting ABD ( Alat Bantu Dengar / ABD = Alat Bantu Dengar /
Hearing Aid ) dilakukan sedini mungkin :
o Dibawah usia 6 bulan.
o Agar anak segera belajar mendengar dan mengenali bunyi.
- Implan kohlea.
- ABD eksternal dan IK ( implant koklea ) merangsang anak belajar
mendengar dan mengenali bunyi, anak dapat belajar bicara dan
berbahasa, mampu belajar dengan baik dan mencapai jenjang akademik
tinggi dan jadi SDM berkualitas, mendiri dan sejahtera.
- Sekolah khusus.
- Segera diberi pelatihan mendengar.
- Dilanjutkan terapi bicara / komunikasi.
Kendala habilitasi :
- ABD berkualitas dan IK ( implant koklea ) sangat mahal.
- Penggantiaan dari pemerintah sangat minimal / mendapat ABD kualitas
rendah, tidak nyaman dipakai, akhirnya dilepas.
- Sarana dan prasarana operasi belum memadai.

2.4.10 Faktor Penyebab Tuli Kongenital


 Faktor Kehamilan
- Genetik
- Non genetik
o Infeksi : TORCHS ( Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegali, Herpes,
Sifilis ), Campak, Parotitis. WHO menganjurkan negara-negara
Asia Tenggara membentuk program pencegahan dalam sistem
pelayanan kesehatan primer, termasuk :
 Vaksinasi anak terhadap penyakit campak, rubella, meningitis
dan gondongan.
 Skrining dan pengobatan sifilis pada wanita hamil.
 Deteksi dini dan penatalaksanaan gangguan pendengaran pada
bayi.
o Obat Ototoksik ( salisilat, kina, neomisin, streptomisin, gentamisin,
thalidomit, barbiturate ) sebabkan tuli sensorineural bilateral.
Dampak ototoksik yaitu :
 Mengganggu proses pembentukan organ, terjadi : atresia liang
telinga dan aplasia kohlea.
 Merusak sel rambut kohlea.
 Faktor Kelahiran
Sebabkan tuli sensorineural bilateral
- Lahir premature
- BBLR ( >1500 gram )
- Tindakan dengan alat
- Hiperbiliruninemia ( >20gm / 100ml )
- Asfiksia ( lahir tidak menangis )

117
- Anoksia otak ( APGAR SCORE > 5 )
 Resiko Tinggi Tuli Kongenital :
Menurut Joint Committee on Infant Hearing ( JCIH ) tahun 1990 :
1. Ada riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran bawaan.
2. Riwayat infeksi prenatal ( TORCHS ).
3. Kelainan anatomi telinga dapat disertai kelainan kraniofasial.
4. Premature ( > 37 minggu ) / BB Lahir Rendah ( > 1500 gram ).
5. Hiperbilirubinemia yang memerlukan tranfusi tukar darah.
6. Obat ototoksik.
7. Meningitis bacteria.
8. Apgar Score 0-4 pada menit pertama; 0-6 pada 5 menit.
9. Bayi di NICU dengan ventilasi mekanik 5 hari.
10. Sindroma yang berhubungan dengan tuli sensorineural / konduktif.

2.4.11 Jenis Tuli Kongenital


1. Sensorineural / saraf
- Diagnosis dini sulit karena kelainan di sebelah dalam telinga sehingga
tidak tampak dari luar.
- Derajat : berat / sangat berat.
- Mengenai 2 sisi telinga ( bilateral ).
- Orang tua terlambat mengetahui / menyadari.
- Informasi dari orang tua sangat bermanfaat mengenai :
o Respon anak terhadap suara di lingkungan rumah.
o Kemampuan bicara / vokalisasi.
o Cara pengucapan kata.
2. Konduktif
- Kelainan di telinga luar, sehingga mudah tampak.
- Bisa uni / bilateral.
- Derajat tuli berbeda.
- Terjadi akibat gangguan perkembangan :
o Arkus brakhialis I dan II yaitu telinga kecil ( microtia ), telinga
tidak terbentuk ( anotia ), stenosis liang telinga.
o Celah brakhialis I yaitu kista / traktus sinus.

2.4.12 Sindroma Menyertai Tuli Kongenital


- Sindroma Treacher Collins : tuli konduktif disertai deformitas kraniofasial
berupa tulang pipi tidak terbentuk, micrognatia ( dagu kecil ), kelopak mata
bagian bilateral menurun, malformasi telinga atau tidak terbentuk.
- Sindroma Rubella : kelainan mata seperti katarak, glaucoma, strabismus,
nistagmus, microphtalmia, dll.
- Sindroma Waardenburg : Heterochromia iris (iris mata beda warna), tuli,
pangkal hidung melebar, dan kantus medialis letak lebih lateral.

118
2.4.13 Pemeriksaan Baku Emas

119
2.4.14 Pencegahan Tuli Kongenital
- Hindari perkawinan antar keluarga.
- Imunisasi.
- Antenatal care yang baik.
- Skrining pendengaran: UNHS ( Universal Neonatal Hearing Screening ) dan
bayi dengan resiko.
2.4.15 Masalah Yang Dihadapi
Belum adanya :
- Program Nasional skrining semua bayi baru lahir. HTA tuli kongenital sudah
dibuat Kementerian Kesehatan RI bersama profesi Perhati-KL tetapi belum
disosialisasikan ke seluruh Indonesia.
- SDM yang memadai.
- Fasilitas ABD termauk implant kohlear.
- Fasilitas sekolah.
Pemecahan masalah :
- Advokasi ke PEMDA untuk memfasilitasi anggaran memperbaiki dan
melengkapi infrastruktur.
- Pelatihan SDM.
- ABD dan implant koklea murah.
- Pengelolaan alat.
- Sekolah khusus.
- Mengetahui permasalahan di daerah, berapa prevalensinya.
- Infrastruktur.
- Melaksanakan sosialisasi.
- Pendekatan ke pengusaha, organisasi swadaya masyarakat, untuk saling
bekerja sama menanggulangi masalah.
- Menyelenggarakan pelatihan petugas kesehatan dan kader.
- Melakukan upaya deteksi dan intervensi dini.
- Pelaksanaan sosialisasi.

2.4.16 Upaya Preventif / Sosialisasi


Telah dibentuk Komnas PGPKT dengan tujuan : ( 7* www.ketulian.com )
a. Tujuan utama Komnas PGPKT ( Komite Nasional Penanggulangan Gangguan
Pendengaran Dan Ketulian ) adalah meningkatkan pelayanan PGPKT di lini
pertama pelayanan kesehatan melalui Pelatihan dan Pembinaan Dokter
Puskesmas dan Dokter Umum di wilayah masing – masing. Diharapkan
program PGPKT menjadi program kesehatan yang berkesinambungan di
Puskesmas-puskesmas seluruh di Indonesia.
b. Tujuan akhir adalah terbentuknya Provinsi, Kotamadya dan Kabupaten Sehat
Telinga agar pembentukan SDM Indonesia yang berkualitas, mandiri dan
sejahtera dapat tercapai optimal.

120
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Masalah yang dihadapi yaitu bayi tuli dampak berat dan luas. Pemecahan masalah yaitu
dengan:
 Deteksi dan habilitasi dini yaitu :
o Skrining nasional UNHS dengan alat OAE
o Diagnosis pasti dengan AABR
o Habilitasi : ABD / KI
o PAUD / Peran Orang tua
 Upaya pencegahan melalui sosialisai, vaksinassi Rubella. Upaya pemerintah berupa
persiapan infrastruktur, sarana, SDM :
o Tiap RS / Klinik tempat lahir harus ada OAE dan RS propinsi punya AABR dan
lain-lain dalam rangka persiapan UNHS
o SDM berupa pelatihan ahli audiologi dimasukkan dalam struktur RS
o Semua jenis ABD ( termasuk Implan koklea masuk Asuransi Pemerintah /
Pemda )
o Advokasi pejabat berwenang
o Kerjasama LP, LS, LSM, dan lain-lain.

3.2 SARAN
1. Penjaringan kasus dengan risiko tinggi dan pengawasan antenatal yang teratur dan
baik, sangat menentukan prevalensi angka kejadian tuli kongenital, untuk ini
diharapkan dapat dilakukan penyuluhan pada wanita hamil dengan risiko tinggi akan
resiko tuli kongenital dan meningkatkan mutu pelayanan antenatal di Puskesmas dan
Poliklinik ibu hamil. Untuk itu perlu dilakukan pelatihan untuk menambah
pengetahuan dan keterampilan petugas kesehatan dalam mengenal kasus tuli
kongenital.
2. Segera melakukan deteksi dini tuli kongenital pada setiap kelahiran di Indonesia.
3. Penanganan kasus tuli kongenitsl harus dilakukan secara terpadu dan komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA
1. Merchant. Structure and function of the external and middle ear. Available from:
http://epl.meei.harvard.edu/~keh/cd846/Lecture02.pdf
2. Merchant SN, Rosowsky JJ. Auditory physiology. In:Glasscock III ME, Gulja AJ, editors.
Surgery of the ears. 5th ed. Ontario; 2003. P. 59-82.
3. Batista AB, Esquivel C. Middle Ear, Ossiculopasty. Available from: http:// www.
emedicine.com/ent/topic219.htm. april 7, 2005.
4. Merchant SN, Ravicz ME, Puria S, et al. Analysis od middle ear mechanics and application
to diseased and reconstructed ears. Am J Otol 1997; 18: 139-54.
5. Merchant SN, Ravicz ME, Voss SE, et al. Toynbee memorial lecture 1997. Middle ear
mechanics in normal, diseased and 51 reconstructed ears. J Laryngol Otol 1998; 112:715-
31.
6. Soetjipto D. Tuli sejak lahir tuli congenital. Komnas PGPKT. 2015
7. www.ketulian.com

121
3. SISTEM KOHLEA
3.1 ANATOMI FISIOLOGI TELINGA
Telinga adalah indra pendengaran. Pendengaran merupakan indra mekanoreseptor
karena memberikan respon terhadap getaran mekanik gelombang suara yang terdapat di
udara. Telinga menerima gelombang suara yang frekuensinya berbeda, kemudian
menghantarkan informasi pendengaran kesusunan saraf pusat. Telinga dapat dibagi
menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.3

GAMBAR 2.1 ANATOMI TELINGA

BAGIAN-BAGIAN TELINGA
3.1.1 Telinga Luar
Bagian luar merupakan bagian terluar dari telinga.Telinga luar terdiri dari daun
telinga, lubang telinga, dan saluran telinga luar.Telinga luar meliputi daun telinga atau
pinna, Liang telinga atau meatus auditorius eksternus, dan gendang telinga atau
membran timpani. Bagian daun telinga berfungsi untuk membantu mengarahkan suara ke
dalam liang telinga dan akhirnya menuju gendang telinga. Rancangan yang begitu
kompleks pada telinga luar berfungsi untuk menangkap suara dan bagian terpenting
adalah liang telinga. Saluran ini merupakan hasil susunan tulang dan rawan yang dilapisi
kulit tipis.3
Telinga luar, yang terdiri dari aurikula (atau pinna) dan kanalis auditorius
eksternus, dipisahkan dari telinga tengan oleh struktur seperti cakram yang dinamakan
membrana timpani (gendang telinga).Telinga terletak pada kedua sisi kepala kurang lebih
setinggi mata.Aurikulus melekat ke sisi kepala oleh kulit dan tersusun terutama oleh
kartilago, kecuali lemak dan jaringan bawah kulit pada lobus telinga.Aurikulus
membantu pengumpulan gelombang suara dan perjalanannya sepanjang kanalis
auditorius eksternus. Tepat di depan meatus auditorius eksternus adalah sendi temporal
mandibular. Kaput mandibula dapat dirasakan dengan meletakkan ujung jari di meatus
auditorius eksternus ketika membuka dan menutup mulut.

122
Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga lateral
mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat di mana kulit terlekat. Dua pertiga
medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis.Kanalis auditorius eksternus berakhir
pada membrana timpani.Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus, glandula
seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin yang disebut serumen.Mekanisme
pembersihan diri telinga mendorong sel kulit tua dan serumen ke bagian luar
telinga.Serumen nampaknya mempunyai sifat antibakteri dan memberikan perlindungan
bagi kulit.Di dalam saluran terdapat banyak kelenjar yang menghasilkan zat seperti lilin
yang disebut serumen atau kotoran telinga.Hanya bagian saluran yang memproduksi
sedikit serumen yang memiliki rambut.Pada ujung saluran terdapat gendang telinga yang
meneruskan suara ke telinga dalam.Peradangan pada bagian telinga ini disebut sebagai
otitis Eksterna. Hal ini biasanya terjadi karena kebiasaan mengorek telinga dan akan
menjadi masalah bagi penderita diabetes mellitus (DM/sakit gula).3
Aurikula berfungsi mengumpulkan getaran udara, bentuknya berupa lempeng
tulang rawan yang elastis yang ditutupi kulit, memiliki otot intrinsic dan ekstrinsik serta
di persarapi oleh nervus fasialis.Seluruh permukaan diliputi kulit tipis dengan lapisan
subkutis pada permukaan anterolateral, serta di temukan rambut kelenjar sebasea dan
kelenjar keringat.
Meatus akustikus eksternal merupakan tabung berkelok – kelok yang terbentang
antara aurikula dan membrane tempani, berfungsi menghantarkan gelombang suara dari
aurikula ke membrane tempani.
Pada bagian luar banyak ditemukan rambut yang berhubungan dengan kelenjar
sebasea, sedangkan dalam liang ditemukan serumen berwarna coklat yang berfungsi
sebagai pelindung. Seruman merupakan modifikasi kelenjar keringat bergabung dengan
kelenjar sebasea yang bermuara langsung ke permukaan kulit.3

GAMBAR 2.2 TELINGA LUAR


3.1.2 Telinga Tengah
Telinga tengah tersusun atas membran timpani (gendang telinga) di sebelah lateral
dan kapsul otik di sebelah medial celah telinga tengah terletak di antara kedua Membrana
timpani terletak pada akhiran kanalis aurius eksternus dan menandai batas lateral telinga,
Membran ini sekitar 1 cm dan selaput tipis normalnya berwarna kelabu mutiara dan
translulen.Telinga tengah merupakan rongga berisi udara merupakan rumah bagi osikuli
(tulang telinga tengah) dihubungkan dengan tuba eustachii ke nasofaring berhubungan
dengan beberapa sel berisi udara di bagian mastoid tulang temporal.

123
Telinga tengah mengandung tulang terkecil (osikuli) yaitu malleus, inkus,
stapes.Osikuli dipertahankan pada tempatnya oleh sendian, otot, dan ligamen, yang
membantu hantaran suara.Ada dua jendela kecil (jendela oval ) dan dinding medial
telinga tengah, yang memisahkan telinga tengah dengan telinga dalam.Bagian dataran
kaki menjejak pada jendela oval, di mana suara dihantar telinga tengah.Jendela bulat
memberikan jalan ke getaran suara.Jendela bulat ditutupi oleh membrana sangat tipis, dan
dataran kaki stapes ditahan oleh yang agak tipis, atau struktur berbentuk cincinanulus
jendela bulat maupun jendela oval mudah mengalami robekan.Bila ini terjadi, cairan dari
dalam dapat mengalami kebocoran ke telinga tengah kondisi ini dinamakan fistula
perilimfe.Tuba eustachii yang lebarnya sekitar 1mm panjangnya sekitar 35 mm,
menghubungkan telinga tengah ke nasofaring.Normalnya, tuba eustachii tertutup, namun
dapat terbuka akibat kontraksi otot palatum ketika melakukan manuver Valsalva atau
menguap atau menelan. Tuba berfungsi sebagai drainase untuk sekresi dan
menyeimbangkan tekanan dalam telinga tengah dengan tekanan atmosfer.3
Maleus dan incus berputar pada sumbu anterior posterior yang berjalan melalui :
1. Ligamentum yang menghubungkan prosesus anterior malleus dengan dinding anterior
kavumtimpani.
2. Prosesus anterior maleus dengan prosesus brevis inkudis
3. Ligamentum yang menghubungkan prosesus brevis inkudis dengan dinding posterior kavum
timpani.
Selama menghantarkan getaran dari membrane tempani ke perilimf melalui
osikula mengalami pembesaran dengan 1,3 : 1 dan luas membrane tempani lebih kurang
17 kali lebih besar dari luas basis stapes yang berakibat tekanan efektif pada perilimf
meningkat menjadi 22: 1.
Tuba auditiva merupakan bagian yang meluas dari diding anterior kavum timpani ke bawah,
depan, dan medial sampai ke nasofaring. Bagian 1/3 posterior terdiri atas tulang dan 2/3 anterior
tulang rawan, berhubungan dengan nasofaring setelah berjalan di atas muskulus konstriktor
faring superior.Tuba auditiva berfungsi membuat seimbang tekanan udara dalam kavum timpani
dan nasofaring.
Antrum mastoideum merupakan bagian yang terletak di belakang kavum timpani dalam pars
petrosa ossis temporalis bentuknya bundar dengan garis 1 cm. Dinding anterior berhubungan
dengan kavum timpani dan dinding posterior memisahkan antrum dari sinus sigmoideum dan
serebelum.
Sellulae mastoidea yaitu prosesus mastoideus mulai berkembang pada tahun ke dua
kehidupan.Sellulae mastoid adalah suatu rongga yang berhubungan dalam prosessus
mastoid,berhubungan dengan antrum dan kavum timpani sebelah atasnya serta dilapisi
membrane mukosa.

3.1.3 Telinga Dalam


Telinga dalam tertanam jauh di dalam bagian tulang temporal.Organ untuk
pendengaran (koklea) dan keseimbangan (kanalis semisirkularis), begitu juga kranial VII
(nervus fasialis) dan VIII (nervus koklea vestibularis) semuanya merupakan bagian dari
komplek anatomi.Koklea dan kanalis semisirkularis bersama menyusun tulang labirinth.
Ketiga kanalis semisirkularis posterior, superior dan lateral terletak membentuk sudut 90
derajat satu sama lain dan mengandung organ yang berhubungan dengan keseimbangan.

124
Organ akhir reseptor ini distimulasi oleh perubahan kecepatan dan arah gerakan
seseorang.
Koklea berbentuk seperti rumah siput dengan panjang sekitar 3,5 cm dengan dua
setengah lingkaran spiral dan mengandung organ akhir untuk pendengaran, dinamakan
organ Corti.Di dalam tulang labirin, namun tidak sempurna mengisinya, Labirin
membranosa terendam dalam cairan yang dinamakan perilimfe, yang berhubungan
langsung dengan cairan serebrospinal dalam otak melalui aquaduktus koklearis.

125
Labirin membranosa tersusun atas utrikulus, sakulus, dan duktus semisirkularis,
duktus koklearis, dengan gambaran sebagai berikut :
a. Atrikulus, bentuknya seperti kantong lonjong dan agak gempeng terpaut pada tempatnya
oleh jaringan ikat. Disini terdapat saraf (nervus akustikus) pada bagian depan dan
sampingnya ada daerah yang lonjong yang disebut macula akustika utrikola. pada dinding
belakang atrikus ada muara dari duktus semisirkularis dan pada dinding depannya ada tabung
halus disebut utrikulosa sirkularis, saluran yang menghubungkan atrikulus dengan sakulus.
b. Sakulus, bentuknya agak lonjong lebih kecil dari utrikulus, terletak pada bagian depan dan
bawah dari vestibulum dan terpaut erat oleh jaringan ikat, tempat terdapatnya nervus
akustikus. Pada bagian depan sakulus ditemukan serabut-serabut halus cabang nervus
akustikus yang berakhir pada macula akustika sakuli. Pada permukaan bawah sakulus ada
duktus reunien yang menghubungkan sakulus dengan duktus koklearis, di bagian sudut
sakulus ada saluran halus disebut duktus endolimfatikus, berjalan melalui aquaduktus
vestibularismenuju permukaan bagian bawah tulang temporalis dan berakhir sebagai kantong
buntu disebut sakus endolimfatikus yang terletak tepat di lapisan otak duramater.
c. Duktus semisirkularis, ada tiga tabung selaput semisrkularis yang berjalan dalam kanalis
semisrkularis (superior, posterior, dan lateralis). Penampangannya kira-kira sekitar sepertiga
penampang kanalis semisirkularis. Bagian duktus yang melebar disebut ampula selaput.
Setiap ampula mengandung satu celah siklus, sebelah dalam ada Krista ampularis yang
terlihat menonjol kedalam yang menerima ujung-ujung saraf.
d. Duktus koklearis merupakan saluran yang berbentuk agak segitiga seolah-olah membuat
batas pada koklea timpani. Atap duktus koklearis terdapat membrane vestibularis pada
alasnya terdapat membran basilaris. Duktus koklearis mulai dari kantong buntu (seikum
vestibular) dan berakhir tepat diseberang kanalis lamina spiralis pada kantong buntu (seikum
ampulare) pada membrane basilaris ditemukan organ korti sepanjang duktus koklearis yang
merupakan hearing sense organ.

126
GAMBAR 2.3 TELINGA DALAM

127
Pada pertemuan antara lamina spiralis tulang dengan mediolus terdapat ganglion
spiralis yang sebagaian besar diliputi tulang bagian bawah dan menyatu dengan
membrane basilaris melintasi duktus koklearis dan melekat pada ligamentum basilaris.
 Membran basilaris : dibentuk oleh lapisan serat – serat kolagen, permukaan bawah yang
menghadap skala timpani diliputi oleh jaringan ikat fibbrosa yang mengandung pembuluh
darah.
 Membran vestibularis : suatu lembaran jaringan ikat tipis, diliputi pada permukaan atas
vestibular oleh pelapis rongga perilimf yaitu jaringan epitel selapis gepeng yang terdiri atas
sel mesenkim.
 Duktus koklearis : duktus ini mengandung pigmen, bentuknya lebih tinggi dan tidak
beraturan, di bawahnya terdapat jaringan ikat yang banyak mengandung kapiler yang disebut
stria vaskularis. Duktus koklearis merupakan tempat sekresi endolimf dan termasuk organ
korti.

GAMBAR 2.4 TELINGA DALAM


Telinga dalam terdiri dari labirin osea ( labirin tulang ), sebuah rangkaian rongga
pada tulang pelipis yang dilapisi periosteum yang berisi cairan perilimfe dan labirin
membranasea, yang terletak lebih dalam dan memiliki cairan endolimfe. Di labirin osea
terdapat koklea, vestibulum, kanalis semisirkularis.3
 kolea atau rumah siput. Penampang melintang koklea terdiri atas tiga bagian yaitu
skala vestibuli, skala media, dan skala timpani. Bagian dasar dari skala vestibuli berhubungan
dengan tulang sanggurdi melalui jendela berselaput yang disebut tingkap oval, sedangkan
skala timpani berhubungan dengan telinga tengah melalui tingkap bulat. Bagian atas
skala media dibatasi oleh membran vestibularis atau membran Reissner dan sebelah bawah
dibatasi oleh membran basilaris. Di atas membran basilaris terdapat organo corti yang
berfungsi mengubah getaran suara menjadi impuls. Organo corti terdiri dari sel rambut dan
sel penyokong. Di atas sel rambut terdapat membran tektorial yang terdiri dari gelatin yang
lentur, sedangkan sel rambut akan dihubungkan dengan bagian otak dengan
saraf vestibulokoklearis.
 Vestibulum, bagian tengah labirintus osseous pada vestibulum ini membuka fenestra ovale
dan fenestra rotundum dan pada bagian belakang atas menerima muara kanalis semisirkularis.
 Kanalis semisirkularis merupakan saluran setengah lingkaran yang terdiri dari 3 saluran.
Saluran yang satu dengan yang lainnya membentuk sudut 90%, kanalis semisrkularis superior,
kanalis semisirkularis posterior dan kanalis semisirkularis lateralis.

128
GAMBAR 2.5 TULANG LABIRIN
Labirin membranosa memegang cairan yang dinamakan endolimfe. Terdapat
keseimbangan yang sangat tepat antara perilimfe dan endolimfe dalam telinga dalam;
banyak kelainan telinga dalam terjadi bila keseimbangan ini terganggu. Percepatan
angular menyebabkan gerakan dalam cairan telinga dalam di dalam kanalis dan
merangsang sel-sel rambut labirin membranosa. Akibatnya terjadi aktivitas elektris yang
berjalan sepanjang cabang vestibular nervus kranialis VIII ke otak. Perubahan posisi
kepala dan percepatan linear merangsang sel-sel rambut utrikulus. Ini juga
mengakibatkan aktivitas elektris yang akan dihantarkan ke otak oleh nervus kranialis
VIII. Di dalam kanalis auditorius internus, nervus koklearis yang muncul dari koklea,
bergabung dengan nervus vestibularis, yang muncul dari kanalis semisirkularis, utrikulus,
dan sakulus, menjadi nervus koklearis ( nervus kranialis VIII ). Yang bergabung dengan
nervus ini di dalam kanalis auditorius internus adalah nervus fasialis ( nervus kranialis

129
VII ). Kanalis auditorius internus membawa nervus tersebut dan asupan darah ke batang
otak.3
3.2 OTITIS MEDIA AKUT
3.2.1 Definisi
Otitis Media Akut adalah suatu infeksi pada telinga tengah yang disebabkan karena
masuknya bakteri patogenik ke dalam telinga tengah.1,2
Otitis Media Akut adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga
tengah. Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tube eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Banyak ahli membuat pembagian
dan klasifikasi otitis media. Secara mudah, otitis media terbagi atas otitis media supuratif
dan otitis media non supuratif ( otitis media serosa, otitis media sekretoria, otitis media
musinosa, otitis media efusi / OME). Pembagian tersebut dapat di lihat pada gambar
berikut :

130
131
Masing-masing golongan mempunyai bentuk akut dan kronik, yaitu otitis media
supuratif akut ( otitis media akut = OMA ) dan otitis media supuratif kronik ( OMSK /
OMP ). Begitu juga otitis media serosa terbagi menjadi otitis media serosa akut
( barotrauma = aerotitis ) dan otitis media serosa kronik. Selain itu terdapat juga otitis
media spesifik, seperti otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa atau otitis
media sifilitika. Otitis media yang lain ialah otitis media adhesive.
Otitis media serosa adalah kelainan umum berupa cairan steril di telinga tengah
dibelakang membran timpani yang utuh yang menyebabkan tuli konduktif.2

3.2.2 Etiologi
1. Disfungsi atau sumbatan tuba eustachius merupakan penyebab utama dari otitis media yang
menyebabkan pertahanan tubuh pada silia mukosa tuba eustachius terganggu, sehingga
pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga akan terganggu.
2. ISPA ( infeksi saluran pernafasan atas ), inflamasi jaringan di sekitarnya ( misal : sinusitis,
hipertrofi adenoid ), atau reaksi alergi ( misalkan rhinitis alergika ). Pada anak-anak, makin
sering terserang ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya otitis media akut ( OMA ). Pada
bayi, OMA dipermudah karena tuba eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya agak
horisontal.
3. Bakteri
Bakteri yang umum ditemukan sebagai mikroorganisme penyebab adalah Streptococcus
peumoniae, Haemophylus influenza, Moraxella catarrhalis, dan bakteri piogenik lain, seperti
Streptococcus hemolyticus, Staphylococcus aureus, E. coli, Pneumococcus vulgaris.
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring.
Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga
tengah oleh silia mukosa tuba eustachius, enzim dan antibody.
Otitis media akut ( OMA ) terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu.
Sumbatan tuba eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media. Karena
fungsi tuba eustachius terganggu, pencegahan infasi kuman ke dalam telinga tengah juga
terganggu, sehingga kuman masuk kedalam telinga tengah dan terjadi peradangan.
Dikatakan juga, bahwa pencetus terjadinya OMA ialah infeksi saluran napas atas.
Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran napas, makin besar kemungkinan
terjadinya OMA. Pada bayi terjadinya OMA dipermudah oleh karena tuba eustachiusnya
pendek, lebar dan letaknya agak horizontal.4

3.2.3 Patofisiologi
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas ( ISPA ) yang
disebabkan oleh bakteri, kemudian menyebar ke telinga tengah melewati tuba eustachius.
Ketika bakteri memasuki tuba eustachius maka dapat menyebabkan infeksi dan terjadi
pembengkakan, peradangan pada saluran tersebut. Proses peradangan yang terjadi pada
tuba eustachius menyebabkan stimulasi kelenjar minyak untuk menghasilkan sekret yang
terkumpul di belakang membran timpani. Jika sekret bertambah banyak maka akan
menyumbat saluran eustachius, sehingga pendengaran dapat terganggu karena membran
timpani dan tulang osikel ( maleus, incus, stapes ) yang menghubungkan telinga bagian
dalam tidak dapat bergerak bebas. Selain mengalami gangguan pendengaran,
klien juga akan mengalami nyeri pada telinga.

132
Otitis media akut ( OMA ) yang berlangsung selama lebih dari dua bulan dapat
berkembang menjadi otitis media supuratif kronis apabila faktor higiene kurang
diperhatikan, terapi yang terlambat, pengobatan tidak adekuat, dan adanya daya tahan
tubuh yang kurang baik.4

3.2.4 Stadium Otitis Media Akut


1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Tanda adanya oklusi tuba eustachius ialah gambaran retraksi membrane timpani akibat
terjadinya tekanan negative didalam telinga tengah, akibat absorbsi udara. Kadang-kadang
membrane timpani tampak normal ( tidak ada kelainan ) atau berwarna kerut pucat. Efusi
mungkin telah terjadi, tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis
media serosa yang disebabkan oleh virus atau alergi.
2. Stadium Hiperemis
Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di membrane timpani atau
seluruh membrane timpani tampak hiperemis serta edem. Secret yang telah terbentuk
mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar terlihat.
3. Stadium Supurasi
Edema yang terlihat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial,
sehingga terbentuknya eksudat yang purulent di kavum timpani, menyebabkan membrane
timpani menonjol ( bulging ) kearah liang telinga luar.
Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di
telinga bertambah hebat.
Apabila tekanan nanah di cavum timpani tidak berkurang, maka terjadi iskemia, akibat
tekanan pada kapiler-kapiler, serta timbul tromboflebitis pada vena-vena kecil dan nekrosis
mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada membrane timpani terlihat sebagai daerah yang
lebih lembek dan berwarna kekuningan. Ditempat ini akan terjadi rupture. Bila tidak
dilakukan insisi membrane timpani ( miringotomi ) pada stadium ini, maka kemungkinan
besar membrane timpani akan rupture dan nanah keluar dari liang telinga luar. Dengan
melakukan miringotomi, luka insisi akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi rupture,
maka lubang tempat rupture ( perforasi ) tidak mungkin menutup kembali.
4. Stadium Perforasi
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotik atau virulensi kuman
yang tinggi, maka akan terjadi rupture membrane timpani dan nanah keluar mengalir dari
telinga tengah ke liang telinga luar. Anak yang tadinya gelisah sekarang menjadi tenang,
suhu badan turun dan anak dapat tertidur nyenyak. Keadaan ini disebut dengan otitis media
akut stadium perforasi.
5. Stadium Resolusi
Bila membrane timpani tetap utuh, maka keadaan membrane timpani perlahan-lahan akan
normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi, maka secret akan berkurang dan akhirnya
kering. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi
walaupun tanda pengobatan. OMA berubah menjadi OMSK bila perforasi menetap dengan
secret yang keluar terus menerus atau hiang timbul. OMA dapat menimbulkan gejala sisa
( sequele ) berupa otitis media serosa bila secret menetap di cavum timpani tanpa terjadinya
perforasi.3

133
GAMBAR 2.6 OTOSCOPY
3.2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari OMA tergantung pada stadium penyakit dan umur klien.
a. Stadium Hiperemi
 Nyeri dan rasa penuh dalam telinga karena tertutupnya tuba eustachius yang mengalami
hiperemi dan edema
 Demam
 Pendengaran biasanya masih normal
b. Stadium Oklusi
 Nyeri dan demam bertambah hebat
 Pada anak : panas tinggi disertai muntah, kejang, dan meningismus
 Pendengaran mulai berkurang
c. Stadium Supurasi
 Keluar sekret dari telinga
 Nyeri berkurang karena terbentuk drainase akibat membran timpani ruptur
 Demam berkurang
 Gangguan pendengaran bertambah karena terjadi gangguan mekanisme konduksi udara
dalam telinga tengah
d. Stadium Koalesen
Nyeri tekan pada daerah mastoid, dan akan terasa berat pada malam hari
e. Stadium Resolusi
Pendengaran membaik atau kembali normal.4

134
3.2.6 Terapi
Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya
a. Pada stadium oklusi pengobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba
eustachius, sehingga tekanan negative di telinga tengah hilang. Untuk ini diberikan obat
tetes hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik ( anak<12 tahun ) atau HCl efedrin
1% dalam larutan fisiologik untuk yang berumur di atas 12 tahun dan pada orang dewasa.
Selain itu sumber infeki harus diobati. Antibiotik diberikan apabila penyebab penyakit
adalah kuman, bukan oleh virus atau alergi.
b. Terapi pada stadium presupurasi ialah antibiotik, obat tetes hidung dan analgetika.
Antibiotik yang dianjurkan ialah dari golongan penisilin intramuscular agar didapatkan
konsentrasi yang adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis yang
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa, dan kekambuhan. Pemberian
antibiotik dianjurkan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap Penisilin, maka
akan diberikan Eritromisin. Pada anak, Ampisilin diberikan dengan dosis 50-100 mg/kg BB
per hari, dibagi dalam 4 dosis, atau Amoksisilin 40 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis,
atau Eritromisin 40 mg/kg BB/hari.
c. Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotik, idealnya harus disertai dengan
miringotomi, bila membrane timpani masih utuh. Dengan miringotomi gejala-gejala klinis
lebih cepat hilang dan rupture dapat dihindari.
d. Pada stadium perforasi sering terlihat secret banyak keluar dan kadang terlihat secret keluar
secara berdenyut ( pulsasi ). Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci telinga H 2O2 3%
selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat. Biasanya secret akan hilang dan perforasi
dapat menutup kembali dalam waktu 7-10 hari.
e. Pada stadium resolusi, maka membrane timpani berangsur normal kembali, secret tidak ada
lagi dan perforasi membrane timpani menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan
tampak secret mengalir diliang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Keadaan
ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa telinga tengah. Pada keadaan
demikian dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila 3 minggu setelah pengobatan secret
masih tetap banyak, kemungkinan telah terjadi mastoiditis.5
Bila OMA berlanjut dengan keluarnya secret dari telinga tengah lebih dari 3 minggu,
maka keadaan ini disebut otitis media supuratif sub akut. Bila perforasi menetap dan
secret tetap keluar lebih dari satu setengah bulan atau dua bulan, maka keadaan ini
disebut otitis media supuratif kronik ( OMSK ). Pada pengobatan OMA terdapat
beberapa factor risiko yang dapat menyebabkan kegagalan terapi. Risiko tersebut
digolongkan menjadi risiko tinggi kegagalan terapi dan risiko rendah.5

3.2.7 Komplikasi
1. Peradangan telinga tengah ( otitis media ) yang tidak diberi terapi secara benar dan
adekuat dapat menyebar ke jaringan sekitar telinga tengah termasuk ke otak, namun ini
jarang terjadi setelah adanya pemberian antibiotik.6
2. Mastoiditis
3. Kehilangan pendengaran permanen bila OMA tetap tidak ditangani
4. Keseimbangan tubuh terganggu
5. Peradangan otak kejang

135
3.2.8 Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan audiometri
Ketajaman pendengaran sering diukur dengan suatu audiometri. Alat ini menghasilkan
nada-nada murni dengan frekuensi melalui aerphon. Pada sestiap frekuensi ditentukan
intensitas ambang dan diplotkan pada sebuah grafik sebagai presentasi dari pendengaran
normal. Hal ini menghasilkan pengukuran obyektif derajat ketulian dan gambaran
mengenai rentang nada yang paling terpengaruh.
Manfaat audiometri :
1) Untuk kedokteran klinik, khususnya penyakit telinga
2) Untuk kedokteran klinik Kehakiman, tuntutan ganti rugi
3) Untuk kedokteran klinik Pencegahan, deteksi ktulian pada anak-anak
b. Test Rinne
Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan atara hantaran tulang
dengan hantaran udara pada satu telinga pasien.
c. Test Weber
Tujuan kita melakukan tes weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara
kedua telinga pasien. Cara kita melakukan tes Weber yaitu : membunyikan garputala 512
Hz lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Menurut pasien,
telinga mana yang mendengar atau mendengar lebih keras. Jika telinga pasien mendengar
atau mendengar lebih keras 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika
kedua pasien sama-sama tidak mendengar atau sam-sama mendengaar maka berarti tidak
ada lateralisasi.
d. Test Swabach
Tujuannya yaitu membandingkan daya transport melalui tulang mastoid antara
pemeriksa ( normal ) dengan probandus. Gelombang-gelombang dalam endolymphe
dapat ditimbulkan oleh getaran yang datang melalui udara. Getaran yang datang melalui
tengkorak, khususnya osteo temporale.

3.2.9 Pencegahan
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya OMA pada anak antara
lain :
 Pencegahan terjadinya ISPA pada bayi dan anak-anak
 Pemberian ASI minimal selama enam bulan
 Hindari pemberian susu botol ketika anak dalam keadaan berbaring
 Hindari pajanan terhadap asap rokok

3.3 RINITIS AKUT


3.3.1 Definisi
Rinitis akut adalah radang pada mukosa hidung yang berlangsung akut, kurang dari
12 minggu, dapat disebabkan karena infeksi virus, bakteri, ataupun iritan, yang sering ditemukan
karena menifestasi dari rinitis simplek ( commen cold ), influenza, penyakit eksantem ( seperti
morbili, variola, varicela, pertusis ), penyakit spesifik, serta sekunder dari iritasi lokal atau
trauma.7,8

136
3.3.2 Epidemiologi
Rinitis akut merupakan penyebab morbiditas yang signifikan walaupun sering dianggap
sepele oleh para prektisi. Gejala-gejala rinitis secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup
pasien karena gejala-gejala sistemik yang menyertainya seperti fatigue, sakit kepala, dan
gangguan kognitif.
Ada tiga hal yang dipandang dapat mempengaruhi keadaan klinis dari pasien-
pasien dengan rinitis akut. Hal tersebut termasuk usia, jenis kelamin, dan variasi musim
terjadinya penyakit tersebut. Togias telah meneliti bahwa 70% pasien yang didiagnosa
dengan penyakit hidung non alergik terdapat pada usia dewasa > 20 tahun. Tetapi belum
diketahui penyebab pasti dari hubungan antara usia dengan rinitis alergik.9
Jenis kelamin dapat menjadi faktor risiko dari rinitis nonalergik. Settipane dan
Klein mengatakan bahwa 58% dari pasien rinitis non alergik adalah wanita. Enberg
menemukan 74% pasien rinitis non alergik adalah wanita. National rinitis Classification
Task Force ( NRCTF ) menemukan 71% pasien dengan rinitis non alergik adalah wanita.9
3.3.3 Klasifikasi dan Etiologi
Rinitis akut terdiri atas 3 tipe, yaitu:7,8
1. Rinitis Virus
Rinitis virus terbagi 3, yaitu:
a) Rinitis Simplek ( Pilek, Selesema, Comman Cold, Coryza )
Rinitis simplek disebabkan oleh virus. Infeksi biasanya terjadi melalui droplet di udara.
Beberapa jenis virus yang berperan antara lain, adenovirus, picovirus, dan subgrupnya
seperti rhinovirus, coxsakievirus, dan ECHO. Masa inkubasinya 1-4 hari dan berakhir
dalam 2-3 minggu.
Pada awalnya terasa panas di daerah belakang hidung, lalu segera diikuti dengan hidung
tersumbat, rinore, dan bersin yang berulang-ulang. Pasien merasa dingin, dan terdapat
demam ringan. Mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Awalnya, secret hidung
( ingus ) encer dan sangat banyak. Tetapi bisa jadi mukopurulen bila terdapat invasi
sekunder bakteri, seperti Streptococcus Haemolyticus, pneumococcus, staphylococcus,
Haemophillus Influenzae, Klebsiella Pneumoniae, dan Mycoplasma Catarrhalis.
b) Rinitis Influenza
Virus influenza A,B atau C berperan dalam penyakit ini. Tanda dan gejalanya mirip
dengan common cold. Komplikasi sehubungan dengan infeksi bakteri sering terjadi.
c) Rinitis Eksantematous
Morbili, varisela, variola, dan pertusis, sering berhubungan dengan rinitis, dimana
didahului dengan eksantemanya sekita 2-3 hari. Infeksi sekunder dan komplikasi lebih
sering dijumpai dan lebih berat.
2. Rinitis Bakteri
Rinitis bakteri dibagi 2, yaitu :
a) Infeksi Non-spesifik
Infeksi non-spesifik dapat terjadi secara primer ataupun sekunder.
1) Rinitis Bakteri Primer
Tampak pada anak dan biasanya akibat dari infeksi pneumococcus, streptococcus atau
staphylococcus. Membrane putih keabu-abuan yang lengket dapat terbentuk di rongga
hidung, yang apabila diangkat dapat menyebabkan pendarahan.
2) Rinitis Bakteri Sekunder

137
Merupakan akibat dari infeksi bakteri pada rinitis viral akut
b) Rinitis Difteri
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Rinitis difteri dapat bersifat
primer pada hidung atau sekunder pada tenggorokan dan dapat terjadi dalam bentuk akut
atau kronis. Dugaan adanya rinitis difteri harus dipikirkan pada penderita dengan riwayat
imunisasi yang tidak lengkap. Penyakit ini semakin jarang ditemukan karena cakupan
program imunisasi yang semakin meningkat.
Gejala rinitis akut ialah demam, toksemia, terdapat limfadenitis, dan mungkin ada
paralisis otot pernafasan. Pada hidung ada ingus yang bercampur darah. Membrane keabu-
abuan tampak menutup konka inferior dan kavum nasi bagian bawah, membrannya lengket
dan bila diangkat dapat terjadi perdarahan. Ekskoriasi berupa krusta coklat pada nares
anterior dan bibir bagian atas dapat terlihat. Terapinya meliputi isolasi pasien, penisilin
sistemik, dan antitoksin difteri.
c) Rinitis Iritan
Tipe rinitis akut ini disebabkan oleh paparan debu, asap atau gas yang bersifat iritatif
seperti ammonia, formalin, gas asam dan lain-lain. Atau bisa juga disebabkan oleh trauma
yang mengenai mukosa hidung selama masa manipulasi intranasal, contohnya pada
pengangkatan corpus alienum. Pada rinitis iritan terdapat reaksi yang terjadi segera yang
disebut dengan “immediate catarrhal reaction” bersamaan dengan bersin, rinore, dan
hidung tersumbat. Gejalanya dapat sembuh cepat dengan menghilangkan faktor penyebab
atau dapat menetap selama beberapa hari jika epitel hidung telah rusak. Pemulihan akan
bergantung pada kerusakan epitel dan infeksi yang terjadi karenanya.9

3.3.4 Stadium Rinitis Akut


a. Stadium prodromal, pada hari pertama :
1) Rasa panas dan kering pada cavum nasi.
2) Bersin-bersin.
3) Hidung tersumbat.
4) Sekret encer jernih seperti air.
Pemeriksaan ( rhinoskopi anterior / RA )  cavum nasi sempit, terdapat sekret
serous dan mukosa udem dan hiperemis.
b. Stadium akut, hari kedua sampai keempat :
1) Bersin-bersin berkurang.
2) Obstruksi nasi bertambah, akibat obstruksi nasi akut terjadi hiposmia, gangguan
gustateris, rasa makanan tidak enak.
3) Sekret kental kuning.
4) Badan tak enak.
Pemeriksaan  cavum nasi lebih sempit, sekret mukopurulen. Mukosa lebih
udem dan hiperemis.
c. Stadium Penyembuhan ( resolusi ) hari kelima sampai ketujuh :
Gejala-gejala di atas berkurang ( udem dan hiperemis berkurang, obstruksi
berkurang, sekret berkurang ). Kadang-kadang rinitis akut didahului gejala
nasofaringitis sehingga timbul gejala panas, batuk, dan pilek. Tetapi adanya faringitis
atau laringitis akut tidak selalu didahului oleh rinitis akut.10,11

138
3.3.5 Manifestasi Klinis
Rinitis akut pada dasarnya memiliki tanda dan gejala yang sulit dibedakan antara
tipe yang satu dengan tipe yang lainnya. Rasa panas, kering dan gatal di dalam hidung,
bersin, hidung tersumbat, dan terdapatnya ingus yang encer hingga mukopurulen.
Mukosa hidung dan konka berubah warna menjadi hiperemis dan edema. Biasanya
diikuti juga dengan gejala sistemik seperti demam, malaise dan sakit kepala.8
Pada rinitis influenza, gejala sistemik umumnya lebih berat disertai sakit pada otot.
Pada rinitis eksantematous, gejala terjadi sebelum tanda karekteristik atau ruam muncul.
Ingus yang sangat banyak dan bersin dapat dijumpai pada rinitis iritan.

3.3.6 Patofisiologi
Pada stadium permulaan terjadi vasokonstriksi yang akan diikuti vasodilatasi,
udem, dan meningkatnya aktifitas kelenjar seromucinous dan goblet sel, kemudian terjadi
infiltrasi leukosit dan deskuamasi epitel. Sekret mula-mula encer dan jernih kemudian
berubah menjadi kental dan lekat ( mukoid ) berwarna kuning mengandung nanah dan
bakteri ( mukopurulen ). Toksin yang berbentuk terbentuk terserap dalam darah dan
limfe, menimbulkan gejala-gejala umum. Pada stadium resolusi terjadi proliferasi sel
epitel yang telah rusak dan mukosa menjadi normal kembali.11

3.3.7 Diagnosis
Rinitis akut umumnya didiagnosis dari gambaran klinisnya. Walaupun pada
dasarnya memiliki tanda dan gejala yang hampir sama, tetapi terdapat juga beberapa
karekteristik yang khas membedakannya. Pada rinitis bakteri difteri, diagnosis pasti
ditegakkan dengan pemeriksaan kuman dari sekret hidung.8,12
3.3.8 Penatalaksanaan
Rinitis akut merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri secara spontan setelah kurang
lebih 12 minggu. Karena itu umumnya terapi yang diberikan lebih bersifat simptomatik, seperti
analgetik, antipiretik, nasal dekongestan dan antihistamin disertai dengan istirahat yang cukup.
Terapi khusus tidak diperlukan kecuali bila terdapat komplikasi seperti infeksi sekunder bakteri,
maka antibiotik perlu diberikan. Dekongestan oral mengurangi sekret hidung yang banyak,
membuat pasien merasa lebih nyaman, namun tidak menyembuhkan.3,4,8
Lokal : tetes hidung, solution HCl Ephedrine 1% dalam glucose 5%. Berfungsi untuk
melebarkan kavum nasi, pH sedikit asam yang akan menyebabkan eradikasi ( desinfeksi )
kuman penyebab ( mukosa cavum nasi normal pH =6,5 yaitu bersifat asam ). Oleh karena
lisozim dinonaktifkan dalam suasana basa, maka setiap obat hidung harus mempunyai pH asam
untuk mencegah terjadinya aktivitas silia dan lisozim.
Umum : hindari tubuh kedinginan misalnya dengan mandi air hangat, makan makanan hangat,
pakaian hangat, tidur menggunakan selimut, dan sebagainya. Farmakologis untuk gejala sistemik
bisa diberika asetosal sebagai analgetik dan antipiretik. Karena efek vasodilatasi perifernya,
asetosal bisa berfungsi sebagai penghangat tubuh. Bisa juga diberikan antihistamin untuk
mengurangi bersin-bersin.13

139
3.3.9 Pencegahan
Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadnya rinitis akut adalah dengan
menjaga tubuh selalu dalam keadaan sehat. Dengan begitu dapat terbentuknya system imuitas
yang optimal yang dapat melindungi tubuh dari serangan za-zat asing. Istirahat yang cukup,
mengkonsumsi makanan dan minuman yang sehat dan olahraga yang teratur juga baik untuk
menjaga kebugaran tubuh. Selain itu, mengikuti program imunisasi lengkap juga dianjurkan,
seperti vaksinasi MMR untuk mencegah terjadinya rinitis eksantematous.8
Pencegahan tergantung kepada :9
a. Lebih sering mencuci tangan, terutama sebelum menyentuh wajah.
b. Memperkecil kontak dengan orang-orang yang telah terinfeksi.
c. Tidak berbagi sapu tangan, alat makan, atau gelas minum.
d. Menutup mulut ketika batuk dan bersin.
3.3.10 Komplikasi
a. Otitis media akut.
b. Sinusitis paranasalis.
c. Infeksi traktus respiratorius bagian bawah seperti laring, bronchitis, pneumonia.
d. Akibat tidak langsung pada penyakit-penyakit lain yaitu jantung dan asma bronkhial.
3.3.11 Prognosis
Rinitis akut merupakan “self limiting disease” umumnya sembuh dalam 7 -10
hari. Tapi dapat lebih lama 3 minggu bila ada faringitis, laringitis atau komplikasi
lain.12

4. DAFTAR PUSTAKA
1. Boeis : Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid; Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6, Cetakan III, 1997; 88
– 112.
2. Hendarto H dan Entjep. H: Telinga, Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan; Edisi
Kedua, FKUI, 1995; 1 – 6.
3. Tortora G.J, Derrickson B, eds. Principles of Anatomy and Physiology, 11 th Edition. New York : Wiley;
2006. p. 847-850
4. Zainul A. Jafar : Kelainan Telinga Tengah, Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan;
Edisi Ketiga, FKUI, 1997; 54 – 60.
5. Mansjoer Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Indonesia.Jakarta.
6. Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. 1998. Buku Ajar Ilmu penyakit THT. FKUI: Jakarta.
7. Helmi : Komplikasi OMSK dan Mastoiditis, Buku Ajar THT; Edisi Empat, FKUI, 2000; 62 – 65.
8. Settipane R.A, Lieberman P. Update on Non-Allergic Rhinitis. Brown University School of Medicine.
Diunduh dari http://nypollencount.com/Articles/Non-Allergic%20Rhinitis.pdf [diakses tanggal
10Oktober 2015]
9. Acute and Chronic Rhinitis. Dalam Dhingra P.L. Disease of Ear, Nose and Throat. Edisi 4. New Delhi.
Gopson Paper Ltd. 2007. Hal: 145-8.
10. Dhillon R.S, East C.A, eds. Ear, Nose and Throat and Head and Neck Surgery. 2 nd Esition. London :
Churchill Livingstone; 2000. p. 30-32.
11. Kushnir N.M, Kaliner M.A, eds. Rhinitis Medikamentosa [ online ]. 2015. [ cited 2015 October 10 ].
Available from URL: http://www.medscape.com
12. Dhingra P.L, Dhingra S, eds. Diseases of Ear, Nose & Throat, 5 th Edition. New Delhi : Elsevier; 2011.
p. 180-184

140
13. Meltzer, EO. Evaluation of The Oral Antihistamine for Patients with Allergic Rhinitis. 2005. Tersedia di:
http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari 2011.
4. PUSAT BAHASA DAN BICARA
4.1 PUSAT BAHASA DAN BICARA
Area cerebrum yang mengintegrasikan stimulus-stimulus menjadi kemampuan
bahasa adalah Area Wernicke. Area Wernicke terletak pada ujung posterosuperior girus
temporalis superior. Area Wernicke berdekatan dengan area pendengaran primer dan
sekunder. Hubungan antara area pendengaran dengan Area Wernicke memungkinkan
adanya interpretasi bahasa terhadap apa yang didengar. Selain berhubungan dengan area
pendengaran, Area Wernicke juga berhubungan dengan area asosiasi penglihatan. 1,6
Bagian otak yang berperan dalam produksi adalah Area Brocca. Area Brocca
terletak pada girus frontalis inferior di antara ramus ascendens anterior dan ascendens
posterior fisura lateralis ( area brodmann 44 dan 45 ). Area ini berfungsi untuk
menimbulkan pola motoric pada laring, system respirasi, serta otot untuk berbicara. Area
lainnya yang berperan dalam produksi suara adalah insula, yang berperan dalam
pembentukan artikulasi.1,2

GAMBAR 2.1 PUSAT BAHASA DAN BICARA DI OTAK

141
Area Wernicke berhubungan dengan area brocca melalui fasiculus arcuatus.
Pada proses berbicara, area Wernicke memahami bahasa dan area brocca mengatur
produksi suara. Area brocca selanjutnya mengirimkan informasi ke area motoric untuk
menghasilkan gerakan produksi bicara.6

142
Proses bahasa ucapan :
Diterima alat dengar → Pusat otak primer dan sekunder → Pusat otak asosiatif : area wernicke,
kata yang didengar akan dipahami → Girus angularis, tempat pola kata-kata dibayangkan lewat
area Wernicke di fasikulus arkuatus area Broca: gerakan motorik pembicaraan area motorik
primer; otot-otot lidah untuk ucapan → area motorik suplementer, agar ucapan / gerakan lidah
menjadi jelas.6
Proses bahasa Visual :
Diterima alat visual → Pusat otak primer penglihatan → Pusat otak asosiasi penglihatan :
( di sini terjadi pengenalan informasi ) → Girus angularis → area Wernicke → area Broca
( gerakan pembicaraan ) → area motorik primer dan suplementer, sehingga pada akhirnya
tulisan dapat dimengerti.6

4.2 FUNGSI TELINGA5


Sampai tingkat tertentu pinna adalah suatu “pengumpul” suara, sementara liang telinga
karena bentuk dan dimensinya, dapat sangat memperbesar suara dalam rentang 2 sampai 4 kHz,
perbesaran pada frekuensi ini adalah sampai 10 hingga 15 dB. Maka suara dalam rentang
frekuensi ini adalah yang paling berbahaya jika ditinjau dari sudut trauma akustik.
Pada telinga tengah terdapat maleus, inkus, stapes. Tangkai dari maleus terletak
dalam membrane timpani, sedangkan otot tensor timpani berinsersi pada leher maleus.
Kaput maleus bersendi dengan permukaan anterior korpus inkus dalam epitimpanum.
Inkus memiliki prosesus brevis yang menonjol ke belakang dan prosesus longus yang
berjalan ke bawah untuk bersendi dengan kaput stapes.
Sumbu rotasi maleus dan inkus yang alami adalah sepanjang garis yang ditarik dari
prosesus brevis inkus hingga daerah leher maleus. Stapes adalah tulang yang berbentuk
sanggurdi. Kontraksi otot stapedius dapat diukur dengan audiometric hambatan
( impendance audiometry ), dan teknik ini merupakan alat bantu klinis yang penting.
Telinga tengah adalah suatu alat penghilang hambatan antara udara ( lingkungan kita )
dan cairan ( telinga dalam ). Ketika gelombang suara yang dihantarkan udara
mencapai cairan, maka 99,9% energinya akan dipantulkan. Jadi hanya 0,1% energy yang
diteruskan ( kehilangan sekitar 30 dB ). Telinga tengah dapat mengkompensasi
kehilangan tersebut terutama karena luas membrane timpani 17 kali lebih besar dari luas
basis stapes. Rangkaian osikula ikut pula berperan sebesar 1,2 / 1. Dengan demikian,
telinga tengah tidak penting pada makhluk-makhluk air.
Getaran suara dihantarkan lewat liang telinga dan telinga tengah ke telinga dalam
melalui stapes, menimbulkan suatu gelombang berjalan di sepanjang membrane basilaris
dan organ Cortinya. Puncak gelombang berjalan di sepanjang mebrana basilaris
yang panjangnya 35 mm tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini
berakibat membengkoknya stereosilia oleh kerja pemberat membrane tektoria, dengan
demikian menimbulkan depolarisasi sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada
serabut-serabut saraf pendengaran yang melekat padanya. Di sinilah gelombang suara
mekanis diubah menjadi energy elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui saraf
kranialis ke-8. Paling tidak sebagian analisis rekuensi telah terjadi pada tingkat organ
corti. Peristiwa listrik pada organ Corti dapat diukur dan dikenal sebagai mikrofonik

143
koklearis. Peristiwa listrik yang berlangsung dalam neuron juga dapat diukur dan disebut
sebagai potensial aksi.
Ligamentum spiralis terletak di lateral dinding tulang dan duktus koklearis.
Merupakan jangkar lateral dari membrane basilaris dan mengandung stria vaskularis,
satu-satunya lapisan epitel bervaskularisasi dalam tubuh. Dua dari tiga jenis sel pada stria
vaskularis kaya mitokondria dan memiliki luas permukaan yang sangat besar
dibandingkan dengan volume sel. Maka stria merupakan suatu system transport cairan
dan elektrolit yang dirancang secara unik. Diduga memainkan peranan penting dalam
pemeliharaan komposisi elektrolit cairan endolimfe ( tinggi kalium, rendah natrium )
dan sebagai baterei kedua untuk organ Corti. Juga merupakan sumber potensi arus searah
( 80 milivolt ) dari skala media. Darah merupakan sumber nutrisi utama untuk sel-sel
tubuh dan alirannya menimbulkan suara bising, namun stria vaskularis merupakan suatu
adaptasi yang unik dimana dapat menyuplai organ Corti dari jarak tertentu, dengan
demikian memperbaiki rasio sinyal-bising pada organ Corti.
Terdapat sekitar 30.000 neuron aferen yang mensarafi 15.000 sel rambut pada
tiap koklea. Masing-masing sel rambut dalam disarafi oleh banyak neuron. Hanya
presentase kecil ( sekitar 10% ) neuron aferen yang mensarafi sel rambut luar, akan
tetapi terdapat percabangan-percabangan sedemikian rupa sehingga tiap neuron aferen
berasal dari banyak sel rambut luar dan tiap sel rambut luar dipersarafi oleh banyak
neuron aferen.
Juga ada sekitar 500 serabut saraf eferen yang mencapai tiap koklea. Serabut-
serabut ini bercabang-cabang pula secara ekstensif sehingga tiap sel rambut luar memiliki
banyak ujung saraf eferen. Ujung-ujung saraf eferen dari sel rambut luar tidak seluruhnya
berasal dari satu serabut saraf eferen.
Serabut-serabut saraf koklearis berjalan menuju inti koklearis dorsalis dan ventralis.
Sebagian besar serabut dari inti melintasi garis tengah dan berjalan naik menuju kolikulus
inferior kontralateral, namun sebagian serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilangan
selanjutnya terjadi pada inti lemniskus lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus
inferior, jaras pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian ke korteks
pendengaran pada lobus temporalis. Karena seringnya penyilangan serabut-serabut
saraf tersebut, maka lesi sentral jaras pendengaran hampir tidak pernah menyebabkan
ketulian unilateral.
Serabut-serabut saraf vestibularis berjalan menuju salah satu dari ke empat inti
vestibularis, dan dari sana disebarkan secara luas dengan jaras-jaras menuju medulla
spinalis, serebelum dan bagian-bagian susunan saraf pusat lainnya.
4.2.1 Fungsi dari Membran Timpani dan Sistem Osikular4
Membran timpani dan system osikular berbentuk kerucut yang berfungsi dalam
penghantaran suara melalui telinga tengah. Bagian tengah membran timpani adalah
tangkai maleus, pada ujung lain maleus terkait erat dengan inkus oleh ligamentum, sehingga bila
maleus bergerak inkus ikut bergerak serentak dengannya. Ujung lain inkus selanjutnya bersendi
dengan batang stapes dan permukaan lebar stapes terletak pada labirin membranosa pada lubang
foramen ovale, tempat gelombang suara dihantarkan ketelinga dalam yaitu koklea.

144
Tulang-tulang telinga tengah tergantung oleh ligamentum-ligamentum sedemikian rupa,
sehingga gabungan maleus dan inkus bekerja sebagai satu ungkit yang mempunyai titik tumpu
kira-kira pada perbatasan membran timpani. Kaput besar maleus yang dari tangkainya terletak
pada sisi yang berlawanan dari titik tumpu tepat mengimbangi ujung pengungkit lain sehingga
perubahan posisi tubuh tidak akan menambah atau mengurangi tegangan membran timpani.
Tangkai maleus terus-menuerus tertarik ke dalam oleh ligamentum dan oleh muskulus
tensor timpani, yang mempertahankan membran timpani berada dalam tegangan. Hal ini
memungkinkan getaran suara pada bagian membran timpani manapun dihantarkan ke maleus.
Penyesuaian impedans ( impedance matching ) oleh system osikular. Amplitude
pergerakan permukaan lebar stapes pada tiap getaran suara hanya ¾ besar amplitude tangkai
maleus. Oleh karena itu, system pengungkit osikular tidak memperbesar pergerakan seperti yang
sering diduga, tetapi sebagai gantinya system meningkatkan gaya pergerakan 1,3 kali.
Luas permukaan membran timpani yaitu sekitar 55 mm2, sedangkan luas permukaan stapes
sekitar 3,2 mm2, selisih 17 kali dikalikan rasio 1,3 kali dari system pengungkit, memungkinkan
semua energy gelombang suara yang mengenai membran timpani dikerahkan pada permukaan
lebar stapes yang kecil, menyebabkan tekanan pada cairan koklea kira-kira 22 kali besar tekanan
yang ditimbulkan oleh gelombang suara yang mengenai membran timpani. Karena cairan
mempunyai inersia yang lebih besar daripada udara, mudah dimengerti bahwa peningkatan
jumlah tekanan dibutuhkan untuk menimbulkan getaran pada cairan. Oleh karena itu, membran
timpani dan system osikular memberikan penyesuaian impedans antara gelombang suara dalam
udara dan getaran suara dalam cairan koklea.

4.2.2 Batasan5
Bahasa adalah suatu system symbol yang digunakan untuk memahami dan
mengekspresikan ide dan perasaan. Atribut bahasa tidak hanya kosa kata dan tata bahasa, namun
juga kemampuan untuk mengingat, memilah, menyusun dan kemampuan anstrak.
Sebaliknya, bicara merupakan satu cara untuk menyampaikan bahasa. Cara yang lain
adalah dengan menulis, gerak isyarat dan memberi tanda. Atribut bicara antara lain, nada tinggi,
kekerasan dan kualitas suara ; vocal, konsonan, diftong dan perpaduan semua ini dalam bentuk
suku kata, kata dan frasa ; serta kecepatan, intonasi dan irama. Untuk kejelasan, disini dibedakan
antara “bahasa” dan “bicara.” Ini tidak berarti bahwa keduanya berbeda secara dinamis.
Misalnya, informasi bahasa dapat terkandung dalam inonasi.
Dalam mendefinisikan gangguan bahasa dan bicara, perlu dipertimbangkan tiga hal :
(1) Dapatkah bahasa dan bicara dimengerti tanpa atau hanya dengan sedikit kesulitan ?
(2) Apakah bahasa biasanya tepat untuk kebutuhan komunikasi yang besar ?
(3) Apakah cara berkomunikasi mengalihkan perhatian dari pesan yang ingin disampaikan ?
Bilamana dicurigai ada gangguan bahasa atau bicara, biasanya terdapat masalah dalam salah satu
bidang ini. Pada anak-anak, kemungkinan ini dipertimbangkan setelah membandingkan dengan
cermat kinerja anak dengan gambaran perkembangan secara umum.

5 PERKEMBANGAN BAHASA DAN BICARA NORMAL5


5.1 PERKEMBANGAN PRA-LINGUISTIK
Beberapa keahlian dan pengetahuan yang dipelajari pada masa bayi ternyata penting
dalam perkembangan bahasa dan komunikasi. Keahlian dasar ini terutama dalam bidang
kognisi ( kesadaran ) dan interaksi social. Secara kognitif, bayi harus belajar
mengenali objek dan kejadian di dalam lingkungannya, serta menyadari keunikan hal-hal

145
tersebut. Pengetahuan dasar inilah yang merupakan subjek dari komunikasi dini. Secara
social, bayi harus belajar bahwa ia dapat menimbulkan efek tertentu terhadap orang yang
memperhatikannya dari apa yang dilakukannya, bahwa ia dapat menjadi pencetus dan
penerima dalam interaksi, bahwa ia dapat berpartisipasi dalam aktivitas, dan bahwa ia
dapat berinteraksi dengan yang lain untuk berbagai alasan. Banyak anak dengan
gangguan komunikasi ternyata mengalami gangguan dalam perkembangan keahlian
kognitif dan social pada masa bayi.
5.2 PERKEMBANGAN LINGUISTIK
Pemahaman bahasa agaknya mendahului penggunaan bahasa. Meniru dapat
dilakukan tanpa perlu memahami, namun bahasa fungsional untuk maksud komunikasi
tampaknya memerlukan pemahaman sebelumnya. Meskipun tahap dan usia
perkembangan hampir dapat diramalkan, rentang normalitas masih tetap besar.
Bahasa reseptif adalah bahaya yang didengar dan harus diinterpretasi anak.
Dalam lima tahun pertama, kemampuan anak berkembang dari sekedar awas terhadap
pembicara hingga memahami arti berdasarkan susunan tata bahasa.
Bahasa ekspresif adalah bahasa yang diekspresikan anak terhadap orang lain.
Perkembangan bicara adalah mulai dari hanya mengulangi vokalisasi hingga kalimat-
kalimat yang kompleks. Sejalan dengan itu, komunikasi non-verbal berkembang dari
tingkah laku yang tidak bertujuan hingga gerak-isyarat konvensional bersahaja.

146
Panduan umum untuk bahasa reseptif dan ekspresif diberikan pada Tabel 1.
TABEL 2.1 PERKEMBANGAN BAHASA RESEPTIF DAN EKSPRESIF
KELOMPOK
BAHASA RESEPTIF BAHASA EKSPRESIF
USIA

0-6 bulan Bereaksi dan menoleh terhadap suara; Mendekut dan berceloteh senang;
memahami nada suara ( mis.marah vs tangisan yang berbeda-beda.
senang ).

6-12 bulan Memahami gerak isyarat; memahami Bersuara dengan nada yang berbeda-
beberapa kata dan frasa. beda; mulai menggunakan beberapa
kata pertama.

12-18 bulan Memahami kalimat umum yang Mengucapkan kata-kata tunggal,


singkat dan sederhana; menunjuk menggunakan kata tersebut untuk
beberapa bagian tubuh; dapat beberapa pengertian berbeda;
mengenali gambar yang tidak asing. meneruskan celoteh yang
diciptakannya ( suku kata dengan
intonasi ).

18-24 bulan Memahami beberapa kata depan dan Mengucapkan kombinasi 2 atau
kata ganti orang; mendengar dan 3 kata; mengekspresikan penolakan
memahami ceri sederhana; menunjuk dengan mengucapkan “tidak”.
gambar bila ditanya.

2-3 tahun Dapat mengikuti arah tiga bagian; Kalimat 3 dan 4 kata; menggunakan
memahami sebagian besar kalimat beberapa kata depan dan kata ganti;
orang dewasa; memahami konsep sekitar 50 persen dapat dimengerti.
seperti “satu” dan “beberapa”.

3-4 tahun Dapat mengenali objek bila diberikan Hampir seluruhnya dapat dimengerti;
fungsinya; memahami lebih banyak kalimat dengan 4 hingga 6 kata
kata depan; mengerti informasi yang dengan berbagai jenis kalimat
lebih abstrak. ( pertanyaan, perintah dan negative )

4-5 tahun Di luar keterbatasan kosa kata, Telah menyelesaikan 90% pelajaran
dapat memahami sebagian besar berbicara; dapat berbicara dalam
pembicaraan orang dewasa. bahasa yang lazim dipakai orang
dewasa.

6 SKRINING DOKTER
Umumnya orang tua cukup prihatin untuk membawa anaknya ke dokter yang tidak
dapat bicara atau hanya mampu mengucapkan sedikit kata-kata pada usia 24 hingga 30
bulan. Akan tetapi, dokter yang awas bahkan dapat mengenali masalah pada umur yang
lebih dini. Anak-anak yang tidak memenuhi panduan perkembangan bahasa yang dapat
diterima, perlu dirujuk untuk konsultasi dengan ahli audiologi dan patologi bicara. Ahli

147
patologi bicara dapat menentukan apakah tingkah laku tersebut terletak di luar batas yang
dapat diterima dan dengan demikian dapat memperkecil efek jangka panjang.
7 GANGGUAN BAHASA DAN BICARA PADA ANAK5
Terdapat tiga pertimbangan utama yang penting dalam perkembangan kemampuan
berkomunikasi. Gangguan pada satu atau lebih dari factor ini dapat meperlambat atau
mengganggu perkembangan.
1. Keadaan fisiologi anak : kondisi yang mempengaruhi perkembangan antara lain hilangnya
pendengaran, palatoskisis, dan disfungsi SSP.
2. Lingkungan anak : kondisi yang perlu dipertimbangkan antara lain faktor budaya, perawatan
yang lama di rumah sakit, dan keadaan melarat mulai ketidakadaan hingga kekurangan.
3. Kondisi emosi anak : kondisi yang perlu dipertimbangkan termasuk kemampuan untuk
berhubungan, gangguan proses berpikir dan gangguan tingkah laku.

7.1 GANGGUAN PENDENGARAN


Kualitas bicara dan bahasa mencerminkan kemampuan mendengar dan menangkap.
Biasanya terdapat kaitan langsung antara kemampuan bicara / bahasa dengan besarnya
pendengaran residu. Gangguan pendengaran ringan ataupun berat, berpengaruh negative
terhadap perkembangan bicara dan bahasa.
Pengaruh ketulian yang berat cenderung nyata. Kosa kata, susunan kata dan penggunaan tata
bahasa menjadi berantakan. Distorsi suara, kesalahan bunyi bicara dan penyimpangan irama
adalah khas, sehingga pembicaraan sulit dimengerti.
Penggunaan alat bantu dengar dan alat amplifikasi penting untuk mengurangi gangguan
pendengaran efektif, sehingga anak dapat mendengar suara orang lain, demikian juga suaranya
sendiri. Manfaat alat bantu dengar dalam memelihara kemampuan bicara memang tidak begitu
nyata, namun tidak boleh disepelekan.
Alat bantu dengar merupakan salah satu aspek proses habilitasi. Anak tidak boleh dituntut
untuk dapat mengembangkan kemampuan berkomunikasi hanya berdasarkan amplifikasi saja.
Usia awitan adalah penting. Anak dengan pendengaran normal di atas usia dua tahun sekalipun
untuk waktu singkat, cenderung memiliki kemampuan bicara / bahasa yang lebih baik
dibandingkan anak yang tuli sejak lahir atau pada usia sangat muda.
Anak dengan gangguan pendengaran sedang hingga berat biasanya mampu berbicara dan
berbahasa dengan lebih baik daripada anak yang tuli berat. Bahasa dan bicara yang digunakan
anak dengan gangguan pendengaran ringan biasanya tidak menimbulkan perhatian. Namun anak
dengan gangguan pendengaran kronis yang ringan berisiko terhadap berkurangnya kemampuan
bahasa. Ketulian 20 dB pada anak kecil ( usia tiga tahun atau kurang ) terbukti mempengaruhi
kemampuan belajar bahasa / bicara. Tuli ringan yang intermiten dapat menimbulkan masalah
tambahan mengenai perhatian dan tingkah laku, yang selanjutnya mempengaruhi kemampuan
belajar di sekolah.
Banyak anak dengan kemampuan bicara yang buruk, dapat melampaui uji skrining
pendengaran secara kasar. Sebagian dari mereka kelak ditemukan mengalami gangguan
pendengaran selektif, seringkali untuk frekuensi tinggi ( Gambar 1 ). Pendengaran tampaknya
normal karena anak-anak ini dapat menangkap sebagian tetapi tidak seluruh informasi akustik
yang kemudian dipadukan dengan petunjuk situasi. Mereka dapat berespon baik bila dipanggil,
terhadap pesan-pesan yang mudah ditebak dan suara lingkungan yang keras. Orang tua, guru,
dan dokter menjadi terkecoh dan menganggap pendengaran anak adalah normal, dan bahwa

148
kemampuan bicara yang buruk dan hasil-hasil di sekolah pasti disebabkan oleh factor-faktor lain
seperti gangguan perhatian, intelek, motivasi dan emosional.
Karena dari kemampuan mengambil kesimpulan yang salah seperti dijelaskan sebelumnya,
maka sebaiknya dokter mempertimbangkan gejala keterlambatan bicara / bahasa itu sendiri
sebagai alasan untuk pemeriksaan pendengaran klinis yang dilakukan secara cermat, termasuk
penentuan ambang pendengaran nada murni pada frekuensi 250 Hz ( C tengah ) hingga
8000 Hz ( lima oktaf di atas C ).
Jelaslah bahwa satu telinga yang berfungsi normal sudah mencukupi untuk perkembangan
bahasa yang normal. Mengenai masalah ini hanya ada sedikit data, namun para klinisi tidak
beranggapan bahwa kemampuan bicara dan bahasa dari anak dengan tuli unilateral (mis. setelah
mumps virus) berbeda jelas dengan anak dengan dua telinga yang berfungsi normal.

7.2 GANGGUAN SUARA


Gangguan suara yang lazim pada masa kanak-kanak adalah suara serak akibat
penyalahgunaan vokal. Bila tidak diawasi, maka kondisi plika vokalis dapat berkembang dari
iritasi ringan menjadi edema dan pembentukan nodulus. Nodulus berespon baik dengan istirahat
vokal dan seringkali juga dengan perubahan tinggi suara. Terapi perorangan maupun kelompok
telah berhasil dalam menentukan penyebab penyalahgunaan dan membantu individu tersebut
menjadi bertanggung jawab atas keluaran vokalnya. Modifikasi tingkah laku─contoh,
menghitung pemakaian suraa keras dan total waktu penggunaan suara─terbukti efektif.
Setelah adenoidektomi tidak jarang suara menjadi sengau, namun umumnya normal kembali
dalam beberapa jam atau hari. Terkadang suara sengau dapat berlanjut dan anak ternyata
menderita insufisiensi palatum atau celah submukosa. Pada kasus demikian, jaringan adenoid
ternyata berfungsi mengisi rongga nasofaring. Perlunya pengenalan celah submukosa,
insufisiensi velofaringeus, atau palatum yang pendek kengenital sebelum operasi dilakukan.

7.3 PALATOSKISIS
Anak yang lahir dengan labio / palatoskisis akan menghadapi tahun-tahun penuh tindakan
restorasi dan rehabilitasi. Berbagai disiplin ilmu untuk penatalaksanaa kasus ini adalah pediatric,
prostodonti, pedodonti, gizi, pendidikan, audiologi dan patologi bicara, otolaringologi, dan bedah
maksilofasial. Oleh karena itu, penatalaksanaan yang terkoordinasi merupakan hal yang pokok.
Permainan vocal membantu bayi mengembangkan persepsi megenai struktur oral dan bunyi
yang dihasilkannya. Palotoskisis tidak hanya mengganggu sensasi oral, namun sering juga
disertai ketulian, gangguan umpan balik pendengaran dan rangsangan lingkungan.
Pada kasus-kasus palatoskisis, suara yang dihasilkan sangat sengau. Masalah dengan arti
yang sama adalah gangguan artikulasi ( pengucapan ) yang menyertai insufisiensi velofaringeus.
Yaitu, presisi dari konsonan letup ( p-b-t-d-k-g ) dan konsonan desah ( s-z-f-v-th-sh-zh ) dan
konsonan affricate ( ch-dzh ) berkurang karena lolos dari hidung. Anak dapat meringis dalam
usahanya menutup nares untuk mencegah lolosnya udara. Pada kasus labioskisis yang telah
diperbaiki, bunyi-bunyi yang terpengaruh adalah bunyi yang memerlukan penutupan,
pembulatan dan ekstensi bibir ( p-b-m-oo-ee ).
Tanpa memperhatikan apakah pembedahan, prosthesis ataukah keduanya dapat
mempengaruhi perbaikan structural, penutupan velofaringeus masih belum memadai untuk
kemampuan berbicara. Anak perlu diberi bantuan dengan artikulasi yang tepat dan cepat. Bicara
yang dihasilkan merupakan salah satu kriteria keberhasilan penatalaksanaan pembedahan atau
prostetik.

149
Anak dengan palatoskisis berisiko terhadap deficit sensasi oral, masalah pemberian makan,
masalah social / emosional, keterlambatan perkembangan, serta gangguan bicara dan bahasa
dengan gangguan pendengaran.

7.4 GAGAP
Gagap adalah gangguan kelancaran berbicara atau abnormalitas dalam kecepatan atau irama
bicara. Semua orang pernah mengalami ketidaklancaran yang normal dalam berbicara, misalnya
berhenti sebentar atau pengulangan kata. Bila ketidaklancaran ini sangat nyata sehingga menarik
perhatian, atau bila pembicara berjuang untuk meniadakan kelancaran, maka si pembicara
dianggap gagap. Penggagap dapat mengulangi kata atau bunyi, memperpanjang bunyi, atau
“terhambat”, sehingga tidak menimbulkan bunyi sama sekali. Selain itu, gagap dapat disertai
tegangan otot dan usaha berjuang. Ciri sekunder dapat berupa sentakan kepala, mata yang
berkedip-kedip dan perubahan wajah.
Perlu diketahui bahwa banyak anak mengalami ketidaklancaran dalam berbicara yang agak
berlebihan di sekitar usia tiga atau empat tahun. Ketidaklancaran ini tidak disertai usaha
perjuangan atau ketegangan dalam berbicara, dan biasanya menghilang spontan. Orang tua perlu
diyakinkan mengenai ketidaklancaran yang normal iini. Mereka seharusnya tidak bereaksi
berlebihan terhadap hal ini, dan bereaksi positif guna kepentingan komunikasi anak. Jika
ketidaklancaran yang nyata terus berlanjut, barulah anak dan orang tua perlu dirujuk ke ahli
patologi bicara.

7.5 GANGGUAN TINGKAH LAKU / EMOSIONAL


Anak dengan gangguan tingkah laku / emosional seringkali juga mengalami gangguan
bahasa termasuk mutisme, gangguan isi bicara, kurangnya pemahaman, interaksi komunikasi
yang buruk dan ciri vocal yang tidak khas. Jenis gangguan bicara spesifik, contohnya
neogogisme, pembalikan kata ganti, ekolalia, banyak bicara, seringkali berguna dalam
menentukan diagnosis banding. Anak dengan gangguan yang paling berat yaitu autistic atau
skizofrenia, selalau memperlihatkan gangguan berbahasa yang ekstrim.
Pada beberapa anak, gangguan emosional dianggap sebagai “penyebab” primer dari
gangguan berbahasa. Gangguan emosional sendiri dapat merupakan “akibat” dari
ketidakmampuan berkomunikasi. Pada kedua kasus, ganggguan komunikasi mengharuskan
evaluasi oleh seorang ahli patologi bicara.

7.6 CEREBRAL PALSY


Anak dengan cerebral palsy memerlukan orientasi khusus dari ahli patologi bicara serta
dokter. Pengetahuan mengenai tonus, sensasi, postur dan reflex tubuh adalah penting.
Sebelum dapat berbicara, anak perlu melatih otot-otot mulut agar dapat melakukan fungsi
vegetative dasar seperti makan dan menelan. Postur sokongan pernafasan perlu dibuat optimum
untuk menghasilkan suara. Wujud bicara anak dengan cerebral palsy mencerminkan kondisi
neurofisiologik dasar yang dimilikinya. Kualitas suara, artikulasi bunyi bicara, frekuensi dan
irama pernafasan menjadi terganggu akibat flasiditas, spastisitas, rigiditas, tremor atau atetosis.
Bahasa dari anak dengan cacat fisik seringkali dipengaruhi keterbatasan pengalamannya.
Lebih lanjut, karena cerebral palsy per definisi menyangkut kerusakan otak, maka manifestasi
anak dapat berupa sebagian atau seluruh ciri yang berkaitan dengan ketidakmampuan berbahasa
atau retardasi mental organic. Pada kasus cerebral palsy terkait inkompatibilitas Rh dan

150
kernicterus, dapat terjadi ketulian sensorineural dengan kesulitan bahasa dan bicara yang
ditimbulkannya.
Kemampuan untuk berkomunikasi lebih penting dibandingkan kemampuan berbicara.
Bilamana anak mengalami keterbatasan bicara, mungkin diperlukan system komunikasi
pengganti atau pelengkap. Pelayanan rehabilitasi yang terkordinir termasuk pelayanan dokter dan
ahli terapi fisik dan pekerjaan, pekerja social, ahli patologi bicara dan yag lain, adalah perlu.

7.7 KETIDAKMAMPUAN BICARA SPESIFIK


Anak dengan ketidakmampuan belajar spesifik tidak akan menguasai satu atau lebih proses
dasar belajar yang efisien. Disamping ciri lainnya, anak dengan gangguan belajar umumnya
mengalami gangguan berbahasa. Kelompok anak ini memiliki intelegensi rata-rata. Mereka
mungkin sulit untuk membentuk abstraksi verbal dan pekerjaan beralasan yang diperlukan gunu
interpretasi hubungan kompleks dalam berbahasa. Gangguan bahasa oral dapat menyebabkan
berkurangnya kemampuan menangkap dan menginterpetasi, demikian pula dalam merumuskan
dan mengucapkan bahasa lisan. Kesulitan ini juga tercermin dalam hal-hal subjektif seperti
membaca, menulis dan bidang akademis lain yang memerlukan kemampuan berbahasa yang
memadai.
Meskipun sebagian gangguan bahasa ini berubah dengan perjalanan waktu, yang lain
menetap sepanjang hidup. Anak dengan gangguan bahasa memerlukan pelayanan khusus.
Pendidikan untuk perbaikan dan kompensasi serta terapi dapat diperoleh dari sekolah,
rumah sakit dan klinik khusus.

7.8 RETARDASI MENTAL


Berbeda dengan anak dengan gangguan berbahasa atau emosional, anak terbelakang benar-
benar terbelakang secara menyeluruh. Mereka tertinggal dalam perkembangan sosio-emosional,
intelektual dan perseosi motoric, demikian juga dalam bidang bahasa. Semakin berat derajat
retardasi umum, makin berat juga keterlambatan berbahasa. Anak dengan retardasi berat
mungkin tidak dapat berbicara sama sekali.

7.9 GANGGUAN ARTIKULASI


Anak dengan cacat artikulasi bicara mengalami kesulitan dalam mengucapkan bunyi secara
tepat atau merangkaikan bunyi. Pada segala usia, dapat terjadi kesalahan artikulasi yang masih
dalam batas normal perkembangan ( Tabel 2.2 ).
Orang tua terkadang kuatir bahwa gangguan bicara pada anak ada hubungannya dengan
“kakau lidah”, namun kenyataannya suatu frenum lingualis perlu sangat dibatasi sebagai
penyebab suatu gangguana artikulasi. Hampir semua anak dapat mengimbangi “kakau lidah”,
dan banyak pada kasus, keterbatasan tersebut akan berkurang dengan perjalanan waktu.
Jenis gangguan artikulasi yang paling sering ditemukan disebut misartikulasi fungsional.
Terdapat 4 tipe : subtitusi, penghilanagan, distorsi dan penambahan. Gangguan artikulasi
fungsional ( kategori gangguan tunggal yang terbesar ) lazim dijumpai pada kelompok anak usia
sekolah.
Dua jenis gangguan artikulasi disertai pula gangguan fisiologis. Anak dengan disartria
berbicara secara tidak tepat karena paralisis, kelemahan atau tidak adanya koordinasi mekanisme
bicara. Bila kesulitan terletak pada pemilihan, pengolahan dan perangkaian bunyi, maka
gangguan disebut apraksia. Disartria dan apraksia dapat sangat membatasi kemampuan anak
untuk mengembangkan kelancaran berbicara.

151
Usia Perkembangan Bunyi yang Dikuasai ⃰

2 p,h,n,b,k,f

2½ m, g

3 w,d,y,v

3½ S

4 Sh

4½ t,ng,ch,r,l,z,th

⃰pada 50% anak dengan segala posisi di dalam kata.

TABEL 2.2 AKUISISI KONSONAN BAHASA INGGRIS

8 GANGGUAN BAHASA DAN BICARA PADA DEWASA5


Gangguan komunikasi pada usia dewasa dapat berkenaan pada sejumlah kesulitan dan
mengakibatkan komunikasi yang terganggu atau tidak efektif. Gangguan paling sering
ditemukan oleh ahli THT adalah gangguan suara akibat laringektomi. Namun, gangguan lain
juga dapat mempengaruhi komunikasi dan berimplikasi pada intervensi medis dan terapeutik.

8.1 GANGGUAN SUARA


Suara merupakan produk akhir akustik dari suatu system yang lancar, seimbang, dinamis
dan saling terkait, melibatkan respirasi, fonasi dan resonansi. Tekanan udara subglotis dari paru,
yang diperkuat oleh otot-otot perut dan dada, dihadapkan pada plika vokalis. Suara dihasilkan
oleh pembukaan dan penutupan yang cepat dari pita suara, yang dibuat bergetar oleh gabungan
lancar kerja tegangan otot dan perubahan tekanan udara yang cepat. Tinggi nada terutama
ditentukan oleh frekuensi getaran pita suara.
Bunyi yang dihasilkan glottis diperbesar dan dilengkapi dengan kualitas yang khas ( resonansi )
saat melalui jalur supraglotis, khususnya faring. Gangguan pada system ini dapat menyebabkan
gangguan suara.

8.2 GANGGUAN FUNGSIONAL VERSUS ORGANIK


Gangguan suara dapat berupa fungsional, organic atau interaksi keduanya. Gangguan suara
fungsional adalah akibat penggunaan yang tidak tepat akibat dari suatu mekanisme normal.
Seringkali gangguan suara fungsional terjadi pada penyalahgunaan vocal atau gangguan
kepribadian. Stress emosional juga dapat menimbulkan tegangan musculoskeletal yang turut
berperan dalam penggunaan vocal yang tidak tepat. Gangguan suara organic disebabkan oleh
penyakit patofisiologik yang mengubah struktur atau fungsi laring. Beberapa gangguan ( mis.
papillomata, leukoplakia ) memerlukan intevensi bedah atau medis. Kebanyakan gangguan
fungsional dan sebagian gangguan organic ( mis. nodulus, paralisis adduktor unilateral )
berespon terhadap terapi simtomatik.

152
8.3 PARAMETER VOKAL ( TINGGI NADA, KEKERASAN, KUALITAS )
Kualitas vocal dapat dijelaskan secara subjektif dalam berbagai istilah, dua di antaranya
adalah “parau” dan “serak” yang sifat vocal menunjukkan kekerasan dan bernafas kasar.
Keduanya sering menyertai atau menyusul masa-masa penyalahgunaan suara. Umumnya hanya
berlangsung sementara dan kembali pulih setelah istirahat vocal selama beberapa jam, namun
kondisi semikronik tidak jarang ditemukan dalam keadaan ini.
Hiperfungsi aduktor tampaknya selalu terlibat pada semua penyalahgunaan suara.
Pada banyak kasus, vokalisasi dimulai dnegan suatu letupan glottis yang kuat disebut
“serangan glottis.” Setelah beberapa waktu, terjadi iritasi dan edema plika vokalis.
Jika hiperfungsi tidak dikendalikan, maka terdapat risiko perkembangan nodul pada tepi-tepi
plika. Dengan pertumbuhan nodul, tinggi nada vocal dapat berkurang akibat massa yang lebih
besar, kualitas kasar akan bertambah dan suara nafas menjadi terdengar karena udara lolos
melalui celah di sekitar nodul.
Disfonia aduktor spastik yang dicirikan oleh suara parau, tegang dan tercekik tampaknya
merupakan suatu contoh eksrim dari hiperfungsi, kendatipun kondisi ini tampaknya “resisten”
terhadap teknik-teknik terapi. Tindakan pembedahan dengan sengaja memotong saraf laringeus
rekurens menguntungkan pada beberapa pasien yang diseleksi degan sangat cermat.
Suara nafas tampaknya merupakan akibat hipofungsi adduktor. Kualitas nafas kasar ini
memperlihatkan suatu fase pendekatan yang singkat, dan pada saat berbisik, kedua pita suara
tidak saling menyentuh. Suara nafas ini biasanya responsive dengan terapi simtomatik.
“Hiponasalitas” dan “hipernasalitas” merupakan gangguan resonansi yang meliputi fungsi
rongga mulut, hidung dan faring serta organ-organ yang melekat padanya. Sfingter nasofaring
memerlukan suatu palatum mole fungsional dalam hubungannya tehadap otot konstriktor
superior yang dinamik pada dinding posterior faring. Sfingter relative tertutup pada pengucapan
sebagian besar bunyi kecuali bunyi “m”, “n” dan “ng”.
Hiponasalis adalah berkurangnya atau tidak adanya suara sengau di mana normalnya harus
terjadi. Dengan demikian, hiponasalis hanya mempengauhi 3 bunyi bicara ( m,n dan ng ).
“Benda dalam hidungku” menjadi ”Bedda dalap hidugku”. Fenomena ini disertai dengan
kongesti dan edema akibat infeksi saluran nafas atas, namun suara sengau yang menetap
memerlukan pemeriksaan untuk mencari adenoid yang hipertrofi, suatu massa atau deformitas
structural.

9 TERAPI 5
9.1 TERAPI SUARA
Setelah pemeriksaan medis, maka dengan memanfaatkan beberapa teknik, ahli patologi
bahasa dan bicara dapat membantu pasien mendapatkan suara yang lebih normal. Langkah
pertama adalah meningkatkan kemampuan pasien dalam memantau suara yang dihasilkannya,
dan meningkatkan kesadaran mengenai situasi-situasi dimana penyalahgunaan suara dapat
terjadi. Tujuan terapi lainnya adalah (1) mendidik pasien dalam hal anatomi dan fisiologi normal
pada mekanisme vocal; (2) menghilangkan kebiasaan berbicara yang salah;
(3) mengurangi penyalahgunaan vocal; (4) mengurangi ketegangan musculoskeletal; dan
(5) penyuluhan.
Sebelum dilakukan intervensi bedah, pasien harus menjalani masa percobaan terapi suara.
Terapi pada gangguan yang tidak mengancam jiwa seringkali tidak memerlukan pembedahan.
Pasien pasca bedah yang sebelum operasi tidak dirujuk ke ahli patologi bicara dan bahasa, dapat
menjalani intervensi terapeutik untuk mengurangi trauma pada plika vokalis. Istirahat suara

153
dalam waktu singkat, selama beberapa hari dapat membantu kesembuhan pasien setelah
pembedahan plika vokalis.

9.2 EFEK MEKANIS LARINGEKTOMI


Pengangkatan laring memisahkan fungsi respirasi dari bicara, menghilangkan sumber
getaran pada fonasi seperti yang telah ada ( glottis ), namun fungsi artikulasi secara relative utuh.
Orang yang menjalani laringektomi bernafas melalui stoma trakea. Pada kasus laringektomi
total, biasanya esophagus tetap utuh sebagai saluran penghubung mulut dan faring dengan
lambung. Maka sumber getaran baru untuk menghasilkan suara perlu dibentuk pada daerah
faring-esofagus. Daerah ini dikenal sebagai pseudoglotis atau neoglitis. Suara yang baru disebut
suara “esophagus” atau suara “alaringea” ( tanpa laring ).3,5
9.3 CARA MEMAKAI SUARA ESOFAGUS
Terdapat dua cara bagaimana masuknya udara dapat menghasilkan suara esophagus : injeksi
dan inhalasi. Menelan sebagai salah satu cara memasukkan udara tidak dianjurkan, karena proses
menelan tidak menganjurkan injeksi dan ekspulsi udara secara cepat yang diperlukan untuk dapat
berbicara.
Pada waktu injeksi, udara di dalam mulut atau hidung ditekan oleh gerakan bibir atau lidah dan
diinjeksikan kedalam esophagus. Hal ini dapat dilakukan secara sadar dengan merapatkan bibir
dan menekan ujung lidah pada krista aveolar, atau dorsum linguae pada palatum durum dan
mendorong “bola udara” ke dalam tenggorok. Bunyi konsonan tertentu ( p,t, dan k ) mendorong
udara ke dalam esophagus. Ketiganya disebut “konsonan injeksi.”
Pada waktu inhalasi, jalan nafas antara hidung atau mulut dan esophagus akan tetap terbuka.
Bila pasien melakukan inhalasi melalui stoma, maka tekanan negative dalam esofagus akan
meningkat, sehingga tercipta suatu vakum parsial. Jika segmen faring-esofagus relaksasi, maka
tekanan yang tinggi dalam mulut dan hipofaring akan mendorong udara ke dalam esophagus.

9.4 LARING ARTIFISIAL


Laring artifisial merupakan cara lain untuk meghasilkan suara guna berbicara.
Terdapat beberapa alat. Yang paling umum adalah alat yang digenggam, biasanya didepan leher.
Bunyi dihantarkan melalui jaringan dan kemudian diartikulasikan menjadi kata-kata. Suatu alat
elektronik serupa adalah generator nada yang digenggam dan dihubungkan dengan suatu slang
plastic diinersikan ke dalam mulut. Alat ini khusnya bermanfaat untuk pasien laringektomi yang
tidak dapat menggunkan alat pada leher, baik karena pembedahan leher yang luas ataupun karena
radiasi. Jenis alat yang ketiga adalah tipe pneumatic; udara didorong dari stoma ke dalam mulut,
menggunakan suatu pluit yang bergetar sebagai sumber bunyi.

9.5 PUNGSI TRAKEOESOFAGUS DAN PROSTESIS SUARA


Pungsi dibuat pada dinding trakea posterior ke dalam esophagus, dan kemudian diselipkan
suatu tuba berkatup satu arah. Udara ekshalasi pada pasien laringektomi akan dipintaskan
melalui prosthesis silicon ke dalam esophagus bila stoma ditutup, sehingga memungkinkan untuk
berbicara lancar.

154
9.6 PERJALANAN TERAPI
Bilamana mungkin, rahabilitasi harus dimulai sebelum pembedahan. Suatu kunjungan pra-
bedah pada pasien yang dilakukan oleh ahli patologi bicara, dan bila terindikasi dengan berhasil
pasien laringektomi berbicara memberitahukan bahwa ia akan dibantu. Kunjungan pra bedah
memberi kesempatan untuk menilai kemampuan berkomunikasi dan menentukan apakah
kebiasaan berbicara yang salah tidak ada hubungannya dengan kehilangan laring perlu perhatian
khusus.

9.7 FAKTOR-FAKTOR YANG BERKAITAN DENGAN KEBERHASILAN


DAN KEGAGALAN
Jenis dan luasnya pembedahan atau radiasi hanya mempunyai sedikit efek terhadap
kemampuan belajar bicara melalui esophagus. Gangguan pendengaran, gangguan medis,
gangguan kognitif, dan ciri psikologis juga telah ditemukan sebagai alasan kegagalan untuk
belajar bicara melalui esophagus.

10 GANGGUAN KOMUNIKASI LAINNYA5


Afasia adalah gangguan berbahasa akibat gangguan serebrovaskuler hemissfer dominan,
trauma kepala, atau proses penyakit. Terdapat beberapa tipe afasia, biasanya digolongkan sesuai
lokasi lesi. Semua penderita afasia memperlihatkan keterbatasan dalam pemahaman, membaca,
ekspresi verbal, dan menulis dalam derajat berbeda-beda. Bila lesi menghasilkan afasia di
anterior, pasien juga mengalami gangguan bicara motoric.
Apraksia bicara merupakan gangguan dalam memilih, memproses atau merangkai bumyi
dan kombinasi bunyi untuk membentuk kata.
Disartria adalah gangguan bicara motorik akibat tonus abnormal, paralisis, kelemahan atau
inkoordinasi mekanisme bicara. Bicara dapar terdengar tertelan, tidak stabil, mengalami distorsi
atau sengau.
Pasien dengan deficit hemisfer kanan dapat memperlihatkan ganggguan dalam perhatian,
orientasi, persepsi, kemampuan berkomunikasi secara pragmatic, ingatan dan integrasi.
Kemampuan bicara dan bahasa mungkin utuh, namun pasien dengan gangguan kognitif dapat
lebih mengalami kesulitan dalam berkomunikasi secara tepat dibandingkan pasien afasia.

11 DISFUNGSI ORAL ATAU DISFAGIA5


Disfagia, suatu gangguan dalam proses menelan dapat terjadi baik pada anak maupun
dewasa. Anak sering menunjukkan penolakan per oral, bila tidak pernah diberi makan lewat
mulut untuk waktu yang cukup panjang ( 3 minggu atau lebih ). Pada orang dewasa, gangguan
anatomis atau neuromuscular dapat menyebabkan disfagia. Pasien mengeluh sulit mengunyah
atau menelan makanan, makanan “melekat” pada tenggorokan, batuk atau tercekik saat makan
atau minum.
Pemeriksaan barium meal yang telah dimodifikasi adalah suatu prosedur videofluroskopik atau
sinar-radiografik yang memungkinkan visualisasi proses menelan yang kemudian direkam dalam
pita atau film.

155
5. RINITIS ALERGI
1. DEFINISI
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut ( Von Pirquet, 1986 ). 1
Menurut WHO ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma ) tahun 2001
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. 1

2. ETIOLOGI
Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara
genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting.
Pada 20 – 30% semua populasi dan pada 10 – 15% anak semuanya atopi. Apabila kedua orang
tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan
dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan
merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.1
Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama udara
pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari, dan
lain-lain.1
3. EPIDEMIOLOGI
Rinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit atopi,
diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%.4 Rinitis alergi telah menjadi problem kesehatan
global, mempengaruhi 10% sampai lebih dari 40% seluruh penduduk dunia. Rinitis alergi juga
telah menjadi 1 dari 10 alasan utama pasien datang berobat ke dokter. Namun, prevalensi ini bisa
menjadi lebih tinggi, hal ini dikarenakan banyaknya pasien yang mengobati diri sendiri tanpa
berkonsultasi ke dokter, maupun penderita yang tidak terhitung pada survey resmi.3
4. PATOFISOLOGI
Karakteristik utama dari sistem kekebalan tubuh adalah pengenalan dari "non-
self" yang berpasangan dengan ”memory”. Fungsi dari sistem kekebalan tubuh
melibatkan limfosit T dan limfosit B serta zat terlarut yang disebut sitokin yang
bertindak di dalam dan di luar sistem kekebalan tubuh untuk mempengaruhi sistem
tersebut dan juga beraneka ragam mediator. Gell dan Coombs menggambarkan
empat jenis reaksi hipersensitivitas : langsung, sitotoksik, komplek imun, dan
tertunda. Lainnya menyarankan penambahan dua jenis lagi ( rangsangan antibodi dan
antibodi-dependent, sitotoksisitas di mediasi sel ). Namun, rinitis alergi melibatkan
terutama jenis Gell dan Coombs, reaksi hipersensitif tipe I. Karena berbagai terapi
modalitas bekerja di berbagai titik dalam reaksi ini, penting bagi dokter untuk memiliki
pemahaman umum tentang hal tersebut.5
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat ( RAFC ) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat ( RAFL ) yang berlangsung 2-4
jam dengan puncak 6-8 jam ( fase hiperreaktivitas ) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam. 1

156
GAMBAR 2.5. REAKSI ALERGI
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji ( Antigen Presenting Cell / APC ) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. 1
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II
( Major Histocompatibility Complex ) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
( Th 0 ). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 ( IL 1 ) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Lalu Th 2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13. 1
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan
sel mastosit atau basofil ( sel mediator ) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang
sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat
alergen spesifik dan terjadi degranulasi ( pecahnya dinding sel ) mastosit dan basofil
dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk ( Performed Mediators )
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara
lain prostaglandin D2 ( PGD2 ), Leukotrien D4 ( LT D4 ), Leukotrien C4 ( LT C4 ),
bradikinin, Platelet Activating Factor ( PAF ) dan berbagai sitokin ( IL3, IL4, IL5, IL6,
GM-CSF / Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor ) dan lain-lain. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat ( RAFC ). 1
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga
157
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Cellular Adhesion Molecule 1 ( ICAM 1 ). 1
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta
peniingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor ( GM-CSF ) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiper responsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulanya seperti Eosinophilic Cationic Protein ( ECP ), Eosiniphilic
Derived Protein ( EDP ), Major Basic Protein ( MBP ), dan Eosinophilic Peroxidase
( EPO ). Pada fase ini,selain faktor spesifik ( alergen ), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan
kelembaban udara yang tinggi. 1
5. KLASIFIKASI
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu: 1
A. Rinitis alergi musiman ( seasonal, hay fever, polinosis )
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai
4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari ( pollen ) dan spora jamur.
Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala
klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata ( mata merah, gatal disertai
lakrimasi )
B. Rinitis alergi sepanjangtahun ( perenial )
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus,tanpa variasi musim, jadi
dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan
( yang dihirup oleh hidung ), terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.
Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah ( indoor ) dan alergen luar rumah
( outdoor ). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur.
Alergen ingestan ( yang dimakan ) sering merupakan penyebab pada anak-anak biasanya
disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan
fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman
tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma ) tahun 2000, yaitu berdasarkan
sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 1
A. Intermiten ( kadang-kadang )
Bila gejala kurang dari 4 hari / minggu atau kurang dari 4 minggu.
B. Persisten / menetap
Bila gejala lebih dari 4 hari / minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi : 1
A. Ringan

158
Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,bersantai, berolahraga,
belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
B. Sedang-berat
Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

ANATOMI HIDUNG
Kushnir N.M, Kaliner M.A, eds. Rhinitis Medikamentosa [ online ]. 2011. [ cited 2011
October 25 ]. Available from URL: http://www.medscape.com

6. KOMPLEKS OSTIOMEATAL ( KOM )


Kompleks OstioMeatal ( KOM ) merupakan celah pada dinding lateral hidung
yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang
membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris,
bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang
merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior
yaitu sinus maksila, sinus etmoid anterior dan sinus frontal, yang
merupakan sinus paranasalis anterior dengan ostium sinus-nya terletak pada
meatus medius. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi
perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait. [ 3 ]

159
7. SKEMA PATOFISIOLOGI RINITIS ALERGI

membentuk
Alergen ( 1 ) Makrofag / Merangsang Sitokin : IL 3,4,5 dan 13
monosit Th0

Alergen ( 2 ) Memotivasi limfosit B


Dengan proses yang sama membentuk

Membentuk

Imnunoglobulin E ( 1 )

Imnunoglobulin E ( 2 ) Imnunoglobulin E ( 1 )

Sel Mastocit

1. Merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus


sehingga menimbulkan gatal dan bersin-bersin
Degranulasi / pecah

2. Kelenjar mukosa dan sel goblet hiperkresi dan permeabilitas


Keluar Histamin
kapiler meningkat sehingga rinorea

3.Vasodilatasi sinusoid mengakibatkan hidung tersumbat

160
DAFTAR PUSTAKA RINITIS ALERGI :
1. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam. 2004.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2. Bailey BJ et al. Head and neck Surgery-Otolaryngology: Third Edition. 2001. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
3. Meltzer, EO. Evaluation of The Oral Antihistamine for Patients with Allergic Rhinitis. 2005.
Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/.
4. Oates JA, Wood AJJ. The New England Journal of Medicine: Drug therapy. 1991. Tersedia
di: http://highwire.stanford.edu/.
5. Cummings CW, Fredricksom JM, Harker LA. Otolaryngolohy Head and Neck Surgery:
Third Edition. 1998. St Louis: Mosby
6. Sheikh J, Najub U. Rhinitis Allergic. 2010. Tersedia di : //emedicine.medscape.com/
article/134825-diagnosis.
7. Bergström SE. Primary Ciliary Dyskinesia. 2010. Tersedia di : http://www.uptodate
.com/patients/content/topic.do?topicKey=~CDUFGoQw81hSwmU.
8. Mucha SM, et al. Comparison of Montelukast and Pseudoephedrine in the Treatment of
Allergic Rhinitis. 2006. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/.
9. Ballenger JJ. Disease of oropharynx. In : ballenger JJ. Ed. Diseases of the nose, throat, ea,
head and neck. 14 th ed. Philadelphia, london .
10. http://janevassh.blogspot.com/2013/09/anatomi-dan-fisiologi-hidung-faring-dan.html
11. Wenig BM. Kornbult AD. Pharyngitis. Bailey BJ and pillsburry IIIHC. Eds. Head and neck
surgery – otilaryngology Vol 1 Philadelphia.

DAFTAR PUSTAKA KOMPLEK OSTIO MEATAL :

1. Settipane R.A, Lieberman P. Update on Non-Allergic Rhinitis. Brown University School of


Medicine. Diunduh dari http://nypollencount.com/Articles/Non-Allergic%20Rhinitis.pdf
[diakses tanggal 21 April 2013]
2. Acute and Chronic Rhinitis. Dalam Dhingra P.L. Disease of Ear, Nose and Throat. Edisi 4.
New Delhi. Gopson Paper Ltd. 2007. Hal: 145-8
3. Kushnir N.M, Kaliner M.A, eds. Rhinitis Medikamentosa [ online ]. 2011. [ cited 2011
October 25 ]. Available from URL: http://www.medscape.com
4. Dhingra P.L, Dhingra S, eds. Diseases of Ear, Nose & Throat, 5th Edition. New Delhi :
Elsevier; 2011. p. 180-184
5. Tortora G.J, Derrickson B, eds. Principles of Anatomy and Physiology, 11 th Edition. New
York : Wiley; 2006. p. 847-850
6. Netter F.H, ed. Atlas of Human Anatomy, 4t Edition. New York : Elsevier; 2006. p. 32-36
7. Dhillon R.S, East C.A, eds. Ear, Nose and Throat and Head and Neck Surgery. 2 nd Esition.
London : Churchill Livingstone; 2000. p. 30-32
8. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam. 2004.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
9. Meltzer, EO. Evaluation of The Oral Antihistamine for Patients with Allergic Rhinitis.
2005. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari 2011.
10. Cummings CW, Fredricksom JM, Harker LA. Otolaryngology Head and Neck Surgery:
Third Edition. 1998. St Louis: Mosby

161
11. Oates JA, Wood AJJ. The New England Journal of Medicine: Drug therapy. 1991. Tersedia
di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari 2011.
12. Sheikh J, Najub U. Rhinitis Allergic. 2010. Tersedia di:http://emedicine.
medscape.com/article/134825-diagnosis. Diunduh pada 10 Januari 2011.
13. Bergström SE. Primary Ciliary Dyskinesia. 2010. Tersedia di: http://www.uptodate.
com/patients/content/topic.do?topicKey=~CDUFGoQw81hSwmU. Diunduh pada 10
Januari 2011.
14. Mucha SM, et al. Comparison of Montelukast and Pseudoephedrine in the Treatment of
Allergic Rhinitis. 2006. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari
2011
15. Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. Dalam : Byron J, Bailey JB,Ed. Otolaryngology
16. Head and Neck Surgery. Philadelphia: Lippincott Comp, 1993.p. 269 – 87
17. Segal S, Shlamkovitch N, Eviatar E, Berenholz L, Sarfaty S, Kessler A. Vasomotor rhinitis
following trauma to the nose. Ann Otorhinolaryng 1999; 108:208-10
18. Jones AS. Intrinsic rhinitis. Dalam : Mackay IS, Bull TR, Ed. Rhinology. Scott-Brown’s
Otolaryngology. 6th ed. London : Butterworth-Heinemann, 1997. p. 4/9/1 – 17
19. Sunaryo, Soepomo S, Hanggoro S. Pola Kasus Rinitis di Poliklinik THT RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta Tahun 1998. Disampaikan pada Kongres Nasional Perhati XII, Semarang, 28 -
30 Oktober, 1999
20. Wainwright M, Gombako LA. Vasomotor Rhinitis : http://www.medschool.lsuhsc.edu/
otor/Vasorhi.htm
21. Becker W, Naumann H H, Pfaltz C R. Ear, Nose, and Throat Diseases A Pocket Reference.
2nd ed. New York : Thieme Medical Publishers Inc, 1994. p. 210-3
22. Ramer J.T, Bailen E, Lockey R.F. Rhinitis Medikamentosa, Allergy Clinical Immunology
Journal, Volume 16(3), 2006 : 148-155
23. Lockey R.F,ed. Rhinitis Medicamentosa and Stuffy Nose, Allergy Clinical Immunology
Journal, Volume 118, 2006 : 1017-1018.
24. Mygind, Niehls. Nacleria, Robert M. Alergic and Nonallergic Rhinitis, Clinical Aspecst. 1st
Edition. Munksgaard. Copenhagen. 159-165. 1993.
25. Adams G., Boies L., Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta: 1997.
26. Newlands, Shawn D. Bailey, Biron J. et al.. Textbook of Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. 3rd edition. Volume 1. Lippincot: Williams & Wilkins. Philadelphia. 273-9.
2000.
27. Maran. Diseases of the Nose, Throat and Ear. Singapore.

162
6. TONSIL

1. ANATOMI TONSIL
Richard SS. Pharinx. In: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta:
ECG, 2006. p795-801.

2. TONSIL PALATINA / FAUCIAL


Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada
kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior ( otot palatoglosus ) dan pilar posterior
( otot palatofaringeus ). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi
seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. 7
Tonsil terletak di lateral orofaring.
Dibatasi oleh :
1. Anterior : arcus palatoglossus.
2. Posterior : arcus palatopharyngeus.
3. Superior : palatum mole.
4. Inferior : 1/3 posterior lidah.
5. Medial : ruang orofaring.
6. Lateral : muskulus constrictor pharyngeus superior.
Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong
faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan medial
bentuknya bervariasi dan mempunyai celah yang disebut kripte. Di dalam kripte ditemukan
leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia
faring yang sering disebut kapsul tonsil, yang tidak melekat erat pada otot faring.7
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi invaginasi
atau kripte tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang
kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik
difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di
seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya
memperlihatkan pusat germinal.7

163
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus,
batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dinding luarnya adalah
otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian
luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal.7

2.1 EMBRIOLOGI TONSILLA PALATINA


Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua diserap dan bagian dorsalnya tetap ada
dan menjadi epitel tonsilla palatina. Pilar tonsil berasal dari arcus branchial kedua dan ketiga.
Kripte tonsillar pertama terbentuk pada usia kehamilan 12 minggu dan kapsul terbentuk pada
usia kehamilan 20 minggu.8

2.2 VASKULARISASI
Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a. karotis eksterna yaitu :
a. maksilaris eksterna ( a. Fasialis ) yang mempunyai cabang a. tonsilaris dan
a. palatina asenden, a. maksilaris interna dengan cabangnya yaitu a.palatina desenden,
a. lingualis dengan cabangnya yaitu a. lingualis dorsal dan a. faringeal asenden. Arteri tonsilaris
berjalan ke atas di bagian luar muskulus konstriktor superior dan memberikan cabang untuk
tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirim cabang-cabangnya melalui
muskulus konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan
cabangnya ke tonsil melalui bagian luar muskulus konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal
naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior.
Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior atau lesser palatina artery memberi
vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina
asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.9

2.3 ALIRAN GETAH BENING


Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal
profunda ( deep jugular node ) bagian superior di atas muskulus sternokleidomastoideus /
kelenjar jugulo disgastrikus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan
pembuluh getah bening aferen tidak ada.10

2.4 INNERVASI
Innervasi terutama dilayani oleh n. IX ( glossopharyngeus ) dan juga oleh n. Palatina minor
( cabang ganglion sphenopalatina ). Pemotongan pada n. IX menyebabkan anestesia pada semua
bagian tonsil.11

2.5 IMUNOLOGI
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.
Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar.
Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang
( Wiatrak BJ, 2005 ). Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin
( IgG, IgA, IgM, IgD ), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di
jaringan tonsilar.12
Sel limfoid yang immuno reaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular,
area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel limfoid.12

164
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.

Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu:


1. Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif.
2. Sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.

GAMBAR 2.2 CINCIN WALDEYER


Empowering Otolaryngologist. Tonsillitis. In: American Academy of Otolaryngology-
Head & Neck Surgery. Pdf.
3. TONSILITIS KRONIS
3.1 DEFINISI
Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina / faucial yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Tonsilitis kronik merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya
merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.10,13
Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang
tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai
dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.14

5.2 EPIDEMIOLOGI
Tonsilitis adalah penyakit yang umum terjadi. Hampir semua anak di Amerika Serikat
mengalami setidaknya satu episode tonsilitis. 2 Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT pada
7 provinsi ( Indonesia ) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8%
tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut ( 4,6% ). Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar jumlah kunjungan baru dengan tonsillitis kronik mulai Juni 2008–Mei 2009 sebanyak
63 orang. Apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan baru pada periode yang sama, maka
angka ini merupakan 4,7% dari seluruh jumlah kunjungan baru.11
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada anak-anak muda
dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies Streptococcus biasanya
terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih sering terjadi pada anak-anak
muda.2,12 Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis merupakan penyakit

165
yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu
penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu : 10,9% pada usia
kurang dari 14 tahun; 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45 tahun keatas. Menurut
penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering penderita Tonsilitis Kronis adalah
kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 % . Sedangkan Kisve pada penelitiannya
memperoleh data penderita Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294 ( 62 % ) pada kelompok usia
5-14 tahun.9
3.3 ETIOLOGI
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptenya secara aerogen,
yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung lewat nasofaring terus masuk ke
tonsil, maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan 9. Etiologi
penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan
kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak
sempurna.13
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk bakteria erobik dan
anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis kronis jenis kuman yang paling
sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A ( SBHGA ). Streptokokus grup A adalah
flora normal pada orofaring dan nasofaring. Namun dapat menjadi pathogen infeksius yang
memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan Haemophilus influenzae,
Staphylococcus aureus, Streptococus Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.8,14
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli ( 1995 ) kultur hapusan tenggorok didapatkan
bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis Kronis yaitu Streptokokus alfa
kemudian diikuti Staphylococcus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A,
Staphylococcus epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter,
Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. Coli.9
Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan pengobatan yang khusus karena
dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh. Penyebab penting dari infeksi virusa dalah
adenovirus, influenza A, dan herpes simpleks ( pada remaja ). Selain itu infeksi virus juga
termasuk infeksi dengan coxackie virus A, yang menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi
pada tonsil. Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan
pembesaran tonsil secara cepat sehingga mengakibatkan obstruksi jalan napas yang akut.14
Infeksi jamur seperti Candidasp.tidak jarang terjadi khususnya di kalangan bayi atau pada
anak-anak dengan immunocompromised.14
3.4 FAKTOR PREDISPOSISI
Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik maupun
lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit Tonsilitis Kronis.
Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor genetik dan lingkungan
secara relatif penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya keterlibatan
faktor genetik sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis. 15
Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu:1
1. Rangsangan kronik ( rokok, makanan )
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca ( udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah )
4. Alergi ( iritasi kronik dari alergen )
5. Keadaan umum ( kurang gizi, kelelahan fisik )
6. Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

166
3.5 PATOFISIOLOGI
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana kuman
menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada suatu
waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil.
Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi
( fokal infeksi ) dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada
saat keadaan umum tubuh menurun.9 Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superkistal
bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid
diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripte melebar. Secara
klinik kripte ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul
tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada
anak disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibularis / kelenjar jugulo digastrikus.1

3.6 GEJALA KLINIS


Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri tenggorokan yang
berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas. Gejala-gejala
konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.16
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kripte
melebar dan beberapa kripte terisi oleh detritus. Terasa ada yang mengganjal di tenggorok,
tenggorok terasa kering dan napas yang berbau.1 Pada tonsillitis kronik juga sering disertai
halitosis dan pembesaran nodul servikal.2 Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang
secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik berupa
(a) pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya, kripte melebar
di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent. (b) tonsil tetap kecil, bisanya mengeriput,
kadang-kadang seperti terpendam dalam “tonsil bed” dengan bagian tepinya hiperemis, kripte
melebar dan diatasnya tampak eksudat yang purulent.8,17

GAMBAR 2.3 TONSILLITIS KRONIK


Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT.
Jakarta: ECG, 1997. p263-340

167
GAMBAR 2.4 UKURAN TONSIL
Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 2.
Jakarta : FKUI, 2007.p930-33.
Ukuran tonsil dibagi menjadi :
T0 : Post tonsilektomi.
T1 : Tonsil masih terbatas dalam fossa tonsilaris.
T2 : Sudah melewati pilar anterior, tapi belum melewati garis paramedian ( pilar posterior ).
T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median.
T4 : Sudah melewati garis median.

4. PENEGAKAN DIAGNOSIS
4.1 ANAMNESIS
Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus,
sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada
leher.15,18

4.2 PEMERIKSAAN FISIK


Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian kripte
mengalami stenosis, tapi eksudat ( purulen ) dapat diperlihatkan dari kripte-kripte tersebut.
Pada beberapa kasus, kripte membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat banyak
terlihat pada kripte.15,18

168
4.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilitis Kronis :
1. Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman patogen dan
mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme patogen
disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat
( Hammoudaet al, 2009 ). Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil.
Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita Tonsilitis Kronis yang dilakukan
tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan
tonsil untuk menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri Tonsilitis Kronis dapat
dipercaya dan juga valid. Kuman terbanyak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta
hemolitikus diukuti Staflokokus aureus.20

2. Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap
480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan ringan-
sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga
hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas menegakkan diagnosa
Tonsilitis Kronis.20

5. DIAGNOSIS BANDING
Terdapat beberapa diagnosis banding dari tonsilitis kronik, di antaranya :

5.1 TONSILLITIS DIFTERI


Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang yang terinfeksi
oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah.
Titer antitoksin sebesar 0,03 sat / cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas.
Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi
tertinggi pada usia 5 tahun. Gejala klinik terbagi dalam 3 golongan yaitu : umum, local, dan
gejala akibat eksotoksin.
Gejala umum sama seperti gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri
menelan.
Gejala local yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membrane semu ( pseudomembran ) yang
melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Jika infeksinya berjalan
terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai
leher sapi ( bull neck ).
Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung
dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan
albuminuria.1

169
GAMBAR 2.5 TONSILA DIFTERI
Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.

5.2 ANGINA PLAUT VINCENT ( STOMATITIS ULSEROMEMBRANOSA )


Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema. Gejala pada penyakit ini
berupa demam sampai 30ºC, nyeri kepala, badan lemah, rasa nyeri dimulut, hipersalivasi, gigi
dan gusi mudah berdarah. Pada pemeriksaan tampak mukosa dan faring hiperemis, membran
putih keabuan diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau
( foetor ex ore ) dan kelenjar submandibular membesar.1

GAMBAR 2.6 ANGINA PLAUT VINCENT


Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.

5.3 FARINGITIS
Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi,
trauma dan toksin.Infeksi bakteri dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat, karena
bakteri ini melepaskan toksin ektraseluler yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan
katup jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya
kompleks antigen antibody. Gejala klinis secara umum pada faringitis berupa demam, nyeri

170
tenggorok, sulit menelan, dan nyeri kepala.Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring
dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul
bercak petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa anterior membesar, kenyal, dan nyeri
pada penekanan.1

GAMBAR 2.7 FARINGITIS


Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25

5.4 FARINGITIS LEUTIKA


Gambaran klinik tergantung pada stadium penyakit primer, sekunder atau tersier.
Pada penyakit ini tampak adanya bercak keputihan pada lidah, palatum mole, tonsil, dan dinding
posterior faring. Bila infeksi terus berlangsung maka akan timbul ulkus pada daerah faring yang
tidak nyeri. Selain itu juga ditemukan adanya pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri
tekan.1
5.5 FARINGITIS TUBERKULOSIS
Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Gejala klinik pada faringitis tuberculosis
berupa kedaan umum pasien yang buruk karena anoresia dan odinofagia. Pasien mengeluh nyeri
hebat ditenggorok, nyeri di elinga atau otalgia serta pembesaran kelanjar limfa servikal. 1
Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri tenggorok dan kesulitan
menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan jaringan atau kultur,
X-ray Thorak PA dan biopsy.
6. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa dan operatif.

6.1 MEDIKAMENTOSA
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat isap, pemberian
antibiotic, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau oral.1,8 Pemberian antibiotika
sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis :
Cephaleksin ditambah metronidazole, Klindamisin ( terutama jika disebabkan mononukleosis
atau abses ), Amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika bukan disebabkan mononucleosis ).9

171
6.2 OPERATIF
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil ( tonsilektomi ).
Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.
Pada penelitian Khasanov et al mengenai prevalensi dan pencegahan keluarga dengan
Tonsilitis Kronis didapatkan data bahwa sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang dengan
diagnosa Tonsilitis Kronis, sebanyak 36 dari penderita mendapatkan penatalaksanaan
tonsilektomi.9

a. Indikasi Tonsilektomi
Indikasi umum:
Jika Tonsil menjadi sumber infeksi dimana resiko terhadap tubuh lebih besar daripada resiko
operasi, dapat mulai umur 3-60 tahun.

Indikasi Khusus:
1.Tonsillitis akut yang berulang ( Terjadi 4-5 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun ).
2. Tonsilitis dengan komplikasi ( Abses peritonsilar / Quincy, parafaring, sepsis )
3.Tonsilitis dengan eksaserbasi akut.
4. Tonsilitis sebagai carrier pada tonsilitis difteri.
5. Tonsilitis sebagai fokal infeksi.
6. Tonsilitis permagna.
7. Tumor tonsil benigna.

b. Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya
dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang manfaat dan
risiko. Keadaan tersebut yakni : gangguan perdarahan, risiko anestesi yang besar atau
penyakit berat, anemia, dan infeksi akut yang berat, antara lain :
1. Infeksi akut saluran nafas, resiko pada anastesi, kardiovaskular, respirasi.
2. Hemofilia, Trombositopenia.
3. Anemia, diobati dulu sampai Hb >10 gr%.
4. DM.
5. TBC.
6. Kelainan jantung / ginjal.
7. Umur <3 Tahun.
8. Epidemic poliomyelitis.
9. Hamil.
10. Menstruasi.9,18
Untuk infeksi akut jalan napas bagian atas / panas badan / nyeri telan dapat minimal
4 ( Empat ) minggu sembuh, baru dilakukan Tonsilektomi karena adanya infeksi :
1. Tindakan anastesi beresiko menyebarkan infeksi jalan nafas.
2. Adanya Bronkitis akut / Kronik : Vaskularisasi paru meningkat, efek anestesi dapat
menyebabkan Oedem Paru.
3. Beresiko perdarahan yang banyak karena tonsil masih oedem dan hiperemi.

172
c. Persiapan Pasien Tonsilektomi
Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus disadari bahwa mungkin
tindakan ini merupakan prosedur pembedahan yang pertama kali bagi pasien. Riwayat penyakit
yang komplit dan pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan perhatian khusus terhadap
adanya gangguan yang bersifat diturunkan terutama kecenderungan terjadinya
pendarahan. Disamping itu riwayat saudara pasien yang mungkin mengalami kesulitan dengan
anastesi umum sebaiknya diketahui untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
hipertermia maligna. Pemeriksaan Laboratorium seperti waktu tromboplastin parsial,
waktu protrombin, jumlah trombosit, pemeriksaan hitung darah komplit dan urinalisa sebaiknya
dilakukan. Selain itu pemeriksaan anti streptolisin titer O ( ASO ) dilakukan untuk mengetahui
tingkat infeksi serta sebagai salah satu indikasi tonsilektomi. Anti streptolisin meningkat pada
minggu pertama dan mencapai puncaknya pada minggu ketiga sampai keenam setelah infeksi.
Pemeriksaan dikatakan positif bila konsentrasi ASO dalam serum darah lebih dari 200 IU / ml.
Selain itu pemeriksaan radiologi thorak PA dan elektrokardiogram sebaiknya dilakukan sebelum
pembedahan.5,6,8
d. Teknik Operasi Tonsilektomi
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada abad 1 Masehi oleh
Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari tangan. Di Indonesia teknik tonsilektomi
yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan Diseksi.9, 21
1. Diseksi : Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag, tonsil dijepit dengan
forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi pada membran mukosa. Dilakukan diseksi
dengan disektor tonsil atau gunting sampai mencapai pole bawah dilanjutkan dengan
menggunakan senar untuk menggangkat tonsil.
2. Guilotin : Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat dilakukan bila tonsil dapat
digerakkan dan bed tonsil tidak cedera oleh infeksi berulang.
3. Elektrokauter : Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat digunakan pada tehnik ini.
Prosedur ini mengurangi hilangnya perdarahan namun dapat menyebabkan terjadinya luka
bakar.
4. Laser tonsilektomi :: Diindikasikan pada penderita gangguan koagulasi. Laser KTP-512 dan
CO2 dapat digunakan namun laser CO2 lebih disukai. Tehnik yang dilakukan sama dengan
yang dilakukan pada tehnik diseksi.

e. Komplikasi Tonsilektomi
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat. Jumlah
perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor operatornya sendiri.
Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang berlebihan atau adanya
infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada operator yang lebih berpengalaman
dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma dan kerusakan jaringan lebih sedikit
sehingga perdarahan juga akan sedikit. Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah
kapiler atau vena kecil yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan
tampon tekan. Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah yang
lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila dengan cara di atas
tidak menolong, maka pada fossa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam kemudian pilar
anterior dan pilar posterior dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis
eksterna.21

173
Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang terjadi pada cara guillotine
lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat alat umumnya berupa kerusakan jaringan di
sekitarnya seperti kerusakan jaringan dinding belakang faring, bibir terjepit, gigi patah atau
dislokasi sendi temporomandibula saat pemasangan alat pembuka mulut.21
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya yaitu immediate,
intermediate dan late complication. 21
1. Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat berupa perdarahan dan
komplikasi yang berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera atau disebut juga
perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah.
Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks batuk
belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas menyebabkan asfiksi.
Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak cermat atau terlepasnya ikatan.
21
Perdarahan dan iritasi mukosa dapat dicegah dengan meletakkan ice collar dan
mengkonsumsi minuman dingin / ice cream. 22
2. Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian ( intermediate complication ) dapat berupa
perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi paru dan otalgia.
Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya
terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah infeksi serta trauma
akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang terlepas, jaringan granulasi yang
menutupi fosa tonsil terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah di
bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya
berasal dari pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya sama dengan perdarahan
primer.21
Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami edem. Nekrosis
uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai biasanya akibat kerusakan bilateral pembuluh darah
yang mendarahi uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi melalui bakteremia dapat
mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau mungkin dapat terjadi endokarditis.
Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih / refered pain dari fosa tonsil, tetapi kadang-
kadang merupakan gejala otitis media akut karena penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius.
Abses parafaring akibat tonsilektomi mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil
berhubungan dengan ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi, komplikasi paru
jarang terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi darah atau potongan jaringan tonsil. 21
3. Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di palatum mole.
Bila berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan rinolalia. Komplikasi lain adalah
adanya sisa jaringan tonsil. Bila sedikit umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila
cukup banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil. 21

Komplikasi tonsilektomi dapat berupa : 10,18


1. Immediate and Delayed Hemorrhage.
2. Postoperative Airway Compromise : Jarang terjadi, biasanya disebabkan oleh terlepasnya
bekuan-bekuan, terlepasnya jaringan adenotonsillar, post operasi edema oropharingeal, atau
hematom retropharyngeal.
3. Dehidrasi.
4. Pulmonary Edema : Disebabkan oleh pembebasan secara tiba-tiba jalan napas yang obstruksi
karena hipertropi adenotonsillar yang lama, mengakibatkan penurunan mendadak tekanan

174
intratoracal, peningkatan volume darah paru, dan peningkatan tekanan hidrostatik yang dapat
terjadi segera atau beberapa jam setelah pembebasan jalan napas.
5. Nasopharyngeal Stenosis : komplikasi yang jarang dari jaringan parut.
6. Eustachian Tube Dysfunction.
7. Aspiration Pneumonia : jarang terjadi, biasanya akibat aspirasi dari bekuan darah.

7.3 KOMPLIKASI
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis
kronik, sinusitis atau otitis media secara percontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara
hematogen atau limfogen dan dapat timbul endocarditis, artritis, myositis, nefritis, uvetis
iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis. ( Rusmarjono, Kartoesoediro S.
Tonsilitis kronik. In : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed
Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25 )

Beberapa literature menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis antara lain:9,23


a) Abses Peritonsil / Quincy Abcess
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses biasanya
terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed,
akibat proses fagositosis kuman pada kelenjar getah bening Weber. Hal ini paling sering
terjadi pada penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah malaise yang
bermakna, odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan
pungsi aspirasi abses.

GAMBAR 2.8 ABSES PERITONSIL


Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik Medan
Tahun 2009. 2011.pdf dan Lalwani AK. Management of Adenotonsillar Disease:
Introduction. In : Current Otolaryngology 2nd ed. McGraw-Hill:2007

175
b) Abses Parafaring
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula,
demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol kearah medial.
Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal.
c) Abses Intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan
penutupan kripte pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang
bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian
antibiotika dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi.
d) Tonsilolith ( kalkulus tonsil )
Tonsilolith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari
debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang memicu
terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi
ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak
nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan
melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.
e) Kista tonsilar
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran kekuningan diatas
tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainase.
f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis
Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi meningkat pada 43%
penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta
hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring.
Hasil ini meng-indikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa terjadinya
penyakit glomerulonefritis.
8. PROGNOSIS
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan pengobatan
suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita Tonsilitis lebih nyaman.
Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai
arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan
dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita
mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga
dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius
seperti demam rematik atau pneumonia.9
9. DAFTAR PUSTAKA
1. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.
2. Udayan KS. Tonsillitis and peritonsillar Abscess. [online]. 2011 .[cited, 2012 Jan 18).
Available from URL:http://emedicine.medscape.com/
3. Medical Disbility Advisor. Tonsillitis and Adenoiditis. [online]. 2011 .[cited, 2012 Jan
18). Available from URL: http://www.mdguidelines.com/tonsillitis-and-adenoiditis/

176
4. John PC, William CS. Tonsillitis and Adenoid Infection. [online].2011 .[cited, 2012 Jan
17). Available from: URL: http://www.medicinenet.com
5. Christopher MD, David HD, Peter JK. Infectious Indications for Tonsillectomy. In: The
Pediatric Clinics Of North America. 2003. p445-58
6. Adnan D, Ionita E. Contributions To The Clinical, Histological, Histochimical and
Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis. Pdf.
7. Richard SS. Pharinx. In: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta:
ECG, 2006. p795-801.
8. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:
ECG, 1997. p263-340
9. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik Medan
Tahun 2009. 2011.pdf
10. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy.
In: Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition. 2006.
11. Indo Sakka, Raden Sedjawidada, Linda Kodrat, Sutji Pratiwi Rahardjo. Lapran
Penelitian : Kadar Imunoglobulin A Sekretori Pada Penderita Tonsilitis Kronik Sebelum
Dan Setelah Tonsilektomi. Pdf.
12. Empowering Otolaryngologist. Tonsillitis. In: American Academy of Otolaryngology-
Head & Neck Surgery. Pdf.
13. Mandavia, Rishi. Tonsillitis. [online] .[cited, 2012 Jan 20). Available from: URL:
http://www.entfastbleep.com
14. Gross CW, Harrison SE. Tonsils and Adenoid. In: Pediatrics In Review. [online].2000.
[cited, 2012 Jan 21). Available from: URL: http://www.pediatricsinrewiew.com
15. Ellen Kvestad, Kari Jorunn Kværner, Espen Røysamb, et all. Heritability of Reccurent
Tonsillitis. [online].2005.[cited, 2012 Jan 21). Available from: URL:
http://www.Archotolaryngelheadnecksurg.com
16. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In: Ilmu
Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4
17. Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid
2. Jakarta :FKUI, 2007.p930-33.
18. Pasha R. Pharyngeal And Adenotonsillar Disorder. In: Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. p158-165
19. Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and Neck
Manifestations of Systemic Disease. USA:2007.p493-508
20. Uğraş, Serdar & Kutluhan, Ahmet. Chronic Tonsillitis Can Be Diagnosed With
Histopathologic Findings. In: European Journal of General Medicine, Vol. 5, No. 2.
[online].2008.[cited, 2012 Jan 23]. Available from: URL: http://www. Bioline
International .com
21. Hatmansjah. Tonsilektomi. In: Cermin Dunia Kedokteran vol 89. [online].1993.[cited,
2012 Jan 25]. Available from: URL: http://www. cerminduniakedokteran .com
22. Harrison SE, Osborne E, Lee S. Home Care After Tonsillectomy and Adenoidectomy.
In: Missisipi Ear, Nose, & Throat Surgical Associates 601. pdf.
23. Lalwani AK. Management of Adenotonsillar Disease: Introduction. In: Current
Otolaryngology 2nd ed. McGraw-Hill:2007.

177
7 PRESBIAKUSIS
1. PENDAHULUAN 172
2.1 ANATOMI TELINGA 173
2.1.1 Telinga Luar 173
2.1.2 Telinga Tengah 173
2.1.3 Telinga Dalam 174
2.2 FISIOLOGI PENDENGARAN 174
2.3 DEFINISI PRESBIAKUSIS 174
2.4 ETIOLOGI PRESIAKUSIS 175
2.5 PATOGENESIS PRESBIAKUSIS 175
2.5.1 Degenerasi Koklea 175
2.5.2 Degenerasi Sentral 176
2.5.3 Mekanisme Mokular 176
 Faktor Genetik 176
 Radikal Bebas
176
 Gangguan Transduksi Sinyal
177
2.6 PATOFISIOLOGI PRESBIAKUSIS 177
2.7 FAKTOR RESIKO PRESBIAKUSIS 177
2.7.1 Usia dan Jenis Kelamin 177
2.7.2 Hipertensi 178
2.7.3 Diabetes Mellitus 178
2.7.4 Hiperkolesterolemia 178
2.7.5 Merokok 179
2.7.6 Riwayat Bising 179
2.8 KLASIFIKASI PRESBIAKUSIS 179
2.8.1 Neural 179
2.8.2 Metabolik 180
2.8.3 Koklea Konduktif 181
2.9 DERAJAT PRESBIAKUSIS (INDEKS FLETCHER) 182

178
8 TIMPANOMETRI
1. PENDAHULUAN 183
2. TINJAUAN PUSTAKA 184
2.1 Anatomi Telinga 184
2.2 Fisiologi Pendengaran 188
2.3 Definisi Timpanometri 189
2.4 Indikasi Pemeriksaan Timpanometri 189
2.5 Kontraindikasi Pemeriksaan Timpanometri 190
2.6 Timpanometer 190
2.7 Cara Pemeriksaan Timpanometer 191
2.7.1 Cara Kerja Impedans Meter 191
2.8 Interperetasi Timpanogram 192
1. Tipe A : Normal 193
2. Tipe As / Stiffness (kekakuan) atau Shallownes (kedangkalan): kekakuan
tulang-tulang pendengaran 194

3. Tipe Ad / Discontinuity : Diskontinuitas tulang-tulang pendengaran 195

4. Tipe B / Flat : cairan ditelinga tengah / cavum timpani atau perforasi


membrane timpani 196

5. Tipe C : disfungsi / gangguan fungsi tuba eustachius 197

2. KESIMPULAN 200
3. DAFTAR PUSTAKA 201

179
7. PRESBIAKUSIS

1.1 LATAR BELAKANG


Presbiakusis adalah tuli sensorineural pada usia lanjut akibat proses penuaan organ
pendengaran yang terjadi secara berangsur-angsur, dan simetris pada kedua sisi telinga.
Presbiakusis, merupakan penurunan ketajaman pendengaran yang bersifat progresif lambat ini
terbanyak pada usia 70-80 tahun, pada usia 70 tahun biasanya penderita belum merasakna
adanya gangguan pendengaran namun ketika usia mencapai 80 tahun gangguan pendengaran
terasa lebih nyata. Presbiakusis dialami sekitar 30-35% pada populasi berusia 65-75 tahun dan
40-50% pada populasi di atas 75 tahun. Perbedaan prevalensi presbiakusis antar ras belum
diketahui secara pasti.1,2
Presbiakusis merupakan salah satu masalah kesehatan yang terpenting dalam masyarakat.
Hampir 40% penderita usia 65 tahun ke atas mengalami gangguan pendengaran. Akibat
gangguan pendengaran tersebut penderita mengalami gangguan masalah sosial, seperti frustasi,
depresi, cemas, paranoid, merasa kesepian dan meningkatnya angka kecelakaan.2,3
Komite nasional penanggulangan gangguan pendengaran dan ketulian menyatakan bahwa
diperlukan pengetahuan, pengenalan, dan pencegahan presbiakusis oleh masyarakat bersama-
sama kader dan tenaga kesehatan, selain peningkatan pengetahuan dan ketrampilan bagi tenaga
kesehatan di lini terdepan untuk mendiagnosis presbiakusis. Skrining pendengaran sebaiknya
juga dilakukan secara rutin pada penderita dengan usia di atas 60 tahun untuk menurunkan
morbiditas akibat presbiakusis.4
Negara-negara barat memiliki pola yang begitu berbeda pada tuli jenis ini. Laporan
National Institute on Aging memberikan informasi sepertiga penduduk Amerika antara usia 65-
74 tahun dan separuh penduduk berusia 85 tahun ke atas memiliki gangguan pendengaran jenis
ini. Prevalensi tersebut meningkat pada tahun 2030 menjadi 70 juta orang. Jumlah penduduk
Indonesia dengan usia lebih dari 60 tahun pada tahun 2005 diperkirakan penderita presbiakusis
akibat usia lanjut tersebut akan meningkat menjadi 4 kali lipat dan merupakan jumlah tertinggi di
dunia.3
Etiologi presbiakusis belum diketahui secara pasti. Banyak faktor yang diduga dapat
mempengaruhi terjadinya presbiakusis. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara berbagai faktor risiko seperti usia, jenis kelamin, hipertensi, diabetes mellitus,
hiperkoleterol dan kebiasaan merokok terhadap penurunan pendengaran pada usia lanjut.3,4
Penyakit seperti hipertensi, diabetes mellitus dan hiperkolesterol secara langsung
dapat mempengaruhi aliran pembuluh darah koklea dan menurunkan transportasi nutrisi
akibat perubahan pembuluh darah yang berakibat degenerasi sekunder pada saraf
pendengaran.3,4
Presbiakusis merupakan salah satu gangguan pendengaran yang menjadi perhatian program
penanggulangan gangguan pendengaran dan ketulian (PGPKT). Tujuan program tersebut adalah
menurunkan angka kejadian presbiakusis sebesar 90% pada tahun 2030. Diharapkan dengan
program tersebut dapat dicegah peningkatan populasi presbiakusis dengan memperhatikan
faktor-faktor risikonya.3

180
2.1. ANATOMI TELINGA
2.1.1 Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari aurikula (pinna) dan kanalis auditoris eksternus, yang berfungsi
sebagai resonator dan meningkatkan transmisi suara. Aurikula tersusun sebagian besar kartilago
yang tertutup oleh kulit. Lobules adalah bagian yang tidak mengandung kartilago. Kartilago dan
kulit telinga akan berkurang elastisitasnya sesuai dengan pertambahan usia. Saluran auditorius
pada dewasa berbentuk S panjangnya ±2,5 cm dari aurikula sampai membrane timpani. Serumen
disekresi oleh kelenkar-kelenjar yang berada di sepertiga lateral kanalis auditorius eksternus.
Saluran menjadi dangkal pada proses penuaan akibat lipatan ke dalam, pada dinding
kanalis menjadi lebih kasar, lebih kaku dan produksi serumen agak berkurang serta lebih
kering. Agar lebih jelas dapat dilihat pada GAMBAR 2.1. 1,2

GAMBAR 2.1 ANATOMI TELINGA4

2.1.2 Telinga Tengah


Ruangan berisi udara terletak dalam tulang temporal yang terdiri dari 3 tulang artikulasi :
maleus, inkus dan stapes yang dihubungkan ke dinding ruang timpani oleh ligament. Membran
timpani memisahkan telinga tengah dari kanalis auditorius eksternus. Vibrasi membrane
menyebabkan tulang-tulang bergerak dan mentransmisikan gelombang bunyi melewati ruang ke
foramen oval. Vibrasi kemudian bergerak melalui cairan dalam telinga tengah dan merangsang
reseptor pendengaran. Bagian membran yang tegang yaitu pars tensa sedangkan sedikit tegang
adalah pars flaksida. Perubahan atrofi pada membrane karena proses penuaan
mengakibatkan membrane lebih dangkal dan retraksi (teregang).4

2.1.3 Telinga Dalam (Koklea)

181
Koklea adalah struktur yang berbentuk lingkaran sepanjang 35 mm yang terdiri dari:
skala vestibuli, skala timpani yang mengandung perilimfe dan unsur potassium dengan
konsentrasi 4 mEq/L dan konsentrasi sodium sebesar 139 mEq/L. Skala media yang berisi
endolimfe dibatasi oleh membrane Reisner, membrane basilar dan lamina spiralis oseus serta
dinding lateral. Skala media ini mengandung unsure potassium sebesar 144 mEq/L dan sodium
sebesar 13 mEq/L.5 Kalium = Potasium. Natrium = Sodium.

BERISI
SKALA MENGANDUNG KALIUM= NATRIUM=
POTASIUM SODIUM
Skala vestibuli, Perilimfe 4 mEq/L 139 mEq/L
Skala timpani
Skala media Endolimfe 144 mEq/L 13 mEq/L

Arus listrik potensial saat istirahat di dalam skala media sebesar 80-90mV dan potensial
endokoklear yang dihasilkan oleh stria vaskularis pada dinding lateral mengandung Na +K+
ATPase. Perilimfe pada skala vestibule berhubungan dengan perilimfe pada skala timpani di
daerah apeks koklea yang disebut helikotrema. Komponen sebagian besar organ corti adalah sel
sensori (tiga baris sel rambut luar dan satu baris sel rambut dalam), sel-sel penunjang (Deiters,
Hensen, Claudius), membrane tektorial, dan lamina retikular-retikular.5
Saraf pendengaran mengandung 30.000 neuron yang menghubungkan sel sensori ke
saraf otak. Badan sel saraf pendengaran terletak di sentral yang masing-masing memiliki 10-20
dendrit koneksi. Tipe fiber saraf pendengaran mempunyai 2 tipe, yaitu tipe serabut yang lebih
besar, bermielin, neuron bipolar yang menginervasi sel rambut dalam sebanyak 90-95%. Tipe
fiber yang kedua lebih kecil, tidak bermielin, menghubungkan dengan sel rambut luar sebanyak
5-10%.5

2.2. FISIOLOGI TELINGA


Defleksi sterosilia (rambut) sel sensori seperti gelombang travelling mekanik yang
mengawali proses transduksi. Gelombang sepanjang membran basilaris bergerak dari dasar
apeks koklea, mirip dengan gerakan piston stapes pada telinga tengah. Gelombang ini memiliki
puncak yang tajam menimbulkan suara frekuensi tinggi kemudian bergerak ke arah apeks
sehingga suara berangsur-angsur menurun. Defleksi stereosilia dengan cara terbuka dan
tertutupnya kanal ion, menyebabkan aliran ion K+ menuju sel sensori. Perubahan ion
potassium dari nilai positif 80-90 mV di skala media menjadi potensial negatif pada sel rambut
luar dan dalam. Hasil depolarisasi ini akan menghasilkan enzim cascade, melepaskan
transmitter kimia dan kemudian mengaktivasi serabut saraf pendengaran.4

2.3 DEFINISI PRESBIAKUSIS


Presbiakusis adalah tuli sensorineural pada usia lanjut akibat proses degenerasi organ
pendengaran, simetris (terjadi pada kedua sisi telinga) yang terjadi secara progresif lambat, dapat
dimulai pada frekuensi rendah atau tinggi serta tidak ada kelainan yang mendasari selain proses
menua secara umum.1
2.4. ETIOLOGI PRESBIAKUSIS
Schuknecht menerangkan bahwa penyebab kurang pendengaran akibat degenerasi ini
dimulai terjadinya atrofi di bagian epitel dan saraf sel ganglion spiral pada daerah basal

182
hingga ke daerah apeks yang pada akhirnya terjadi degenerasi sel-sel pada jaras saraf
pusat dengan manifestasi gangguan pemahaman bicara. Kejadian presbiakusis diduga
mempunyai hubungan dengan faktor-faktor herediter, metabolisme, aterosklerosis, bising, gaya
hidup atau bersifat multifaktor.5

2.5 PATOGENESIS PRESBIAKUSIS


2.5.1 Degenerasi Koklea
Patofisiologi terjadinya presbiakusis menunjukkan adanya degenerasi pada stria vaskularis
(tersering). Bagian basis dan apeks koklea pada awalnya mengalami degenerasi, tetapi kemudian
meluas ke region kokela bagian tengah dengan bertambahnya usia. Degenerasi hanya terjadi
sebagian tidak seluruhnya. Degenerasi sel marginal dan intermedia pada stria vaskularis terjadi
secara sistemik, serta terjadi kehilangan Na+K+ ATPase. Kehilangan enzim penting ini, dapat
terdeteksi dengan pemeriksaan imunohistokimia.6
Prevalensi terjadinya presbiskusi metabolic (strial presbyacusis) cukup tinggi. Stria
vaskularis yang banyak mengandung vaskularisasi, pada penelitian histopatologi tikus kecil yang
mengalami penuaan terdapat keterlibatan vaskuler antara faktor usia dengan terjadinya kurang
pendengaran.6
Analisis dinding lateral dengan kontras pada pembuluh darah menunjukkan hilangnya stria
kapiler. Perubahan patologi vaskular terjadi berupa lesi fokal yang kecil pada bagian apical dan
bawah basal yang meluas pada region ujung koklea. Area stria yang tersisa memiliki hubungan
yang kuat dengan mikrovaskular normal dan potensial endoklokea. Analisis ultrastuctural
menunjukkan ketebalan membrane basal yang signifikan, diikuti dengan penambahan deposit
laminin dan akumulasi immunoglobulin yang abnormal pada pemeriksaan histokimia.
Pemeriksaan histopatologis pada hewan dan manusia menunjukkan hubungan antara usia
dengan degenerasi stria vaskularis.6
Degenerasi stria vaskularisasi akibat semua penuaan berefek pada potensial
endolimfe yang berfungsi sebagai amplifikasi koklea. Potensial endolimfatik yang berkurang
secara signifikan akan berpengaruh pada amplifikasi koklea. Nilai potensial endolimfatik yang
menurun menjadi 20mV atau lebih, maka amplifikasi koklea dianggap kekurangan voltage
dengan penurunan maksimum. Penambahan 20 dB di apeks koklea akan terjadi peningkatan
potensial sekitar 60 dB di daerah basis.6
Degenerasi stria yang melebihi 50%, maka nilai potensial endolimfe akan menurun drastic.
Gamabran khas degenerasi stria pada hewan yang mengalami penuaan; terdapat penurunan
pendengaran sebesar 40-50 dB dan potensial endolimfe 20 mV (normal=90 mV). Ambang
dengar ini dapat diperbaiki dengan cara menambahkan 20-25 dB pada skala media. Cara
mengembalikan nilai potensial endolimfe untuk mendekati normal adalah mengurangi penurunan
pendengaran yang luas yang dapat meningkatkan ambang suara compound action potential
(CAP) sehingga menghasilkan sinyal moderate – high. Degenerasi stria vaskularis yang diesebut
sebagai sumber energy (battery) pada koklea, menimbulkan penurunan potensial endolimfe yang
disebut teori dead battery pada presbiakusis.6

2.5.2 Degenerasi sentral


Degenerasi sentral terjadi akibat degenerasi sel organ corti dan saraf-saraf yang dimulai
pada bagian basal koklea hingga apeks. Perubahan yang terjadi akibat hilangnya fungsi nervus

183
auditorius akan meningkatkan nilai ambang CAP dari nervus. Penurunan fungsi input-output
dari CAP pada hewan percobaan berkurang ketika terjadi penurunan nilai ambang sekitar 5-10
dB. Intensitas sinyal akan meningkatkan amplitude akibat peningkatan CAP dari fraksi suara
yang terekam. Fungsi input-output dari CAP akan terefleksi juga pada fungsi fungsi input-output
dari potensial saraf pusat. Pengurangan amplitude dari potensial aksi yang terekam pada proses
penuaan memungkinkan terjadinya asinkronisasi aktifitas nervus auditorius.6
Keadaan ini mengakibatkan penderita mengalami kurang pendengaran dengan pemahaman
bicara yang buruk. Prevalensi jenis ketulian ini sangat jarang, tetapi degenerasi sekunder ini
penyebab terbanyak terjadinya presbiakusis sentral.6

2.5.3 Mekanisme molekular


Penelitian tentang penyebab presbiakusis sebagian besar menitikberatkan pada
abnormalitas genetic yang mendasarinya, dan salah satu penemuan yang paling terkenal sebagai
penyebab potensial presbiakusis adalah mutasi genetic pada DNA mitokondrial.3
 Faktor genetik
 Dilaporkan bahwa salah satu strain yang berperan terhadap terjadinya presbiakusis,
yaitu C57BL/6J sebagai penyandi saraf ganglion spiral dan sel stria vaskularis
pada koklea. Starin ini sudah ada sejak lahir pada tikus yang memiliki persamaan
dengan gen pembawa presbiakusis pada manusia. Awal mula terjadinya kurang
pendengaran pada strain ini dimulai dari frekuensi tinggi kemudian menuju frekuensi
rendah. Teori aging pada mitokondria, menyatakan bahwa ROS (Reactive Oxygen
Species) sebagai penyebab rusaknya komponen mitokondria.3
 Pembatasan kalori akan memperlambat proses penuaan, menghambat progesivitas
presbiakusis, mengurangi jumlah apoptosis di koklea dan mengurangi proapoptosis
mitokondria Bcl-2 family Bak. Apoptosis terdiri dari 2 jalur, yaitu jalur intrinsik atau
jalur mitokondria yang ditandai dengan hilangnya integritas pada membrane
mitokondria dan jalur ekstrinsik yang ditandai dengan adanya ikatan ligan pada
permukaan reseptor sel.1,3
 Anggota dari family Bcl-2, proapoptosis protein Bak dan Bax berperan dalam fase
promotif apoptosis pada mitokokndria. Protein Bcl2 ini meningkatkan permeabilitas
membrane terluar mitokondria, memicu aktivasi enzim kaspase dan kematian
sel.1,3
(Dari point 2.2 Fisiologi Telinga diatas di jelaskan bahwa: Hasil depolarisasi aliran
ion K+ / Potasium akan menghasilkan enzim cascade, melepaskan transmitter
kimia dan kemudian mengaktivasi serabut saraf pendengaran). Pada presbiakusis
terjadi proses sebaliknya yaitu terjadi aktivasi enzim kaspase yang menyebabkan
kematian sel mitokondria.

 Radikal Bebas
 Sistem biologik dapat terpapar oleh radikal bebas baik yang terbentuk endogen
oleh proses metabolism tubuh maupun eksogen seperti pengaruh radiasi ionisasi.
Membran sel terutama terdiri dari komponen-komponen lipid. Serangan radikal bebas
yang bersifat reaktif dapat menimbulkan kerusakan terhadap komponen lipid ini dan
menimbulkan reaksi peroksidasi lipid yang menghasilkan produk bersifat toksik terhadap
sel, seperti malondialdehida (MDA), 9-hidroksineonal, hidrokarbon etana (C2H6) dan
pentane (C5H12). Bahkan dapat terjadi ikatan silang (cross lingking) antara dua rantai

184
asam lemak dan rantai peptide (protein) yang menyebabkan kehidupan sel. Kerusakan
sel akibat stress oksidatif tadi menumpuk selama bertahun-tahun sehingga terjadi
penyakit-penyakitdegeneratif, keganasan, kematian sel-sel vital tertentu yang pada
akhirnya akan menyebabkan proses penuaan.7
 Teori mitokondria menerangkan bahwa reactive oxygen species (ROS) menimbulkan
kerusakan mitokondria termasuk mtDNA dan kompleks protein. Mutasi mtDNA pada
jaringan koklea berperan untuk terjadinya presbiakusis.7

 Gangguan transduksi sinyal


 Ujung sel rambut organ korti berperan terhadap transduksi mekanik, merubah
stimulus mekanik menjadi sinyal elektrokimia. Gen famili cadherin 23 (CDH23) dan
protocadherin 15 (PCDH15) diidentifikasi sebagai penyusun ujung sel rambut koklea
yang berinteraksi untuk transduksi mekanoelektrikal. Terjadinya mutasi menimbulkan
defek dalam interaksi molekul ini dan menyebabkan gangguan pendengaran.3

2.6 PATOFISIOLOGI PRESBIAKUSIS


Penurunan sensitivitas ambang suara pada frekuensi tinggi merupakan tanda
utama presbiakusis. Perubahan dapat terjadi pada dewasa muda, tetapi terutama terjadi pada
usia 60 tahun keatas. Terjadi perluasan ambang suara dengan bertambahnya waktu terutama pada
frekuensi rendah. Kasus yang banyaj terjadi adalah kehilangan sel rambut luar pada basal koklea.
Presbiakusis sensori memiliki kelainan spesifik, seperti akibat trauma bising. Pola konfigurasi
audiometric presbiakusis sensori adalah penurunan frekuensi tinggi yang curam, seringkali
terdapat notch (takik) pada frekuensi 4kHz (400 Hz).6
Faktor lain seperti genetik, usia, ototoksis dapat memperberat penurunan pendengaran.
Perubahan usia yang akan mempercepat proses kurang pendengaran dapat dicegah apabila
paparan bising dapat dicegah. Goycoolea dkk, menemukan kurang pendengaran ringan pada
kelompok pnduduk yang tinggal di daerah sepi (Easter Island) lebih sedikit jika dibandingkan
kelompok penduduk yang tinggal di tempat ramai dalam jangka waktu 3-5 tahun. Kesulitan
mengontrol efek bising pada manusia yang memiliki struktur dan fungsi yang sama dengan
mamalia. Mills dkk menyatakan bahwa terdapat kurang pendengaran lebih banyak akibat usia
pada kelompok hewan yang tingaal di tempat bising. Interaksi efek bising dan usia belum dapat
dimengerti sepenuhnya, oleh karena kedua faktor awalnya mempengaruhi frekuensi tinggi pada
koklea. Bagaimanapun, kerusakan akibat bising ditandai kenaikan ambang suara pada frekuensi
3-6 kHz, walaupun awalnya dimulai pada frekuensi tinggi (biasanya 8 kHz).6

2.7 FAKTOR RISIKO PRESBIAKUSIS


Presbiakusis diduga berhubungan dengan faktor herediter, metabolisme, aterosklerosis,
bising, gaya hidup, dan pemakaian beberapa obat. Berbagai faktor risiko tersebut dan
hubungannya dengan presbiakusis adalah sebagai berikut.1,2,3,6
2.7.1 Usia dan Jenis Kelamin
Presbiakusis rata-rata terjadi pada usia 60-65 tahun ke atas. Pengaruh usia terhadap
gangguan pendengaran berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki lebih banyak
mengalami penurunan pendengaran pada frekuensi tinggi dan hanya sedikit penurunan pada
frekuensi rendah bila dibandingkan dengan perempuan. Perbedaan jenis kelamin pada ambang
dengar frekuensi tinggi ini disebabkan laki-laki umumnya lebih sering terpapar bising di
tempat kerja dibandingkan perempuan.3

185
Perbedaan pengaruh jenis kelamin pada presbiakusis tidak seluruhnya disebabkan
perubahan di koklea. Perempuan memiliki bentuk daun dan liang telinga yang lebih kecil
sehingga dapat menimbulkan efek masking noise pada frekuensi rendah. Penelitian di Korea
Selatan menyatakan terdapat penurunan pendengaran pada perempuan sebesar 2 kHz lebih buruk
dibandingkan lakilaki. Pearson menyatakan sensitivitas pendengaran lebih baik pada perempuan
daripada laki-laki.3
2.7.2 Hipertensi
Hipertensi yang berlangsung lama dapat memperberat resistensi vaskuler yang
mengakibatkan disfungsi sel endotel pembuluh darah disertai peningkatan viskositas
darah, penurunan aliran darah kapiler dan transpor oksigen. Hal tersebut mengakibatkan
kerusakan sel-sel auditori sehingga proses transmisi sinyal mengalami gangguan yang
menimbulkan gangguan komunikasi. Kurang pendengaran sensori neural dapat terjadi
akibat insufisiensi mikrosirkuler pembuluh darah seperti emboli, perdarahan, atau
vasospasme.1,3
2.7.3 Diabetes Melitus
Pada pasien dengan diabetes melitus (DM), glukosa yang terikat pada protein dalam proses
glikosilasi akan membentuk advanced glicosilation end product (AGEP) yang tertimbun
dalam jaringan dan mengurangi elastisitas dinding pembuluh darah (arteriosklerosis).
Proses selanjutnya adalah dinding pembuluh darah semakin menebal dan lumen menyempit yang
disebut mikroangiopati. Mikroangiopati pada organ koklea akan menyebabkan atrofi dan
berkurangnya sel rambut, bila keadaan ini terjadi pada vasa nervus VIII, ligamentum dan
ganglion spiral pada sel Schwann, degenerasi myelin, dan kerusakan axon maka akan
menimbulkan neuropati.1,3
National Health Survey USA melaporkan bahwa 21% penderita diabetik menderita
presbiakusis terutama pada usia 60-69 tahun. Hasil audiometri penderita DM menunjukkan
bahwa frekuensi derajat penurunan pendengaran pada kelompok ini lebih tinggi bila
dibandingkan penderita tanpa DM.1,3
2.7.4 Hiperkolesterol
Hiperkolesterolemia adalah salah satu gangguan kadar lemak dalam darah (dislipidemia)
di mana kadar kolesterol dalam darah lebih dari 240 mg/dL. Keadaan tersebut dapat
menyebabkan penumpukan plak/atherosklerosis pada tunika intima. Patogenesis
atherosklerosis adalah arteroma dan arteriosklerosis yang terdapat secara bersama. Arteroma
merupakan degenerasai lemak dan infiltrasi zat lemak pada dinding pembuluh nadi pada
arteriosklerosis atau pengendapan bercak kuning keras bagian lipoid dalam tunika intima arteri
sedangkan arteriosklerosis adalah kelainan dinding arteri atau nadi yang ditandai dengan
penebalan dan hilangnnya elastisitas/ pengerasan pembuluh nadi. Keadaan tersebut dapat
menyebabkan gangguan aliran darah dan transpor oksigen. Teori ini sesuai dengan penelitian
Villares yang menyatakan terdapat hubungan antara penderita hiperkolesterolemia dengan
penurunan pendengaran.1,2,3
2.7.5 Merokok
Rokok mengandung nikotin dan karbonmonoksida yang mempunyai efek mengganggu
peredaran darah, bersifat ototoksik secara langsung, dan merusak sel saraf organ koklea.
Karbonmonoksida menyebabkan iskemia melalui produksi karboksi-hemoglobin (ikatan
antara CO dan haemoglobin) sehingga hemoglobin menjadi tidak efisien mengikat oksigen.
Seperti diketahui, ikatan antara hemoglobin dengan CO jauh lebih kuat ratusan kali
dibanding dengan oksigen. Akibatnya, terjadi gangguan suplai oksigen ke organ korti di koklea

186
dan menimbulkan efek iskemia. Selain itu, efek karmonmonoksida lainnya adalah spasme
pembuluh darah, kekentalan darah, dan arteriosklerotik.
Insufisiensi sistem sirkulasi darah koklea yang diakibatkan oleh merokok menjadi
penyebab gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi yang progresif. Pembuluh darah yang
menyuplai darah ke koklea tidak mempunyai kolateral sehingga tidak memberikan alternatif
suplai darah melalui jalur lain.
Mizoue et al. meneliti pengaruh merokok dan bising terhadap gangguan pendengaran
melalui data pemeriksaan kesehatan 4.624 pekerja pabrik baja di Jepang. Hasilnya
memperlihatkan gambaran yang signifikan terganggunya fungsi pendengaran pada frekuensi
tinggi akibat merokok dengan risiko tiga kali lebih besar. 1,2,3
2.7.6 Riwayat Bising
Gangguan pendengaran akibat bising adalah penurunan pendengaran tipe sensorineural
yang awalnya tidak disadari karena belum mengganggu percakapan sehari-hari. Faktor risiko
yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian ialah intensitas bising, frekuensi, lama pajanan
per hari, lama masa kerja dengan paparan bising, kepekaan individu, umur, dan faktor lain yang
dapat berpengaruh. Berdasarkan hal tersebut dapat dimengerti bahwa jumlah pajanan energi
bising yang diterima akan sebanding dengan kerusakan yang didapat. Hal tersebut dikarenakan
paparan terus menerus dapat merusak sel-sel rambut koklea.3
2.8 KLASIFIKASI PRESBIAKUSIS
Schuknecht membagi klasifikasi presbiakusis menjadi 4 jenis: Sensori (outer hair-cell),
neural (ganglion-cell), metabolic (strial atrophy), dan koklea konduktif (stiffness of the basilar
membrane). Schuknecht menambahkan dua kategori: mixed dan interminate, terdapat 25%
kasus, dimana terjadi akibat perubahan patologi yang bermacam-macam. Prevalensi terbanyak
menurut penelitian adalah jenis metabolic 34,6%, jenis lainnya neural 30,7%, mekanik 22,8%
dan sensorik 11,9%.4
2.8.1 Sensori
Tipe ini menunjukkan atrofi epitel disertai hilangnya sel-sel rambut dan sel penyokong
organ Corti. Proses ini berasal dari bagian basal koklea dan perlahan-;lahan menjalar ke daerah
apeks, hal ini berhubungan dengan penurunan ambang dengar frekuensi tinggi. Beberapa teori
mengatakan perubahan ini terjadi akibat akumulasi dari granul pigmen lipofusin. Ciri khas dari
tipe sensory presbyacusis ini adalah terjadi penurunan pendengaran secara tajam pada frekuensi
tinggi (sloping). Jenis sensori ini adalah tipe noise-induced hearing loss (NIHL) dan banyak
didapatkan pada pria dengan riwayat bising.

187
GAMBAR 2.2. AUDIOGRAM SENSORI PRESBIAKUSIS

2.8.2 Neural
Tipe ini memperlihatkan atrofi sel-sel saraf koklea dan jalur saraf pusat. Atrofi terjadi
mulai dari koklea, dengan bagian basilarnya sedikit lebih banyak terkena dibandingkan bagian
koklea lainnya. Tidak didapati adanya penurunan ambang terhadap frekuensi tinggi bunyi.
Keparahan tipe ini menyebabkan penurunan diskriminasi kata-kata yang secara klinik
berhubungan dengan presbiakusis neural dan dapat dijumpai sebelum terjadinya gangguan
pendengaran. Efeknya tidak disadari sampai seseorang berusia lanjut sebab gejala tidak akan
muncul sampai 90% neuron akhirnya hilang. Pengurangan jumlah sel-sel neuron ini sesuai
dengan normal speech discrimination. Bila jumlah neuron ini berkurang di bawah yang
dibutuhkan untuk transmisi getaran, terjadilah neural presbyacusis. Menurunnya jumlah neuron
pada koklea lebih parah terjadi pada basal koklea. Gambaran klasik adalah speech discrimination
sangat berkurang dan atrofi yang luas pada ganglion spiralis (cookie bite).

GAMBAR 2.3 AUDIOGRAM NEURAL PRESBIAKUSIS

188
2.8.3 Metabolik
Tipe presbiakusis yang sering didapati dengan ciri khas kurang pendengaran yang mulai
timbul pada dekade ke-6 dan berlangsung perlahan-lahan. Kondisi ini diakibatkan atrofi stria
vaskularis. Dibedakan dari tipe presbiakusis lain yaitu pada strial presbyacusis ini gambaran
audiogramnya rata, dapat mulai frekuensi rendah, speech discrimination bagus sampai batas
minimum pendengaran melebihi 50 dB (flat). Penderita dengan kasus kardiovaskuler dapat
mengalami presbiakusis tipe ini serta menyerang semua jenis kelamin namun lebih nyata pada
wanita.

GAMBAR 2.4. AUDIOGRAM METABOLIK PRESBIAKUSIS

2.8.4 Koklea Konduktif


Tipe kekurangan pendengaran ini disebabkan gangguan gerakan mekanis di mebran
basalis. Gambaran khas nya adalah audiogram yang menurun dan simetris (ski-slope). Secara
histologi tidak ada perubahan morfologi pada struktur koklea. Perubahan atas respon fisik khusus
dari membran basalis lebih besar di bagian basal karena lebih tebal dan jauh lebih kurang di
apikal. Kondisi ini disebabkan oleh penebalan dan kekakuan sekunder membrana basilaris
koklea. Terjadi perubahan gerakan mekanik dari duktus koklearis dan atrofi ligamentum spiralis.
Berhubungan dengan tuli sensorineural yang berkembang sangat lambat.

GAMBAR 2.5 AUDIOGRAM MEKANIK


PRESBIAKUSIS

189
2.9. DERAJAT PRESBIAKUSIS
Derajat kurang pendengaran dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu4:
Ambang dengar (AD) = AD 500 Hz (Hertz) AD 1000 Hz + AD 2000 Hz
3
Menentukan derajat kurang pendengaran yang dihitung hanya ambang dengar udaranya
(AC/”Air Conduction”) saja.
Derajat menurut Jerger: 0-20 dB (desibel) : Normal
>20-40 dB : Tuli ringan
>40-55 dB : Tuli sedang
>55-70 dB : Tuli sedang berat
>70-90 dB : Tuli berat
> 90 dB : Tuli sangat berat.

190
8. TIMPANOMETRI
1. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pada tahun 1946, Otto Metz secara sistematis mengevaluasi akustik imitans dari telinga
normal dan abnormal. Istilah akustik imitans digunakan untuk merujuk kepada baik masuknya
akustik (Kemudahan dengan yang mana energi mengalir melalui suatu sistem) atau impedansi
akustik (perlawanan total terhadap aliran energi udara). Pengukuran akustik imitans digunakan
secara klinis baik sebagai alat screening dan diagnostik untuk identifikasi dan klasifikasi
gangguan perifer (khususnya telinga tengah) dan sentral dan dapat digunakan sebagai alat untuk
memperkirakan sensitivitas pendengaran secara obyektif. Pengukuran akustik imitans yang
paling sering digunakan secara klinis termasuk timpanometri dan pengukuran reflex stapedial.
Timpanometri mengukur akustik imitans di dalam kanal telinga sebagai fungsi dari variasi dalam
tekanan udara.3
Karakteristik imitansi (impedansi dan/atau masuk) dari sistem telinga tengah dapat
disimpulkan secara obyektif dengan teknik elektropsikologi cepat dan noninvasif dan kemudian
terkait dengan pola yang sudah dikenal baik untuk berbagai temuan jenis lesi telinga tengah.
Timpanometri adalah rekaman terus-menerus impedansi telinga tengah sebagaimana tekanan
udara di kanal telinga secara sistematis meningkat atau menurun.
Pemeriksaan timpanometri, yaitu untuk mengetahui keadaan dalam kavum timpani.
Misalnya adanya:
4. cairan,
5. gangguan rangkaian tulang pendengaran (ossicular chain),
6. kekakuan membran timpani dan
7. membran timpani yang sangat lentur.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Rumusan masalah adalah bagaimana definisi, indikasi, kontraindikasi timpanometri.
1.3 TUJUAN
Tujuannya adalah untuk mengetahui definisi, indikasi, kontraindikasi timpanometri.

1.4 MANFAAT
Manfaatnya adalah untuk menambah wawasan tentang timpanometri.

191
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI TELINGA
Telinga mempunyai reseptor khusus untuk mengenali getaran bunyi dan untuk
keseimbangan. Ada tiga bagian utama dari telinga manusia, yaitu bagian telinga luar, telinga
tengah, dan telinga dalam.9

GAMBAR 1. ANATOMI TELINGA10

A. TELINGA LUAR
Telinga luar dibentuk oleh aurikula dan meatus akustikus eksternus. Aurikula dibentuk oleh
kartilago yang bersatu dengan pars kartilagineus meatus akustikus eksternus. Fungsi aurikula
mengarahkan getaran masuk ke dalam meatus akustikus eksternus. Sedangkan meatus akustikus
eksternus merupakan suatu saluran, terbuka di bagian luar dan di bagian inferior dibatasi oleh
membran timpani, ukuran panjang 2,5 cm, terdiri dari pars kartilagineus (⅓ bagian lateral) dan
pars osseus di bagian medial (⅔ bagian medial). Batas antara pars kartilagineus dan pars osseus
menyempit, dinamakan isthmus. Pars kartilagineus berbentuk konkaf ke anterior. Di dalam
lapisan submukosa terdapat glandula seruminosa yang memproduksi serumen.11

B. TELINGA TENGAH
Telinga tengah terdiri dari membran timpani, tuba Eustachius, ossikula auditiva, antrum dan
cellulae mastoidea. Memiliki empat dinding, atap, dan dasar. Oleh karena itu bisa
disederhanakan dalam diagram sebagai kotak terbuka, dengan:
- batas luar : membran timpani
- batas depan : tuba eustachius
- batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)
- batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
- batas atas : tegmen timpani (meningen/otak)
- batas dalam berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis
horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window),
tingkap bundar (round window) dan promontorium.12

192
Membran timpani terletak pada akhiran kanalis aurius eksternus dan menandai batas lateral
telinga, Membran ini sekitar 1 cm dan selaput tipis normalnya berwarna kelabu mutiara dan
translusen.12
Tuba auditorius atau tuba Eustachius mempunyai ukuran panjang kira-kira 36 mm, letak
melengkung membentuk sudut 45 derajat dengan bidang sagital dan sudut 30-40 derajat dengan
bidang horizontal. Tuba auditorius atau tuba Eustachius terdiri dari pars ossea dan pars
kartilaginis. Pars osseus merupakan ⅓ bagian dengan panjang 13 mm, berada di bagian lateral
(pars lateralis) dan terletak di dalam pars petrosa tulang temporalis. Pars kartilagineus
merupakan ⅔ bagian dengan panjang 24 mm, terletak di bagian medial (pars medialis), bermuara
ke dalam nasofaring, membentuk torus tubarius di sebelah dorsal orificium pharingium tuba
auditiva. Tuba eustachii yang lebarnya sekitar 1 mm, panjangnya sekitar 35 mm,
menghubungkan telinga ke nasofaring. Normalnya, tuba eustachii tertutup, namun dapat terbuka
akibat kontraksi otot palatum ketika melakukan manuver Valsalva atau menguap atau menelan.
Tuba Eustachius berfungsi sebagai: ventilasi / aerasi untuk menyeimbangkan tekanan dalam
telinga tengah dengan tekanan atmosfer,9 proteksi untuk mencegah masuknya kuman dari
nasofaring ke dalam telinga tengah, dan drainase untuk sekresi.

GAMBAR 2.MEMBRAN TIMPANI13


Telinga tengah merupakan rongga berisi udara merupakan rumah bagi ossikula (tulang
telinga tengah) dihubungkan dengan tuba eustachii ke nasofaring berhubungan dengan beberapa
sel berisi udara di bagian mastoid tulang temporal. Bagian ini merupakan rongga yang berisi
udara untuk menjaga tekanan udara agar seimbang.9

193
GAMBAR 3. CAVUM TYMPANI.13

Selain itu terdapat pula tiga tulang pendengaran yang tersusun seperti rantai yang
menghubungkan gendang telinga dengan jendela oval. Ketiga tulang tersebut adalah tulang
martil (maleus) menempel pada gendang telinga dan tulang landasan (inkus). Kedua tulang ini
terikat erat oleh ligamentum sehingga mereka bergerak sebagai satu tulang. Tulang yang ketiga
adalah tulang sanggurdi (stapes) yang berhubungan dengan jendela oval. Antara tulang
landasan dan tulang sanggurdi terdapat sendi yang memungkinkan gerakan bebas. Ossikula
dipertahankan pada tempatnya oleh sendian, otot, dan ligamen, yang membantu hantaran suara.13
Ada 2 otot kecil yang berhubungan dengan ketiga tulang pendengaran. Otot tensor timpani
terletak dalam saluran di atas tuba auditiva, tendonya berjalan mula-mula ke arah posterior
kemudian mengait sekeliling sebuah tonjol tulang kecil untuk melintasi rongga timpani dari
dinding medial ke lateral untuk berinsersi ke dalam gagang maleus. Tangkai maleus terus
menerus tertarik ke dalam oleh ligamentum dan oleh M. tensor timpani, yang mempertahankan
membran timpani berada dalam tegangan. Hal ini memungkinkan getaran suara pada bagian
membran timpani manapun dihantarkan ke maleus yang tidak akan terjadi bila membran lemas.
Tendo otot stapedius berjalan dari tonjolan tulang berbentuk piramid dalam dinding posterior dan
berjalan anterior untuk berinsersi ke dalam leher stapes, dan menstabilkan hubungan antara
stapedius dengan jendela oval.14
Ketika bunyi yang bising ditransmisikan melalui sistem ossikular dan dari sana ke dalam
sistem saraf pusat, suatu refleks terjadi setelah periode laten selama hanya 40 sampai 80
millidetik untuk menyebabkan kontraksi dari otot stapedius dan, berkurangnya luas otot tensor
timpani. Otot tensor timpani menarik tangkai malleus ke dalam sementara otot stapedius
menarik stapes ke luar. Kedua gaya ini saling berlawanan satu sama lain dan dengan demikian
menyebabkan seluruh sistem ossikuler mengembangkan rigiditas yang meningkat, demikian
besar mengurangi konduksi ossikuler dari bunyi frekuensi rendah, utamanya frekuensi di bawah
1000 cycle per detik. Respon ini disebut refleks akustik, yang membantu melindungi telinga

194
dalam yang rapuh dari kerusakan karena suara. Kedua otot ini mengurangi proses mekanik
telinga tengah. Pengertiannya adalah sebagai berikut, jika telinga kita menerima suara sangat
keras (intensitas > 80 dB) maka kemungkinan gerakan mekanik osicular chain akan sangat
progresif yang dapat merusak struktur oval window telinga dalam. Sehingga saat intensitas suara
mencapai nilai di atas, otot stapedius secara refleks akan berkontraksi untuk membatasi gerakan
stapes. Meskipun fungsi utama refleks akustik ini adalah proteksi, ia juga meningkatkan
mekanisme kontrol yang mempertahankan input suara ke telinga dalam (koklea) lebih konstan,
dan memperluas rentang dinamik sistem telinga tengah, sebagai contoh: otot stapedius tercatat
juga berkontraksi saat seseorang mengunyah dan bersuara (vokalisasi), sehingga dapat
mereduksi bising yang timbul akibat gerakan-gerakan yang berasal dari dalam tubuh
sendiri.Otot-otot ini berfungsi protektif dengan cara meredam getaran-getaran berfrekuensi
tinggi.14
Ada dua jendela kecil (jendela oval dan dinding medial telinga tengah, yang memisahkan
telinga tengah dengan telinga dalam. Bagian dataran kaki menjejak pada jendela oval, di mana
suara dihantar telinga tengah. Jendela bulat memberikan jalan ke getaran suara. Jendela bulat
ditutupi oleh membrana sangat tipis, dan dataran kaki stapes ditahan oleh yang agak tipis, atau
struktur berbentuk cincin. Anulus jendela bulat maupun jendela oval mudah mengalami robekan.
Bila ini terjadi, cairan dari dalam dapat mengalami kebocoran ke telinga tengah, kondisi ini
dinamakan fistula perilimfe.14

GAMBAR 4.OSSIKULA AUDITIVA13

C. TELINGA DALAM
Telinga dalam mengandung labyrinthus dan terdiri dari tiga buah kanalis semisirkularis di
posterior, vestibulum di tengah dan koklea di anterior. Pada telinga tengah terdapat meatus
akustikus internus dan porus akustikus internus. Labyrinthus memiliki bagian vestibuler (pars
superior) yang berhubungan dengan keseimbangan dan bagian koklear (pars inferior) yang
merupakan organ pendengaran. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli di bagian
atas, skala timpani di bagian bawah, dan skala media di antaranya. Pada skala media terdapat
bagian berbentuk lidah yang disebut membran tektoria.
Bagian atas adalah skala vestibuli yang berisi perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis
oleh membran Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani yang juga mengandung

195
perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina spiralis osseus dan membran
basillaris.15

2.2 FISIOLOGI PENDENGARAN


Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam
bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut
menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang
pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Fisiologi fungsional jendela
oval dan bulat memegang peran yang penting. Jendela oval dibatasi oleh anulare fieksibel dari
stapes dan membran yang sangat lentur, memungkinkan gerakan penting, dan berlawanan selama
stimulasi bunyi, getaran stapes menerima impuls dari membran timpani bulat yang membuka
pada sisi berlawanan duktus koklearis dilindungi dari gelombang bunyi oleh membran timpani
yang utuh, jadi memungkinkan gerakan cairan telinga dalam oleh stimulasi gelombang suara.
Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan
menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini
merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut
sebagai transduser mekanis, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion
bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut,
sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi
pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran
(area 39-40) di lobus temporalis.1

GAMBAR 5. FISIOLOGI PENDENGARAN16

Berbeda dengan sistem hantaran telinga luar yang berupa pipa penyalur bunyi ke membran
tympani, sistem hantaran telinga tengah di samping merambatkan, juga memperkuat daya dorong
getaran bunyi.9 Perkuatan daya dorong getaran bunyi oleh sistem hantaran atau sistem konduksi
dihasilkan oleh 2 mekanisme, yaitu:
1. Rasio antara membran timpani dibanding luas fenestra ovalis sebesar 17:1, yang
memberikan perkuatan sebesar 17 kali dari bunyi aslinya di udara.

196
2. Efek pengungkit dari maleus dan inkus yang menyumbangkan momentum perkuatan
daya sebesar 1,3 kali.1

Berdasarkan mekanisme yang disebutkan di atas, energi akustik (suara dari telinga luar
sampai dengan telinga tengah) diteruskan sebanyak 17 x 1,3 = 21 kali menuju telinga dalam
yang selanjutnya diubah menjadi energi listrik1.
Pada membran timpani utuh yang normal, suara merangsang jendela oval dulu, dan terjadi
jeda sebelum efek terminal stimulasi mencapai jendela bulat. Waktu jeda akan berubah bila ada
perforasi pada membran timpani yang cukup besar yang memungkinkan gelombang bunyi
merangsang kedua jendela oval dan bulat bersamaan. Hal ini mengakibatkan hilangnya jeda dan
menghambat gerakan maksimal motilitas cairan telinga dalam dan rangsangan terhadap sel-sel
rambut pada organ corti yang mengakibatkan terjadi penurunan kemampuan pendengaran.9
Pendengaran dapat terjadi dalam dua cara. Bunyi yang dihantarkan melalui telinga luar dan
tengah yang terisi udara berjalan melalui konduksi udara. Suara yang dihantarkan melalui tulang
secara langsung ke telinga dalam dengan cara konduksi tulang. Normalnya, konduksi udara
merupakan jalur yang lebih efisien; namun adanya defek pada membrana timpani atau
terputusnya rantai osikulus akan memutuskan konduksi udara normal dan mengakibatkan
hilangnya rasio tekanan-suara dan kehilangan pendengaran konduktif.9

2.3 DEFINISI TIMPANOMETRI


Timpanometri, yaitu pemeriksaan untuk mengetahui keadaan dalam kavum timpani.
Misalnya adanya:
a. cairan,
b. gangguan rangkaian tulang pendengaran (ossicular chain),
c. kekakuan membrane timpani dan
d. membran timpani yang sangat lentur.
Pemeriksaan timpanometri dilakukan menggunakan alat timpanometer yang menghasilkan
gambaran timpanogram. Timpanogram adalah hasil grafik pemeriksaan timpanometri.1

2.4 INDIKASI PEMERIKSAAN TIMPANOMETRI


Indikasi pemeriksaan timpanometri adalah sebegai berikut1:
1. Timpanosklerosis
2. Hipermobilitas dari membran timpani
3. Disfungsi tuba eustachius
4. Glue ear
5. Otosklerosis
6. Akustik neuroma
7. Diskontinuitas ossikular
8. Menurun atau hilangnya pendengaran
Pemeriksaan timpanometri berfungsi untuk menilai kondisi telinga tengah dan mencari
adanya gangguan penfengaran konduktif. Mobilitas membrane timpani dapat dinilai
menggunakan timpanometri serta dapat menilai volume dari liang telinga. Sebelum pemeriksaan
ottoacutic emission (OAE) sebelumnya dapat dilakukan pemeriksaan timpanometri.

197
2.5 KONTRAINDIKASI PEMERIKSAAN TIMPANOMETRI
1. Bayi usia kurang dari 7 bulan
2. Perforasi membrane timpani
3. Kelainan nervus VII
4. Kelainan brainstem
5. Trauma kapitis
Pemeriksaan timpanometri dikontraindikasikan pada bayi usia kurang dari 7 bulan oleh
karena kartilago pada telinga masih sangat lunak yang menyebabkan gambaran timpanogranm
tidak akurat1,2.
Sampai saat ini masih terus dilakukan riset untuk menemukan protokol yang tepat
pemeriksaan timpanometri pada bayi usia kurang dari 7 bulan. Salah satu cara yang diupayakan
adalah dengan menyesuaikan ukuran frekuensi agar menghasilkan gambaran timpanogram yang
benar-benar menggambarkan kondisi anatomi telinga pada pemeriksaan timpanometri bayi usia
kurang dari 7 bulan1,2.
Pemeriksaan timpanometri dikontraindikasikan pada kondisi perforasi membran timpani,
riwayat trauma akut atau beberapa kondisi kelainan anatomi tertentu lainnya oleh karena tekanan
udara yang dihasilkan timpanometer dikhawatirkan dapat memperparah kerusakan organ telinga
tengah dan dalam.

2.6 TIMPANOMETER

GAMBAR 6. TIMPANOMETER6

Timpanometer adalah alat yang digunakan dalam pemeriksaan timpanometri, bagian-


bagiannya yaitu:
 Oscilator : Alat yang menghasilkan bunyi (biasanya 220 Hz), suara yang dihasilkan
tersebut masuk ke earphone dan diteruskan ke liang telinga.
 Pompa Udara : Menghasilkan udara bertekanan -200 mmHg sampai dengan 200 mmHg
 Compliancemeter : untuk menilai bunyi yang diteruskan melalui mikrofon.8

198
GAMBAR 7.SKEMA ALAT YANG DIGUNAKAN UNTUK PEMERIKSAAN
TIMPANOMETRI2

Energi akustik tinggi dihantarkan pada telinga melalui suatu tabung bersumbat, sebagian
diabsorbsi dan sisanya dipantulkan kembali ke kanalis dan dikumpulkan oleh saluran dari kedua
tabung tersebut. Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah. Gambaran
timpanometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negatif di telinga tengah) merupakan
petunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif.1

2.7 CARA PEMERIKSAAN TIMPANOMETRI


“Probe”, setelah dipasangi “tip” yang sesuai, dimasukkan ke dalam liang telinga sedemikian
rupa sehingga tertutup dengan ketat. Mula-mula ke dalam liang telinga yang tertutup cepat
diberikan tekanan 200 mmH2O melalui manometer. Membrana timpani dan untaian tulang-
tulang pendengaran akan mengalami tekanan dan terjadi kekakuan sedemikian rupa sehingga tak
ada energi bunyi yang dapat diserap melalui jalur ini ke dalam koklea. Dengan kata lain, jumlah
energi bunyi yang dipantulkan kembali ke dalam liang telinga luar akan bertambah. Tekanan
kemudian diturunkan sampai titik di mana energi bunyi diserap dalam jumlah tertinggi; keadaan
ini menyatakan membran timpani dan untaian tulang pendengaran dalam “compliance” yang
maksimal. Pada saat “compliance maksimal” ini dicapai, tekanan udara dalam rongga telinga
tengah sama dengan tekanan udara dalam liang telinga luar. Jadi tekanan dalam rongga telinga
tengah diukur secara tak langsung. Tekanan dalam liang telinga luar kemudian diturunkan lagi
sampai -400 mmH2O. Dengan demikian akan terjadi lagi kekakuan dari membrana timpani dan
untaian tulang-tulang pendengaran, sehingga tak ada bunyi yang diserap, dan energi bunyi yang
dipantulkan akan meningkat lagi. Timpanometri merupakan salah satu dari 3 pengukuran imitans
yang banyak digunakan dalam menilai fungsi telinga tengah secara klinis, di samping imitans
statik dan ambang refleks akustik.2

2.7.1 Cara Kerja Impedans Meter


Cara kerja timpanometri adalah alat pemeriksaan (probe) yang dimasukkan ke dalam liang
telinga memancarkan sebuah nada dengan frekuensi 220 Hz. Alat lainnya mendeteksi respon
dari membran timpani terhadap nada tersebut. 2 Secara bersamaan, probe yang menutupi liang
telinga menghadirkan berbagai jenis tekanan udara. Pertama positif, kemudian negatif ke dalam
liang telinga. Jumlah energi yang dipancarkan berhubungan langsung dengan compliance.

199
Compliance menunjukkan jumlah mobilitas di telinga tengah. Sebagai contoh, lebih banyak
energi yang kembali ke alat pemeriksaan, lebih sedikit energi yang diterima oleh membran
timpani. Hal ini menggambarkan suatu compliance yang rendah. Compliance yang rendah
menunjukkan kekakuan atau obstruksi pada telinga tengah. Data-data yang didapat membentuk
sebuah gambar 2 dimensi pengukuran mobilitas membran timpani. Pada telinga normal, kurva
yang timbul menyerupai gambaran lonceng.2
Penghantaran bunyi melalui telinga tengah akan maksimal bila tekanan udara sama pada
kedua sisi membran timpani. Pada telinga yang normal, penghantaran maksimum terjadi pada
atau mendekati tekanan atmosfir. Itulah sebabnya ketika tekanan udara di dalam liang telinga
sama dengan tekanan udara di dalam kavum timpani, imitans dari sistem getaran telinga tengah
normal akan berada pada puncak optimal dan aliran energi yang melalui sistem ini akan
maksimal. Tekanan telinga tengah dinilai dengan bermacam-macam tekanan pada liang telinga
yang ditutup probe sampai sound pressure level (SPL) berada pada titik minimum. Hal ini
menggambarkan penghantaran bunyi yang maksimum melalui telinga tengah. Tetapi bila
tekanan udara dalam salah satu liang telinga lebih dari (tekanan positif) atau kurang dari (tekanan
negatif) tekanan dalam kavum timpani, imitans sistem akan berubah dan aliran energi berkurang.
Dalam sistem yang normal, begitu tekanan udara berubah sedikit di bawah atau di atas dari
tekanan udara yang memproduksi imitans maksimum, aliran energi akan menurun dengan cepat
sampai nilai minimum. Pada tekanan yang bervariasi di atas atau di bawah titik maksimum, SPL
nada pemeriksaan di dalam liang telinga bertambah, menggambarkan sebuah penurunan dalam
penghantaran bunyi yang melalui telinga tengah.2

2.8 INTERPRETASI TIMPANOGRAM


Timpanogram merupakan gambaran yang dihasilkan oleh timpanometer. Timpanogram
adalah suatu penyajian berbentuk grafik dari kelenturan relatif sistem timpanoosikular saat
tekanan udara liang telinga diubah-ubah. Kelenturan maksimal diperoleh pada tekanan udara
normal, dan berkurang jika tekanan udara ditingkatkan atau diturunkan. Individu dengan
pendengaran normal atau dengan gangguan sensorineural akan memperlihatkan sistem timpani-
osikular yang normal.17
Terdapat beberapa istilah penting dalam timpanogram yaitu:
1. Ear canal volume (ECV) (cc / cm3/ml): merupakan estimasi volume udara di sisi medial
dari probe, yaitu:
- Volume udara antara ujung probe dengan membrane timpani pada membrane timpani
yang intak.
- Volume udara antara liang telinga dengan cavum timpani pada membrane timpani
perforasi.
- ECV dewasa 0,6 cc – 1,5 cc
- ECV anak 3-5 tahun 0,4 cc – 1 cc
- ECV > 2,0 dengan timpanogram tipe B pada anak dicurigai adanya perforasi
membran timpani
- ECV yang sangat rendah dengan timpanogram tipe B dicurigai adanya glue ear
atau keadaan patologis telinga tengah
2. Tympanometric peak pressure (TPP)/ middle ear pressure (MEP) (mmHg/daPa):
tekanan pada liang telinga pada puncak timpanogram.
3. Static Compliance/ SC (cm3/ml/cc): energi bunyi terbesar yang dapat diserap oleh
telinga tengah.

200
Liden (1969) dan Jerger (1970) mengembangkan suatu klasifikasi timpanogram. Tipe-tipe
klasifikasi yang diilustrasikan adalah sebagai berikut17:
1. Tipe A
 terdapat pada fungsi telinga tengah yang normal.
 mempunyai bentuk khas, dengan puncak imitans berada pada titik 0 daPa dan
penurunan imitans yang tajam dari titik 0 ke arah negatif atau positif. Kelenturan
maksimal terjadi pada atau dekat tekanan udara sekitar, memberi kesan tekanan udara
telinga tengah yang normal.
 MEP diantara +50 sampai -99 mmH2O
 Static compliance (SC) = 0,3 sampai 1,6cc (dewasa) atau 0,2 sampai 0,9cc (anak-
anak 3-5 tahun)
 Ear Canal Volume (ECV) dalam batas normal

GAMBAR 8.TIMPANOGRAM NORMAL2


Keterangan: Grafik biru merupakan ambang batas normal

201
2. Tipe As.
 Terdapat pada otosklerosis dan keadaan membran timpani yang berparut.
 Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), di mana puncak berada atau dekat titik 0
daPa, tapi dengan ketinggian puncak yang secara signifikan berkurang. Huruf s di
belakang A berarti stiffness (kekakuan) atau shallowness (kedangkalan).
 Kelenturan maksimal terjadi pada atau dekat tekanan udara sekitar, tapi kelenturan lebih
rendah daripada tipe A. Fiksasi atau kekauan sistem osikular seringkali dihubungkan
dengan tipe As.
 Static compliance (SC) < 0,3 cc (dewasa)
 Middle ear pressure (MEP) dan ear canal volume (ECV) dalam batas normal

GAMBAR 9.TIMPANOGRAM TIPE AS2


Keterangan: Grafik biru merupakan ambang batas normal

202
3. Tipe Ad.
 Terdapat pada keadaan membran timpani yang flaksid atau diskontinuitas (kadang-
kadang sebagian) dari tulang-tulang pendengaran.
 Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), tetapi dengan puncak lebih tinggi secara
signifikan dibandingkan normal. Huruf d di belakang A berarti discontinuity atau
diskontinuitas persendian ossikel.
 Kelenturan maksimum yang sangat tinggi terjadi pada tekanan udara sekitar, dengan
peningkatan kelenturan yang amat cepat saat tekanan diturunkan mencapai tekanan udara
sekitar normal. Tipe Ad dikaitkan dengan diskontinuitas sistem osikular atau suatu
membrana timpani mono metrik.
 Static compliance (SC) > 1,6cc (dewasa)
 Middle ear pressure (MEP) dan ear canal volume (ECV) dalam batas normal

GAMBAR 10.TIMPANOGRAM TIPE Ad2


Keterangan: Grafik biru merupakan ambang batas normal

4. Tipe B / Flat

203
 Timpanogram tidak memiliki puncak melainkan pola cenderung mendatar, atau sedikit
membulat yang paling sering dikaitkan dengan cairan di telinga tengah (kavum timpani),
misalnya pada otitis media efusi.
 Ear canal volume (ECV) dalam batas normal, terdapat sedikit atau tidak ada mobilitas
pada telinga tengah.
 Bila tidak ada puncak tetapi ECV > normal, ini menunjukkan adanya perforasi pada
membran timpani.

GAMBAR 11.TIMPANOGRAM TIPE B 2


Keterangan: Grafik biru merupakan ambang batas normal

5. Tipe C

204
 Terdapat pada keadaan membran timpani yang retraksi ke medial dan malfungsi dari tuba
eustachius.
 Tekanan telinga tengah dengan puncaknya di wilayah tekanan negatif di luar -150 mm
H2O mengindikasikan rendahnya ventilasi telinga tengah karena disfungsi tuba
eustachius.
 Suatu timpanogram berbentuk huruf W dihubungkan dengan parut atrofik pada
membrana timpani atau dapat pula suatu adhesi telinga tengah, namun biasanya
membutuhkan nada dengan frekuensi yang lebih tinggi sebelum dapat didemonstrasikan.2
 Middle ear pressure (MEP) kurang dari -99mm atau MEP negatif.
 Static compliance (SC) 0,3-1,6cc (dewasa) atau 0,2-0,9cc (anak 3-5 tahun).
 ECV dalam batas norma

GAMBAR 12.TIMPANOGRAM TIPE C2


Keterangan: Grafik britu merupakan ambang batas normal

205
2.9 CONTOH HASIL TIMPANOGRAM DAN AUDIOGRAM

Kesimpulan Timpanogram:
1. Telinga kanan otosklerosis ringan (kekakuan sendi ossikel maleus, inkus, stapes)
2. Telinga kiri otosklerosis (kurva lebih datar dibandingkan telinga kanan)

206
207
3. KESIMPULAN
1. Timpanometri merupakan pemeriksaan yang dapat menghasilkan grafik yang disebut
timpanogram sebagai gambaran kondisi telinga tengah.
2. Didapatkan 5 tipe grafik Timpanogram antara lain:
a. Grafik tipe A : menunjukkan kondisi telinga tengah yang normal.
b. Grafik tipe As / Stiffness (kekakuan) atau Shallowness (kedangkalan) : menunjukkan
kekakuan rangkaian tulang-tulang pendengaran.
c. Grafik tipe AD / Discontinuity : menunjukan diskontunuitas tulang-tulang pendengaran.
d. Grafik tipe B / Flat : menunjukkan adanya cairan di telinga tengah atau perforasi
membrane timpani.
e. Grafik tipe C : menunjukkan adanya gangguan fungsi tuba eustachius.

208
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta; Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007. p 15-18,27
2. Hidayat, B. Hubungan Antara Gambaran Timpanometri dengan Letak dan Stadium Tumor
pada Penderita Karsinoma Nasofaring di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik
Medan [online] 2009 [cited 2010 November 4th]. Available from URL:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6424/1/09E01722.pdf
3. Cummings CW, Flint PW, Harker LA, et al. Cummings Otolaryngology Head & Neck
Surgery Fourth Edition.
4. Snow JB. Diagnostic Audiology, Hearing Aids, and Habilitation Options. In: Ballenger’s
Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. BC Decker. Hamilton. London.
2002. p. 3-4
5. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 1997. p. 30,46
6. Grason-Stadler.GSI TympStar Version 2 Middle-Ear Analyzer [online] 2010 [cited 2010
November 4th]. Available from URL: http://www.msrwest.com/gsi/tstar.pdf
7. Khoriyatul. Timpanometri [online] 2010 [cited on November 9th 2010]. Available from
URL: http://khoriyatulj.multiply.com/journal
8. Adam, Boeis and Higler. 1997 . Boeis : Buku Ajar THT . Penerbit Buku Kedokteran EGC .
Jakarta
9. Haris. Anatomi makhluk hidup [online] 2009 November 20th [cited 2010 November 4th].
Available from URL: www.books.google.com
10. Ismail K. Pendengaran [online] 2008 [cited on 27 Januari 2010]. Available from URL :
www.books.google.com
11. Bauman R, Dutton S. Human Anatomy and Physiology. Whittier Publications Inc. Lido
Beach New York. 1996. p. 187-190.
12. Faiz, O. & Moffat, D. At a Glance Anatomi. Erlangga Medical Series. Jakarta. 2004. p. 153
13. Netter. Atlas of Netter [online] 2010 [cited on 2010 November 6th]. Available from URL:
http://www.netterimages.com/image/265.htm
14. Guyton & Hall. Textbook of Medical Physiology Eleventh Edition.Mississippi; Elsevier
Saunders; 2006. p. 652
15. Bauman R, Dutton S. Human Anatomy and Physiology. Whittier Publications Inc. Lido
Beach New York. 1996. p. 187-190.
16. McWilliams T., Bass J. Earsn [online] 2010 [cited 2010 November 12th]. Available from
URL: http://asweknowit.net/MIDDLE_SCH/DWA%205%20ears.htm
17. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 1997. p. 30,46

209

Anda mungkin juga menyukai