Anda di halaman 1dari 24

FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI I

“PENGENALAN HEWAN COBA”

LAPORAN PRAKTIKUM

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mata Kuliah Farmakologi


Toksikologi 1 Jurusan Farmasi Fakultas Olahraga Dan Kesehatan

OLEH :

KELOMPOK : I (SATU)
KELAS : A-S1 FARMASI 2019
ASISTEN : ALIM MUNANDAR SULEMAN

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
JURUSAN FARMASI
LABORATORIUM FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI
2021
Lembar Pengesahan
FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI I
“PENGENALAN HEWAN COBA”

OLEH
KELOMPOK I (SATU)
1. ALVIAN HASAN (821419005)
2. MUHAMMAD ANDRE V. MAARUF (821419035)
3. MUHAMMAD IHSAN A. TULUTUGON (821419018)
4. ANDI SITI SAKINA ISKANDAR (821419023)
5. CHINDY MARCELA MOODUTO (821419002)
6. DWITA CAHYANI PANIGORO (821419008)
7. NAJMIYAH S. TUTI (821419019)
8. NUR FADILAH S. HASAN (821419036)
9. NURNOVITA SALEH (821419029)
10. RISKA AFRIYANTI AHMAD (821419013)

Gorontalo, Maret 2021 NILAI


Mengetahui
Asisten

ALIM MUNANDAR SULEMAN


KATA PENGANTAR
Assalamualikum warahmatullahi wabarokatuh.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi rahmat, taufik dan hidayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan ini. Shalawat dan salam
selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW dan para
sahabat dari dulu, sekarang hingga akhir zaman.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang tak terhingga
kepada asisten yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya kepada kami
sehingga kami dapat menyelesaikan laporan ini yang berjudul “Pengenalan
Hewan Coba”
Dalam laporan ini kami menyadari masih banyak kekurangan dan
kesalahan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran demi
kesempurnaan laporan ini.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT, kami berserah diri. Semoga laporan
ini dapat menambah wawasan dan memberi manfaat bagi semua. Amin, Ya Rabal
‘Alamiin.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Gorontalo, Maret 2021

KELOMPOK 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................. 2

1.3 Tujuan Percobaan.................................................................................. 2

1.4 Prinsip Percobaan.................................................................................. 2

1.5 Manfaat Percobaan................................................................................ 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 3

2.1 Dasar Teori............................................................................................ 3

2.2 Uraian Bahan........................................................................................ 7

2.3 Uraian Hewan....................................................................................... 7

BAB III METODE KERJA........................................................................... 9

3.1 Alat ..................................................................................................... 9

3.2 Bahan.................................................................................................... 9

3.3 Cara Kerja............................................................................................. 9

BAB IV PEMBAHASAN............................................................................... 10

4.1 Hasil Pengamatan.................................................................................. 10

ii
4.2 Pembahasan........................................................................................... 10

BAB VPENUTUP........................................................................................... 14

5.1 Kesimpulan........................................................................................... 14

5.2 Saran..................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring berkembangnya waktu, ilmu pengetahuan semakin berkembang
pesat apalagi dalam bidang kesehatan atau farmasi. Untuk mengembangkan ilmu
dari bidang kesehatan ini tentu harus dilakukan sebuah penelitian. Penelitian
tersebut bertujuan untuk mengembangkan ilmu ataupun menciptakan sesuatu yang
baru. Dalam penelitian tidak luput dari adanya uji coba. Uji coba biasa dilakukan
pada makhluk hidup seperti hewan percobaan untuk menemukan suatu efek
farmakologi.
Farmakologi atau yang bisa disebut dengan ilmu khasiat obat adalah ilmu
yang memelajari pengetahuan obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi
maupun fisikanya, kegiatan fisiologi, resorbsi, dan nasibnya dalam organisme
hidup (Sujati, 2016).
Penggunaan hewan percobaan terus berkembang hingga kini. Kegunaan
hewan percobaan tersebut antara lain sebagai pengganti dari subyek yang
diinginkan, sebagai model, di samping itu di bidang farmasi juga digunakan
sebagai alat untuk mengukur besaran kualitas dan kuantitas suatu obat sebelum
diberikan kepada manusia.
Tidak semua hewan coba dapat digunakan dalam suatu penelitian, harus
dipilih mana yang sesuai dan dapat memberikan gambaran tujuan yang akan
dicapai. Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis/keturunan dan
lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, di samping faktor ekonomis,
mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip
kejadiannya pada manusia. Oleh karena itu, kita dapat dan lebih mudah
menggunakan hewan coba sebagai hewan percobaan seperti mencit.
Mencit berbeda dengan tikus, dimana ukurannya mini, berkembang biak
sangat cepat, dan 99% gennya mirip dengan manusia. Oleh karena itu mencit
sangat representative jika digunakan sebagai model penyakit genetic manusia

1
(bawaan). Selain itu, mencit juga sangat mudah untuk di rekayasa genetiknya
sehingga menghasilkan model yang sesuai untuk berbagai macam penyakit
manusia. Selain itu, mencit juga lebih menguntungkan dalam hal kemudahan
penanganan, tempat penyimpanan, serta harganya yang relatif lebih murah
(Stevani,2016).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dilakukan percobaan “Pengenalan
Hewan Coba” dengan tujuan untuk mengetahui cara memegang hewan mencit
(Mus musculus). Menentukan nilai BCS (Body Condition Scoring) serta rute-rute
pemerian obat pada mencit.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara mengukur tingkat kesehatan hewan uji dengan
menggunakan BCS?
2. Bagaimana cara memegang dan cara pemerian obat pada mencit?
3. Bagaimana cara melakukan anastesi dan euthanasia pada mencit?
1.3 Tujuan Percobaan
1. Untuk mengukur tingkat kesehatan hewan uji dengan BCS
2. Untuk mengetahui cara memegang dan cara pemerian obat pada mencit
3. Untuk mengetahui cara melakukan anastesi dan euthanasia pada mencit
1.4 Prinsip Percobaan
Pengukuran kesehatan mencit dengan meraba bagian tulang sacroiliac
(tulang antara tulang belakang hingga ke tulang kemaluan) dengan menggunakan
jari dan mencocokannya dengan nilai BCS.
1.5 Manfaat Percobaan
Manfaat dari percobaan ini adalah agar mahasiswa dapat mengukur tingkat
kesehatan hewan uji dengan menggunakan BCS, dapat mengetahui cara
memegang dan pemerian obat pada mencit serta dapat mengetahui cara
melakukan anastesi dan euthanasia pada mencit.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Penanganan Hewan Coba
Penggunaan hewan uji coba seringkali menimbulkan kontroversi.
Terkadang para peneliti menggampangkan bahwa yang digunakan hanyalah
hewan. Namun inilah yang sering dilupakan, hewan juga punya hak untuk tidak
merasa sakit, dan terbebas dari penyiksaan. Pemandangan lain yang sering terlihat
adalah terjadinya salah saluran pada saat memasukkan obat yang seharusnya
masuk ke lambung tetapi salah jalur ke paru-paru dan menyebabkan mencit lemas
dan mati perlahan (Filu Marwati, 2018).
Dalam rangka menciptakan sebuah perlakuan yang ideal pada hewan coba
maka seorang peneliti perlu memperhatikan etika pembedahan sesuai dengan
pedoman etik penelitian kesehatan. Pedoman etik penelitian kesehatan khusus
penggunaan hewan percobaan tertuang dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan pasal 44 ayat 4 yang berbunyi : “Penelitian terhadap hewan harus
dijamin untuk melindungi kelestarian hewan tersebut serta mencegah dampak
buruk yang tidak langsung bagi kesehatan manusia.”
Sejauh ini hewan coba yang banyak digunakan dalam sebuah penelitian
medis adalah rodensia atau hewan pengerat, dengan kisaran presentase mencapai
69%. Alasan penggunaan rodensia adalah karena hanya relatif murah, mudah
ditangani, mempunyai rentang hidup yang singkat dan mudah beradaptasi pada
kondisi sekitarnya serta tingkat reproduksi yang cepat sehingga memungkinkan
untuk penelitian proses biologis pada semua tahap siklus hidup (Filu Marwati,
2018).
Dalam penelitian kesehatan yang memanfaatkan hewan coba, juga harus
diterapkan prinsip 3R dalam protokol penelitian, yaitu: replacement, reduction,
dan refinement (Tim Penyusun, 2019).
1. Replacement adalah keperluan memanfaatkan hewan percobaan sudah
diperhitungkan secara seksama, baik dari pengalaman terdahulu maupun
literatur untuk menjawab pertanyaan penelitian dan tidak dapat digantikan

3
oleh mahluk hidup lain seperti sel atau biakan jaringan. Replacement terbagi
menjadi dua bagian, yaitu: relatif (mengganti hewan percobaan dengan
memakai organ/jaringan hewan dari rumah potong, hewan dari ordo lebih
rendah) dan absolut (mengganti hewan percobaan dengan kultur sel,
jaringan, atau program komputer).
2. Reduction diartikan sebagai pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit
mungkin, tetapi tetap mendapatkan hasil yang optimal. Jumlah minimum
biasa dihitung menggunakan rumus Frederer yaitu (n-1) (t-1) >15, dengan n
adalah jumlah hewan yang diperlukan dan t adalah jumlah kelompok
perlakuan. Kelemahan dari rumus itu adalah semakin sedikit kelompok
penelitian, semakin banyak jumlah hewan yang diperlukan, serta sebaliknya.
Untuk mengatasinya, diperlukan penggunaan desain statistik yang tepat agar
didapatkan hasil penelitian yang sahih.
3. Refinement adalah memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi
(humane), memelihara hewan dengan baik, tidak menyakiti hewan, serta
meminimalisasi perlakuan yang menyakitkan sehingga menjamin
kesejahteraan hewan coba sampai akhir penelitian. Pada dasarnya prinsip
refinement berarti membebaskan hewan coba dari beberapa kondisi. Yang
pertama adalah bebas darirasa lapar dan haus, dengan memberikan akses
makanan dan air minum yang sesuai dengan jumlah yang memadai baik
jumlah dan komposisi nutrisi untuk kesehatannya. Makanan dan air minum
memadai dari kualitas, dibuktikan melalui analisa proximate makanan,
analisis mutu air minum, dan uji kontaminasi secara berkala. Analisis pakan
hewan untuk mendapatkan komposisi pakan,menggunakan metode standar.
Kedua, hewan percobaan bebas dari ketidaknyamanan, disediakan
lingkungan bersih dan paling sesuai dengan biologi hewan percobaan yang
dipilih, dengan perhatian terhadap: siklus cahaya, suhu, kelembaban
lingkungan, dan fasilitas fisik seperti ukuran kandang untuk kebebasan
bergerak, kebiasaan hewan untuk mengelompok atau menyendiri.
Berikutnya, hewan coba harus bebas dari nyeri dan penyakit dengan
menjalankan program kesehatan, pencegahan, dan pemantauan, serta

4
pengobatan tehadap hewan percobaan jika diperlukan. Penyakit dapat
diobati dengan catatan tidak mengganggu penelitian yang sedang
dijalankan. Bebas dari nyeri diusahakan dengan memilih prosedur yang
meminimalisasi nyeri saat melakukan tindakan invasif, yaitu dengan
menggunakan analgesia dan anesthesia ketika diperlukan.
Cara memperlakukan mencit menurut Rahmad Abdillah,dkk (2020), yaitu:
1. Mencit diangkat dengan memegangnya pada ujung ekornya dengan tangan
kanan, dan dibiarkan menjangkau kawat kandang dengan kaki depannya
(gambar 1.1)

Gambar 1.1
2. Kulit tengkuknya dijepit diantara telunjuk dan ibu jari tangan sebelah kiri
(gambar 1.2)

Gambar 1.2
3. Kemudian ekornya dipindahkan dari tangan kanan keantara jari manis dar
jari kelingking tangan kiri, hingga mencit cukup erat dipegang (gambar 1.3)

5
Gambar 1.3

2.1.2 Rute Pemberian Obat


Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek
obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang
berbeda pada daerah kontak mula obat dan tubuh. Karakteristik ini berbeda karena
jumlah suplai darah berbeda, struktur anatomi dari lingkungan kontak antara obat-
tubuh yang berbeda, enzim-enzim fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut
juga berbeda. Rute pemberian obat secara umum terdiri dari enteral dan parenteral
(Katzung, 2014).
A. Enteral
Rute pemberian enteral melibatkan penyerapan obat melalui saluran
gastrointestinal
1. Oral: Pemberian obat secara oral merupakan rute pemberian yang paling
sering digunakan karena faktor kemudahan penggunaan dan kenyamanan.
Bioavailabilitas obat melalui rute ini sekitar 5% hingga < 100%. Beberapa
faktor dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan secara oral
seperti: waktu pengosongan lambung, motilitas usus, pH, makanan,
transport dan metabolisme intestinal serta metabolisme hepatik.
B. Parenteral
Pemberian obat secara parenteral adalah rute pemberian yang tidak
melibatkan penyerapan obat melalui saluran gastrointestinal.
1. Intravena; Obat disuntikkan secara langsung ke dalam pembuluh darah
vena. Bioavailabilitas obat melalui rute ini adalah 100% karena obat

6
langsung masuk ke dalam pembuluh darah. Onset aksi obat melalui rute ini
cepat sehingga menjadi pilihan saat kondisi darurat.
2. Intramuskular adalah rute pemberian obat dengan cara disuntikkan kedalam
otot. Absorpsi obat melalui rute ini lebih cepat dibandingkan rute oral dan
bioavailabilitas obat sekitar 75% hingga ≤ 100%. Obat-obat yang diberikan
secara intramuskular dapat berupa larutan dalam air atau preparat depo
khusus sering berupa suspensi obat dalam vehikulum non aqua seperti
etilenglikol.
3. Subkutan adalah rute pemberian obat dengan cara disuntikkan dibawah
kulit. Bioavailabilitas obat melalui rute ini sekitar 75% hingga ≤ 100%.
2.1.3 Anastesi
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit,
dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal
bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011).
Anastesi terbagi menjadi tiga jenis yaitu:
1. Anastesi Lokal adalah Hilangnya sensasi tanpa diikuti oleh hilangnya
kesadaran (Narlan Sumawinata, 2013)
2. Anastesi Umum menurut American Association of Anestesiologist
merupakan pemberian obat yang menginduksi hilangnya kesadaran dimana
pasien tidak arousable, meskipun dengan stimulasi yang sangat menyakitkan
(ASA., 2013)
3. Anastesi Regional merupakan suatu metode yang lebih bersifat sebagai
analgesik. Anestesi regional hanya menghilangkan nyeri tetapi pasien tetap
dalam keadaan sadar. Oleh sebab itu, teknik ini tidak memenuhi trias
anestesi karena hanya menghilangkan persepsi nyeri saja (Pramono, 2017).
2.1.4 Euthanasia
Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan suatu usaha (nalaten)
untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja tidak melakukan sesuatu
untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini
dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri (Cecep Tribowo,2014).

7
Menurut istilah kedokteran, Euthanasia berarti tindakan untuk meringankan
kesakitan atau penderitaan yang dialami oleh seseorang yang akan meninggal,
juga berarti mempercepat kematian seseorang yang berada dalam kesakitan dan
penderitaan yang hebat menjelang kematiannya.
2.2 Uraian Bahan
2.2.1 Alkohol ( Dirjen POM, 1979; Pubchem, 2020)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Etanol, Alkohol, Etil Alkohol
Rumus struktur :

Rumus molekul : C2H6O


Berat molekul : 46,07 g/mol
Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan
mudah bergerak, bau khas, rasa panas. Mudah
terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak
berasap
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform dan
dalam eter; dapat bercampur dengan banyak pelarut
organik; dapat bercampur dengan aseton; larut dalam
benzena.
Khasiat : Sebagai antiseptik, disinfektan
Kegunaan : Sebagai larutan yang digunakan untuk mensterilkan
alat , sebagai pelarut.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya,
di tempat sejuk, jauh dari nyala api.
2.2.2 Aquadest (Dirjen POM, 1979; Pubchem, 2020)
Nama resmi  : AQUA DESTILLATA 
Nama lain  : Air suling, Aquadest, Air yang dimurnikan.
Rumus struktur :

H O H
8
Rumus molekul  : H2O
Berat molekul  : 18,02 g/mol
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau dan tidak
mempunyai rasa
Kelarutan : Benar-benar tercampur; sangat larut dalam etanol,
metanol, aseton.
Khasiat : Sebagai pelarut
Penyimpanan  : Dalam wadah tertutup baik
2.3 Uraian Hewan
2.3.1 Klasifikasi Mencit (Mus musculus) Menurut Rudy (2018)
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Subkelas : Rodentia
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Gambar 2.3
Genus : Mus
Mencit (Mus musculus)
Spesies : Mus musculus
2.3.2 Karakteristik Mencit (Mus musculus) menurut Kusumawati (2004)
Masa pebertas : 4 – 5 hari (poliestrus)
Masa beranak : 7 – 18 bulan
Masa hamil : 19 – 21 hari
Jumlah sekali lahir : 10 – 12 ekor
Masa hidup : 1,5 – 3,0 tahun
Masa tumbuh : 50 hari
Masa menyusui : 21 hari
Frekuensi kelahiran : 6 – 10 kali kelahiran
Suhu tubuh : 36,5 -38,0 0 C
Laju respirasi : 163 x / mn

9
Tekanan darah : 113-147/81-106 mm Hg
Volume darah : 76 – 80 mg/kg
Luas permukaan tubuh : 20 g : 36 cm
2.3.3 Sifat Hewan Coba
Mencit merupakan hewan yang sering digunakan sebagai hewan
laboratorium. Penggunaan mencit sebagai model laboratorium berkisar 40%.
Mencit banyak digunakan sebagai hewan laboratorium karena memiliki kelebihan
seperti siklus hidup relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-
sifatnya tinggi, mudah ditangani, serta sifat produksi dan karakteristik
reproduksinya mirip hewan mamalia lain, seperti sapi, kambing, domba, dan babi.
Selain itu, mencit dapat hidup mencapai umur 1-3 tahun. (Rudy,2018).
Hewan ini memiliki karakter lebih aktif pada malam hari daripada siang
hari. Diantara spesies-spesies hewan lainnya, mencit yang paling banyak
digunakan untuk tujuan penelitian medis (60-80%) karena murah dan mudah
berkembang biak (Kusumawati, 2004).

10
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Alat yang digunakan pada praktikum Farmakologi dan Toksikologi
percobaan Pengenalan Hewan Coba yaitu dispo, keranjang mencit, sonde oral dan
timbangan.
3.1.2 Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum Farmakologi dan Toksikologi
percobaan Pengenalan Hewan Coba yaitu aquadest, alkohol 70%, handscoon,
mencit, dan tissue.
3.2 Cara Kerja
3.2.1 Pengenalan Hewan Coba
1. Disiapkan 5 ekor mencit
2. Diletakkan satu ekor mencit diatas kandang yang terbuat dari kendang
3. Dibiarkan mencit dalam posisi istirahat
4. Diamati kondisi tulang belakang mencit hingga ke tulang dekat kemaluan
(bokong).
5. Secara perlahan-lahan disentuh (diraba) bagian tulang belakang hingga ke
tulang bokong.
6. Dicatat hasil pengamatan dan perabaan serta ulangi untuk 4 mencit yang
lain.
3.2.2 Rute Pemberian Obat
a. Peroral (P.O)
1. Disiapkan cairan obat yang akan diberikan dengan menggunakan sonde
oral.
2. Dipegang mencit sesuai prosedur
3. Ditempelkan sonde oral pada langit-langit mulut atas mencit
4. Kemudian perlahan-lahan dimasukkan sampai ke esophagus dan cairan
obat dimasukkan.

11
b. Sub kutan (S.C)
1. Disiapkan cairan obat yang akan diberikan dengan menggunakan dispo
2. Dipegang mencit sesuai prosedur saat pemberian obat sub kutan
3. Diangkat kulit didaerah tengkuk dan kebagian bawah kulit dimasukkan
obat dengan menggunakan alat suntik 1 ml dan jarum ukuran 27G/0,4 mm.
Selain itu juga bisa didaerah belakang tikus.
c. Intra vena (I.V)
1. Disiapkan cairan obat yang akan diberikan dengan menggunakan dispo.
2. Dimasukkan mencit kedalam kandang restriksi mencit, dengan ekornya
menjulur keluar.
3. Ekornya dicelupkan ke dalam air hangat (28-30°C) agar pembuluh vena
ekor mengalami dilatasi, sehingga memudahkan pemberian obat kedalam
pembuluh vena.
4. Dilakukan pemberian obat dengan menggunakan jarum suntik no. 24.
d. Intramuskular (I.M)
1. Disiapkan cairan obat yang akan diberikan dengan menggunakan dispo.
2. Dipegang mencit sesuai prosedur saat pemberian intramuscular.
3. Disuntikkan obat pada paha posterior dengan jarum suntik no.24
e. Intra peritonial (I.P)
1. Disiapkan cairan obat yang akan diberikan dengan menggunakan dispo.
2. Dipegang mencit sesuai prosedur saat pemberian intra peritonial. Pada saat
penyuntikan, posisi kepala lebih rendah dari abdomen.
3. Jarum disuntikkkan dengan sudut sekitar 100 dari abdomen pada daerah
yang sedikit menepi dari garis tengah, agar jarum suntik tidak mengenai
kandung kemih. Penyuntikan tidak terlalu tinggi untuk menghindari
terjadinya penyuntikkan pada hati.

12
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Tabel Hasil Pengamatan
Nomor Penimbangan BB Hasil
mencit (Gram) Pengamatan Perabaan
1 19,5 Tulang mencit Saat diraba,masih
kelihatan dengan terasa adanya
jelas daging,tulang pelvic
darsal dapat terasa.
2 20,3 Mencit dalam Ketika dirasa dapat
kondisi baik dan merasakan adanya
tubuhnya tidak tulang dan tulang
nampak tonjolan pelvic darsal sedikit
tulang teraba.
3 18,2 Tulang-tulang Bilamana diraba
pada mencit masih terasa adanya
kelihatan jelas daging serta tulang
pelvic darsal dapat
sedikit teraba.
4 22,3 Tubuhnya tidak Ketika diraba masih
tampak tonjolan dapat merasakan
tulang adanya tulang serta
tulang pelvic darsal
sedikit terasa
5 21,5 Dalam kondisi Bilamana diraba
baik dan tidak dapat terasa adanya
tampak tonjolan tulang dan berisi
tulang serta tulang pelvic
darsal sedikt teraba
4.1.2 Pembahasan

13
Pada praktikum farmakologi toksikologi kali ini dilakukan percobaan
mengenai pengenalan hewan coba serta cara menangani hewan coba selain itu
juga dilakukan perlakuan berupa pemberian obat yang terdiri dari peroral,
subkutan, intramuskular, intraperitonial, dan intravena. Hewan coba yang
digunakan pada praktikum kali ini yaitu Mencit (Mus musculus).
Mencit (Mus musculus) adalah salah satu anggota kelompok kerajaan
hewan animalia. Hewan ini ditandai dengan ciri sebagai berikut: jinak, takut
cahaya, aktif pada malam hari, mudah berkembangbiak, siklus hidup yang
pendek, dan tergolong poliestrus (Fransius, 2008). Mencit (Mus musculus)
merupakan hewan yang paling umum digunakan pada penelitian laboratorium
sebagai hewan percobaan, yaitu sekitar 40-80% (Aditya, 2006). Mencit memiliki
banyak keunggulan sebagai hewan percobaan (khususnya digunakan dalam
penelitian biologi), yaitu siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per
kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan mudah dalam penanganannya
(Fransius, 2008).
Alasan digunakan mencit dalam praktikum kali yaitu karena mencit
memiliki kemiripan genetik dengan manusia. Di antara hewan hewan mamalia,
mencit adalah hewan yang mempunyai kemiripan genetik dengan manusia.
Banyak penelitian yang bergerak di bidang manipulasi genetik, rekayasa gen,
selalu menggunakan mencit sebagai bahan percobaan ( Rudy, 2018).
Mencit (Mus musculus) yang digunakan harus dalam kondisi baik. Untuk
menentukan apakah mencit tersebut dalam kondisi baik dapat lihat dari penilaian
kondisi tubuh (BCS). Mencit yang di katakan dalam kondisi baik mencit memiki
ciri tubuh tidak tampak tonjolan tulang, namun bilamana di raba cukup mudah
dirasakan adanya tulang-tulang. Tampak atas biasanya sudah lebih lurus dan
tampak berisi. Tulang pelvic sedkit teraba. Mencit dengan ciri-ciri yang telah
disebutkan diatas termasuk dalam BCS kelas 3 (Tim penyusun,2019). Dari data
hasil pengamatan yang kami dapatkan ada 2 mencit yang termasuk dalam katagori
BCS kelas 3 yaitu dengan berat 20,3 gram dan 21,5 gram.
Sebelum memberikan perlakuan kepada mencit, hal pertama yang
dilakukan yaitu mengeluarkan mencit dari kandangnya dengan mengangkat

14
bagian ekor mencit menggunakan tangan kemudian diletakan diatas permukaan
yang seperti pada penutup kandang yang terbuat dari rang kawat.Selanjutnya
dijinakkan mencit dengan cara mengelus bagian tengkuk mencit hingga mencit
tenang dan tidak stress. Stress pada mencit ditandai dengan sering buang air,
mekarnya rambut pada tubuh mencit dan tubuhnya bergetar atau sering
menggeliat (Stevani,H.,2016).
Pada saat mencit sudah tenang, pegang kulit mencit bagian tengkuk
dengan ibu jari dan jari telunjuk lalu ekornya ditahan menggunakan jari yang
lainnya dan diusahakan saat memegang mencit harus dengan erat agar mencit
tidak menggeliat. Kemudian tubuh mencit dibalikkan menghadap keatas dan
mencit sudah siap diberi perlakuan. Menurut Ade Irma dkk. (2016), cara ideal
memegang mencit yaitu dengan memegang tengah ekor mencit , leher dipegang
dengan tangan kanan dan jangan terlalu ditekan. Jari telunjuk dan ibu jari
memegang tengkuk dan jari kelingking memegang ekor mencit tersebut.
Rute pemberian obat pada mencit terdiri dari secara oral, subkutan,
intravena, intramuskular maupun intraperitoneal.Pada praktikum kali ini kami
melakukan rute pemberian obat secara oral. Pada praktikum kali ini dilakukan rute
pemberian obat secara oral dengan menggunakan sonde oral. Sonde oral ini
ditempatkan pada langit – langit mulut atas mencit kemudian perlahan – lahan
dimasukkan sampai ke esofagus dan cairan dimasukkan (Katzung dan
Travor,2015).
Biasanya diakhir penelitian hewan coba akan dibunuh untuk melihat efek
dari obat yang diberikan. Untuk melihat perubahan yang ditimbulkan oleh agen
yang diujikan maka di akhir masa penelitian hewan tersebut harus dimatikan.
Periode mematikan hewan percobaan ini yang dikenal sebagai euthanasia.
Euthanasia merupakan teknik membunuh hewan uji secara manusiawi, mudah
mati tanpa kesakitan. Teknik tersebut mensyaratkan adanya aksi depresi pada
saraf pusat sehingga memungkinkan kepekaan terhadap rasa sakit berkurang
(Rudi,2018).
Sebelum melakukan eutanasia hewan coba harus dianastesi terlebih dahulu
dilakukan anastesi. Anastesi yaitu Anestesia berasal dari bahasa Yunani yang

15
mempunyai arti kehilangan kesadaran. Kehilangan kesadaran ini bersifat
reversibel atau dapat kembali kesadaran. Agar hewan coba tidak merasakan sakit
ketika dilakukan eutanasia (Rudi,2018). Eutanasia cara fisik dilakukan dengan
dislokasi leher. Proses dislokasi dilakukan dengan cara Ekor mencit dipegang dan
kemudian ditempatkan pada permukaan yang bisa dijangkaunya, biarkan mencit
meregangkan badannya. Saat mencit meregangkan badannya, pada tengkuk
ditempatkan suatu penahan, misalnya pensil atau batang logam yang dipegang
dengan tangan kiri. Ekornya ditarik dengan tangan kanan dengan keras, sehingga
lehernya akan terdislokasi dan mencit akan terbunuh.

16
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Cara penanganan hewan uji dilakukan dengan rasa penuh kasih sayang dan
berperikemanusiaan. Di dalam menilai efek farmakologis suatu senyawa
bioaktif dengan hewan percobaan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor
yaitu jenis kelamin, bobot badan, umur lingkungan dan sebagainya.
2. Rute pemberian obat pada hewan melalui oral (mulut), sublingual
(bawah lidah), rektal (dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui
intradermal, intramuskular, subkutan, dan intraperitonial,
melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian
secara parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri,
intraspinal dan intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan
3. Penentuan tingkat kesehatan hewan uji dengan metode BCS merupakan
penilaian yang cepat, jika suatu hewan telah kehilangan berat badan lebih
dari 20% namun berdasarkan penilaian BCS kondisinya masih di nilai 3
(BCS 3) maka mungkin belum perlu dilakukaan euthanasia segera.
Dengan demikian, BCS adalah penanda yang lebih komprehensif dan
akurat untuk kesehatan hewan dibandingkan kehilangan berat badan. Nilai
BCS yang kurang dari 2 biasanya akan dianggap sebagai titik akhir klinis.
5.2 Saran
5.2.1 Saran Untuk Jurusan
Diharapkan adanya penambahan dan perbaikan sarana serta prasarana
untuk membantu dalam proses perkuliahan.
5.2.2 Saran Untuk Laboratorium
Diharapkan agar kedepannya laboratorium teknologi farmasi dapat
menyediakan alat-alat untuk kebutuhan praktikum, sehingga praktikan tidak
kesulitan dalam melakukan praktikum.
5.2.3 Saran Untuk Asisten
Diharapkan agar meningkatkan kerja sama antara asisten dan praktikan
dengan banyak memberi wawasan praktek laboratorium teknologi farmasi.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ade Irma, dkk.206. Penanganan hewan coba.Makassar:STIKES Mega Resky


Makassar

American Heart Association/American Stroke Association (AHA/ASA). 2013. An


Updated Definition of Stroke for the 21st Century. AHA Journal. Vol
44

Cecep Tribowo, Etika & Hukum Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta, 2014,
hlm. 200.

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen


Kesehatan RI. Hal. 32-33

Dwi Setyadi, Aditya., 2006. Organ Reproduksi dan Kualitas Sperma Mencit
(Musmusculus) yang mendapat Pakan Tambahan Kemangi (Ocimum
basilicum) Segar. Bogor: Program Studi Teknologi Produksi Ternak
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Filu Marwati, 2018. URGENSI ETIKA MEDIS DALAM PENANGANAN MENCIT


PADA PENELITIAN FARMAKOLOGI. Jurnal Kesehatan Madani
Medika, Vol 9 No 2. Prodi DIII Farmasi STIKes Madani Yogyakarta.

Katzung,B.G dan Trover,A. 2015.Basic and pharmaceutical.13th edition.San


Fransisco.USA

Katzung, B.G., Masters, S.B. dan Trevor, A.J., 2014, Farmakologi Dasar &
Klinik, Vol.2, Edisi 12, Editor Bahasa Indonesia Ricky Soeharsono et
al., Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Kusumawati, D. 2004. Bersahabat Dengan Hewan Coba. Gajah Mada University


Press. Yogyakarta

Mangaratua. 2008. Parlindungan Silitonga Fransius. Penampilan Reproduksi


Mencit (Musmusculus) yang Diberi Daun Torbangun (Coleus
amboinicuslour) dan Taraf sop Daun Torbangun Kering. Bogor:
Program Studi Teknologi Produksi Ternak Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

Narlan Sumawinata, 2013, Anestesia Lokal dalam Perawatan Konservasi Gigi,


ECG, Jakarta.

Nugroho, Rudy Agung. 2018. Mengenal Mencit Sebagai Hewan Laboratorium.


Mulawarman University Press. Samarinda
Pramono, 2017. Buku kuliah Anastesi. Jakarta:EGC

Rahmad Abdillah, dkk., 2020. PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI.


Fakultas Farmasi Universitas Andalas

Rudy, Nugroho. 2018. Mengenal Mencit Sebagai Hewan Laboratorium.


Mulawarman University Press : Samarinda

Sabiston, D. C. (2011). Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC.

Sujati Woro. 2016. Farmakologi. Buku Ajar Cetak Farmasi, Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia. Irianto, Koes. 2013. Mikrobiologi
Medis.

Stevani, H., 2016. Praktikum Farmakologi. Jakarta: Kementerian Kesehatan


Republik Indonesia.

Tim penyusun, 2019. PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN


TOKSIKOLOGI. Program Studi Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi:
Unversitas Sumatra Utara.

Anda mungkin juga menyukai