Alvi Chomariyati
NIM: 011718026316
i
Laporan Penelitian
Alvi Chomariyati
NIM: 011718026316
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Pembimbing Utama
Pembimbing Pendamping
Ummi Maimunah, dr, Sp.PD, K-GEH, FINASIM Dr. Soebagijo Adi, dr, SpPD-KEMD
NIP. 19640110 198903 2 012 NIP. 19580401 198403 1 011
iii
ABSTRAK
DISPEPSIA DI INDONESIA
Alvi Chomariyati
Latar Belakang : Sitokrom P450 berperan penting dalam metabolisme obat, zat kimia dan
karsinogen. CYP2C19 sering menjadi perhatian utama karena tingginya perbedaan ditiap
individu maupun tiap populasi Adanya variasi respons ini dapat bersifat individu dan
cenderung mengelompok dalam suatu etnis. Berdasarkan polimorfisme CYP2C19 kapasitas
metabolisme substrat seseorang dapat dikelompokkan sebagai rapid metabolizers (RM),
intermediate metabolizers (IM) dan poor metabolizers (PM). Indonesia merupakan negara
kepulauan di Asia Tenggara, antara lautan India dan Pasifik dengan lebih dari tigabelas ribu
pulau yang berpenduduk lebih dari 261 juta orang dan terdiri dari ratusan kelompok etnis asli,
sehingga akan menunjukan perbedaan kemampuan metabolisme antar etnis tertentu dalam
merespons obat. Penelitian ini akan menganalisis hubungan antara polimorfisme CYP2C19
dan etnis di Indonesia sehingga akan memiliki kepentingan praktis untuk pilihan dan dosis
obat dan mengingatkan dokter akan faktor penentu genetik penting yang mendasari respons
obat jika digunakan dalam populasi dengan latar belakang genetik yang berbeda.
Tujuan : Menganalisis hubungan antara polimorfisme CYP2C19 dan etnis di Indonesia.
Metode : Penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain penelitian cross
sectional yang dilakukan secara prospektif dengan menggunakan data sekunder yaitu sampel
biopsi lambung yang diambil dari seluruh pasien dispepsia yang memenuhi kriteria inklusi
dan kriteria eksklusi dari populasi penelitian yang telah dipilih pada periode Januari 2014
sampai dengan Agustus tahun 2016 yang telah disimpan di transport media didalam kulkas -
80C di Institute of Tropical Disease Universitas Airlangga. Pemeriksaan sampel dilakukan
di Institute of Tropical Disease Universitas Airlangga oleh satu orang yang sudah
tersertifikasi menggunakan PCR-RFLP dan kemudian dilakukan pemeriksaan polimorfisme
CYP2C19 serta dilakukan klasifikasi kelompok genotip CYP2C19 dan dilaporkan sesuai
persebaran etnis di Indonesia.
Kata Kunci : CYP2C19, Polimorfisme CYP2C19, Etnis, Rapid Metabolizers (RM),
Intermediate Metabolizers (IM), Poor Metabolizers (PM).
iv
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL PENELITIAN……………………………………………………................ i
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………….................. iii
ABSTRAK ................................................................................................................... iv
DAFTAR ISI ………………………………………………………………................ v
DAFTAR TABEL .....……………………………………………………................... vii
DAFTAR GAMBAR ...……………………………………………………................ viii
DAFTAR SINGKATAN …………………………………………………................. ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................ x
BAB I: PENDAHULUAN ………………………………………………................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ………………………………………................. 1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………….................. 4
1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………................. 4
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………................ 5
2.1 Pengertian Dispepsia ................................................................................. 5
2.2 Proton pump inhibitor ……………………...…………………................ 7
2.3 CYP2C19 …...…………………………………....................................... 9
2.3.1 Polimorfisme CYP2C19 ……………………..…………................ 10
2.3.2 Berbagai hal yang mempengaruhi CYP2C19…………................... 13
2.3 Etnis….………………………………………….………........................... 13
2.4 Hubungan polimorfisme CYP2C19 dan etnis ............................................ 15
2.5 Implikasi medis ........................................................................................... 19
BAB III: KERANGKA KONSEPTUAL ..................................................................... 21
3.1 Kerangka Konseptual …………………………………………................. 21
3.2 Penjelasan Kerangka Konseptual …………………………….................. 22
3.3 Hipotesis Penelitian …………………………………………................… 22
BAB IV: METODE PENELITIAN ……………………………………................…. 23
4.1 Desain Penelitian …………………………………………...............…… 23
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian …………………………………............... 23
4.3 Populasi dan Sampel penelitian……………………………....................... 23
4.3.1 Populasi Penelitian ……………………………………................... 23
4.3.2 Sampel Penelitian ………………………………………................. 23
a. Kriteria Inklusi ……………………………………................…. 23
b. Kriteria Eksklusi …...………………………………...............… 24
4.3.3 Estimasi Besar Sampel ………………...……………….................. 24
4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel ……………………………................ 24
4.4 Variabel Penelitian ……………………………………………................. 25
4.5 Definisi Operasional …………………………………………................... 25
4.5.1 CYP2C19……………………..…………………………................ 25
4.5.2 Polimorfisme CYP2C19 …………………….…………................ 25
4.5.3 Rapid Metabolizers ………………..…………….………............... 26
4.5.4 IntermediateMetabolizers ………………………………................ 26
4.5.5 Poor Metabolizers ………………………………………................ 26
4.5.6 Etnis ……………………………………………………................ 26
4.5.7 Dispepsia ………………………………………………................. 27
4.5.8 Proton pump inhibitor …………………………………................. 27
4.6 Prosedur Penelitian…………………………………………...................... 27
v
4.6.1 Pemeriksaan patologi anatomi dan imunohostokimia ….................. 27
4.6.2 Prosedur pemeriksaan Polimorfisme CYP2C19………................... 27
4.6.3 Klasifikasi kelompok genotip CYP2C19………………................. 28
4.7 Protokol Penelitian ……………………………………………................. 30
4.8 Analisis Data ………...………………………………………................… 31
4.9 Biaya Penelitian ……………………………………………….................. 31
4.10 Jadwal Penelitian ...................................................................................... 32
BAB V: HASIL PENELITIAN ……………………………………………………... 33
5.1 Analisis Karakteristik Umum Subjek Penelitian ………………………… 33
5.2 Analisis Frekwensi Genotip Polimorfisme CYP2C19 …………………... 34
5.3 Analisis Genotip Polimorfisme CYP2C19 antar etnis di Indonesia ……... 37
BAB VI: PEMBAHASAN …………………………………………………………... 41
6.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian ………………………………….. 41
6.2 Frekwensi Genotip Polimorfisme CYP2C19 43
……………………………..
6.3 Genotip Polimorfisme CYP2C19 antar etnis di Indonesia 45
………………...
BAB VII: KESIMPULAN DAN SARAN 48
……………………………………………
7.1 Kesimpulan ………………………………………………………………. 48
7.2 Saran 49
………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………................. 50
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Distribusi dunia dari tiga alel CYP2C19 utama …………………………… 17
Gambar 2.2 Variasi etnis dalam prevalensi fenotip CYP2C19 ……………………….. 18
Gambar 2.3 Deteksi PCR-RFLP dari tiga alel utama CYP2C19 .………………………. 19
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual ……………………………………............................. 21
Gambar 4.1 Protokol Penelitian ...………………………................................................. 30
viii
DAFTAR SINGKATAN
A Adenin
AMP The Association for Molecular Pathology
AUC Anno Urbis Conditae
BPS Badan Pusat Statistik
CYP Cytochrom
DNA Deoxyribo Nucleic Acid
EM Extensive metabolizers
G Guanin
GOF Gain-of-Function
hmEMs homozygous extensive metabolizers
htEMs heterozygous extensive metabolizers
H+, K+, -ATPase Trifosfat adenosine hydrogen-potasium
H. Pylori Helicobacter pylori
IM Intermediate Metabolizers
ISEAS Institute of South Asian Studies
LOF Loss Of Function
PCR RFLP Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length
Polymorphism
PGx The Pharmacogenetics
pH Potential Hydrogen
PK Pharmacokinetic
PMs Poor Metabolizers
PPI proton pump inhibitor
SEA Southeast Asia
SNP Single Nucleotide Polymorphism
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Lembar pengumpul data penelitian …………………….......................... 56
x
BAB 1
PENDAHULUAN
Salah satu masalah dalam terapi menggunakan obat yang dihadapi dokter di dalam
terhadap pemberian obat. Obat dengan jenis dan dosis yang sama bila diberikan pada
sekelompok penderita dengan jenis dan berat penyakit yang sama biasanya hanya
memberikan efek terapi pada sebagian penderita saja. Pada penderita lainnya mungkin tidak
memperlihatkan efek sama sekali atau dapat mengalami efek toksik sehingga filosofi “one-
dose-fits-all” tidak tepat lagi digunakan sebagai dasar terapi. Adanya variasi respons ini dapat
bersifat individu dan cenderung mengelompok dalam suatu populasi. Variasi respons
seseorang terhadap obat merupakan perpaduan pengaruh faktor genetik, usia, jenis kelamin,
penyakit dan lingkungan (penyakit, polusi, nutrisi, dll). Menurut Nebert (1997), faktor
genetik mempunyai pengaruh lebih besar dibandingkan faktor lingkungan. Kadar enzim yang
normal mengubah obat menjadi metabolit. Namun tergantung pada obat, metabolit ini dapat
Sistem enzim sitokrom P-450 (CYP) merupakan salah satu sistem enzim yang
bertanggung jawab untuk metabolisme oksidatif berbagai senyawa endogen dan xenobiotik.
CYP2C19 merupakan salah satu isoenzim sitokrom P450 di hati, yang berperan penting
inhibitor (PPI). CYP2C19 adalah salah satu isoenzim utama superfamili CYP yang
memediasi hidroksilasi dan sulfoksidasi PPI. Enzim ini diekspesikan pada manusia dan dapat
klinis telah menunjukkan bahwa genotip CYP2C19 dengan menggunakan nomenklatur alel
1
bintang (*).
CYP2C19 mempengaruhi tingkat efektivitas terhadap terapi pada infeksi yang disebabkan
oleh H.pylori menggunakan proton pump inhibitor (PPI), seperti omeprazole, pantoprazole,
perlu untuk diketahui pada etnis di Indonesia (Ciftci, dkk., 2017; Sałagacka-kubiak, dkk.,
2018). Polimorfisme genetik pada gen CYP2C19 pada populasi telah menyebabkan
ditemukannya dua fenotip berbeda terhadap aktivitas enzim CYP2C19 yaitu kelompok
extensive metabolizers (EM) yang normal dan poor metabolizers (PM) yang mengalami
defek pada aktivitas enzim ini. Fenomena ini pertama kali dilaporkan oleh Kupfer dan Preisig
mephenytoin dalam suatu populasi. Selanjutnya diketahui bahwa terdapat sedikit perbedaan
kemampuan memetabolisme antara kelompok yang hanya memiliki satu jenis alel CYP2C19
extensive metabolizers/htEMs: * 1/* 2 and * 1/* 3) Rapid metabolizers memiliki dua alel
wild type dan dikaitkan dengan peningkatan aktivitas enzim. Intermediate metabolizers
memiliki satu alel wild type dan satu alel mutan, oleh karena itu cenderung memiliki tingkat
aktivitas enzim yang sedang. Poors metabolizers memiliki dua alel mutan dan dikaitkan
dengan tingkat aktivitas enzim yang sangat lambat sehingga akan meningkatkan efektifitas
dan penyerapan obat PPI(Kaneko, 1999). Terdapat perbedaan geografis yang nyata dalam
distribusi frekuensi genotip ini. Frekuensi PM jauh lebih tinggi pada populasi Asia (10–23%),
seperti di Jepang dan China bila dibandingkan dengan populasi Amerika dan Eropa kulit
putih (1–5%), atau pun Afrika (3–4%) (Zhang, dkk., 2019). Dua varian alel dari CYP2C19
telah dilaporkan sebagai mutasi utama yang berkontribusi pada fenotip PM. Mutasi yang
2
paling umum dijumpai yaitu CYP2C19 * 2, yang merupakan mutasi splice pada ekson 5 yang
menyumbang 75–83% dari alel yang mengalami mutasi pada PMs. Kedua, yaitu CYP2C19 *
3 yang terdiri dari stop codon prematur pada ekson 4, yang jarang ditemukan di pada
Kaukasia namun menyumbang hampir semua alel mutan yang tersisa dalam populasi Asia.
Sebuah studi yang dilakukan pada tiga populasi di Asia Tenggara (Thailand, Myanmar, dan
Suku Karen) juga menyebutkan bahwa prevalensi PM diperkirakan 9,2% pada populasi di
Thailand, 11% pada populasi di Myanmar, dan 8,4% pada populasi Suku Karen
etnis dalam distribusi berbagai sifat poor metabolizers. Beberapa penelitian independen lain
melaporkan bahwa prevalensi yang jauh lebih tinggi dari poor metabolizers pada populasi
Asia terdapat di Jepang (18–23%), diikuti oleh China (15–17%), kemudian Korea (12–16%)
Indonesia merupakan negara kepulauan di Asia Tenggara, antara lautan India dan
Pasifik dengan lebih dari tigabelas ribu pulau yang berpenduduk lebih dari 261 juta orang dan
terdiri dari ratusan kelompok etnis asli. Hingga saat ini, diperkirakan terdapat 250 etnis atau
suku yang ada di Indonesia. Sudah ada beberapa penelitian yang dilakukan pada etnis tertentu
negara. Penelitian mengenai distribusi etnis dan geografis dari alel CYP2C19 pada penduduk
Asia Tenggara oleh Yusuf dkk juga dilakukan namun hanya mewakili beberapa etnis di
Indonesia saja yaitu di Jawa, Sunda, Malaya, Bugis dan Dayak, yang mana mengungkapkan
bahwa pola alel CYP2C19 secara signifikan berkorelasi dengan jarak geografis. Hal ini
didukung juga penggunaan omeprazole yang digunakan pada pasien dispepsia, dimana
dispepsia merupakan keenam dan kelima dari sepuluh penyakit rawat jalan dan rawat inap
yang paling umum dijumpai di Indonesia (Makmun, 2014). Genotip polimorfisme CYP2C19
dapat menjadi pertimbangan penting untuk mengurangi gejala dispepsia dan memutuskan
3
dosis regimen eradikasi H. pylori untuk meningkatkan efektivitas terapi. Sehingga, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian terkait hubungan antara polimorfisme CYP2C19 dan
etnis di Indonesia.
dispepsia.
Indonesia.
2. Menjadi data dasar yang dapat dimanfaatkan untuk penelitian lebih lanjut
mengenai CYP2C19.
3. Memperkuat teori yang sudah ada tentang polimorfisme CYP2C19 dan etnis
tertentu di Indonesia.
polimorfisme CYP2C19.
4
2. Hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk pemilihan
Indonesia.
5
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein (digestion=
pencernaan). Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion yang berarti sulit atau
mencerna yang ditandai oleh rasa nyeri atau terbakar di epigastrium yang persisten atau
berulang atau rasa tidak nyaman dari gejala yang berhubungan dengan makan (rasa penuh
setelah makan atau cepat kenyang – tidak mampu menghabiskan makanan dalam porsi
normal)(Talley & Holtmann, 2008). Pada dispepsia organik ditemukan adanya suatu kelainan
berdasarkan konsensus kriteria Roma III, harus memenuhi satu atau lebih gejala tersebut,
serta tidak ada bukti kelainan struktural melalui pemeriksaan endoskopi, yang berlangsung
sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum
diagnosis(Brun & Kuo, 2010). Definisi lain dari dispepsia fungsional adalah penyakit yang
bersifat kronik, gejala yang berubah-ubah, mempunyai riwayat gangguan psikiatrik, nyeri
yang tidak responsif dengan obat-obatan, dapat ditunjukkan letaknya oleh pasien, serta secara
klinis pasien tampak sehat, berbeda dengan dispepsia organik yang gejala cenderung
menetap, jarang mempunyai riwayat gangguan psikiatri, serta secara klinis pasien tampak
Menurut Kriteria Roma III dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 klasifikasi, yakni
postprandial distres syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distres syndrome
mewakili kelompok dengan perasaan “begah” setelah makan dan perasaan cepat kenyang
sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan
6
tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya postprandial distress syndrome. Klasifikasi
Dispepsia Fungsional
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau
1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan tingkat
3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut
bagian atas/epigastrium
7
kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan sfingter Oddi Kriteria terpenuhi
bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal
Kriteria penunjang:
1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah
retrosternal
Proton Pump Inhibitor (PPI) diperkenalkan pada tahun 1989, yang mana merupakan
salah satu obat dispepsia yang paling sering digunakan dan diresepkan di dunia. Di Amerika
Serikat, lebih dari 7% orang dewasa menggunakan PPI yang diresepkan dan tidak sedikit
yang menggunakan PPI yang diperoleh dari toko. PPI bekerja dengan menekan sekresi asam
lambung dan secara luas dianggap sebagai obat pilihan untuk mengobati gangguan asam-
peptik, seperti penyakit refluks gastroesofageal dan penyakit maag peptikum. Beberapa efek
samping PPI seperti sakit kepala, diare, konstipasi, rasa tidak nyaman pada perut relatif
PPI tidak aktif dalam bentuk aslinya dan dimetabolisme dengan cepat oleh hati.
Mereka adalah prodrug yang diaktivasi oleh asam, dan level PPI plasma pada titik waktu
sekresi asam lambung akan mempengaruhi efektivitas PPI. Laju metabolisme tergantung
dan rabeprazole) merupakan prodrug yang harus diaktifkan oleh asam untuk menghambat
8
pompa proton. Secara umum, mekanisme kerja PPI yaitu dengan memblokir langkah terminal
dalam produksi asam, menghalangi 70–80% pompa kalium aktif pada membran apikal sel
parietal lambung sehingga menghambat sekresi hidrogen ke dalam lumen lambung. Pompa
baru disintesis secara konstan dengan proses yang membutuhkan waktu 36–96 jam. Karena
PPI diaktifkan dan hanya diikat oleh pompa proton yang secara aktif mensekresi asam,
menjadi suatu hal yang penting untuk menentukan waktu pemberian PPI saat waktu atau
Ketika dalam kondisi puasa, hanya sekitar 5% pompa proton lambung yang aktif,
sedangkan 60–70% pompa proton aktif saat makan. Sehingga untuk efektivitas yang
maksimal, PPI harus dikonsumsi dalam waktu 30–60 menit sebelum makan guna
memberikan waktu penyerapan obat dan tersedia dalam darah ketika jumlah maksimum
pompa proton rentan terhadap penghambatan. PPI yang dikonsumsi dalam dosis satu kali
dalam satu hari wajib dikonsumsi dalam waktu 30–60 menit sebelum sarapan. Untuk dosis
dua kali dalam satu hari juga wajib dikonsumsi dalam waktu 30–60 menit sebelum sarapan
dan sebelum makan malam. Meskipun PPI menghambat sekresi asam lambung secara efektif,
namun PPI tidak sepenuhnya menghilangkan sekresi asam lambung, terutama pada malam
hari. Sekitar 70–80% orang yang melakukan perawatan dengan dosis dua kali dalam satu hari
lambung hingga di bawah 4 selama lebih dari satu jam di malam hari. Peningkatan efektivitas
dalam mengontrol asam dengan dosis yang lebih tinggi masih jarang ditemukan bila
dibandingkan dengan konsumsi obat dua kali sehari (Spechler, 2018; Schnoll-sussman, dkk.,
2019).
sitokrom P-450, yang bervariasi di antara kelompok etnis. Meskipun secara umum bukan
9
masalah klinis utama, namun variabilitas dalam mengontrol asam ini mengakibatkan
kesulitan dalam menentukan rejimen dosis tunggal yang optimal untuk semua pasien, karena
tidak semua pompa aktif pada waktu tertentu, sehingga dosis tunggal PPI juga tidak dapat
menghambat semua pompa dan tidak sepenuhnya menghambat seluruh sekresi asam.
Pemberian PPI satu kali dalam satu hari menghasilkan kisaran yang luas dalam jumlah jam
dimana pH intragastrik >4, dan rata-rata kurang lebih dalam 12 jam jarang mencapai >5 dan
jauh lebih sedikit mencapai nilai 7. Dengan demikian, beberapa aktivitas ion hidrogen selalu
tetap. pH intragastrik jarang bertahan >4 selama lebih dari 18 – 20 jam dengan rejimen dosis
dua kali sehari pada pasien dengan H. pylori-negatif. Achlorhydia hampir tidak mungkin
diproduksi karena pergantian pompa yang konstan dan sintesis lanjutan dari pompa baru
2.3 CYP2C19
Saat meminum obat, tubuh perlu memproses obat tersebut. Salah satu cara untuk
mengolah obat adalah enzim (protein dalam tubuh) untuk mengubah atau memecah obat.
CYP2C19 merupakan salah satu isoenzim sitokrom P450 (CYP) di hati, yang berperan
clopidogrel. Gen CYP2C19 memberikan instruksi untuk membentuk enzim yang ditemukan,
terutama dalam berbagai sel hati dalam struktur sel yang disebut retikulum endoplasma, yang
terlibat dalam pemrosesan dan transportasi protein. Enzim CYP2C19 berperan dalam
memproses atau memetabolisme setidaknya 10% dari obat yang diresepkan secara umum. Di
samping itu, CYP2C19 juga memainkan peran penting dalam degradasi karsinogen potensial
antara varian CYP2C19 dan kerentanan terhadap berbagai kanker, seperti. kanker saluran
10
empedu, kanker payudara, karsinoma hepatoselular, kanker esofagus, paru-paru dan lambung
c. (S)-limonene 7-monooxygenase 19
Polimorfisme genetik ada untuk ekspresi dari CYP2C19. Gen CYP2C19 sangat
polimorfik dengan lebih dari 25 alel memiliki variabel tingkat aktivitas enzimatik. Lebih dari
20 perbedaan yang diketahui ada pada gen CYP2C19. Perbedaan dalam gen CYP2C19 ini
nantinya mengarah pada produksi enzim yang berkisar dari tidak aktif sama sekali hingga
allele CYP manusia dan memberikan label pada polimorfisme yang bisa dikenal.
Polimorfisme wild type dilambangkan dengan CYP2C19 * 1. Varian genotip lainnya seperti
CYP2C19 * 2, CYP2C19 * 3 dan CYP2C19 * 17 adalah faktor utama yang dikaitkan dengan
perbedaan farmakokinetik dan respons terhadap substrat CYP2C19 antar individu. CYP2C19
* 2 dan * 3 (loss-of-function alleles/LOF) atau alel mutan yang mana dikaitkan dengan
11
aktivitas enzim yang berkurang, sedangkan CYP2C19 * 17 (gain-of-function/GOF allele)
menghasilkan peningkatan aktivitas. The Pharmacogenetics (PGx) kelompok kerja dari the
menjadi dua tier yaitu tier 1 yang terdiri dari varian alel CYP2C19 yang dianggap
mempunyai efek fungsional pada aktivitas CYP2C19 termasuk *1, *2, *3, dan * 17, dan tier
2 Tier 2 yang terdiri dari varian alel CYP2C19 yang terbukti mengalami penurunan atau
tidak berfungsi: *4A, *4B, *5, *6, *7, *8, *9, *10, *10, *35(Prat, V., M., dkk., 2018).
Polimorfisme genetik enzim obat memiliki pengaruh besar terhadap nasib zat
xenobiotik, baik sebagai obat maupun diserap dari lingkungan. Pemahaman tentang
polimorfisme dapat mengevaluasi kecenderungan genetik untuk risiko terkait pajanan dan, di
masa depan, untuk mengembangkan terapi obat individual. Polimorfisme CYP2C19 penting
dalam menentukan penyebab variasi dalam metabolisme obat. Enzim sitokrom P450
memainkan peran sentral dalam metabolisme banyak obat, bahan kimia, dan karsinogen.
Perbedaan aktivitas enzim ini bertanggung jawab atas variabilitas antar individu dalam
respons obat dan toksisitas. Polimorfisme genetik CYP2C19 dapat menyebabkan perbedaan
dalam farmakokinetik (PK), farmakodinamik dan efikasi klinis PPI. Polimorfisme yang
terjadi akibat adanya mutasi pada gen enzim yang memetabolisme obat menyebabkan
penurunan, peningkatan atau bahkan tidak adanya aktivitas enzim. CYP2C19 berpartisipasi
dalam metabolisme obat asam (mephenytoin), basa (imipramine dan omeprazole), dan netral
(diazepam). Bergantung pada kapasitas CYP2CI9 untuk memetabolisme substrat ini, individu
atau poor metabolizers (PM). Fenotip PM disebabkan adanya mutasi basa tunggal pada gen
CYP2C19 yaitu G681A pada ekson 5 (CYP2C19 * 2 atau CYP2C19 * 1) and G636A pada
ekson 4 (CYP2C19 * 3 atau CYP2C19 * 2)(Daly dkk, 1996). Kombinasi kedua alel ini akan
menyebabkan munculnya fenotip PM (* 2/* 2; * 2/* 3; and * 3/* 3)(Kaneko dkk, 1999). Pada
12
populasi, gambaran ketiga alel tersebut dapat dijumpai (Ibeanu dkk, 1998), dengan alel
CYP2C19 * 2 dan CYP2C19 * 3 dijumpai lebih dari 99% pada kelompok PM Asia
(Goldstein, 1997). Penelitian sebelumnya menemukan bahwa semua individu dengan paling
tidak memiliki satu alel wild type (CYP2C19 * 1) tergolong sebagai extensive metabolizers
(EM)(de Morrais 1998). Dua alel CYP2C19 wild type dan tujuh alel mutan telah
dikarakterisasi sampai saat ini, dimana CYP2C19 * 2 dan CYP2C19 * 3 berkontribusi pada
sebagian besar fenotip PM (de Morais dkk., 1994). Alel mutan CYP2C19 * 2 terdiri dari
substitusi pasangan basa tunggal (G681A) di ekson 5, yang mengaktifkan situs sambungan 3'-
samar dan menghasilkan mRNA yang disambung menyimpang dan protein terpotong yang
tidak aktif. Alel mutan CYP2C19 * 3 terdiri dari substitusi pasangan basa tunggal (G636A) di
ekson 4, yang menghasilkan stop codon yang dini dan menghasilkan protein yang terpotong
dan tidak aktif. Gen CYP2C19 diklasifikasikan sebagai rapid, intermediate dan poor
metabolizers, tergantung pada kombinasi genotip individu. Individu dengan dua alel normal
menghasilkan banyak enzim dan memetabolisme PPI pada tingkat yang lebih cepat, serta
mampu menurunkan efektivitas sekretori PPI. Individu dengan satu alel fungsi normal dan
satu alel mutan (* 2/* 3) atau loss of funtion (LOF) diklasifikasikan sebagai intermediate
CYP2C19 diklasifikasikan sebagai poor metabolizers (PM). CYP2C19 PMs memiliki tingkat
metabolisme yang jauh lebih lambat, memberikan bioavailabilitas yang lebih besar, dan
selanjutnya meningkatkan efektivitas antisekresi PPI (Amin, dkk., 2017; Zhang, dkk., 2019;
Dari semua alel polimorfik CYP2C19, dua alel fungsi yang telah dipelajari secara luas
yaitu CYP2C19 * 2 dan * 3, dimana kedua alel tersebut mengakibatkan poor metabolizers dari
13
merupakan polimorfisme nukelotida tunggal (SNP) guanin (G) hingga adenin (A) yang
terdapat pada nukleotida 681 pada ekson 5 dan nukleotida 636 pada ekson 4.
genetik CYP2C19. Jenis kelamin merupakan faktor penting dalam aktivitas beberapa enzim
sitokrom P450, salah satunya yaitu CYP2C19. Namun, masih terdapat kontroversi pada
beberapa laporan yang membahas tentang hubungan antara jenis kelamin dengan aktivitas
enzim CYP2C19. Sebuah penelitian yang dilakukan pada subjek Korea dan bukan pada
bahwa jenis kelamin mempengaruhi aktivitas enzim CYP2C19. Penelitian lain menyebutkan
bahwa penurunan aktivitas enzim CYP2C19 terjadi pada jenis kelamin perempuan, namun
hal tersebut terjadi pada mereka yang menggunakan kontrasepsi oral. Berbeda dengan
penelitian tersebut, salah satu penelitian yang mengamati aktivitas enzim CYP2C19 pada
hubungan pada jenis kelamin dengan aktivitas enzim CYP2C19. Hal tersebut kemudian
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Payan, dkk. (2014), bahwa jenis kelamin tidak
mempengaruhi aktivitas enzim CYP2C19. Berdasarkan berbagai hal tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa pengaruh jenis kelamin pada aktivitas enzim CYP2C19 juga dipengaruhi
oleh faktor lingkungan dan epigenetik, seperti diet dan perbedaan etnis. Kemungkinan lain
juga dapat dikaitkan dengan beberapa mutasi genetik baru pada beberapa populasi yang
belum diteliti.
2.4 Etnis
Kata etnis berasal dari Bahasa Yunani, yaitu ethnos atau ethnik os yang didefinisikan
sebagai orang atau sekelompok orang (komunitas atau rakyat) tradisional (folk). Penggunaan
14
kata etnis dalam perkembangannya banyak digunakan untuk sekelompok berbagai orang
tertentu yang terjadi karena perbedaan area tinggal, kebudayaan, bahasa, kepercayaan, hingga
perbedaan tampilan fisik dalam suatu ras manusia yang sama (Gumelar, 2016).
Indonesia merupakan negara dengan komposisi suku yang sangat beragam. Hasil
kerjasama BPS dan ISEAS (Institute of South Asian Studies) merumuskan bahwa terdapat
sekitar 633 suku yang diperoleh dari pengelompokan suku dan subsuku yang ada di
Indonesia. Tiga suku terbesar di Indonesia berturut-turut berdasarkan BPS tahun 2010 yaitu
Suku Jawa 41,71% (83,9 juta penduduk), Suku Sunda 15,41% (31 juta penduduk), dan Suku
Melayu 3,45% (tujuh juta penduduk). Fakta ini menunjukkan bahwa suku Jawa merupakan
17.508 pulau (Dutch, 2020). Sebagian besar pulau di Indonesia bagian barat subur dan hijau,
seperti pulau Kalimantan dengan hutan hujan dan garis pantai berawa, pulau Jawa dan
Sumatera yang memiliki banyak volkano, dipenuhi taman subur, kebun kelapa, sawah, sungai
yang mengalir cepat, dan pantai. Sedangkan berbagai pulau di Indonesia bagian timur, seperti
Nusa Tenggara cenderung berbatu dan semi-kering, ditandai dengan musim kemarau yang
lebih panjang. Sulawesi memiliki berbagai iklim dan bagian yang berbeda dalam menerima
hujan monsun pada waktu yang berbeda sepanjang tahun. Citra daerah tropis yang rimbun
dimiliki oleh pulau Maluku, sedangkan Papua memiliki berbagai hal, seperti rawa hingga
hutan hujan. Faktor geografis inilah yang kemudian mempengaruhi pola diet etnis.
Etnis Bali mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok dengan daging babi yang relatif
pedas, serupa dengan Etnis Batak yang mendapatkan pengaruh budaya Timur Tengah dan
India yang cukup kuat, masakan menggunakan daging ayam dan sapi yang memiliki cita rasa
yang sangat kuat, seperti pedas, asam, dan juga kental. Etnis Bugis pun memiliki rasa yang
sangat kuat, pedas, dan asin, namun lebih sering mengonsumsi ikan air tawar serta makanan
15
laut lainnya yang berlimpah. Etnis Jawa mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok diiringi
dengan daging ayam dan daging sapi yang juga dikonsumsi bersama dengan sayuran, dengan
cita rasa Jawa tengah yang cenderung lebih manis, dan Jawa Timur dengan cita rasa yang
sebaliknya. Berbeda dengan kebanyakan etnis di Indonesia, Etnis Papua dan Timor
mengonsumsi jagung dan singkong sebagai makanan pokok, dengan beberapa memakan
papeda sebagai makanan utama serta makanan laut sebagai bahan utama makanan (Wijaya,
2019).
Enzim sitokrom P450, isoform CYP2C19 menjadi perhatian khusus karena tingginya
perbedaan antar individu dan antar ras. Perbedaan etnis mempengaruhi enzim CYP2C19
dalam metabolisme obat. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa perbedaan antar individu,
etnis, dan ras dalam metabolisme obat disebabkan oleh ekspresi polimorfik enzim
metabolisme, terutama sitokrom P450 (CYP). Data terbaru menunjukkan perubahan yang
signifikan pada aktivitas enzim dengan menghasilkan respons obat yang bervariasi dan
peningkatan kejadian trombotik pada pasien yang menyimpan varian gen sitokrom hati. Alel
premature stop codon masing-masing telah dipelajari secara luas pada berbagai populasi etnis
dan asal geografis. CYP2C19*2 dan *3 mencakup 90% populasi PM, dengan mutasi genotip
yang mengandung *1/*2, *1/*3, *2/*2, *2/*3, dan *3/*3. Frekuensi alel pada populasi Asia
dilaporkan memiliki prevalensi polimorfisme CYP2C19 yang jauh lebih besar terkait dengan
fungsi enzim yang hilang bila dibandingkan dengan kelompok ras lain (Zhong, dkk., 2017;
Beberapa studi menunjukkan bahwa frekuensi alelik CYP2C19*2 pada populasi Asia
mencapai 30% sedangkan 15–17% pada populasi Eropa dan kulit hitam. Frekuensi alelik
CYP2C19*2 pada populasi Asia Barat, Eropa, Amerika Selatan, Skandinavia, dan Afrika-
16
Amerika relatif rendah. Alel loss-of-function CYP2C19 pada populasi Asia relatif lebih
tinggi bila dibandingkan dengan etnis lain. Secara keseluruhan, frekuensi alelik
CYP2C19*2 dari subjek Hakka (31,06%) lebih dekat dengan Cina-Dai (30%), berada di
antara populasi dari Cina Li (25%) dan kelompok etnis Cina-Han (37%) (Zhong, dkk.,
2017).
CYP2C19*2 dan CYP2C19*3 pada efektivitas terapi omeprazole dengan dosis 40 mg per
hari selama empat minggu pada pasien Iran dengan esofagitis refluks erosif, menyatakan
lebih baik dibandingkan EM (95% vs. 50%). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat mutase
lain yang tidak diketahui pada gen CYP2C19 pada pasien Iran yang dapat menurunkan
aktivitas enzim CYP2C19. Di negara lain, alel mutan CYP2C19 (CYP2C19*17) telah
terdeteksi dengan mutase di wilayah promotor gen CYP2C19. Alel ini yang kemudian
meningkatkan aktivitas enzim CYP2C19 dan menyebabkan respons klinis yang kurang
omeprazole setelah tiga jam pemberian omeprazole sebagai indikator aktivitas CYP2C19.
CYP2C19*1*17 dan CYP2C19*1*1 dan individu pada kelompok ini memiliki aktivitas
CYP2C19*1 yaitu dua kali lebih tinggi dari homozygous carriers CYP2C19*17, dan 1,2
kali lebih tinggi dari CYP2C19*1*17. Hal ini didukung dengan penelitian yang juga
melaporkan bahwa median IH omeprazole pada CYP2C19*1*1 yaitu 3,2 kali lebih tinggi
dari CYP2C19*17*17 dan 1,1 kali lebih tinggi dari CYP2C19*1*17 (Sim, dkk., 2006;
17
Yusuf dkk menyelidiki frekuensi dua alel mutan CYP2C19 utama pada sembilan
populasi Southeast Asia(SEA) yang mencakup wilayah geografis yang luas yang terbentang
dari Thailand dan pulau-pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan di barat hingga Sulawesi dan
Sumbawa di Indonesia timur. Dalam 340 subjek yang diselidiki menggunakan deteksi PCR-
RFLP dari tiga alel utama (Goldstein dan Blaisdell, 1996; Gambar. 3), mereka menemukan
0,24 , dan 0,37, masing-masing (Gambar. 1). Genotip CYP2C19 yang paling sering
ditemukan (Gambar. 2) adalah IM (50,6%), diikuti oleh PM (34%) dan EM (15,4%). Variasi
diamati di antara sepuluh populasi Asia Tenggara yang diselidiki (Gbr. 2), dengan prevalensi
PM berkisar dari 20% di Melayu, hingga hampir 46% di Bugis. Sebagai perbandingan,
penelitian sebelumnya melaporkan prevalensi 23% di Filipina dan 20%, 19%, dan 12%
masing-masing di Cina, Jepang, dan Korea (Gambar. 2). Hasilnya mengungkapkan bahwa
frekuensi genotip CYP2C19 di SEA adalah intermediate antara Asia Timur dan Pasifik
(Gambar. 1). Distribusi berbagai genotip pada tujuh populasi etnis sesuai dengan yang
18
Gambar 2.1. Distribusi dunia dari tiga alel CYP2C 19 utama. Diambil dari Goldstein dkk.
Gambar 2.2. Variasi etnis dalam prevalensi fenotip CYP2C 19. Berdasarkan data yang
diambil dari Goldstein dkk. (1997) untuk Eropa, Masimirembwa dkk. (1995), Persson dkk.
(1996), dan Herrlin dkk. (\ 998) untuk Afrika; Roh dkk. (1996), Kubota dkk. (1996), Xiao
dkk., 1997, dan Kimura dkk., 1998 untuk Asia Timur; dan Kaneko dkk. (1999) untuk
Vanuatu. Prevalensi untuk berbagai populasi etnis di Indonesia (lihat Marzuki dkk.,; yusuf.,
dkk.)
19
Gambar 2.3. Deteksi PCR-RFLP dari tiga alel utama CYP2C 19. DNA genom diisolasi dari
leukosit perifer. Adanya genotip poor metabolizers diidentifikasi oleh PCR-RFLP pada
dasarnya seperti yang dijelaskan oleh Goldstein dan Blaisdell, (1996). Pasangan primer 5
untuk memperkuat fragmen 321-bp dari ekson 5 (CYP2CI9 * 2) dan a 321-bp dari exon 4
endonuklease Sma I dan BamH I. Sebanyak 340 sampel dari sembilan populasi Asia
tubuh. Ada banyak obat yang dimetabolisme oleh CYP2C19. Beberapa obat menjadi bentuk
tidak aktif yang lebih mudah dikeluarkan dari tubuh. Obat lain, seperti clopidogrel,
membutuhkan aktivasi oleh CYP2C19 agar efektif. Banyak orang memiliki enzim CYP2C19
20
yang bekerja dengan baik dan tidak mengalami kesulitan dalam memproses obat. Beberapa
orang memiliki enzim CYP2C19 yang tidak bekerja dengan baik (metabolizers intermediate
and poor) sedangkan yang lain memiliki enzim CYP2C19 yang bekerja lebih baik dari rata-
rata (rapid metabolizers). Ketika orang-orang dalam kelompok ini mengambil dosis normal
obat yang dimetabolisme oleh CYP2C19, mereka mungkin tidak melihat efek yang
diinginkan dari obat tersebut, mengalami kegagalan pengobatan atau efek samping.
Penelitian ini akan ini memiliki implikasi medis yang penting. Perbedaan ekstrim
Helicobacter pylori dari pasien dengan ulkus lambung. Tingkat respons telah terbukti
bergantung pada genotip CYP2C19(Furuta dkk., 1998; Tanigawara dkk., 1999): tingkat
pemberantasan H. pylori berkisar dari 28% pada pasien homozigot untuk alel EM hingga
100% pada mereka dengan PM. Alasan perbedaannya mungkin karena ada konsentrasi obat
yang lebih efektif setelah mengambil dosis yang sama, yang menghasilkan penghambatan
sekresi asam yang lebih lama dan lebih kuat. Dengan memeriksa genotip CYP2C19
seseorang, akan mampu memprediksi seberapa baik enzim CYP2C19 seseorang bekerja.
Hasil tes akan membantu dokter memilih dosis obat terbaik(Furuta dkk., 1998; Tanigawara
dkk., 1999).
metabolizers cenderung memiliki tingkat aktivitas enzim yang sedang dan poors
metabolizers dikaitkan dengan tingkat aktivitas enzim yang sangat lambat sehingga akan
meningkatkan efektifitas dan penyerapan obat PPI. Perbedaan etnis dalam merespons obat
tidak hanya memiliki kepentingan praktis untuk pilihan dan dosis obat, tetapi juga harus
21
mengingatkan dokter akan faktor penentu genetik penting yang mendasari respons obat jika
digunakan dalam populasi dengan latar belakang genetik yang berbeda(Yusuf dkk., 2003)
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL
Dispepsia
Faktor
lingkungan &
epigenetik
Diet Omeprazole /
Polusi Esomeprazole
Penyakit Etnis
Nutrisi CYP3A4
Jenis Omeprazole
Kelamin sulfone Faktor klinik:
Tingkat
kepatuhan yang
CYP2C19 rendah
Dosis rendah
Absorpsi rendah
Polimorfisme
Metabolisme Interaksi antar-
CYP2C19 obat
IMT berlebih
Merokok
Rapid Metabolizers
Intermediate Metabolizers Efektifitas
Poor Metabolizers
Diteliti
Tidak diteliti
22
3.2 Penjelasan Kerangka Konseptual
PPI merupakan salah satu obat dispepsia yang paling sering digunakan dan diresepkan
di dunia. PPI bekerja dengan menekan sekresi asam lambung dan secara luas dianggap
sebagai obat pilihan untuk mengobati gangguan asam-peptik, seperti penyakit refluks
gastroesofageal dan penyakit maag peptikum serta syndrome dispepsia. PPI secara luas
dimetabolisme oleh hati, terutama oleh isoform CYP, yaitu CYP2C19 dan CYP3A4, menjadi
metabolit yang tidak aktif, dengan sebagian obat yang tidak diekskresikan dalam urine. PPI
cepat diserap dalam saluran pencernaan setelah pemberian oral. Waktu rata-rata untuk
mencapai konsentrasi plasma maksimum untuk omeprazole bervariasi antara satu hingga tiga
jam. Oleh karena PPI secara signifikan bergantung pada CYP2C19 dalam proses eliminasi,
perubahan tingkat aktivitas CYP2C19 akan mempengaruhi clearance dan paparan obat
sistemik. Farmakokinetik omeprazole bergantung pada dosis, dengan peningkatan konsentrasi
plasma nonlinear dengan peningkatan dosis. Satu kemungkinan alasan hal tersebut adalah
saturasi metabolisme CYP2C19 dengan dosis tinggi. Bioavailabilitas absolut omeprazole
meningkat dengan dosis berulang. Hal ini dianggap sebagai faktor sekunder dalam penurunan
eliminasi first-pass dan penurunan clearance sistemik karena penghambatan CYP2C19 oleh
omeprazole. Polimorfisme CYP2C19 sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan & epigenetik
seperti : diet, polusi, penyakit, nutrisi, dan jenis kelamin
Hubungan antara polimorfisme genetik CYP2C19 dan efektivitas PPI telah dipelajari,
terutama pada omeprazole. Secara klinis, PMs telah terbukti mengalami supresi asam
lambung yang lebih baik dibandingkan dengan EM, konsisten dengan korelasi yang diketahui
antara AUC dan efek supresi asam PPI. Penelitian telah menunjukkan tingkat kesembuhan
infeksi H. pylori pada PMs lebih unggul dibandingkan dengan EMs, tanpa insiden efek
samping yang lebih besar. Perbedaan antara fenotip hetEMs dan homEMs juga memengaruhi
intragastrik >4 pada hari ke-8 secara signifikan lebih tinggi pada hetEMs dibandingkan
dengan homEMs. Tingkat kesembuhan untuk pemberantasan H. pylori adalah 28,6%, 60%
23
3.3 Hipotesis Penelitian
BAB 4
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain penelitian cross
sectional.
yaitu kota Bangli, Cimacan, Jakarta, Kolaka, Kupang, Makasar, Medan, Merauke,
Palembang, Pontianak dan Pulau Samosir pada periode Januari 2014 sampai dengan Agustus
tahun 2016.
Kolaka, Kupang, Makasar, Medan, Merauke, Palembang, Pontianak dan Pulau Samosir yang
menjalani endoskopi pada periode Januari 2014 sampai dengan Agustus tahun 2016.
Sampel pada penelitian ini adalah sampel biopsi lambung yang diambil dari seluruh
pasien dispepsia yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi dari populasi penelitian
yang telah disimpan di transport media didalam kulkas -80C di Institute of Tropical Disease
Universitas Airlangga.
24
a. Kriteria inklusi :
2. Pasien rawat jalan dengan keluhan dispepsia yang berlangsung paling sedikit dalam
b. Kriteria eksklusi :
Besar total sampel minimal pada penelitian ini dihitung berdasarkan rumus sebagai
{ }
2
zα + zβ +3
n=
0 , 5 ln [ ( 1+r ) / ( 1−r ) ]
Bila kesalahan tipe I = 5%, hipotesis dua arah, maka nilai za = 1,96 dan kesalahan
tipe II = 10%, maka nilai zb = 1,28 dengan nilai r (Yusuf dkk., 2003) = 0,46.
{ }
2
1 , 96+1 , 28 +3
n=
0 , 5 ln [ ( 1+0 , 46 ) / ( 1−0 , 46 ) ]
dibulatkan menjadi 45 orang. Dengan demikian, besar sampel minimal adalah 45 orang.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara stratified random sampling dari pasien
Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo Surabaya, dan 11 senter Gastroentero-
25
Hepatologi di Indonesia yaitu kota Bangli, Cimacan, Jakarta, Kolaka, Kupang, Makasar,
Medan, Merauke, Palembang, Pontianak dan Pulau Samosir yang menjalani endoskopi pada
periode Januari 2014 sampai dengan Agustus tahun 2016 hingga mendapatkan jumlah besar
4.5.1 CYP2C19
CYP2C19 merupakan salah satu isoenzim P450 (CYP) di hati, yang berperan penting
antidepresan trisiklik (imipramine, amitriptine), fenitoin, dan clopidogrel, serta juga memiliki
peran penting dalam degradasi karsinogen potensial atau bioaktivasi beberapa prokarsinogen
kimia, yang juga secara tidak langsung terlibat dalam pemrosesan dan transportasi protein.
Sampel yang berupa sisa biopsi lambung diperiksa menggunakan metode Polymerase Chain
enzim restriksi. PCR sendiri adalah suatu metode untuk amplifikasi DNA secara in vitro.
Salinan DNA tersebut kemudian dianalisis menggunakan enzim restriksi yang akan
menunjukkan variasi ukuran potongan DNA pada elektroforesis gel agarosa berdasarkan
Polimorfisme genetik didefinisikan sebagai variasi sekuens dari DNA yang terdapat
pada lebih dari atau sama dengan 1% populasi. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya
variasi pada target terapi, proses transport ataupun metabolisme obat. Variasi yang
26
didapatkan selama perkembangan evolusi melalui berbagai kejadian, misal mutasi titik,
konversi gen, delesi, dan insersi sebagai respons genetik terhadap pengaruh lingkungan.
Rapid metabolizers didefinisikan sebagai individu dengan dua alel normal (non-
mutan, * 1/* 1), yang mampu menghasilkan banyak enzim dan memetabolisme PPI pada
tingkat yang lebih cepat, serta mampu menurunkan efektivitas sekretori PPI (Zhang, dkk.,
normal dan satu alel mutan atau disebut juga alel heterozigot yang bermutasi dalam satu alel
(* 1/* 2 dan * 1/* 3). Variabel ini adalah variabel dengan skala nominal.
Poor metabolizers didefinisikan sebagai individu dengan dua salinan alel loss of
function (* 2/* 2, * 2/* 3, * 3/* 3) CYP2C19 yang memiliki tingkat metabolisme yang jauh
lebih lambat, memberikan bioavailabilitas yang lebih besar, dan selanjutnya meningkatkan
efektivitas antisekresi PPI (Zhang, dkk., 2019). Variabel ini adalah variabel dengan skala
nominal.
4.5.6 Etnis
di negara Indonesia. Pembagian kelompok suku atau etnis dapat diakibatkan karena
perpindahan penduduk, pencampuran budaya, pengaruh dari luar, tradisi, keturunan, bahasa
dan ideologi yang sama. Suku bangsa atau etnis juga merupakan suatu golongan manusia
27
8 suku terbanyak yang ada di sampel penelitian. yaitu : Jawa, Bali, Papua, Dayak, Bugis,
Batak, China, dan Timor. Variabel ini adalah variabel dengan skala nominal.
4.5.7 Dispepsia
Dispepsia merupakan suatu keluhan ketidaknyamanan atau rasa nyeri kronis atau
berulang pada perut bagian atas. Ketidaknyamanan didefinisikan sebagai perasaan negatif
subjektif yang tidak nyeri dan terdapat berbagai gejala lain seperti cepat kenyang, kembung,
rasa penuh pada perut bagian atas maupun mual (Matsuda dkk., 2009).
PPI merupakan golongan obat yang digunakan sebagai penekan asam yang digunakan
secara luas untuk pengobatan gangguan terkait asam, seperti penyakit ulkus lambung,
penyakit refluks gastroesofageal, dan sindrom Zollinger-Ellison. Di samping itu, PPI juga
dapat digunakan untuk mengobati penyakit lain, seperti infeksi yang disebabkan oleh H.
Data hasil pemeriksaan patologi anatomi dan immunohistokimia diambil dari data
sekunder penelitian sebelumnya. Bahan biopsi difiksasi dalam buffer formalin 10%, menjadi
blok parafin. Blok parafin diiris setebal 3–4 mikron dengan makrotom. Untuk pemeriksaan
histopatologi jaringan dibuat slide dan diwarnai dengan pewarnaan Hematoxylin eosin dan
May-Giemsa. Sediaan diperiksa oleh ahli patologi anatomi dengan memperhatikan tingkat
aktivitas neutrofil, monosit, atrofi, metaplasia usus, dan kepadatan bakteri H. pylori yang
diklasifikasikan menjadi empat tingkatan menurut kriteria update sydney sistem (0, normal;
28
Seluruh pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi dilakukan pengambilan
pemeriksaan.
reverse.
restriction enzym (New England Biolabs, Tokyo, Japan) dan diinkubasi selama satu
jam pada suhu 37°C. Hasil pemeriksaan: 168 bp. Sedangkan *3 dicerna dengan
restriction enzyme BamHI (Takara, Tokyo, Japan) yang diinkubasi selama satu jam
pada suhu 30°C. Hasil pemeriksaan: 119 bp (Kubota T, Chiba K, Ishizaki T., 1996)
f. Produk yang sudah dicerna kemudian dikonfirmasi oleh electroforesis gel agarose 2%
yaitu wild-type allele (* 1/* 1), alel mutasi homozigot (* 2/* 2), dan alel mutasi heterozigot (*
1/* 2). Berlaku juga untuk polimorfisme CYP2C19 * 3, pasien dikelompokkan menjadi tiga
genotip, yaitu wild-type allele (* 1/* 1), alel mutasi homozigot (* 3/* 3), dan alel mutasi
heterozigot (* 1/* 3). Berdasarkan kombinasi dari polimorfisme genotip CYP2C19 pada
29
ekson 5 dan ekson 4, aktivitas enzimatik yang terkait dengan genotip CYP2C19
metabolizers, dan poor metabolizers. wild-type allele homozigot tanpa mutasi (*1/*1)
dianggap sebagai rapid metabolizers. Alel heterozigot yang bermutasi dalam satu alel (* 1/*
2 dan * 1/* 3) dianggap sebagai intermediate metabolizers. Alel homozigot mutan yang
bermutasi di kedua alel (*2/*2 dan *3/*3) dianggap sebagai poor metabolizers, serta alel
heterozigot di kedua ekson 5 dan ekson 4 (*2/*3) juga dianggap sebagai poor metabolizers.
30
4.7 Protokol penelitian
Kriteria inklusi:
a. Usia >17 tahun
b. Pasien rawat jalan dengan keluhan Kriteria eksklusi:
dispepsia yang berlangsung paling sedikit a. Mengkonsumsi PPI dalam 2
dalam 3 bulan terakhir minggu terakhir
c. Bersedia untuk mengikuti penelitian ini b. Riwayat operasi lambung
dengan menandatangani informed consent c. Pasien dengan perdarahan
saluran cerna bagian atas
d. Terdapat kontraindikasi
pemeriksaan endoskopi dan
Randomisasi algoritme
biopsi lambung
pembobotan
Sampel biopsi
Pemeriksaan polimorfisme
Etnis
g CYP2C19
Pengelompokkan polimorfisme
CYP2C19
Analisis data
Laporan penelitian
31
4.8 Analisis Data
Setelah data terkumpul secara keseluruhan data akan di proses kedalam computer
melalui proses stastistik. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 23
(SPSS Inc., Chicago, IL, USA). Signifikansi perbedaan CYP2C19 genotip antara etika
dianalisis dengan menggunakan tes tepat Fisher. Nilai P kurang dari 0,05 dianggap sebagai
signifikan secara statistik. Odds ratio (OR) dihitung menggunakan model regresi logistik.
Penelitian dimulai dengan pembuatan proposal pada bulan Mei, revisi dan presentasi
proposal dilakukan pada bulan September, pencarian data dan analisis sampel dilakukan pada
bulan Agustus minggu ke 1 dan 2, analisis data dilakukan pada bulan November minggu ke 3
sampai 4, penulisan laporan dilakukan selama bulan Desember sampai minggu ke 3 bulan
Oktober, presentasi laporan akhir dilakukan pada bulan April minggu ke 4, serta revisi
32
Tabel 4.1 Jadwal Penelitian
Agenda Bulan
Apr ’20 Mei Jun’ Juli Juni Sep Okt Nov Des’ Jan’ Feb’ Mar Apr
’20 21 ‘20 ‘20 t’20 ’20 ’20 20 21 21 ’21 ’21
Penyusun
an
proposal
Koreksi
proposal
Pengambi
lan
sampel
Penyusun
an hasil
penelitian
Koreksi
laporan
penelitian
Presentasi
hasil
penelitian
33
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Pada bab berikut akan diuraikan hasil dari proses analisis data untuk mengetahui
hubungan antara polimorfisme CYP2C19 dan etnis pada pasien dispepsia di Indonesia. Hasil
analisis ini berasal dari total sampel biopsi lambung yang telah memenuhi kriteria inklusi
yaitu dikumpulkan dari seluruh pasien dispepsia periode Januari 2014 sampai dengan
Dari total sampel biopsi lambung yang telah memenuhi kriteria inklusi yaitu
dikumpulkan dari seluruh pasien dispepsia periode Januari 2014 sampai dengan Agustus
data berdasarkan umur, jenis kelamin, dan suku. Biopsi sampel yang telah terverifikasi
dieksklusi jika tidak memiliki histologi yang lengkap. Total 97 biopsi yang dieksklusi karena
tidak memiliki hasil histologi lengkap, sehingga tersisa 687 sampel biopsi yang terdiri dari
203 pasien yang berasal dari etnis Jawa, 113 pasien dari etnis Batak, 87 pasien dari etnis
Bugis, 100 pasien dari etnis Cina Indonesia, 60 pasien dari etnis Bali, 47 pasien dari etnis
Dayak, 47 pasien dari etnis Papua, dan 30 pasien dari etnis Timor. Kemudian daftar sampel
biopsi lambung yang diambil dari pasien dispepsia yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi tersebut dianalisis dan dipilih secara acak dengan cara melakukan algoritme
pembobotan pada setiap kelompok etnis dan lokasi terlepas dari status H. pylori, sehingga
akhirnya terpilih 167 sampel. Data karakteristik umum subjek penelitian ini dipaparkan pada
Tabel 5.1. Berdasarkan jenis kelamin subjek, kami mendapatkan bahwa subjek penelitian
34
kami terdiri atas 101 laki-laki dan 67 perempuan dengan usia rata-rata 46,8 ± 14,2 tahun
(rentang 17-80 tahun). Tidak ada perbedaan bermakna terkait usia antara kelompok laki-laki
maupun perempuan (P > 0.05). Kemudian kami kelompokkan subjek berdasarkan etnisitas.
Berdasarkan kelompok etnis, terdapat 14 (8,3%) orang Papua, 27 (16%) orang Batak, 26
(15,5%) orang Bali, 10 (5,9%) orang Dayak, 29 (17,3%) orang Jawa, 37 (22,0%) orang
Bugis, 17 (10,1%) orang Cina, dan 8 (4,8%) orang Timor. Berdasarkan analisis proporsi antar
etnik, kami tidak menemukan perbedaan yang bermakna antara satu etnik dengan etnik yang
memaparkan pada Tabel 5.2. Dari hasil analisis distribusi frekuensi, pada gen CYP2C19*2
ditemukan sebanyak 79/168 (47,0%) subjek merupakan alel Wild Type (*1/*1), 24 (14,3%)
homozigot (*2/*2), dan 65 (38,7%) heterozigot (*1/*2). Sedangkan pada gen CYP2C19*3,
didapatkan hasil sebanyak 142 pasien (84,5%) merupakan homozigot untuk alel wild type
35
(*1/*1), 7 (4,2%) merupakan alel mutasi homozigot (*3/*3), dan 19 (11,3%) adalah alel
Tabel 5.2 Frekuensi genotip polimorfisme CYP2C19 dipecah menjadi 2 atau 3 tabel
menentukan frekuensi mutasi pada populasi studi ini. Analisa statistik ini didasarkan pada
hipotesa ada atau tidaknya perbedaan frekuensi mutasi dari yang diamati bila dibandingkan
genotip yang diamati dan frekuensi genotip yang diprediksi dilakukan dengan menggunakan
analisis chi-square. Pada gen CYP2C19*2, berdasarkan jumlah total alel yang kami amati,
kami mendapatkan nilai p yang mewakili alel*1 sebesar 0,66 (223/336), sedangkan nilai q
(yang mewakili alel*2) sebesar 0,34 (113/336). Pada uji statistik, kami mendapatkan hasil
bahwa varian genetika CYP2C19*2 tidak berbeda bermakna antara yang diamati dengan
Kami juga melakukan analisis frekuensi mutasi alel pada gen CYP2C19*3.
Berdasarkan metode penghitungan yang sama, kami mendapatkan hasil nilai p yang mewakili
alel*1 sebesar 0,9 (303/336), sedangkan nilai q (yang mewakili alel*3) sebesar 0,1 (33/336).
36
Uji statistik pada gen CYP2C19*3 menunjukkan adanya perbedaan frekuensi genetik yang
bermakna antara yang diamati dengan yang diprediksikan berdasarkan hukum Hardy-
poor metabolizers. Kami mengamati terdapat 6 kombinasi yang terjadi antara CYP2C19*2
dan CYP2C19*3, dengan rincian bahwa terdapat 64 (38,5%) subjek termasuk dalam
kelompok wild type homozigot (*1/*1) pada kedua ekson 5 dan ekson 4, 60 (36,1%) subjek
termasuk dalam genotipe heterozigot (*1/*2) pada ekson 5, serta 9 (5,4%) subjek termasuk
dalam kelompok genotipe heterozigot ekson 4 (*1/*3). Secara umum, kami mengamati enam
(3,6%) subjek masuk dalam kelompok mutasi heterozigot (*2/*3), 23 (13.9%) subjek masuk
dalam kelompok mutasi homozigot (*2/*2) dan sebanyak 4 (2.4%) subjek masuk ke dalam
kelompok mutasi homozigot (*3/*3). Kami kemudian juga melakukan analisis distribusi
frekuensi berdasarkan tiga alel yang diamati. Pada analsis ini, kami mendapatkan sebanyak
197 (59.3%) haplotipe masuk dalam kelompok alel *1, 112 (33.7%) haplotipe masuk ke
dalam alel *2 dan 23 (6.9%) haplotipe masuk ke dalam kelompok alel *3. Berdasarkan data
frekuensi genetik ini, kami melakukan uji statistik varian genetika dengan nilai p sebesar
0,593; q sebesar 0,337 dan r sebesar 0,069. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa distribusi
frekuensi varian genetika di dalam penelitian ini berbeda secara signifikan antara yang
Berdasarkan hasil pengelompokan mutasi pada ekson 4 dan ekson 5, kami kemudian
metabolizers, dan poor metabolizers. Secara umum, prevalensi rata-rata dari rapid
37
metabolizers, intermediate metabolizers, dan poor metabolizers di Indonesia adalah masing-
masing sebesar 38,5%, 41,6%, dan 19,9%. Berdasarkan data tersebut, lebih dari setengah dari
subjek pada penelitian kami (62,5%) mempunyai penurunan kemampuan metabolisme pada
didasarkan pada adanya mutasi resesif pada kedua ekson (alel *2 dan alel *3). Pada studi ini
didapatkan bahwa diantara kelompok subjek poor metabolizers frekuensi alel *2 lebih
banyak ditemukan dibandingkan *3, yang menujukkan bahwa mutasi pada ekson 5 lebih
Kami selanjutnya melakukan analisis genotipe CYP2C19 dengan variasi etnisitas yang
ada pada subjek penelitian kami. Hal ini dikarenakan polimorfisme merupakan factor inang,
sehingga dimungkinkan untuk adanya perbedaan profil genetika pada CYP2C19 pada
kelompok etnik yang berbeda. Profil genotipe CYP2C19 berdasarkan etnik dipaparkan pada
tabel 5.3. Kami mendapatkan hasil bahwa diantara kelompok alel CYP2C19*2, pada
kelompok etnik Batak, Bali, Dayak dan Jawa didominasi oleh alel wild-type *1/*1.
Sedangkan pada etnik Papua, Bugis, Chinese dan Timor lebih didominasi oleh kelompok
mutant, baik bersifat heterozigot *1/*2 maupun homozigot *2/*2. Kami kemudian melakukan
analisis distribusi frekuensi alel CYP2C19*2 pada setiap etnik, dan pada setiap etnik tidak
didapatkan perbedaan yang bermakna antara distribusi frekuensi yang diamati dengan yang
diprediksi.
CYP2C19*2 (%)
Etnis
*1/*1 *1/*2 *2/*2
Papua 4 (28.6) 5 (35.7) 5 (35.7)
Batak 14 (51.9) 10 (37.0) 3 (11.1)
Bali 13 (52.0) 8 (32.0) 4 (16.0)
38
Dayak 5 (50.0) 3 (30.0) 2 (20.0)
Jawa 16 (57.1) 8 (28.6) 4 (14.3)
Bugis 15 (40.5) 19 (51.4) 3 (8.1)
Cina 7 (41.2) 7 (41.2) 3 (17.6)
Timor 3 (37.5) 5 (62.5) 0 (0.0)
Kemudian kami juga melakukan analisis distribusi frekuensi alel pada kelompok alel
CYP2C19*3. Data terkait distribusi alel berdasar etnis dipaparkan pada Tabel 5.4. Pada
kelompok alel CYP2C19*3, didapatkan bahwa pada semua kelompok etnik alel *1/*1
merupakan alel yang dominan, bila dibandingkan dengan alel mutant (*1/*3 dan *3/*3). Dari
setiap kelompok etnik, kami mendapatkan hasil bahwa pada etnik papua yang ditribusi
frekuensi alel yang diamati berbeda bermakna dengan yang diprediksi (nilai P = 0,0222, X 2 =
0,5723).
CYP2C19*3 (%)
Etnis
*1/*1 *1/*2 *2/*2
Papua 11 (78.6) 1 (7.1) 2 (14.2)
Batak 20 (74.1) 5 (18.5) 2 (7.4)
Bali 24 (96.0) 1 (4.0) 0 (0.0)
Dayak 9 (90) 1 (10.0) 0 (0.0)
Jawa 23 (82.1) 4 (14.3) 1 (3.6)
Bugis 35 (94.6) 2 (5.4) 0 (0.0)
Cina 15 (88.2) 1 (5.9) 1 (5.9)
Timor 8 (100.0) 0 (0.0) 0 (0.0)
berdasarkan etnis dipaparkan pada Tabel 5.3. Berdasarkan etnis, Bali memiliki prevalensi
tertinggi untuk pemilik rapid metabolizers (53,8%), diikuti oleh Jawa (48,3%), Dayak (40%),
39
Timor (37,5%), Bugis (35,1%), Batak (33,3%), Cina (29,4%), dan Papua (14,3%) menjadi
etnis dengan prevalensi terendah dari rapid metabolizers. Sebaliknya, orang Papua memiliki
prevalensi poor metabolizers yang paling tinggi (57,1%), sementara tidak ada poor
metabolizers di etnis Timor. Kami mendapatkan bahwa terdapat perbedaan jumlah individu
dengan rapid metabolizer yang bermakna antar etnisitas (nilai P < 0,001).
Genotipe CYP2C19
Etnis
RM (%) IM (%) PM (%)
Papua 2 (14,3) 4 (28,6) 8 (57,1)
Batak 9 (33,3) 12 (44,4) 6 (22,2)
Bali 13 (52,0) 8 (32,0) 4 (16,0)
Dayak 4 (40,0) 4 (40,0) 2 (20,0)
Jawa 13 (46,4) 8 (28,6) 7 (25,0)
Bugis 14 (37,8) 19 (51,4) 4 (10,8)
Cina 5 (29,4) 8 (47,1) 4 (23,5)
Timor 3 (37,5) 5 (62,5) 0 (0,0)
Kami selanjutnya melakukan analisis regresi logistik untuk menilai odds ratio (OR)
etnisitas yang berisiko untuk mempunyai kelompok rapid metabolizer. Nilai hasil
penghitungan analisis regresi logistrik antar etnis dipaparkan pada Tabel 5.6. Dari analisis
regresi logistik, kami mendapatkan bahwa orang etnis Bali dan Jawa memiliki risiko yang
lebih tinggi secara signifikan untuk memiliki rapid metabolizers dibandingkan dengan orang
Papua (Bali: P = 0,024; OR = 7,0; 95%CI 1,300-37,704; Jawa: P = 0,043, OR = 5,6, 95%CI =
1,060 – 29,592). Sedangkan kelompok etnis yang lain, tidak didapatkan nilai OR yang
bermakna.
Rapid
Etnis OR OR (95% CI) Nilai P
Metabolizers (%)
Papua 2 (14.3) 1.000
40
Batak 10 (37.0) 3.529 0.652-19.099 0.143
Bali 13 (52.0) 6.500 1.199-35.230 0.030*
Dayak 4 (40.0) 4.000 0.563-28.396 0.166
Jawa 13 (44.4) 5.200 0.978-27.653 0.053
Bugis 14 (37.8) 3.652 0.710-18.785 0.121
Cina 5 (29.4) 2.500 0.403-15.501 0.325
Timor 3 (37.5) 3.600 0.454-28.562 0.225
41
6
PEMBAHASAN
Dispepsia adalah salah satu gejala klinis yang paling sering ditemui, yang hadir di
sekitar 2% -5% dari pasien rawat jalan dari dokter perawatan primer. Dispepsia tanpa alarm
sign tidak mutlak indikasi untuk endoskopi, tetapi endoskopi dapat memfasilitasi diagnosis
gangguan struktural pada sebagian kecil pasien. Saat ini, endoskopi tetap menjadi langkah
sekumpulan gejala yang diperkirakan berasal dari region gastroduodenal akan tetapi tidak
terdapat bukti kelainan struktur pada bagian tersebut dalam pemeriksaan endoskopi.
Prevalensi dari gejala dispepsia antara laki-laki dan perempuan tidak selalu konsisten.
Beberapa penelitian melaporkan prevalensi yang jauh lebih tinggi pada perempuan dibanding
laki-laki. Pada penelitian ini, didapatkan 167 sampel biopsy yang terdiri dari 101 laki-laki
dan 67 perempuan dengan usia rata-rata 46,8 ± 14,2 tahun (kisaran, 17-80 tahun). Gambaran
demografi dimana proporsi penderita dispepsia lelaki lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan (51% vs 49%) (Gado dkk., 2015). Hasil yang sedikit berbeda dengan studi yang
justru menemukan dominasi jenis kelamin perempuan dan usia < 58 tahun pada penderita
dispepsia yang menjalani endoskopi. Hal ini dikaitkan dengan kecenderungan stress pada
wanita yang lebih mudah menimbulkan gejala dispepsia dibandingkan pada pria. Usia muda
lebih banyak ditemukan karena diasumsikan populasi yang lebih muda memiliki aktivitas
yang lebih banyak dibandingkan dengan populasi tua yang menyebabkan kacaunya jadwal
makan mereka (Faintuch dkk., 2014). Studi lain menunjukkan proporsi usia dan jenis
kelamin yang sedikit berbeda dimana penderita dispepsia yang menjalani endoskopi
didominasi oleh usia <40 tahun (69,4%) dan lelaki (63,9%) meskipun alasan di balik hal ini
42
tidak dijelaskan. Perbandingan proporsi pria dan wanita sebesar 2,43:1 menjelaskan bahwa
hal ini mungkin terjadi akibat adanya kecenderungan konsumsi alohol, dan rokok yang lebih
tinggi pada pria, dimana hal ini merupakan salah satu dari kunci patogenesis dispepsia (Gosh
dkk., 2013). Prevalensi dispepsia semakin meningkat pada usia yang semakin muda sekitar
24.4% pada pasien berusia <45 tahun dan menurun menjadi 7% pada pasien >65 tahun. Hal
ini diperkirakan disebabkan oleh lebih banyaknya kelainan struktur pada pasien usia tua
terutama kelainan struktur yang berupa malignansi dibandingkan dengan usia muda.
Dispepsia fungsional juga lebih dikaitkan dengan kelainan psikiatri dibandingkan dengan
dispepsia organik, dimana kelainan psikiatri seperti gangguan cemas lebih sering ditemukan
pada usia muda dibandingkan dengan usia tua. Hal serupa juga diungkapkan dalam studi dari
Grazyna dimana prevalensi dispepsia fungsional paling tinggi pada populasi berusia 30-58
Derajat beratnya infeksi dan mudahnya seseorang atau etnis tertentu terinfeksi H.
pylori, selain karena karakteristik patogen (agen) juga dapat disebabkan oleh adanya peranan
genetik dari pejamu. Polimorfisme genetik pada kelompok gen mediator imun dan kelompok
gen-gen lain dapat mempengaruhi mudahnya seseorang atau etnis tertentu terinfeksi dan
menderita gangguan gastroduodenal. Polimorfisme genetik pada etnis tertentu dapat menjadi
salah satu penyebab mudahnya infeksi H. pylori terjadi pada etnis tertentu. Data demografis
penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 1. Berdasarkan kelompok etnis, ada 14 orang Papua, 27
orang Batak, 26 orang Bali, 10 orang Dayak, 29 orang Jawa, 37 orang Bugis, 17 orang Cina,
dan 8 Timor. Sementara berdasarkan temuan hasil pemeriksaan endoskopi pada subjek
dengan infeksi H. pylori positif, tidak didapatkan perbedaan antara kelompok etnis Tionghoa
maupun etnis Dayak, baik pada angka kejadian esofagitis, gastritis, gastritis erosif, ulkus
prevalensi infeksi H. pylori lebih tinggi pada etnis China dan India dibanding penduduk asli
43
etnis Melayu (Malay) (Uwan., dkk., 2011). Penelitian di Amerika Serikat mendapatkan etnis
kulit hitam non-Hispanic dan Meksiko Amerika mempunyai prevalensi lebih tinggi dibanding
kulit putih non-Hispanic. Prevalensi tinggi (>50%) didapatkan pada etnis di Etiopia, Nigeria,
Meksico, Brazil, Chile, Bangladeh, India, Siberia, Arab, Turki, Mesir, Jepang, Cina dan
Korea. Namun demikian, faktor yang mempengaruhi prevalensi H.pylori lebih tinggi pada
etnis tertentu dibandingkan dengan etnis lainnya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Perbedaan prevalensi H. pylori dan dispepsia antar etnis dapat disebabkan oleh karena
perbedaan tingkat pendidikan, kepadatan hunian, sumber air minum, ada tidaknya konsumsi
alkohol (arak dan tuak), konsumsi makanan asin dan pedas, kebiasaan merokok dan minum
kopi, dan kebiasaan-kebiasaan umum lain yang ditemukan dalam kehidupan masyarakat
Polimorfisme genetik didefinisikan sebagai adanya alel varian yang lebih dari satu
persen dalam suatu populasi. Polimorfisme pada suatu gen didapatkan selama perkembangan
evolusi melalui berbagai kejadian seperti mutasi titik (missense, nonsense atau frameshift),
konversi gen, delesi dan insersi (Nebert, 1997) sebagai respon genetik terhadap pengaruh
lingkungan. Polimorfisme genetik pada gen CYP2C19 pada populasi telah menyebabkan
ditemukannya beberapa berbeda terhadap aktivitas enzim CYP2C19 yaitu kelompok rapid
metabolizers (RM), intermediate metabolizers (IM) dan poor metabolizer (PM) yang
mengalami defek pada aktivitas enzim ini. Fenomena yang menemukan adanya perbedaan
inhibitor (PPI). Pengaruh polimorfisme genotip CYP2C19 pada metabolisme PPI dan tingkat
eradikasi juga dilaporkan oleh Furuta dkk. Pada Polimorfisme CYP2C19 secara luas
dilaporkan terkait dengan kemanjuran asam terkait penyakit di perut karena pentingnya S-
44
mefenitoin-hidroksilase dalam metabolisme berbagai obat PPI (Kupfer dan Preisig., 1984; T.,
Furuta., dkk., 2007). Dalam penelitian ini, kami meneliti prevalensi polimorfisme CYP2C19
prevalensi tertinggi, diikuti oleh rapid metabolizers dan poor metabolizers yaitu 38,5 dan
19,9%, masing-masing. Hasil kami setuju dengan penelitian sebelumnya yang melaporkan
prevalensi rapid metabolizers 65-78% untuk kulit putih tetapi hanya 30-40% untuk populasi
Asia, sedangkan prevalensi poor metabolizers pada populasi Asia (13-23%) lebih tinggi
daripada di kulit putih (2–5%). Begitu juga penelitian di Thailand yang menunjukan bahwa
masih langka, sebaran genotip yang diharapkan dalam penelitian ini menunjukkan pola yang
sama sebagai negara tetangga lainnya di Asia Tenggara dan negara-negara Asia lainnya
seperti Thailand, Korea, Jepang, dan Cina (Tabel 1) (Kubota., dkk., 1996; Lin., dkk., 2017;
Jainan., dkk., 2014; Ozdil., dkk., 2009; Ormeci., dkk., 2016; Settin., dkk., 2013; Oh., dkk.,
Tabel 6.1 Perbandingan frekuensi alel CYP2C19 dan genotip antara berbagai populasi
*1 *2 *3 RM IM PM
Indonesia 58.1 32.4 9.5 38.1 38.7 23.2 Studi ini 2021
Jepang 58.1 28.7 13.2 34.9 46.3 18.8 Kubota dkk 1996
Turki 83.5 11.3 5.2 71.7 23.6 4.7 Ozdil dkk 2009
Mesir 78.0 15.0 7.0 65.0 26.0 9.0 Settin dkk 2013
45
Korea - - - 28.6 52.9 18.5 Oh dkk 2008
Szklarz dkk
Setiap kelompok etnis memiliki distribusi genotip CYP2C19 yang berbeda dan
spesifik untuk populasi tertentu. Hal ini disebabkan oleh lingkungan yang berbeda, dan faktor
seleksi alam sehingga terjadi adaptasi genetik yang bersifat spesifik untuk populasi tertentu.
Berdasarkan etnis, Bali memiliki prevalensi tertinggi untuk pemilik rapid metabolizers
(53,8%), diikuti oleh Jawa (48,3%), Dayak (40%), Timor (37,5%), Bugis (35,1%), Batak
(33,3%), Cina (29,4%), dan Papua (14,3%) menjadi etnis dengan prevalensi terendah dari
rapid metabolizers. Sebaliknya, orang Papua memiliki prevalensi poor metabolizers yang
paling tinggi (57,1%), sementara tidak ada poor metabolizers di etnis Timor. Orang Bali dan
Jawa secara statistik memiliki risiko yang lebih tinggi secara signifikan untuk memiliki rapid
metabolizers dibandingkan dengan orang Papua. Genotip CYP2C19 baru-baru ini ditemukan
memiliki peran penting pada penyembuhan ulkus peptikum dan variable efektivitas PPI
(Yamada dkk., 2001; Furuta dkk 2001). Distribusi genotip CYP2C19 bervariasi di antara
kelompok etnis yang berbeda. Variasi frekuensi genotip polimorfisme CYP2C19 berbeda tiap
etnis dapat disebabkan oleh lingkungan yang berbeda dan faktor seleksi alam sehingga terjadi
adaptasi genetik yang spesifik untuk populasi tertentu. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Fricke-Galindo dkk., yang mengatakan variasi antar etnis alel fenotip
46
frekuensi alel CYP2C19 dan fenotip metabolik CYP2C19 antaretnis di dunia. Alel genotip
CYP2C19*17 adalah 42 dan 24 kali lipat lebih banyak sering di Mediterania-Eropa Selatan
dan Timur Tengah daripada di Asia Timur. Sebaliknya, Alel CYP2C19*2 dan CYP2C19*3
lebih sering terjadi di Asia Timur (masing-masing 30,26% dan 6,89%), dan bahkan dua kali
lipat lebih tinggi frekuensi alel ini ditemukan pada populasi asli dari Oseania (masing-masing
61,30% dan 14,42%), yang mungkin dikarenakan konsekuensi dari proses pergeseran genetik
di Kepulauan Pasifik. Mengenai fenotip metabolik CYP2C19, poor metabolizers lebih sering
adalah didominasi (Yamada dkk., 2001) sedangkan genotip RM terutama ditemukan pada
populasi Eropa (Xie dkk., 2001). Dalam suatu penelitian, genotip IM adalah yang paling
umum genotip di Thailand sama dengan negara Asia lainnya. Karena CYP2C19 adalah enzim
metabolisme utama dari PPI, variasi genotip CYP2C19 mungkin salah satunya penjelasan
mengapa PPI memiliki respon yang berbeda antara populasi Asia dan Barat. Hasil kami
serupa dengan penelitian sebelumnya yang melaporkan bahwa prevalensi rapid metabolizers
sekitar 65% - 78% untuk Kaukasia, tetapi hanya 30% - 40% untuk populasi Oriental,
sedangkan prevalensi poor metabolizers pada populasi Asia (13% - 23%) lebih tinggi
dibandingkan pada Kaukasia (2% - 5%)(Jainan dkk., 2014). Kami menganalisis distribusi
CYP2C19 di antara delapan kelompok etnis dan kami menemukan Papua memiliki prevalensi
tertinggi untuk poor metabolizers. Selain itu, Bali dan Jawa memiliki risiko lebih tinggi untuk
memiliki rapid metabolizers dibandingkan dengan Papua. Penting untuk berhati-hati tentang
kegunaan terapi penyakit yang terkait-asam di Indonesia (S., Park., dkk., 2017; N.,
Deshpande., dkk., 2016). Terapi berbasis PPI dapat memberikan efikasi yang lebih rendah
karena metabolisme PPI yang lebih cepat, yang menyebabkan kurang efektifnya terapi.
Meningkatkan dosis PPI dalam suatu populasi dengan prevalensi tinggi CYP2C19 Rapid
47
Metabolizers dapat memberikan manfaat untuk mempertahankan konsentrasi dan efektivitas
PPI yang memadai. Sebuah studi di Jepang menunjukkan tingkat eradikasi yang lebih tinggi
dari terapi eradikasi H. pylori yang dipersonalisasi di antara perbedaan fenotip CYP2C19
penggunaan dosis yang sama dari pantoprazole 40 mg dalam fenotip CYP2C19 berbeda di
Korea telah mengurangi efikasi pemberantasan H. pylori dalam rapid metabolizers (Oh dkk.,
2009). Oleh karena itu, penyesuaian dosis harus dipertimbangkan ketika memberikan terapi
berbasis PPI dalam prevalensi yang tinggi dari etnis Rapid Metabolizers seperti Bali dan
Jawa atau prevalensi tinggi dari etnis poor metabolizers seperti Papua.
Meskipun tidak signifikan, prevalensi penyakit gastroduodenal lebih tinggi pada rapid
metabolizers dan intermediate metabolizers daripada pada poor metabolizers yang juga
ditemukan dalam penelitian Thailand (de morais dkk., 1998). ditemukan bahwa lebih banyak
gejala dan penyakit dapat berkembang karena ketidakefektifan pengobatan PPI. Poor
metabolizers memiliki laju metabolisme PPI yang lebih lambat dan mempengaruhi
peningkatan konsentrasi puncak-plasma (Park dkk., 2017; Deshpande dkk., 2016), sehingga
meningkatkan gastroproteksi mukosa dari NSAID dan obat-obatan lain, yang mengarah pada
risiko yang lebih rendah untuk terjadinya gastritis, penyakit ulkus lambung, atau bahkan
48
BAB 7
7.1 Kesimpulan
polimorfisme CYP2C19 dan etnis di Indonesia, dari penelitian ini dapat disimpulkan:
1. Subjek penelitian sebanyak 167 sampel biopsi dari seluruh pasien dispepsia di divisi
dan Pulau Samosir pada periode Januari 2014 sampai dengan Agustus tahun 2016
yang terdiri dari 101 laki-laki dan 67 perempuan dengan usia rata-rata 46,8 ± 14,2
tahun (kisaran, 17-80 tahun). Dan berdasarkan kelompok etnis, didapatkan 14 orang
Papua, 27 orang Batak, 26 orang Bali, 10 orang Dayak, 29 orang Jawa, 37 orang
3. Kami menganalisis distribusi CYP2C19 di antara delapan kelompok etnis dan kami
menemukan Papua memiliki prevalensi tertinggi untuk poor metabolizers. Selain itu,
Bali dan Jawa memiliki risiko lebih tinggi untuk memiliki rapid metabolizers
49
7.2 Saran
1. Diperlukan adanya studi lanjutan dengan menggunakan proporsi yang lebih merata
dan berdasarkan diagnosis klinis dengan melibatkan lebih banyak etnis terutama etnis
4. Hasil penelitian ini dapat mengetahui informasi kemampuan metabolisme PPI pada
etnis tertentu berbasis polimorfisme CYP2C19 yang nantinya dapat dijadikan bahan
2. Hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan data dasar yang dapat dimanfaatkan
untuk penelitian lebih lanjut mengenai CYP2C19 sehingga memperkuat teori yang
50
DAFTAR PUSTAKA
Amin, A. M., Sheau Chin, L., Azri Mohamed Noor, D., Sk Abdul Kader, M. A., Kah Hay,
Y., & Ibrahim, B. (2017). The Personalization of Clopidogrel Antiplatelet Therapy: The
Role of Integrative Pharmacogenetics and Pharmacometabolomics. Cardiology
Research and Practice, 2017. https://doi.org/10.1155/2017/8062796
Ang, G.Y.; Yu, C.Y.; Subramaniam, V.; Abdul Khalid, M.I.; Tuan Abdu Aziz, T.A.; Johari
James, R.; Ahmad, A.; Abdul Rahman, T.; Mohd Nor, F.; Ismail, A.I.; dkk.,. Detection
of CYP2C19 Genetic Variants in Malaysian Orang Asli from Massively Parallel
Sequencing Data. PLoS ONE 2016, 11, e0164169. [CrossRef]
Azmi, F. A., Miro, S., & Iryani, D. (2013). Gambaran Esofagogastroduodenoskopi Pasien
Hematemesis dan atau Melena di RSUP M Djamil Padang Periode Januari. 5(1).
Bidang Pendayagunaan dan Pelayanan. (2016). Analisis Kearifan Lokal Ditinjau dari
Keragaman Budaya. Vol. 8. Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan
Kebudayaan, Kemendikbud
Ciftci, H. S., Karadeniz, M. S., Caliskan, Y., Demir, E., Turkmen, A., Nane, I., & Aydin, F.
(2017). Influence of Proton Pump Inhibitors on Mycophenolic Acid Pharmacokinetics
in Patients With Renal Transplantation and the Relationship With Cytochrome 2C19
Gene Polymorphism. https://doi.org/10.1016/j.transproceed.2017.01.029
Deshpande, N.; Sharanya, V.; Kanth, R.; Murthy, H.V.V.; Sasikala, M.; Banerjee, R.;
Tandan, M.; Reddy, N. Rapid and ultra-rapid metabolizers with CYP2C19*17
polymorphism do not respond to standard therapy with proton pump inhibitors. Meta
Gene 2016, 9, 159–164. [CrossRef]
De Morais, S.M.; Goldstein, J.A.; Xie, H.G.; Huang, S.L.; Lu, Y.Q.; Xia, H.; Xiao, Z.S.; Ile,
N.; Zhou, H.H. Genetic analysis of the S-mephenytoin polymorphism in a Chinese
population. Clin. Pharmacol. Ther. 1995, 58, 404–411. [CrossRef]
De Morais, S.M.; Wilkinson, G.R.; Blaisdell, J.; Meyer, U.A.; Nakamura, K.; Goldstein, J.A.
Identification of a new genetic defect responsible for the polymorphism of (S)-
mephenytoin metabolism in Japanese. Mol. Pharmacol. 1994, 46, 594–598.
51
De Morais, S.M., Wilkinson, G.R., Blaisdell, J., Nakamura, K., Meyer, U.A., & Goldstein,
J.A. (1994) The Major Genetic Defect Responsible For The Polymorphism Of S-
Mephenytoin Metabolism In Humans. J Biol Chem 269.
Gastritis’, 2.
Faintuch JJ, Silva FM, Navarro-Rodriguez T, Barbuti RC, Hashimoto CL, Rossini AR, dkk.,.
62
Hagymasi, K.; Mullner, K.; Herszenyi, L.; Tulassay, Z. Update on the pharmacogenomics of
proton pump inhibitors. Pharmacogenomics 2011, 12, 873–888. [CrossRef]
Hayati, L. and Yoga, F. S. (2018) ‘Prevalensi Polimorfisme Gen CYP2C19 dan Pengaruhnya
Dalam Metabolisme Omeprazole Sebagai Prediktor Intoksikasi Obat Pada Etnis
Melayu Di Sumatera Selatan Abstrak gen didapatkan selama perkembangan evolusi
melalui berbagai’, Sriwijaya Journal of Medicine, 1(2). doi:
https://doi.org/10.32539/SJM.v1i2.15.
Ikawati, Z.; Askitosari, T.D.; Hakim, L.; Tucci, J.; Mitchell, J. Allele frequency distributions
of the drug metabolizer genes CYP2C9* 2, CYP2C9* 3, and CYP2C19* 17 in the
52
Buginese population of Indonesia. Curr. Pharm. Pers. Med. (Former. Curr. Pharm.)
2014, 12, 236–239. [CrossRef]
Jainan, W.; Vilaichone, R.K. Effects of the CYP2C19 genetic polymorphism on gastritis,
peptic ulcer disease, peptic ulcer bleeding and gastric cancer. Asian Pac. J. Cancer
Prev. 2014, 15, 10957–10960. [CrossRef]
Lin, Y.A.; Wang, H.; Gu, Z.J.; Wang, W.J.; Zeng, X.Y.; Du, Y.L.; Ying, S.S.; Zhang, B.H.
Effect of CYP2C19 Gene Polymorphisms on Proton Pump Inhibitor, Amoxicillin, and
Levofloxacin Triple Therapy for Eradication of Helicobacter Pylori. Med. Sci. Monit.
2017, 23, 2701–2707. [CrossRef] [PubMed]
Lister Hill National Center for Biomedical Communications. 2020. CYP2C19 Gene. National
Library of Medicine.
Makmun, D. (2014) ‘Present status of endoscopy, therapeutic endoscopy and the endoscopy
training system in Indonesia’, Digestive endoscopy : official journal of the Japan
Gastroenterological Endoscopy Society, 26. doi: 10.1111/den.12245.
Miftahussurur, M. dkk. (2015) ‘Helicobacter pylori virulence genes in the five largest islands
of Indonesia’, Gut Pathogens. BioMed Central, 7(1). doi: 10.1186/s13099-015-0072-2.
Miyoshi, M.; Mizuno, M.; Ishiki, K.; Nagahara, Y.; Maga, T.; Torigoe, T.; Nasu, J.; Okada,
H.; Yokota, K.; Oguma, K.; dkk.,. A randomized open trial for comparison of proton
pump inhibitors, omeprazole versus rabeprazole, in dual therapy for Helicobacter pylori
infection in relation to CYP2C19 genetic polymorphism. J. Gastroenterol. Hepatol.
2001, 16, 723–728. [CrossRef]
Ormeci, A.; Emrence, Z.; Baran, B.; Gokturk, S.; Soyer, O.M.; Evirgen, S.; Akyuz, F.;
Karaca, C.; Besisik, F.; Kaymakoglu, S.; dkk.,. Effect of cytochrome P450 2C19
polymorphisms on the Helicobacter pylori eradication rate following two-week triple
53
therapy with pantoprazole or rabeprazole. Eur. Rev. Med. Pharmacol. Sci. 2016, 20,
879–885.
Ozdil, B.; Akkiz, H.; Bayram, S.; Bekar, A.; Akgollu, E.; Sandikci, M. Influence of
CYP2C19 functional polymorphism on Helicobacter pylori eradication. Turk. J.
Gastroenterol. 2010, 21, 23–28. [CrossRef] [PubMed]
Payan, M., Rouini, M. R., Tajik, N., Ghahremani, M. H., & Tahvilian, R. (2014).
Hydroxylation Index of Omeprazole in Relation to CYP2C19 Polymorphism and Sex in
a Healthy Iranian Population. DARU, Journal of Pharmaceutical Sciences, 22(1).
https://doi.org/10.1186/s40199-014-0081-6.
Pratt, V.M.; Del Tredici, A.L.; Hachad, H.; Ji, Y.; Kalman, L.V.; Scott, S.A.; Weck, K.E.
Association for Molecular Pathology. J. Mol. Diagn. 2018, 20, 269–276. [CrossRef]
Sałagacka-kubiak, A., Żebrowska-nawrocka, M., Jeleń, A., Mirowski, M., & Balcerczak, E.
(2018). “CYP2C19*2 Polymorphism in Polish Peptic Ulcer Patients”.
Pharmacological Reports. https://doi.org/10.1016/j.pharep.2018.12.011
Savarino, V., Dulbecco, P., Bortoli, N. De, Ottonello, A., & Savarino, E. (2017). European
Journal of Internal Medicine The appropriate use of proton pump inhibitors ( PPIs ):
Need for a reappraisal. European Journal of Internal Medicine, 37.
https://doi.org/10.1016/j.ejim.2016.10.007
54
Schnoll-sussman, F., Katz, P. O., & Niec, R. (2019). Proton Pump Inhibitors.
Gastrointestinal Endoscopy Clinics of NA. https://doi.org/10.1016/j.giec.2019.12.005
Settin, A.; Abdalla, A.F.; Al-Hussaini, A.S.; El-Baz, R.; Galal, A. Cure rate of Helicobacter
pylori infection in Egyptian children related to CYP2C19 gene polymorphism. Indian J.
Gastroenterol. 2014, 33, 330–335. [CrossRef] [PubMed]
Spechler, S. J. (2018). Proton Pump Inhibitors: What the Internist Needs to Know. Medical
Clinics of NA. https://doi.org/10.1016/j.mcna.2018.08.001
Sukasem, C., Tunthong, R., Chamnanphon, M., Santon, S., Koomdee, N., Prommas, S., &
Vathesatogkit, P. (2013). CYP2C19 polymorphisms in the Thai population and the
clinical response to clopidogrel in patients with atherothrombotic-risk factors. 85–91.
Willis, T. & Duff, E. (2020). Optimizing Prescribing and Deprescribing of Proton Pump
Inhibitors. TJNP: The Journal for Nurse Practitioners.
https://doi.org/10.1016/j.nurpra.2020.01.004
Yusuf, I. dkk. (2003) ‘Ethnic and geographical distributions of CYP2C19 alleles in the
populations of Southeast Asia’, Advances in Experimental Medicine and Biology, 531.
doi: 10.1007/978-1-4615-0059-9_3.
Zendehdel, N., Biramijamal, F., Hossein-Nezhad, A., Zendehdel, N., Sarie, H.,
Doughaiemoghaddam, M., & Pourshams, A. (2010). Role of Cytochrome P450 2C19
Genetic Polymorphisms in the Therapeutic Efficacy of Omeprazole in Iranian Patients
with Erosive Reflux Esophagitis. Archives of Iranian Medicine, 13(5).
https://doi.org/010135/AIM.007
55
Zhang, H., Zhang, X., Liu, J., Sun, L., Shen, Y., Zhou, C., & Wang, Y. (2019). “Effects Of
Genetic Polymorphisms On The Pharmacokinetics And Pharmacodynamics Of Proton
Pump Inhibitors”. Pharmacological Research, 104606.
https://doi.org/10.1016/j.phrs.2019.104606
Zhao, F.; Wang, J.; Yang, Y.; Wang, X.; Shi, R.; Xu, Z.; Huang, Z.; Zhang, G. Effect of
CYP2C19 genetic polymorphisms on the efficacy of proton pump inhibitor-based triple
therapy for Helicobacter pylori eradication: A meta-analysis. Helicobacter 2008, 13,
532–541. [CrossRef]
Zhong, Z., Hou, J., Li, B., Zhang, Q., Liu, S., Li, C., Liu, Z., Yang, M., Zhong, W., Zhao, P.
(2017). Analysis of CYP2C19 Genetic Polymorphism in a Large Ethnic Hakka
Population in Southern. https://doi.org/10.12659/MSM.905337
56
Lampiran 1
DATA PENELITIAN
HUBUNGAN ANTARA POLIMORFISME CYP2C19 DAN ETNIS PADA
PASIEN DISPEPSIA DI INDONESIA
Peneliti Utama : Titong Sugihartono, dr., Dr., Sp.PD., K-GEH
1 No Sampel :
2 Kode ID :
3 Kode Histologi :
4 Negara :
5 Kota :
6 Tanggal :
Pengambilan
Sampel
7 Jenis Kelamin :
8 Usia :
9 Rentang Usia : 1. 20 th – 29 th
57
2. 30 th – 39 th
3. 40 th – 49th
10 Etnis :
2. Batak
3. Bali
4. Dayak
5. Jawa
6. Bugis
7. China
8. Timor
12 Diagnosis :
3. Heterozigot *2/*3
3. Heterozigot *2/*3
CYP2C19
58
3. Poor Metabolizers
59