Anda di halaman 1dari 39

PREVALENSI PASIEN TUBERKULOSIS PARU PASCA COVID-19

DI KABUPATEN TOBA, PROVINSI SUMATERA UTARA


PERIODE TAHUN 2022 – 2023

Oleh:
Elvando Tunggul Mauliate Simatupang
NIM. 2110246745

Pembimbing:
dr. Indra Yovi, Sp.P (K)

PPDS I PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU
PEKANBARU
2023
LEMBARAN PENGESAHAN

Usulan penelitian ini diajukan oleh :

Nama Mahasiswa : Elvando Tunggul Mauliate Simatupang

NIM : 2110246745

Program Studi : Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

P Judul usulan peneitian : Prevalensi Pasien TB Paru Pasca COVID-19 di

Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara periode

tahun 2020-2022

Mengetahui,

PLT Kordinator Prodi Pulmonologi Peneliti

dan Kedokteran Respirasi FK UNRI

dr. Zarfiardy AF, Sp.P (K), FISR, FAPSR Elvando Tunggul Mauliate Simatupang
KATA PENGANTAR

Puji Tuhan, dengan segala nikmatnya segala kebaikan menjadi sempurna,


sehingga penulis bisa menyelesaikan usulan penelitian yang berjudul “Prevalensi
Pasien TB Paru Pasca COVID-19 di Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara
periode tahun 2020-2022.
Dalam usulan penelitian ini, penulis banyak mendapat bimbingan,
pengarahan dan bantuan dari semua pihak sehingga usulan penelitian ini bisa
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Sri Indarti, SE, M.Si selaku Rektor Universitas Riau.

2. dr. Arfianti, M.Sc, Ph.D selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Riau.

3. Dr. dr. Dedi Affandi, DFM, SpFM (K) selaku Direktur Program Pasca Sarjana
Universitas Riau.

4. drg.Wan Fajriatul Mammunah, Sp.KG selaku Direktur RSUD Arifin Achmad.


5. dr. Indra Yovi, Sp.P(K) Selaku sebagai pembimbing dan supervisi yang telah
memberikan masukan dan saran yang sangat berguna bagi penyusunan
penelitian ini.

6. dr. Zarfiardy Aksa Fauzi, Sp.P(K), FISR, FAPSR selaku Koordinator Program
Studi KJF/SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UNRI/RSUD
Arifin Achmad dan sekaligus sebagai supervisi yang telah memberikan
masukan dan saran yang sangat berguna bagi penyusunan penelitian ini.

7. dr. Sri Indah Indriani, Sp.P(K) selaku Koordinator Program Studi KJF/SMF
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UNRI/RSUD Arifin Achmad dan
sekaligus sebagai supervisi yang telah memberikan masukan dan saran yang
sangat berguna bagi penyusunan penelitian ini.
8. dr. Sri Melati, Sp.P(K)Onk, FISR selaku Sekretaris Program Studi
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UNRI/RSUD Arifin Achmad dan
sekaligussebagai supervisi yang telah memberikan masukan dan saran yang
sangat berguna bagi penyusunan penelitian ini.
9. Kepada seluruh guru yang saya hormati, dr. Munir Umar, Sp.P(K), FCCP, dr.
Azizman Saad, Sp.P(K), FISR, FAPSR, dr. Arlina Gusti, Sp.P, dr. Adrianison
Syamsu, Sp.P(K), FISR, dr. Rohani Lasmaria, Sp.P(K) FISR, dr.Surya Hajar
Fitria Dana, Sp.P(K), FISR, dr. Dewi Wijaya, SpP(K) FAPSR, dan dr. Ananda
Febriani Aulia Sp.P serta guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, yang telah banyak memberikan masukan dan dorongan selama
mengikuti program pendidikan dokter spesialis.
10. Semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu penyelesaian usulan penelitian tesis ini.

Akhir kata semoga karya ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan pihak
terkait dengan penelitian ini serta memicu munculnya penelitian-penelitian yang
lain untuk kemajuan ilmu pengetahuan dimasa mendatang. Atas perhatian dan
bantuan seluruh pihak saya ucapkan terima kasih.

Pekanbaru, Agustus 2023

Penulis
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................... ii


DAFTAR TABEL ............................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 3
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 4
BAB II TI NJAUAN PUSTAKA .................................................................... 6
2.1 TB Paru ............................................................................................. 6
2.1.1 Definisi ..................................................................................... 6
2.1.2 Epidemiologi ............................................................................ 6
2.1.3 Faktor Risiko ............................................................................ 6
2.1.4 Etiologi ..................................................................................... 10
2.1.5 Transmisi .................................................................................. 11
2.1.6 Patofisiologi .............................................................................. 12
2.1.7 Klasifikasi ................................................................................. 13
2.1.8 Diagnosis .................................................................................. 15
2.1.9 Strategi Eliminasi TB Paru ....................................................... 17
2.2 Dampak Pandemik COVID-19 terhadap TB Paru ........................... 18
2.2.1 Dampak terhadap Epidemiologi TB Paru ................................. 18
2.2.2 Hubungan TB Paru dan COVID-19 ......................................... 20
2.3 Definisi Operasional ......................................................................... 21
2.4 Kerangka Teori dan Kerangka Konsep ............................................ 22
2.4.1 Kerangka Teori Penelitian ........................................................ 22
2.4.2 Kerangka Konsep Penelitian .................................................... 23
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 24
3.1 Jenis Penelitian ................................................................................. 24
3.2 Waktu Penelitian .............................................................................. 24
3.3 Tempat Penelitian ............................................................................. 24
3.4 Populasi Penelitian ........................................................................... 24
3.5 Sampel Penelitian ............................................................................. 24
3.6 Kriteria Inklusi ................................................................................. 24
3.7 Kriteria Eksklusi ............................................................................... 24
3.8 Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 24
3.9 Analisis Data .................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 26

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Rangkuman Data Epidemiologi TB Paru .......................................... 6


Tabel 2.1 Rangkuman Faktor Risiko ................................................................. 9
Tabel 2.3 Klasifikasi Tuberkulosis .................................................................... 14
Tabel 2.4 Definisi Operasional .......................................................................... 21

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Mtb berasal dari spesimen sputum dengan Pewarnaan


Ziehl-Nielsen ................................................................................ 11
Gambar 2.2 Presentasi orang terpajan Kuman Mtb yang berkembang
menjadi TB Paru ........................................................................... 13
Gambar 2.3 Target Utama Strategi TB Paru di Indonesia tahun 2024 ............ 18
Gambar 2.4 Grafik Laporan Kasus Baru TB secara Global .............................
Gambar 2.5 Enam Belas Negara Kontributor terbesar Penurunan Laporan
TB Paru Kasus Baru secara Global tahun 2020 ........................... 19
Gambar 2.6 Kerangka Teori Penelitian ............................................................ 22
Gambar 2.7 Kerangka Konsep Penelitian ........................................................ 23

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit infeksi yang
dapat menular ke organ paru maunpun ekstraparu. TB Paru disebabkan oleh
infeksi Mycobacterium tuberculosis.1 Sampai dengan ssat ini TB Paru masih
menjadi masalah kesehatan secara global. Menurut Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2018, kasus TB Paru sebanyak 321 per 100.000 penduduk
Indonesia.2 Hal ini terjadi karena rendahnya angka keberhasilan pengobatan dan
juga angka temuan dini kasus. Angka keberhasilan pengobatan TB pada tahun
2016 yaitu 75,4% dan 85,1% pada tahun 2017, sementara target dari Kemenkes
untuk keberhasilan pengobatan semua kasus TB Paru minimal 90% dengan
penurunan angka kesakitan TB sebesar 50% pada tahun 2025 dibandingkan pada
tahun 2014.3 Menurut Global Tuberculosis Report 2020 oleh World Health Or-
ganization (WHO), prediksi insidensi kasus global TB Paru sebesar 10 juta
(kisaran 8,9-11 juta) dan Indonesia menyumbang sekitar 8,5% dari kasus global.4
Menurut Laporan Global Tuberculosis Report 2021 oleh WHO menemukan
penurunan kasus secara global dari 7,1 juta laporan kasus TB Paru kasus baru
tahun 2019 menjadi 5,8 juta kasus baru di tahun 2020.5 Hal ini terjadi sebagai
dampak dari pandemi COVID-19 terhadap penurunan laporan kasus baru TB Paru
di seluruh dunia.
Pandemi COVID-19 berawal di Tiongkok pada akhir Desember 2019 yang
merupakan pneumonia yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 dan menjadi
outbreak pernyakit pernapasan. Indonesia mengumumkan pasien pertama
COVID-19 pada tanggal 2 Maret 2020. Sementara WHO mengumumkan bahwa
COVID-19 menjadi pandemi pada tanggal 11 Maret 2020.6 Pasca pandemi
didapatkan berbagai dampak yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19 terhadap
TB Paru. Beberapa laporan kasus menemukan pasien terdiagnosis TB Paru setelah
terinfeksi COVID-19. Hal ini dapat terjadi akibat mekanisme penurunan imunitas
saat infeksi COVID-19 dan juga aktivasi TB Paru.7-10 Dampak lain yang
dilaporkan adanya penurunan laporan kasus TB Paru di seluruh dunia termasuk

1
Indonesia. Kasus TB Paru di Indonesia mengalami penurunan sebesar 14%.5 Hal
ini dapat terjadi karena terganggunya layanan diagnostik TB Paru, berkurangnya
kapasitas layanan kesehatan untuk melanjutkan pelayanan TB Paru dan
berkurangnya keinginan pasien untuk melanjutkan atau mencari pengobatan.
Kondisi ini akan berdampak buruk pada masyarakat luas karena Indonesia
merupakan salah satu wilayah endemik TB Paru di dunia sementara kasus TB
Paru terkesan mengalami penurunan. Proses ini akan mempengaruhi keberhasilan
untuk menyelesaikan TB Paru seperti End TB Strategy 2025 oleh WHO dan
strategi nasional penanggunalangan tuberkulosis di Indonesia 2020-2024 oleh
Kemenkes.11
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, Kabupaten
Toba terletak di Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 16 kecamatan dengan
total populasi sebanyak 212.133 penduduk. Kabupaten Toba merupakan salah satu
kabupaten dengan penyumbang 10 terbesar kasus TB Paru di Provinsi Sumatera
Utara. Menurut data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Toba, selama pandemi
COVID-19 terjadi penurunan dan temuan dini untuk kasus TB Paru dalam 2 tahun
pertama masa pandemi COVID-19. Estimasi temuan kasus TB Paru tahun 2020
diprediksi sebanyak 775 kasus dan terealisasi sebanyak 265 kasus TB Paru
(34,19%) dengan rincian 257 kasus TB-SO dan 8 kasus TB-RO. Berlanjut pada
tahun 2021 dengan estimasi temuan kasus sebanyak 775 kasus didapatkan 271
kasus TB Paru (34,96%) dengan rincian 266 kasus TB-SO dan 5 kasus TB-RO.
Sementara pada tahun 2022 terjadi kenaikan temuan kasus dengan estimasi 749
kasus dan didapatkan 501 kasus TB Paru (67,6%) dengan rincian 501 kasus TB-
SO dan 6 kasus TB-RO. Peningkatan temuan kasus pada tahun 2022
menunjukkan bahwa rendahnya temuan kasus serta pengobatan kasus TB Paru
pada 2 tahun pertama masa pandemi COVID-19.
Terkait pemilihan Kabupaten Toba sebagai lokasi penelitian didasarkan
pada status peneliti merupakan salah satu Pegawai Negeri Sipil (PNS) di
Kabupaten Toba yang sedang menjalani Tugas Belajar sebagai Mahasiswa
Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Pulmonologi dan Kedokteran
Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Riau sejak Agustus 2021. Timbulnya
niat untuk berperan aktif dalam Penanggulangan Kasus TB Paru di dunia bahkan

2
di Indonesia, maka peneliti mengajukan proposal penelitian ini untuk dapat
digunakan sebagai bahan pembelajaran akademisi dan juga berkontribusi kepada
daerah asal peneliti untuk dapat memberikan regulasi terbaik dengan sasaran yang
tepat dalam penanggulangan kasus TB Paru di Kabupaten Toba. Hal lain yang
mendasari penelitian ini adalah studi yang dilakukan Kumwichar P di Thailand
pada tahun 2023 menyebutkan bahwa pasca COVID-19 memiliki risiko 7,15 kali
lipat terjadinya TB Paru. Dengan adanya risiko TB Paru pasca COVID-19 maka
menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Prevalensi
Pasien TB Paru Pasca COVID-19 di Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara
periode tahun 2020-2022”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Prevalensi Pasien TB Paru Pasca COVID-19 di Kabupaten
Toba, Provinsi Sumatera Utara periode Tahun 2020-2022?
2. Bagaimana prevalensi per variabel pada Pasien TB Paru Pasca COVID-
19 di Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara periode Tahun 2020-
2022?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui prevalensi pasien TB Paru pasca COVID-19 di Kabupaten
Toba, Provinsi Sumatera Utara periode Tahun 2020-2022.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui Prevalensi Pasien TB Paru Pasca COVID-19 di Kabupaten
Toba, Provinsi Sumatera Utara periode Tahun 2020-2022 berdasarkan
usia, jenis kelamin, klasifikasi kasus TB Paru, klasifikasi diagnosis dan
durasi infeksi TB Paru.
2. Mengetahui prevalensi per variabel pada Pasien TB Paru Pasca COVID-
19 di Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara periode Tahun 2020-
2022.

3
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Bagi Bidang Institusi
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan
Ilmu Kesehatan khususnya di bidang Pulmonologi dan Kedokteran
Respirasi FK UNRI.
2. Sebagai informasi tambahan ataupun data pembanding untuk penelitian
selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Bagi Stakeholder Pembuat Kebijkan


1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dan
bahan masukan informasi baru kepada Pemerintah Daerah agar dapat
memfasilitasi segala kebutuhan pemeriksaan lanjutan dan peningkatan
Sumber Daya Manusia.
2. Diharapkan hasil penelitian ini juga menjadi pembelajaran pada setiap
tenaga kesehatan untuk meningkatkan temuan kasus dini TB Paru
terutama dengan riwayat Pasca COVID-19.

1.4.3 Manfaat Bagi Peneliti


1. Menjadi tambahan pengetahuan sehingga dapat memberikan kajian
penelitian ilmiah lanjutan di bidang Pulmonologi dan Kedokteran
Respirasi.
2. Menjadi acuan referensi untuk mempertimbangkan dan mengkorelasikan
antar variabel untuk peningkatan temuan kasus dini TB Paru.
3. Dengan melakukan penelitian ini, peneliti dapat meningkatkan
pembaharuan dan perkembangan Ilmu Kedokteran terutama di Bidang
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi.

1.4.4 Manfaat Bagi Masyarakat


1. Untuk menambah informasi dan pengetahuan bagi masyarakat tentang
faktor risiko dan pemeriksaan lanjutan.
2. Mengenal dan mengetahui gambaran prognosis penyakit beserta
komplikasi yang dapat terjadi.

4
3. Hasil penelitian ini menjadi masukan kepada masyarakat tentang
pentingnya temuan kasus dini sehingga dapat dilakukan pencegahan
lebih awal.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TB Paru
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis (MTb).12 Penyakit ini sering menyerang organ paru
dan juga terhadap organ lain ataupun ekstraparu.13

2.1.2 Epidemiologi
TB Paru masih menjadi masalah infeksi secara global hingga saat ini.
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 1993 menetapkan TB
sebagai Global Emergency.13 TB Paru merupakan masalah endemik di Indonesia
hingga saat ini. Data epidemiologi TB Paru disusun melalui tabel 2.1 dari
berbagai sumber. Laporan yang disusun pada tabel tersebut merupakan insidens
TB Paru secara umum. Penjelasan tabel tersebut dapat dilihat bahwa kasus TB
Paru di Indonesia terjadi penurunan sebesar 4,4% pada tahun 2021 dibandingkan
dengan tahun 2015. Hal ini terjadi dikarenakan adanya penurunan laporan kasus
baru di Indonesia selama terjadinya masa pandemi COVID-19.5

Tabel 2.1. Rangkuman Data Epidemiologi TB Paru


Sumber Tahun Temuan Epidemiologi
Global Tuberculosis 2015 Global: 9,6 juta
Report14 Indonesia: 1.000.000
Riset Kesehatan 2018 Indonesia: 570.289
Dasar2
Global Tuberculosis 2020 Global: 10 juta
Report4 Indonesia: 845.000
Global Tuberculosis 2021 Global: 9,9 Juta
Report5 Indonesia: 824.000
Global Tuberculosis 2022 Global: 10.6 Juta
Report15 Indonesia: 969.000

2.1.3 Faktor Risiko


Beberapa faktor risiko yang berkontribusi terhadap infeksi TB yaitu:

6
1. Kesejahteraan
Secara global, distribusi TB Paru berkorelasi dengan kesejahteraan dan
perkembangan manusia. Indonesia sebagai negara dunia ketiga berpotensi
meningkatkan risiko infeksi TB Paru, hal ini dapat terjadi oleh berbagai
faktor seperti sanitasi air, rasio imunisasi anak (BCG), angka harapan
hidup, lingkungan dan lainnya. Hal ini juga menjadi beban global TB
dengan persentase 1% pada negara Amerika Utara dan bagian Eropa,
sementara lebih dari 90% kasus berasal dari Asia dan Afrika.16–18
2. HIV/AIDS
Infeksi HIV menyebabkan supresi imun tubuh sehingga berisiko
berkembangnya infeksi lain (koinfeksi ataupun oportunistik). Risiko
pasien HIV didapatkan sekitar seratus kali lebih berisiko terjadinya
infeksi TB Paru. Infeksi HIV juga meningkatkan risiko kematian bila
diikuti dengan TB Paru.12,13,19,20
3. Gaya Hidup
Gaya hidup yang buruk atau merugikan kesehatan dapat berpotensi untuk
meningkatkan risiko terinfeksi TB Paru. Penggunaan alkohol diestimasi
21
menyumbang 10% kasus TB secara global. Studi meta-analisis pada
tahun 2017 menunjukkan konsumsi alkohol meningkatkan risiko
terinfeksi TB sebesar 1.35 kali dan 3.33 kali lipat pada pasien yang
memiliki permasalahan terkait alkohol. 22 Konsumsi alkohol dapat
mengganggu sistem imun yang merentankan terhadap infeksi Mtb dan
juga reaktivasi TB laten. Kemampuan makrofag dalam mengenal patogen
juga terganggu oleh konsumsi alkohol dan menurunnya fungsi makrofag
untuk merespon dan mengeliminasi Mtb. Secara spesifik, kemampuan
fagositosis, mobilitas dan perekatan makrofag terganggu sehingga
eliminasi dari Mtb tidak dapat berjalan dengan baik dan mempermudah
Mtb untuk berkembang lebih baik.21,22
Merokok juga meningkatkan risiko terinfeksi TB. Merokok berperan
dalam patogenesis dari tuberkulosis melalui disfungsi silia, mengurangi
respon imun dan defek pada makrofag.21 Studi meta-analisis
menunjukkan merokok berisiko 1,73 kali hingga 2,33 kali lipat berisiko

7
terkena TB Paru.23 Merokok berperan dalam disfungsi siliar, penurunan
respons imun, defek makrofag dan penurunan CD4+.21,56 Pada perokok,
nikotin menghambat produksi TNF- α melalui reseptor nikotinik sehingga
mengganggu perlindungan dan membantu perkembangan Mtb.21,57
Merokok menghambat produksi IL-12 dan TNF-α yang berfungsi
menginduksi makrofag dan sel NK untuk mengeliminasi Mtb sehingga
dapat membantu terbentuknya granuloma.21,57
4. Diabetes Mellitus (DM)
Pasien DM memiliki risiko tinggi terjadinya aktivasi TB laten menjadi
TB aktif.21 Sebuah studi systematic review menunjukkan bahwa pasien
DM meningkatkan risiko tiga kali lipat terjadinya TB Paru. 24 Sekitar 15%
kasus TB Paru secara global berhubungan dengan komorbid DM.21 Studi
lainnya menunjukkan bahwa DM meningkatkan risiko infeksi TB sebesar
3,11 kali lipat terjadinya TB Paru.58 Pada pasien DM, terjadi perubahan
struktur pada paru seperti epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru
yang menebal akibat mikroangiopati, gangguan neuropati berupa
hipoventilasi sentral dan sleep apneu.47,58 Makrofag dan monosit
mengalami gangguan kemotaksis dan fagositosis sebagai defek intrinsik
pada pasien DM.47
5. Anemia
Studi meta-analisis pada tahun 2021 menemukan pasien anemia berisiko
3.56 kali lipat berisiko terkena TB Paru dibandingkan pasien yang tidak
mengalami anemia.25 Zat besi tidak hanya penting dalam proses
eritropoietin, namun juga berperan penting dalam perkembangan sistem
imun. Mekanisme lain juga menunjukkan bahwa eritrosit berperan dalam
mempertahankan sistem imun bawaan dan adaptif. Eritrosit berperan
dalam modulasi pada proliferasi sel T, meningkatkan ekspansi sel T dan
ketahanan sel T.26 Berbagai faktor risiko lain yang ditemukan oleh
berbagai studi dan dirangkum dalam tabel 2.2.

8
Tabel 2.2. Rangkuman Faktor Risiko27
Faktor Risiko Jenis Studi Sumber
Infeksi
Risiko TB terhadap tenaga Retrospektif ekologi Cuhadaroglu C, et
kesehatan al.28
TB pada tunawisma berhubungan Analisis Geng E, et al.29
dengan transmisi RetrospektifKlaster
TB dengan HIV positif Kohort Carvalho, et al.30
TB anak berhubungan dengan Case-Control Besser RE, et al.31
konsumsi susu atau keju tidak
pasteurisasi
Kontak pasien TB berisiko Meta-analisis Fox GJ, et al.32
terinfeksi TB
Merokok meningkatkan risiko Meta-analisis dari Lin HH, et al.33
infeksi studi kohort Slama K, et al.34
Progresivitas penyakit
HIV meningkatkan risiko Kohort Sonnenberg P, et
reinfeksi TB al.35
TB berhubungan dengan Meta-analisis dari Lin HH, et al.33
merokok studi kohort Slama K, et al.34
TB berhubungan dengan DM Meta-analisis dari Jeon CY, et al.24
studi kohort
TB berhubungan dengan Case-Control Perez-Padilla R, et
merokok pasif dari tungku api al.36
TB berhubungan dengan Case-Control Gangaidzo IT, et
konsumsi zat besi tradisional al.37
Defisiensi vitamin D Case-Control Wilkinson RJ, et
berhubungan dengan TB aktif, Meta-analisis al.38
melalui polimorfisme reseptor Nnoaham KE, et
gen vitamin D al.39
Polimorfisme NRAMP1 Case-Control Bellamy R, et al.40
berhubungan dengan TB paru
Hasil buruk terhadap TB
Malnutrisi berhubungan kematian Kohort Zachariah R, et al.41
dini pada pasien HIV
Wanita berisiko tinggi menderita Retrospektif Toungoussova OS,
TB MDR et al.42
Pasien tidak patuh berobat Kohort Sevim T, et al.43
Keparahan penyakit paru Cross-sectional Abos-Hernandez R,
terhadap kematian pada pasien et al.44
rawat inap
alkohol, injeksi obat, tunawisma, Kohort Pablos-Mendez A,
stress dan literasi kesehatan yang etal.45
minim Theron G, et al.46
Mortalitas meningkat pada Meta-analisis dari Lin HH, et al.33
pasien merokok studi kohort Slama K, et al.34

9
DM berhubungan dengan Meta-analisis dari Baker MA, et al.47
peningkatan mortalitas dan relaps studi kohort
TB
Kavitas dini pada radiografi Studi kohort retro- Jo K-W, et al.48
thorax atau dua bulan positif spektif
kultur bakteriologis berhubungan
terhadap relaps TB

2.1.4 Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab terjadinya TB Paru. TB
Paru sudah dikenal sejak tahun 8000 sebelum Masehi dan Robert Koch pada tahun
1882 menemukan penyebabnya yaitu Mycobacterium tuberculosis.1 Kuman
Mycobacterium berbentuk batang halus (Gambar 2.1) berukuran 3 x 0,5 µ𝑚 yang
sukar diwarnai dan sulit dihapus bila dapat diwarnai dengan zat asam.
Kemampuan tersebut maka kuman ini siebut juga kuman batang tahan asam
(BTA).49,50 Collin, Jates dan Granse (1982) membagi lima varian untuk
Mycobacterium tuberculosis untuk tujuan epidemiologi:49
- M.tuberculosis var.human (tb manusia)
- M.tuberculosis var.bovine (tb lembu)
- M.tuberculosis var.human Asian (tb manusia Asia)
- M.tuberculosis var.African I (M.africanum, Afrika Barat)
- M.tuberculosis var.African II (M.africanum, Afrika Timur).
Secara umum Mtb tidak dapat diwarnai dengan zat pewarna pada akibat
komposisinya lebih dominan terdiri dari selubung sel berupa kompleks lemak
(40%) dan gula. Oleh karena itu kuman ini hanya dapat diwarnai dengan pewarna
Ziehl-Neelsen.51 Apabila Mtb diwarnai dengan zat pewarna lainnya seperti anilin,
maka pada mikroskop akan tampak zona jernih yang dikenal dengan “Gram-
invisible”.50 Kuman ini bersifat aerob obligat, intraselular, dan menginfeksi sel
fagosit seperti makrofag dan neutrofil.49,51 Pertumbuhan kuman ini lebih lambat
dibandingkan bakteri lainnya. Untuk menggandakan jumlahnya, kuman ini
memerlukan waktu sekitar 18 jam.50 Bentuk saprofit pada Mtb cenderung tumbuh
lebih cepat untuk proliferasi yang baik dengan memerlukan suhu 22-33°C.50
Ketahanan Mtb lebih baik bila dibandingkan kuman lainnya dengan sifat
hidrofobik pada permukaan selnya. Komposis hijau malakhit dapat membunuh

10
kuman lain tetapi tidak Mycobacterium tuberculosis juga dengan asam dan
alkali.49 Sputum atau dahak kering yang melekat pada debu dapat bertahan hidup
dalam 8-10 hari. Fenol 5% memerlukan waktu 24 jam untuk membunuh kuman
Mtb.49

Gambar 2.1 Mtb (ditunjuk oleh panah) berasal dari spesimen sputum
dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen.50

Kuman Mtb memiliki antigen pada dinding sel sehingga menimbulkan


hipersensitivitas tipe lambat, kekebalan dan Fraunds adjuvant. Kuman Mtb
memiliki banyak lemak seperti lemak kompleks, asam lemak dan lilin. Komponen
lemak ini penting dalam reaksi sel jaringan yang terjadi. Lemak ini memiliki
berbagai faktor yang mencegah migrasi leukosit dan menyebabkan granuloma
kronik serta adjuvant imunologik.49,50 Protein yang dimiliki kuman Mtb
menimbulkan reaksi tuberkulin. Protein yang terikat pada lilin membangkitkan
sensitivitas tuberkulin. Pemeriksaan Whole genome sequencing terhadap kuman
ini menunjukkan potensi gen untuk sintesis semua asam amino, vitamin dan
kofaktor yang berhubungan terhadap metabolisme lemak dan asam lemak. Hal ini
menunjukkan bahwa kuman ini dapat bertahan baik terutama dalam lingkungan
yang kurang mendukung pertumbuhannya dan mempertahankan kehidupannya.52

2.1.5 Transmisi
Transmisi infeksi dari TB Paru dapat melalui droplet dan udara. William
Wells memperkenalkan model transmisi droplet ini pertama kali pada akhir

11
1930.12 Sewaktu ekspirasi kuat seperti batuk dan bersin dapat mengeluarkan
droplet sputum yang mengandung kuman yang viable. Ukuran dari droplet akan
berkurang karena evaporasi dan menjadi droplet infeksius berukuran kurang dari
lima µ.12 Beberapa prosedur medis seperti bronkoskopi, induksi sputum, otopsi,
dan irigasi abses dapat menimbulkan infeksi melalui droplet.12 Ukuran dari
droplet akan memengaruhi jarak tempuh di udara, semakin besar ukuran dari
droplet maka akan menempuh jarak lebih pendek dibandingkan ukuran lebih kecil
oleh gesekkan udara.12 Droplet ukuran kecil dapat menembus pertahanan bronkial
hingga makrofag alveolar terminal.12
Transmisi infeksi TB Paru melalui udara diperkenalkan oleh Richard Riley
pada tahun 1950-an.12 Riley melakukan uji pada enam ruangan dengan tiap
ruangan memiliki ventilasi yang berujung pada kandang babi. Babi tersebut pada
akhir penelitian terinfeksi Mtb melalui udara dan membuktikan bahwa TB dapat
bertransmisi melalui udara.12

2.1.6 Patofisiologi
Secara global estimasi sepertiga manusia telah terinfeksi TB Paru, namun
hanya5% individu dengan imunokompeten menjadi TB aktif dan 95% menjadi TB
laten sepanjang hidup (Gambar 2.2.).12,13 Risiko infeksi aktif akan semakin
meningkat pada kondisi imunokompromais. Proses infeksi bermula dari droplet
nuklei masuk melalui inspirasi hingga mencapai bronkiolus dan alveolus. Bila
inhalasi berjumlah sedikit, kuman akan segera difagosit dan dicerna oleh sistem
imun nonspesifik yang diperankan oleh makrofag.13 Namun jika jumlah kuman
Mtb yang masuk melebihi kemampuan makrofag, kuman TB dapat berkembang
biak secara intraseluler di dalam makrofag hingga menyebabkan pneumonia
terlokalisasi.12,13 Kuman yang berkembang biak dalam makrofag akan keluar saat
makrofag mati, memicu respon imun untuk membentuk pembatas di sekitar
infeksi dan membentuk granuloma.13 Pembatas ini dapat ditembus kuman Mtb
dan menyebar lebih jauh melalui sistem limfatik dan pembuluh darah menuju
jaringan dan organ lain.13
Kuman Mtb akan bersarang di jaringan paru dan membentuk sarang
pneumoni yang dikenal sebagai fokus primer. Fokus ini dapat timbul di setiap

12
bagian paru.13 Fokus primer akan terjadi inflamasi saluran limfe menuju hilus
(limfangitis lokal) diikuti pembesaran kelenjar getah bening di hilus (linfadenitis
regional).13 Fokus primer bersama dengan limfangitis regional dikenal sebagai
kompleks primer. Kompleks primer dapat sembuh tanpa meninggalkan cacat
sama sekali, sembuh dengan menimbulkan sedikit bekas (sarang ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus) dan menyebar ke jaringan lainnya. 13 Sebagian
granuloma dapat terjadi nekrosis perkijuan sebagai penanda perkembangan dan
reaktivasi TB Paru. Likuifaksi perkijuan dianggap sebagai lingkungan Mtb
berkembang lebih baik dibandingkan tempat lainnya.27

Gambar 2.2 Persentasi orang terpajan kuman Mtb yang


berkembang menjadi TB Paru.13

Sebagian besar pasien terinfeksi TB Paru, respon imunitas adaptif


menimbulkandestruksi lokal terhadap kuman tersebut termasuk yang berada dalam
fase laten dalam makrofag atau lainnya. Respon Cell Mediated Immune (CMI)
yang berperan dalam infeksi kuman ini adalah Sel CD4+. Saat terstimulasi,
limfosit T akan melepaskan sitokin termasuk IFN-γ terhadap makrofag yang telah
memakan kuman dan mengaktivasi intrasel untuk membunuh kuman di
dalamnya.12 Hal inilah yang mendasari Tuberculin Skin Test (TST) dan IFN-γ
Release Assay (IGRA) bernilai positif pada pasien terinfeksi TB Paru. Kemudian
dalam beberapa minggu, CMI akan membentuk granuloma nekrotik.12

2.1.7 Klasifikasi
Klasifikasi dalam kasus TB sangat diperlukan dengan tujuan:13
- Meningkatkan kualitas pencatatan dan pelaporan,
- Menentukan paduan obat yang tepat.

13
- Melakukan standarisasi proses pengumpulan data untuk program
penanggulangan TB Paru.
- Mempermudah evaluasi proporsi penyakit berdasarkan lokasi, hasil
pemeriksaan penunjang dan hasil pengobatan.
- Mempermudah analisis kohort.
- Mempermudah evaluasi keberhasilan program TB pada berbagai
tingkat.

Berikut merupakan klasifikasi yang telah ada menurut Perhimpunan Dokter


Paru Indonesia (PDPI) pada tahun 2021:13
Tabel 2.3 Klasifikasi Tuberkulosis
Klasifikasi Kasus Definisi
Terduga TB Seseorang dengan gejala atau tanda TB
Kasus TB Definitif Pasien ditemukan Mtb kompleks
berdasarkan pemeriksaan penunjang atau
spesimen klinik (jaringan, cairan tubuh,
usap tenggorok, dll) dan kultur.
Klasifikasi Utama
TB Bakteriologis Pasien ditemukan bukti infeksi kuman
TB seperti : BTA Positif, biakan MTB
positif, tes cepat MTB positif, jaringan
ekstrapulmonal.
TB Klinis Pasien TB tidak memenuhi kriteria
diagnosis bakteriologis, namun memiliki
bukti lain yang kuat seperti: foto thoraks,
tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non-OAT, memiliki faktor
risiko TB, atau terkonfirmasi
histopatologis.
Berdasarkan lokasi infeksi
Tuberkulosis paru53 TB yang berlokasi di parenkim paru,
trakea dan laring termasuk TB milier.
Tuberkulosis ekstra paru TB yang terjadi pada organ selain paru,
seperti kelenjar limfatik, abdomen, kulit,
meninges, dan tulang.
Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Kasus baru TB Kasus yang belum pernah mendapat obat
anti tuberkulosis (OAT) atau sudah
pernah menelan OAT dengan total dosis
kurang dari 28 hari

14
Kasus kambuh Kasus pernah dinyatakan sembuh atau
lengkap dan saat ini didiagnosis kembali
dengan TB
Kasus pengobatan gagal Kasus yang pernah diobati dengan OAT
dan dinyatakan gagal pada pengobatan
terakhir
Kasus putus obat Kasus yang terputus pengobatannya
selama minimal 2 bulan berturut-turut
lain-lain Kasus yang pernah diobati dengan OAT
namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.
Klasifikasi berdasarkan hasil uji kepekaan obat
TB Sensitif Obat (TB-SO) Kuman TB dinyatakan sensitif terhadap
regimen pengobatan.
TB Monoresisten bakteri resisten terhadap salah satu jenis
OAT lini pertama
TB Resistan Rifampisin (TB bakteri resisten dengan Rifampisindengan
RR) atau tanpa resistensi terhadap OAT lain.
TB poliresisten Bakteri resisten terhadap lebih dari
satu jenis OAT lini pertama, namun
tidak Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan.
TB Multi Drug Resistant (TB- Bakteri terhadap Isoniazid (H) dan
MDR) Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan
atau tanpa diikuti resistensi terhadap
OAT lini pertama lainnya.
TB pre extensively drug memenuhi kriteria TB MDR dan re-
resistent (TB Pre-XDR) sistan terhadap minimal satu
fluorokuinolon.
TB Extensively Drug Resistant TB MDR yang sekaligus juga resistan
(TB XDR) terhadap salah satu OAT golongan
fluorokuinolon dan minimal salah satu
OAT grup A (levofloksasin, moksi-
floksasin, bedakuilin, atau linezolid).
Klasifikasi berdasarkan status HIV
TB dengan HIV Positif
TB dengan HIV Negatif
TB dengan Status HIV tidak diketahui

2.1.8 Diagnosis
Penegakan diagnosis TB Paru berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis,
bakteriologis, radiologis dan pemeriksaan penunjang lainnya.13 Gejala klinis TB
Paru dibagi menjadi gejala utama dan gejala tambahan. Gejala utama yaitu batuk

15
berdahak lebih dari 2 minggu.13 Gejala tambahan dapat berupa batuk berdarah,
sesak napas, badan lemas, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan tidak
disengaja, berkeringat di malam hari tanpa kegiatan fisik, demam subfebris lebih
dari satu bulan, atau nyeri dada.13 Gejala yang disebut tidak muncul secara khas
pada pasien TB Paru koinfeksi HIV. Riwayat penyakit dan faktor risiko perlu
diketahui seperti kontak erat dengan pasien TB, lingkungan tempat tinggal kumuh
atau padat penduduk dan orang yang bekerja di lingkungan berisiko menimbulkan
pajanan infeksi paru seperti tenaga kesehatan atau aktivis TB Paru.13
Pemeriksaan fisis TB paru tergantung terhadap luas kelainan struktur paru.
Kelainan umum ditemukan di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan
segmen posterior (S1 dan S2) serta daerah apeks lobus inferior (S6).13
Pemeriksaan fisis juga dapat ditemukan seperti suara napas bronkial, amforik,
suara napas melemah, ronkhi basah kasar/halus, dan/atau tanda penarikan paru,
diafragma dan mediastinum.13
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien TB paru seperti
pemeriksaan bakteriologis, radiologis, histopatologis, dan lainnya. 13 Pemeriksaan
bakteriologis sangat penitng dalam menegakkan diagnosis. Sampel dapat berasal
dari sputum, cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan bronkus, dan lainnya.13
Pemeriksaan bakteriologis dapat dilakukan dengan cara mikroskopis atau biakan.
Secara mikroskopis, sampel akan dibuat sediaan dan diwarnai dengan Ziehl-
Nielsen dan diintepretasi dengan skala International Union Against Tuberculosis
and Lung-Disease (IUATLD).13 Pemeriksaan kultur merupakan baku emas dalam
identifikasi kuman Mtb. Kultur dapat diperiksa melalui media padat (Lowenstein-
Jensen) atau media cair (Mycobacteria Growth Indicatior Tube/MGIT).13
Pemeriksaan radiologis menggunakan proteksi postero anterior (PA) atau
proyeksi lain sesuai indikasi (lateral, top-lordotik, oblik,dll).13 Gambaran radiologi
yang dicurigai sebagai lesi TB aktif berupa bayangan berawan di segmen apical
dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah, kavitas, bayangan
bercak milier, dan efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).13
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB inaktif seperti fibrotik,
kalsifikasi dan Schwarte atau penebalan pleura.13

16
2.1.9 Strategi Eliminasi TB Paru
World Health Organization (WHO) mengusung strategi dalam me-
nyelesaikan TB secara global yang dikenal dengan End TB Strategy 2030 pada
tahun 2015.54 Komitmen yang diharapkan terjadinya penurunan kematian akibat
TB hingga 90% pada tahun 2030 dibandingkan tahun 2015, penurunan insiden TB
sebesar 80% pada tahun 2035 dibandingkan 2015, dan tidak ada rumah tangga
yang mengalami masalah biaya akibat TB pada tahun 2030. 54 Strategi dari WHO
menggunakan tiga pilar utama untuk mencapai hasil yang diharapkan. Pilar per-
tama yaitu integrasi, pencegahan dan pelayanan berfokus pada pasien TB. Pilar
kedua yaitu kebijakan tegas dan sistem pendukung. Pilar ketiga yaitu peningkatan
inovasi dan penelitian terhadap TB.54
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia telah menyusun peta jalan
eliminasi TB di Indonesia 2020-2030. Target yang diharapkan berupa penurunan
insidensi tuberkulosis mendekati 65 kasus per 10.000 penduduk pada tahun
2030.11 Untuk mencapai target, Indonesia juga menerapkan target yang dievaluasi
pada tahun 2024 sebagai tolak ukur menuju strategi 2030 (Gambar 2.2). 11 Ter-
dapat enam strategi yang perlukan menuju eliminasi tuberkulosis di Indonesia pa-
da tahun 2030. Enam strategi terdiri atas strategi fungsional (Strategi 2,3, dan 5)
bersifat teknis berfokus pada area intervensi, penemuan kasus, pengobatan, dan
pencegahan. Strategi pemungkin (Strategi 1,4, dan 6) berupa strategi yang ber-
fokus pada faktor kontekstual menjadi daya ungkit pencapaian strategi fungsional.
Enam strategi yang telah disusun, yakni :11
- Penguatan komitmen dan kepemimpinan Pemerintah Pusat, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota untuk mendukung percepatan eliminasi TB Paru 2030;
- Peningkatan akses layanan TB Paru bermutu dan berpihak pada pasien;
- Optimalisasi upaya promosi dan pencegahan, pemberian pengobatan,
pencegahan TB Paru dan pengendalian infeksi;
- Pemanfaatan hasil riset dan tekonologi skrining, diagnosis, dan
tatalaksana TB Paru;
- Peningkatan peran serta Komunitas, mitra dan multisektor lainnya dalam
eliminasi TB Paru;
- Penguatan manajemen program melalui penguatan sistem kesehatan.

17
Dalam menerapkan strategi, ditemukan juga kesenjangan dalam
penanggulangan TB di Indonesia dan menjadi fokus dalam strategi juga.
Kesenjangan penanggulangan TB di Indonesia sesuai urutan sebagai berikut:11
- Orang yang terdiagnosis tuberkulosis tetapi tidak memulai pengobatan;
- Orang dengan gejala tuberkulosis yang tidak mencari pengobatan;
- Orang dengan tuberkulosis yang datang ke fasilitas kesehatan tetapi
tidak didiagnosis;
- Orang yang terdiagnosis tuberkulosis dan diobati oleh pemberi layanan
tapi tidak dilaporkan pada program;
- Orang dengan pengobatan tuberkulosis yang terlaporkan tetapi tidak
sembuh atau tidak menyelesaikan pengobatannya;
- Orang yang terinfeksi tuberkulosis atau berisiko tinggi menjadi sakit
Tuberkulosis.

Gambar 2.3. Target Utama Strategi TB Indonesia Tahun 2024.11

2.2 Dampak Pandemik COVID-19 terhadap TB Paru


2.2.1 Dampak terhadap Epidemiologi TB Paru
Dampak yang terjadi secara global terhadap TB selama COVID-19 berupa
penurunan pelaporan kasus baru TB sebesar 18% antara 2019 dan 2020, dari 7,1

18
juta menjadi 5,8 juta (Gambar 2.3).5 Indonesia dilaporkan terjadi penurunan
laporan kasus baru sebesar 14%. Penurunan ini terjadi secara signifikan kedua
terbesar global setelah India (Gambar 2.4).5

Gambar 2.4. Grafik Laporan Kasus Baru TB Secara Global.5

Gambar 2.5 Enam Belas Negara Kontributor Terbesar Penurunan Laporan


TB Paru Kasus Baru secara Global Tahun 2020.5

Penurunan laporan kasus ini menunjukkan gangguan dalam kemampuan


diagnostik dan terapi adekuat terhadap TB secara global. 5 Contoh dari gangguan
seperti berkurangnya kapasitas layanan kesehatan terhadap keberlangsungan

19
layanan TB Paru selama pandemi, kurangnya keinginan untuk mencari layanan
kesehatan, kurangnya kemampuan untuk mencari layanan kesehatan akibat
ekonomi keluarga menurun, kekhawatiran untuk datang ke fasilitas kesehatan
selama pandemi dan stigma terhadap kesamaan gejala antara TB Paru dan
COVID-19.5
Konsekuensi dari penurunan laporan kasus TB Paru pada tahun 2020 adalah
peningkatan kematian akibat TB tahun 2020 secara global. 5 Estimasi dari WHO
1,3 juta (95% uncertainty interval [UI]: 1,2-1,4 juta) kematian akibat TB Paru
pada pasien negatif meningkat dari 1,2 juta (UI: 1,1 – 1,3 juta) pada tahun 2019.5
Pandemi COVID-19 menghambat proses eliminasi TB Paru secara global.

2.2 Hubungan TB Paru dan COVID-19


TB Paru dan COVID-19 memiliki gejala yang serupa seperti batuk, demam,
dan sesak napas. Hal ini menyebabkan kesalahan diagnosis apabila tidak dicermati
dan diperdalam secara diagnostik. Studi oleh Sarinoglu et al menemukan pasien
terkonfirmasi COVID-19 dan TB Paru pada saat yang bersamaan dan juga pasien
COVID-19 dengan diagnosis akhir TB paru dan HIV.7 Studi oleh Khayat, et al
melaporkan pasien datang dengan demam, batuk dan mialgia selama tiga hari
dan diagnosis COVID-19 menggunakan RT-PCR. Tujuh minggu kemudian
pasien datang dengan nyeri dada, sesak napas dan demam. Pasien terkonfirmasi
TB paru secara mikrobiologis dan ditemukan konsolidasi pada lobus superior
dekstra.8 Kejadian dari COVID-19 yang muncul bersama dengan TB terjadi
karena pada pasien COVID-19 terjadi limfopenia. Semakin berat derajat
keparahan COVID-19 maka semakin menurun pula jumlah limfosit terutama sel
CD4+.55
Studi yang dilakukan Kumwichar P pada tahun 2023 di Thailand
menyebutkan bahwa risiko terjadinya TB Paru pasca COVID-19 sebesar 7.15 kali
lipat. Penurunan sel CD4+ dan CD8+ pada periode awal infeksi SARS-CoV-2
memiliki hubungan dengan derajat COVID-19. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa sel T, terutama CD8+ berperan penting dalam mengeliminasi kuman Mtb.
Sebuah studi di China juga melaporkan bahwa 73,6% pasien dengan pneumonia
dapat memulihkan jumlah sel T dalam waktu sekitar 30 hari, sedangkan 26,4%

20
sisanya mengalami penurunan sel T yang lebih lama. Temuan ini menjadi salah
satu alasan pasien dengan riwayat COVID-19 memiliki risiko yang lebih tinggi
terkena TB Paru, meskipun gejala COVID-19 sembuh.

2.3 Definisi Operasional


Definisi operasional dari setiap variabel pada penelitian ini dijabarkan pada
tabel berikut:

No Variabel Definisi Operasional Alat dan Hasil Ukur


Cara Ukur
1. Jenis kelamin Ciri khas yang dimiliki individu Data Dinas 1. Laki-laki
berdasarkan bentuk, sifat, dan fungsi Kesehatan 2. Perempuan
biologis
2. Usia Masa hidup individu sejak lahir Data Dinas 1. > 20 tahun
Kesehatan 2. 20-30 tahun
3. 30-40 tahun
4. 40-50 tahun
5. > 50 tahun
3. Komorbid Penyakit penyerta yang didapatkan Data Dinas 1. DM tipe 2
tanpa didasari akibat dari TB Paru Kesehatan 2. Hipertensi
ataupun COVID-19. 3. CKD
4. CHF
5. Lainnya
4. Diagnosis TB Penegekan diagnosis TB Paru Data Dinas 1. TB Paru
Paru berdasarkan pemeriksaan klinis dan Kesehatan Bakteriologis
hasil mikroskopis 2. TB Paru Klinis
5. Klasifikasi Pembagian kasus TB berdasarkan Data Dinas 1. TB-SO
Kasus TB Paru sensitivitas OAT Kesehatan 2. TB-RO
6. Durasi COVID- Jarak terdiagnosis TB Paru setelah Data Dinas 1. < 6 bulan
19 dan TB Paru terinfeksi COVID-19 Kesehatan 2. ≥ 6 bulan

21
2.4 Kerangka Teori dan Kerangka Konsep
2.4.1 Kerangka Teori Penelitian

Infeksi Mtb
Faktor Risiko

Diagnosis :
- Anamnesis
- Pemeriksaan
Fisik
- Pemeriksaan
Penunjang

TB Paru

Tatalaksana

Pencegahan

Pandemi COVID-19

Eliminasi TB

Gambar 2.6 Kerangka Teori Penelitian

22
2.4.2 Kerangka Konsep Penelitian

TB Paru

Pandemi COVID-19

Penurunan Laporan Kasus

Evaluasi Kejadian TB
Karakteristik Responden:
Tanggal Terkonfirmasi TB Paru - Jenis kelamin
Terkonfirmasi
Pasca COVID-19 - Usia
COVID-19
- Komorbid

Prevalensi

- Durasi Infeksi TB Paru dan


COVID-19
- Klasifikasi Kasus TB Paru

Gambar 2.7 Kerangka Konsep Penelitian

23
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross
sectional untuk mengetahui Prevalensi Pasien TB Paru Pasca COVID-19 di Kabupaten
Toba, Provinsi Sumatera Utara periode Tahun 2020-2022.

3.2 Waktu Penelitian


Pengumpulan data dilakukan pada Bulan Agustus 2023.

3.3 Tempat Penelitian


Tempat penelitian dilakukan di Dinas Kesehatan Kabupaten Toba.

3.4 Populasi Penelitian


Populasi pada penelitian adalah semua pasien COVID-19 yang terdata di Dinas
Kesehatan Kabupaten Toba Provinsi Sumatera Utara.

3.5 Sampel Penelitian


Sampel yang diambil adalah pasien yang terdiagnosis TB Paru setelah terinfeksi
COVID-19.

3.6 Kriteria Inklusi


Pasien TB Paru yang terdiganosis secara bakteriologis ataupun klinis dengan
riwayat terkonfirmasi COVID-19.

3.7 Kriteria Eksklusi


 Pasien yang tidak memiliki kelengkapan data NIK dan nomor rekam medik.
 Pasien yang terdiganosis TB Paru sebelum ataupun saat terinfeksi COVID-19
secara bersamaan.
3.8 Teknik Pengumpulan Data
Data didapatkan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Toba, kemudian seluruh
populasi dicek melalui Sistem Informasi TB (SITB) untuk mengetahui status
sampel terdiagnosis TB Paru.

24
3.9 Analisis Data
Data akan dilakukan dengan analisis univariat dan diolah secara manual kemudian
disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi yang dihitung dalam persentase.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Soeroso L, Syafiuddin T, Amir Z, Pandia P, Siagian P, Syahrani F, et al.


Buku Ajar Respirasi FK USU. Vol. 53, Departemen Pulmonogi dan
Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2017. 1689–1699 p.
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Nasional
Riskesdas 2018 [Internet]. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
2018. p.198.
Available from:
http://labdata.litbang.kemkes.go.id/images/download/laporan/RKD/2018/La
poran_Nasional_RKD2018_FINAL.pdf
3. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016 Tentang Penanggulangan
Tuberkulosis. peraturan.bpk.go.id, 67 indonesia: peraturan.bpk.go.id; 2017
p. 163.
4. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2020 [Internet].
World Health Organization. 2020.
Available from: https://www.researchgate.net/publication/269107473
5. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2021. World
Health ORganization; 2021.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Anestisiologi dan
Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN), Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Pedoman Tatalaksana COVID-19. 4th ed. 2022.
7. Sarinoglu RC, Sili U, Eryuksel E, Yildizeli SO, Cimsit C, Yagci AK.
Tuberculosis and COVID-19: An overlapping situation during pandemic. J
Infect Dev Ctries. 2020;14(7):721–5.
8. Khayat M, Fan H, Vali Y. COVID-19 promoting the development of active
tuberculosis in a patient with latent tuberculosis infection: A case report.

26
Respir Med Case Reports [Internet]. 2021;32:101344. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.rmcr.2021.101344
9. Pozdnyakov A, Jin A, Bader M. Reactivation of Pulmonary Tuberculosis in
a Patient With COVID-19. Infect Dis Clin Pract. 2021;29(6):e468–70.
10. He G, Gamber M. COVID ‐ 19 in Tuberculosis patients : a report of three
cases. Florida Int Univ Repos. 2020;
11. RI KK. Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia 2020-
2024. Pertemuan Konsolidasi Nasional Penyusunan STRANAS TB. 2020.
135 p.
12. Grippi MA, Elias JA, Fishman JA, Kotloff RM, Pack AI, Senior RM.
Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. 5th ed. Vol. 32, The
American Journal of Medicine. McGraw Hill Education; 2015. 361–378 p.
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia; 2021.
14. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2015 [Internet].
Vol. 7, World Health Organization. 2015.
Available from:
https://www.researchgate.net/publication/269107473_What_is_governance/
link/548173090cf22525dcb61443/download%0Ahttp://www.econ.upf.edu/~
reynal/Civilwars_12December2010.pdf%0Ahttps://thinkasia.org/handle/115
40/8282%0https://www.jstor.org/stable/41857625
15. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2022. Geneva;
2022.
16. Lönnroth K, Jaramillo E, Williams BG, Dye C, Raviglione M. Drivers of
tuberculosis epidemics: The role of risk factors and social determinants.
Soc Sci Med. 2009;68(12):2240–6.
17. Olson NA, Davidow AL, Winston CA, Chen MP, Gazmararian JA, Katz DJ.
A national study of socioeconomic status and tuberculosis rates by country
of birth, United States, 1996-2005. BMC Public Health [Internet].
2012;12(1):1.
Available from: BMC Public Health

27
18. Jansen J, Riedler H. An Ecological Analysis of Incidence of Tuberculosis
and Per Capita Gross Domestic Product. Eur Respir J. 2008;32(5):1413–5.
19. Bevilacqua N, Marasca G, Moscati A, Fantoni M, Ricci F, Ortona L.
Tuberculosis and HIV infection. Lancet. 1993;342(8872):677.
20. Duarte R, Lönnroth K, Carvalho C, Lima F, Carvalho ACC, Muñoz-Torrico
M, et al. Tuberculosis, social determinants and co-morbidities (including
HIV). Pulmonology. 2018;24(2):115–9.
21. Silva DR, Torrico-Munoz M, Duarte R, Galvao T, Bonini EH. Risk Factors
for Tuberculosis : Diabetes, Smoking, Alcohol Use, and The Use Of Other
Drugs. J Bras Pneumol [Internet]. 2018;44(2):145–52.
Available from:
http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S1806-
3713201800020014
22. Imtiaz S, Shield KD, Roerecke M, Samokhvalov A V., Lönnroth K, Rehm
J. Alcohol consumption as a risk factor for tuberculosis: Meta-analyses and
burden of disease. Eur Respir J [Internet]. 2017;50(1).
Available from: http://dx.doi.org/10.1183/13993003.00216-2017
23. Bates MN. Risk of Tuberculosis From Exposure to Tobacco Smoke. Arch
Intern Med. 2007;167(4):335.
24. Jeon CY, Murray MB. Diabetes mellitus increases the risk of active
tuberculosis: A systematic review of 13 observational studies. PLoS Med.
2008;5(7):1091–101.
25. Gelaw Y, Getaneh Z, Melku M. Anemia as a risk factor for tuberculosis: a
systematic review and meta-analysis. Environ Health Prev Med.
2021;26(1):1–15.
26. Buttari B, Profumo E, Riganò R. Crosstalk between red blood cells and the
immune system and its impact on atherosclerosis. Biomed Res Int.
2015;2015.
27. Friedman LN, Dedicoat M, Davies PDO. Clinical tuberculosis. 6th ed. CRC
Press. Taylor & Francis; 2020. 356–362 p.
28. Cuhadaroglu C, Erelel M, Tabak L, Kilicaslan Z. Increased risk of
tuberculosis in health care workers: A retrospective survey at a teaching

28
hospital in Istanbul, Turkey. BMC Infect Dis. 2002;2:2–5.
29. Geng E, Kreiswirth B, Driver C, Jiehui, Burzynski J. Changes In The
Transmission Of Tuberculosis In New York CIty From 1990 To 1999. New.
2002;346(19):1453–8.
30. Carvalho ACC, Deriemer K, Nunes ZB, Martins M, Comelli M, Marinoni
A, et al. Transmission of Mycobacterium tuberculosis to Contacts of HIV-
infected Tuberculosis Patients. Am J Respir Crit Care Med.
2002;164(12):2166–71.
31. Besser RE, Pakiz B, Schulte JM, Alvarado S, Zell ER, Kenyon TA, et al.
Risk Facctors for Positive Mantoux Tuberculin Skin Test in CHildren in San
Diego, California: Evidence for Boosting and Possible Foodborna
Transmission. 2018;108(2).
32. Fox GJ, Barry SE, Britton WJ, Marks GB. Contact investigation for
tuberculosis: A systematic review and meta-analysis. Eur Respir J.
2013;41(1):140–56.
33. Lin HH, Ezzati M, Murray M. Tobacco smoke, indoor air pollution and
tuberculosis: A systematic review and meta-analysis. PLoS Med.
2007;4(1):0173–89.
34. Slama K, Chiang CY, Enarson DA, Hassmiller K, Fanning A, Gupta P, et
al. Tobacco and tuberculosis: A qualitative systematic review and meta-
analysis. Int J Tuberc Lung Dis. 2007;11(10):1049–61.
35. Sonnenberg P, Murray J, Glynn JR, Shearer S, Kambashi B, Godfrey-
Faussett P. HIV-1 and recurrence, relapse, and reinfection of tuberculosis
after cure: A cohort study in South African mineworkers. Lancet.
2001;358(9294):1687–93.
36. Pérez-Padilla R, Pérez-Guzmán C, Báez-Saldaña R, Torres-Cruz A.
Cooking with biomass stoves and tuberculosis: A case control study. Int J
Tuberc Lung Dis. 2001;5(5):441–7.
37. Gangaidzo IT, Moyo VM, Mvundura E, Aggrey G, Murphree NL, Khumalo
H, et al. Association of Pulmonary Tuberculosis With Increased Dietary
Iron. J Infect Dis. 2001;184(7):936–9.

29
38. Wilkinson RJ, Llewelyn M, Toossi Z, Patel P, Pasvol G, Lalvani A, et al.
Influence of vitamin D deficiency and vitamin D receptor polymorphisms
on tuberculosis among Gujarati Asians in west London: A case-control
study. Lancet. 2000;355(9204):618–21.
39. Nnoaham KE, Clarke A. Low serum vitamin D levels and tuberculosis: A
systematic review and meta-analysis. Int J Epidemiol. 2008;37(1):113–9.
40. Bellamy R, Ruwende C, Corrah T, McAdam PWJK, Whittle CH, Hill VSA,
et al. Variations In The NRAMP1 Gene and Susceptibility to Tuberculosis
In West Africans. N Engl J Med. 1998;338:640–4.
41. Zachariah R, Spielmann MP, Harries AD, Salaniponi FML. Moderate to
severe malnutrition in patients with tuberculosis is a risk factor associated
with early death. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2002;96(3):291–4.
42. Toungoussova OS, Sandven P, Mariandyshev AO, Nizovtseva NI, Bjune G,
Caugant DA. Spread of drug-resistant Mycobacterium tuberculosis strains
of the Beijing genotype in the Archangel Oblast, Russia. J Clin Microbiol.
2002;40(6):1930–7.
43. Sevim T, Aksoy E, Ataç G, Özmen I, Kapakli N, Horzum G, et al.
Treatment adherence of 717 patients with tuberculosis in a social security
system hospital in Istanbul, Turkey. Int J Tuberc Lung Dis. 2002;6(1):25–
31.
44. Abós-Hernández R, Ollé-Goig JE. Patients hospitalised in Bolivia with
pulmonary tuberculosis: Risk factors for dying. Int J Tuberc Lung Dis.
2002;6(6):470–4.
45. Pablos-Méndez A, Knirsch CA, Barr RG, Lerner BH, Frieden TR.
Nonadherence in tuberculosis treatment: Predictors and consequences in
New York City. Am J Med. 1997;102(2):164–70.
46. Theron G, Peter J, Zijenah L, Chanda D, Mangu C, Clowes P, et al.
Psychological distress and its relationship with non-adherence to TB
treatment: A multicentre study. BMC Infect Dis [Internet]. 2015;15(1).
Available from: http://dx.doi.org/10.1186/s12879-015-0964-2
47. Baker MA, Harries AD, Jeon CY, Hart JE, Kapur A. The impact of diabetes
on tuberculosis treatment outcomes: evidence based on a cumulative meta-

30
analysis. BMC Med. 2016;36(4):490–507.
48. Jo KW, Yoo JW, Hong Y, Lee JS, Lee S Do, Kim WS, et al. Risk factors for
1-year relapse of pulmonary tuberculosis treated with a 6-month daily
regimen. Respir Med [Internet]. 2014;108(4):654–9. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.rmed.2014.01.010
49. Staf Pengajar FKUI. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. ed. Revisi.
Binarupa Aksara; 1994.
50. Carroll KC, Butel J, Morse S. Jawetz Melnick & Adelbergs Medical
Microbiology [Internet]. 27th ed. 2019.
Available from: https://books.google.com/books?id=PumOCgAAQBAJ
51. Koch A, Mizrahi V. Mycobacterium tuberculosis. Trends Microbiol
[Internet]. 2018;26(6):555–6. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.tim.2018.02.012
52. Mashabela GT, de Wet TJ, Warner DF. Mycobacterium tuberculosis
Metabolism . Microbiol Spectr. 2019;7(4):1–26.
53. World Health Organization (WHO). WHO Consolidated Guidelines On
Tuberculosis Module 3: Diagnosis Tests for Tuberculosis Infection. 2022.
54. World Health Organization. Implementing The End TB Strategy : The
Essentials [Internet]. Vol. 58, who.int. Geneva: World Health Organization;
2015.7250-7257 p.
Available from:
https://www.cambridge.org/core/product/identifier/CBO9781107415324A00
9/type/book_part%0Ahttp://arxiv.org/abs/1011.1669%0Ahttp://dx.doi.org/
10.1088/17518113/44/8/085201%0Ahttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
25246403%0 Ahttp://www.pubmedcentral.nih.gov/artic
55. Azkur AK, Akdis M, Azkur D, Sokolowska M, van de Veen W, Brüggen
MC, et al. Immune response to SARS-CoV-2 and mechanisms of
immunopathological changes in COVID-19. Vol. 75, Allergy: European
Journal of Allergy and Clinical Immunology. 2020. 1564–1581 p.
56. Smit RNVZ, M P, Yew W., Leung C., Zumla A, Bateman ED, et al. Global
Lung Health: The Colliding Epidemics of Tuberculosis , Tobacco Smoking,
HIV, and COPD. J Int Soc Burn Inj. 2017;43(5):909–32.

31
57. North RJ, Jung YJ. Immunity to tuberculosis. Annu Rev Immunol.
2004;22:599–623.
58. Wulandari DR, Sugiri YJ. Diabetes Melitus dan Permasalahannya pada
Infeksi Tuberkulosis. 2013;33(2):126–34.

32

Anda mungkin juga menyukai