Anda di halaman 1dari 54

HUBUNGAN PERILAKU OPEN BURNING DENGAN KEJADIAN

ISPA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TARAM


TAHUN 2023

SKRIPSI

OLEH :
SALSABILLA SILVA RAMONA
NIM: 1913201050

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS
FORT DE KOCK BUKITTINGGI
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Alhamdulillah, Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan segala Rahmat, Hidayah dan Petunjuk-Nya sehingga

peneliti dapat menyelesaikan penulisan Proposal Penelitian ini.

Proposal Penelitian ini peneliti susun guna melengkapi tugas dan

memenuhi syarat kelulusan Program Studi Kesehatan Masyarakat

Universitas Fort De Kock Bukittinggi dengan judul “Hubungan

Perilaku Open Burning Dengan Kejadian ISPA di Wilayah Kerja

Puskesmas Taram Tahun 2023”.

Selama proses penyusunan Proposal Penelitian ini dari awal

sampai selesai tidak terlepas dari peran dan dukungan dari berbagai

pihak, untuk itu pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan

ucapan terima kasih terutama kepada ibu Fitria Fatma, SKM, M.Kes

selaku pembimbing I dan Bapak Abdi Iswahyudi Yasril, SKM, MKM,

selaku pembimbing II yang telah membimbing, mengarahkan dan

memberikan masukan sehingga peneliti dapat menyelesaikan Proposal

Penelitian ini. Pada kesempatan ini peneliti juga mengucapkan terima

kasih kepada yang terhormat:

1. Ibu Dr. Ns. Hj. Evi Hasnita, S.Pd, M.Kes selaku Rektor Universitas Fort De

Kock Bukittinggi.

2. Ibu Dr. Oktavianis, S.ST, M. Biomed selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Fort De Kock Bukittinngi


i
3. Ibu Hj. Adriani, S.Kp, M.Kes selaku ketua program studi Ilmu Kesehatan

Masyarakat Universitas Fort De Kock Bukittinggi.

4. Staff Dosen Pengajar Program Studi Fakultas Ilmu Kesehatan Mayarakat

Universitas Fort De Kock Bukittinggi yang telah memberikan ilmu

pengetahuan dan bantuan kepada penulis selama perkuliahan.

5. Untuk yang teristimewa keluarga tercinta yang telah begitu sabar membantu,

berkorban, memberi dorongan, motivasi dan semangat bagi penulis baik moril

maupun materil serta doa yang tulus dan kasih sayang.

6. Rekan-rekan Program Studi Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat yang

senantiasa selalu bersama di saat – saat sulit dan penuh perjuangan.

Peneliti menyadari bahwa Proposal Penelitian ini belum sempurna. Oleh

sebab itu peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun

untuk perbaikan dan kesempurnaannya. Akhir kata saya selaku peneliti

mengucapkan banyak terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Bukittinggi, 2023

Salsabilla Silva Ramona

ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL........................................................................................ v
DAFTAR BAGAN...................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan Penelitian.......................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian.............................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian........................................................................... 6
E. Ruang Lingkup................................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 8
A. Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).......................... 8
1. Pengertian.................................................................................... 8
2. Etiologi........................................................................................ 9
3. Penyebaran Infeksi...................................................................... 10
4. Gejala ISPA................................................................................. 11
5. Macam-macam ISPA................................................................... 12
6. Klasifikasi Bedasarkan Lokasi Anatomi..................................... 15
7. Faktor Resiko ISPA..................................................................... 16
B. Perilaku Open Burning..................................................................... 30
C. Kerangka Teori................................................................................. 34
BAB III KERANGKA KONSEP................................................................ 35
A. Kerangka Konsep............................................................................. 35
B. Definisi Operasional......................................................................... 35
C. Hipotesis Penelitian.......................................................................... 36
BAB IV METODE PENELITIAN.............................................................. 37
A. Desain Penelitian.............................................................................. 37
B. Tempat dan Waktu Penelitian.......................................................... 37
C. Populasi dan Sampel........................................................................ 37
D. Jenis dan Teknik Pengumpulan........................................................ 39
E. Teknik Pengolahan Data.................................................................. 41
F. Analisa Data...................................................................................... 42
G. Etika Penelitian................................................................................ 42
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Definisi Operasional.................................................................


..................................................................................................35

iv
DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan 2.1 Kerangka Teori.......................................................................... 34


Bagan 3.1 Kerangka Konsep....................................................................... 35

v
DAFTAR LAMPIRAN

1. Lembar Permohonan Menjadi Responden


2. Lembar Persetujuan Menjadi Responden (Informed Consent)
3. Kuesioner Penelitian
4. Lembar Konsul Pembimbing I
5. Lembar Konsul Pembimbing II

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi saluran pernafasan akut atau biasa disebut ISPA merupakan

penyakit yang menyerang tenggorokan, hidung, dan paru yang berlangsung

selama 14 hari. Bakteri penyebab ISPA adalah genus Streptococcus,

Stafilococcus, Pnemococcus, Hemofilus, Bordetella dan Corinebakterium.

Sedangkan untuk virusnya antara lain golongan Miscovirus, Adenovirus,

Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma, Herpesvirus (Setiawan, 2020). ISPA

termasuk penyakit golongan air borne disease atau yang ditularkan melalui

udara dengan inhalasi yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit

yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit

yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor

lingkungan, dan faktor pejamu (Rahmi dan Harwoko, 2020).

Berdasarkan data WHO pada tahun 2020, infeksi saluran pernafasan

akut adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas akibat penyakit

menular di dunia. Hampir 4 juta orang meninggal karena infeksi saluran

pernafasan setiap tahun, dimana 98% kematian tersebut disebabkan oleh

infeksi saluran pernafasan bawah (WHO, 2020). Separuh dari kematian akibat

ISPA terjadi di lima negara, yaitu Nigeria (162.000), India (127.000), Pakistan

(58.000), Republik Demokratik Kongo (40.000), dan Ethiopia (32.000)

(UNICEF, 2020).

1
2

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun

2022, prevalensi ISPA sebesar 31,41%. Realisasi penemuan penderita ISPA

mayoritas pada balita sebanyak 278.261 kasus. Prevalensi ISPA tertinggi

terdapat di Provinsi Jawa Timur sebanyak 74.071 kasus, diikuti Jawa Barat

sebanyak 67.185 kasus dan Jawa Tengah sebanyak 35.978 kasus. Prevalensi

ISPA terendah terdapat di Sulawesi Utara sebanyak 281 kasus (Kemenkes RI.,

2022).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat pada

tahun 2022, prevalensi kejadian ISPA mayoritas pada balita sebesar 18,40%.

Angka ini meningkat dibandingkan pada tahun 2018 dengan jumlah 3.493

kasus. Prevalensi tertinggi terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan sebanyak 884

kasus, diikuti Kota Padang sebanyak 655 kasus dan Kabupaten Sijunjung 519

kasus. Prevalensi terendah terdapat di Kepulauan Mentawai sebanyak 2 kasus

(BPS Provinsi Sumatera Barat, 2022).

Berdasarkan data Puskesmas Taram pada 31 Juli 2023, tercatat ISPA

merupakan penyakit yang menduduki posisi pertama dengan jumlah

kunjungan tertinggi yaitu sebanyak 132 orang, mayoritas penderita ISPA

tersebut berusia > 45 tahun sebanyak 43 orang, 15 – 44 tahun sebanyak 38

orang, 6 – 14 tahun sebanyak 33 orang, 1 – 5 tahun sebanyak 15 orang dan

usia 0 – 1 tahun sebanyak 3 orang (Profil Puskesmas Taram, 2023).

Perilaku open burning atau pembakaran sampah terbuka merupakan

salah satu cara pengelolaan sampah yang masih banyak ditemukan terutama di

pedesaan, hal ini tidak mendukung terselenggaranya program STBM Pilar IV

yakni tentang pengamanan sampah dengan baik (Wahyudi, 2019). Salah


3

satunya di Wilayah Kerja Puskesmas Taram masyarakat mayoritas melakukan

kegiatan pembakaran sampah secara terbuka (open burning) dikarenakan TPS

maupun TPA pada wilayah tersebut cukup terbilang jauh dari tempat tinggal

warga sekitar, serta layanan pengangkutan sampah dari pemerintah sendiri

tidak menjangkau seluruhnya di wilayah tersebut sehingga pengelolaan

sampah dilakukan sendiri oleh masyarakat.

Pembakaran sampah menyebabkan emisi gas rumah kaca serta

pencemaran udara yang dapat mengakibatkan dampak negative bagi

lingkungan dan kesehatan. Senyawa-senyawa berbahaya yang dihasilkan oleh

pembakaran terbuka lainnya CO, CO2, CH4, NOx, SO2, senyawa Volatile

Organic Compound (VOC), Particulate Meter 2.5 (PM 2.5), dan PM 10 (Das,

2018).

Pembakaran sampah dapat menghasilkan gas-gas berupa karbon

monoksida, karbon dioksida yang dapat terpapar ke paru, gas-gas ini

mempunyai ukuran partikel yang besarnya kurang dari 10 μm yang dapat

terinhalasi ke dalam paru-paru. Polusi udara tersebut akan mengiritasi paru-

paru yang akan memudahkan bakteri-bakteri yang ada di udara menginfeksi

saluran pernafasan, peradangan bronkus menyebar ke parenkim paru sehingga

terjadi konsolidasi pada rongga alveoli dengan eksudat yang menyebabkan

penurunan jaringan paru dan terjadi kerusakan membrane alveolar kapiler

sehingga terjadi sesak nafas, dan menggunakan otot bantu nafas menjadi tidak

efektif. Mikroba tersebut dapat menyebar keseluruh tubuh sehingga terjadi

demam, tidak nafsu makan, mual, berat badan menurun dan aktivitas menjadi

terganggu (Setiawan, 2020).


4

Hasil penelitian Setiawan (2020) tentang Hubungan Pengetahuan dan

Tindakan Pembakaran Sampah Terbuka dengan Frekuensi ISPA di Kelayan

Timur Banjarmasin menunjukkan nilai p=0,024 pada hubungan antara

tindakan pembakaran sampah terbuka dengan frekuensi ISPA. Artinya

semakin sering dilakukan tindakan pembakaran sampah terbuka, maka

semakin tinggi pula angka kejadian ISPA di Kelayan Timur Banjarmasin.

Hasil penelitian Septian (2020) juga menunjukkan bahwa adanya

hubungan antara kejadian ISPA dan paparan oleh polusi udara terutama polusi

udara oleh CO2, SO2, NO2, dan PM10 yang mana CO merupakan partikel yang

sering di dapatkan pada emisi gas oleh karena pembakaran sampah. Pada

pembakaran sampah terbuka gas yang dihasilkan berupa karbondioksida dan

karbon monoksida yang dimana gas tersebut dapat menyebabkan inflamasi

pada paru dan memudahkan terjadinya kejadian ISPA.

Berdasarkan survey awal yang telah peneliti lakukan, terdapat sebanyak

186 rumah tangga yang ada di wilayah kerja Puskesmas Taram dan mayoritas

diantaranya mengolah sampah melalui proses pembakaran terbuka sebanyak

157 (84,4%) rumah tangga. Berdasarkan pengamatan peneliti, sebagian besar

masyarakat mengumpulkan sampah dalam wadah plastik besar, tanpa ada

pemilahan lalu pada sore harinya dibuang ke tempat tertentu untuk dibakar di

pekarangan dan perilaku pembakaran ini dilakukan dekat tempat tinggalnya.

Bahkan peneliti menemukan beberapa area yang menjadi tempat pembakaran

sampah secara bersama-sama. Hal ini mereka lakukan karena sudah kebiasaan

sejak dulu. Disisi lain, beberapa masyarakat yang terbatas akses terhadap

lahan terbuka memilih untuk membuang sampah dengan cara pengangkutan,


5

namun tanpa adanya pemilahan sampah sebanyak 18 (9,7%) rumah tangga dan

mengolah sampah dengan cara dikubur sebanyak 11 (5,9%) rumah tangga.

Banyaknya masyarakat yang memilih untuk membakar sampah rumah

tangga dan tingginya kejadian ISPA pada usia > 45 tahun di wilayah kerja

Puskesmas Taram membuat peneliti tertarik untuk melihat apakah terdapat

Hubungan Perilaku Open Burning Dengan Kejadian ISPA di Wilayah Kerja

Puskesmas Taram tahun 2023.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah penelitian adalah:

“Hubungan Perilaku Open Burning Dengan Kejadian ISPA di Wilayah Kerja

Puskesmas Taram Tahun 2023”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan perilaku open burning dengan kejadian

ISPA di wilayah kerja puskesmas Taram tahun 2023.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi perilaku open burning di

wilayah kerja Puskesmas Taram Kota tahun 2023.

b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian ISPA di wilayah kerja

Puskesmas Taram tahun 2023.

c. Untuk mengetahui hubungan perilaku open burning dengan kejadian

ISPA di wilayah kerja Puskesmas Taram tahun 2023.


6

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Tempat Penelitian

Menjadi informasi terbaru khususnya pada pengelola program

Kesehatan Lingkungan di Puskesmas Taram tentang hubungan perilaku

open burning dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Taram.

2. Bagi Institusi Pendidikan

a. Sebagai bahan bacaan di perpustakaan atau sumber data bagi peneliti

lain yang memerlukan masukan berupa data atau pengembangan

penelitian dengan topik yang sama demi kesempurnaan penelitian ini.

b. Sebagai sumber informasi pada Universitas Fort De Kock Bukittinggi

agar dijadikan dokumentasi ilmiah untuk merangsang minat peneliti

selanjutnya.

c. Sebagai bahan pertimbangan untuk menerapkan prinsip reduce, reuse,

recycle, replace sekaligus participation masyarakat dalam pengelolaan

sampah rumah tangga.

3. Bagi Responden

Membangun kepedulian responden agar dapat melakukan

pengelolaan sampah. Selain itu responden juga ikut serta dalam

pembangunan lingkungan yang bersih, hijau dan sehat.

E. Ruang Lingkup

Penelitian ini menganalisis hubungan perilaku open burning dengan

kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Taram. Jenis penelitian ini adalah

deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Variabel independen


7

penelitian adalah Perilaku Open Burning dengan variabel dependen kejadian

ISPA. Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh rumah tangga yang

ada di Wilayah Kerja Puskesmas Taram khususnya Jorong Parak Baru

sebanyak 186 rumah tangga. Jumlah sampel ditentukan mneggunakan rumus

Slovin dengan total sampel 65 rumah tangga. Sampel penelitian dipilih secara

purposive sampling. Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner. Analisa

data dilakukan secara univariat untuk melihat distribusi frekuensi tiap variabel

dan bivariate untuk melihat hubungan antar variabel. Pengolahan data

dilakukan menggunakan uji chi square. Penelitian ini direncanakan akan

dilaksanakan pada bulan September tahun 2023.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

1. Pengertian

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran

pernafasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan

berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyalit tanpa gejala atau

imfeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung

pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan dan faktor pejamu

(Kemenkes RI, 2012).

Namun demikian, sering juga ISPA didefinisikan sebagai penyakit

saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh agen infeksius yang

ditularkan dari manusia ke manusia. Timbulnya gejala biasanya cepat,

yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari. Gejalanya meliputi

demam, batuk, dan sering juga nyeri tenggorak, coryza (pilek), sesak

nafas, mengi, atau kesulitan bernapas (Masriadi, 2017).

2. Etiologi

ISPA disebabkan oleh banyak agen penularan. Menurut Irianto

(2014), agen penularan ISPA dapat berupa mikroorganisme berupa

bakteri, virus, dan jamur. Selain mikroorganisme, dapat juga berupa

aspirasi yang berada di lingkungan sekitar.

8
9

a. Bakteri

Jenis bakterinya yaitu Diplococcus, Streptococcus pyogenes,

Staphylococcus aureus, Haemophilus influenza, dan lain-lain (Irianto,

2014). Infeksi bakterial lain juga dapat menimbulkan penyulit

influenza. Pada proses penyakit ringan, sindroma influenza sering kali

mempunyai gambaran klinik yang menyerupai sindroma korisa atau

sindroma faring. Pada pandei cenderung terjadi gambaran klinik yang

lebih jelek yang disebabkan adanya infeksi sekunder oleh bakteri

(Krismeandari, 2015).

b. Virus

Jenis virus penyebab ISPA yaitu Influenza, adenovirus, dan

silomegalocirus (Irianto, 2014). ISPA yang disebabkan oleh

adenovirus proses penyakitnya dapat berlangsung lama, karena virus

masih tetap ditemukan dalam tinja selama beberapa minggu. Akbiat

virus ini dapat menimbulkan gejala berupa sindroma faring (Alsagaff,

2008).

c. Jamur

Jenis jamur yang dapat menyebabkan penyakit ISPA, yaitu

Aspergillus sp. Candida albicans, Histoplasma, dan lain-lain (Irianto,

2014).

d. Aspirasi

Aspirasi yang berada di lingkungan sekitar tempat tinggal yang

dapat menyebabkan penyakit ISPA adalah asap kendaraan bermotor,


10

BBM (Bahan Bakar Minyak) biasanya minyak tanah, cairan amnion

pada saat lahir, benda asing (biji-bijian, benda plastik, dan mainan

plastik kecil) (Irianto, 2014).

Selain itu hasil pembakaran kayu dan obat nyamuk bakar serta

pembakaran sampah adalah berupa partikulat debu dengan diameter

2,5μ (PM2,5) dan partikulat debu dengan diameter 10μ (PM10).

Berdasarkan Permenkes RI nomor 1077/Menkes/Per/V/2011 tentang

penyehatan udara dalam ruang rumah dampak dari PM2,5 dan PM10

dapat menyebabkan pneumonia serta gangguan sistem pernapasan.

3. Penyebaran Infeksi

Penyebaran infeksi pada ISPA dikenal dengan tiga cara yaitu sebagai

berikut:

a. Melalui aerosol yang lembut, terutama disebabkan batuk.

b. Melalui aerosol yang lebih kasar, terjadi pada waktu batuk dan bersin-

bersin.

c. Melalui kontak langsung atau kontak tidak langsung dari benda yang

telah terkontaminasi oleh jasad renik, atau yang disebut dengan hand

to hand transmission.

ISPA yang disebabkan karena infeksi virus, transmisi diawali dengan

penyebaran virus oleh daerah sekitar terutama melalui bahan sekresi

hidung. Virus yang menyebabkan ISPA terdapat 10-100 kali lebih banyak

di dalam mukosa hidung daripada mukosa faring. Dari beberapa penelitian

klinik, laboratorium, dan penelitian lapangan, diperoleh kesimpulan bahwa


11

sebenarnya kontak hand to hand merupakan modus yang terbesar bila

dibandingkan dengan cara penularan aerogen (Krismeandari, 2015).

4. Gejala ISPA

a. Gejala dari ISPA Ringan

1) Batuk

2) Serak

3) Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung.

4) Panas atau demam

b. Gejala dari ISPA Sedang

Seorang dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala

dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut :

1) Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur

kurang dari satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak

yang berumur satu tahun atau lebih. Cara menghitung pernapasan

ialah dengan menghitung jumlah tarikan nafas dalam satu menit

dengan menggerakan tangan.

2) Suhu lebih dari 39˚C (diukur dengan termometer).

3) Tenggorokan bewarna merah

4) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak

campak.

5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.

6) Pernafasan berbunyi seperti menggorok (mendengkur).

7) Pernafasan berbunyi menciut-ciut.


12

c. Gejala dari ISPA Berat

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai

gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala

sebagai berikut.

1) Bibir atau kulit membiru

2) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu

bernafas

3) Kesadaran menurun

4) Pernapasan berbunyi seperti orang menggorok

5) Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas.

6) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba.

7) Tenggorokan bewarna merah.

5. Macam-macam ISPA

Menurut Krismeandari, (2015) macam-macam ISPA antara lain :

a. Acute Viral Nasopharyngiti

Nasopharyngitis akut setara dengan “common cold” disebabkan

oleh sejumlah virus, biasanya rhinovirues, RSV, adenovirus, virus

influenza, atau virus parainflu. Gejala nasopharyngitis lebih pada pada

bayi dan anak-anak jika dibandingkan dengan orang dewasa. Pada

umumnya demam, terutama pada anak kecil. Anak yang lebih besar

memiliki demam ringan, yang muncul pada waktu sakit. Pada anak-

anak 3 bulan sampai 3 tahun, demam tiba-tiba terjadi dan berkaitan

dengan mudah dan marah, gelisah, nafsu makan menurun dan


13

penurunan aktivitas. Peradangan hidung dapat menyebabkan sembatan

saluran, sehingga harus membuka mulut ketika bernafas. Muntah dan

diare mungkin juga bisa muncul.

b. Faringitis Akut

Sebesar 70% faringitis akut disebabkan oleh virus pada anak usia

muda. Infeksi streptokokus jarang terjadi pada anak di bawah usia 5

tahun, tapi lebih sering pada yang lebih 5 tahun. Gejala khasnya adalah

kemerahan dan pembengkakan yang ringan pada faring serta

pembesaran tonsil. Seringkali disertai dengan rhinitis, tonsilitis

ataupun laringitis. Di negara dengan kondisi kehidupan dan populasi

yang padat, yang mempunyai predisposisi genetik, gejala sisa setelah

infeksi streptokokus seperti demam reumatik akut dan karditis adalah

umum terjadi pada anak pra dan usia sekolah.

c. Acute Streptococcal Pharyngitis

Group A B- hemolytic streptococcus (GABHS) infeksi saluran

nafas bagian atas (radang tenggorokan) bukan merupakan penyakit

serius, tetapi efek bagi anak merupakan resiko serius. Acute Rheumatic

Fever (ARF) penyakit radang sendi, dan sistem saraf pusat dan Acute

glomerulonephiritis, infeksi akut ginjal kerusakan permanen dapat

dihailkan dari ini gejala sisa terutama ARF.

d. Otitis Media Akut

Otitis media akut terjadi hingga 30 % pada infeksi saluran nafas

akut. Di negara berkembang yang pelayanan medisnya tidak adekuat,


14

penyakit ini mungkin yang berperan terjadinya perforasigendang

telinga atau ketulian. Infeksi telinga yang berulang dapat menyebabkan

mastoiditis yang pada gilirannya dapat menyebarkan infeksi ke

meningen (selaput otak). Otitis media ini disebabkan oleh terbuntunya

saluran tuba eustachius oleh karena rinitis dan bisa juga karena alergi.

Gejalamya ditandai dengan adanya peradangan lokal, otorrhea, otalgia,

demam dan bisa juga malaise. Oleh karena akumulasi mukus dan

cairan sebagai akibat dari odema pada tuba eustachius, bakteri dapat

menginfeksi pula. Yang paling sering menyerang anak-anak adalah

bakteri streptokokus pneumoniae, haemophilus influenzae, dan

moraxella catharralis.

e. Influenza

Influenza atau “flu” disebabkan oleh tiga ortomyxoviruses,

dengan antigenik yang berbeda. Tipe-tipe A dan B yang menyebabkan

penyakit epiddemic dan tipe C yang tidak penting secara

epidemiologis. Virus mengalami perubahan signifikan dari waktu ke

waktu. Perubahan utama terjadi pada interval biasanya 5 sampai 10

tahun yang disebut antigenic shift: variasi minor didalam subtipe yang

sama antigenic drift, terjadi hampir setiap tahun. Karenanya, antigenic

drift dapat mempengaruhi virus, secara memadai yang mengakibatkan

kerentanan indivu, ke jenis yang sebelum mereka diimunisasi atau

terinfeksi.
15

f. Sinusitis

Sinusitis adalah infeksi pada mukosa rongga sinus paranasal.

Dengan gejala hidung tersumbat, sekret dari hidung yang kenal jernih

atau berwarna, berbau, nyeri tekan pada daerah wajah atau pipi, bisa

disertai batuk, demam tinggi, nyeri kepala dam malaise. Terjadinya

bisa akut yang berlangsung kurang dari 30 hari sampai dengan 6

minggu, dan kronis jika berlangsung lebih dari 6 minggu. Penyebab

bisa oleh karena bakteri, virus atau penyebab yang lain, seperti: polip,

alergi, infeksi gigi serta tumor. Bakteri penyebab yang paling sering

adalah stekokus pneumoniae, haemophilus influenzae, dan moraxella

catharralis. Ditularkan lewat kontak langsung dengan penderita melalui

udara. Dan seharusnya dapat dicegah dengan pemakaian masker serta

cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita.

g. Laring Akut

Infeksi laring akut adalah penyakit umumpada anak-anak dan

remaja. Bayi dan anak kecil memiliki keterlibatan yang lebih umum.

Virus adalah faktor yang biasa menyebabkan dan keluhan utama

adalah suara serak yang disertai dengan gejala pernafasan atas lainnya

misalnya, (coryza, sakit tenggorokan, hidung tersumbat) dan

manifestasi sistemik (misalnya, demam, sakit kepala, myalgia).


16

6. Klasifikasi Bedasarkan Lokasi Anatomi

a. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA)

Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti

pilek, otitis media, faringitis.

b. Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA)

Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring

sampai dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran napas,

seperti epiglotis, laringitis, laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis,

pneumonia.

7. Faktor Resiko ISPA

Menurut WHO terjadinya ISPA tertentu bervariasi menurut beberapa

faktor, yaitu antara lain:

a. Kondisi lingkungan (misalnya polutan udara, kepadatan hunian rumah,

kelembaban, kebersihan, musim, temperatur).

b. Ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan langkah

pencegahan infeksi untuk mencegah penyebaran (misalnya vaksin,

akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, kapasitas ruang isolasi).

Faktor pejamu, seperti usia, kebiasaan merokok, kemampuan pejamu

menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya

atau infeksi serentak yang disebabkan oleh patogen lain, kondisi

kesehatan umum.
17

c. Karakteristik patogen, seperti cara penularan, daya tular, faktor

virulensi (misalnya gen penyandi toksin), dan jumlah atau dosis

mikroba (ukuran inokulum) (Asriati dkk, 2012).

Indonesia juga merupakan negara rawan bencana seperti banjir,

gempa, gunung meletus, tsunami, dll. Kondisi bencana tersebut

menyebabkan kondisi lingkungan menjadi buruk, sarana dan prasarana

umum dan kesehatan terbatas. Penularan kasus ISPA akan lebih cepat

apabila terjadi pengumpulan massa (penampungan pengungsi)

(Krismeandari, 2015).

Pada situasi bencana jumlah kasus ISPA sangat besar dan menduduki

peringkat teratas. Penyakit campak merupakan salah satu penyakit yang

sangat infeksius dan 90% mengenai balita. Dikhawatirkan apabila anak

balita menderita penyakit campak dengan komplikasi pneumonia dapat

menyebabkan kematian. Status gizi seseorang dapat mempengaruhi

kerentanan terhadap infeksi, demikian juga sebaliknya. Balita merupakan

kelompok rentan terhadap berbagai masalah kesehatan, sehingga apabila

kekurangan gizi maka akan sangat mudah terserang infeksi salah satunya

pneumonia (Ditjen PP dan PL, 2012).

a. Faktor Lingkungan Fisik Rumah

Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat

tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat

dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Kondisi fisik

rumah yang tidak sehat akan menyebabkan penghuni rumah


18

mengalami gangguan kesehatan atau penyakit misalnya penyakit ISPA

(Permenkes, 2011). Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila

memenuhi kriteria:

1) Suhu Ruangan

Suhu ruangan adalah keadaan panas atau dinginnya udara

dalam ruangan. Suhu udara nyaman yang memenuhi syarat

kesehatan adalah berkisar 180C sampai 300C. Suhu dalam ruang

rumah yang terlalu rendah dapat menyebabkan gangguan kesehatan

hingga hypotermia sedangkan suhu udara yang terlalu tinggi dapat

menyebabkan dehidrasi. Suhu yang rendah pada musim dingin

dapat meningkatkan viskositas lapisan mukosa pada saluran napas

dan mengurangi gerakan silia, sehingga meningkatkan penyebaran

virus influenza di saluran napas. Upaya penyehatan suhu ruangan

adalah:

a) Bila suhu udara diatas 300C diturunkan dengan cara

meningkatkan sirkulasi udara dengan menambah ventilasi

mekanik/buatan.

b) Bila suhu kurang dari 180C maka perlu menggunakan pemanas

ruangan dengan menggunakan sumber energi yang aman bagi

lingkungan dan kesehatan.

2) Kelembaban Ruangan

Kelembaban ruangan adalah konsentrasi uap air di udara

dalam ruangan (Sari, 2021). Persyaratan kelembaban dalam rumah


19

adalah berkisar antara 40%- 60%. Kelembaban yang terlalu tinggi

maupun rendah dapat menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme.

Bila kelembaban udara kurang dari 40%, maka dapat dilakukan

dengan menggunakan alat untuk meningkatkan kelembaban seperti

humidifier (alat pengatur kelembaban udara), membuka jendela

rumah, menambah jumlah dan luas jendela rumah, memodifikasi

fisik bangunan (meningkatkan pencahayaan, sirkulasi udara). Bila

kelembaban udara lebih dari 60% maka dapat dilakukan upaya

penyehatan antara lain: Memasang genteng kaca, menggunakan

alat untuk menurunkan kelembaban seperti humidifier (alat

pengatur kelembaban udara).

3) Luas Ventilasi

Ventilasi adalah tempat pertukaran atau keluar masuknya

udara baik secara alami maupun mekanis. Ventilasi sangat penting

untuk suatu rumah untuk menjaga agar aliran udara didalam rumah

tetap segar dan keseimbangan O2 yang diperlukan penghuni rumah

tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan

kurangnya O2 yang berarti kadar CO2 bersifat racun bagi

penghuninya meningkat (Hanifah, 2011). Pertukaran udara dalam

ruang yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan suburnya

pertumbuhan mikroorganisme yang mengakibatkan gangguan

terhadap kesehatan manusia (Permenkes, 2011).


20

Penelitian yang dilakukan Aditya et al., (2018) menunjukkan

bahwa ada hubungan ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada

balita dengan nilai (p.value= 0,032). Selain itu, penelitian yang

dilakukan Putri & Mantu, (2019) juga menunjukkan adanya

hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita

dengan nilai (p value= 0,001).

Berdasarkan Kepmenkes RI 829/Menkes/SK/VII/1999

Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan menyatakan bahwa

luas penghawaan atau ventilasi alami yang permanen minimal 10%

dari luas lantai (Kemenkes RI, 1999). Untuk rumah ber AC (Air

Condition) pemeliharaannya dilakukan secara berkala sesuai buku

petunjuk serta harus melakukan pergantian udara dengan membuka

jendela minimal pada pagi hari secara rutin.

4) Pencahayaan

Pencahayaan yang memenuhi syarat adalah pencahayaan

alam dan atau buatan yang langsung maupun tidak langsung dapat

menerangi seluruh ruangan dengan minimal intensitas 60 lux dan

tidak menyilau (Kemenkes RI, 1999). Pencahayaan alami didalam

rumah sangat baik untuk membunuh mikroorganisme patogen.

Oleh karena itu, rumah sangat membutuhkan jalan masuknya

cahaya. Hasil penelitian Aditya et al., (2018) menyatakan bahwa

ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian ISPA (PR =

3.35; p=0,01).
21

5) Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian didalam rumah dapat mempengaruhi

kesehatan penghuni rumah. Jumlah penghuni yang berada dalam

satu rumah dapat mempermudah penyebaran penyakit menular

dalam kecepatan transmisi organisme (Krismeandari, 2015). Salah

satu contoh penyakitnya adalah ISPA.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Wahyuningsih,

(2017) yang menyatakan bahwa kepadatan hunian rumah

berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita (p=0,000).

Penelitian Putri & Mantu, (2019) juga menunjukkan hasil yang

sama yaitu ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian

ISPA pada balita (p=0,0001). Menurut Kepmenkes RI No

829/MENKES/ SK/VII/1999 bahwa kepadatan hunian rumah tidur

balita dengan luas ruang tidur minimal 8 meter dan tidak

dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang

tidur kecuali anak dibawah umur 5 tahun.

6) Jenis Dinding

Dinding berfungsi untuk membentuk ruang, dinding dapat

bersifat masif, transparan, atau semi transparan. Dinding masif

memungkinkan tidak tembus pandang sehingga fungsinya adalah

sebagai pemisah ruang. Dinding transparan berfungsi untuk bukaan

bagi pengaliran cahaya dan udara alami. Dinding yang memenuhi

persyaratan kesehatan adalah dinding yang permanen yang terbuat


22

dari tembok/pasangan bata atau batu yang diplester dan bisa juga

papan kedap air. Rumah dengan dinding bukan tembok (terbuat

dari anyaman bambu akan memudahkan udara masuk dengan

membawa partikel debu sehingga dapat membahayakan penghuni

rumah secara terus menerus terutama pada balita (Kementerian

Pekerjaan Umum, 2011).

Berdasarkan penelitian Hidayanti et al., (2019) bahwa ada

hubungan antara jenis dinding dengan kejadian ISPA pada balita

(p.value=0,022). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Putri & Mantu, (2019) bahwa ada hubungan yang bermakna antara

dinding dengan kejadian ISPA pada balita dengan (p value=0,001).

7) Jenis Lantai

Lantai yang baik adalah lantai yang menggunakan bahan

bangunan yang kedap air dan tidak bisa ditembus binatang melata

ataupun serangga dibawah tanah. Permukaan lantai harus selalu

terjaga dalam kondisi kering (tidak lembab) dan tidak licin

sehingga tidak membahayakan penghuni rumah. Lantai yang

memenuhi persyaratan kesehatan terbuat dari ubin/ keramik/ papan

(rumah panggung)/ diplester. Lantai yang terbuat dari tanah

cenderung menghasilkan debu apabila tidak rajin disiram. Hal

tersebut berisiko terhadap kesehatan balita yang tinggal

didalamnya (Kementerian Pekerjaan Umum, 2011).


23

Beradasarkan penelitian Hidayanti et al., (2019) bahwa ada

hubungan antara jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita

(p.value =0,014). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Putri & Mantu (2019) bahwa ada hubungan yang bermakna antara

lantai dengan kejadian ISPA pada balita.

b. Faktor Sosial Ekonomi

1) Pendidikan Orang Tua

Pendidikan ibu berpengaruh terhadap informasi yang

diterima mengenai kesehatan anak. Ibu dengan pendidikan tinggi

akan menerima segala informasidengan mudah mengenai cara

memelihara dan menjaga kesehatan anak serta gizi yang baik untuk

anak. Berdasarkan pengaruh terhadap kesehatan dan prilaku

seseorang peran pendidikan juga berpengaruh terhadap lingkungan,

pelayanan kesehatan dan juga heriditas.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yasmin (2020)

menyatakan bahwa ada hubungan antara pendidikan yang berkaitan

dengan pengetahuan ibu terhadap ISPA pada balita. Ibu yang

berpendidikan rendah cenderung tidak mengetahui gejala-gejala

ISPA yang dialami oleh balita dan menganggap hal tersebut tidak

terlalu berbahaya. Namun, menurut Fitri dikutip dalam Fillacono,

(2013) tidak ada hubungan antara pendidikan orang tua dengan

kejadian ISPA pada balita. Baik pendidikan tinggi maupun rendah

hampir sama dalam menanggapi dan merespons serta mengambil


24

tindakan ketika salah satu keluarga mengalami ISPA atau penyakit

lain.

2) Penghasilan Orang Tua

Penghasilan orang tua mempengaruhi asupan makanan yang

diterima dan pemerikasaan balita ke rumah sakit atau pelayanan

kesehatan. Orang tua yang berpenghasilan rendah cenderung jarang

memikirkan mengenai kesehatan karena biaya yang mahal. Selain

itu asupan gizi yang diberikan pada balita tidak sesuai dengan

kebutuhan gizi yang seharusnya didapatkan oleh balita. Hal ini

akan berpengaruh terhadap gizi balita yang cenderung menurun

dan imunitas yang tidak terbentuk menyebabkan balita mudah

terkena penyakit salah satunya penyakit saluran pernafasan atau

ISPA.

c. Faktor Pejamu

1) Usia

Kelompok usia yang memiliki kerentanan tinggi untuk

terserang penyakit ISPA adalah balita dan anak-anak karena pada

masa tersebut sistem kekebalan tubuh mereka belum sebaik orang

dewasa. Anak berumur 1-5 tahun lebih banyak terkena ISPA. Hal

ini disebabkan perlindungan kekebalan yang diperoleh dari ibu

yang melahirkannya hanya sampai pada 6 bulan pertama setelah

dilahirkan, sedangkan setelah itu kekebalan menghilang dan ISPA

mulai menunjukkan peningkatan (Budiarto, 2002). Hal ini dapat


25

dilihat dari tingginya angka mortalitas dan morbiditas penyakit

ISPA pada balita terutama di negara berkembang (Saputri et al.,

2016).

2) Jenis Kelamin

Secara umum penyakit dapat menyerang manusia baik laki-

laki maupun perempuan, tetapi pada beberapa penyakit terdapat

perbedaan frekuensi antara laki-laki dan perempuan. Hal ini antara

lain disebabkan karena perbedaan pekerjaan, kebiasaan hidup,

genetika atau kondisi fisiologis. Menurut pedoman pemberantasan

penyakit ISPA, laki –laki berisiko lebih besar mengalami ISPA

dibandingkan perempuan (Hayati, 2017). Hal ini disebabkan

karena anak laki –laki memiliki aktivitas yang lebih aktif dan

karena faktor hormonal terdapat perbedaan respons imunologis

antara laki-laki dan perempuan (Iskandar et al., 2015).

3) Status Gizi

Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur (U), berat

badan (BB) dan tinggi badan (TB). Seorang anak yang kekurangan

gizi akan mengakibatkan sistem kekebalan tubuh lemah.

Kekurangan gizi berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh

dan respon imunologis terhadap penyakit dan keracunan. Hasil

penelitian Almira, (2017) bahwa ada hubungan antara status gizi

balita dengan kejadian ISPA dengan (p = 0,044).


26

4) Imunisasi

Imunisasi merupakan salah satu cara untuk memberikan

kekebalan seseorang secara aktif terhadap penyakit menular.

Imunisasi merupakan sistem imun yang spesifik dan terdiri dari

beberapa jenis yakni; imunisasi BCG, imunisasi DPT/HB,

imunisasi Polio, imunisasi Campak, dan imunisasi Hb-0. Hasil

penelitian Ismawati, (2022) menyatakan bahwa ada hubungan

antara kelengkapan imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita

(p=0,020).

d. Faktor Perilaku

Perilaku merupakan semua aktivitas manusia, baik yang diamati

langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut

Skinner (1938) seorang psikologi merumuskan bahwa perilaku

merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus

(rangsangan dari luar). Berdasarkan batasan perilaku dari Skinner

maka perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme

terhadap stimulus) atau obyek yang berkaitan dengan sakit atau

penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman, serta

lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan diklasifikasikan

menjadi tiga kelompok yaitu perilaku pemeliharaan kesehatan (health

maintanance), perilaku pencarian pengobatan (health seeking

behavior), dan perilaku kesehatan lingkungan (Kementerian Pekerjaan

Umum, 2011).
27

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa

perilaku penghuni rumah yang berupa tindakan tidak sehat akan

menyebakan gangguan kesehatan atau penyakit bagi dirinya maupun

keluarganya. Salah satu contoh penyakitnya adalah ISPA. Menurut

Krismeandari (2015) faktor perilaku terjadinya ISPA sebagai berikut:

1) Kebiasaan Merokok

Merokok adalah tindakan menyulut rokok dengan api

kemudian menghisap batang rokok tersebut dan menghembuskan

asapnya. Menurut Permenkes RI nomor 1077/Menkes/Per/V/2011

tetang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah yang

dimaksud dengan asap rokok (Environmental Tobacco Smoke/ETS)

adalah gas beracun yang dikeluarkan dari pembakaran Produk

tembakau yang biasanya mengandung Polycyclic Aromatic

Hydrocarbons (PAHs) yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Asap yang terhirup kemudian akan masuk ke dalam paru-

paru. Dampak dari merokok berawal dari gangguan saluran

pernafasan. Bahan berbahaya dan racun dalam rokok tidak hanya

mengakibatkan gangguan kesehatan kepada perokok juga kepada

orang-orang disekitarnya yang tidak merokok yang sebagian besar

adalah bayi, anak-anak, dan ibu yang terpaksa menjadi perokok

pasif oleh karena ada anggota mereka yang merokok di dalam

rumah.
28

Asap rokok merupakan campuran yang kompleks dari kimia

dan partikel di udara. Zat kimia seperti CO, partikel, nitrogen

oksida, CO2, hidrogen sianida, dan formaldehid juga diproduksi

oleh asap rokok bersama dengan gas lainnya yang bervariasi (Sari

et al., 2020). Sesuai dengan hasil penelitian Aditya et al., (2018)

menyatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok

dengan penyakit ISPA pada balita (PR=5.63; p=0,01).

2) Penggunaan Bahan Bakar Memasak

Di zaman yang semakin berkembang, bahan bakar memasak

beraneka ragam mulai dari penggunaan minyak tanah, gas, atau

listrik. Saat ini penggunaan kayu sudah sangat jarang ditemukan di

kota-kota besar di Indonesia. Masyarakat yang masih

menggunakan bahan bakar selain gas cenderung takut dikarenakan

ledakan gas yang sering terjadi sehingga memilih bahan bakar yang

aman seperti minyak tanah dan kayu bakar bagi pedesaan. Namun

akibat penggunaan bahan bakar tersebut, dapat menyebabkan

resiko terjadinya pencemaran udara hasil pembakaran didalam

rumah. Keadaan tersebut diperburuk dengan tidak adanya ventilasi

dalam rumah sehingga asap sisa pembakaran atau debu yang

dihasilkan tidak keluar melainkan mengendap didalam rumah

(Permenkes, 2011). Partikel debu yang dihasilkan dari pembakaran

tersebut mengandung unsur-unsur kimia, seperti timbal, besi,

mangan, arsen, cadmium dimana jika terhirup atau masuk langsung


29

ke pernafasan dapat menempel di paru-paru. Paparan partikel

dengan kadar yang tinggi akan menimbulkan edema pada trachea,

bronchus, dan bronchiolus.

Hasil penelitian Cahya (2011) menyatakan bahwa

pencemaran udara akibat penggunaan bahan bakar dimungkinkan

berperan walaupun kecil. Rumah dengan bahan bakar minyak

tanah memberikan kesempatan 3,8 kali lebih besar balita terkena

ISPA dibandingkan dengan bahan bakar gas.

3) Penggunaan Obat Nyamuk Bakar

Obat nyamuk bakar merupakan bahan pemberantasan

nyamuk didalam rumah yang biasanya cenderung digunakan

keluarga. Obat nyamuk yang dibakar akan menimbulkan asap

didalam rumah. Apabila ventilasi tidak cukup untuk mengeluarkan

asap tersebut, maka asap akan berkumpul dalam ruangan dan tidak

bisa keluar. Obat nyamuk mengandung bahan-bahan kimia yang

sulit terurai dalam waktu cepat (Fillacano, 2013). Asap yang

berkumpul tersebut akan menyebabkan penghuni rumah

mengalami gangguan pernapasan dan berujung kepada penyakit

ISPA.

4) Perilaku Membakar Sampah (Open Burning)

Membakar sampah merupakan salah satu penanganan dan

atau pengolahan akhir sampah. Proses pembakaran sampah

walaupun skalanya kecil sangat berperan dalam menambah jumlah


30

zat pencemar di udara terutama debu dan hidrokarbon. Hal penting

yang perlu diperhitungkan dalam emisi pencemaran udara oleh

sampah adalah emisi partikulat akibat pembakaran, sedangkan

emisi dari proses dekomposisi yang perlu diperhatikan adalah

emisi HC dalam bentuk gas metana (Ratnani, 2008).

Pembakaran sampah di dalam udara terbuka juga

menimbulkan kabut asap yang tebal yang mengandung bahan

lainnya seperti partikel debu yang kecilkecil yang biasa disebut

particulate matter (PM) berukuran 10 mikron, biasa disebut PM 10.

Alat saring pernafasan manusia tidak sanggup menyaring PM10 ini,

sehingga bisa masuk ke dalam paru-paru dan bisa mengakibatkan

sakit gangguan pernafasan (asma dan radang paru-paru), infeksi

saluran pernafasan akut (ISPA), radang selaput lendir mata, alergi,

iritasi mata (Soemarno, 2011).

Pembakaran sampah dapat dilakukan pada suatu tempat,

misalnya lapangan yang jauh dari segala kegiatan agar tidak

mengganggu. Namun demikian pembakaran ini sulit dikendalikan

bila terdapat angin kencang, arang sampah, abu, debu, dan asap

akan terbawa ke tempat-tempat sekitarnya yang akhirnya tetap

akan menimbulkan gangguaan kesehatan terhadap manusia

(Purnaini, 2011).

Adanya dampak kesehatan dari pembakaran sampah terutama

di area tebuka yang berupa mencemari lingkungan, polusi udara,


31

dan mengganggu kesehatan masyarakat, sehingga pembakaran

sampah sudah tidak dianjurkan sebagaimana telah ditetapkan

dalam UU RI nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah

bahwa setiap orang dilarang untuk membakar sampah yang tidak

sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah.

B. Perilaku Open Burning

Tujuan utama dari penerapan sistem pengelolaan sampah adalah untuk

mengurangi keberadaan timbulan sampah yang dihasilkan oleh masyarakat.

Pembakaran sampah merupakan salah satu alternatif pengelolaan sampah

rumah tangga. Kelebihan dari metode pembakaran sampah adalah

kemampuannya dalam mengeliminasi sampah dalam jumlah yang besar dalam

waktu yang relatif singkat. Metode pembakaran sampah tidak hanya dilakukan

di negara berkembang namun juga dilakukan di negara maju dengan tujuan

dan pilihan teknologi yang berbeda (Jouhara, dkk., 2017).

Di Jepang, lebih dari 75% sampah rumah tangga dibakar di instalasi-

instalasi pemba-karan sampah (insinerator). Capaian ini menempatkan Jepang

sebagai negara dengan tingkat pembakaran sampah (incineration rate)

tertinggi di dunia. Tingginya produksi sampah rumah tangga serta sulitnya

mencari lahan untuk tempat pembuangan akhir sampah merupakan alasan

utama negara maju memilih insinerator sebagai teknologi pengolah sampah.

Insinerator dengan suhu pembakaran lebih dari 800oC mampu mereduksi

volume sampah 90% dari volume awal (Albores, et al., 2016). Bahkan
32

teknologi terbaru yang diterapkan pada insinerator di Jepang mampu

mengurangi volume sampah hingga 97,5% (Wahyudi & Novitasari, 2018).

Selain itu, panas yang dihasilkan dari pembakaran sampah di insinerator

dapat dikonversi menjadi energi baik panas maupun listrik. Kementerian

Lingkungan Jepang (2016) menyatakan bahwa total energi yang dibangkitkan

dari seluruh insinerator di Jepang mencapai 1.934 Mega Watt (MW). Untuk

mengoperasikan insinerator secara efektif, maka sampah yang masuk

insinerator telah melalui proses pemilahan dan persyaratan tertentu.

Pengoperasian yang efektif artinya adalah insinerator mampu menghasilkan

energi yang tinggi dan emisi yang rendah dengan basis volume sampah yang

sama. Material yang sulit atau tidak bisa terbakar seperti kaca, besi, keramik

dan tanah harus dipisahkan dari sampah yang akan dikirim ke insinerator.

Oleh karena itu, negara yang mengoperasikan insinerator pada umumnya telah

menerapkan sistem pengelolaan sampah yang baik yang ditandai dengan

adanya pemilahan dan jadwal pengangkutan sampah (transportasi) yang baik.

Insinerator dilengkapi dengan sistem pembersihan gas hasil pembakaran

(flue gas cleaning system) sehingga emisi yang dihasilkan memenuhi

persyaratan lingkungan. Keberadaan sistem pembersihan gas buang tersebut

menyebabkan pembangunan dan pengoperasian insinerator membutuhkan

biaya yang sangat besar sehingga negara berkembang dengan kemampuan

finansial terbatas kesulitan untuk menerapkan teknologi tersebut (Wahyudi &

Novitasari, 2018).
33

Di negara berkembang, pembakaran sampah dilakukan dengan metode

yang lebih murah dan mudah yaitu sistem pembakaran terbuka (open

burning). Pembakaran sampah terbuka diartikan sebagai pembakaran berbagai

jenis sampah tanpa ada pemilahan sampah dan tanpa pengendalian suplai

udara sehingga pembakaran berjalan tidak secara efektif dan menghasilkan

asap dan emisi lainnya secara tidak terkendali. Emisi gas-gas rumah kaca

maupun bahan pencemar udara seperti dioksin dan logam berat yang

dihasilkan pada pembakaran terbuka jauh lebih tinggi dibandingkan dengan

pembakaran pada insinerator (Jouhara, dkk., 2017) .

Pembakaran sampah terbuka umumnya dilakukan oleh masyarakat

secara individu maupun berkelompok. Hal ini berbeda dengan kondisi di

negara yang mengoperasikan insinerator dimana operator insinerasi adalah

pemerintah ataupun swasta yang diberi ijin oleh pemerintah dengan

pengawasan yang ketat. Polusi udara yang disebabkan aktivitas pembakaran

terbuka dapat menyebabkan iritasi pada mata dan infeksi saluran pernapasan

(Das, dkk., 2018). Dalam jangka panjang, material berbahaya yang dihasilkan

dari pembakaran terbuka dapat memicu terjadinya penyakit kanker, penyakit

jantung, keterbelakangan mental dan penyimpangan genetik (Jouhara, dkk.,

2017). Di negara maju, pembakaran terbuka dilarang dan dikategorikan

sebagai tindakan yang ilegal.


34

C. Kerangka Teori

Berdasarkan tinjauan pustaka diatas, maka kerangka teori dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Bagan 2.1
Kerangka Teori

Faktor Lingkungan Fisik Rumah:

1. Suhu Ruangan
2. Kelembaban Ruangan
3. Ventilasi
4. Pencahayaan
5. Kepadatan Hunian
6. Jenis Dinding
7. Jenis Lantai

Faktor Sosial Ekonomi

1. Pendidikan Orang Tua


2. Penghasilan Orang Tua
Kejadian ISPA

Faktor Pejamu:

1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Status Gizi
4. Imunisasi

Faktor Perilaku Penghuni Rumah:


Menghasilkan CO2, CH4,
1. Kebiasaan Merokok NOx, SO2, senyawa Volatile
Organic Compound (VOC),
2. Penggunaan Obat Nyamuk
Particulate Meter 2.5 (PM
Bakar 2.5), dan PM10
3. Bahan Bakar Masak
4. Pembakaran sampah (open
burning) Pencemaran udara

Sumber: Modifikasi Krismeandari (2015), dan Hasditama (2021)


BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah suatu hubungan atau

kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang

ingin diteliti (Notoatmodjo, 2010). Berdasarkan kerangka teori yang ada maka

peneliti membuat kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Bagan 3.1
Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Perilaku Open Burning Kejadian ISPA

B. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang di

maksud atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan

(Notoatmodjo, 2018).

Tabel 3.1
Defenisi Operasional
Variable Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Variable Independen
Perilaku Pengelolaan Kuesioner Wawancara 0. Ya Ordinal
Open sampah 1. Tidak
Burning dengan cara
dibakar di tempat
terbuka yang Sumber:
menghasilkan (Hasdita,
partikulat berupa 2021)

35
36

debu atau abu dan


gas hidrokarbon
sehingga
mencemari
lingkungan,
polusi udara, dan
mengganggu
kesehatan
masyarakat,
terutama
gangguan saluran
pernapasan
Variable Dependen
Kejadian Infeksi akut yang Rekam Observasi 0. Ya Nominal
ISPA menyerang medik 1. Tidak
saluran
pernafasan yaitu
organ tubuh yang Sumber:
dimulai dari (Lubis, 2019)
hidung hingga ke
alveoli

C. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh bahwa

hipotesis yang sesuai dengan penelitian ini adalah: Ada hubungan perilaku

open burning dengan kejadian ISPA di wilayah kerja puskesmas Taram tahun

2023.
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross

sectional yaitu penelitian yang dilakukan pada satu waktu dan satu kali,

mencari hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen

(Nursalam, 2013). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

perilaku open burning dengan kejadian ISPA di wilayah kerja puskesmas

Taram tahun 2023.

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Taram. Penelitian

akan dilakukan pada bulan September tahun 2023 terdiri dari tahap persiapan,

tahap pelaksanaan dan tahap penyelesaian.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah total dari setiap elemen yang akan diteliti yang

memiliki ciri sama, bisa berupa individu dari suatu kelompok, peristiwa,

atau sesuatu yang akan diteliti (Nursalam, 2013). Populasi target dalam

penelitian ini adalah seluruh rumah tangga yang ada di Wilayah Kerja

Puskesmas Taram khususnya Jorong Parak Baru sebanyak 186 rumah

tangga.

37
38

2. Sampel

Sampel adalah bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan

sebagai subjek penelitian melalui sampling. Sedangkan sampling adalah

proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi yang

ada (Nursalam, 2013).

Besar sampel di hitung berdasarkan rumus besar sampel untuk

populasi menurut Zainuddin (2000) yang dikutip oleh Nursalam (2013),

besar sampel dalam penelitian dapat di hitung sebagai berikut :

N
n=
1+ N (d)²

Keterangan :

N = Besar Populasi

n = Besar Sampel

d = derajat penyimpangan terhadap populasi yang di inginkan 10% (0,1)

186
n=
1+186 (0,1) ²

186
n=
1+1,86
186
n=
2,86

n=65,03

n=65

Jadi besar sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 65 rumah

tangga. Dengan kriteria sebagai berikut:


39

a. Kriteria Inklusi

1) Bersedia menjadi responden.

2) Merupakan ibu rumah tangga

3) Masyarakat yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Taram

b. Kriteria ekslusi

1) Tidak bisa baca tulis

2) Memiliki permasalahan komunikasi, penglihatan dan pendengaran

3) Tidak ada saat dilakukan kunjungan penelitian

D. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

1. Jenis Data Yang Dikumpulkan

a. Data Primer

Data primer dikumpulkan melalui wawancara dan observasi.

Data mengenai identitas responden, perilaku open burning dan

kejadian ISPA

b. Data sekunder

Data sekunder terdiri dari jumlah populasi, gambaran umum

lokasi penelitian dan rekapitulasi penderita ISPA yang diperoleh dari

Puskesmas Taram.

2. Teknik Pengumpulan Data

a. Tahap Persiapan

1) Administrasi Penelitian

Kegiatan pertama yang dilakukan adalah melakukan studi

pendahuluan kemudian setelah ujian dan Proposal Penelitian


40

disetujui tim penguji selanjutnya pengurusan administrasi ijin

penelitian ke pihak terkait dalam hal ini Puskesmas Taram sebagai

lokasi penelitian.

b. Tahap Pelaksanaan

1) Peneliti berkolaborasi dengan pemegang program kesehatan

lingkungan di Puskesmas Taram untuk mendapatkan data penyakit

ISPA dan pengelolaan sampah rumah tangga.

2) Setelah mendapatkan data tentang ISPA, peneliti mencari

responden yang memenuhi kriteria inklusi penelitian dan peneliti

melakukan kontrak penelitian.

3) Peneliti memberikan informed consent sebagai persetujuan menjadi

responden penelitian, serta menjelaskan manfaat dan tujuan dari

penelitian ini.

4) Selanjutnya peneliti melakukan wawancara dengan menggunakan

instrument berupa kuesioner.

c. Tahap Penyelesaian

Peneliti melakukan analisis data dan menarik kesimpulan dari

penelitian yang telah dilakukan.


41

E. Teknik Pengolahan Data

Dalam proses pengolahan data, peneliti menggunakan langkah-langkah

pengolahan sebagai berikut:

1. Pemeriksaan Data (Editing)

Melakukan pemeriksaan kelengkapan data dari pengisian lembar

observasi maupun kelengkapan data dari responden. Hal ini dilakukan

ditempat pengumpulan data sehingga bila ada kekurangan segera dapat

dilengkapi.

2. Pemberian Kode (Coding)

Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data

berbentuk angka/ bilangan untuk mempermudah pada saat analisis data

dan juga mempercepat pada saat entry data.

3. Memasukkan Data (Entry)

Melakukan entry data pada setiap pertanyaan sesuai kode yang telah

dibuat pada software Epidata atau SPSS.

4. Pembersihan Data (Cleaning)

Untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan pada data, baik dalam

pengkodean maupun membaca kode, dan melengkapi data yang tidak

lengkap. Pembersihan data dilakukan sebelum analisis data.

5. Tabulasi (Tabulating)

Tabulasi data adalah membuat penyajian data, sesuai dengan tujuan

penelitian.
42

F. Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisa univariat bertujuan untuk menggambarkan karakterisik

masing-masing variabel, baik pada variabel dependen maupun variabel

independen (Notoadmojo, 2010). Data ditampilkan dalam bentuk tabel

distribusi frekuensi dan persentase pada masing-masing variabel.

2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkolerasi (Notoatmodjo, 2010). Analisis ini dilakukan

untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel

dependent menggunakan uji chi square. Hipotesa diterima jika probabilitas

(p ≤ 0,05) dan hipotesa ditolak jika nilai probabilitas (p > 0,05).

G. Etika Penelitian

Etika dalam penelitian menunjukkan prinsip-prinsip etis yang

diterapkan dalam kegiatan penelitian, dari Skripsi penelitian sampai dengan

publikasi hasil penelitian. Pelaku penelitian atau peneliti dalam menjalankan

tugas meneliti atau melakukan penelitian hendaknya memegang teguh sikap

ilmiah serta berpegang teguh pada etika penelitian (Notoadmodjo, 2010).

Secara garis besar dalam melakukan penelitian ada empat prinsip yang harus

dipegang teguh, yakni:

1. Menghormati Harkat Dan Martabat Manusia

Peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subjek penelitian untuk

mendapatkan informasi tentang tujuan peneliti melakukan penelitian


43

tersebut.Disamping itu, peneliti juga memberikan kebebasan kepada

subjek untuk memberikan informasi atau tidak memberikan informasi

(berpartisipasi). Peneliti seyogyanya mempersiapkan formulir persetujuan

subjek (informed concent).

2. Menghormati Privasi Dan Kerahasiaan Subjek Penelitian

Setiap orang mempunyai hak-hak dasar individu termasuk privasi

dan kebebasan individu dalam memberikan informasi. Setiap orang berhak

untuk tidak memberikan apa yang diketahuinya kepada orang lain. Oleh

sebab itu, peneliti tidak boleh menampilkan informasi mengenai indentitas

dan kerahasiaan indentitas subjek. Peneliti cukup menggunakan coding

sebagai ganti indentitas responden.

3. Keadilan dan Inklusivitas/ Keterbukaan

Prinsip keterbukaan dan adil perlu dijaga oleh peneliti dengan

kejujuran, keterbukaan, dan kehati-hatian.Untuk itu, lingkungan peneliti

perlu dikondisikan sehingga memenuhi prinsip keterbukaan, yakni dengan

menjelaskan prosedur penelitian. Prinsip keadilan ini menjamin bahwa

semua subjek penelitian memperoleh perlakuan dan keuntungan yang

sama, tanpa membedakan gender, agama, etnis dan sebagainya.

4. Mempertimbangkan Manfaat dan Kerugian Yang Ditimbulkan

Sebuah penelitian hendaknya memperoleh manfaat semaksimal

mungkin bagi masyarakat pada umumnya, dan subjek penelitian

khususnya. Peneliti hendaknya berusaha meminimalisasi dampak yang

merugikan bagi subjek.


LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Kepada Yth:
Calon Responden
di
Tempat

Dengan Hormat,
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Salsabila Silva Ramona
Nim : 1913201050
Judul Penelitian : Hubungan Perilaku Open Burning Dengan Kejadian ISPA
di Wilayah Kerja Puskesmas Taram Tahun 2023

Adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat


Universitas Fort De Kock Bukittinggi. Sehubungan dengan penelitian
yang akan dilakukan, maka dengan ini saya mohon kesediaan Bapak/Ibu
untuk menjadi responden penelitian. Semua informasi dan identitas
responden akan dirahasiakan dan hanya untuk kepentingan penelitian.
Apabila Bapak/Ibu menyetujui untuk menjadi responden, maka saya
mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk menandatangani lembar persetujuan
yang telah disediakan. Jika dalam penelitian ini Bapak/Ibu merasa tidak
nyaman dengan kegiatan yang akan dilakukan, maka Bapak/Ibu dapat
mengundurkan diri.

Hormat Saya,

(Salsabila Silva Ramona)


LEMBARAN PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini


Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :

Setelah mendapatkan penjelasan yang diberikan peneliti, maka


saya bersedia untuk berpartisipasi sebagai responden penelitian dengan
judul “Hubungan Perilaku Open Burning Dengan Kejadian ISPA di
Wilayah Kerja Puskesmas Taram Tahun 2023”
Saya mengerti penelitian ini tidak akan membawa dampak yang
merugikan bagi saya dan saya telah diberikan kesempatan untuk bertanya
berkaitan dengan penelitian. Dengan ini saya menyatakan bersedia
menjadi responden tanpa paksaan atau ancaman dari pihak manapun juga.

Bukittinggi, 2023

( )
LEMBAR KUESIONER

HUBUNGAN PERILAKU OPEN BURNING DENGAN KEJADIAN


ISPA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TARAM
TAHUN 2023

Petunjuk Pengisian Kuesioner :


1. Jawablah pertanyaan ini dengan jujur
2. Berilah tanda centang (√) atau lingkaran (o) pada jawaban yang dipilih

A. Identitas Responden
No. Responden :
Tanggal Pengisian :
Nama/Inisial :
Umur :
Jenis Kelamin : 1. Laki-laki
2. Perempuan
Pendidikan Terakhir : 1. Tidak Sekolah
2. Tamat SD
3. Tamat SMP
4. Tamat SMA
5. Tamat PT
Pekerjaan : 1. PNS
2. Swasta
3. Wiraswasta
4. Petani
5. Pelajar/Mahasiswa
6. Tidak bekerja
7. ...................................lainnya

B. Perilaku Open Burning


No Pernyataan Ya Tidak
.
1. Apakah anda mengelola sampah dengan cara
dibakar?

(Jika jawaban anda Ya, lanjutkan pengisian ke


pertanyaan No. 2 dan seterusnya)

(jika jawaban anda Tidak, lanjutkan pengisian ke


pertanyaan No. 7 dan seterusnya
2. Apa alasan anda mengelola sampah dengan cara
dibakar?
a. Tempat penampungan sementara terlalu jauh
b. Pengangkutan sampah terlalu lama dilakukan
47

sehingga timbulan sampah sudah menumpuk


c. Cara tersebut adalah cara tercepat dan
termudah
d. Belum mengetahui terkait cara yang ideal
dalam pengelolaan sampah
3. Apakah pembakaran sampah dilakukan di dalam
tungku pembakaran khusus?
4. Apakah frekuensi pembakaran sampah > 2 kali
dalam 1 minggu?
5. Tidakkah menurut anda membakar sampah dapat
menyebabkan polusi udara dan menyebabkan
gangguan pernafasan?
6. Apakah ada tokoh masyarakat yang menegur bila
ada pembakaran sampah?
7. Reduce:
a. Menggunakan alat tulis/ buku/ kertas hingga
habis/ rusak
8. Reuse:
a. Membawa alat makan sendiri dari rumah
b. Membawa botol minum sendiri dari rumah
c. Membawa tas belanja sendiri sebagai kantong
plast
9. Recycle:
a. Memilah sampah organic dan an organic
b. Menukar sampah ekonomis menjadi uang
(trash for cash)
c. Membuat kerajinan dari barang bekas
kSumber: Hasditama (2021)

C. Kejadian ISPA
Dalam 2 minggu terakhir, apakah anda di diagnosi penyakit ISPA oleh tenaga
kesehatan?

: Ya

: Tidak

Anda mungkin juga menyukai