Anda di halaman 1dari 57

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SOSIAL BUDAYA

DENGAN PERILAKU ORANG TUA MELAKUKAN


SIRKUMSISI PADA BAYI PEREMPUAN
DI BPM “ M” WILAYAH KERJA
PUSKESMAS RANAH SALIDO
TAHUN 2023

PROPOSAL

Oleh :
MAIDAWATI
NIM : 1903013

YAYASAN PENDIDIKAN SUMATERA BARAT


UNIVERSITAS SUMATERA BARAT
FAKULTAS I L M U KESEHATAN
PRODI SARJANA KEBIDANAN
TAHUN 2023

31
32
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat, kemudahan dan kesehatan kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan Proposal ini.

Proposal ini diajukan untuk memenuhi syarat dalam penyelesaian Program

Studi Kebidanan Program Sarjana. Dalam penulisan Proposal ini penulis banyak

mendapat bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan

ini penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu dr. Puthi Dwi Untari, MKM selaku ketua Yayasan Pendidikan

Sumatera Barat

2. Ibu DR. Hj. Nurtati, SE., MM selaku Rektor Universitas Sumatera Barat

yang telah memberikan izin dan fasilitas dalam penyusunan Proposal ini

3. Ibu Ns. Sri Burhani Putri, M.Kep selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Universitas Sumatera Barat yang telah memberikan izin dalam

penyusunan Proposal ini

4. Ibu Rahmatul Ulya, M.Keb selaku Ketua Program Studi Kebidanan

Program Sarjana Universitas Sumatera Barat yang telah memberikan izin

dan kemudahan dalam pembuatan Proposal ini

5. Ibu Welly Handayani, S.ST, M.Keb selaku pembimbing I (satu) yang

telah memberikan bimbingan, semangat dan dorongan dalam pembuatan

Proposal ini.

6. Ibu Ira Maulina Sa’danoer, S.ST, M.Kes selaku pembimbing II (dua)

yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan dalam

i
pembuatan Proposal ini.

7. Segenap Dosen Program Studi Sarjana Kebidanan Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Sumatera Barat yang telah memberikan ilmu

pengetahuan kepada penulis.

8. Kepala Puskesmas Ranah Salido yang telah memberikan izin kepada

penulis untuk melakukan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Ranah

Salido.

9. Teristimewa kepada keluarga tercinta yang selalu memberikan

perhatian , mendoakan dan memberikan dorongan baik moril maupun

materil selama dalam penyusunan Proposal ini, serta orang-orang yang

ikut berpartisipasi dalam penyelesaian Proposal ini.

Semoga bantuan yang telah diberikan akan mendapat balasan dari Tuhan

Yang Maha Esa. Penulis menyadari bahwa Proposal ini masih jauh dari sempurna

karena itu penulis bersedia menerima kritikan dan saran dari semua pihak dem

kesempurnaan skripsi ini.

Lubuk Alung, Juni 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 8
E. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Sosial Budaya ....................................................................................... 10
B. Sunat Perempuan ................................................................................. 17
C. Perilaku ................................................................................................ 29
D. Kerangka Teori .................................................................................... 33

BAB III KERANGKA KONSEP


A. Kerangka Konsep ................................................................................. 34
B. Defenisi Operasional ........................................................................... 35
C. Hipotesis Penelitian ............................................................................. 35

BAB IV METODE PENELITIAN


A. Jenis dan Desain Penelitian ................................................................. 36
B. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 36
C. Populasi dan Sampel ............................................................................ 36
D. Teknik Pengumpulan Data................................................................... 37
E. Teknik Pengolahan Data ...................................................................... 38
F. Analisis Data ........................................................................................ 39

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Halaman
Tabel 3.1 : Defenisi Operasional .................................................................... 35

iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Halaman
Gambar 2.1 : Kerangka Teori .......................................................................... 33
Gambar 3.1 : Kerangka Konsep ....................................................................... 34

v
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Izin Pengambilan Data Awal
Lampiran 2 : Surat Informed Consent
Lampiran 3 : Surat Permohonan Menjadi Responden
Lampiran 4 : Kuesioner
Lampiran 5 : Lembar Konsultasi

vi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Khitan sering diartikan “sunat” merupakan amalan atau praktek yang

sudah dikenal di masyarakat manusia dan diakui agama-agama di dunia.

Khitan tidak hanya diberlakukan untuk laki-laki, tapi juga terhadap

perempuan. Dalam berbagai kebudayaan sering kali dipandang sebagai

peristiwa sakral seperti halnya perkawinan. Kesakralannya tampak adalah

hal-hal yang dilakukan untuk itu. Akan tetapi, fenomena kesakralan dengan

upacaranya itu memang terlihat hanya berlaku pada khitan anak laki-laki.

Sunat atau sirkumsisi pada perempuan merupakan suatu fenomena yang

sudah berabad-abad tahun yang lalu dilaksanakan bahkan memang sudah

berakar pada masyarakat tertentu sehingga kebiasaan ini sulit untuk

dihilangkan (Permata, dkk, 2022).

Secara global paling tidak 100 juta lebih ana-anak perempuan mengalami

risiko sunat perempuan pada setiap tahun nya atau hampir 6000 anak setiap

harinya. Sunat perempuan yang dilakukan dilakukan di Indonesia umumnya

di dasari oleh adanya tradisi atau budaya masyarakat yang diwariskan secara

turun temurun (Heryani, 2017). Praktik sunat pada bayi perempuan atau yang

biasa disebut dengan Female Genital Mutilation (FGM) atau lebih dikenal

dengan sirkumsisi yaitu suatu tindakan memotong, menghilangkan sebagian

atau seluruh klitoris maupun perlukaan lainnya. Sirkumsisi pada perempuan

dilakukan atas dasar budaya atau indikasi non-teurapetik (Uddin, 2019).

1
2

Sirkumsisi perempuan dalam data Riset Kesehatan Dasar menunjukkan

hasil yang mencengangkan. Sebanyak 51,2% anak perempuan usia 0-11 tahun

di Indonesia pernah mengalami praktik sirkumsisi. Kemudian 72,4% di

antaranya mengalami sirkumsisi pada usia 1-5 bulan, 13,9% pada usia 1-4

tahun, serta 3,3% pada usia 5-11 tahun (Kemenkes RI, 2019). Survei yang

sama menunjukkan bahwa praktik sirkumsisi perempuan paling banyak

terjadi di Gorontalo, yaitu 83,7%, kemudian Bangka Belitung (83,2%), Jawa

Barat (79,2%), Kalimantan Selatan (78,7%), dan Nusa Tenggara Barat

(68,7%). Data dari Riset Kesehatan Dasar Nasional menunjukkan petugas

medis melakukan lebih dari separuh atau 53,2% dari sunat perempuan yang

dilaporkan. Dari persentase tersebut 50,9% dilakukan oleh bidan, 46,8% oleh

dukun bayi atau penyunat tradisional dan 2,3% oleh petugas medis lainnya

(Anonim, 2018).

Sirkumsisi pada perempuan sebenarnya sudah tidak diperbolehkan sejak

tahun 2006 dengan Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes

RI, mengenai larangan medikalisasi sunat atau sirkumsisi pada perempuan

bagi petugas kesehatan. Karena menurut surat edaran tersebut, praktik ini

tidak memiliki manfaat bagi kesehatan dan justru malah menyakitkan.

Tembusan juga diberikan kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan RI dan

Ketua Komnas, hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan

terhadap kekerasan bagi perempuan.

Direktur Bina Kesehatan Ibu yaitu dr.Ina Herawati memberikan penjelasan

mengenai perihal Permenkes nomer 1636 tahun 2010 tentang sirkumsisi pada

perempuan di Komnas Perempuan bahwa sunat atau sirkumsisi pada


3

perempuan memang tidak di kenal dalam dunia medis. Maka dari itu sunat

perempuan dilarang keras mengkauterisasi, memotong atau merusak klitoris.

Selain itu memotong atau merusak labia mayora, labia minora, hymen atau

selaput dara dan vagina. Pada tahun 2010 Kementerian Kesehatan Indonesia

sempat melegalkan izin praktik sirkumsisi. Akan tetapi pada tahun 2014

Kementerian Kesehatan Indonesia mencabut kembali izin praktik tersebut

karena memang tidak memiliki manfaat sama sekali dan bisa menimbulkan

dampak yang tidak baik bagi kesehatan reproduksi perempuan. Menimbang

dari peraturan tersebut seharusnya sudah tidak ada lagi yang melakukan

praktik ini. Tetapi pada kenyataannya perilaku orang tua melakukan praktik

sirkumsisi pada bayi perempuannya masih banyak dilakukan. Hal ini

dikarenakan kurangnya sosialisasi pemerintah kepada masyarakat (Kemenkes

RI, 2019).

Sirkumsisi juga tidak memberikan manfaat bagi kesehatan malah

menimbulkan dampak yang tidak baik. Sirkumsisi dapat mengurangi

sensitivitas dan mengurangi libido saat berhubungan seksual. Sirkumsisi

secara berlebihan dapat menimbulkan risiko pendarahan, infeksi, kesulitan

buang air kecil, serta infeksi saluran kemih. Sedangkan dalam jangka panjang

dapat memicu trauma emosi, kesulitan melakukan hubungan seksual,

melahirkan serta gangguan masalah kesuburan rahim dan juga kelahiran bayi

mereka (Putranti, 2020).

Masyarakat sangat erat kaitannya dengan perilaku. Perilaku merupakan

perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh manusia yang dapat diamati

secara langsung, seperti perilaku orang tua. Perilaku kesehatan ditentukan


4

oleh tiga faktor, yaitu faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, kepercayaan,

keyakinan, nilai-nilai dan faktor kesehatan demografi seperti status sosial

ekonomi, usia, jenis kelamin, paritas), faktor pendukung (tersedia atau tidak

tersedianya fasilitas-fasilitas kesehatan, keadaan lingkungan), faktor

pendukung (sikap dan perilaku dari pada petugas kesehatan). Perilaku orang

tua berkaitan dengan tindakan yang dilakukan oleh orang tua itu sendiri

dalam mengambil suatu keputusan, salah satunya keputusan dalam

melakukan sirkumsisi pada bayi perempuan. Dalam penelitian yang dilakukan

oleh Milasari dari 106 responden didapatkan bahwa perilaku orang tua dalam

melakukan sirkumsisi pada anak perempuannya berperilaku kurang yaitu

sebanyak 83 orang atau 78,3%, berperilaku sedang sebanyak 20 orang atau

18,9%, dan baik 3 orang atau 2,8% (Wulansari, 2017).

Khaqiqi dalam penelitiannya menggunakan metode penelitian analisis non

intervensi didapatkan hasil bahwa orang tua masih memiliki perilaku yang

masih kurang karena masih melakukan sirkumsisi pada bayi perempuannya,

adapun faktor tersebut karena factor usia, pendidikan, pekerjaan dan

kuintilindeks kepemilikan dan daerah tempat tinggal (Khaqiqi, 2018).

Salah satu faktor yang mempengaruhi sikap adalah budaya, karena tanpa

di sadari budaya telah menanamkan garis pengarah sikap terhadap masalah

yang terjadi (Wulansari, 2017). Budaya adalah suatu adat istiadat dan cara

hidup yang berkembang dan dimiliki bersama di dalam masyarakat dan

diwariskan secara turun temurun. Dalam penelitian Rokhmah Islamiyatun

yang menggunakan metode kualitatif didaerah Desa Baddui Sulawesi Selatan,

masyarakat pada umumnya melakukan sirkumsisi mengatas dasar tradisi jadi


5

tidak bias menolak. Budaya yang melekat tersebut berkaitan erat dengan

agama islam, bahwa belum silam jika tidak melakukan sunat (Debora, 2022).

Budaya daerah Indonesia sendiri percaya bahwa sirkumsisi pada anak

perempuan memilkii tujuan agar anak tidak liar ataupun menstabilkan hasrat

seksualitas agar tidak berlebihan dan dapat terkendali dapat terkontrol dengan

baik sesuai dengan norma dan adat istiadat masyarakat Indonesia (Abdullah,

2016). Banyak daerah-daerah di Indonesia yang masih mempraktikkan

sirkumsisi pada anak perempuan, salah satu daerah yang masih memiliki

tradisi atau budaya sunat pada anak perempuan adalah Provinsi Sumatera

Barat tepatnya Kabupaten Pasaman Barat, di daerah ini banyak

keanekaragaman budaya, salah satunya masih melakukan praktik khitan pada

anak perempuan hingga saat ini.

Berdasarkan observasi awal yang peneliti lakukan di wilayah kerja

Puskesmas Ranah Salido, daerah ini memiliki fasilitas kesehatan dan tenaga

medis yang memadai, dan tingkat pendidikan masyarakat masih relatif rendah

hal ini berpengaruh pada sisi kesehatan kurang diperhatikan karena

kurangnya pengetahuan tentang bahaya sunat pada anak perempuan. Selain

itu masyarakat juga mengatakan bahwa sunat pada anak perempuan karena

alsana seperti adat yang sudah ada sejak turun temurun dan sangat sulit untuk

dihilangkan walaupun banyak problematika terhadap praktik khitan atau

sunat pada anak perempuan (Laporan Puskesmas Ranah Salido, 2022).

Pelaksanaan sirkumsisi pada bayi perempuan di BPM “M” wilayah kerja

Puskesmas Ranah Salido ini masih terus dilakukan oleh masyarakat, banyak

hal yang dipertimbangkan seperti atas nama budaya dan agama. Hal ini
6

menjadi menarik karena masyarakat masih melakukan praktik ini mengingat

sudah banyak kalangan yang mengkaji bahwa tidak adana dampak positif dari

praktik khitan perempuan dari sisi medis, namun masyarakat tetap melakukan

tradisi tersebut.

Menurut data dari BPM “M”, selama ini pada tahun 2021 didapatkan bayi

perempuan berumur 0-12 bulan sebanyak 39 orang bayi dan semua bayi (100

%), melakukan sirkumsisi, tahun 2022 dari 75 bayi perempuan didapatkan 37

bayi (51,5%) dilakukan sirkumsisi oleh orang tuanya, pada tahun 2022 ini

beberapa orang tua sudah mulai paham dan mengerti bahwa sirkumsisi tidak

dilakukan pada bayi perempuan. Dari data BPM “M” bayi yang dilakukan

sirkumsisi yaitu pada usia 0-3 bulan dan langsung ditindik. Berdasarkan hasil

tersebut menandakan bahwa sirkumsisi masih dilakukan pada bayi

perempuan meskipun sudah ada pengurangan (Laporan BPM “M”, 2022).

Berdasarkan studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan kepada 10

orang ibu yang memiliki bayi 0-1 tahun melakukan sirkumsisi pada bayi

perempuannya sejak usia 2 minggu sampai dengan 5 bulan karena alasan

sudah menjadi suatu keharusan, budaya turun temurun, kebiasaan, dan ada

juga tidak mengetahui alasannya karena mengikuti yang lain. Padahal

seblumnya petugas kesehatan sudah menjelaskan bahwa dalam ilmu

kesehatan suat pada perempuan sudah tidak dibolehkan lagi.

Berdasarkan uraian diatas yang terjadi maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian berjudul tentang Hubungan Pengetahuan Dan Sosial

Budaya Dengan Perilaku Orang Tua Melakukan Sirkumsisi Pada Bayi


7

Perempuan di BPM “M” Wilayah Kerja Puskesmas Ranah Salido Tahun

2023.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan di atas, maka di rumuskan masalah penelitian

sebagai berikut, apakah ada “Hubungan Pengetahuan Dan Sosial Budaya

Dengan Perilaku Orang Tua Melakukan Sirkumsisi Pada Bayi Perempuan di

BPM “M” Wilayah Kerja Puskesmas Ranah Salido Tahun 2023”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Hubungan Pengetahuan Dan Sosial Budaya Dengan

Perilaku Orang Tua Melakukan Sirkumsisi Pada Bayi Perempuan di BPM

“M” Wilayah Kerja Puskesmas Ranah Salido Tahun 2023.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya Distribusi Frekuensi Perilaku Orang Tua Melakukan

Sirkumsisi Pada Bayi Perempuan di BPM “M” Wilayah Kerja

Puskesmas Ranah Salido Tahun 2023.

b. Diketahuinya Distribusi Frekuensi Pengetahuan Orang Tua di BPM

“M” Wilayah Kerja Puskesmas Ranah Salido Tahun 2023.

c. Diketahuinya Distribusi Frekuensi Sosial Budaya di BPM “M” Wilayah

Kerja Puskesmas Ranah Salido Tahun 2023.


8

d. Diketahui Hubungan Pengetahuan Dengan Perilaku Orang Tua

Melakukan Sirkumsisi Pada Bayi Perempuan di BPM “M” Wilayah

Kerja Puskesmas Ranah Salido Tahun 2023.

e. Diketahui Hubungan Sosial Budaya Dengan Perilaku Orang Tua

Melakukan Sirkumsisi Pada Bayi Perempuan di BPM “M” Wilayah

Kerja Puskesmas Ranah Salido Tahun 2023.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Responden

Penelitian ini diharapkan dapat untuk menambah wawasan responden

tentang sirkumsisi pada bayi perempuan, bahwa bayi perempuan tidak

perlu dilakukan ssirkumsisi karena akan berdampak terhadap kesehatan

reproduksinya.

2. Bagi Peneliti

Sebagai pengembangan kemampuan peneliti dan menambah

pengetahuan peneliti tentang sirkumsisi pada bayi perempuan yang dapat

dinilai dari berbagai aspek.

3. Bagi Puskesmas

Sebagai bahan masukan bagi puskesmas dan tenaga kesehatan

setempat mengenai sirkumsisi pada bayi perempuan yang sudah menjadi

pro dan kontra di masyarakat bahwan sirkumsisi tidak dilakukan pada bayi

perempuan.

4. Bagi Institusi Pendidikan


9

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan informasi

khususnya tentang sirkumsisi pada bayi perempuan dan sebagai acuan

bagi penelitian selanjutnya.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Pengetahuan Dan

Sosial Budaya Dengan Perilaku Orang Tua Melakukan Sirkumsisi Pada Bayi

Perempuan di BPM “M” Wilayah Kerja Puskesmas Ranah Salido Tahun

2023. Jenis penelitian ini yaitu deskriptif analitik dengan desain Cross

Sectional Study. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Tahun 2023

yang bertempat di BPM “M” Wilayah Kerja Puskesmas Ranah Salido

Kabupaten Pasaman Barat. Populasi penelitian ini adalah seluruh bayi

perempuan usia 0-12 bulan yang berjumlah 75 orang. Dengan jumlah sampel

sebanyak 75 orang dengan teknik pengambilan sampel secara Total Sampling.

Pengumpulan dan pengolahan data secara komputerisasi. Analisa data yang

digunakan adalah analisa univariat dan bivariat.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sosial Budaya

1. Pengertian

Kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan

dengan akal. Budaya merupakan perkembangan majemuk dari budidaya

yang berarti daya dari budi sehingga dibedakan antara budaya yang

berarti daya dari budi berupa cipta, karsa, dan rasa dan kebudayaan yang

berarti hasil dari cipta, karsa dan rasa (Munandar, 2015).

Kebudayaan atau peradaban mengandung pengertian yang luas

meliputi pemahaman, perasaan suatu bangsa yang kompleks meliputi

pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat (kebiasaan)

dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat

(Ranjabar, 2018).

Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang

harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi

karyanya itu. Kebudayaan merupakan keseluruhan total dari apa yang

pernah dihasilkan oleh mahluk manusia yang menguasai planet ini sejak

jaman ia muncul di muka bumi kira-kira empat juta tahun yang lalu,

sampai sekarang (perkiraan waktu munculnya manusia di muka bumi ini,

adalah hasil analisa-analisa terbaru metode potassium-argon untuk

mengukur umur lapisan lapisan bumi) (Syaifudin, 2019).

10
11

2. Unsur-Unsur Kebudayaan

Menurut Ranjabar (2018), Setiap kebudayaan mempunyai tujuh unsur

dasar, yaitu:

a. Kepercayaan

Kepercayaan berkaitan dengan pandangan tentang bagaimana

dunia ini beroperasi. Kepercayaan itu bisa berupa pandangan-

pandangan atau interpretasiinterpretasi tentang masa lampau, bisa

berupa penjelasan-penjelasan tentang masa sekarang, bisa berupa

prediksi-prediksi tentang masa depan, dan bisa juga berdasarkan

common sense, akal sehat, kebijaksanaan yang dimiliki suatu bangsa,

agama, ilmu pengetahuan, atau semua kombinasi antara semua hal

tersebut.

Kepercayaan membentuk pengalaman, baik pengalaman pribadi

maupun pengalaman sosial. Orang barat misalnya, percaya bahwa

waktu tak dapat berbalik atau berulang. Mereka mempunyai persepsi

waktu liniear, yakni bahwa waktu bergerak lurus kedepan. Waktu

bergerak dari suatu titik awal menuju ke suatu titik tujuan (akhir).

Waktu bergerak kedepan karena itu ada kemajuan.Di sini orang tidak

percaya pada nasib maupun takdir.Tetapi kemajuan dan perubahan

masyarakat tergantung pada usaha dan kerja keras manusia.

b. Nilai

Jika kepercayaan menjelaskan apa itu sesutu, nilai menjelaskan apa

yang seharusnya terjadi. Nilai itu luas, abstrak, standar kebenaran

yang harus dimiliki, yang diinginkan, dan yang layak dihormati.


12

Meskipun mendapat pengakuan luas, nilai-nilai pun jarang ditaati oleh

setiap anggota masyarakat. Namun nilailah yang memutuskan suasana

kehidupan kebudayaan dan masyarakat. Nilai mengacu pada apa atau

sesuatu yang oleh manusia dan masyarakat dipandang sebagai yang

paling berharga. Dengan perkataan lain, nilai itu berasal dari

pandangan hidup suatu masyarakat. Pandangan hidup ini berasal dari

sikap manusia terhadap Tuhan, terhadap alam semesta, dan terhadap

sesamanya.Sikap ini dibentuk melalui pelbagai pengalaman yang

menandai sejarah kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Karena

pengalaman yang membentuk suatu masyarakat itu berbeda-beda dari

bangsa yang satu ke bangsa yang lain, maka berbeda pula pandangan

hidup bangsa yang satu dari bangsa yang lan. Perbedaan pandangan

inilah yang pada gilirannya menimbulkan perbedaan nilai di antara

masyarakat.masyarakat kita misalnya, sangat menjunjung tinggi apa

yang disebut kekeluargaan, keselarasan dan gotong royong.

Sedangkan masyarakat Barat sangat mengagungkan

individualisme. Jika loyalitas terhadap keluarga merupakan pusat

kehidupan masyarakat Timur, masyarakat Barat justru beranggapan

bahwa tanggung jawab utama seseorang adalah kepada dirinya

sendiri, bukan kepada orang tua, kakek dan nenek, saudara dan

saudari, tante dan om. Jika masyarakat kita menekankan kerjasama,

masyarakat Barat lebih menonjolkan upaya-upaya individual,

prestasi-prestasi individual. Namun tak boleh dilupakan bahwa

manusia dan masyarakat mana pun umumnya memperjuangkan dan


13

membela nilai-nilai dasar yang sama, seperti cinta, kebaikan,

keindahan, keadilan, persaudaraan, persahabatan, persatuan,

perdamaian, dan sebagainya. Nilai-nilai dasar inilah yang menyatukan

manusia dari pelbagai latar belakang kebudayaan. Perjuangan ini

menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki martabat dan

cita-cita yang sama.

c. Norma dan Sanksi

Norma adalah standar yang ditetapkan sebagai garis pedoman bagi

setiap aktivitas manusia-lahir dan kematian, bercinta dan berperang,

apayang harus dimakan dan apa yang harus dipakai, kapan dan

dimana orang bisa bercanda, melucu, dan sebagainya. Jika norma-

norma adalah garis pedoman, sanksi-sanksi merupakan kekuatan

penggeraknya. Sanksi adalah ganjaran ataupun hukuman yang

memungkinkan orang mematuhi norma. Sanksi-sanksi itu bersifat

formal bisa juga bersifat nonformal. Pelanggaran terhadap norma dan

mendatangankan sanksi-sanksi tertentu. Tanpa sanksi, norma-norma

kehilangan kekuatan.

d. Teknologi

Pengetahuan dan teknik-teknik suatu bangsa dipakai untuk

membangun kebudayaan materialnya.Dengan pengertahuan dan

teknik-teknik yang dimilikinya, suatu bangsa membangun lingkungan

fisik, sosial, dan psikologis yang khas. Sebagai hasil penerapan ilmu,

teknologi adalah cara kerja manusia. Dengan teknologi manusia

secara insentif berhubungan dengan alam dan membangun


14

kebudayaan dunia sekunder yang berbeda dengan dunia primer

(alam). Dewasa ini teknologi mempunyai pengaruh yang besar

terhadap manusia, tidak hanya terhadap cara hidup manusia tetapi

juga menentukan teknologi berikutnya.

e. Simbol

Simbol adalah sesuatu yang dapat mengekspresikan atau

memberikan makna sebuah salib atau suatu patung Budha, suatu

konstitusi, suatu bendera.Banyak simbol berupa objek-objek fisik

yang telah memperoleh makna kultural dan dipergunakan untuk

tujuan-tujuan yang lebih bersifat simbolik ketimbnag tujuantujuan

yang bersifat instrumental. Simbol-simbol seperti bendera atau salib

menampakkan kepercayaan, nilainilai, dan norma-norma kultural, dan

mengandung banyak arti. Simbol-simbol lain seperti tanda-tanda lalu

lintas mempunyai arti yang lebih sempit dan spesifik.Objek yang

sama kalau dipakai untuk tujuan yang sama pun bisa berbeda sekali

artinya dalam lingkungan kebudayaan yang berbeda.

f. Bahasa

Bahasa merupakan sarana utama untuk menangkap

mengkomunikasikan, mendiskusikan, mengubah, dan mewariskan

arti-arti ini kepada generasi baru.Kemampuan untuk melakukan

komunikasi simbolik, khususnya melalui bahasa, membedakan

manusia dari hewan.Namun komunikasi yang dilakukan oleh hewan

itu merupakan respon-respon langsug terhadap peristiwa-peristiwa di

lingkungan sekitarnya, yang terprogram secara genetik. Namun


15

bahasa bukan sekedar sarana komunikasi atau sarana

mengekspresikan sesuatu.Dengan bahasa manusia menciptakan

duniannya yang khas manusiawi (kebudayaan). Dengan bahasa

manusia membangun cara berpikir, dengan bahasa manusia bahkan

menciptakan dirinya sendiri.

Semua bahasa mempunyai aturan-aturan tertentu untuk membuat

pernyataan, untuk mengajukan pertanyaan, untuk mengingkari

sesuatu, untuk memakai ungkapan pasif atau aktif, dan sebagainya.

Namun berfikir tanpa bahasa adalah nonsense. Bahkan untuk

bermimpi pun diperlukan bahasa.Tanpa bahasa kita tak pernah tau

tentang mimpi, jadi didalam tidur pun manusia tetap membutuhkan

bahasa.

g. Kesenian

Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal

dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan

mataataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa

tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari

yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.

Perhatian ahli antropologi mengenai seni bermula dari penelitian

etnografi mengenai aktivitas kesenian suatu masyarakat tradisional.

Deskripsi yang dikumpulkan dalam penelitian tersebut berisi

mengenai benda-benda atau artefak yang memuat unsur seni, seperti

patung, ukiran, dan hiasan. Penulisan etnografi awal tentang unsur

seni pada kebudayaan manusia lebih mengarah pada teknik-teknik


16

dan proses pembuatan benda seni tersebut. Selain itu, deskripsi

etnografi awal tersebut juga meneliti perkembangan seni musik, seni

tari, dan seni drama dalam suatu masyarakat.

Berdasarkan jenisnya, seni rupa terdiri atas seni patung, seni relief,

seni ukir, seni lukis, dan seni rias.Seni musik terdiri atas seni vokal

dan instrumental, sedangkan seni sastra terdiri atas prosa dan puisi.

Selain itu, terdapat seni gerak dan seni tari, yakni seni yang dapat

ditangkap melalui indera pendengaran maupun penglihatan. Jenis seni

tradisional adalah wayang, ketoprak, tari, ludruk, dan lenong.

Sedangkan seni modern adalah film, lagu, dan koreografi.

h. Religi

Asal mula permasalahan fungsi religi dalam masyarakat adalah

adanya pertanyaan mengapa manusia percaya kepada adanya suatu

kekuatan gaib atau supranatural yang dianggap lebih tinggi daripada

manusia dan mengapa manusia itu melakukan berbagai cara untuk

berkomunikasi dan mencari hubungan-hubungan dengan kekuatan-

kekuatan supranatural tersebut. Dalam usaha untuk memecahkan

pertanyaan mendasar yang menjadi penyebab lahirnya asal mula religi

tersebut, para ilmuwan sosial berasumsi bahwa religi suku-suku

bangsa di luar Eropa adalah sisa dari bentuk-bentuk religi kuno yang

dianut oleh seluruh umat manusia pada zaman dahulu ketika

kebudayaan mereka masih primitif.

3. Skala Pengukuran Sosial Budaya


17

Skala yang digunakan untuk mengukur sosial budaya pada

penelitian ini menggunakan skala Guttman. Skala ini dikembangkan oleh

Louis Guttman. Skala ini mempunyai ciri penting, yaitu merupakan skala

kumulatif dan mengukur satu dimensi saja dari satu variabel yang multi

dimensi, sehingga skala ini termasuk mempunyai sifat unidimensional.

Skala Guttman yang disebut juga metode scalogram atau analisa skala

(scale analysis) sangat baik untuk meyakinkan peneliti tentang kesatuan

dimensi dari sikap atau sifat yang diteliti, yang sering disebut isi universal

(universe of content). Skala Guttman merupakan skala yang digunakan

untuk jawaban yang bersifat jelas, tegas dan konsisten. Misalnya: yakin-

tidak yakin, ya-tidak, mendukung-tidak mendukung, setuju-tidak setuju

dan lain sebagainya (Arikunto, 2017). Pernyataan sosial budaya dengan

kriteria penilaian sebagai berikut: 1 apabila Ya, 0 apabila tidak ada,

dimana skor dukungan dihitung dengan:

Dengan kategori :

Berpengaruh bila skor > Mean

Tidak Berpengaruh bila skor ≤ Mean

B. Pengetahuan

1. Defenisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari setelah tahu, dan ini terjadi orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan

terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui mata dan telinga. (Notoadmojo, 2010).


18

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk dalam

menentukan tindakan seseorang. Berdasarkan pengalaman dan penelitian

terbukti bahwa perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih

langgeng dari perilaku yang tidak didasarkan oleh pengetahuan

(Notoatmodjo, 2010).

2. Pembagian Pengetahuan

Pengetahuan yang dicakup didalam domain kognitif mempunyai 6

tingkatan (Notoatmodjo, 2010) :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya atau pengetahuan menginggat kembali terhadap apa yang

telah diterima yang bisa dikatakan suatu kata kerja untuk mengukur

tingkat pengetahuan seseorang atau si ibu tentang apa yang telah

dipelajari.

b. Memahami (comprehenssion)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang objek yang diketahui.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi yang sebenarnya.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan menjabarkan materi atau suatu

objek kedalam komponen-komponen.


19

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis adalah suatu komponen untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi yaitu kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian

terhadap suatu materi atau objek.

3. Kategori Tingkat Penilaian

Dalam membuat kategori tingkat pengetahuan dikelompokkan

menjadi dua kelompok jika yang diteliti masyarakat umum, yaitu sebagai

berikut :

a. Tingkat pengetahuan kategori baik jika nilainya > 50%

b. Tingkat pengetahuan kategori kurang baik jika nilainya ≤ 50%

(Budiman, 2013).

C. Sunat Perempuan

1. Pengertian Sunat Perempuan

Banyak konsep yang digunakan untuk menjelaskan tentang sunat

perempuan. Dalam Islam khitan atau sunat berasal dari bahasa arab “Al-

khitan” yang merupakan isim masdar dari kata kerja “Khatana” yang

berarti memotong. Khitan pada perempuan dilakukan dengan cara

memotong bagian atas (klentit) dari kemaluan (faraj) (Jendrius, dkk,

2017).

Khitan perempuan adalah memotong sedikit kulit labia minora atau

preputium clitoridis di atas uretra di farji atau kemaluan. Kata lain yang
20

sering digunakan adalah sunat dan istilah lain yang kurang dikenal yaitu

khifad yang berasal dari kata khafd, istilah ini khusus untuk khitan

perempuan (Gani, 2015).

Secara internasional sunat perempuan dikenal dengan istilah

female genital cutting (FGC) atau genital mutilation. Genital cutting

adalah pemotongan alat kelamin sedangkan genital mutilation identik

dengan perusakan alat kelamin. FGC merupakan segala prosedur

menghilangkan sebagian atau seluruh bagian alat kelamin luar perempuan

atau perlukaan organ genital perempuan baik karena didasari oleh alasan

kebudayaan atau alasan nonmedis lainnya (Juli, 2016).

2. Tipe-tipe Sunat Perempuan

Menurut WHO (2015), mengklasifikasikan bentuk FGC dalam 4 tipe,

yaitu :

a. Tipe I : Clitoridotomy, yaitu eksisi dari permukaan (prepuce) klitoris

dengan atau tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris. Dikenal juga

dengan istilah “hoodectomy”.

b. Tipe II : Clitoridectomy, yaitu eksisi sebagian atau total dari labia

minora. Banyak dilakukan di Negara-negara bagian Afrika Sahara,

Afrika Timur, Mesir, Sudan, dan Peninsula.

c. Tipe III: Infibulasi/Pharaonic Circumcision/Khitan ala Firaun, yaitu

eksisi sebagian atau seluruh bagian genitalia eksterna dan penjahitan

untuk menyempitkan mulut vulva. Penyempitan vulva dilakukan

dengan hanya menyisakan lubang sebesar diameter pensil, agar darah

saat menstruasi dan urine tetap bisa keluar.


21

d. Tipe IV: Tidak terklarifikasi, termasuk di sini adalah menusuk dengan

jarum baik di permukaan saja ataupun sampai menembus, atau insisi

klitoris dan atau labia meregangkan (stretching) klitoris dan atau

vagina, kauterisasi klitoris dan jaringan sekitarnya, menggores

jaringan sekitar introitus vagina (angurya cuts) atau memotong vagina

(gishiri cut), memasukkan benda korosif atau tumbuh-tumbuhan agar

vagina mengeluarkan darah, menipis, dan menyempit.

Tipe I dan III adalah tipe yang paling sering dilakukan di berbagai

negara., prosedur yang paling sering dilakukan adalah tipe II dan tindakan

yang sering dilakukan oleh tenaga medis adalah tipe IV (Juli, 2016).

3. Prosedur Sunat Perempuan

Prosedur penyunatan yang umum dilakukan dalam praktek sunat

perempuan di antaranya:

a. Memotong sedikit puncak klitoris

b. Mencongkel atau melukai klitoris

c. Mengorek lender atau selaput kulit klitoris

d. Menusuk dengan jarum atau ujung pisau untuk mengeluarkan setetes

darah (Jendrius, 2017).

4. Pelaksanaan Sunat Perempuan

Pelaksaan sunat perempuan sangat bervariasi, mulai dilakukan oleh

tenaga medis (perawat, bidan, maupun dokter), dukun bayi dan

dukun/tukang sunat dengan menggunakan alat-alat tradisional seperti


22

pisau, sembilu, bambu, kaca dan kuku, hingga alat modern seperti gunting

dan skapula, pelaksanaannya dengan atau tanpa anastesi.

Usia pelaksanaannya juga bervariasi mulai dari neonates, anak usia

6-10 tahun, remaja, hingga dewasa. Masyarakat di Indonesia melakukan

sunat perempuan pada usia anak 0-18 tahun, tergantung budaya setempat.

Namun pada umumnya sunat perempuan dilakukan pada bayi setelah

dilahirkan. Di Jawa dan Madura, sunat perempuan 70% dilaksanakan

pada anak usia kurang dari satu tahun (Juliansyah, 2018).

5. Alasan Pelaksanaan Sunat Perempuan

Sunat perempuan merupakan perpaduan budaya dan tradisi yang

timbul sejak dahulu dari berbagai nilai, khususnya nilai agama dan nilai

budaya. Alasan- alasan yang menyebabkan terpelihara dan tetap

berlangsungnya sunat perempuan yaitu agama, adat, mengurangi hasrat

seksual, kesehatan, keindahan dan kesuburan. Secara umum perempuan

yang masih memelihara praktek sunat pada perempuan adalah perempuan

yang hidup dalam masyarakat tradisional di wilayah pedalaman. WHO

(Dalam Juliansyah, 2018) membedakan alasan pelaksanan sunat

perempuan menjadi lima kelompok, yaitu:

a. Psikoseksual

Pemotongan klitoris diharapkan akan mengurangi libido pada

perempuan, mengurangi atau menghentikan masturbasi, menjaga

kesucian dan keperawanan sebelum menikah, kesetiaan sebagai istri,

dan meningkatkan kepuasan seksual bagi laki-laki.

b. Sosio logi
23

Melanjutkan tradisi, menghilangkan hambatan dan kesialan bawaan,

sama peralihan pubertas atau wanita dewasa, dan lebih terhormat.

c. Hygiene

Organ genitalia eksterna dianggap kotor dan tidak bagus bentuknya,

sunat dilakukan untuk meningkatkan kebersihan dan keindahan.

d. Mitos

Meningkatkan kesuburan dan daya tahan anak

e. Agama

Dianggap sebagai perintah agama, agar ibadahnya lebih diterima.

6. Resiko Sunat Perempuan

Menurut Koblinsky (2015) Resiko yang timbul akibat sirkumsisi

pada wanita dapat berupa perdarahan, tetanus, infeksi yang disebabkan

oleh alat yang digunakan tidak steril, dan syok karena rasa nyeri saat

dilakukan tindakan tanpa anastesi. Dalam pandangan medis kegiatan

sunat pada perempuan dapat membahayakan, karena menyangkut

menghilangkan alat vital pada perempuan. Dari tindakan sunat perempuan

dapat mengakibatkan komplikasi yang bersifat jangka panjang pada

perempuan seperti: Kesulitan menstruasi, infeksi saluran kemih kronis,

kemandulan, disfungsi seksual, kesulitan saat hamil dan persalinan, dan

meningkatkan resiko tertular HIV. Selain berdampak secara medis, sunat

perempuan juga dapat menimbulkan dampak yang bersifat psikoseksual,

psikologis, dan sosial (Gani, 2015).

Ditinjau dari segi medis dan kesehatan, sunat perempuan tidak ada

manfaat dan kegunaan. Berbeda dengan dengan sunat yang dilakukan


24

pada laki- laki yaitu berguna untuk menjaga kebersihan dari alat kelamin

luar (Juli, 2016). Sehubungan dengan masalah tersebut, sebaiknya

dilakukan program edukasi tentang sunat pada anak perempuan di

masyarakat. Namun, tentu harus mempertimbangkan faktor budaya dari

masyarakat setempat.

7. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Sunat Perempuan

a. Psikoseksual

Seksualitas dalam arti yang luas ialah semua aspek badaniah,

psikologik dan kebudayaan yang berhubungan langsung dengan seks

dan hubungan seks manusia (Rosidi dkk, 2008). Klitoris adalah organ

yang sangat sensitif seperti ujung zakar. Organ ini juga bisa ereksi,

mampu meningkatkan libido dan nafsu birahi. Khitan yang dilakukan

pada perempuan diyakini dapat mengendalikan gejolak nafsu seksual,

terutama pada masa pubertas yang merupakan fase usia paling

berbahaya dalam kehidupan anak gadis (Hindi, 2018). Sunat pada

perempuan berawal dari keinginan laki-laki untuk mengendalikan

seksual wanita. Dalam tradisi masyarakat, laki- laki tidak akan

menikahi wanita yang belum disunat dan menganggap wanita tersebut

akan gemar bersetubuh de ngan siapa saja, tidak bersih dan tidak

layak dipercaya secara seksual. Female Genital Mutilation (FGM)

dipercaya dapat mengurangi hasrat sksual seorang perempuan

sehingga dapat mengurangi terjadinya praktek seksual diluar nikah.

Dalam masyarakat yang mempraktekkan sunat perempuan, seorang

perempuan yang tidak disunat tidak akan mendapatkan jodoh dan


25

kesetiaan perempuan yang tidak disunat sangat diragukan oleh

masyarakat (Ana, 2019).

Ada beberapa anggapan yang dipercayai masyarakat tentang

manfaat khitan perempuan yaitu: Mengurangi dan menghilangkan

jaringan sensitif dibagian luar kelamin terutama klitoris agar dapat

menahan keinginan seksualitas perempuan, memelihara kemurnian

dan keperawanan sebelum menikah, kesetiaaan di dalam pernikahan,

dan menambah kenikmatan seksual laki- laki. Namun, manfaat

tersebut tidak didasari fakta ilmiah (Gani, 2015).

Perilaku seksualitas yang normal ialah yang dapat menyesuaikan

diri bukan saja dengan tuntutan masyarakat, tetapi dengan kebutuhan

individu mengenai kebahagiaan dan pertumbuhan yaitu perwujudan

diri sendiri atau peningkatan kemampuan individu untuk

mengembangkan kepribadian menjadi lebih baik (Rosidi dkk, 2014).

Menurut Ilyas (2019) dorongan seksual seorang perempuan tidak

ditentukan oleh sunat atau tidaknya seorang perempuan, tetapi karena

faktor- faktor psikologis dan hormonal.

b. Sosiologi

Allan Jahnson (Herlinawati, 2014) mengatakan Sosiologi adalah

ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku,terutama dalam

kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagai mana sisten tersebut

mempengaruhi individu dan bagai mana pula orang yang terlibat

didalamnya mempengaruhi sistem tersebut. Secara sosiologis khitan

pada perempuan merupakan bagian dari identifikasi warisan budaya,


26

tahapan anak perempuan memasuki masa kedewasaan, integrasi sosial

dan memeliharaan kohesi sosial (Gani, 2015). Budaya dan tradisi

merupakan alasan utama dilakukannya sunat perempuan. Sunat

menentukan siapa saja yang dapat dianggap sebagai bagian dari

masyarakat, sehingga dianggap sebagai tahap inisiasi bagi perempuan

untuk memasuki tahap dewasa.

Dalam masyarakat yang mempraktekkan sunat perempuan

tindakan sunat dianggap sebagai hal yang biasa dan seorang

perempuan tidak akan dianggap dewasa sebelum melakukan sunat.

Seorang gadis yang tidak disunat akan menjadi bahan gunjingan oleh

masyarakat, mendapat anggapan negative sebagai perempuan yang

memiliki tingkah laku buruk, dan akan mengejar laki- laki. Bila

datang saatnya menikah, tidak ada laki-laki yang datang untuk

meminang. Saat ini khitan perempuan sebagai suatu kegitan yang

menjadi tradisi di masyarakat tentunya harus memiliki dasar yang

kuat, bukan sekedar tradisi masa lalu. Sebagian masyarakat sejak

jaman Nabi Ibrahim hingga saat ini masih melakukan tradisi sunat

perempuan dengan berlandaskan keagamaan dan taqwa kepada sang

khaliq (Gani, 2015).

c. Hygiene

Menurut kamus keperawatan hygiene merupakan ilmu pengetahuan

mengenai cara-cara mempertahankan dan melestarikan kesehatan,

khususnya melalui upaya menggalakkan kebersihan. Alasan

kebersihan, kesehatan dan keindahan merupakan dalih pembenaran


27

yang diakui oleh masyarakat untuk melakukan sunat perempuan.

Pemotongan klitoris dikaitkan dengan tindakan penyucian dan

pembersihan oleh masyarakat yang mempraktekkan sunat perempuan.

Seorang perempuan yang tidak disunat dianggap tidak bersih dan

tidak diperkenankan menyentuh makanan atau air (Lubis, 2016).

Dalam beberapa budaya menganggap alat kelamin perempuan yang

tidak disunat di pandang jelek dan najis. Sunat diyakini sebagai

prosedur membersihkan alat kelamin perempuan dan meningkatkan

kondisi estetikanya. Sunat perempuan juga menjadi alasan kesehatan,

kebersihan, dan keindahan alat kelamin perempuan. Sunat perempuan

melahirkan kebersihan dan kesucian. Kebersihan dan kesucian di balik

sunat, mencegah menumpuknya cairan lemak yang menjadi penyebab

peradangan pada daerah sensitive, uretra dan pada sistem reproduksi,

juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit- penyakit mematikan

(Hindi, 2018).

d. Mitos

Masalah lain dalam sunat perempuan yang perlu mendapat

perhatian adalah mitos-mitos yang mendasari pelaksaan sunat

perempuan. Masyarakat menyakini bahwa bila anak perempuan yang

tidak disunat kan menjadi nakal dan genit. Mitos lain yang

berkembang dimasyrakat yaitu sunat perempuan akan menjadikan

perempuan lebih feminin, mengontrol kegiatan seksual perempuan

dan menjadikan perempuan selalu tunduk kepada laki-laki (Aida,

2014).
28

Terdapat pula beberapa mitos yang menguatkan keberadaan sunat

perempuan. Mitos tersebut menempatkan perempuan sebagai makhluk

nomor dua yang yang tidak pantas mengapresiasikan kebutuhan

seksualnya, perempuan hanya sebagai pelengkap kepuasan seksual

laki- laki. Untuk alsan tersebut praktek sunat perempuan yang

memotong organ seks yang paling sensitive pada perempuan

dibenarkan (Prafitri, 2016).

Tindakan Famale Genital Mutilation (FGM) atau sunat perempuan

dipromosikan dapat meningkatkan kesehatan perempuan serta anak

yang dilahirkannya, dikatakan bahwa perempuan yang disunat akan

lebih subur dan mudah melahirkan. Pendapat ini merupakan mitos

yang dipercaya masyarakat dan tidak memiliki bukti medis (Ana,

2019).

e. Agama

Dalam Islam khitan perempuan lazim menggunakan bahasa khitan

yang diambil dari kata khatana yang berarti memotong, maksudnya

adalah memotong kulit yang menutup bagian ujung kemaluan dengan

tujuan bersih dari najis atau disebut dengan thahur yang artinya

membersihkan (Umar, 2013). Masyarakat mengganggap bahwa sunat

pada repempuan adalah bagian dari ajaran Islam, sama seperti laki-

laki. Dalam Al-Quran tidak ada ketegasan hukum mengenai sunat

perempuan, tetapi terdapat dalam hadits.

Beberapa kitab hadits dan fiqih memuat hadits- hadits yang

berkaitan dengan sunat perempuan, diantara lain yang diriwayatkan


29

oleh Ahmad Bin Hanbal: “Khitan itu dianjurkan untuk laki- laki

(sunnah), dan kehormatan bagi perempuan(makromah)”. Hadits lain

yaitu dari Abu Daud meriwayatkan: “Potong sedikit kulit atas dan

jangan potong terlalu dalam agar wajahnya lebih bercahaya dan lebih

disukai oleh suaminya. Namun hadits- hadits tersebut sanadnya tidak

ada yang mencapai derajat shahih (Gani, 2015).

Dalam analisis dalil tidak ada hadits yang shahih sebagai dasar

hukum sunat pada perempuan. Ulama- ulama mazhab berisikeras

menyatakan bahwa sunat pada perempuan adalah perbuatan mulia

untuk tidak mengatakan wajib. Beberapa ulama lain berpendapat,

bahwa khitan perempuan sebagai kehormatan. Artinya, sebagai

perbuatan mulia yang sangat baik untuk dikerjakan dan

meninggalkannya sama dengan mengundang penyakit dan keburukan.

Mengikuti ajaran Islam dalam perkara keci maupun besar adalah satu-

satunya jalan untuk mendapat keselamatan dari kehinaan dunia dan

azab akhirat (Hindi, 2018).

Landasan agama sebagai alasan pokok mengapa tradisi khitan pada

perempuan sampai sekarang masih dilaksanakan oleh sebagian

masyarakat, di antaranya adalah adanya kewajiban dalam Islam

walaupun sejarah menemukan sunat perempuan sudah ada sebelum

adanya Islam dan sebagai bagian dari proses mengislamkan, jika tidak

dikhitan tidak diperkenankan membaca Al-Quran dan melakukan

shalat lima waktu (Gani, 2018).


30

Atas nama agama dan kemashalatan, sunat pada perempuan

seharusnya tidak lagi dilanjutkan. Karena tidak memiliki dasar hadist

yang shahih, alasan medis yang kuat dan tidak sesuai dengan

rasionalitis kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan. Sunat

perempuan hanya diperbolehkan jika mendatangkan kemashalatan,

bila tidak sama saja dengan melukai anggota tubuh perempuan.

D. Perilaku

1. Pengertian

Menurut Blum dalam Adventus, dkk (2019) seorang ahli psikologi

pendidikan membagi perilaku kedalam tiga kawasan yaitu kawasan

tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Pembagian

kawasan ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikannya itu

mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku, yang terdiri

dari : ranah kognitif (cognitive domain) ranah afektif (affective domain),

dan ranah psikomotor (psychomotor domain).

Skinner dalam Inten (2018) membedakan adanya dua respon, yaitu:

a. Respondent response (reflexsive) yakni respon yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus ini disebut

eleciting stimulation karena menimbulkan respon yang relatif tetap,

misalnya makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan,

cahaya terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya.

Responden response ini juga mencangkup perilaku emosional,

misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih dan menangis,


31

lulus ujian meluapkan kegembiraanya dengan mengadakan pesta dan

sebagainya.

b. Operant response (instrumental response) yakni respon yang timbul

dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang

tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulator dan reinforce,

karena memperkuat respon. Misalnya seorang petugas kesehatan

melaksanakan tugasnya dengan baik (respon terhadap uraian

tugasnya) kemudian memperoleh penghargan diri atasannya maka

petugas kesehatan tersebut akan lebih baik lagi dalam melaksanakan

tugasnya.

Menurut Damayanti (2017) dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus

ini maka perilaku dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Perilaku tertutup (convert behavior) yakni respon seseorang terhadap

stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon

terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,

pengetahuan atau kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang

menerima stimulus tersebut belum dapat diamati secara jelas oleh

orang lain.

b. Perilaku terbuka (overt behavior) yakni respon seseorang terhadap

stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap

stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik,

dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.


32

2. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku

Menurut Lawrence Green dalam Damayanti (2017) kesehatan

seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu:

faktor perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non-behavior

causes). Perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor,

yakni:

a. Faktor predisposisi (predisposing factors)

Faktor ini dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap masyarakat

terhadap kesehatan, tradisi, dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-

hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut

masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat social ekonomi, dan

sebagainya. Faktor-faktor ini terutama yang positif mempermudah

terwujudnya perilaku, maka sering disebut faktor pemudah.

b. Faktor pendukung (enabling factors).

Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau

fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya air bersih, tempat

pembuangan tinja ketersediaan makanan yang bergizi, dan sebagainya,

termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah

sakit (RS), poliklinik, pos pelayanan terpadu (Posyandu), pos

poliklinik desa (Polindes), pos obat desa, dokter atau bidan praktik

swasta, dan sebagainya. Masyarakat perlu sarana dan prasarana

pendukung untuk berperilaku sehat. pendukung atau faktor

pemungkin. Kemampuan ekonomi juga merupakan faktor

pendukung untuk berperilaku kesehatan.


33

c. Faktor penguat (reinforcing factors).

Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat,

tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas

kesehatan, termasuk juga di sini Undang-undang, peraturan-peraturan,

baik dari pusat maupun pemerintah daerah, yang terkait dengan

kesehatan. Masyarakat kadang- kadang bukan hanya perlu

pengetahuan dan sikap positif serta dukungan fasilitas saja dalam

berperilaku sehat, melainkan diperlukan juga perilaku contoh atau

acuan dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para petugas,

lebih-lebih para petugas kesehatan. Undang-undang juga diperlukan

untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut, seperti perilaku

memeriksakan kehamilan dan kemudahan memperoleh fasilitas

pemeriksaan kehamilan.

3. Pembentukan Perilaku

Menurut Notoatmodjo dalam Damayanti (2017) dari pengalaman

dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan

akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari dengan

pengetahuan. Penulisan Roger mengungkapkan bahwa sebelum orang

mengadopsi perilaku baru di dalam diri orang tersebut tersebut terjadi

proses yang berurutan, yakni :

a. Awareness : Orang (subjek) menyadari dalam arti dapat mengetahui

stimulus (obyek) terlebih dahulu.


34

b. Interest : Orang ini sudah mulai tertarik kepada stimulus yang

diberikan. Sikap subyek sudah mulai timbul.

c. Evaluation: Orang tersebut mulai menimbang-nimbang baik dan

tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya sendiri. Berarti sikap

responden sudah mulai lebih baik.

d. Trial : Orang (subjek) mulai mencoba perilaku baru sesuai dengan apa

yang dikehendaki stimulus.

e. Adoption : Orang (subjek) tersebut telah berperilaku baru sesuai

dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.


35

E. Kerangka Teori

Kerangka terori dalam penelitian ini, dapat diuraikan sebagai berikut:

Faktor predisposisi:
- Pengetahuan
- Sikap
- Kepercayaan
- Nilai
- Sosial budaya
- Pendidikan

Perilaku orang
Pengetahuan orang tua
Faktor pemungkin: tua terhadap
tentang sirkumsisi pada
- Fasilitas sirkumsisi
bayi perempuan
kesehatan pada bayi
- Ketersediaan perempuan
Faktor yang
mempengaru sumber daya Dampak sirkumsisi pada
hi sirkumsisi kesehatan bayi perempuan
- Komitmen
orangtua bayi
- Keterampilan
yang terkait
dengan kesehatan

Faktor penguat:
- Dukungan
Keluarga
- Bidan
- Dukungan Kader
- Dukungan suami
- Petugas kesehatan

Gambar 2.1 Kerangka Teori


Sumber : Damayanti (2017)
BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian ini adalah kerangka pelaksanaan penelitian

dalam rangka melihat Hubungan Sosial Budaya Dengan Perilaku Orang Tua

Melakukan Sirkumsisi Pada Bayi Perempuan di BPM “M” Wilayah Kerja

Puskesmas Ranah Salido Tahun 2023. Berikut kerangka konsep penelitian ini:

Variabel Independen Variabel Dependen

Pengetahuan Perilaku Orang Tua


Melakukan Sikumsisi Pada
Bayi Perempuan

Sosial Budaya

Gambar 3.1
Kerangka Konsep

34
35

B. Defenisi Operasional

Tabel 3.1
Defenisi Operasional

Hasil Skala
Variabel Defenisi Operasinal Alat Ukur Cara Ukur
Ukur Ukur
Pengetahuan Segala sesuatu yang Kuesioner Wawancara Tinggi, bila Ordinal
diketahui orang tua nilai ≥ 50%
tentang sirkumsi pada
bayi perempuan
Rendah,
bila nilai <
50%
Sosial Kumpulan perilaku Kuesioner Wawancara Berpengaru Ordinal
Budaya masyarakat yang h, jika ≥
dilakukan secara terus mean
menerus oleh suatu
masyarakat dan Tidak
konsisten, faktor ini Berpengaru
muncul dari interaksi h, jika nilai
sosial di < mean
lingkungan sekitar.
Perilaku Kebiasaan orang tua Kuesioner Wawancara 0=Melakuk Ordinal
sikumsisi yang melakukan an
sikumsisi pada bayi sirkumsisi
perempuan.
1= Tidak
melakukan
sirkumsisi

C. Hipotesis Penelitian

Ha: Ada Hubungan Pengetahuan Dan Sosial Budaya Dengan Perilaku Orang

Tua Melakukan Sirkumsisi Pada Bayi Perempuan di BPM “M”

Wilayah Kerja Puskesmas Ranah Salido Tahun 2023.


36

H0: Tidak Ada Hubungan Pengetahuan Dan Sosial Budaya Dengan Perilaku

Orang Tua Melakukan Sirkumsisi Pada Bayi Perempuan di BPM “M”

Wilayah Kerja Puskesmas Ranah Salido Tahun 2023.


BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat Deskriptif Analitik yaitu melihat gambaran

fenomena yang terjadi dan mencoba menggali bagaimana fenomena itu bisa

terjadi,dengan desain cross sectional study. Dimana variabel independen dan

dependen dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2010).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di BPM “M” Wilayah Kerja Puskesmas

Ranah Salido.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juni Tahun 2023.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari objek yang akan diteliti atau yang akan

diselidiki (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh Ibu yang mempunyai bayi pempuan usia 0-1 tahun yang berjumlah

75 orang.

36
37

2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang

diteliti dan dianggap mewakili dari seluruh (Notoatmodjo, 2010). Jumlah

sampel dalam penelitian ini yaitu sebanyak 75 orang dengan teknik

pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah secara total sampling..

Kriteria dalam pengambilan sampel yaitu:

Kriteria Inklusi:

a. Ibu yang mempunyai bayi perempuan usia 0-12 bulan

b. Bersedia menjadi responden

c. Berada ditempat saat penelitian

Kriteria Eklusi:

a. Tidak bersedia menjadi responden

b. Tidak berada ditempat setelah 2 kali kunjungan

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Sumber Data

a. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden

dengan menggunakan kuesioner.

b. Data sekunder

Data yang diperoleh dari Laporan BPM “M”, Laporan

Puskesmas Ranah Salido, Dinas Kesehatan dan study dokumentasi.


38

E. Teknik Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, pengolahan data dilakukan dengan langkah –

langkah sebagai berikut :

1. Pemeriksan data (Editing)

Melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan dan kejelasan jawaban

kuesioner dan penyesuaian data yang diperoleh dengan kebutuhan

penelitian hal ini dilakukan di lapangan sehingga apabila terdapat data

yang meragukan ataupun salah maka akan dijelaskan lagi ke responden.

2. Pengkodean (Coding)

Setelah kelengkapan data diperiksa, lalu dilakukan pemberian nomor,

atau kode pada setiap jawaban agar memudahkan dalam pengolahan

selanjutnya.

3. Memasukkan data ke dalam tabel (Tabulating)

Memasukkan data yang telah diberi kode kedalam tabel dan diolah

secara komputerisasi.

4. Processing

Data yang telah ditabulasi diolah secara manual atau computer agar

dapat dianalisis.

5. Pemeriksaan (Cleaning)

Data yang telah dientry dicek kembali untuk memastikan bahwa data

tersebut telah bersih dari kesalahan baik kesalahan dalam pengkodean

maupun dalam membaca kode, dengan harapan data tersebut dapat

dianalisis.
39

F. Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis Univariat digunakan untuk mendapat gambaran dari

masing – masing variable dengan menganalisa data presentaasi dengan

menggunakan komputerisasi.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat yaitu analisis data dilakukan untuk melihat

hubungan antara dua variabel (independen dan dependen) yang dilakukan

secara komputerisasi. Analisis data dilakukan dengan uji Chi Square

untuk melihat hubungan pengetahuan dan sosial budaya dengan perilaku

orang tua melakukan sirkumsisi pada bayi perempuan.

Untuk melihat kemaknaan perhitungan statistik digunakan batas

derajat kemaknaan signifikan 0,05 hasil analisa Chi Square

dibandingkan dengan nilai α, dimana nilai P value >α 0,05 berarti secara

statistik tidak ada hubungan bermakna dan apabila nilai P value ≤ α 0,05

berarti secara statistik ada hubungan yang bermakna.


DAFTAR PUSTAKA

Ana, E.P. (2019). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Orang Tua Melakukan


Khitan Pada Anak Perempuan di BPM Wilayah Kerja Puskesmas
Harapan Raya Pekanbaru. Ensiklopedia of Journal. Vol. 1 No.4

Arikunto. (2017). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Bidan Praktik Mandiri “M”. (2022). Profil Kesehatan Ibu dan Anak. Kabupaten
Pasaman Barat

Darmayanti. (2017). Perilaku dan Softskills Kesehatan. Yogyakarta : Pustaka


Media

Debora. (2022). Mengenal Sunat Bayi Perempuan serta Risiko Bahayanya.


https://www.orami.co.id/magazine/sunat-bayi-perempuan, diakses tanggal
10 Februari 2023

Heryani, N. (2017). Tradisi dan Presepsi Tentang Sunat Perempuan di Desa


Sukamaju Kabupaten Muaro Jambi. Naskah Publikasi. Kemenkes Jambi.

Ilyas., Dewi, S.R., Asih, S.W., Walid, S. (2018). Sunat Pada Bayi Perempuan
oleh Tenaga Tradisional. Prosiding Seminar Nasional Peran dan
Tanggung Jawab Tenaga Kesehatan dalam Mendukung Program
Kesehatan Nasional. ISBN 978-602-6988-58-4

Jendrius, K. (2017). Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Ibu Mengenai Sunat


Perempuan di Wilayah Kerja Teratai Putih. Skripsi. Universitas
Tanjungpura.

Juliansyah, I. (2018). Sunat Perempuan dalam Perspektif Budaya, Agama dan


Kesehatan. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan. Vol 1 No 2.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Profil Kesehatan Indonesia.


Jakarta: Kementrian Kesehatan RI

Khaqiqi, Z. (2018). Determinan Orang Tua Dalam Perilaku Sunat Anak


Perempuan. Skripsi. Univesitas Negeri Surabaya

Lubis, Marfu’ah, S., Nopika, K. (2017). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan


Dilakukannya Ritual Khitan Perempuandi Kecamatan Gabus Kabupaten
Pati, Jurnal Ilmu Kebidanan dan Kesehatan. Vol. 8 No. 2, ISSN: 2087-
4154

Permata, H. (2022), Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Sunat


Perempuan di Kelurahan Landasan Ulin Tengah Kota Banjarbaru. Jurnal
Ilmiah Kebidanan, Vol 2 Nomor 1 Hal.74-82 e-ISSN 2774-4671
Prafitri, S.N. (2016). Dinamika Khitan Perempuan di Kelurahan Bara Baraya
Kecamatan Makassar Kota Makassar. Skripsi: Fakultas Syari’ah Dan
Hukum UIN Alauddin Makassar.

Prastiwi. I., Andini, R.F. (2021). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan


Pelaksanaan Sunat pada Perempuan di RB Beta Medika. Jurnal Kesehatan
Bhakti Husada. Vol. 07 No. 01

Puskesmas Ranah Salido. (2022). Profil Kesehatan Ibu dan Anak. Kabupaten
Pasaman Barat

Putranti B. (2020). Sunat Laki-laki dan Perempuan pada Masyarakat Madura.


Skripsi. Yogyakarta.

Ranjabar, J. (2018). Sistem Sosial Budaya Idonesia Suatu Pengantar. Jakarta:


Ghalia Indara Indonesia

Syaifudin. (2019). Sosial Budaya Dasar. Jakarta: CV Trans Media

Uddin, J. (2019). Khitan Perempuan: dari Sudut Pandang Sosial, Budaya


Kesehatan dan Agama. Jakarta: CV Langgeng Sejati

Wulansari, S. (2017). Departemen Kesehatan dalam Medikalisasi Sunat


Perempuan. Jakarta: Pustaka Pelajar
LAMPIRAN
Lampiran 2

PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Kepada Yth.
Ibu Calon Responden Penelitian
Di
Tempat

Dengan Hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini, mahasiswa Sarjana Kebidanan
Universitas Sumatera Barat :
Nama : Maidawati
NIM : 1903013
Menyatakan bahwa, saya akan mengadakan penelitian dengan judul
“Hubungan Pengetahuan Dan Sosial Budaya Dengan Perilaku Orang Tua
Melakukan Sirkumsisi Pada Bayi Perempuan di BPM “M” Wilayah Kerja
Puskesmas Ranah Salido Tahun 2023”. Untuk itu saya meminta kesediaan Ibu
sebagai responden dalam penelitian ini. Penelitian ini tidak akan merugikan Ibu
sebagai responden dan kerahasiaan semua informasi yang diberikan akan dijaga
dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
Apabila Ibu menyetujui untuk menjadi responden, maka dengan ini saya
mohon untuk kesediaan Ibu untuk menandatangani lembar persetujuan dan
menjawab pertanyaan pada surat ini. Atas perhatian dan kesediaan Ibu sebagai
responden, saya mengucapkan terimakasih.

Pasaman Barat, Juni 2023

Peneliti
Lampiran 3

FORMAT PERSETUJUAN
(Informed Consent)

Setelah membaca penjelasan yang diberikan peneliti, saya bersedia ikut

berpartisipasi sebagai responden penelitian ini, yang akan dilakukan oleh

Mahasiswa Sarjana Kebidanan Universitas Sumatera Barat yang Bernama

Maidawati, dengan judul “Hubungan Pengetahuan Dan Sosial Budaya

Dengan Perilaku Orang Tua Melakukan Sirkumsisi Pada Bayi Perempuan di

BPM “M” Wilayah Kerja Puskesmas Ranah Salido Tahun 2023”.

Saya mengerti bahwa penelitian ini tidak akan berakibat negatif terhadap

saya dan keluarga. Saya tahu penelitian ini akan menjadi masukan bagi

peningkatan pelayanan kesehatan dan akan dirahasiakan. Dengan ini saya

menyatakan sukarela berperan serta dalam penelitian ini.

Pasaman Barat, Juni 2023


Responden,

( )
Lampiran 4

KUESIONER

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SOSIAL BUDAYA DENGAN


PERILAKU ORANG TUA MELAKUKAN SIRKUMSISI PADA
BAYI PEREMPUAN DI BPM “M” WILAYAH
KERJA PUSKESMAS RANAH SALIDO
TAHUN 2023

Tanggal Pengambilan Data :

A. Data Responden

Nama Orang Tua :


Ayah :
Ibu :
Usia :
Ayah :
Ibu :
Pekerjaan :
Ayah :
Ibu :
Pendidikan terakhir :
Ayah :
Ibu :

Nama Anak :

Usia :

B. Penggetahuan
Berilah tanda silang (x) pada jawaban yang ibu anggap paling benar?

1. Sunat pada bayi perempuan adalah..


a.
C. Sosial Budaya
Berilah tanda ceklis (√) pada jawaban yang dianggap paling benar!
No Pernyataan Ya Tidak
1 Sunat pada anak perempuan merupakan bagian dari
identifikasi warisan budaya, tahapan anak perempuan
memasuki masa kedewasaan
2 Seorang perempuan yang tidak disunat dianggap
tidak bersih dan tidak diperkenankan menyentuh
makanan atau air
3 Menurut budaya terdahulu bayi perempuan yang
tidak disunat tidak akan mendapatkan jodoh dan
kesetiaan perempuan yang tidak disunat sangat
diragukan oleh masyarakat
4 Menurut orang tua dahulu kalau anak perempuan
tidak di sunat tidak sah masuk islam
5 Menurut orang tua dahulu kalau anak perempuan
tidak di sunat akan sulit mendapatkan jodoh
6 Menurut orang tua dahulu kalau anak perempuan
tidak di sunat maka akan lebih genit
7
8
9
10

D. Perilaku Orang Tua


Apakah Ibu melakukan sirkumsisi/sunat pada bayi perempuan ibu?
a. Ya
b. Tidak

Anda mungkin juga menyukai