Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

Chronic Kidney Disease stage V dengan


Hipertensi dan Anemia

Disusun Oleh :
Irfandinata
21704101084

Pembimbing :
dr. Yudi Agung Wibisono, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD MARDI WALUYO KOTA BLITAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum wr. wb.

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, saya dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul
“Chronic Kidney Disease stage V dengan Hipertensi dan Anemia” dengan
tepat pada waktunya.

Penulisan Laporan Kasus ini, saya susun untuk memenuhi tugas


Kepaniteraan Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Malang. Laporan Kasus ini berisi tentang; Latar belakang
penyakit gagal ginjal kronik, status pasien, dan tinjauan pustaka terkait penyakit.
Saya berharap Laporan Kasus ini dapat berguna dan digunakan sebagaimana
mestinya.

Tak ada gading yang tak retak, maka saya menyadari dalam penyusunan
Laporan Kasus ini banyak kekurangan. Saya mengharapkan kritik dan saran dari
para pembaca yang bersifat membangun, sehingga bisa menjadi refleksi dan
koreksi pada pembuatan Laporan Kasus selanjutnya.

Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut
berperan dalam penulisan tugas Laporan Kasus ini.

Wassalamu'alaikum wr. wb.

Blitar, Agustus 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. i


DAFTAR ISI .............................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .......................................................... 2
1.3. Tujuan ........................................................................... 2
1.4. Manfaat ......................................................................... 2

BAB II STATUS PASIEN


2.1. Identitas Pasien .............................................................. 3
2.2. Anamnesis ..................................................................... 3
2.3. Pemeriksaan Fisik .......................................................... 4
2.4. Differential Diagnosa ..................................................... 5
2.5. Pemeriksaan Penunjang .................................................. 5
2.6. Resume .......................................................................... 6
2.7. Working Diagnosa .......................................................... 6
2.8 Penatalaksanaan ............................................................. 6
2.9 Follow Up ....................................................................... 7

BAB III TINJAUAN PUSTAKA


3.1. Anatomi .............................................................................. 8
3.2. Fisiologi .............................................................................. 11
3.3. Chronic Kidney Disease ...................................................... 16
3.3.1. Definisi ............................................................................ 16
3.3.2. Kriteria ............................................................................. 16
3.3.3. Klasifikasi ........................................................................ 17
3.3.4. Etiologi . ........................................................................... 18
3.3.5. Patofisiologi ...................................................................... 19
3.3.6. Diagnosis ......................................................................... 24
3.3.7. Penatalaksanaan ................................................................ 25

i
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan .......................................................................... 34
5.2. Saran ................................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 35

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di seluruh dunia, jumlah penderita Chronic Kidney Disease (CKD) terus

meningkat dan dianggap sebagai salah satu masalah kesehatan yang dapat

berkembang menjadi epidemi pada dekade yang akan datang (Warady BA, Chadha

V, 2007). Konsekuensi kesehatan utama dari CKD bukan saja perjalanan penyakit

menjadi gagal ginjal, tapi juga peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler. Bukti-

bukti yang ditemukan menunjukkan bahwa konsekuensi ini dapat diperbaiki dengan

terapi yang dilakukan lebih awal (Hogg RJ et al., 2003).

Pendekatan standar evaluasi terhadap anak dan remaja untuk menentukan

apakah mereka memiliki peningkatan resiko menderita CKD dan evaluasi lanjutan

serta penatalaksanaannya telah difasilitasi oleh the Kidney Disease Outcomes

Quality initiative (K/DOQI) dari the National Kidney Foundation (NKF) dalam

suplemen khusus dari American Journal of Kidney Disease (AJKD) pada Februari

2002 yang berisi pedoman klinis praktis untuk CKD (Hogg RJ et al., 2003).

Pendekatan evaluasi yang tepat dapat membantu deteksi awal CKD pada

anak-anak dan remaja, dan dengan penatalaksanaan yang tepat dapat mencegah atau

menghilangkan komplikasi serta menghambat progresifitasnya sehingga tidak

menjadi gagal ginjal (Hogg RJ et al., 2003).

Laporan kasus ini akan membahas definisi, klasifikasi, epidemiologi,

etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, dan

pencegahan CKD.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan penyakit Chronic Kidney Desease ?

2. Apa saja yang menjadi penyebab dan gejala-gejala penyakit Chronic

Kidney Desease ?

3. Bagaimana klasifikasi dan penegakan diagnosa penyakit Chronic

Kidney Desease ?

4. Apa saja komplikasi dari penyakit Chronic Kidney Desease ?

5. Bagaimana penatalaksanaan bagi penderita Chronic Kidney Desease ?

I.3. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian penyakit Chronic Kidney Desease.

2. Untuk mengetahui penyebab dan gejala-gejala penyakit Chronic Kidney

Desease

3. Untuk mengetahui klasifikasi dan penegakan diagnosa penyakit

Chronic Kidney Desease.

4. Untuk mengetahui komplikasi dari penyakit Chronic Kidney Desease.

5. Untuk mengetahui penatalaksanaan bagi penderita Chronic Kidney

Desease.

1.4 Manfaat

Teoritis

Laporan kasus ini diharapkan mampu memberikan tambahan pengetahuan dan

landasan teori mengenai penyakit Chronic Kidney Desease.

Praktis

Laporan kasus ini diharapkan mampu memberikan landasan ilmiah dalam

penanganan pasien dengan Chronic Kidney Desease.

2
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. M.A.
Umur : 35 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan :-
Alamat : Kademangan, Kab. Blitar
Status Perkawinan :-
Suku :-
No. RM : 717690
Tanggal MRS : 11 Agustus 2020

2.2 ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Sesak sejak kemarin.
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar pada
tanggal 11 Agustus 2020 dengan keluhan sesak sejak kemarin. Pasien
tidak mengeluhkan batuk, pilek, demam maupun kaki bengkak.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat hipertensi (+)
- CKD (+) on HD di RSK 1 kali seminggu
- Nyeri tenggorokan (-)
- Batuk (-)
- Sesak nafas (+)
- Riwayat bepergian keluar kota dalam 2 minggu terakhir (-)
4. Riwayat Pengobatan
Hemodialisa di RSK 1 kali seminggu

3
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Kesadaran compos mentis (GCS 456).
2. Tanda Vital
Tensi : 170/140 mmHg
Nadi : 120 x / menit, irreguler,
Pernafasan : 26 x / menit
Suhu : 36,7 oC
SpO2 : 92%
3. Kulit
dbn
4. Kepala
dbn
5. Mata
Conjunctiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-).
6. Hidung
dbn
7. Mulut
dbn
8. Telinga
dbn
9. Tenggorokan
dbn
10. Leher
dbn
11. Thoraks
Cor: S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: vesikuler/vesikuler, ronkhi -/-, whezing -/-
12. Abdomen
Distensi (-), nyeri abdomen (-)

4
13. Ektremitas
Akral hangat Oedem
+ + - -
+ + - -

2.4 DIFFERENTIAL DIAGNOSA


- Chronic Kidney Disease
- Anemia
- Hipertensi
2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium (11 Agustus 2020)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL
Darah Lengkap
Hb 7,87 P: 11,5-16 g/dl; L: 13-17 g/dl
Leukosit 5.630 4000-11000 /Cmm
Trombosit 255.000 150000-450000
BBS - P: 0-20 / jam; L: 0-15 /jam
PCV 24,5 P: 35-47 %; L: 40-54 %
Differential Counting 6/2/-/63/33/6 1-2/0-1/3-5/54-62/25-33/3-7
MCV 85,2 80-97 fl
MCH 27,4 27-31 pg
MCHC 32,1 32-36 %
P: 3000000-6000000;
Eritrosit 2.880.000
L: 4500000-6500000
SGOT 32 P: <31 u/L; L: <37 u/L
SGPT 30 P: <31 u/L; L: <40 u/L
Albumin 3,86 3,8-5,1 g/dL
Creatinin 14,60 P: <1,2 mg/dL; L: <1,4 mg/dL
Ureum/BUN
BUN 86 <23,4 mg/dL
Ureum 184 <45 mg/dL
Natrium (Na) 135,84 136-145 mmol/L
Kalium (K) 4,62 3,5-5,1 mmol/L
Klorida (Cl) 108,03 98-106 mmol/L
Calsium darah (total) 8,92

Foto Thrax AP
Kesimpulan: Cardiomegali dengan konf HHD. Early edema paru. Efusi pleura
bilateral minimal

5
EKG (11 Agustus 2020)

2.6 RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar tanggal 11 Agustus
2020 dengan keluhan sesak sejak kemarin. Tidak ada keluhan nyeri tenggorokan,
batuk, pilek, demam, kaki bengkak, maupun riwayat perjalanan keluar kota dalam
2 minggu terakhir. Pasien mengaku memiliki riwayat hipertensi dan CKD rutin
hemodialisa di RSK 1 kali dalam seminggu.
Dari pemeriksaan fisik didapat peningkatan tekanan darah dan konjungtiva
anemis. Pada pemeriksaan lab di temukan anemia, sedikit eritropenia, kadar
SGOT, kreatinin, BUN, ureum, natrium dan klorida darah yang meningkat.

2.7 WORKING DIAGNOSA


Chronic Kidney Disease stage V dengan Hipertensi dan Anemia

2.8 PENATALAKSANAAN
1. Non Medika mentosa
a. Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakitnya
b. Tirah baring
c. Diet RPRGRK
d. Planning lab. cek DL, ureum kreatinin, liver function test, serum
elektrolit, foto thorax AP.

6
2. Medikamentosa
- O2 nasal kanul 3lpm
- Inj. Farsix 20 mg/jam
- PO Canderin 1x16 mg
- PO Bisoprolol 1x5 mg
- PO Nocid 3x1
- Transfusi PRC 2 labu
- KIE untuk HD

2.9 FOLLOW UP
Nama : Ny. M.A.
Diagnosis : CKD stage V dengan hipertensi dan anemia
Tabel flowsheet
No Tanggal S O A P
1 11/08/2020 Sesak T:170/140 mmHg WDx: Terapi di IGD
N:120 x/mnt CKD grade V -O2 nasal kanul 3lpm
S:36,7 C dengan - Inj. Furosemide 1 amp
RR: 26x/m anemia dan
SpO2: 92% hipertensi Konsul dr Fitri Sp Rad
K/L: anemis +/+ grade II advis:
Thorax - Cardiomeg dg konf
Pulmo: HHD
vesikuler/vesikuler, - Early edema paru
rh -/-, wh -/- - Efusi pl bilat min
Cor:
S1S2 reguler, m(-), Konsul dr Hanifa Sp PD
g(-) advis:
Abd: distensi (-), - Farsix 20 mg per jam,
nyeri (-) - canderin 1x16 mg,
Ekstremitas: AH - Bisoprolol 1x5 mg,
+/+, edema -/- - nocid 3x1
- PRC 2 labu
Lab 11/8/20 : - Konsul dr. Yudi,
Hb : 7,87 g/dl (↓) Sp.PD untuk program
PCV : 24,5 % (↓) HD
Eritrosit : 2,88 (↓)
SGOT : 32(↑)
Creatinin : 14,60(↑)
BUN: 86 (↑)
Ureum : 184 (↑)
Natrium : 135,84(↓)
Klorida : 108,03 (↑)

7
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Ginjal (Hogg RJ et al., 2003).


Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang terletak di belakang
rongga abdomen, satu di setiap sisi kolumna vertebralis sedikit diatas garis
pinggang. Setiap ginjal diperdarahi oleh arteri renalis dan vena renalis, yang
masing-masing masuk dan keluar ginjal dilekukan medial yang menyebabkan
organ ini berbentuk seperti buncis. Ginjal mengolah plasma yang mengalir masuk
ke dalamnya untuk menghasilkan urin yang kemudian mengalir ke sebuah rongga
pengumpul sentral (pelvis renalis) yang terletak pada bagian dalam sisi medial di
pusat (inti) kedua ginjal. Lalu dari situ urin disalurkan ke dalam ureter, sebuah
duktus berdinding otot polos yang keluar dari batas medial dekat dengan pangkal
(bagian proksimal) arteri dan vena renalis. Terdapat dua ureter, yang menyalurkan
urin dari setiap ginjal ke sebuah kandung kemih. Kandung kemih (buli-buli) yang
menyimpan urin secara temporer, adalah sebuah kantung berongga yang dapat
diregangkan dan volumenya disesuaikan dengan mengubah-ubah kontraktil otot
polos di dindingnya. Secara berkala, urin dikosongkan dari kandung kemih keluar
tubuh melalui sebuah saluran, uretra. Bagian-bagian sistem kemih diluar ginjal
memiliki fungsi hanya sebagai saluran untuk memindahkan urin keluar tubuh.
Setelah terbentuk di ginjal, komposisi dan volume urin tidak berubah pada saat
urin mengalir ke hilir melintasi sisi sistem kemih.

Gambar 1. Anatomi ginjal tampak dari depan

8
Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan fungsional berukuran
mikroskopik yang dikenal sebagai nefron, yang disatukan satu sama lain oleh
jaringan ikat. Susunan nefron di dalam ginjal membentuk dua daerah khusus:
daerah sebelah luar yang tampak granuler (korteks ginjal) dan daerah bagian
dalam yang berupa segitiga-segitiga bergaris-garis, piramida ginjal, yang secara
kolektif disebut medula ginjal. Setiap nefron terdiri dari komponen vaskuler dan
komponen tubulus, yang keduanya secara struktural dan fungsional berkaitan erat.
Komponen vaskuler dari nefron diantara lain:
- Arteriol aferen
merupakan bagian dari arteri renalis yang sudah terbagi-bagi menjadi
pembuluh-pembuluh halus dan berfungsi menyalurkan darah ke kapiler
glomerulus
- Glomerulus
suatu berkas kapiler berbentuk bola tempat filtrasi sebagian air dan zat
terlarut dari darah yang melewatinya
- Arteriol eferen
Tempat keluarnya darah yang tidak difiltrasi ke dalam komponen tubulus
meninggalkan glomerulus dan merupakan satu-satunya arteriol di dalam
tubuh yang mendapat darah dari kapiler
- Kapiler peritubulus
Merupakan arteriol eferen yang terbagi-bagi menjadi serangkaian kapiler
yang kemudian membentuk jalinan mengelilingi sistem tubulus untuk
memperdarahi jaringan ginjal dan berperan dalam pertukaran cairan di
lumen tubulus. Kapiler-kapiler peritubulus menyatu membentuk venula
yang akhirnya mengalir ke vena renalis, tempat darah meninggalkan ginjal
Komponen tubulus dari setiap nefron adalah saluran berongga berisi cairan yang
terbentuk oleh satu lapisan sel epitel, di antara lain:
- Kapsula Bowman
Suatu invaginasi berdinding rapat yang melingkupi glomerulus untuk
mengumpulkan cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomerulus

9
- Tubulus proksimal
Seluruhnya terletak di dalam korteks dan sangat bergelung (berliku-liku)
atau berbelit di sepanjang perjalanannya. Tubulus proksimal menerima
cairan yang difiltrasi dari kapsula bowman.
- Lengkung henle
Lengkung tajam atau berbentuk U atau yang terbenam ke dalam medula.
Pars desendens lengkung henle terbenam dari korteks ke dalam medula,
pars assendens berjalan kembali ke atas ke dalam korteks. Pars assendens
kembali ke daerah glomerulus dari nefronnya sendiri, tempat saluran
tersebut melewati garpu yang dibentuk oleh arteriol aferen dan arteriol
eferen. Dititik ini sel-sel tubulus dan sel-sel vaskuler mengalami
spesialisasi membentuk aparatus jukstaglomerulus yang merupakan suatu
struktur yang berperan penting dalam mengatur fungsi ginjal.
- Tubulus distal
Seluruhnya terletak di korteks. Tubulus distal menerima cairan dari
lengkung henle dan mengalirkan ke dalam duktus atau tubulus pengumpul
- Duktus atau tubulus pengumpul
Suatu duktus pengumpul yang menerima cairan dari beberapa nefron yang
berlainan. Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medula untuk
mengosongkan cairan yang kini telah berubah menjadi urin ke dalam
pelvis ginjal
Terdapat 2 jenis nefron, yaitu nefron korteks dan nefron jukstamedula yang
dibedakan berdasarkan lokasi dan panjang sebagian strukturnya. Nefron korteks
merupakan jenis nefron yang paling banyak dijumpai dan lengkung tajam dari
nefron korteks hanya sedikit terbenam ke dalam medula. Sebaliknya, nefron
jukstamedula terletak di lapisan dalam korteks di dekat medula dan lengkungnya
terbenam jauh ke dalam medula. Selain itu, kapiler peritubulus nefron
jukstamedula membentuk lengkung vaskuler tajam yang dikenal sebagai vasa
rekta, yang berjalan berdampingan erat dengan lengkung henle. Susuna paralel
dan karakteristik permeabilitas dan transportasi lengkung henle dan vasa rekta
berperan penting dalam kemampuan ginjal menghasilkan urin dalam berbagai
konsentrasi tergantung kebutuhan tubuh.

10
Gambar 2. Bagian mikroskopik ginjal
3.2 Fisiologi Ginjal (Hogg RJ et al., 2003).
Ginjal melaksanakan tiga proses dasar dalam menjalankan fungsi regulatorik
dan ekskretorik, yaitu:
(1) filtrasi glomerulus
Terjadi filtrasi plasma bebas protein menembus kapiler glomerulus ke
dalam kapsula Bowman melalui tiga lapisan yang membentuk membran
glomerulus yaitu dinding kapiler glomerulus, lapisan gelatinosa aseluler
yang dikenal sebagai membran basal dan lapisan dalam kapsula bowman.
Dinding kapiler glomerulus, yang terdiri dari selapis sel endotel
gepeng, memiliki lubang-lubang dengan banyak pori-pori besar atau
fenestra, yang membuatnya seratus kali lebih permeabel terhadap H2O dan
zat terlarut dibandingkan kapiler di tempat lain.
Membran basal terdiri dari glikoprotein dan kolagen dan terselip di
antara glomerulus dan kapsula bowman. Kolagen menghasilkan kekuatan
struktural, sedangkan glikoprotein menghambat filtrasi protein plasma
kecil. Walaupun protein plasma yang lebih besar tidak dapat difiltrasi
karena tidak dapat melewati pori-pori diatas, pori-pori tersebut sebenarnya
cukup besar untuk melewatkan albumin dan protein plasma terkecil.
Namun, glikoprotein karena bermuatan sangat negatif akan menolak
albumin dan protein plasma lain, karena yang terakhir juga bermuatan
negatif. Dengan demikian, protein plasma hampir seluruhnya tidak dapat
difiltrasi dan kurang dari 1% molekul albumin yang berhasil lolos untuk
masuk ke kapsula bowman.

11
Lapisan dalam kapsula bowman terdiri dari podosit, sel mirip gurita
yang mengelilingi berkas glomerulus. Setiap podosit memiliki banyak
tonjolan memanjang seperti kaki yang saling menjalin dengan tonjolan
podosit di dekatnya. Celah sempit antara tonjolan yang berdekatan dikenal
sebagai celah filtrasi, membentuk jalan bagi cairan untuk keluar dari
kapiler glomerulus dan masuk ke dalam lumen kapsula bowman.
Tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus adalah
tekanan darah kapiler glomerulus, tekanan onkotik koloid plasma, dan
tekanan hidrostatik kapsula bowman. Tekanan kapiler glomerulus adalah
tekanan cairan yang ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus.
Tekanan darah glomerulus yang meningkat ini mendorong cairan keluar
dari glomerulus untuk masuk ke kapsula bowman di sepanjang kapiler
glomerulus dan merupakan gaya utama yang menghasilkan filtrasi
glomerulus.
GFR dapat dipengaruhi oleh jumlah tekanan hidrostatik osmotik koloid
yang melintasi membran glomerulus. Tekanan onkotil plasma melawan
filtrasi, penurunan konsentrasi protein plasma, sehingga menyebabkan
peningkatan GFR. Sedangkan tekanan hidrostatik dapat meningkat secara
tidak terkontrol dan dapat mengurangi laju filtrasi. Untuk mempertahankan
GFR tetap konstan, maka dapat dikontrol oleh otoregulasi dan kontrol
simpatis ekstrinsik.
Mekanisme otoregulasi ini berhubungan dengan tekanan darah arteri,
karena tekanan tersebut adalah gaya yang mendorong darah ke dalam
kapiler glomerulus. Jika tekanan darah arteri meningkat, maka akan diikuti
oleh peningkatan GFR. Untuk menyesuaikan aliran darah glomerulus agar
tetap konstan, maka ginjal melakukannya dengan mengubah kaliber
arterial aferen, sehingga resistensi terhadap aliran darah dapat disesuaikan.
Apabila GFR meningkat akibat peningkatan tekanan darah arteri, maka
GFR akan kembali menjadi normal oleh konstriksi arteriol aferen yang
akan menurunkan aliran darah ke dalam glomerulus.
Selain mekanisme otoregulasi, untuk menjaga GFR agar tetap konstan
adalah dengan kontrol simpatis ekstrinsik GFR. Diperantarai oleh masukan

12
sistem saraf simpatis ke arteriol aferen untuk mengatur tekanan darah
arteri sehingga terjadi perubahan GFR akibat refleks baroreseptor terhadap
perubahan tekanan darah.
Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerulus
difiltrasi dengan tekanan filtrasi 10mmHg dan menghasilkan 180L filtrat
glomerulus setiap hari untuk GFR rata-rata 125ml/menit pada pria dan
160L filtrat per hari dengan GFR 115ml/menit untuk wanita.
(2) reabsorpsi tubulus
Merupakan proses perpindahan selektif zat-zat dari bagian dalam
tubulus (lumen tubulus) ke kapiler peritubulus agar dapat diangkut ke
sistem vena kemudian ke jantung untuk kembali diedarkan. Proses ini
meupakan transport aktif dan pasif karena sel-sel tubulus yang berdekatan
dihubungkan oleh tight junction. Glukosa dan asam amino direabsorpsi
seluruhnya disepanjang tubulus proksimal melalui transport aktif. Kalium
dan asam urat hampir seluruhnya direabsorpsi secara aktif dan di sekresi
ke dalam tubulus distal. Reabsorpsi natrium terjadi secara aktif di
sepanjang tubulus kecuali pada ansa henle pars desendens. H2O, Cl-, dan
urea direabsorpsi ke dalam tubulus proksimal melalui transpor pasif.
Berikut ini merupakan zat-zat yang direabsorpsi di ginjal:
a. Reabsorpsi Glukosa
Glukosa direabsorpsi secara transpor aktif di tubulus proksimal.
Proses reabsorpsi glukosa ini bergantung pada pompa Na ATP-ase,
karena molekul Na tersebut berfungsi untuk mengangkut glukosa
menembus membran kapiler tubulus dengan menggunakan energi.
b. Reabsorpsi Natrium
Natrium yang difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 98-99% akan
direabsorpsi secara aktif ditubulus. Sebagian natrium 67%
direabsorpsi di tubulus proksimal, 25% dereabsorpsi di lengkung
henle dan 8% di tubulus distal dan tubulus pengumpul. Natrium yang
direabsorpsi sebagian ada yang kembali ke sirkulasi kapiler dan dapat
juga berperan penting untuk reabsorpsi glukosa, asam amino, air dan
urea.

13
c. Reabsorpsi Air
Air secara pasif direabsorpsi melalui osmosis di sepanjang tubulus.
Dari H2O yang difiltrasi, 80% akan direabsorpsi di tubulus proksimal
dan ansa henle. Kemudian sisa H2O sebanyak 20% akan direabsorpsi
di tubulus distal dan duktus pengumpul dengan kontrol vasopressin.
d. Reabsorpsi Klorida
Ion klorida yang bermuatan negatif akan direabsorpsi secara pasif
mengikuti penurunan gradien reabsorpsi aktif dan natrium yang
bermuatan positif. Jumlah Klorida yang direabsorpsikan ditentukan
oleh kecepatan reabsorpsi Na
e. Reabsorpsi Kalium
Kalium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan
direabsorpsi secara difusi pasif di tubulus proksimal sebanyak 50%,
40% kalium akan dirabsorpsi di ansa henle pars assendens tebal, dan
sisanya direabsorpsi di duktus pengumpul
f. Reabsorpsi Urea
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme protein. Ureum akan
difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi
sebagian di kapiler peritubulus, dan urea tidak mengalami proses
sekresi. Sebagian ureum akan direabsorpsi di ujung tubulus proksimal
karena tubulus kontortus proksimal tidak permeabel terhadap urea.
Saat mencapai duktus pengumpul urea akan mulai direabsorpsi
kembali.
g. Reabsorpsi Fosfat dan Kalsium
Ginjal secara langsung berperan mengatur kadar kedua ion fosfat dan
kalsium dalam plasma. Kalsium difiltrasi seluruhnya di glomerulus,
40% direabsorpsi di tubulus kontortus proksimal dan 50%
direabsorpsi di ansa henle pars assendens. Dalam reabsorpsi kalsium
dikendalikan oleh homon paratiroid. Ion fosfat yang difiltrasi, akan
direabsorpsi sebanyak 80% di tubulus kontortus proksimal kemudian
sisanya akan dieksresikan ke dalam urin.

14
(3) sekresi tubulus
Proses perpindahan selektif zat-zat dari darah kapiler peritubulus ke
dalam lumen tubulus. Proses sekresi terpenting adalah sekresi H+, K+
dan ion-ion organik. Proses sekresi ini melibatkan transportasi
transepitel. Di sepanjang tubulus, ion H+ akan disekresi ke dalam
cairan tubulus sehingga dapat tercapai keseimbangan asam basa.
Asam urat dan K+ disekresi ke dalam tubulus distal. Sekitar 5% dari
kalium yang terfiltrasi akan dieksresikan ke dalam urin dan kontrol
sekresi ion K+ tersebut diatur oleh hormon antidiuretik. Kemudian
hasil dari ketiga proses tersebut adalah terjadinya eksresi urin, dimana
semua konstituen plasma yang mencapai tubulus, yaitu yang difiltrasi
atau disekresi tetapi tidak direabsorpsi, akan tetap berada di dalam
tubulus dan mengalir ke pelvis ginjal untuk eksresikan sebagai urin.

Gambar 3. Filtrasi Ginjal

Fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang sebagian besar


ditujukan untuk mempertahankan kestabilan lingkungan cairan eksternal:
1. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.
2. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES termasuk
Na+, Cl-, K+, HCO3-, Ca++, Mg++, SO4+, PO4+ dan H+.
3. Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan
dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini
dilaksanakan melalui peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan
garam dan H2O.

15
4. Membantu memelihara keseimbangan asam-basa tubuh, dengan
menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin.
5. Memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut) berbagai cairan
tubuh, terutama melalui pengaturan keseimbangan H2O.
6. Mengeksresikan (eliminasi) produk-produk sisa (buangan) dari
metabolisme tubuh. Misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika
dibiarkan menumpuk, zat-zat sisa tersebut bersifat toksik, terutama
bagi otak.
7. Mengeksresikan banyak senyawa asing. Misalnya obat, zat penambah
pada makanan, pestisida, dan bahan-bahan eksogen non-nutrisi lainnya
yang berhasil masuk ke dalam tubuh.
8. Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang
pembentukan sel darah merah.
9. Mensekresikan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu reaksi
berantai yang penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal.
10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
3.3 Chronic Kidney Disease
3.3.1 Definisi
Gagal ginjal kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses
patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi
ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya,
gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Dan ditandai dengan
adanya uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah)( Suwitra
K, 2006).
3.3.2 Kriteria ( Suwitra K, 2006).
Kriteria Chronic Kidney Disease:
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), dengan manifestasi:
- Kelainan patologis

16
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60ml/menit/1,73m2 selama 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

3.3.3 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal, yaitu atas dasar
derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung
dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan ↓ LFG ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan ↓ LFG sedang 30 – 59
4 Kerusakan ginjal dengan ↓ LFG berat 15 – 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

LFG (ml/mnt/1,73m2) = *)

*) perempuan dikalikan 0,85


Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe mayor
Penyakit ginjal Diabetes tipe 1 dan 2
diabetes
Penyakit ginjal non Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat,
diabetes neoplasma)
Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,
mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu, obstruksi,
keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada Rejeksi kronik
transplantasi Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

17
3.3.4 Etiologi
CKD memiliki etiologi yang bervariasi dan tiap negara memiliki data etiologi
yang berbeda-beda. Di Amerika Serikat, diabetes melitus tipe 2 merupakan
penyebab terbesar ESRD. Hipertensi menempati urutan kedua. Di Indonesia,
menurut data Perhimpunan Nefrologi Indonesia (2000), glomerulonefritis
merupakan 46.39% penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis.
Sedangkan diabetes melitus insidennya 18,65% disusul obstruksi / infeksi ginjal
(12.85%) dan hipertensi (8.46%) (Firmansyah, 2010). Dari data yang sampai saat
ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-
2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis
(25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%)
(Firmansyah, 2010).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan,
glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer
apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis
sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti
diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis. Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan
ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau
keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti
dialisis (Firmansyah, 2010).
b. Diabetes melitus
Nefropati diabetik merupakan manifetasi mikroangiopati pada ginjal yang
ditandai dengan adanya proteinuri (mula-mula intermiten kemudian persisten),
penurunan GFR (glomerular filtration rate) peningkatan tekanan darah yang
perjalanannya progresif menuju stadium akhir berupa gagal ginjal terminal.
Berbagai teori tentang patogenesis nefropati diabetik adalah peningkatan produk
glikosilasi dengan proses non enzimatik yang disebut AGEs (Advanced
Glicosylation End Products), Peningkatan reaksi jalur poliol (polyol pathway),

18
glukotoksisitas (oto-oksidasi), dan protein kinase C memberikan kontribusi pada
kerusakan ginjal. Kelainan glomerulus disebabkan oleh denaturasi protein karena
tingginya kadar glukosa, hiperglikemia dan hipertensi intraglomerulus.
Kelainan/perubahan terjadi pada membran basalis glomerulus dengan proliferasi
dari sel-sel mesangium. Keadaan ini akan menyebabkan glomerulosklerosis dan
berkurangnya aliran darah, sehingga terjadi perubahan-perubahan pada
permeabilitas membran basalis glomerulus yang ditandai dengan timbulnya
albuminuria (Arsono, 2008).
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer,
2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Firmansyah,
2010).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang
paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit
ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian
besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat
ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal
lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Firmansyah,
2010).
3.3.5 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal
mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal

19
ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan
kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat,
akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih
tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif. Perubahan fungsi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal
menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih utuh akan
mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi lingkaran setan
hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian seterusnya,
keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan Gagal Ginjal
Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan
aktivitas aksi renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik,
nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut
(Suwitra K, 2006).
Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi: (Wilson, 1999)
- Anemia
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan
produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit
menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit,
penurunan kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah.
Selain itu GGK dapat menyebabkan gangguan mukosa lambung
(gastropati uremikum) yang sering menyebabkan perdarahan saluran
cerna. Adanya toksik uremik pada GGK akan mempengaruhi masa paruh
dari sel darah merah menjadi pendek, pada keadaan normal 120 hari
menjadi 70-80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunyai efek inhibisi
eritropoiesis.
- Sesak nafas
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal.
Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di
aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi
angiotensin I. Lalu oleh angiotensin converting enzyme (ACE),

20
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II merangsang
pelepasan aldosteron dan ADH sehingga menyebabkan retensi NaCl dan
air → volume ekstrasel meningkat (hipervolemia) → volume cairan
berlebihan → ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer → LVH →
peningkatan tekanan atrium kiri → peningkatan tekanan vena pulmonalis
→ peningkatan tekanan di kapiler paru → edema paru → sesak nafas
- Asidosis
Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat penurunan
kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan
penurunan kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis
metabolik pada gagal ginjal kronik meliputi penurunan eksresi amonia
karena kehilangan sejumlah nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan
sejumlah bikarbonat melalui urin. Derajat asidosis ditentukan oleh
penurunan pH darah. Apabila penurunan pH darah kurang dari 7,35 dapat
dikatakan asidosis metabolik. Asidosis metabolik dapat menyebabkan
gejala saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu
gejala khas akibat asidosis metabolik adalah pernapasan kussmaul yang
timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi karbon dioksida
untuk mengurangi keparahan asidosis.
- Hipertensi
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal.
Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di
aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi
angitensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi
angiotensin II. Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga
meningkatkan tekanan darah.
- Hiperlipidemia
Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas
oleh ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.

21
- Hiperurisemia
Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam
darah (hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan
pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat
membengkak, meradang dan nyeri.
- Hiponatremia
Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon
peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada
tubulus ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan
penurunan jumlah nefron, natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang
disertai dengan retensi air yang berlebihan akan menyebabkan dilusi
natrium di cairan ekstraseluler. Keadaan hiponetremia ditandai dengan
gangguan saluran pencernaan berupa kram, diare dan muntah.
- Hiperfosfatemia
Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga
fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya
terlampaui, fosfat akan bergabung dengan Ca2+ untuk membentuk kalsium
fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap
di sendi dan kulit (berturut-turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus).
- Hipokalsemia
Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan
hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga
memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi
tulang (osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat
di dalam plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal.
Jadi meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di
plasma tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun
pada insufisiensi ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan
sehingga konsentrasi fosfat di plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi
CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di plasma tetap rendah. Oleh
karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam
keadaan perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar paratiroid

22
mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH.
Kelainan yang berkaitan dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia,
osteodistrofi renal dan hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH
selain terdapat di ginjal dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain
(sistem saraf, lambung, sel darah dan gonad), diduga PTH berperan dalam
terjadinya berbagai kelainan di organ tersebut.
Pembentukan kalsitriol berkurang pada gagal ginjal juga berperan dalam
menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini
merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi
penurunan kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di
usus, hal ini memperberat keadaan hipokalsemia.
- Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma
meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel-sel
ginjal sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma.
Peningkatan konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan
peningkatan sekresi hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan
berkurang sehingga menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari
kelainan kalium ini berkaitan dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka
dan polos sehingga dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya
refleks tendon dalam, gangguan motilitas saluran cerna dan kelainan
mental.
- Proteinuria
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari
kerusakan ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi.
Proteinuria glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang
melibatkan glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan kenaikan
permeabilitas glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis.
Sehingga molekul protein berukuran besar seperti albumin dan
immunoglobulin akan bebas melewati membran filtrasi. Pada keadaan
proteinuria berat akan terjadi pengeluaran 3,5g protein atau lebih yang
disebut dengan sindrom nefrotik.

23
- Uremia
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia
pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga
dapat terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat
berdifusi ke aliran darah dan menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi
glomerulus dan mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi
glomerulus kurang dari 10% dari normal, maka gejala klinis uremia mulai
terlihat. Pasien akan menunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal,
gangguan neurologis, nafas seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis
uremia dan pneumonitis uremik. Gangguan pada serebral adapat terjadi
pada keadaan ureum yang sangat tinggi dan menyebabkan koma
uremikum.
3.3.6 Diagnosis
a. Gambaran Klinis ( Suwitra K, 2006).
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya seperti diabetes mellitus,
infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurekemi, lupus eritomatosus sistemik (LES), dan lain sebagainya;
b. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload),
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma;
c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, payah jantung, asidosis metabolic, gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, klorida).
b. Gambaran Laboratoris ( Suwitra K. 2006)
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya;
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal;

24
c. Kelainan biokimia darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis
metabolic;
d. Kelainan urinalisis, meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria.
c. Gambaran Radiologis (Suwitra K. 2006)
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak;
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan;
c. Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi;
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.
d. Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal (Sharon, 2006)
Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati
normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan dan
bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan
mengevaluasi hasil terapi yang sudah diberikan. Kontraindikasi pada
ukuran ginjal yang mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak
terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas,
dan obesitas.
3.3.7 Penatalaksanaan
Tabel 3. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik (CKD) sesuai dengan
derajatnya
2
Derajat LFG (ml/mnt/1,73m ) Rencana tatalaksana
1 ≥90 - Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan (progression) fungsi
ginjal, memperkecil resiko kardiovaskuler

25
2 60-89 - Menghambat pemburukan fungsi ginjal
3 30-59 - Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 - Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 <15 - Terapi pengganti ginjal
(Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2006)

Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik (PGK) / CKD meliputi:


1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi.
Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan
pemeriksaan histopatologis ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-
30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak
bermanfaat.
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi
komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien.
Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan,
hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus
urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan
aktivitas penyakit dasarnya..
3. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Skematik tentang patogenesis perburukan fungsi
ginjal yang dapat dilihat pada gambar berikut.

26
Gambar 4. Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis

Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah:


a. Pembatasan asupan protein.
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60ml/mnt,
sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu
dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari, yang 0,35-0,50gr di
antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang
diberikan sebesar 30-35kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan pemantauan yang
teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan
kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan
karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah
menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan
melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion
hydrogen, posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga diekskresikan melalui
ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien Gagal
Ginjal Kronik (GGK) akan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik
yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan
mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah
asupan protein berlebihan (protein overload) akan mengakibatkan
perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan
intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkatkan
progresifitas perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga
berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu
27
berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah
terjadinya hiperfosfatemia.
Tabel 4. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
LFG ml/menit Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≥0,35 gr/kg/hr ≤10 g
nilai biologi tinggi.
5-25 0,6-0,8 kg/hari, termasuk ≥0,35 gr/kg/hr ≤10 g
protein nilai biologi tinggi atau tambahan
0,3 g asam amino esensial atau asam keton
<60 0,8/kg/hr (+1 gr protein/g proteinuria atau ≤9 g
(sindrom 0,3 g/kg tambahan asam amino esensial atau
nefrotik) asam keton
(Sumber: Suwitra, 2006)

b. Terapi farmakologis untuk hipertensi intraglomerulus.


Pemakaian obat antihipertensi, disamping bermanfaat untuk
memperkecil resiko kardiovaskuler juga sangat penting untuk
memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan
bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama
pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil
hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Disamping itu, sasaran
terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuri. Saat ini
diketahui secara luas bahwa, proteinuri merupakan faktor resiko terjadinya
perburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuri berkaitan
dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Enzim Pengubah
Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui
berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi
ginjal. hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan
antiproteinuria.
c. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal
yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik
28
disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk dalam
pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler adalah pengendalian
diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian
anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan
dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan
pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara
keseluruhan.
d. Pencegahan dan terapi terhadap Anemia
Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi
eritropoitin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah
defisiensi besi, kehilangan darah (perdarahan saluran cerna, hematuri), masa
hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam
folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi
akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar
hemoglobin ≤ 10g% atau hematokrit ≤ 30%, meliputi evaluasi terhadap
status besi (kadar besi serum/ serum iron, kapasitas ikat besi total/Total iron
Binding Capacity, feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi
eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya.
penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping
penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal
yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu
mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme
kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan
secara hati-hati, berdasarkan indiksi yang tepat dan pemantauan yang
cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan
fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-
12g/dl.
e. Pencegahan dan terapi terhadap Osteodistrofi Renal
Dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol
(1,25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan
asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat

29
absorbsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan
gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.
❖ Mengatasi hiperfosfatemia:
1. Pembatasan asupan fosfat, sejalan dengan diet, yaitu tinggi kalori,
rendah protein dan rendah garam. Karena fosfat sebagian besar
terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telur.
Asupan fosfat dibatasi 600-800mg/hari. Pembatasan asupan fosfat
yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya
malnutrisi.
2. Pemberian pengikat fosfat, pengikat fosfat yang banyak dipakai
adalah garam kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium.
Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi
fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak
dipakai adalah kalsium karbonat dan calcium acetate.
3. Pemberian bahan kalsium memetik.
❖ Pemberian Kalsitriol (1.25(OH2D3)
Pemakaian kalsitriol tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan
absorbsi fosfat dan kalsium di saluran cerna sehingga dikhawatirkan
mengakibatkan penumpukan garam kalsium karbonat di jaringan,
yang disebut kalsifikasi metastatik. Disamping itu juga dapat
mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar
paratiroid. Oleh karena itu, pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan
kadar fosfat darah normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5
kali normal..
f. Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan
komplikasi kardiovaskuler. Air yang masuk kedalam tubuh dibuat seimbang
dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss.
Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water loss
antara 500-800ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang
masuk dianjurkan 500-800ml ditambah jumlah urin.

30
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium.
Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan
aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang
mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan
sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5mEq/L.
Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan
edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya
tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.
g. Terapi Pengganti Ginjal
Dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis,
peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Pada gagal ginjal terminal, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan
darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua
kompartemen yang terpisah. Darah pasien di pompa dan dialirkan ke
kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan
(artifisial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri
cairan dialisis yang bebas pirogen, berisis larutan dengan komposisi
elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme
nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan
konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke
arah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua
kompartemen (difus). Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari
kompartemen darah ke kompartemen dialisat dengan cara menaikkan
tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan
air ini disebut ultrafiltrasi.
Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang
berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih
lambat dibanding molekul dengan berat molekul lebih rendah. Kecepatan
perpindahan zat terlarut tersebut makin tinggi bila: 1) perbedaan konsentrasi
di kedua kompartemen makin besar, 2) diberi tekanan hidrolik di

31
kompartemen darah, dan 3) bila tekanan osmotik di kompartemen cairan
dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan
darah untuk meningkatkan efisiensi. Perpindahan zat terlarut pada awalnya
berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama
di kedua kompartemen.
Pada umumnya indikasi dialisis pada CKD adalah bila laju filtrasi
glomerulus (LFG < 5mL/menit). Keadaan pasien yang yang mengalami
LFG < 5mL/mnt tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap perlu dimulai
bila dijumpai salah satu hal ini:
o Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
o K serum > 6mEq/L
o Ureum darah > 200mg/dL
o pH darah < 7,1
o Anuria berkepanjangan (> 5hari)
o Fluid overloaded
b. Dialisis peritoneal
Adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu penganan pasien GGA
maupun GGK, menggunakan membran peritoneum yang bersifat
semipermeabel. Melalui membran tersebut darah dapat difiltrasi.
Keuntungan Dialisis Peritoneal bila dibandingkan dengan hemodialisa,
secara teknik lebih sederhana, cukup aman serta cukup efisien dan tidak
memerlukan fasilitas khusus, sehingga dapat dilakukan di setiap RS.
Prinsip dasarnya yaitu untuk dialisis peritoneal akut biasanya dipakai
stylet-catheter (kateter peritoneum) untuk dipasang pada abdomen masuk ke
dalam kavum Douglasi. Setiap kali 2 liter cairan dialisis dimasukkan ke
dalam kavum peritoneum melalui kateter tersebut. Membran peritoneum
bertindak sebagai membran dialisis yang memisahkan antara cairan dialisis
dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah di
peritoneum. Sisa-sisa metabolisme seperti ureum, kreatinin, kalium, dan
toksin lain yang dalam keadaan normal dikeluarkan melalui ginjal, pada
gangguan faal ginjal akan tertimbun dalam plasma darah. Karena kadarnya
yang tinggi akan mengalami difusi melalui membran peritoneum dan akan

32
masuk dalam cairan dialisat dan dari sana akan dikeluarkan dari tubuh,
Sementara itu setiap waktu cairan dialisat yang sudah dikeluarkan diganti
dengan cairan dialisat yang baru.
Indikasi Pemakaian Dialisis Peritoneal: 1) Gagal ginjal akut (dialisat
peritoneal akut), 2) Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit atau asam
basa, 3) Intoksikasi obat atau bahan lain, 4) Gagal ginjal kronik (dialisat
peritoneal kronik), 5) Keadaan klinis lain dimana DP telah terbukti
manfaatnya (Suwitra, 2006).
Terapi Nutrisi pada GGK dengan Dialisis
Bila terapi konservatif pada pasien GGK tidak berhasil, maka perlu
dimulai. TPG yang dapat berupa dialisis atau cangkok ginjal. Meskipun
prinsip dasarnya sama, ada sedikit perbedaan tujuan terapi nutrisi pada
pasien GGK yang menjalani dialisis dengan yang tidak.
Tujuan terapi nutrisi pada dialisis adalah:
1. Mengurangi akumulasi toksin uremia, cairan, elektrolit diluar waktu
dialisis.
2. Memperbaiki status nutrisi, mencegah defisiensi asam amino, vitamin,
dan lain-lain.
Hasil terapi nutrisi untuk jangka pendek adalah membantu meregulasi
dan menghindari akumulasi dari zat toksin maupun ekses air dan elektrolit
yang seharusnya diekskresi oleh ginjal. Akumulasi air dalam tubuh dapat
mengakibatkan edema paru akut, sedangkan hiperkalemi dapat
menimbulkan aritmia jantung. Kedua komplikasi ini adalah yang paling
sering menimbulkan kematian pasien. Untuk jangka panjang diharapkan
terapi nutrisi dapat menghindarkan terjadinya malnutrisi atau gangguan
metabolisme lain. Adanya malnutrisi menurunkan daya tahan dan
mempermudah komplikasi infeksi. Gangguan metabolisme lemak antara
lain hipertrigliseridemia mempermudah terjadinya aterosklerosis pada
pasien. Terjadinya defisiensi kalsium dan kelebihan fosfat akan
menimbulkan kelainan tulang (osteodistrofi renal).

33
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Laporan kasus berdasarkan kondisi pasien dengan nama Ny. M.A. dengan
diagnosis klinis akhir Chronic Kidney Disease stage V dengan Hipertensi dan
Anemia. Diagnosa Anemia tersebut dikarenakan kadar hemoglobin pasien 7,87
g/dl, kondisi tersebut dikarenakan terganggunya pembentukan eritrosit oleh ginjal,
ginjal mensekresikan eritropotein untuk membentuk eritrosit, pada pasien tersebut
ditemukan peningkatan kadar ureum & kreatinin yang menandakan terdapatnya
gangguan fungsi ginjal (CKD grade V). Chronic Kidney Disease dan kejadian
hipertensi saling terkait. Awal mula terjadinya bisa bermula dari gangguan ginjal
atau jantungnya dahulu, pada keadaan penurunan laju filtrasi glomerulus, jantung
juga akan mengkompensasi untuk mengedarkan darah ke seluruh tubuh untuk
memenuhi kebutuhan oksigenasi & metabolisme tubuh dan untuk mengeksresi
zat-zat sisa (toxic) seperti nitrogen keluar dari tubuh. Keadaan tersebut diperparah
oleh anemia yang menyebabkan kompensasi oleh jantung akan keadaan hipoksia
terlebih hipoksemia yang menyebabkan keadaan hipertensi.
Penyakit ginjal kronik (chronic kidney disease) adalah suatu proses
patofisiologis dengan etiologi yang beragam, salah satunya yaitu hipertensi yang
tidak terkontrol mengakibatkan penurunan ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel,
pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa
dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan
laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronik.
4.2 Saran
Penulis sadar bahwa laporan kasus ini belum sepenuhnya sempurna, maka dari
itu penulis memerlukan kritik dan kontruksif guna tercapainya kesempurnaan
dalam laporan kasus ini.

34
DAFTAR PUSTAKA

Arsono, S. 2008. Diabetes Melitus Sebagai Faktor Risiko Kejadian Gagal Ginjal
Terminal. Naskah Publikasi. Universitas Diponegoro Semarang.
www.eprints.undip.ac.id

Firmansyah, M. 2010. Usaha Memperlambat Perburukan Penyakit Ginjal Kronik


ke Penyakit Ginjal Stadium Akhir. www.Kalbe.co.id

Hogg RJ et al. 2003. National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes


Quality Initiative Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney
Disease in Children and Adolescents: Evaluation, Classification, and
Stratification. Pediatrics;111:1416-1421.

Kanitkar CM. 2009. Chronic Kidney Disease in Children: An Indian Perspective,


update. MJAFI;65:45-49.

Levey AS, Coresh J, Balk E, Kautz T, Levin A, Steves M et al. 2003. National
Kidney Foundation Guidlines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification. Ann Intern Med; 139:137-47

Menon, S., Valentini, R.P., Kapur, G., Lyfield S., Matto TK. 2009. Effectiveness
of a Multidisciplinary Clinic in Managing Children with Chronic
Kidney Disease. Clin J Am Soc Nephrol. 4:1170-1175

Vogt BA, Avner ED. 2004. Renal Failure. Dalam: Behrman RM, Kliegman RM,
Jenson HB, Penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 17.
Philadelphia: WB Saunders, hal 1770-75

Pamar, MS. 2002. Chronic Kidney Disease. BMJ; 325:85-90

Sharon K. 2006. Chronic Kidney Disease. Critical Care: 14:17-22

Suwitra K. 2006. Penyakit ginjal kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K.
MS, Setiati S, eds. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 1 ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; p. 570-3.

Warady BA, Chadha V. 2007. Chronic kidney disease in children: the global
perspective. Pediatr Nephrol;22:1999–2009.

Wilson LM. 1999. Gagal Ginjal Kronis. Dalam: Price SA, Wilson LM,
penyunting. Patofisiologi Konsep Klinis proses-proses penyakit. Edisi
ke-4. Jakarta: EGC: 712-769.

Whyte DA, Fine RN. 2008. Chronic Kidney Disease in Children. Pediatri.
Rev;29:335-341.

35

Anda mungkin juga menyukai