Anda di halaman 1dari 47

KEBERADAAN PARASITOID TELUR Spodoptera

frugiperda PADA TANAMAN JAGUNG DENGAN DUA


SISTEM TANAM YANG BERBEDA DI PULAU
LOMBOK

SKRIPSI

Oleh :
I Made Bendesa Yudiantara
C1M017052

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MATARAM
2021
i

KEBERADAAN PARASITOID TELUR Spodoptera


frugiperda PADA TANAMAN JAGUNG DENGAN DUA
SISTEM TANAM YANG BERBEDA DI PULAU
LOMBOK

Oleh
I Made Bendesa Yudiantara
C1M017052

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian
Universitas Mataram

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MATARAM
2021
ii

HALAMAN PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : I Made Bendesa Yudiantara
NIM : C1M017052
Menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya yang belum pernah
diajukan untuk mendapatkan gelar atau diploma pada perguruan tinggi manapun,
dan bukan merupakan duplikasi sebagian atau seluruhnya dari karya orang lain
yang diterbitkan atau yang tidak diterbitkan, kecuali kutipan berupa data atau
informasi yang sumbernya dicantumkan dalam naskah dan daftar pustaka.
Pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya secara sadar dan
bertanggung jawab, dan saya bersedia menerima sanksi pembatalan skripsi
apabila terbukti melakukan duplikasi terhadap karya ilmiah lain yang sudah ada.

Mataram, Juli 2021


Penulis,

I Made Bendesa Yudiantara


C1M017052
iii

HALAMAN PENGESAHAN

Rencana Penelitian yang diajukan oleh :

Nama : I Made Bendesa Yudiantara


NIM : C1M017052
Program Studi : Agroekoteknologi
Jurusan : Budidaya Pertanian
Judul Penelitian : Keberadaan Parasitoid Telur Spodoptera Frugiperda pada
Tanaman Jagung Dengan Sistem Tanam Yang Berbeda Di
Pulau Lombok
Telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
pertanian pada fakultas pertanian universitas mataram. Skripsi tersebut telah
diperiksa dan disetujui oleh dosen pembimbing.
Menyetujui :
Pembimbing Utama, Pembimbing Pendamping,

Dr.Ir. Bambang Supeno, MP. Dr. Ir. Tarmizi, MP.


NIP. 195911081985031002 NIP. 195704051985031003

Mengetahui :
Ketua Jurusan Ketua Program Studi
Budidaya Pertanian, Agroekoteknologi,

Ir. Aluh Nikmatullah, M.Agr.Sc., Ph.D. Ir. Uyek Malik Yakop, M.Sc., Ph.D.
NIP. 196502241992032003 NIP. 196003251987031002

Tanggal Pengesahan :
iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esaatas segala
rahmat, karunia dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul Keberadaan Parasitoid Telur Spodoptera Frugiperda pada tanaman
Jagung Dengan Sistem Tanam Yang Berbeda Di Pulau Lombok. Diharapkan dari
skripsi ini dapat dihasilkan informasi yang bermanfaat baik bagi peneliti maupun
petani mengenai parasitoid telur dari Spodoptera frugiperda sehingga dapat
dijadikan agen hayati untuk mengendalikan hama tersebut.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya
kepada bapak Dr. Ir. Bambang Supeno, MP., selaku dosen pembimbing utama
dan bapak Dr. Ir. Tarmizi, MP., selaku dosen pembimbing pendamping yang
telah memberikan bimbingan dalam menulis skripsi ini sehingga dapat
mempermudah dalam menyelesaikan skripsi ini dengan benar dan tanpa halangan
berarti.
Penulis menyadari bahwa masih ada kesalahan dan kekeliruan dalam
penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan
saran yang sifatnya membangun dari semua pihak agar skripsi ini menjadi lebih
baik lagi untuk kedepannya. Akhir kata semoga skripsi ini dapat menjadi acuan
penulis dalam melakukan penelitian nantinya dan semoga bermanfaat bagi para
pembaca.

Mataram, Juli 2021


Penulis,

I Made Bendesa Yudiantara


C1M017052
v

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................. iii
KATA PENGANTAR............................................................................. iv
DAFTAR ISI........................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR.............................................................................. vii
RINGKASAN ........................................................................................ viii
BAB I. PENDAHULUAN...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................... 1
1.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian....................................... 2
1.2.1 Tujuan Penelitian................................................... 2
1.2.2 Kegunaan Penelitian.............................................. 2
1.3 Hipotesis............................................................................. 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 3
2.1 Tanaman Jagung (Zea mays)............................................. 3
2.2 Sistem Tanam Monokultur dan Polikultur………………. 4
2.3 Ulat Grayak (Spodoptera frugiperda)................................ 5
2.4 Ekobiologi Parasitoid......................................................... 7
2.5 Hubungan Sistem Tanam Tanaman Jagung Dengan Keberadaan
Parasitoid Hama Spodoptera Frugiperda........................... 10
BAB III. METODE PENELITIAN......................................................... 15
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian............................................ 15
3.2 Bahan dan Alat Percobaan................................................. 15
3.3 Metode Penelitian.............................................................. 15
3.4 Pelaksanaan Penelitian....................................................... 15
3.4.1 Penentuan Lokasi Penelitian.................................. 15
3.4.2 Ploting.................................................................... 16
3.4.3 Pengambilan Sampel.............................................. 16
vi

3.4.4 Parameter Yang Diteliti......................................... 16


3.4.5 Pengamatan hasil koleksi spesimen....................... 16
3.5 Identifikasi......................................................................... 17
3.6 Analisis Data...................................................................... 17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................... 19
4.1 Keberadaan Parasitoid Yang Ditemukan........................... 19
4.2 Karakteristik Morfologi Parasitoid Yang Ditemukan........ 19
4.3 Tingkat parasitasi parasitoid ............................................. 21
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN................................................. 26
5.1 Kesimpulan ....................................................................... 26
5.2 Saran................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 27
LAMPIRAN............................................................................................ 31
vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Telenomus remus Nixon.............................................................. 8
2. Chelonus insularis Cresson......................................................... 8
3. Cotesia marginiventris Cresso.................................................... 9
4. Trichogramma spp........................................................................ 10
5. Plot Pengambilan Sampel.............................................................. 16
6. Karakteristik Morfologi Family Platygrastidae........................... 19

vii
viii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Jumlah Telur Terparasit Pada Sistem Tanam Monokultur.......... 21
2. Jumlah Telur Terparasit Pada Sistem Tanam Polikultur............. 21
3. Tingkat Parasitasi Parasitoid Pada Sistem Tanam Monokultur. . 23
4. Tingkat Parasitasi Parasitoid Pada Sistem Tanam Polikultur..... 23

viii
ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Data Jumlah Telur Terkoleksi dan Tingkat Parasitasi Parasitoid 32
2. Dokumentasi Lampiran............................................................... 36
x

RINGKASAN

I Made Bendesa Yudiantara, Keberadaan Parasitoid Telur Spodoptera


Frugiperda pada tanaman Jagung Dengan Sistem Tanam Yang Berbeda Di Pulau
Lombok. Dibimbing oleh Dr. Ir. Bambang Supeno, MP., dan Dr. Ir. Tarmizi, MP.
Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan yang sangat bermanfaat bagi
kehidupan manusia dan hewan. Tanaman jagung sampai saat ini oleh masyarakat
Indonesia dimanfaatkan sebagai: tepung jagung, minyak jagung, bahan pangan,
serta pakan ternak dan lain-lainnya. Jagung merupakan salah satu tanaman
serealia yang strategis dan bernilai ekonomi serta mempunyai peluang untuk
dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat dan
protein (Wahyudin, 2016).
Pertanaman jagung di NTB saat ini terancam oleh hama baru yang
menyerang tanaman jagung dengan intensitas serangan yang tinggi, sehingga
menyebabkan petani gagal panen. Hama yang dimaksud adalah Spodoptera
frugiperda yang merupakan serangga asli daerah tropis dari Amerika Serikat,
Larva Spodoptera frugiperda dapat menyerang lebih dari 80 spesies tanaman,
termasuk jagung, padi, sorgum, jewawut, tebu, sayuran dan kapas. Spodoptera
frugiperda dapat menyebabkan kehilangan hasil yang tinggi jika tidak ditangani
dengan baik (Muis et al., 2019).
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif eksploratif dengan
teknik observasi lapangan dan koleksi spesimen. Penelitian ini dilakukan di
sepuluh lokasi yang berada di Pulau Lombok. Dari hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa, ditemukan satu family platygrastidae yang menjadi
parasitoid pada telur hama Spodoptera frugiperda pada sistem tanam monokultur
dan polikultur di Pulau Lombok.
Berdasarkan hasil indentifikasi parasitoid ini memiliki tubuh berwarna
hitam mengilap dengan ukuran kurang lebih 1,2 mm, Yang terbagi menjadi 3
bagian yaitu caput, thorax dan abdomen. karakter kuat dari platygrastidae jenis
ini terletak pada bentuk tubuh, warna tubuh, sayap dan bentuk antena yang dapat
xi

diajadikan pembeda dengan parasitoid telur hama Spodoptera frugiperda yang


lainnya.
Pada caput terdapat sepasang antena yang melengkung berwarna kuning
kecoklatan, dengan ukuran kurang lebih 0,3 mm. Menurut Nonci (2019) Pada
antena betina memiliki 5-10 segmen sedangkan pada antenna jantan terdiri dari
8-10 segmen dimana pada keduanya 5 segmen terakhir membesar dengan
bentuk umum antena melengkung. Menurut Jhonshon (1996) bentuk antena ini
masuk kedalam antena bentuk gada yaitu antena yang terdiri dari beberapa
segmen dengan segmen terakhir yang membesar. Serangga ini memiliki
sepasang mata majemuk dan mata majemuknya tidak menutupi seluruh kepala.
Selain itu serangga ini juga memliki tipe mulut menjilat menghisap.
1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan yang sangat bermanfaat
bagi kehidupan manusia dan hewan. Tanaman jagung sampai saat ini oleh
masyarakat Indonesia dimanfaatkan sebagai: tepung jagung, minyak jagung,
bahan pangan, serta pakan ternak dan lain-lainnya. Jagung merupakan salah satu
tanaman serealia yang strategis dan bernilai ekonomi serta mempunyai peluang
untuk dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat
dan protein (Wahyudin, 2016).
Pertanaman jagung di NTB saat ini terancam oleh hama baru yang
menyerang tanaman jagung dengan intensitas serangan yang tinggi, sehingga
menyebabkan petani gagal panen. Hama yang dimaksud adalah Spodoptera
frugiperda yang merupakan serangga asli daerah tropis dari Amerika Serikat,
Larva Spodoptera frugiperda dapat menyerang lebih dari 80 spesies tanaman,
termasuk jagung, padi, sorgum, jewawut, tebu, sayuran dan kapas. Spodoptera
frugiperda dapat menyebabkan kehilangan hasil yang tinggi jika tidak ditangani
dengan baik (Muis et al., 2019).
Di Indonesia tepatnya di kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat,
Spodoptera frugiperda ditemukan merusak tanaman jagung dengan tingkat
serangan yang tinggi, populasi larva yang ditemukan berkisar 2-10 ekor
pertanaman. Larva Spodoptera frugiperda dapat merusak hampir semua bagian
tanaman jagung baik itu akar, daun, bunga jantan, bungan betina serta tongkol.
Di Negara asalnya, siklus hidup hama ini selama musim panas adalah 30 hari,
namun mencapai 60 hari pada musim semi dan 80-90 hari pada musim gugur
(Nonci et al., 2019). BPT Provinsi NTB melaporkan adanya serangan hama
Spodoptera frugiperda di Lombok Barat dengan luas area serangan 15 ha, di
Lombok Tengah 45,80 ha, di Lombok Timur 21,25 ha, di Lombok Utara 5 ha, di
Sumbawa 34 ha dan Bima 2 ha yang dilaporkan tahun 2019.
2

Pengendalian Hayati adalah pengendalian yang dilakukan dengan


menggunakan musuh alami untuk mengurangi populasi hama. Spodoptera
frugiperda memiliki banyak musuh alami yang berperan sebagai agen
pengendali hayati yang dapat mengurangi populasi Spodoptera frugiperda
sehingga dapat mengurangi dampak serangan Spodoptera frugiperda. Musuh
alami merupakan bagian penting dari pengendalian hama terpadu yang bertujuan
untuk menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi sambil menjaga kondisi
lingkungan dan kesehatan manusia. Ada banyak organisme yang dapat
mengendalikan Spodoptera frugiperda, diantaranya predator, parasitoid dan
beberapa entomopatogen (Muis et al., 2019).
Spodoptera frugiperda merupakan hama baru yang informasinya belum
banyak diketahui Berdasarkan hal tersebut maka dilakukanlah langkah penelitian
termasuk menemukan keberadaan telur Spodoptera frugiperda untuk mengetahui
keberadaan parasitoid tersebut.
1.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.2.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan parasitoid telur dari
hama Spodoptera frugiperda pada kawasan pertanaman jagung (Zea mays L.)
dengan sistem tanam monokultur dan polikultur.
1.2.2 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi terkait keberadaan
parasitoid telur hama Spodoptera frugiperda pada kawasan budidaya tanaman
jagung (Zea mays L.) dengan sistem tanaman monokultur dan polikultur. Guna
dalam upaya pengendalian terhadap hama Spodoptera frugiperda pada tanaman
jagung di pulau Lombok.
1.3 Hipotesis
Diduga keberadaan parasitoid telur dari hama Spodoptera frugiperda pada
kawasan budidaya pertanaman jagung (Zea mays L.) memiliki jenisdan jumlah
yang berbeda dalam memparasit telur hama Spodoptera frugiperda yang
menyerang tanaman jagung pada sistem tanaman monokultur dan polikultur.
3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Jagung (Zea Mays)


Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman berumah satu Monoecious yaitu
letak bunga jantan terpisah dengan bunga betina pada satu tanaman. Jagung
termasuk tanaman C4 yang mampu beradaptasi dengan baik walaupun dalam
lingkungan yang ekstrim. Fase pertumbuhan tanaman jagung terbagi menjadi
lima fase yaitu, mulai tanam sampai tanaman tumbuh, mulai tumbuh hingga
tanaman membentuk bunga jantan dan bunga betina, penyerbukan dan
pembuahan, pembentukan biji, mulai dari pembuahan hingga biji mencapai berat
maksimum, pemasakan dan pengeringan biji dan batang (Tandiabang et al.,
2018).
Pada awal fase pertumbuhan, batang dan daun tidak bisa dibedakan secara
jelas. Ini dikarenakan titik tumbuh masih dibawah tanah. Daun baru dapat
dibedakan dengan batang ketika 5 daun pertama dalam fase pertumbuhan muncul
dari tanah. Daun muncul dari ruas-ruas batang. Pelepah daun muncul sejajar
dengan batang. Pelepah daun berwarna kecoklatan yang menutupi hampir semua
batang jagung. Daun baru akan muncul pada titik tumbuhnya. Titik tumbuh daun
jagung berada pada ruas batang. Tanaman jagung mempunyai jumlah total daun
sekitar 20 helai tergantung dari varietasnya. Sejalan dengan pertumbuhan jagung,
diameter batang akan meningkat. Pertumbuhan diameter pada tanaman jagung
menyebabkan 8 daun pada bagian bawah tanaman jagung mengalami kerontokan
(Belfield dan Brown, 2008).
Jagung merupakan tanaman berumah satu (monoecious) yaitu bunga jantan
terletak pada ujung batang, sedangkan bunga betina terletak pada pertengahan
batang Tanaman jagung bersifat protrandy yang mana bunga jantan tumbuh 1-2
hari sebelum munculnya rambut pada bunga betina. Bunga jantan dan bunga
betina terpisah, maka jagung mempunyai sifat penyerbukan silang.Perakaran
jagung terdiri dari akar-akar seminal yang tumbuh ke bawah pada saat biji
berkecambah, akar koronal tumbuh ke atas setelah plumula muncul, dan akar
4

udara (brace) tumbuh dari buku-buku di atas permukaan tanah. Panjang batang
berkisar antara 60-300 cm tergantung dari tipe jagung, terdapat 10-40 ruas
batang. Tunas batang yang berkembang menghasilkan tajuk bunga betina. Daun
jagung muncul dari buku-buku batang jagung, sedangkan pelepah daun
menyelubungi ruas batang untuk melindungi dan memperkuat batang jagung
(Muhadjir, 2018).

2.2 Sistem Tanam Monokultur dan Polikultur


Sistem tanam adalah rangkaian tanaman yang ditanam pada sebidang lahan
selama kurun waktu tertentu , biasanya satu tahun. Di dalam sistem tanam
terkandung unsur-unsur yang kompleks, mulai dari pemilihan jenis-jenis
tanaman, cara bertanam, cara panen, serta apakah nantinya hasil yang diperoleh
memiliki nilai pasar atau tidak. Keuntungan pola tanam, dapat diperoleh dengan
menggunakan pola tanam yang tepat, keuntungan tersebut antara lain dapat
meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya yang ada. Intensitas penggunaan
lahan meningkat, dengan memanfaatkan sumber daya lahan dan waktu lebih
efisien, meningkatkan pula produktivitas lahan (Raharja, 2005).
Pola tanam monokultur merupakan usaha budidaya tanaman secara
tunggal atau hanya terdapat satu jenis tanaman saja, pola tanam ini masih
banyak di kembangkan masyarakat perdesaan karena pada pola tanam
monokultur lebih mudah perawatannya di bandingkan dengan pola tanam
tumpangsari. Kelebihan sistem ini yaitu teknis budidayanya relatif mudah
karena tanaman yang ditanam maupun yang dipelihara hanya satu jenis. Selain
itu, Monokultur menjadikan penggunaan lahan efisien karena memungkinkan
perawatan dan pemanenan secara cepat dengan bantuan mesin pertanian dan
menekan biaya tenaga kerja karena wajah lahan menjadi seragam. Namun, di
sisi lain, Kelemahan sistem ini adalah tanaman relatif mudah terseranghama
maupun penyakit dan keseragaman kultivar mempercepat penyebaran
organisme pengganggu tanaman seperti hama, gulma dan penyakit tanaman
(Tambunan et al., 2011).
5

Polikultur berasal dari kata poly dan culture. Poly berarti banyak dan culture
berarti pengolahan. Jadi, pola tanam polikultur adalah penanaman lebih dari satu
jenis tanaman pada suatu lahan pertanian dalam waktu satu tahun. Polikultur
adalah model pertanian yang menerapkan aspek lingkungan yang lebih baik dan
melestarikan keanekaragaman hayati lokal. Keanekaragaman hayati yang
dimaksud tidak hanya dari segi flora (tumbuhan) tetapi juga fauna yang ada
(Sabirin, 2010).

2.3 Ulat Grayak (Spodoptera frugiperda)

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Family : Noctuidae
Genus : Spodoptera
Spesies : Spodoptera frugiperda

Organisme penggangu tanaman (hama) merupakan masalah di dalam


budidaya jagung tersebut. Ulat grayak merupakan salah satu hama yang kerap
mengganggu pertanian di Indonesia, termasuk pertanaman jagung. Saat ini ada
jenis ulat grayak baru yang tengah mewabah di dunia yakni Fall Armyworm
(FAW) atau Spodoptera frugiperda. Hama tersebut termasuk ke dalam ordo
Lepidoptera, famili Noctuidae. Spodoptera frugiperda menyerang tanaman
pangan seperti jagung, padi, dan gandum. Hama ini termasuk yang sulit
dikendalikan, karena imagonya cepat menyebar, bahkan termasuk penerbang kuat
dapat mencapai jarak yang cukup jauh dalam satu minggu. Kalau dibantu angin
bisa mencapai 100 km. Hama tersebut telah mewabah dalam waktu cepat dari
benua Amerika pada tahun 2016, masuk ke benua Afrika dan menyebar di
wilayah Asia hingga ke Thailand pada tahun 2018 (Harahap, 2018).
Ulat grayak jagung Spodoptera frugiperda merupakan serangga invasif
yang telah menjadi hama pada tanaman jagung (Zea mays) di Indonesia.
6

Serangga ini berasal dari Amerika dan telah menyebar di berbagai negara. Pada
awal tahun 2019, hama ini ditemukan pada tanaman jagung di daerah Sumatera
(Kementan 2019). Hama ini menyerang titik tumbuh tanaman yang dapat
mengakibatkan kegagalan pembetukan pucuk/daun muda tanaman.Larva ini
memiliki kemampuan makan yang tinggi. Larva akan masuk ke dalam bagian
tanaman dan aktif makan disana, sehingga bila populasi masih sedikit akan sulit
dideteksi. Imagonya merupakan penerbang yang kuat dan memiliki daya jelajah
yang tinggi (CABI 2019).
Spodoptera frugiperda bersifat polifag, beberapa inang utamanya adalah
tanaman pangan dari kelompok Graminae seperti jagung, padi, gandum, sorgum,
dan tebu sehingga keberadaan dan perkembangan populasinya perlu diwaspadai.
Adapun kerugian yang terjadi akibat serangan hama ini pada tanaman jagung di
negara Afrika dan Eropa antara 8,3 hingga 20,6 juta ton per tahun dengan nilai
kerugian ekonomi antara US$ 2.5-6.2 milyar per tahun (FAO & CABI 2019).
Telur diletakkan pada malam hari pada daun tanaman inang, menempel
pada permukaan bagian bawah dari daun bawah, dalam kelompok 100-300 butir
dan kadang-kadang dalam dua lapisan, biasanya ditutupi dengan lapisan
pelindung rambut abdomen. Penetasan telur membutuhkan 2-10 hari (biasanya 3-
5). Larva muda makan jauh ke dalam lingkaran pucuk tanaman; instar pertama
makan secara berkelompok pada bagian bawah daun muda yang menyebabkan
bagian bawah daun habis dan hanya tersisa kerangka daun (efek skeletonizing)
yang khas, dan titik pertumbuhannya dapat terhenti. Larva yang lebih besar
bersifat kanibal, sehingga hanya ada satu atau dua larva pertanaman. Tingkat
perkembangan larva melalui enam instar dipengaruhi oleh kombinasi dari
makanan dan kondisi suhu, dan biasanya membutuhkan waktu 14-21 hari. Larva
yang lebih besar nokturnal kecuali saat ketika mencari sumber makanan lain.
Pupasi terjadi di dalam tanah, atau jarang di daun tanaman inang, dan
membutuhkan waktu 9-13 hari. Imago dewasa muncul pada malam hari, dan
biasanya menggunakan periode pra-oviposisi alami untuk terbang sejauh
beberapa kilometer sebelum oviposit, suatu saat bermigrasi untuk jarak yang
jauh. Rata-rata, imago hidup selama 12-14 hari (CABI, 2017).
7

Spodoptera frugiperda adalah spesies tropis, suhu optimal untuk


perkembangan larva dilaporkan 28°C, tetapi lebih rendah untuk oviposisi dan
pupation. Di daerah tropis, perkembangbiakan dapat berkelanjutan dengan empat
hingga enam generasi per tahun, tetapi di wilayah utara hanya satu atau dua
generasi yang berkembang; pada suhu yang lebih rendah, aktivitas dan
perkembangan berhenti, dan ketika pembekuan terjadi, semua tahapan biasanya
mati. Di AS, Spodoptera frugiperda biasanya hanya ada pada musim dingin di
Texas selatan dan Florida. Pada musim dingin yang ringan, pupa bertahan di
lokasi utara (CABI, 2017).

2.4 Ekobiologi Parasitoid


Parasitoid adalah golongan organisme yang hidupnya manumpang pada
atau hidup didalam tubuh inangnya (hama) serta menghisap cairan tubuh
inangnya agar dapat tumbuh dan berkembang secara normal. Parasitoid dapat
menyebabkan kematian pada inangnya. Kehidupan parasitoid sangat bergantung
pada keberadaan atau populasi hama sebagai inang. Parasitoid membunuh inang
secara perlahan sampai akhirnya inang mati. Proses dimana terjadi simbiosis
antara dua individu yang salah satu diantaranya menumpang dan makan dengan
cara meyedot cairan tubuh sari simbion lain disebut parasitisme (Juniawan,
2013).
Parasitoid merupakan organisme yang meletakkan telurnya di dalam atau
menempel pada inang organisme lain. Dalam perkembangannya, larva parasitoid
memakan jaringan inang hingga mereka dewasa dan membentuk pupa. Sebagian
besar parasitoid yang berasosiasi dengan Spodoptera frugiperda adalah jenis
tawon Beberapa parasitoid di bawah ini, merupakan jenis parasitoid yang
diketahui berasosiasi dengan Spodoptera frugiperda (Nonci et al., 2019).
8

1. Telenomus remus Nixon (Hymenoptera:Platygastridae)

Gambar 1.Telenomus remus Nixon


Foto :L. Buss dan G. Georgen. 2019

Berukuran kecil sekitar 0.6 mm dengan tubuh hitam mengkilap. Sayap


berwarna transparan dan venasi mereduksi.Bagian antena betina memiliki 11
segmen dimana 5 segmen terakhir membesar. Jantan memiliki 12 segmen yang
sama besar. spesies ini berperilaku sebagai parasitoid telur. Betina T. remus
tertarik pada kumpulan telur FAW tempat mereka meletakkan telurnya. Larva
parasitoid berkembang di dalam telur FAW hingga muncul sebagai tahap
dewasa.selama masa hidup mereka, betina dapat menyerang sekitar 120-130 telur
FAW. Pengembangan membutuhkan waktu sekitar 10 hari pada suhu 28⁰C,
dengan demikian sekitar 40 generasi dihasilkan per tahun. T.remus dilaporkan
sangat efektif di beberapa negara Amerika Selatan dengan tingkat parasitisme di
atas 80 persen.
2. Chelonus insularis Cresson(Hymenoptera:Braconidae)

Gambar 2.Chelonus insularis Cresson


Foto :C. J. Stuhl. 2019

Parasitoid berukuran sekitar 5 mm. terdapat pita putih di dasar perut.Sayap


memiliki banyak venasi.Antena filiform memiliki 16 segmen atau lebih.
9

C.insularis merupakan parasitoid ovo-larval. Betina meletakkan telurnya pada


telur FAW, tetapi larva parasitoid baru memulai perkembangannya pada saat
tahap instar larva FAW. Ketika dewasa, larva parasitoid keluar dari inangnya
menjadi kepompong, satu betina dapat menyerang sekitar 600 telur FAW. Pada
28-30⁰C parasitoid dapat berkembang dalam 20-22 hari dan betina dapat hidup
selama sekitar 12 hari. C.insularis adalah parasitoid FAW yang paling umum di
Karibia serta di Amerika Tengah dan Selatan.
3. Cotesia marginiventris Cresson (Hymenoptera: Braconidae)

Gambar 3.Cotesia marginiventris Cresson


Foto :Fernandez-Triana J. dan A.S.T. Willener. 2019

Panjang rata-rata 3 mm. Sementara kepala dan dada berwarna hitam,


perutnya berwarna cokelat. Antena sedikit lebih pendek dari panjang tubuh.
Betina dapat dikenali oleh ovipositor yang sangat pendek di ujung perut.
C.marginiventris pada FAW menyerang larva instar 1 dan 2. Sesaat sebelum
membentuk pupa larva parasitoid meninggalkan inangnya membentuk
kepompong putih berukuran 4 mm, tawon dewasa akan muncul beberapa hari
kemudian. Parasitoid membutuhkan 12 hari untuk berkembang dari telur hingga
dewasa pada suhu 30⁰C. Secara total, 200 hingga 300 keturunan diproduksi oleh
satu individu betina. Tahap dewasa memiliki umur 22 hingga 30 hari.
C.marginiventris lebih tahan insektisida sintetik dibandingkan parasitoid lain.
10

4. Trichogramma spp. (Hymenoptera:Trichogrammatidae)

Gambar 4.Trichogramma spp.


Foto :Heraldo Negri. 2019

Ada banyak spesies dari genus Trichogramma yang diketahui berkembang


di dalam telur FAW. Berukuan kecil dengan panjang kurang dari 0,5 mm. Tahap
dewasa kebanyakan berwarna oranye, coklat atau bahkan hitam. Betina dewasa
meletakkan telurnya di dalam telur FAW.Seiring dengan perkembangan larva
telur FAW menjadi lebih gelap dan hitam ketika parasitoid berkepompong.Tahap
dewasa muncul dengan membuat lubang keluar pada telur FAW. Parasitoid
menyelesaikan perkembangannya dalam waktu sekitar 8 hari pada suhu 28⁰C.
Betina menyerang hingga 120 telur dan hidup selama 6-7 hari. Di Amerika Latin
Trichogramma spp., Khususnya T. pretiosum dan T. atopovirilia, umumnya
dipelihara secara massal pada inang alternatif di unitproduksi lokal.

2.5 Hubungan Sistem Tanam Tanaman Jagung Dengan Keberadaan


Parasitoid Hama Spodoptera Frugiperda
Pola tanam terbagi atas sitem pola tanam monokultur atau pertanaman
tunggal dan sistem pola tanam polikultur atau menanam dua jenis tanaman atau
lebih dalam satu lahan dan dalam waktu yang sama. Kruss and Tscharantke
(2000) menambahkan tipe dan kualitas habitat, dan keterhubungan antar dua
atau lebih habitat dalam suatu lanskap dapat mempengaruhi keanekaragaman
hayati dan fungsi ekosisitem. Keanekaragaman
10 struktur lanskap pertanian tidak
hanya mempengaruhi keanekaragaman musuh alami (parasitoid) di dalam
11

pertanaman, tetapi juga kelimpahan dan keefektifannya. Keanekaragaman


parasitoid seperti juga serangga pada umumnya sangat dipengaruhi oleh
kompleksitas suatu lanskap, jenis vegetasi, iklim,garis lintang dan ketinggian di
atas permukaan laut. Nilai kompleksitas suatu daerah dikatakan tinggi jika
daerah itu disusun oleh vegetasi yang beragam. Habitat yang beragam dalam
pengertian memiliki jenis tanaman yang banyak pada suatu daerah dan
menyediakan sumber daya yang lebih baik kepada serangga. Tanaman yang
beranekaragam pada suatu wilayah dapat mengurangi persaingan interspecies
sehingga keberhasilan hidup serangga di wilayah tersebut lebih terjamin.
Menurut Achmad dan Tandiabang (2005) bahwa Kehadiran dan tingkat
serangan hama ini banyak ditentukan oleh pola tanam setahun dan sistem
pertanamannya baik monokultur maupun polikultur. Penanaman jagung secara
monokultur yang dilakukan beruntun dari musim ke musim, memperkecil
keragaman organisme dan dapat mengakibatkan ledakan populasi hama,
sedangkan pada pertanaman polikultur serangan hama lebih rendah karena
adanya penganekaragaman tanaman (diversifikasi tanaman) sehingga
keanekaragaman organisme menjadi tinggi .
Dalam program PHT, pemakaian pestisida sintesis ditekan seminimal
mungkin. PHT lebih menganjurkan pengendalian secara hayati sehingga
meminimalkan investasi hama pada agroekosistem tersebut (The CGIAR System
wide Program on Integrated Pest Management, 2010). Pengembangan konsep
PHT ditekankan pada sistem pengendalian non-kimiawi dengan memanfaatkan
secara optimal faktor-faktor mortalitas biotik serangga hama. Optimalisasi musuh
alami serangga hama dilakukan melalui tindakankonservasi, yaitu memberikan
lingkungan yang mendukung terhadap musuh alami untuk dapat berperan sebagai
faktor mortalitas biotik, sehingga populasi serangga hama dapat dijaga untuk
selalu berada pada tingkat populasi yang rendah. Tindakan konservasi musuh
alami dilakukan dengan memperbaiki bahan tanaman dan teknik budidaya yang
dapat mendukung perkembangan musuh alami, yaitu penggunaan varietas yang
11
tahan hama, sistem tanam polikultur, penerapan konsep ambang kendali dengan
12

mempertimbangkan keberadaan musuh alami dan aplikasi insektisida botani, jika


diperlukan (Nurindah & Sunarto, 2008).
Salah satu cara pengelolaan agroekosistem adalah menciptakan
keanekaragaman tanaman sehingga menciptakan ekosistem yang lebih kompleks
layaknya ekosistem alami. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan pola tanam
intercropping atau tumpang sari. Tumpang sari adalah suatu bentuk pertanaman
campuran (polyculture) yang melibatkan dua atau lebih jenis tanaman pada suatu
lahan/areal pertanaman pada waktu yang bersamaan atau hampir bersamaan
(Nurindah &Sunarto, 2008).
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pola tanam tumpang sari
efektif menurunkan serangan hama pada agroekosistem. De Sousa (2007)
melaporkan bahwa ada pengurangan insiden serangan hama yang sangat nyata
pada pola tanam tumpang sari jagung dengan kapas dibandingkan dengan pada
pola tanam monokultur jagung maupun kapas. Chamuene et al., (2007) juga
melaporkan bahwa pola tanam polikultur akan meningkatkan produktifitas lahan,
mengurangi biaya produksi khususnya penggunaan pestisida dan meningkatkan
kesehatan agroekosistem. Hal ini dapat dilihat dari adanya predator hama pada
agroekosistem. Menurut Ouma & Jeruto (2010) pola tanam intercropping pada
tanaman hortikultura akan meningkatkan diversifitas dan stabilitas ekosistem
pertanian, meningkatkan pendapatan petani, mengurangi erosi tanah dan
mengurangi investasi hama dan penyakit tanaman. Sutrisnae al.,(2010)
melaporkan bahwa tumpangsari kentang dan seledri dapat menurunkan serangan
hama daun Trips sebesar 44 persen dan hama kutu daun Myzus persicae sebesar
55,6 persen pada tanaman kentang.
Sistem polikultur akan meningkatkan keragaman serangga pada
agroekosistem yang terdiri dari hama maupun musuh alami. Pertanaman
polikultur menyediakan lingkungan yang lebih baik bagi serangga predator dan
parasit sehingga dapat mengendalikan populasi hama secara alamiah. Kondisi ini
termasuk distribusitemporal dan spasial yang lebih besar dari nektar dan sumber
12
tepung sari, baik yang menarik musuh alami dan meningkatkan potensi
reproduksi mereka, penutupan tanah meningkat, yang terutama penting bagi
13

beberapa predator serangga yang aktif malam hari, dan lebih banyak spesies
serangga herbivora sebagai alternatif bagi pemangsa ketika mangsa lain langka
atau pada tahap yang tidak tepat siklus hidup mereka (Geno & Geno, 2001 dalam
Simmon, 2005).
Adanya musuh alami akan menyebabkan populasi hama dapat dikendalikan
pada batas ambang yang tidak merugikan secara ekonomi. Berbagai hasil
penelitian menunjukkan bahwa 53% kepadatan populasi hama berkurang pada
pertanaman polikultur. Beberapa jenis tanaman yang ditanam secara simultan
akan meningkatkan kepadatan predator dan parasit yang mampu menekan
populasi hama sehingga penggunaan pestisida berkurang. Beberapa spesies yang
ditanam pada polikultur juga dapat menunda inisiasi penyakit tanaman dengan
mengurangi penyebaran spora akibat modifikasi kindisi mikroklimat yang tidak
sesuai bagi spora tersebut (Lithourgidis, et al., 2011).
Altieri et al. (1978) melaporkan bahwa polikultur kacang hijau dengan jagung
menurunkan populasi Empoasca kraemeri sebesar 26% dan populasi Diabrotica
balteata 45% pada tanaman kacang hijau sedangkan serangan hama Spodoptera
frugiperda menurun sebesar 15 % pada tanaman jagung. Diversifikasi pola tanam
monokultur dengan jenis tanaman lain yang bukan tanaman inang suatu jenis
hama kelihatannya merupakan strategi yang efektif dalam pengelolaan hama di
daerah tropis.
Polikultur antara kentang dengan tagetes dapat menekan populasi keempat
hama yang menyerang tanaman kentang. Hal ini menunjukkan bahwa, ada
pengaruh penggunaan tanaman perangkap terhadap penurunan populasi hama
tersebut. Penanaman tumpangsari atau polikultur menyebabkan populasi
serangga dan serangannya lebih rendah dari penanaman monokultur. Hasil
penelitian Sutrisna et al., (2010) pola tanam Tumpangsari kentang dan seledri
dapat menurunkan serangan hama daun Trips sebesar 44 persen dan hama kutu
daun M. persicae sebesar 55,6 persen pada tanaman kentang.
Strategi yang perlu diperhatikan dalam polikultur adalah menetapkan jenis
13
dan disain pertanaman yang efektif untuk menciptakan distribusi spasial dan
temporal yang menyediakan mangsa (pakan) danhabitat sehingga menarik musuh
14

alami dan meningkatkan potensi reproduksi mereka. Dengan demikian dapat


mengendalikan hama secara alami. Di daerah tropis pola tanam polikultur
terbukti efektif mengurangi infestasi hama pada agroekosistem. Pemilihan
tanaman tumpangsari didasarkan kepada beberapa hasil penelitian yang
menunjukkan efektifitasnya dalam menekan perkembangan populasi hama
(Tandiabang et al., 2005).

14
15

BAB III. METODELOGOI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada kawasan budidaya tanaman jagung dengan
sistem tanam yang berbeda, di lahan petani yang berda di pulau Lombok
diantaranya yaitu Kecamatan Kediri, Lombok Barat terdapat dua lokasi yaitu
Jagaraga (8˚39’06.0327”S-116˚09’25.452”E), dan Montong Are (8˚37’26.796”S-
116˚10’35.0328”E), Kecamatan Gerung, Lombok Barat (8˚39’56.4”S-
116˚81’4.1”E), Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah (8˚41’13.8”S-
116˚12’31.8”E), Kecamatan Praya, Lombok Tengah (8˚39’5.6”S-
116˚17’44.3”E), Kecamatan Terara, Lombok Timur (8˚40’25.8”S-
116˚23’55.6”E), Kecamatan Sikur, Lombok Timur (8˚36’13.8”S-116˚26’1.1”E),
Kecamatan Suela, Lombok Timur (8˚31’44.7”S-116˚33’55.6”E), Kecamatan
Bayan, Lombok Utara (8˚13’46.8”S-116˚19’28.5”E), Kecamatan Kayangan,
Lombok Utara (8˚14’53.1”S-116˚16’23.4”E). Yang dilaksanakan pada bulan
September sampai bulan Desember tahun 2020.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
Adapun bahan dan alat yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain
tanaman jagung, tabug reaksi, meteran, tali plastik, botol, kertas lebel, patok,
gunting, kamera, mikroskop stereo dan alat tulis.
3.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode deskriptif kuantitatif
eksploratif, dengan teknik observasi lapangan.
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Penentuan Lokasi Penelitian
Survei dilakukan untuk menetepkan lokasi tempat penelitian, Lokasi
yang di pilih yaitu lahan pertanaman jagung milik petani yang memiliki
pola tanam berbeda yaitu pola tanam monokultur dan polikultur.
15
Pemilihan lokasi pertama dan lokasi selanjutnya memiliki jarak sekitar
1 km, Survei dilakukan dibeberapa daerah yang terdapat tanaman
16

jagung dengan pola tanam monokultur dan polikultur untuk


mendapatkan data yang dinginkan.
3.4.2 Floating
Pengamatan populasi dilakukan pada setiap lahan tanaman jagung dan
dibagi secara diagonal dengan 5 plot dengan ukuran 5 x 5 m,
pengambilan sampel telur Spodoptera Frugiperda secara acak atau
random.

1 4

2 5

Gambar 5. Plot Pengambilan Sampel


3.4.3 Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara langsung pada tanaman jagung
dengan menggunting bagian daun yang terdapat telur dari Spodoptera
frugiperda, telur yang diperoleh dimasukan kedalam kantong plastik
dan diberi label.
3.4.4 Parameter Yang Diteliti
Dalam peneltian ini yang diamati yaitu keberadaan parasitoid telur
Spodoptera Frugiperda, jumlah parasitoid dan keragaman spesies
parasitoid yang ditemukan pada tanaman jagung yang terdapat pada
kedua sistem tanam tersebut.
3.4.5 Pengamatan hasil koleksi spesimen
Sampel yang diperoleh dari lapangan kemudian dibawa ke laboratorium
Proteksi Tanaman dan dipindahkan ke tabung reaksi lalu ditutup,
selanjutnya disimpan dan dikelompokan sesuai lokasi dan sistem
tanamnya kemudian diberi label. Pengamatan telur dilakukan setiap hari
16
dengan mencatat jumlah telur yang menetas dan telur yang tidak
menetas, telur yang menetas larvanya dibersihkan dari telur yang tidak
17

menetas, selanjutnya tetap diamati apakah telur tersebut terparasit.


Telur yang terparasit akan berubah warna menjadi kehitaman.
Perubahan warna ini disebabkan oleh pengendapan pigmen hitam pada
selaput vitelin dan telur yang terparasit akan menetaskan serangga
parasitoid.

3.5 Identifikasi
Identifikasi dilakuakan dengan mengamati spesimen parasitoid yang
terkoleksi di lapangan. Identifikasi dilakukan berdasarkan ciri morfologi meliputi
bentuk dan venasi sayap, tungkai, tipe antenna, dan pengamatan morfologi
dilakukan dengan menggunakan mikroskop stere. Kemudian hasil pengamtan
tersebut dibandingkan dengan karakteristik morfologi parasitoid Spodoptera
frugiperda yang mengacu pada buku karangan Nonci et al., 2019, Boror, 1992,
dan penelitian sebelumnya.

3.6 Analisis Data


Tingkat parasitasi telur ngengat Spodoptera frugiperda yang terparasit,
dihitung dengan menggunakan rumus (Wibowo, 2015) :
P = n/N x 100%
Keterangan:
P = Parasitasi telur
n = jumlah telur yang terparasit
N = jumlah telur yang dipelihara
Keanekaragaman dan kelimpahan parasitoid dapat diukur dengan
menggunakan indeks keragaman Shannon-Wienner. Persamaan indeks Shannon-
Wienner (Jasril, 2016).
H’ = -Σ (pi)(log e. pi)
Keterangan :
Pi = Σni/N
17
H : Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
Pi : Proporsi individu spesies ke-i
18

ni : Jumlah individu spesies ke-i


N : Jumlah total individu semua spesies
Menurut Krebs (1989) dalam (Fachrul,2012) ada 3 kriteria indeks
keanekaragaman dimana :
H < 1.00 = Keanekaragaman Rendah
H > 1.00 ≤ 3.0= Keanekaragaman Sedang
H > 3.00 = Keanekaragaman Tinggi

18
19

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keberadaan Parasitoid Yang Ditemukan


Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakuakan di lapangan dan di
Laboratorium Proteksi Tanaman kurang lebih selama 4 bulan, dari 10 lokasi
pengamatan dengan sistem tanam yang berbeda yaitu sistem tanam monokultur
dan sistem tanam polikultur yang ada di Pulau Lombok di peroleh sebanyak 63
kelompok telur pada sistem tanam monokultur, sedangkan pada sistem tanam
polikultur diperoleh sebanyak 25 kelompok telur. Setelah dilakukan identifikasi
ditemukan 1 spesies parasitoid yang memparasit telur hama Spodoptera
frugiperda yang telah didapatkan di lapangan. Spesies ini termasuk dalam ordo
Hymenoptera dan famili Platygastridae.

4.2 Karakteristik Morfologi Parasitoid Yang Ditemukan

h
a a
a
b

g
c

b
b

c c

f
d
A e B C

d b

c
b

19 a

a D E
20

Gambar 6. karakter morfologi family platygrastidae. A. Tubuh serangga


(a. Caput, b. Thorax, c. abdomen) ; B. Tubuh serangga (a. Antena, b. mulut, c.
Tungkai depan, d. Tungkai tengah, e. Tungkai belakang, f. alat kelamin, g. Sayap,
h. Mata majemuk ) ; C. Caput (a. Antena, b. Mulut, c. mata majemuk) ; D.
tungkai belakang (a. Femur, b. Tibia, c. Tarsus, d. Pretarsus); E. Sayap (a. Venasi
mereduksi, b. bulu halus).
Karakteristik Tubuh serangga dari family platygrastidae berdasarkan hasil
identifikasi adalah tubuh berwarna hitam mengilap dengan ukuran kurang lebih
1,2 mm, Yang terbagi menjadi 3 bagian yaitu caput, thorax dan abdomen.
karakter kuat dari platygrastidae jenis ini terletak pada bentuk tubuh, warna
tubuh, sayap dan bentuk antena yang dapat diajadikan pembeda dengan parasitoid
telur hama Spodoptera frugiperda yang lainnya (Nonci et al., 2019).
Pada caput terdapat sepasang antena yang melengkung berwarna kuning
kecoklatan, dengan ukuran kurang lebih 0,3 mm. Menurut Nonci et al., (2019)
Pada antena betina memiliki 5-10 segmen sedangkan pada antenna jantan terdiri
dari 8-10 segmen dimana pada keduanya 5 segmen terakhir membesar dengan
bentuk umum antena melengkung. Menurut Jhonshon (1996) bentuk antena ini
masuk kedalam antena bentuk gada yaitu antena yang terdiri dari beberapa
segmen dengan segmen terakhir yang membesar. Serangga ini memiliki sepasang
mata majemuk dan mata majemuknya tidak menutupi seluruh kepala. Selain itu
serangga ini juga memliki tipe mulut menjilat menghisap.
Thorax berwarna hitam mengkilap terbagi menjadi 3 bagian yaitu
protothorax, mesothorax dan metathorax, yang mana terdapat 3 pasang tungkai
yang berwarna kuning kecoklatan yang memiliki ukuran yang sama dengan
panjang yang berbeda karna tungkai belakang memiliki ukuran yang lebih
panjang dari yang lain yaitu kurang lebih 0,6 mm yang terbagi menjadi 4 bagian
yaitu femur, tibia, tarsus, pretarsus. Pada thorax juga terdapat sepasang sayap
transparan yang di kelilingi oleh bulu-bulu halus dengan panjang kurang lebih 0,3
mm yang berada di bagian mesothorax dengan venasi mereduksi. Pada abdomen
20
terdapat alat kelamin lengkap dengan sistem pencernaannya.
21

4.3 Tingkat Parasitasi Parasitoid


Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di laboratorium proteksi
tanaman diperoleh data jumlah telur terkoleksi yang menetas menjadi larva,
parasitoid dan yang rusak dari 10 lokasi berbeda tanaman jagung, yang terbagi
menjadi 2 sistem tanam yaitu monokultur dan polikultur dapat di lihat pada Tabel
di bawah ini :
Tabel 1.Jumlah Telur Terparasit Pada Sistem Tanam Monokultur

No Lokasi Jumlah Telur Menetas Telur Tanggal


Telur Terparasit Larva Rusak
Terkoleksi
1 Sikur 4741 3952 540 249 30/09/2020
2 Gerung 0 0 0 0 30/09/2020
3 Kayangan 122 38 84 0 04/10/2020
4 Praya 584 425 159 0 12/10/2020
5 Suela 75 21 54 0 21/11/2020

Tabel 2.Jumlah Telur Terparasit Pada Sistem Tanam Polikultur

No Lokasi Jumlah Telur Menetas Telur Tanggal


Telur Terparasit Larva Rusak
Terkoleksi
1 Terara 528 472 56 0 30/09/2020
2 Bayan 124 103 21 0 04/10/2020
3 Jonggat 1169 998 99 72 12/10/2020
4 Kediri (Jagaraga) 978 921 57 0 09/11/2020
5 Kediri (Montong Are) 331 246 85 0 28/11/2020
Berdasarkan tabel 1. Di atas dapat diketahui jumlah telur yang dikoleksi,
terparasit, menetas menjadi larva dan telur yang rusak pada kawasan dengan
sistem tanam monokultur. Di kecamatan Sikur telur yang dikoleksi sebanyak
4.741 butir, dari jumlah telur tersebut 3,952 butir merupakan telur terparasit, 540
butir menetas menjadi larva dan telur yang rusak sebanyak 249 butir. Pada
kecamatan Gerung tidak diperoleh telur dari Spodoptera frugiperda ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu umur tanaman yang sudah dewasa dan telah
dilakukan penyemprotan oleh petani untuk mematikan hama tersebut sehingga
21
Spodoptera frugiperda tidak dapat berkembang dan menghasilkan telur. Pada
kecamatan Kayangan telur yang dikoleksi sebanyak 122 butir, telur yang
22

terparasit sebanyak 38 butir , telur yang menetas menjadi larva sebanyak 84 butir,
dan tidak ditemukan telur yang rusak. Pada kecamatan Praya telur yang dikoleksi
sebanyak 584 butir, telur yang terparasit sebanyak 425 butir, telur yang menetas
menjadi larva sebanyak 159 butir, dan tidak ditemukan telur yang rusak. Pada
kecamatan Suela telur yang dikoleksi sebanyak 75 butir, telur yang terparasit
sebanayak 21 butir, telur yang menetas menjadi larva sebanyak 54 butir, dan tidak
ditemukan telur yang rusak. Dari hasil pengamatan di atas dapat diketahui jumlah
telur terbanyak terdapat di kecamatan Sikur dengan 4.742 butir telur.
Berdasarkan tabel 2. Di atas dapat diketahui jumlah telur yang terkoleksi,
terparasit, menetas menjadi larva dan telur yang rusak pada kawasan dengan
sistem tanam polikultur. Di kecamatan Terara telur yang dikoleksi sebanyak 528
butir, telur yang terparasit sebanyak 472 butir, telur yang menetas menjadi larva
sebanyak 56, dan tidak ditemukan telur yang rusak. Pada kecamatan Bayan telur
yang dikoleksi sebanyak 124 butir, telur yang terparasit sebanyak 103 butir, telur
yang menetas menjadi larva sebanyak 21 butir, dan tidak ditemukan telur yang
rusak. Pada kecamatan Jonggat telur yang dikoleksi sebanyak 1.169 butir, telur
yang terparasit sebanyak 998 butir, telur yang menetas menjadi larva sebanyak 99
butir, dan telur yang rusak sebanyak 72 butir. Pada kecamtan Kediri (Jagaraga)
telur yang dikoleksi sebanyak 978 butir, telur yang terparasit sebanyak 921 butir,
telur yang menetas menjadi larva sebanyak 57 butir, dan tidak ditemukan telur
yang rusak. Pada kecamatan Kediri (Montong Are) telur yang dikoleksi sebanyak
331 butir, telur yang terparasit sebanyak 246 butir, telur yang menetas menjadi
larva sebanyak 85 butir, dan tidak ditemukan telur yang rusak. Dari hasil
pengamatan pada tabel 2. Di atas dapat diketahui bahwa jumlah telur terbanyak
terdapat di Kecamatan Jonggat dengan 1.169 butir telur.

22
23

Tabel 3.Tingkat Parasitasi Parasitoid Pada Sistem Tanam Monokultur

Lokasi Jumlah Parasitasi %


Telur Telur
Terkoleksi Terparasit
Sikur 4.741 3.952 83,35 %
Gerung 0 0 0%
Kayangan 122 38 31,14 %
Praya 584 425 72,77 %
Suela 75 21 28 %
Total 5.522 4.436
Rerata 1.104,4 887,2 80,33 %

Tabel 4. Tingkat Parasitasi Parasitoid Pada Sistem Tanam Polikultur

Lokasi Jumlah Parasitasi %


Telur Telur
Terkoleksi Terparasit
Terara 528 472 89,39 %
Bayan 124 103 83,06 %
Jonggat 1.169 998 85,37 %
Kediri (Jagaraga) 978 921 94,17 %
Kediri (Montongare) 331 246 74,32 %
Total 3.130 2.740
Rerata 626 548 87,54 %

Berdasarkan data di atas dapat di ketahui bahwa jumlah total telur yang
dikoleksi memiliki perbedaan antara sistem tanam monokultur dan polikultur,
pada sistem tanam monokultur memiliki jumlah total telur yang lebih tinggi yaitu
sebanyak 5.522 butir dibandingkan dengan sistem tanam polikultur yaitu
sebanyak 3.130 butir. Setelah dilakukan Uji-t diperoleh bahwa terdapat
perbedaan jumlah telur yang terkoleksi antara sistem tanam monokultur dan
polikuiltur.
Berdasarkan data di atas tingkat parasitasi oleh parasitoid jenis Telenomus
23
remus nixon dari ordo hymenoptera dan famili platygrastidae ini menunjukan
hasil yang berbeda, pada sistem tanam monokultur diperoleh tingkat parasitasi
24

nya lebih rendah yaitu sebesar 80,33 % dibandingkan dengan sistem tanam
polikultur tingkat parasitasi nya yang lebih tinggi yaitu sebesar 87,54 %, artinya
sistem tanam polikultur dapat lebih efisien dalam menyediakan musuh alami
khususnya parasitoid dari Spodoptera frugiperda dalam upaya pengendaliannya.
Setelah dilakukan Uji-t diperoleh bahwa terdapat perbedaan tingkat parasitasi
telur ntara sistem tanam monokultur dan polikuiltur.
Dari data di atas dapat diketahui bahwa sistem tanam polikultur memiliki
tingkat parasitasi yang lebih tinggi ini dikarenakan adanya ketersediaan makanan
bagi musuh alami hama tersebut, Manipulasi habitat yang baik dapat digunakan
dalam pengendalian OPT kaitannya dengan penyediaan makan alternative dari
musuh alami yang membantu pengendalian OPT serta dapat digunakan sebagai
inang alternative atau perlindungan alami (Gontijo, 2019). Secara alami semua
organisme di alam mempunyai musuh. Contohnya yaitu wereng coklat yang
bermusuhan dengan predator (Lycosa, Paederus, Coccinella, dsb), parasitoid
(Cytorrhinus), dan pathogen (Beauveria). Adanya kegagalan dari peran musuh
alami dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian musuh alami karena
ketiadaan tempat berlindung saat penyemprotan dan kekurangan makanan saat
tidak ada tanaman (Wijayanti, et al.¸ 2019).
Peningkatan keanekaragaman tanaman dapat dilakukan dengan
membudidayakan tanaman pendamping yang di tanam berdampingan dengan
tanaman utama (Landis et al. 2000). Tanaman pendamping tidak harus tanaman
berbunga. Tanaman tanpa bunga juga masih dapat menyediakan sumber pangan
musuh alami dan tempat berlindung musuh alami. Kehadiran musuh alami
dengan bantuan tanaman pendamping, secara terus menerus dapat menurunkan
tingkat serangan dari OPT (Snyder, 2015).
Telenomus remus Nixon mampu memparasitisasi seluruh massa telur,
bahkan telur yang terletak di lapisan dalam dari tanaman jagung,karena seperti
yang kita ketahui bahwa ada 3 lokasi dari tanaman jagung yang di jadikan
sebagai tempat peletakan telur oleh hama ini yaitu lokasi yang tidak terpapar
24
langsung oleh sinar matahari di antaranya yaitu : atas daun, bawah daun dan
lokasi antara bakal daun dan daun dewasa (Figueiredo et al., 2010).
25

Menurut Hassan (2012) keberhasilan pengendalian telur hama Spodoptera


frugipeda secara biokontrol menggunakan parasitoid jenis Telenomus
remus dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : seperti inang tempat hidupnya,
kondisi iklim yang sesuai atau yang tidak sesuai bagi keberlangsungan hidup dan
berkembangan parasitoid. Menurut Roseinheim (1996) Angin menjadi faktor
penting yang dapat mempengaruhi tingkat keberadaan parasitoid dari famili
platygrastidae, karena ukurannya yang kecil. Seperti yang telah dilakukan pada
beberapa percobaan pelepasan parasitoid pada budidaya pertanaman jagung di
beberapa wilayah. yang harus membaca arah angin dengan cermat saat pelepasan
parasitod dari serangga yang masuk dalam famili platygrastidae ini.
Menurut Cave (2000) selain angin kapasitas penyebaran parastoid dari
family platygrastdae ini juga tergantung dari faktor suhu dan kelembapan. Betina
dari parasitoid ini mampu untuk memparasitisasi inangnya pada suhu antara 15-
31 °C dengan kinerja superior pada suhu di atas 20° C. Hasil serupa dilaporkan
oleh Pomari (2012) di mana kisaran optimum untuk pengembangan Telenomus
remus adalah antara 22 dan 28° C dengan Kelembaban relatif di atas 60% baik
dan sesuai bagi perkembangan dan pertumbuhan dari parasitoid.

25

BAB V PENUTUP
26

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Ditemukan satu family platygrastidae yang menjadi parasitoid pada
telur hama Spodoptera frugiperda pada sistem tanam monokultur dan
polikultur di Pulau Lombok.
2. Berdasarkan hasil indentifikasi parasitoid ini memiliki tubuh berwarna
hitam mengilap dengan ukuran kurang lebih 1,2 mm, Yang terbagi
menjadi 3 bagian yaitu caput, thorax dan abdomen. karakter kuat dari
platygrastidae jenis ini terletak pada bentuk tubuh, warna tubuh, sayap
dan bentuk antena yang dapat diajadikan pembeda dengan parasitoid
telur hama Spodoptera frugiperda yang lainnya.
3. Pada sistem tanam monokultur diperoleh telur sebanyak 5.522 butir
telur, telur terparasit sebanyak 4.436 butir, telur yang menetas menjadi
larva sebanyak 837 butir, dan telur yang rusak sebanyak 249 butir.
Sedangkan pada sistem tanam polikultur diperoleh telur sebanyak
3.130 butir, telur yang terparasit sebanyak 2.740 butir, telur yang
menetas menjadi larva sebanyak 318 butir, dan telur yang rusak
sebanyak 72 butir.
4. Diperoleh tingkat parasitasi parasitoid pada sistem tanam polikultur
lebih tinggi yaitu 87,54 % dibandingkan dengan sistem tanam
monokultur yaitu 80,33 %

5.2 Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai parasitoid telur hama
Spodoptera frugiperda yang ada di Pulau Lombok,

26 PUSTAKA
DAFTAR
27

Achmad A Tenrirawe dan Tandiabang J. 2005 Dinamika Populasi Hama Utama


Tanaman Jagung Pada Pola Tanam Berbasis Jagung. prosiding seminar
ilimiah dan pertemuan tahunan PBJ dan PFJ XVJ Komda Sul-Sel.

Altieri, M.A., Charles A.F.,AART Van Schoonhoven and Jerry D.Doll, 1978. A
Review of Insect Prevalence in Maize (Zea Mays L. and Bean (Phaseolus
vulgaris L.) Polycultural Systems. Field Crops Research, 1:33-39.

Baco, Djafar., Tandiabang, Johanes. 2018. Hama Utama Jagung dan


Pengendaliannya. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Maros

Belfield, Stephanie & Brown, Christine. 2008. Field Crop Manual: Maize (A
Guide to Upland Production in Cambodia). Canberra

CABI. 2017. General Information on Fall Army Worm. Entomol. 76:1052-4.

CABI. 2019 Spodoptera frugiperda (Fall Armyworm).


https://www.cabi.org/ISC/fallarmyworm. Diakses [ 12 Maret 2021 ].

Cave, R.D., 2000. Biology, ecology and use in pest management of Telenomus
remus. Biocontrol 21: 21–26.

Chamuene et al., 2007. Cropping systems and pest management strategies in the
Morrumbala region of Mozambique: enhancing smallholders cash crop
production and productivity. African Crop Science Conference
Proceedings Vol. 8. pp. 1045- 1047

De Sousa, H.F.A., 2007. Effect of strip intercropping of cotton and maize on pests
incidence and yield in Morumbala District, Mozambique. African Crop
Science Conference Proceedings Vol. 8. Pp. 1053-1055.

Fachrul, F.M. 2012. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.

[FAO dan CABI] Food and Agriculture Organization,CABI. 2019. Community-


Based Fall Armyworm (Spodoptera frugiperda) Monitoring, Early
Warning and Management.Training of Trainers Manual, First Edition.
112 pp.

Figueiredo, M.L.C. et al. 2002. Effect of Telenomus remus Nixon (Hymenoptera:


Scelionidae) density on control of Spodoptera frugiperda (Smith)
(Lepidoptera: Noctuidae) egg masses upon release in a maize field.
Revista Brasileirao. 2: 12-19.
27
Gontijo, M. 2019. Engineering Natural Enemy Shelters to Enhance Conservation
Biological Control In Field Crops. Biological Control, 130: 155-163
28

Harahap IS. 2018. Fall Armyworm on Corn a Threat to Food Seceruty in Asia
Pacific Region. Jawa Barat. Bogor

Hasan S.M. 2012. Karakteristik biologis dan persyaratan termal dari agen
kontrol biologis Telenomus remus (Hymenoptera: Platygastridae) yang
dipelihara pada Fase telur Entomologi. 105 : 73–81.

Jasril, Decil A, et al. 2016 Keanekaragaman Hymenoptera Parasitoid Pada


Pertanaman Padi di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi Sumatera Barat
Jurnal Agro Indragin Vol.1.

Johnson NF. 1996. Systematics of Nearctic Telenomus:


classification and revisions of the podisiand phymatae species groups
(Hymenoptera: Scelionidae). Bulletin of the Ohio Biological Survey 3: 1–
113.

Juniawan. 2013. Mengenal Parasitoid: BPP Ketindan


http://bbppketindan.bppsdmp.pertanian.go.id/blog/mengenal-parasitoid.
[12 Maret 2021 ].

[Kementan] Kementerian Pertanian. 2019. Pengenalan Fall Armyworm


(Spodoptera frigiperda J. E. Smith) Hama Baru pada Tanaman Jagung di
Indonesia. Jakarta: Balai Penelitian Tanaman Serealia. 64 p.

Kruess, A., and T. Tscharntke, 2000. Species richness and parasitoid in


fragmented landscape: experiment and field studies with insect on vicis
sepium. Oecologia (122): 129-137.

Landis, D.A., Wratten, S.D. & Gurr G.M. 2000. Habitat Management To
Conserve Natural Enemies Of Arthropod Pests In Agriculture. Annual
Review of Entomology, 45: 175-201

Lithourgidis, A.S, C.A. Dordas, C.A. Damalas, and D.N. Vlachostergios ( 2011 ).
Annual intercrops: an alternative pathway for sustainable agriculture.
Australian Journal of Crop Science.

Muhadjir, Fathan. 2018. Karakteristik Tanaman Jagung. Balai Penelitian Pangan.


Bogor.

Nurindah & D.A. Sunarto, 2008. Konservasi Musuh Alami Serangga Hama
28 Kapas. Perspektif 7(1):1-11.
sebagai Kunci Keberhasilan PHT

Nonci, Nurnina., Muis A., Kalqunty H.S,. 2019. Pengenalan Fall Army Warm
29

Hama Baru Pada Tanaman Jagung di Indonesia. Balai Penelitian


Tanaman Serelia. Maros.

Ouma, G. & Jeruto, P.,2010. Sustainable horticultural crop production through


intercropping: The case of fruits and vegetable crops: A review.
AGRICULTURE AND BIOLOGY JOURNAL OF NORTH AMERICA
1(5): 1098-1105.

Permana, S.N. 2007. Faktor-faktor Internaldan Eksternal yang


Mempengaruhi Petani dalam Memilih Pola Tanam Yang
Menguntungkan. Wawasan TRIDHARMA No. 2 Tahun
XX September 2007.

Pomari, A.F., Bueno, A.F., Bueno, R.C.O.F., Menezes Junior, A.O., 2012.
Biological characteristics and thermal requirements of the biological
control agent Telenomus remus (Hymenoptera: Platygastridae) reared on
eggs of diferent species of the genus Spodoptera (Lepidoptera: Noctuidae).
Ann. Entomol. Soc. Am. 105:72–81.

Raharja dan Wiryanto, W. 2005.Diktat Dasar-dasar Agronomi. Fakultas Pertanian


Universitas Brawijaya, Malang.

Roseinheim. 1999. Metode Molekul Crozier J. Untuk Mendeteksi Spodoptera


Frugiperda Di Ghana, Dan Implikasi Untuk Memantau Penyebaran
Spesies Invasif Di Negara-Negara Berkembang.  Plant protection
Science. 12 : 564-569. 

Sabirin. 2010. Modul Sekolah Lapang Polikultur. BITRA Indonesia. Medan.

Setjanata, S. 1983. Perkembangan Penerapan Pola Tanam dan Pola Usahatani


dalam Usaha Intensifikasi.

Simmons, L. (2005) Agroecological Analysis of a Polyculture.

Snyder, W.E. & Ives, A.R. 2003. Interactions between generalist and specialist
natural enemies: Parasitoids, predators and pea aphid
biocontrol Ecology, 84: 91-107

Sutrisna, N, Suwalan Sastraatmadja, dan Iskandar Ishaq, 2010. Kajian Sistem


Penanaman Tumpang Sari Kentang (Solanum tuberosum L.) di Lahan
Dataran Tinggi Rancabali. 29

Tambunan, Sonia. et al. 2011. Tanam dan Pola Tanam.http://www.tanam-dan-


pola-tanam.pdf.html. Diakses 2 Juni 2021.
30

The CGIAR Systemwide Program on Integrated Pest Management, 2010.


Integrated Pest Management and Crop Health — bringing together
sustainable agroecosystems and people’s health. SP-IPM Secretariat,
International Institute of Tropical Agriculture (IITA), Ibadan, Nigeria.17
pp.

Wahyudin, A. 2016.Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung (Zea mays L.)


Toleran Herbisida Akibat Pemberian Berbagai Dosis Herbisida Kalium
Glifosat. Jurnal Kultivasi Vol. 15(2).

Wibowo, Lestari.,et al. 2015. Kemelimpahan dan Keragaman Jenis Parasitoid


Hama Penggulung Daun Pisang Erionota thrax I. Di kabupaten Lampung
Selatan Jurmal HPT Tropika ISSN 1411-7525 Vol. 15, No 1: 26-32,

Wijayanti, R., Supriyadi dan Wartoyo. 2019. Manipulasi Habitat sebagai solusi
terjadinya Outbreak Wereng Coklat 
https://eprints.uns.ac.id/13749/1/Publikasi_Jurnal_(108).pdf

30
31

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Jumlah Telur Terkoleksi dan Tingkat Parasitasi Parasitoid

Tabel 1.Jumlah Telur Terparasit Pada31


Sistem Tanam Monokultur

No Lokasi Jumlah Telur Menetas Telur Tanggal


32

Telur Terparasit Larva Rusak


Terkoleksi
1 Sikur 4741 3952 540 249 30/09/2020
2 Gerung 0 0 0 0 30/09/2020
3 Kayangan 122 38 84 0 04/10/2020
4 Praya 584 425 159 0 12/10/2020
5 Suela 75 21 54 0 21/11/2020

Tabel 2.Jumlah Telur Terparasit Pada Sistem Tanam Polikultur

No Lokasi Jumlah Telur Menetas Telur Tanggal


Telur Terparasit Larva Rusak
Terkoleksi
1 Terara 528 472 56 0 30/09/2020
2 Bayan 124 103 21 0 04/10/2020
3 Jonggat 1169 998 99 72 12/10/2020
4 Kediri (Jagaraga) 978 921 57 0 09/11/2020
5 Kediri (Montong Are) 331 246 85 0 28/11/2020

Tabel 3.Tingkat Parasitasi Parasitoid Pada Sistem Tanam Monokultur

Lokasi Jumlah Parasitasi %


Telur Telur
Terkoleksi Terparasit
Sikur 4.741 3.952 83,35 %
Gerung 0 0 0%
Kayangan 122 38 31,14 %
Praya 584 425 72,77 %
Suela 75 21 28 %
Total 5.522 4.436
Rerata 1.104,4 887,2 80,33 %

Tabel 4. Tingkat Parasitasi Parasitoid Pada Sistem Tanam Polikultur

Lokasi Jumlah
32 Parasitasi %
Telur Telur
Terkoleksi Terparasit
33

Terara 528 472 89,39 %


Bayan 124 103 83,06 %
Jonggat 1.169 998 85,37 %
Kediri (Jagaraga) 978 921 94,17 %
Kediri (Montongare) 331 246 74,32 %
Total 3.130 2.740
Rerata 626 548 87,54 %

Analisi Data Dengan t-Test


33 Tanam Yang Berbeda
Uji t Jumlah Telur Terkoleksi Pada Sistem

no monokukt polikult
34

ur ur
1 4741 528
2 0 124
3 122 1169
4 584 978
5 75 331

t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

4741 528
Mean 195,25 650,5
Variance 69691,58333 251793,6667
Observations 4 4
Pooled Variance 160742,625
Hypothesized Mean Difference 0
df 6
t Stat -1,605829471
P(T<=t) one-tail 0,079717183
t Critical one-tail 1,943180274
P(T<=t) two-tail 0,159434365
t Critical two-tail 2,446911846

t hit < t tabel = H1 Diterima, H0 Ditolak


t hit > t tabel = H1 Ditolak, H0 Diterima
H1 = terdapat perbedaan jumlah telur terkoleksi antara sistem tanam
monokultur dengan polikultur
H0 = tidak terdapat perbedaan jumlah telur terkoleksi antara sistem tanam
monokultur dengan polikultur

Berdasarkan hasil analisis uji t diatas diperoleh t hitung (-1,60) lebih kecil
dari t tabel (1,94), maka H1 Diterima dan H0 Ditolak artinya terdapat perbedaan
jumlah telur terkoleksi antara sistem tanam monokultur dengan polikultur.

Uji t Tingkat parasitasi Parasitoid Pada Sistem Tanam Yang Berbeda


34
monokuktu
no r polikultur
35

1 83,35 % 89,39 %
2 0% 83,06 %
3 31,1 %4 85,37 %
4 72,77 % 94,17 %
5 28 % 74,32 %

t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

83,35 89,39
Mean 32,9775 84,23
66,5600666
Variance 899,7034917 7
Observations 4 4
Pooled Variance 483,1317792
Hypothesized Mean
Difference 0
df 6
t Stat -3,297594496
P(T<=t) one-tail 0,008228578
t Critical one-tail 1,943180274
P(T<=t) two-tail 0,016457156
t Critical two-tail 2,446911846

t hit < t tabel = H1 Diterima, H0 Ditolak


t hit > t tabel = H1 Ditolak, H0 Diterima
H1 = terdapat perbedaan tingkat parasitasi telur antara sistem tanam
monokultur dengan polikultur
H0 = tidak terdapat perbedaan tingkat parasitasi telur antara sistem tanam
monokultur dengan polikultur

Berdasarkan hasil analisis uji t diatas diperoleh t hitung (-3,29) lebih kecil
dari t tabel (1,94), maka H1 Diterima dan H0 Ditolak artinya terdapat perbedaan
tingkat parasitasi telur antara sistem tanam monokultur dengan polikultur

35
Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian

Anda mungkin juga menyukai