Disusun Oleh:
Kana Afidatul Husna
90717308
Pembimbing:
Rima Fajarwati, S.Si,Apt
DAFTAR ISI
2
DAFTAR ISI............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1. Latar Belakang.................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................3
1.3. Tujuan ..............................................................................................3
1.4. Manfaat ............................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................4
2.1. Respiratory Distress Syndrome.........................................................4
2.1.1. Definisi..................................................................................4
2.1.2. Pravelensi..............................................................................4
2.1.3. Etiologi..................................................................................5
2.1.4. Patofisiologi...........................................................................5
2.1.5. Faktor Risiko.........................................................................7
2.1.6. Komplikasi............................................................................7
2.1.7. Manifestasi Klinis..................................................................7
2.1.8. Diagnosis Banding.................................................................8
2.1.9. Penatalaksanaan.....................................................................9
2.1.9.1 Penatalaksanaan Respiratorik…………………………….9
2.1.9.1 Pemberian Surfaktan…………………………………….13
2.2. Neonatal Sepsis..............................................................................13
BAB III PROFIL PENGOBATAN PASIEN.....................................................16
3.1. Data Pasien.....................................................................................16
3.2. Catatan Terintegrasi.......................................................................17
3.1. Catatan Pengobatan Pasien.............................................................24
BAB IV METODE SOAP....................................................................................26
4.1. Subjektif.........................................................................................26
4.2. Objektif...........................................................................................27
4.2.1. Tanda – Tanda Vital............................................................27
4.2.2. Parameter Laboratorium......................................................32
4.3. Asessment.......................................................................................35
i
4.3.1. Ketepatan Indikasi dan Dosis...............................................35
4.3.2. Interaksi Obat......................................................................39
4.3.3. Drug Related Problems.......................................................39
4.4. Plan.................................................................................................40
4.4.1. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi...................................40
4.4.4.1. Dokter................................................................................40
4.4.4.2. Perawat..............................................................................43
BAB V PEMBAHASAN....................................................................................46
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................57
5.1 Kesimpulan.....................................................................................57
5.2 Saran...............................................................................................57
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................58
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1. Kondisi Pasien
Seleksi berdasarkan kondisi pasien meliputi pasien multidiagnosis dengan
polifarmasi, pasien kanker yang menerima terapi sitostatika, pasien dengan
gangguan fungsi hati dan ginjal, pasien geriatric dan pediatric, pasien hamil dan
menyusui, serta pasien dengan perawatan intensif.
2. Obat
Seleksi berdasarkan obat yang digunakan pasien terbagi menjadi dua, yaitu jenis
dan kompleksitas regimen yang digunakan.
Jenis obat meliputi obat indeks terapi sempit, obat yang bersifat nefrotoksik dan
hepatotoksik, sitostatika, antikoagulan, obat yang sering menimbulkan ROTD serta
obat kardiovaskular.
Kompleksitas regimen meliputi poli farmasi, variasi rute pemberian dan aturan
pakai, serta obat dengan cara pemberian khusus (Depkes RI, 2009).
Respiratory distress syndrome (RDS) atau sindrom gawat napas (SGN)
merupakan gangguan pernapasan tersering yang ditemukan pada bayi prematur.
Kondisi ini disebabkan oleh defisiensi surfaktan, ditandai dengan ketidakmampuan
alveolus untuk mempertahankan kapasitas fungsional residual (KFR) sehingga
menyebabkan gangguan pengembangan paru serta atelectasis, diikuti penurunan
tahanan paru hingga 10-20% dari tahanan paru normal, penurunan volume paru, serta
penurunan perfusi paru (Trihono dkk, 2013).
Pravelensi kejadian RDS di Amerika serikat diperkirakan 1% dari seluruh
kelahiran hidup, yang artinya 4000 bayi meninggal akibat SGNN setiap tahunnya. Di
Indonesia, dari 950.000 BBLR yang lahir setiap lahun diperkirakan 150.000 bayi
diantaranya menderita SGNN dan sebagian besar berupa PMH (Tobing, 2004).
Salah satu manifestasi klinis RDS adalah apnea yaitu suatu konsisi henti napas
dalam waktu singkat atau dalam waktu yang lebih lama hal ini dapat terjadi karena
adanya penghalang dalam jalur pernafasan. Terapi farmakologi yang dapat diberikan
pada kondisi apnea pada bayi dengan RDS adalah pemberian aminofilin secara iv
dengan dosis yang disesuaikan untuk neonates.
Sepsis neonatal early-onset maupun late-onset merupakan salah satu
komplikasi RDS pada pasien neonates, jenis sepsis yang dialami pasien tergantung
kondisi dan faktor komordid yang di miliki pasien neonates. Pengobatan pada sepsis
2
neonatal menurut Vera dan Ochoa (2015) diberikan kombinasi antibiotik penicillin/
ampicillin dengan aminoglikosida secara iv ataupun im.
Pelaksanaan PTO kali ini dilakukan pada Bayi premature usia gestasi 32
minggu dengan diagnosis Preterm Infant (PTI), Respiratory distress Syndrome (RDS),
Appropriate for Gestational Age (AGA) dan SC ai perdarahan antenatal. Dengan
tambahan diagnosis sepsis neonatal dan pneumonia yang menerima pengobatan indeks
terapi sempit yaitu aminofilin dan gentamisin secara iv, dan amikacin secara iv untuk
terapi pneumonia sehingga perlu dilakukan pemantauan terapi obat untuk melihat
ketepatan indikasi, dosis, cara pemberian obat dan efektivitas pengobatan serta
meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD) pada pasien
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pelaksanaan pemantauan terapi obat adalah :
1. Untuk mengetahui ketepatan indikasi, dosis dan cara pemberian serta efektivitas
pengobatan yang diberikan pada pasien PTO
2. Untuk mengetahui ada atau tidaknya Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)
yang muncul pada pasien PTO
1.4 Manfaat
Manfaat dari penyusunan laporan ini adalah sebagai laporan hasil pemantauan terhadap
pasien PTO dan juga sebagai salah satu sumber informasi terkait efektivitas
pengobatan yang diberikan pada pasien meliputi ketepatan indikasi, dosis dan cara
pemberian, serta respon terapi dan untuk minimalisasi dikemudian hari apabila di
temukan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD) dengan pengobatan serupa
pasien PTO yang di pilih kali ini.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Pravelensi
Penyakit membrane hialin (PMH) umumnya terjadi pada bayi premature. Angka
kejadian PMH pada bayi yang lahir pada masa gestasi 28 minggu sebesar 60-80%, pada
usia kelahiran 30 minggu 25%, dan pada usia kelahiran 32-36 minggu sebesar 15-30%. Di
Amerika serikat diperkirakan 1% dari seluruh kelahiran hidup, yang artinya 4000 bayi
4
meninggal akibat SGNN setiap tahunnya. Di Indonesia, dari 950.000 BBLR yang lahir
setiap lahun diperkirakan 150.000 bayi diantaranya menderita SGNN dan sebagian besar
berupa PMH (Tobing, 2004).
Insiden penyakit ini berbanding terbalik dengan usia gestasi neonates, angka
kejadian RDS pada neonates dengan usia gestasi 24-25 minggu berkisar 92%, pada usia
gestasi 26-27 berkisar 88%, pada usia gestasi 28-29 minggu berkisar 76% dan turun
menjadi 57% pada usia gestasi 30-31 minggu (European Perinatal Health Report, 2010)
2.1.3 Etiologi
Penyebab distres pernafasan pada bayi baru lahir dapat bermacam-macam dan
multisistemik. Permasalahan pulmoner dapat terjadi selama pembentukan paru-paru pada
bayi. Penyakit respiratorik dapat terjadi akibat abnormalitas yang terjadi selama
perkembangan setelah maupun sebeelum kelahiran. Perkembangan paru-paru secara
normal terjadi dalam 5 tahapan sebagai berikut (Reuter et al, 2014) :
Tabel 1. Perkembangan Paru-Paru selama Kehamilan (Reuter et al, 2014)
Tahap Usia gestasi Struktur morfogrnesis Manifestasi penyakit
perkembangan
Embrionik 0-6 minggu Pembentukan Trakea, Fistula trakeaeksofageal,
bronkus pulmonary sequestration
pseudoglandular 7-16 Pembentukan Kista bronkogenik, hernia
minggu Bronkiolus, terminal kongenital diafragmatik,
bronkiolus, sirkulasi kongenital malformasi kista
paru adenomatoid
Canalicular 17-24 Pembentukan Hypoplasia pulmuner, RDS,
minggu bronkiolus respiratori, BPPD, dysplasia kapiler
alveolus primitive alveolar
Terminal Sac 25-36 Pembentukan duktus RDS, BPD
minggu alveolus, lapisan tipis
saccus alveolus,
peningkatan fungsional
sel tipe 2
Alveolar > 37 Multiplikasi alveoli dan TTN, MAS, pneumonia
minggu pematangan sel tipe 2 neonates, PPHN
Jumlah surfaktan tidak terproduksi secara adekuat hingga usia akhir kehamilan (34-
36 minggu); begitu pula dengan risiko distress sindrom pernafasan akan meningkat dengan
prematuritas yang lebih baik (usia kehamilan yang semakin muda). Risiko lain yang juga
5
dapat mempengaruhi kejadian distress sindrom pernafasan yaitu kehamilan multifetal,
maternal diabetes, dan jenis kelamin laki-laki ras kulit putih (Balest, 2018).
Risiko berkurang ketika terjadi retriksi pertumbuhan janin, preeklamsia atau
eklampsia, hipertensi maternal, rupture membrane yang berkepanjangan dan penggunaan
kortikosteroid ibu saat kehamilan. Kasus langka dalam hereditas disebabkan karena adanya
mutasi pada protein surfaktan (SP-B dan SP-C) dan gen ATP-binding cassette transporter
A3 (ABCA3) (Balest, 2018).
2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi RDS ditandai dengan perubahan mekanisme paru (penurunan
komplians, penurunan kapasitas residu fungsional dengan instabilitas alveolar yang
cenderung kolaps, atelectasis, asidosis dan hipoksia). Usaha nafas diperberat dengan
menurunannya aliran volume atau hipoekspansi paru dan peningkatan dead space
(Grappone, 2014)
Surfaktan pulmoner adalah gabungan fosfolipid dan lipoprotein yang di sekresi
oleh pneumosit tipe 2 (Balest, 2018). Surfaktan terdiri dari 90% lipid dan 10% protein dan
dihasilkan pada usia gestasi 24-28 minggu, protein surfaktan terdiri dari empat jenis yaitu
SP-A, SP-B, SP-C dan SP-D, sedangkan kandungan lipid utama surfaktan adalah
phosphatidylcholine dan phospatidylglycerol (Galacher et al, 2016). Surfaktan mengurangi
tegangan permukaan cairan pada lapisan alveoli, sehingga menurunkan kecenderungan
alveoli untuk kolaps dan menurunkan beban saat alveoli mengembang (Balest, 2018).
Dengan adanya defisiensi surfaktan, dibutuhkan tekanan yang lebih untuk
membuka alveoli, tanpa tekanan udara yang adekuat, paru-paru akan menjadi atelektasis
dan memicu inflamasi serta edema pulmoner. Karena darah yang melewati bagian paru-
paru yang mengalami atelektasis tidak teroksigenasi, bayi akan mengalami hipoksemia.
Penurunan komplians paru-paru akan meningkatkan beban saat bernafas, pada kasus yang
parah, terjadi kelemahan otot difragma dan intercostal, retensi CO2 dan asidosis
respiratorik (Balest, 2018).
Pasien RDS akan mengalami atelektasis generalisata, ketidaksesuaian antara
ventilasi-perfusi akan berakhir menjadi hipoksemia dan asidosis respiratorik. Saat
bernafas, stress pada alveoli dan bronkiolus terminalis terjadi akibat usaha repetitive untuk
membuka kembali alveoli yang kolaps dan distensi berlebih pada alveoli yang terbuka.
Tekanan ini dapat merusak struktur paru sehingga terjadi kebocoran debris proteinaseosa
6
ke jalan napas. Debris ini dapat semakin mengganggu fungsi surfaktan sehingga dapat
menyebabkan gagal napas (Gleason et al., 2012).
2.1.6 Komplikasi
Sindrom distress pernafasan dapat menyebabkan beberapa komplikasi diantaranya
sebagai berikut (Balest, 2018) :
1. Perdarahan intraventikular
2. Kerusakan white matter periventikular
3. Tegangan pneumothoraks
4. Dysplasia bronkopulmoner
5. Sepsis
6. Kematian neonates.
7. Komplikasi intracranial telah di hubungkan dengan adanya hipoksemia,
hipercarbia, hipotensi, swing pada tekanan darah arteri dan rendahnya perfusi
cerebral
7
Takipnea merupakan tanda klinis yang paling sering ditemui pada bayi baru lahir
dengan distress pernapasan. Bayi baru lahir laju pernapasan normalnya berkisar 40-
60x/menit. Tanda yang lain berupa pernapasan cuping hidung, merintih, retraksi intercostal
dan subcostal serta sianosis. Pada bayi baru lahir dapat pula ditandai dengan kelemahan,
sukar menelan makanan, hipotermi, dan hipoglikemia (Hermansen dan Mahajan, 2015).
Keparahan sindrom distres pernafasan dapat di ukur skor downes. Skor downes
merupakan system skoring yang komprehensif dan dapat di aplikasikan pada semua
kondisi dan usia gestasional. Untuk melihat progresivitas penyakit system skoring ini
sebaiknya dilakukan setiap setengah jam (Mathai et al., 2007).
Tabel 2. Sistem Skoring Downes (Mathai, 2007)
Skor
Pemeriksaan
1 2 3
Frekuensi
< 60x/menit 60x-80x/menit >80x/menit
napas
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis hilang dengan Sianosis tetap meskipun
Sianosis Tidak ada sianosis
pemberian O2 diberikan O2
Udara masuk Udara yang masuk
Udara masuk Tidak ada udara masuk
dengan baik sedikit
Merintih Dapat didengar dengan Dapat didengar tanpa alat
Tidak merintih
(grunting) stetoskop bantu
Skor > 6 mengindikasikan adanya kegagalan pernafasan
8
Gambar 1. Diagnosis Banding Neonatus dengan Distres Respiratorik diagnosis
(Hermansen dan Mahajan, 2015).
2.1.9 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan bayi dengan RDS adalah mencegah hipoksemia dan
asidosis, manajemen cairan untuk mencegah hipovolemia, syok dan edema, mengurangi
kebutuhan metabolik, mencegah perburukan atelektasis dan edema pulmoner, mengurangi
oxidant lung injury, dan mengurangi kerusakan paru akibat ventilasi mekanik (Salvo et al.,
2015)
Penatalaksanaan neonatus dengan distress pernapasan harus dilakukan secara
umum dan berdasarkan penyakitnya secara spesifik, dan mengikuti protocol resusitasi
neonatus (Hermansen dan Mahajan, 2015). Oksigenasi dapat ditingkatkan dengan
pemberian oksigen secara blow, nasal kanul atau dengan ventilasi mekanik pada kasus
yang parah. Pemberian surfaktan kemungkinan dibutuhkan. Antibiotic sering di berikan
jika suspect infeksi bakteri secara klinis atau karena adanya leukositosis, neutropenia, atau
hipoksemia (Hermansen dan Lorah, 2007).
9
jika dibandingkan dengan pemberian udara ambien. Oksigen campuran dengan fraksi 21%-
50% O2, dapat menstabilkan bayi premature yang baru lahir, untuk menjaga saturasi tetap
dalam rentang 90 dilakukan monitoring dengan pulse oximetry. Ventilasi non-invasif yang
sering digunakan adalah N-CPAP, yang telah menjadi standar penatalaksanaan respiratorik
dibandingkan intubasi secara invasif (Hermansen dan Mahajan, 2015).
10
selama 10-20 menit dan tatalaksana selanjutnya sesuai yang telah tertulis diatas seperti pada
neonates dengan gejala ringan. Apabila tidak ada perbaikan dilakukan intubasi endotracheal,
ventilasi, konsultasi/transfer ke NICU, pemberian antibiotic dan dilakukan tes laboratorium. (RDS
=Respiratory Distress Syndrome; MAS = Meconium Aspiration Syndrome; NICU= Neonatal
Intensive Care Unit; TTN = Transient Tachypnea of the Newborn, PCH = Pernafasan Cuping
Hidung).
11
dilakukan perawatan bayi baru lahir secara rutin dan pengobatan berdasarkan hasil laboratorium
(jika ada abnormalitas). Apabila tidak mengalami perbaikan dilakukan tes laboratorium dan
radiografi dada (jika sebelumnya belum dilakukan); N-CPAP, dengan strategi INSURE;
pengobatan sesuai hasil laboratorium; penggunaan antibiotik secara bijaksana; pertimbangkan
konsultasi/transfer ke NICU. (INSURE = Intubasi, pemberian surfaktan, ekstubasi hingga N-
CPAP, paling sering digunakan pada bayi prematur).
12
Gambar 4. Pada penatalaksanaan distress respiratorik pada Neonatus dan CPAP ≥ 32 Minggu Usia
Gestasi berdasarkan Quensland Clinical Guidelines (2014). Pertama dilakukan penilaian tanda
distress napas yaitu berupa : takipnea > 60x/menit, rintihan yang dapat terdengar, resesi sternal,
intercostal, subcostal, pernafasan cuping hidung (PCH), sianosis, peningkatan upaya untuk
bernafas. Selanjutnya dilakukan perawatan : (1) Oksigenasi, dilakukan penajagaan SpO2 dengan
target : bayi pretem 90-95%; bayi term (usia kelahiran normal) 92-98%. Dipantau secara kontinu
SpO2, laju respirasi, detak jantung; (2) Gas darah : PCO2 dapat membantu assessment; (3)
pemberian Cairan, 10% glukosa dalam 60 ml/Kg/hari; (4) Penanganan sepsis, kultur darah lengkap,
pemberian antibiotik sesuai kebijakan lokal atau penggunaan Penicillin/ampicillin dan gentamisin;
(5) X-ray dada untuk mengidentifikasi : air leaks (misal. pneumothoraks), hernia diafragma
kongenital, massa dada/kardiomegali; (6) penambahan glukosa jika Level glukosa darah < 2.6
mmol/L; (7) Perawatan pendukung : dukungan keluarga, lingkungan thernoneutral, perawatan
perkembangan, observasi dalam inkubator (tanpa baju); (8) konsultasi/transfer jika dibutuhkan.
Bayi diindikasikan CPAP maka perlu dilakukan pemantauan kondisi klinis, apabila tanda
memburuk dilakukan pemberian O2 > 50% dan penjagaan SpO2 sesuai target, peningkatan 10% O2
selama 2 jam. Jika ada perbaikan lakukan penyapihan/penghentian CPAP.
13
termasuk kelompok B streptococcus, Escherichia coli, Listeria monocytogenes,
Haemophilus influenza, Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif. Skrining
secara universal dan pemberian antibiotic antepartum untuk karier streptococcus kelompok
B menurunkan early-onset disease (Hermansen dan Mahajan, 2015).
Neonatal sepsis terbagi menjadi early-onset (gejala terjadi sebelum 72 jam
kehidupan) dan late-onset (gejala terjadi setelah 72 jam kehidupan). Early-onset sepsis
dikarenakan pathogen dari ibu yang bertansmisi ke janin. Chorioaminionitis, ibu
mengalami demam intapartum, prematuritas, rupture membrane yang berkepanjangan dan
antibiotik profilaksis intra partum yang tidak adekuat. Late-onset sepsis disebabkan infeksi
nosocomial dan lebih sering terjadi pada bayi preterm dengan durasi rawat inap yang
panjang, menggunakan central lines, parenteral feeding, dan ventilator mekanik (Vera dan
Ochoa, 2015).
14
Neonatus dengan risiko early-onset sepsis atau dengan kondisi klinis yang
diharuskan menerima terapi empiris antibiotik dapat diberikan kombinasi ampicillin dan
aminoglikosida. Regimen ini memberikan efek secara sinergis untuk melawan GBS dan
Listeria monocytogenes. Terapi antibotik empiric pada late-onset sepsis terapi dengan
kombinasi anti-stapylococcal penicillin dan aminoglikosida merupakan pilihan yang aman
(Vera dan Ochoa, 2015).
15
BAB III
PROFIL PENGOBATAN PASIEN
16
CATATAN TERINTEGRASI
Tanggal Subyektif Objektif Assesment Plan
08-08-2018 Seorang Ibu G2 P1 A0 merasa Bayi lahir langsung menangis dengan PTI (Preterm Infant), AGA, Kebutuhan cairan 60 cc/KgBB/hari
BB = 1.9 Kg hamil 34 minggu dengan tidak ada APGAR 1’ =7; 5’ = 4 Respiratory Distress Vitamin K 1 mg im
riwayat ketuban pecah, perdarahan HR = 120x/ menit Sydrome, SC ai perdarahan Gentamisin 8 mg/36 jam
dan keputihan yang banyak dan bau RR = 50x/menit antepartum Ampicillin 3 x 60 mg
serta tidak memiliki riwayat S = 36,5oC O2 0.5 lpm
hipertensi CRT < 3 , SpO2 85%, Downess score 2.
Selama pematauan ditemukan distres
napas, pasien ditransfer ke anthurium
untuk dilakukan stabilisasi
09/08/2018 Distress napas tidak bertambah, KU = state 5 RDS NCPAP 7 FiO2 28% (tambah
BB = 1.9 Kg periodic apnea (-), bayi tampak HR = 144x/menit BBLR perlahan)
tenang, dipasang CPAP 7-30% RR= 48x/menit Tropyhc fetus 10 cc/Kg 8 x 25
S = 36,7oC TPN =
CRT < 3 detik D 10% 84
SpO2 = 98% NCPAP 7 FiO2 30% D 40% 10.5
Downess score 2 dengan NCPAP NaCl 5.2
Retraksi subcostal minimal KCl 5.1
Ca Glu 3
Asam amino 1.5 Kcal/KgBB
Ampisilin sulbactam 2 x 60 mg
Gentamisin 8 mg/36 jam
10/08/2018 Distress napas bertambah, preodic KU = state 4 Gagal CPAP NCPAP 8 FiO2 50%
BB = 1.68 apnea (-), bayi kurang aktif, HR = 168x/menit RDS OGT
Kg dipasang CPAP 7-40%, desaturasi RR= 65-68x/menit BBLR Kebutuhan cairan 80cc/KgBB/hari
napas S = 36,7oC
Keterangan :
GCS state 4 = mata terbuka, tidak ada pergerakan, tidak menangis; GCS state 5 = mata terbuka atau tertutup, menangis
Tanggal Subyektif Objektif Assesment Plan
17
10/08/2018 SpO2 = 79-80% NCPAP PEEP 7 FiO2 TPN :
BB = 1.68 40% D 10% 60
Kg CRT < 3 detik D 40% 7.5
Downess score 6 dengan PEEP 7 FiO2 NaCl 3.5
40% KCl 1.1
Ca Glu 2.2
Retraksi subcostal (+), intercostal (+), Asam amino 6% 2 gr
akral hangat Lipid 20% 0.5 gr
Ampicillin sulbactam 2 x 60 mg
Gentamisin 2x
Aminofilin 2 x
11/08/2018 Distress napas berkurang sejak KU = state 5 Gagal CPAP NCPAP 8 FiO2 70% (turunkan)
BB = 1.68 kemarin, bayi kurang aktif, badan HR = 165x/menit RDS Ampicillin sulbactam 3 x 60 mg
Kg kuning RR= 56x/menit BBLR rencana stop ganti cefotaxime
S = 36,7oC Syok distributif teratasi Gentamisin 2x
SpO2 = 97% NCPAP PEEP 8 FiO2 70% Aminofilin 2 x
CRT > 3 detik Dopamine 5mcg/Kg/menit
TD = 64/39 mmHg
Downess score 6 dengan PEEP 7 FiO2
40%
18
BB = 1.47 HR = 160x/menit BBLR Stop Dopamine
kg RR= 52x/menit PTI (32 minggu) Terapi lain dilanjutkan
S = 36,8oC SC ai perdarahan antepartum
SpO2 = 98% NCPAP PEEP 7 FiO2 45% Post syok > 12 jam
CRT < 3 detik
Retraksi subcostal (+)
13/08/2018 Distress napas berkurang, tidak ada KU = state 4 RDS NCPAP 7 FiO2 35% (pertahankan)
BB = 1.47 desaturasi, badan kuning ada HR = 140x/menit BBLR NPO
kg berkurang RR= 42x/menit PTI (32 minggu) TPN
S = 36,8oC SC ai perdarahan antepartum Cefotaxime 2 x 100 mg
CRT < 3 detik
SpO2 = 99-100% NCPAP PEEP 7 FiO2
40%
Retraksi subcostal (+) minimal, PCH (-)
14/08/2018 Distress napas berkurang, tidak ada KU = state 5 RDS NCPAP 7 FiO2 21%
BB = 1.4 desaturasi HR = 140x/menit BBLR Cefotaxime 2 x 100 mg
Kg/ 1.4 kg RR= 42x/menit PTI (32 minggu) Terapi lain lanjutkan
S = 36,8oC SC ai perdarahan antepartum
CRT < 3 detik
SpO2 = 97-99% NCPAP PEEP 7 FiO2
21%
Retraksi subcostal (-)
Keterangan :
GCS state 4 = mata terbuka, tidak ada pergerakan, tidak menangis
GCS state 5 = mata terbuka atau tertutup, menangis
19
BB = 1.48 kecoklatan HR = 140x/menit BBLR
Kg RR= 42x/menit
S = 36,8oC
CRT < 3 detik
SpO2 = 98-99% NCPAP PEEP 7
FiO2 4%
Retraksi subcostal (+) minimal
16/08/2018 Distress tidak bertambah, OGT KU = state 4 RDS Terapi di lanjutkan
BB = 1.5 kuning HR = 150x/menit BBLR
Kg RR= 50x/menit
S = 36,7oC
CRT < 3 detik
SpO2 = 97% NCPAP PEEP 7 FiO2
4%
Retraksi subcostal (+) minimal
17/08/2018 Distress tidak bertambah, OGT KU = state 4 Sepsis Terapi di lanjutkan
BB = 1.4 coklat HR = 140x/menit RDS
Kg RR= 50x/menit BBLR
S = 36,7oC
CRT < 3 detik
SpO2 = 98% FiO2 0.7 lpm
Retraksi subcostal (+) minimal
Keterangan :
GCS state 4 = mata terbuka, tidak ada pergerakan, tidak menangis;
GCS state 5 = mata terbuka atau tertutup, menangis
Tanggal Subyektif Objektif Assesment Plan
18/08/2018 Distress tidak bertambah, OGT KU = state 4 Sepsis Terapi di lanjutkan
BB = 1.4 coklat HR = 142x/menit RDS
20
Kg RR= 48x/menit BBLR
S = 36,6oC
CRT < 3 detik
SpO2 = 98% FiO2 0.2 lpm/nasal
Downess score 1
19/08/2018 Distress tidak bertambah, OGT KU = state 5 Sepsis Terapi di lanjutkan
BB = 1.4 coklat HR = 156x/menit RDS Stop fototerapi
Kg RR= 48x/menit BBLR
S = 37oC
CRT < 3 detik
SpO2 = 98% FiO2 0.5 lpm/nasal
Retraksi subcostal (+) minimal
20/08/2018 Distress berkurang, OGT kuning KU = state 5 Sepsis Terapi di lanjutkan
BB = 1.3 HR = 150x/menit RDS
Kg RR= 48x/menit BBLR
S = 36.8 oC
CRT < 3 detik
SpO2 = 98% FiO2 0.5 lpm/nasal
Retraksi subcostal (-)
Keterangan :
GCS state 4 = mata terbuka, tidak ada pergerakan, tidak menangis;
GCS state 5 = mata terbuka atau tertutup, menangis
21
S = 36.7 oC Terapi lain di lanjutkan
CRT < 3 detik
SpO2 = 98% FiO2 0.5 lpm/nasal
Retraksi subcostal (+) minimal
Thorax bentuk/gerak simetris
22/08/2018 Distress tidak bertambah KU = state 5 Sepsis Terapi di lanjutkan
BB = NA HR = 160x/menit RDS
RR= 46x/menit BBLR
S = 36.8 oC
CRT < 3 detik
SpO2 = 97% FiO2 0.5 lpm/nasal
Retraksi subcostal (+) minimal
Thorax bentuk/gerak simetris
23/08/2018 Distress berkurang, OGT jernih KU = state 4 Sepsis Terapi di lanjutkan
BB = 1.55 HR = 140x/menit RDS TPN
Kg RR= 48x/menit BBLR
S = 36.8 oC
CRT < 3 detik
SpO2 = 95% FiO2 0.5 lpm/nasal
Thorax bentuk/gerak simetris
Keterangan :
GCS state 4 = mata terbuka, tidak ada pergerakan, tidak menangis;
GCS state 5 = mata terbuka atau tertutup, menangis
Tanggal Subyektif Objektif Assesment Plan
24/08/2018 Distress berkurang, desaturasi (-) KU = state 5 BBLR Amikacin 1x 30 mg
BB = 1.75 OGT jernih HR = 140x/menit Sepsis Terapi lain di lanjutkan
Kg RR= 42x/menit Pneumonia Evaluasi O2 nasal, jika kondisi
S = 36.7 oC baik dalam 12 jam off
22
CRT < 3 detik Kebutuhan cairan 160ml/Kg/hari
SpO2 = 98-99% FiO2 0.2 lpm/nasal TPN :
95-96% FiO2 0.5 lpm D 10% 43
PCH (-), retrasksi subcostal (+) D 40% 11.7
minimal NaCl 5.8
KCl 1.7
Ca Glu 3.4
Asam amino 6% 4 gr
Lipid 20% 3 gr
Keterangan :
GCS state 4 = mata terbuka, tidak ada pergerakan, tidak menangis
GCS state 5 = mata terbuka atau tertutup, menangis
23
Alergi :-
24
Catatan Pengobatan Pasien
Nama pasien : Bayi Ny. WS No. Rekam Medik : 00017037xxx
Jenis Kelamin/umur : Laki-laki/0 bulan Tgl Mulai di Rawat : 08/08/2018
Diagnosis (Dx) : PTI + Respiratory distress Syndrome + AGA + SC ai perdarahan antenatal
Dx tambahan : sepsis neonatal, pneumonia
Alergi :-
25
MD = Maintenance Dose; LD = Loading Dose
26
BAB IV
METODE SOAP
4.1 Subjektif
Data subjektif merupakan data yang bersumber dari pasien dan hanya dirasakan pasien, tidak
dapat dikonfirmasi kebenarannya.
Kondisi
Tanggal Distres Periodik Bayi tenang/ Desaturasi Warna
Sianosis
napas apnea kurang aktif napas OGT
08/08/1
V NA NA NA NA NA
8
09/08/1
V - V NA NA NA
8
10/08/1
V - V V NA NA
8
11/08/1
↓ NA V NA V NA
8
12/08/1
↓ NA NA V NA NA
8
13/08/1
↓↓ NA NA V ↓ NA
8
14/08/1
↓↓ NA NA - NA NA
8
15/08/1
↓↓ NA NA NA NA Coklat
8
16/08/1
↓↓ NA NA NA NA Kuning
8
17/08/1
↓↓ NA NA NA NA Coklat
8
18/08/1
↓↓ NA NA NA NA Coklat
8
19/08/1
↓↓ NA NA NA NA Coklat
8
20/08/1
↓↓↓ NA NA NA NA Kuning
8
21/08/1
↓↓↓ NA NA NA NA Kuning (-)
8
27
22/08/1
↓↓↓ NA NA NA NA NA
8
23/08/1
↓↓↓ NA NA NA NA Jernih
8
24/08/1
↓↓↓↓ NA NA - NA Jernih
8
Keterangan :
NA = tidak ada data pemeriksaan
V = dirasakan pasien
- = tidak dirasakan pasien
↓ = berkurang, pengurangan berbanding lurus sesuai jumlah tanda ↓, semakin banyak
tanda ↓ distress semakin berkurang
28
4.2 Objektif
Data objektif merupakan data yang bersumber dari hasil observasi, pengukuran yang dilakukan oleh profesi kesehatan lain.
4.2.1 Tanda Vital
Parameter
Tanggal
Kecepatan Laju Suhu Tekanan
Pemeriksaan Keadaan CRT Downess Retraksi Retraksi
Nadi respirasi Tubuh SpO2 Darah PCH
(2018) Umum (KU) (per detik) Score intercostal subcostal
(per menit) (per menit) (oC) (mm/Hg)
08/08 State 4 120x 50x 36.5 <3 85% NA 2 NA NA NA
Komentar Tanda vital pasien normal, namun setelah dilakukan pengecekan laboratorium ada beberapa abnormalitas untuk mendukung diagnosis pasien
98% N-
NA
09/08 State 5 144x 48x 36.7 <3 CPAP FiO2 NA 2 NA Minimal
30%
Komentar Tanda vital pasien normal, di temukan retraksi subcostal minimal yang merupakan manifestasi klinis RDS.
79-80% N-
positif
10/08 State 5 ↑168x ↑65-68x 36.7 <3 CPAP PEEP NA 6 positif NA
40%
97% N-CPAP
positif
11/08 State 5 ↑165x ↑56x 36.7 >3 PEEP 8 FiO2 64/39 6 - Positif
70%
Pada tanggal 10/08-11/08 kondisi RDS pasien semakin memburuk, ditandai dengan adanya peningkatan laju respirasi pasien secara berturut-turut yaitu 65-
68x/menit dan 56x/menit dengan nilai normal berdasarkan Royal College of Nursing (2017) untuk neonates yaitu 30-53x/menit. Peningkatan laju repirasi ini
Komentar
juga disebut takipnea yang merupakan salah satu manifestasi klinis RDS yang didiagnosa pada pasien. Kondisi takipnea dapat disebabkan karena adanya
cairan didalam paru pada bayi baru lahir (Hermansen dan Lorah, 2007).
Keterangan : NA = tidak ada data pemeriksaan; PCH = pernafasan cuping hidung; state 4 = mata terbuka, bayi tidak bergerak aktif, tidak menangis;
state 5 = mata terbuka atau tertutup, menangis
Tanggal Parameter
Keadaan Kecepatan Laju Suhu CRT SpO2 Tekanan Downess PCH Retraksi Retraksi
Pemeriksaan
Umum (KU) Nadi respirasi Tubuh (per detik) Darah Score intercostal subcostal
(2018)
29
(per menit) (per menit) (oC) (mm/Hg)
Pasien menunjukan adanya PCH dan retraksi intercostal sebagai manifestasi klinis RDS pada tanggal 10 Agustus 2018 kemudian pada tanggal
11 Agustus 2018 pasien juga menunjukan retraksi subcostal dan intercostal yang menandakan RDS pasien cukup memburuk.
Pada tanggal yang sama di lakukan pengecekan tekanan darah dan tekanan darah pasien rendah yaitu 64/39 mmHg dimana menurut Nickavar
(2014) pada neonates dengan usia gestasi 32 minggu nilai normalnya 85-88/60-60 mmHg. Hipotensi yang dialami pasien ini memperkuat
Komentar diagnosis tambahan pasien yaitu berupa syok distributive pada tanggal yang sama 11 Agustus 2018. Syok pada neonatus dikarakteristikan
dengan ketidak mampuan sirkulasi oksigen dalam jaringan, kondisi ini lebih sering terjadi pada bayi BBLR khususnya pada beberapa hari awal
kehidupan (Bhat, 2015), hal ini sesuai dengan kondisi BBLR pasien.
Peningkatan CRT pada tanggal 11 Agustus 2018 merupakan salah satu manifestasi klinis syok, yang di perkuat dengan data tekanan darah
pasien dan adanya retraksi subcostal dan intercostal
98% N-
12/08 State 4 160x 52x 36.8 <3 CPAP PEEP NA NA NA NA positif
7 FiO2 45%
Laju respirasi pasien normal cenderung tinggi, Peningkatan laju repirasi ini juga disebut takipnea yang merupakan salah satu manifestasi klinis RDS yang
Komentar didiagnosa pada pasien. Kondisi takipnea dapat disebabkan karena adanya cairan didalam paru pada bayi baru lahir (Hermansen dan Lorah, 2007). Retraksi
intercostal positif merupakan salah satu manifestasi RDS pasien.
Keterangan : NA = tidak ada data pemeriksaan; PCH = pernafasan cuping hidung; state 4 = mata terbuka, bayi tidak bergerak aktif, tidak menangis;
state 5 = mata terbuka atau tertutup, menangis
Parameter
Tanggal
Kecepatan Laju Suhu Tekanan PCH Retraksi Retraksi
Pemeriksaan Keadaan CRT Downess
Nadi respirasi Tubuh SpO2 Darah intercostal subcostal
(2018) Umum (KU) o
(per detik) Score
(per menit) (per menit) ( C) (mm/Hg)
13/08 State 5 140x 42x 36.8 <3 99-100% N- NA NA - NA minimal
30
CPAP PEEP
7 FiO2 40%
97-99% N- NA minimal
14/08 State 5 140x 42x 36.8 <3 CPAP PEEP NA NA -
7 FiO2 21%
Pada tanggal 13/08 dan 14/08 tanda vital pasien dalam batas normal, kecuali pada retraksi subcostal minimal yang merupakan pertanda RDS sesuai dengan
Komentar
diagnosa pasien
98-99% N- NA positif
15/08 State 5 140x 42x 36.8 <3 CPAP PEEP NA NA NA
7 FiO2 4%
98-99% N- NA positif
16/08 State 4 150x 50x 36.7 <3 CPAP PEEP NA NA NA
7 FiO2 4%
Pada tanggal 15/08 dan 16/08 tanda vital pasien dalam batas normal, kecuali pada retraksi subcostal positif yang merupakan pertanda RDS sesuai dengan
Komentar
diagnosa pasien
Keterangan : NA = tidak ada data pemeriksaan; PCH = pernafasan cuping hidung; state 4 = mata terbuka, bayi tidak bergerak aktif, tidak menangis;
state 5 = mata terbuka atau tertutup, menangis
Parameter
Tanggal
Kecepatan Laju Suhu Tekanan PCH Retraksi Retraksi
Pemeriksaan Keadaan CRT Downess
Nadi respirasi Tubuh SpO2 Darah intercostal subcostal
(2018) Umum (KU) (per detik) Score
(per menit) (per menit) (oC) (mm/Hg)
98% FiO2 0.7 NA minimal
17/08 State 4 140x 50x 36.7 <3 NA NA NA
lpm
Komentar Tanda vital pasien dalam batas normal, kecuali pada retraksi subcostal minimal yang merupakan pertanda RDS sesuai dengan diagnosa pasien
18/08 State 4 142x 48x 36.6 <3 98% FiO2 0.2 NA 1 NA NA NA
31
lpm
Komentar Tanda vital pasien dalam batas normal, retraksi subcostal intercostal tidak dinilai
NA minimal
98% FiO2 0.5
19/08 State 5 156x 48x 37 <3 NA NA positif
lpm/nasal
Komentar Tanda vital pasien dalam batas normal, kecuali pada retraksi subcostal minimal yang merupakan pertanda RDS sesuai dengan diagnosa pasien
NA -
98% FiO2
20/08 State 5 150x 48x 36.7 <3 NA NA NA
0.5 lpm/nasal
Komentar Tanda vital pasien dalam batas normal
Keterangan : NA = tidak ada data pemeriksaan; PCH = pernafasan cuping hidung; state 4 = mata terbuka, bayi tidak bergerak aktif, tidak menangis;
state 5 = mata terbuka atau tertutup, menangis
Parameter
Tanggal
Kecepatan Laju Suhu Tekanan PCH Retraksi Retraksi
Pemeriksaan Keadaan CRT Downess
Nadi respirasi Tubuh SpO2 Darah intercostal subcostal
(2018) Umum (KU) (per detik) Score
(per menit) (per menit) (oC) (mm/Hg)
98% FiO2 NA minimal
21/08 State 5 140x 48x 36.7 <3 NA NA NA
0.5 lpm/nasal
97% FiO2 NA minimal
22/08 State 5 160x 46x 36.8 <3 NA NA NA
0.5 lpm/nasal
Komentar Pada tanggal 21/08 dan 22/08 tanda vital pasien dalam batas normal, kecuali pada retraksi subcostal minimal yang merupakan pertanda RDS sesuai dengan
32
diagnosa pasien
NA NA
95% FiO2
23/08 State 5 140x 48x 36.8 <3 NA NA NA
0.5 lpm/nasal
Komentar Tanda vital pasien dalam batas normal, retraksi subcostal intercostal tidak dinilai
Minimal
95% FiO2
24/08 State 5 140x 42x 36.8 <3 NA NA - NA
0.2 lpm/nasal
Komentar tanda vital pasien dalam batas normal, kecuali pada retraksi subcostal minimal yang merupakan pertanda RDS sesuai dengan diagnosa pasien
Keterangan : NA = tidak ada data pemeriksaan; PCH = pernafasan cuping hidung; state 4 = mata terbuka, bayi tidak bergerak aktif, tidak menangis;
state 5 = mata terbuka atau tertutup, menangis
33
4.2.2 Data Laboratorium
Berikut merupakan hasil pengukuran laboratorium pasien yang mengalami abnormalitas.
Nilai Pengukuran Nilai Normal Interpretasi
Parameter Satuan
9/8/18 10/8/18 19/8/18 9/8/18 10/8/18 19/8/18
Pada tanggal 09/08/18 ditemukan abnormalitas hasil laboratorium pada
Hb 11.3↓ N N gr/dL 13.5-19.5 14.5-22.5 NA Hb 11.3 gr/dL (rendah), HCt 33.0 % ( rendah), RBC 3.16 Juta/uL
(rendah). Pada tanggal 10/08/18 Hb dan HCt dan RBC pasien dalam
rentang normal. Rendahnya kadar Hb, HCt dan RBC pada hasil
laboratorium tanggal 9/08/18 kemungkinan besar terjadi karena pada bayi
HCt 33.0↓ N 37.5↓ % 42.0-60.0 45.0-67.0 39.0-63.0 baru lahir terjadi penurunan seedikit kadar Hb, HCt, dan RBC selama
minggu pertama kelahiran akibat adanya variasi reflek perinatal,
umumnya asfiksia. Karena kondisi ini 3-5% sel darah merah kemungkinan
dapat pecah dan terdistorsi, sehingga pada 3-5 hari setelah kelahiran, sel-
RBC 3.16↓ N N Juta/uL 3.9-5.5 4.0-6.6 4.0-6.6 sel darah merah tidak ditemukan secara normal pada bayi prematur atau
prematur yang ekstrem, namun sel darah merah dapat hadir secara
otomatis dalam
Peningkatan jumlah
kadar yangsegmen
neutropil sangat pada
meningkat
tanggaldengan adanya
9/10/2018 dan hemolisis
10/08/18.
Kelebihan kadar neutrofil segmen pasien diatas batas normal disebut
neutrofilia, kondisi neutofilia pada neonatus dapat terjadi akibat
peningkatan produksi neutrophil akibat adanya infeksi, sepsis atau
peningkatan pelepasan neutrophil dari sumsum tulang ke sirkulasi darah
akibat pemberian kortikosteroid, pemberian epinefrin, sepsis, post-operasi
atau stres saat kelahiran: neutrophilia terjadi selama 3 hari terakhir;
Neutrofil demarginasi neutrophil akibat menangis (Nittala et al, 2012). Pada 72 jam
72↑ 63↑ N % 53-62 30-48 30-48
Segmen usia kelahiran jumlah neutrophil mengalami variabilitas, berdasarkan
penelitian Juul et al. (2004) menunjukan bahwa tingkat dan durasi
neutrofilia lebih sering terjadi pada usia kehamilan yang lebih muda
karena fungsi granulopoetik yang belum matang, kejadian neutrofilia
terjdi 27% pada bayi dengan usia gestasi 30-34 minggu, neutrofilia pada
neonatus yang stabil dengan usia kelahiran ≥ 27 minggu, sering terjadi
pada 3 hari awal kehidupan (kecuali ada tanda-tanda infeksi yang
berhubungan dengan sepsis.
Nilai Pengukuran Nilai Normal Interpretasi
Parameter Satuan
9/8/18 10/8/18 19/8/18 9/8/18 10/8/18 19/8/18
34
Pada tanggal 9/8/18 dan 10/08/18 kadar limfosit rendah. Kadar limfosit
yang rendah pada tiga jam pertama kelahiran berhubungan dengan early
onset sepsis (EOS), perdarahan intraventikular ≥ grade 3 dan Retinopati
akibat prematuritas ≥ 3 pada bayi dengan usia gestasi ≤ 33 minggu. Pada
72 jam awal kehidupan penurunan sel darah putih sebanding dengan
Limfosit 14↓ 24↓ N % 21-34 40-81 40-81
penurunan limfosit, 38 pasien yang lahir dengan asfiksia sering
mengalami penurunan jumlah limfosit dan NRBC (Nucleated Red Blood
Cells) (Christensen et al, 2012).
Kondisi penurunan sel darah putih pada pasien karena usia pasien belum
72 jam.
Eosinophilia atau peningkatan kadar eosinophil dapat di sebabkan karena
infeksi, penggunaan antibiotic, eksposure antigen yang berasal dari nutrisi
parenteral, kateters dan produk darah. Keadaan ini juga sering terjadi pada
bayi premature selama periode pertumbuhan anabolik (Milcic dan Nash,
Eosinofil N N 6↑ % 0-4 0-4 0-4 2009).
Peningkatan eosinophil pasien kemungkinan juga disebabkan karena
adanya infeksi ditubuh pasien, hal ini didukung dengan adanya perubahan
warna pada OGT yang harusnya jernih menjadi kecoklatan dari tanggal
15/08/18 dan diagnosa sepsis oleh dokter
Monosit merupakan bagian penting pada sistem imun inaktif dan
berfungsi sabagai second defense terhadap infeksi bakteri. Kadar monosit
yang tinggi pada bayi yang lahir pada gestasi 24-32 minggu (prematur)
terjadi karena pada ≤ 10 hari pertama kelahiran terjadi Peningkatan kadar
monosit. Peningkatan ini dapat dikarenakan Ekspresi CD62L monosit
Monosit 13↑ 10↑ 18↑ % 2-8 3-8 3-8
intermediate empat kali lebih tinggi pada bayi prematur dibandingkan
dengan bayi yang lahir dengan usia gestasi komplit, namun HLA-DR
sangat menurun. Pada bayi prematur juga terjadi penurunan lima kali lipat
dari produksi TNF. Kondisi sistem imun inaktif yang belum matang ini
dapat meningkatkan risiko infeksi (Frankerberger et al, 2014).
35
Pada tanggal 9/08/18 terjadi penurunan kadar CRP namun terjadi sedikit
peningkatan pada tanggal 19/08/18. CRP merupakan pertanda adanya
CRP infeksi akut, yang diproduksi dalam 6 jam setelah paparan infeksi, dimana
0.14↓ 0.33↑ N mg/dL < 0.3 < 0.3 < 0.3
kuantitatif peningkatan yang signifikan dapat menandai adanya EOS, namun tidak
memperparah prognosis EOS maupun Late Onset Sepsis (LOS)
(Vasiljevic et al, 2008).
Pada tanggal yang sama 9/08/18 terjadi sedikit peningkatan glukosa darah
bayi. Menurut Trihono dkk. (2013) Kondisi hiperglikemia pada bayi
prematur maupun yang sakit ditandai dengan peningkatan kadar gula
darah > 125 mg/dL. Makin kecil bayi prematur makin besar mengalami
hiperglikemia. Kondisi hiperglikemia pada bayi prematur karena beberapa
faktor yaitu gangguan sekresi insulin, resistensi insulin dan
Glukosa
78↑ NA NA mg/dL 40-60 NA NA ketidakmampuan regulasi homeostatis glukosa. Bayi prematur yang
Sewaktu
mengalami hiperglikemia harus dicurigai mengalami stress atau infeksi.
Kondisi hiperglikemia dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas pada bayi prematur.
Peningkatan gula darah tidak terlalu tinggi sehingga hanya perlu dilakukan
pemantuan dan cek glukosa darah lanjutan untuk melihat nilai glukosa
darah pasien.
Bilirubin 0.100-
NA NA 8.085↑ mg/dL NA NA Peningkatan kadar bilirubin total, indirect (tidak terkonjugasi), direct
total 1.000
(terkonjugasi), kondisi hiperbilirubinemia pada pasien dikarena pada
Bilirubin 0.100-
NA NA 0.302↑ mg/dL NA NA pasien neonatus memiliki siklus sel darah merah yang lebih singkat serta
direct 0.300
kemampuan hati untuk ambilan dan konjugasi bilirubin belum optimal
Bilirubin 0.200-
NA NA 7.783↑ mg/dL NA NA (Trihono dkk., 2013).
Indirect 0.800
36
4.3 Assesment
4.3.1 Ketepatan Indikasi dan Dosis
No Nama Obat Indikasi dan Dosis sesuai literatur Indikasi dan Dosis terhadap pasien Keterangan
1 Ampicilin Terapi inisiasi empirik (dengan aminiglikosida) Terapi inisiasi empiric (dengan aminiglikosida) Sesuai
sulbactam suspect sepsis bacterial atau meningitis pada suspect sepsis bacterial atau meningitis pada
pasien neonatus pasien neonatus
Dosis 25-50 mg/Kg/dosis secara IV dengan
perlahan atau IM. Dosis pasien = 2 x 60 mg
Usia gestasi Post natal Interval Dosis seharusnya untuk pasien berdasar pustaka
(minggu) (hari) (jam) Neodex, 2014:
0-14 12
30-36 Tgl BB Dosis
>14 8
9/8 1.9 Kg 47.5 – 95 mg/ 12 jam
10/8-11/8 1.68 Kg 42 – 84 mg/ 12 jam
(Neofax Essensial, 2014)
2 Gentamisin Digunakan kombinasi dengan ampicillin untuk Digunakan kombinasi dengan ampicillin untuk Dosis tanggal 9/8
terapi empiris profilaksis sepsis pada bayi baru terapi empiris profilaksis sepsis pada bayi baru subdosis
lahir. lahir.
Usia Post natal Dosis Interval Dosis pasien = 8 mg/ 36 jam Dosis tanggal
gestasi (hari) (mg/kg) (jam) Dosis seharusnya untuk pasien : 10/8berlebih
(minggu)
Tgl BB Dosis
30-34 0-7 4.5 36
8.55 mg/ 36 ≥8 4 24
9/8 1.9 Kg
jam
7.56 mg/ 36
10/8 1.68 Kg(Neofax Essensial, 2014)
jam
3 Vit. K Profilaksis dan pengobatan penyakit hemoragik Dosis pasien = 1 x 1 mg Obat tidak
neonatal. Hipotombinemia, defisiensi vitamin K. Dosis sesuai dengan literatur diberikan
37
Dosis :
Profilaksis : 0.5-1 mg saat kelahiran secara IM
Pengobatan : 1-2 mg/hari secara IV, IM, SC dan
PO. Pada saat kelahiran; saat usia 1-2 minggu
dan 4 minggu. Pemberian secara IV harus
diberikan dengan sangat pelan tidak melebihi 1
mg/menit
(Neofax Essensial, 2014)
4 Aminofilin Mengatasi apnea pada bayi premature, dysplasia Mengatasi apnea pada bayi premature Dosis kurang 0.2
(LD) bronkopulmoner, prevensi post-extubation mg
atelectasis Dosis yang diberikan untuk Pasien = 1 x 15
LD seharusnya untuk pasien = 15.2 mg iv
LD = 8 mg/Kg PO atau secara infus i.v selama
30 menit
(Neofax Essensial, 2014)
5 Aminofilin Mengatasi apnea pada bayi premature, dysplasia Dosis yang diberikan untuk pasien 3 x 4 mg semua dosis sudah
(MD) bronkopulmoner, prevensi post-extubation Dosis pasien yang seharusnya : sesuai kecuali pada
atelectasis Tgl BB Dosis tanggal 20/8-21/8
9/8 1.9 Kg 2.83 – 5.7 mg/dosis
karena BB pasien
10/8-11/8 1.68 Kg 2.52 – 5.04 mg/dosis
Maintenance Dose diberikan 8-12 jam setelah 12/8-13/8 1.47 Kg 2.205 – 5.04 mg/dosis turun menjadi 1.3
loading dose = 1.5-3 mg/Kg/IV atau PO tiap 6-8 14/8 1.4 Kg 2.1 – 4.2 mg/dosis Kg sehingga
jam 15/8 1.48 Kg 2.22 – 4.44 mg/dosis kelebihan 0.1 mg
16/8 1.5 kg 2.25 – 4.5mg/dosis
(Neofax Essensial, 2014) 17/8-19/8 1.4 Kg 2.1 – 4.2 mg/dosis
20/8-21/8 1.3 Kg 1.95 – 3.9 mg/dosis
22/8 NA NA
23/8 1.55 Kg 2.325 – 4.65 mg/dosis
24/8 1.75 Kg 2.625 – 5.25 mg/dosis
6 Cefotaxime Pengobatan sepsis pada neonatus yang beresiko Dosis yang diberikan untuk pasien :
38
toksisitas aminoglikosida. 12/8-20/8 = 2 x 100 mg
Dosis : 50 mg/Kg/dosis secara infus IV dengan 21/8 -24/8 = 3 x 100 mg
syringe pump selama 30 menit atau IM Dosis untuk pasien seharusnya jika digunakan
(Neofax Essensial, 2014) :
Dosis/ Dosis Dosis yang
Tgl BB maks/hari
Usia gestasi Post natal Interval sekali digunakan pasien
(minggu) (hari) (jam) 12/8-13/8 1.47 Kg 73.5 mg 294 mg sesuai
30-36 0-14 12 14/8 1.4 Kg 70 mg 280 mg Pada tanggal 21/8
>14 8 15/8 1.48 Kg 74 mg 296 mg
16/8 1.5 kg 75 mg 300 mg karena BB pasien
(Neofax Essensial, 2014)
17/8-19/8 1.4 Kg 70 mg 280 mg turun menjadi 1.3
20/8-21/8 1.3 Kg 65 mg 260 mg Kg dosis kelebihan
Untuk mengatasi kondisi sepsis berdasarkan
22/8 NA NA NA 40 mg/hari
NICE guideline dan WHO pada bayi dengan usia 23/8 1.55 Kg 77.5 mg 310 mg
gestasi ≥ 32 minggu dengan usia bayi ≥ 7 hari 24/8 1.75 Kg 87.5 mg 350 mg
setelah kelahiran berdasarkan profil
farmakokinetikanya maka cefotaxime dapat
diberikan dengan dosis 50mg/Kg tiap 6 jam
7 Dopamin Pengobatan pada syok hipotensi pada neonates Pengobatan syok hipotensi Dosis sesuai
(11/08) Dosis : 2-20 mcg/Kg/menit dengan infus IV Dosis yang diberikan untuk pasien : 5 mcg/kg/min
kontinu. Dimulai dengan dosis rendah dan (11/08S)
dilakukan titrasi dengan memantau efikasi. 5 mcg x 1.68 Kg = 8.4 mcg/min
Digunakan vena besar untuk IV.
Kosentrasi Dosis Kecepatan IV Dosis yang seharusnya untuk pasien :
(mcg/mL) (mcg/Kg/min) (ml/kg/jam) BB = 1.68 Kg
2.5 0.3 Dosis sesuai literatur untuk pasien (2-20
5 0.6
500
7.5 0.9
mcg/Kg/menit): 3.36- 33.6 mcg/Kg/menit
10 1.2
39
(Neofax Essensial, 2014)
8 Amikacin Digunakan untuk pengobatan basil infeksi Gram- Digunakan untuk pengobatan basil infeksi Gram- Dosis yang
negatif yang resisten terhadap aminoglikosida negatif., pengobatan pada diagnosis tambahan diberikan kepada
yang lain pneumonia pasien pasien berlebih
40
4.3.2 Interaksi Obat
Obat yang Berinteraksi Signifikasi Keterangan
Interaksi
Ampicilin + Gentamisin Moderate Ampicillin dapat meninaktivasi efek aminoglikosida
secara in vivo dan in vitro. Mekanismenya dengan
pembentukan kompleks antara ampicillin dan
aminoglikosida, khususnya efek ini signifikan pada
pasien dengan gagal ginjal dan obat-obatan berikut
dicampur dalam wadah IV yang sama. Dapat terjadi
penurunan kadar aminoglikosida dan penyesuaian
dosis kemungkinan diperlukan (Anonim1,2018)
Cefotaxime + amikacin Moderate Pemberian secara bersamaan aminoglikosida dan
sefalosporin dapat meningkatkan risiko nefrotoksisitas.
Peningkatan insidensi nefrotoksik telah dilaporkan
selama penggunaan aminoglikosida, paling banyak
golongan sefalosporin lama (misal, cefaloridine,
cefamandole, cefazolin, cefotaxime, cefoxitin,
ceftazidime, cefuroxime, cephalothin, ceftriaxone).
Kondisi ini akan semakin memburuk pada pasien
lanjut usia dengan gangguan fungsi ginjal, apabila
memperoleh dosis tinggi dan terapi jangka panjang.
Namun, beberapa studi melaporkan tidak ada efek
samping antara interaksi kedua kombinasi obat
tersebut (Anonim1, 2018).
Gagal Menerima - -
Obat
4.4 Plan
Plan terapi yang akan dilakukan terhadap pasien bayi Ny. WS, antara lain :
42
1. menjaga oksigenasi pasien agar tetap dalam kondisi yang baik
2. konfirmasi kepada dokter terkait pemberian dosis amikacin yang berlebih
3. melakukan kultur darah pada pasien untuk melihat patogen penyebab sepsis dan
pneumonia pasien, untuk pemilihan antibiotic.
4. mengatasi neonatal sepsis dan pneumonia yang di alami pasien dengan pemberian
antibiotic sesuai dengan hasil kultur dan tepat dosis serta cara pemberiannya
5. pemantauan kemungkinan adanya ESO yang dapat timbul akibat penggunaan obat-
obatan pada pasien.
Toksisitas gentamisin
Gangguan ginjal pada neonatus cukup sulit dilihat karena sulit jika
dilihat dari nilai GFR sehingga dapat dilihat dari data laboratorium
43
fosfat, magnesium, Natrium N-acetyl-B-Glukosaminidase (NAG),
alanin aminopeptidase yang merupakan marker spesifike adanya
kerusakan di tubulus proksimal ginjal, yang pada neonates dapat
dilihat dari tes biokimia urin (Kent et al, 2014)
Gangguan pendengaran, kondisi ini sulit dinilai sehingga neonatus
yang minimal menerima antibiotic gentamisin 48 jam harus
menjalani tes audiologi, tes audiologi yang dapat dilakukan pada
neonates adalah TEOAE (Transient Evoked Otoacoustic Emission)
dan Auditory Brainstem Responses (ABR) (Kent et al, 2014)
Dopamine Pemantauan adanya gejala ESO
Pemantaun tanda vital detak jantung/nadi karena dapat
menyebabkan efek samping takikardi dan aritmia (Neofax
Essensial, 2014)
44
Amikacin Pemantauan adanya gejala ESO
Pemantaun efek samping gangguan pendengaran dan gangguan
fungsi ginjal (Neofax Essensial, 2014)
Toksisitas sesuai dengan toksisitas gentamisin
4.4.1.2 Perawat
Obat Edukasi yang diberikan
Ampicilin Administrasi obat
Pemberian secara IV harus diberikan dengan pelan-pelan, obat
dengan kosentrasi 100mg/mL dapat diadministrasikan selama 3-5
menit. Maksimal 100mg/mL (Neofax Essensial, 2014)
45
Informasi terkait pelarut yang dapat digunakan dekstrose 5%,
dekstrose 10%, dekstrosa-NaCl 5%, ringer lactat, dan dan NaCl
0.9% (Neofax Essensial, 2014)
46
BAB V
PEMBAHASAN
47
efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
Kegiatan Pemantauan Terapi Obat (PTO) melalui beberapa tahapan yaitu : (1) pengumpulan
data pasien; (2) identifikasi masalah terkait obat; (3) rekomendasi penyelesaian masalah
terkait obat; (4) pemantauan dan tindak lanjut.
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan salah satu pelayanan farmasi klinik yang
dilakukan di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Kegiatan dalam PTO seharusnya
dilaksanakan untuk seluruh pasien, namun karena keterbatasan jumlah apoteker dibandingkan
dengan jumlah pasien maka dilakukan penentuan prioritas pasien yang akan dipantau. Seleksi
pasien dapat berdasarkan kondisi pasien dan obat (jenis obat dan kompleksitas regimen)
(Depkes RI, 2009).
Kondisi pasien meliputi pasien multidiagnosis dengan polifarmasi, pasien kanker yang
menerima terapi sitostatika, pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal, pasien geriatric
dan pediatric, pasien hamil dan menyusui, serta pasien dengan perawatan intensif. Seleksi
berdasarkan obat yang digunakan pasien terbagi menjadi dua, yaitu jenis dan kompleksitas
regimen yang digunakan. Jenis obat meliputi obat indeks terapi sempit, obat yang bersifat
nefrotoksik dan hepatotoksik, sitostatika, antikoagulan, obat yang sering menimbulkan ROTD
serta obat kardiovaskular. Kompleksitas regimen meliputi poli farmasi, variasi rute pemberian
dan aturan pakai, serta obat dengan cara pemberian khusus (Depkes RI, 2009).
Pasien yang dilakukan PTO kali ini adalah pasien neonatus (bayi Ny. WS) dengan
jenis kelamin laki-laki yang lahir pada 08 Agustus 2018, bayi lahir prematur (32 minggu)
secara caesar dengan riwayat kehamilan ibu G2 P1 A0 yang berarti gravida (kehamilan) dua
kali, Partus (melahirkan) satu kali, dan tidak pernah abortus. Saat kelahiran juga tidak ada
riwayat ketuban pecah, perdarahan, keputihan dan bau serta tidak ada riwayat hipertensi
ibu.selama 3 bulan terakhir kehamilan ibu mengkonsumsi multivitamin dan vitamin K.
Panjang bayi 42 cm dengan berat badan 1900 gram sehingga termasuk dalam Bayi Berat
Lahir Rendah (BBLR) yaitu berat lahir < 2500 gram.
Ketika dilahirkan bayi langsung menangis dengan APGAR 1’ = 7 dan 5’ = 4. APGAR
merupakan penilaian terhadap Appereance (warna kulit), Pulse (nadi), Grimace (respon
terhadap stimulus), Activity (tonus otot), Respiratory (pernafasan). Skor APGAR biasanya
digunakan untuk menilai keadaan umum bayi setelah kelahiran, terdapat tiga macam
interpretasi skor apgar yaitu : (1) skor 7-10 normal, (2) skor 4-6 menandakan bayi mengalami
asfiksia sedang, dan (3) skor 0-3 menandakan bayi mengalami asfiksia berat (Prawirohardjo,
2002). Pada menit pertama skor apgar 7 yaitu kondisi bayi normal, pada menit kelima skor
48
apgar 4 yaitu mengalami asfiksia sedang, kondisi ini memerlukan tindakan medis segera
seperti peyedotan lender yang menyumbat jalan napas atau pemberian oksigen untuk
membantu bernapas (Prawirohardjo, 2002).
Bayi didiagnosis oleh dokter Preterm Infant (PTI), Respiratory distress Syndrome
(RDS), Appropriate for Gestational Age (AGA) dan SC ai perdarahan antenatal. Mulai tanggal
09 Agustus 2018 Pasien diterapi dengan kombinasi antibiotik ampisilin sulbactam dan
gentamisin secara iv, dan diberikan loading dose aminofilin yang selanjutnya diikuti dengan
pemberian dosis penjagaan setelah 12 jam.
Preterm Infant (PTI) didefinisikan sebagai bayi yang lahir sebelum minggu ke 37
kehamilan. Kelahiran preterm di kategorikan berdasarkan usia gestasi/kehamilan ibu, preterm
ekstrem (< 28 minggu), sangat preterm (28-32 minggu), preterm sedang hingga terlambat (32-
37 minggu) (World Health Organization, 2018).
Respiratory distress syndrome (RDS) atau sindrom gawat napas (SGN) merupakan
gangguan pernapasan tersering yang ditemukan pada bayi prematur. Kondisi ini disebabkan
oleh defisiensi surfaktan, ditandai dengan ketidakmampuan alveolus untuk mempertahankan
kapasitas fungsional residual (KFR) sehingga menyebabkan gangguan pengembangan paru
serta atelectasis, diikuti penurunan tahanan paru hingga 10-20% dari tahanan paru normal,
penurunan volume paru, serta penurunan perfusi paru (Trihono dkk, 2013).
Berdasarkan riwayat kelahiran pasien faktor yang dapat berkontribusi terhadap
kejadian RDS pada pasien yang dilakukan PTO yaitu laki-laki, prematur, BBLR, derajat
asfiksia sedang-berat (0-6) yang terlihat pada pengukuran skor apgar menit kelima, persalinan
SC (Sectio Cesaria).
Pasien ini dipilih sebagai pasien PTO karena pasien memenuhi kriteria pasien yang
harus diprioritaskan yaitu pasien dengan kondisi khusus (pediatric/neonatus) yang menerima
terapi indeks terapi sempit yaitu aminofilin dan antibiotik gentamisin secara IV dan menerima
terapi yang dapat menyebabkan nefrotoksik yaitu antibiotik gentamisin yang diberikan secara
IV serta diberikan antibiotic amikacin.
Berdasarkan skor APGAR pasien di menit kelima saat kelahiran pasien mengalami
asfiksi sedang. Asfiksia merupakan suatu keadaan dimana bayi baru lahir mengalami gagal
napas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Asfiksia merupakan salah satu penyebab
kematian bayi baru lahir. Sebanyak 47% dari seluruh kematian bayi di Indonesia terjadi pada
masa neonatal (usia di bawah 1 bulan) (Marwiyah, 2016). Asfiksia ini terjadi karena terjadi
gangguan pertukaran gas serta transport O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat gangguan
49
dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2. Insidensi asfiksia pada menit pertama
kelahiran 47/1000 lahir hidup dan pada 5 menit 15.7/1000 lahir hidup untuk semua neonatus
(Wandita dkk, 2006).
Faktor penyebab asfiksia neonatorum antara lain keadaan ibu, faktor keadaan bayi,
faktor plasenta dan faktor persalinan. Pada bayi yang dilakukan PTO faktor risiko asfiksia
yang paling memungkinkan diataranya adalah kurang bulan (preterm infant), BBLR,
persalinan melalui Sectio Caesar, hal ini juga diperkuat dengan bukti hasil penelitian yang
dilakukan Wandita dkk. (2006) yaitu bahwa bayi BBLR mengalami asfiksia sedang sebesar
30.3% yaitu 47 bayi dari total sampel 155 bayi, dan 32.8% pada bayi kurang bulan dengan
jumlah 44 bayi dari total 134 sampel. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Marwiyah
(2016) dengan melihat kejadian asifiksia sedang pada bayi yang di lahirkan dengan jenis
persalinan berbeda yaitu secara spontan, vakum, dan Sectio Caesar (SC); 62 bayi yang
dilahirkan dengan SC dari 168 sampel yaitu sebesar 36.9% mengalami asifiksia sedang.
Hari pertama sesaat setelah kelahiran bayi mengalami distress napas sehingga bayi
ditransfer ke anthurium untuk dilakukan stabilisasi. Stabilisasi dilakukan dengan pemberian
oksigen dengan bantuan ventilasi mekanik CPAP 7-30%. Continous Positive Airway Presure
(CPAP) merupakan suatu alat yang digunakan untuk mempertahankan tekanan positif pada
saluran napas neonatus selama pernafasan spontan. CPAP merupakan alat yang sederhana dan
efektif untuk tatalaksana pada respiratory distress syndrome. Penggunaan CPAP yang benar
terbukti dapat menurunkan kesulitan bernafas, mengurangi ketergantungan terhadap oksigen,
membantu memperbaiki dan mempertahankan kapasitas residual paru, serta mencegah
obstruksi saluran nafas bagian atas. Indikasi pemberian CPAP meliputi frekuensi nafas >
60x/menit, merintih dalam derajat sedang hingga parah, retraksi nafas, saturasi oksigen < 93%
(preduktal), kebutuhan oksigen > 60% dan sering mengalami apneu (Effendi, 2014)
Strategi ventilasi seharusnya diberikan secara optimal dalam mengatasi atelektrauma
(kolaps alveolus) serta mencegah valutrauma (distensi paru berlebihan) sehingga pertukaran
gas dapat berlangsung dengan baik. Ventilasi yang optimal dengan CPAP seharusnya
diberikan secara optimal pada pasien dengan distress napas sejak dikamar bersalin.
Pengaturan CPAP dimulai dengan tekanan akhir ekspirasi (Positive End Expiratory
Pressure/PEEP) sebesar 7 cm H2O yang dapat dinaikan hingga 8-10 cm H 2O disesuaikan
dengan perbaikan retraksi dan pengemabngan dada untuk mempertahankan pH > 7,25, PCO2
< 60 mmHg, pO2 > 40 mmHg dan FiO2 < 40% (Trihono dkk., 2013). Dimulai hari pertama
hingga hari terakhir pemantauan pasien mendapatkan CPAP dengan PEEP 7 cm dan FiO2
50
yang kategorinya telah sesuai untuk pasien, namun pasien pada tanggal 11 Agustus 2018 di
assessment gagal CPAP, berdasarkan Sweet et al. (2016) Terapi surfaktan dengan metode
INSURE direkomendasikan pada pasien gagal CPAP (level of evidence : 2A) sehingga
pemberian surfaktan secara INSURE dapat dipertimbangkan sesuai kondisi pasien. Pemberian
surfaktan profilaksis dapat mengurangi kebutuhan ventilasi mekanik, pneumonotoraks, BPD
atau mortalitas pada era pemberian kortikosteroid antenatal dan CPAP meskipun ketika
dibandingkan dengan penggunaan CPAP saja tidak lebih baik (Suminto, 2017). Namun pada
pasien tetap tidak diberikan surfaktan, hanya dilakukan pemberian CPAP yang lebih intensif
dan distres pasien mengalami perbaikan.
Pemberian kortikosteroid antenatal juga dianggap efektif dalam menurunkan
kebutuhan surfaktan eksogen dan ventilasi mekanik pada bayi prematur dengan RDS melalui
stimulasi produksi surfaktan dan pematangan paru janin. Selain itu kortikosteroid antenatal
juga menurunkan perdarahan intraventikular pada pemberian surfaktan dibandingkan jika
hanya diberikan surfaktan saja (Trihono dkk., 2013). Pemberian ini juga dapat
dipertimbangkan sesuai kondisi pasien.
Di ruang perawatan pasien di lakukan pemantauan kondisi, tanda klinis dan
laboratorium pasien baik dari data subjektif, objektif, assessment dan plan yang diberikan
pada pasien. Pemantauan subjektivitas pasien dimulai pada hari pertama perawatan pasien
dengan data subjektif yang teramati pada tanggal 08-24 Agustus 2018 meliputi derajat distress
napas, periodic apnea, bayi tenang/kurang aktif, desaturasi napas, sianosis dan warna OGT.
Beberapa pertanda klinis ini untuk setiap harinya selama perawatan hampir sama, distress
napas semakin hari semakin mengalami perbaikan, namun pada tanggal 11 Agustus 2018,
pasien didiagnosa dokter gagal CPAP sehingga kondisi pasien memburuk, dengan data
subjektif yang terdokumentasi yaitu bayi tenang/kurang aktif dan kondisi distress yang tetap
dan mengalami sianosis. Warna OGT mulai terdeteksi perubahan warna menjadi coklat pada
tanggal 15 Agustus 2018 yang selanjutnya pasien mendapatkan diagnosa tambahan yaitu
sepsis neonatus dan di pindahkan ke ruang anthurium untuk pasien-pasien infeksius.
Distress napas atau gagal napas yang terpantau pada pasien dari awal hingga akhir
tanggal pemantauan, dan sianosis yang terpantau pada tanggal 11 Agustus 2018 dan 13
Agustus 2018 merupakan manifestasi dari diagnosa RDS pasien itu sendiri. Perubahan warna
OGT yang seharusnya jernih menjadi kecoklatan atau kuning menjadi pertanda adanya
kolonisasi yang sehingga dapat meningkatkan risiko infeksi pada pasien.
51
Selain pemantauan subjektivitas, dilakukan pula pemantauan kondisi fisik pasien
secara objektif meliputi keadaan umum, kecepatan nadi, laju respirasi, suhu tubuh, CRT
(capillary refill time), SpO2, skor downes, PCH, retraksi sintercostal dan subcostal. Keadaan
umum pasien selama perawatan rata-rata state 4 dan 5, yaitu state 4 dimana mata terbuka, bayi
tidak mengalami pergerakan yang aktif, tidak menangis; state 5 mata terbuka atau tertutup,
menangis. Semua tanda vital terpantau setiap hari selama pelaksanaan PTO, kondisi RDS
pasien cukup memburuk pada tanggal 10 Agustus 2018 dan 11 Agustus 2018 hal ini ditandai
dengan adanya peningkatan laju respirasi pasien secara berturut-turut yaitu 65-68x/menit dan
56x/menit dengan nilai normal berdasarkan Royal College of Nursing (2017) untuk neonates
yaitu 30-53x/menit. Peningkatan laju repirasi ini juga disebut takipnea yang merupakan salah
satu manifestasi klinis RDS yang didiagnosa pada pasien. Kondisi takipnea dapat disebabkan
karena adanya cairan didalam paru pada bayi baru lahir (Hermansen dan Lorah, 2007). Hasil
pengukuran skor downes di tanggal yang sama sejumlah 6. Menurut Mathai et al., (2007)
skor downes dapat digunakan untuk mengukur keparahan sindrom distres pernafasan, dimana
ketika skor > 6 dapat mengindikasikan adanya kegagalan pernafasan. Diikuti dengan adanya
PCH dan retraksi intercostal sebagai manifestasi klinis RDS pada tanggal 10 Agustus 2018
kemudian pada tanggal 11 Agustus 2018 pasien juga menunjukan retraksi subcostal dan
intercostal yang menandakan RDS pasien cukup memburuk, pada tanggal yang sama di
lakukan pengecekan tekanan darah dan tekanan darah pasien rendah yaitu 64/39 mmHg
dimana menurut Nickavar (2014) 85-88/60-60 mmHg. Hipotensi yang dialami pasien ini
memperkuat diagnosis tambahan pasien yaitu berupa syok distributive pada tanggal yang
sama 11 Agustus 2018. Syok pada neonates dikarakteristikan dengan ketidak mampuan
sirkulasi oksigen dalam jaringan, kondisi ini lebih sering terjadi pada bayi BBLR khususnya
pada beberapa hari awal kehidupan (Bhat, 2015). Peningkatan CRT pada tanggal 11 Agustus
2018 merupakan salah satu manifestasi klinis syok, yang di perkuat dengan data tekanan
darah pasien dan adanya retraksi subcostal dan intercostal. Untuk tanda vital pada hari-hari
selanjutnya tidak ditemukan abnormalitas yang berarti sehingga disimpulkan kondisi pasien
cukup stabil. Kecuali pada tanggal 19 Agustus 2018 di temukan lagi PCH dan retraksi
subcostal minimal yang juga merupakan manifestasi dari diagnosa RDS pasien.
Pasien juga melakukan cek laboratorium tiga kali selama pelaksanaan PTO yang
interpretasinya telah dijelaskan sebelumnya. Pada tanggal 9 Agustus 2018 dan 10 Agustus
2018 terjadi abnormalitas pada profil jenis leukosit pada pasien. Terjadinya abnormalitas pada
profil jenis leukosit pada pasien yang hanya terjadi dalam tiga hari kelahiran dan tidak ada
52
pertanda EOS yang lain ini menunjukan bahwa hal tersebut terjadi karena perubahan faktor
fisiologis dari bayi yang baru lahir akibat immaturitas sistem imun bayi. Namun apabila
ditemukan pertanda vital maupun gejala infeksi yang lain melebihi waktu yang ditentukan
maka perlu dilakukan penanganan yang sesuai dengan kondisi pasien. Hasil laboratorium
pada tanggal 19 Agustus 2018 juga telah dijelaskan sebelumnya.
Pasien PTO menerima terapi kombinasi antibiotik ampicillin dan gentamisin secara IV
untuk profilaksis sepsis neonatal, menerima aminofilin secara IV untuk mengatasi kondisi
apnea pada pasien, dan diberikan antibiotik cefotaxime yang diberikan secara IV untuk LOS
pasien, dan saat mendapat diagnosis tambahan pneumonia pasien diberikan antibiotik
amikacin secara IV. Antibiotik gentamisin dan Amikacin (aminoglikosida); dan Aminofilin
berdasarkan Blix et al. (2010) merupakan obat-obatan dengan indeks terapi sempit, yang
mana obat-obatan ini sering menimbulkan ROTD sehingga perlu penyesuaian dosis yang
tepat dan pemantauan yang ketat.
Kombinasi ampicillin sulbactam dan gentamicin secara IV dari tanggal 09 Agustus
2018 hingga 10-08-2018 selama 2 hari. Pemberian obat ini di indikasikan untuk profilaksis
sepsis neonatal, karena menurut Simosen et al. (2014) early-onset sepsis (EOS) menjadi
masalah umum yang serius pada neonatus, khususnya preterm infant (prematur), Group B
streptococcus (GBS) merupakan penyebab paling sering, meskipun yang paling sering
menyebabkan mortalitas adalah Eschecichia coli. Pemberian antibiotik profilaksis pada ibu
selama intrapartum diketahui dapat menurunkan infeksi gram negative dan Group B
streptococcus (GBS) terutama pada bayi dengan BBLR. EOS paling banyak terjadi pada awal
kehidupan, hal ini disebabkan bakteri pathogen bertransmisi secara vertical dari ibu ke bayi
sebelum atau selama proses kelahiran (Simosen et al., 2014).
Ampicillin sulbactam merupakan antibiotik bakterisidal yang termasuk golongan
penicillin. Sama seperti semua golongan penicillin, ampicillin membunuh bakteri yang
sensitif dengan mengintervensi bosintesis dinding sel bakteri, sehingga secara autolisis dapat
melisiskan bakteri. Ampicillin dapat terpenetrasi lebih baik kedalam dinding sel bakteri dari
pada penicillin G, ampicillin dapat membunuh banyak basil gram negatif, ampicillin juga
dapat secara aktif melawan basil gram negatif yang resisten terhadap penicillin G. Ampicillin
memiliki aktivitas antimikroba spektrum luas untuk mengatasi infeksi bakteri yang
disebabkan Listeria, betalaktamase-negatif, Haemophilus influenza, enterococci, Shigella,
streptococci, Eschecichia coli, Klebsiella pneumonia, Proteus mirabilis, Neisseria gonorrhea,
Neisseria meningitis dan beberapa oragnisme coliform (Pacifici, 2017). Dosis ampicillin yang
53
di indikasikan untuk terapi yang melawan Group B streptococcus (GBS), Listeria,
monocytogenes dan spesies yang di curigai Eschecichia coli sebesar 25-50 mg/kg/dosis setiap
12 jam pada hari 0-14 kelahiran dan setiap 8 jam pada hari >14 kelahiran untuk usia gestasi
30-36 minggu (Neofax Essensial, 2014).
Antibiotik aminoglikosida digunakan untuk profilaksis, atau pengobatan pada kondisi
darurat, untuk mengobati infeksi bakteri yang mengancam jiwa termasuk tuberculosis, sepsis,
infeksi respiratorik pada fibrosis cystic, infeksi saluran kemih yang kompleks dan
endocarditis. Gentamisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang memiliki
aktivitas bakterisidal yang potent melawan gram negatif. Gram negatif memainkan peran
penting dalam menyebabkan sepsis neonatus. Gentamicin merupakan drug of choice untuk
managemen sepsis neonatal sebagai lini pertama (Hossain et al., 2009). Dosis gentamicin
yang diindikasikan untuk pengobatan pada infeksi yang disebabkan oleh basil aerobic gram
negative (misal, Pseudomonas, Klebsiella, E.coli), seringnya digunakan kombinasi dengan
antibiotik beta-lactam; dosis yang direkomendasikan untuk neonatus dengan usia 30-34
minggu pada hari kelahiran 0-7 hari sebesar 4.5 mg/Kg dengan interval setiap 36 jam, pada
hari kelahiran ≥8 hari diberikan dosis sebesar 4 mg/Kg dengan interval 24 jam. Pemberian
antibiotik ini seringnya dikombinasikan dengan ampicillin. Terapi harus dihentikan ketika
dalam 48 jam probabilitas sepsis rendah (Neofax Essensial, 2014).
Menurut Quensland Clinical Guidelines, 2014, penatalaksanaan neonatus dengan RDS
perlu ditambahkan profilaksis dalam waktu 30 menit setelah bayi menunjukan gejala distress
pernapasan, dapat diberikan kombinasi antibiotik penicillin 60 mg/kg/dosis tiap 12 jam atau
ampicillin 50 mg/Kg/dosis tiap 12 jam dan gentamisin 2.5 mg/Kg untuk bayi dengan usia
gestasi ≥ 30 minggu diberikan setiap 24 jam. Pada Negara berkembang karena terjadi
peningkatan secara signifikan resistensi antibiotik pada infeksi komuniti. Sehingga
direkomendasikan rawat inap dan penggunaan kombinasi ampicillin dan gentamisin pada bayi
baru lahir yang dicurigai sepsis (Vera dan Ochoa, 2015).
Bayi yang dilakukan PTO merupakan bayi preterm dengan BBLR yang menyebabkan
peningkatan risiko terkait kejadi EOS, sehingga perlu diberikan terapi antibiotik profilaksis.
Kombinasi dan durasi pemberian antibiotik yang diberikan sudah sesuai untuk pasien dalam
mengatasi suspect EOS pada pasien. Gold standar waktu pemberian terapi adalah 48-72 jam
dalam pencegahan EOS (Neofax Essensial, 2014). Pada pasien terapi diberikan selama 3 hari
hal ini sesuai dengan gold standar waktu pemberian pemberian antibiotik dalam pencegahan
EOS . Dosis ampicillin yang diberikan sudah sesuai, namun dosis gentamisin pada tanggal 9
54
Agustus 2018 subdosis dan berlebih pada tanggal 10 Agustus 2018 karena pasien mengalami
penurunan berat badan. Perbedaan dosis gentamicin dengan literatur harus di konfirmasikan
kedokter karena merupakan obat terapi sempit yang harus dengan pemantauan dan memiliki
efek samping yang cukup berbahaya bagi pasien, sehingga perlu dilakukan penyesuaian dosis.
Pada tanggal 11 Agustus 2018 pasien mengalami syok distributif dan pasien diberikan
terapi dopamine dengan dosis >5mcg/Kg/menit. Dosis dopamin untuk pasien neonatus untuk
indikasi hipotensi 2-20mcg/Kg/menit secara infus kontinu, diberikan dengan dosis rendah dan
dititrasi dengan memonitor respon terapi. Untuk pemberian dengan konsentrasi 500mcg/mL
dosis 2.5 mcg/kg/min dengan laju infusi 0.3 ml/kg/jam atau dosis 5 mcg/kg/min dengan laju
infusi 0.6 ml/kg/jam (Neofax Essensial, 2014). Dopamine merupakan agen katekolamin
endogen yang telah dilaporkan dapat meningkatkan tekanan darah pada neonatus dengan
hipotensi dan memberikan efek yang lebih baik dibandingkan dobutamin atau albumin lain.
Dopamine menyebabkan peningkatan tekanan perifer dan vasokontriksi pada pulmoner pada
dosis yang lebih besar, menyebabkan peningkatan curah jantung akibat adanya vasokonstriksi
secara sistemik. Pemberian dosis rendah (<5mcg/kg/min) dopamine pada neonatus dengan
BBLR menunjukan peningkatan keluaran urin yang sama pada pasien neonatus BBLR yang
hipotensi maupun normotensi, namun tidak ada pembuktian adanya perbaikan outcome
jangka pendek ataupun jangka panjang (Bhat, 2015). Dosis yang diberikan untuk pasien sudah
sesuai dan pasien telah mengalami perbaikan yang dibuktikan pada catatan terintegrasi pada
hari selanjutnya dinyatakan bahwa syok pasien telah teratasi dan tanda vital dalam batas
normal.
Pasien mendapatkan aminofilin pada tanggal 9 Agustus 2018 yang diberikan dengan
loading dose sebesar 15 mg. Berdasarkan dosis literatur Loading Dose = 8 mg/Kg PO atau
secara infus i.v selama 30 menit (Neofax Essensial, 2014). Dosis penjagaan yang diberikan
pada pasien mulai tanggal 10 Agustus 2018 sampai 24 Agustus 2018 dengan dosis 3 x 4 mg.
dosis literature dosis penjagaan diberikan 8-12 jam setelah loading dose dengan dosis 1.5-3
mg/Kg/IV atau PO tiap 6-8 jam (Neofax Essensial, 2014). Berdasarkan gejala yang dialami
pasien yaitu pasien mengalami distress napas (sesak) sehingga diberikan aminofilin untuk
mengatasinya. Aminofilin diindikasikan untuk mengatasi apnea pada neonatus, sebagai
bronkodilator untuk memeperbaiki fungsi respiratorik. Secara farmakologis aminofilin
bekerja dengan menstimulasi respon pernafasan pusat dan menstimulus aktivitas
kemoreseptor perifer (Neofax Essensial, 2014).
55
Pemberian aminofilin sudah sesuai untuk pasien termasuk dosis yang diberikan,
namun tanggal 20 Agustus 2018 dan 21 Agustus 2018 karena pasien mengalami penurunan
berat badan dosis aminofilin sedikit terlalu tinggi untuk pasien. Perbedaan dosis aminfilin
dengan literature meskipun hanya sedikit harus di konfirmasikan kedokter karena merupakan
obat terapi sempit yang harus dengan pemantauan dan memiliki efek samping dan resiko
toksisitas yang cukup berbahaya bagi pasien, sehingga perlu dilakukan penyesuaian dosis.
Cefotaxime merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi tiga. Dengan
mekanisme kerja mengganggu dinding sel bakteri. Cefotaxime diindikasikan untuk
pengobatan infeksi disseminated gonococcal dan pengobatan pada meningitis dan sepsis pada
neonatus yang disebabkan organisme Gram-negatif. Dosis yang direkomendasikan untuk
pasien untuk pengobatan pada pasien 50 mg/Kg/dosis secara infus IV dengan syringe pump
selama 30 menit atau IM pada neonatus dengan usia gestasi 30-36 minggu, pada hari ke 0-14
kelahiran diberikan dengan interval 12 jam dan pada hari ke >14 setelah kelahiran diberikan
dalam interval 8 jam (Neofax Essensial, 2014). Cefotaxime juga dapat digunakan untuk
pengobatan meningitis dan sepsis pada neonatus yang berisiko toksisitas aminoglikosida
(Alolayan, 2014). Cefotaxime juga merupakan antibiotik empiris terbaik yang dapat
digunakan pada pasien neonatus dengan sepsis dan meningitis (Pacifici, 2017).
Penggunaan cefotaxime pada pasien dimulai tanggal 13 Agustus 2018 ketika pasien
telah berhenti menggunakan kombinasi antibiotik gentamisin dan ampicillin sulbactam,
pengobatan ini digunakan untuk indikasi profilaksis sepsis pada pasien karena pasien
memiliki risiko tinggi namun pasien belum melakukan kultur bakteri untuk sensitivitas
antibiotic sehingga diberikan cefotaxime karena sesuai pernyataan sebelumnya, bahwa
cefotaxime merupakan antibiotik empiris terbaik untuk mengatasi sepsis ataupun meningitis
pada neonatus, cefotaxime yang digunakan sudah sesuai indikasi dan dosis untuk mengatasi
risiko kondisi sepsis pada pasien. Dosis yang diberikan tidak melebihi dosis maksimum
harian yang dapat diterima pasien namun pada tanggal 21 Agustus 2018 karena pasien
mengalami penurunan berat badan dosis cefotaxime terlalu tinggi untuk pasien. Perbedaan
dosis cefotaxime dengan literatur harus di konfirmasikan kedokter untuk menghindari
timbulnya ROTD yang mungkin terjadi, sehingga perlu dilakukan penyesuaian dosis.
Sepsis pada pasien termasuk jenis Late-Onset Sepsis (LOS) karena terjadi > 72 jam
setelah kelahiran, hal ini diperkuat diagnosis dokter terkait kondisi sepsis pasien pada tanggal
17 Agustus 2018 (hari ke-10 pasien di rawat inap). Cefotaxime dapat digunakan sebagai
penanganan dini pada sepsis neonatus, namun terapi ini bukan merupakan lini pertama dan
56
penggunaan cefotaxime dalam jangka yang panjang yang digunakan untuk penanganan dini
sepsis pada neonatus menurut Polin (2012) dapat menyebabkan peningkatan risiko
kandidiasis secara infasif. Sehingga untuk mengatasi sepsis yang dialami pasien mungkin
dapat direkomendasikan untuk melakukan kultur darah terkait patogen penyebab sepsis pada
pasien dan antibiotik yang sensitif terhadap patogen tersebut, sehingga dapat diberikan
antibiotik sensitif sesuai patogen penyebab sepsis pada pasien.
Pneumonia terbagi menjadi 2 macam yaitu Early-Onset Pneumonia terjadi dalam tiga
hari pertama kehidupan, pneumonia ini dapat disebabkan adanya transmisi bakteria dari
placenta atau aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Late-Onset Pneumonia (LOP) terjadi
setelah perawatan dirumah sakit. Bakteri pathogen penyebab LOP sama dengan yang
menyebabkan sepsis (Hermansen 2015). Setelah diberi diagnosis tambahan pneumonia pasien
menerima terapi amikacin 1 x 30 mg secara IV untuk mengatasi pneumonia pada pasien.
Amikacin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang diberikan secara
terbatas utuk pengobatan basil infeksi Gram-negatif yang resisten terhadap aminoglikosida
yang lain. Dosis yang diberikan pada bayi dengan usia gestasi 30-34 minggu, pada hari 0-7
hari kehidupan sebesar 18 mg/kg dengan interval 36 jam, pada hari ≥ 8 kehidupan diberikan
dosis 15 mg/Kg dengan interval 24 jam. Berdasarkan penelitian Wang et al (2010) pathogen
Gram-negatif adalah yang paling sering menyebabkan Neonatal community-acquired
pneumonia yang sangat sensitif terhadap pemberian meropenem, imipenem dan amikacin.
Pada pengecekan sensitivitas antibiotik, sensitivitas obat amikacin sebesar 80%.
Indikasi penggunaan amikacin pada pasien sudah sesuai yaitu untuk mengatasi Late-
Onset Pneumonia pada pasien namun dosis yang diberikan berlebih sehingga perlu dilakukan
konfirmasi ke dokter terkait penyesuaian dosis karena merupakan obat dengan indeks terapi
sempit yang memiliki efek samping berbahaya bagi pasien, dosis yang berlebih dapat
menimbulkan risiko peningkatan toksisitas atau ROTD sehingga perlu dilakukan penyesuaian.
Selain itu perlu direkomendasikan kultur darah pada pasien untuk mengetahui patogen
penyebab pneumonia pada pasien dan sensitivitas terhadap antibiotiknya sehingga dapat
diberikan terapi antibiotik yang sesuai dengan pathogen kausatif.
Dalam pengobatan yang dilakukan pasien terdapat dua interaksi obat-obatan yang
digunakan pasien yaitu :
1. Interaksi antara Ampicillin dan gentamisin dengan signifikansi interaksi moderate
dimana ampicillin dapat meninaktivasi efek aminoglikosida secara in vivo dan in
vitro. Mekanismenya dengan pembentukan kompleks antara ampicillin dan
57
aminoglikosida, khususnya efek ini signifikan pada pasien dengan gagal ginjal dan
obat-obatan berikut dicampur dalam wadah IV yang sama. Dapat terjadi
penurunan kadar aminoglikosida (Anonim1,2018). Untuk penanganan yang dapat
dilakukan dan penyesuaian dosis kemungkinan jika diperlukan dan Pemberian
obat secara secara terpisah
2. Interaksi antara cefotaxim dan amikacin dengan signifikansi interaksi moderate.
Pemberian secara bersamaan aminoglikosida dan sefalosporin dapat meningkatkan
risiko nefrotoksisitas. Peningkatan insidensi nefrotoksik telah dilaporkan selama
penggunaan aminoglikosida, paling banyak golongan sefalosporin lama (misal,
cefaloridine, cefamandole, cefazolin, cefotaxime, cefoxitin, ceftazidime,
cefuroxime, cephalothin, ceftriaxone). Kondisi ini akan semakin memburuk pada
pasien lanjut usia dengan gangguan fungsi ginjal, apabila memperoleh dosis tinggi
dan terapi jangka panjang. Namun, beberapa studi melaporkan tidak ada efek
samping antara interaksi kedua kombinasi obat tersebut (Anonim1, 2018).
Penanganan yang dapat dilakukan yaitu dengan pemberian dosis terkecil
aminoglikosida yang dapat memberikan efek farmakologis (Anonim1,2018)
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Selama pelaksanaan Pemnatauan Terapi Obat kondisi bayi Ny. WS belum
menunjukan perbaikan yang signifikan, namun cenderung semakin memburuk karena
mendapatkan diagnosis tambahan berupa sepsis dan pneumonia. Dosis obat yang digunakan
perlu dilakukan pemantauan secara berkala karena berat badan pasien yang fluktuatif
58
sehingga harus menyesuaikan dengan berat badan pasien agar efek terapi yang diharapkan
tercapai dan tidak menimbulkan efek samping maupun ROTD.
6.2 Saran
1. Pemantauan terkait tanda vital pasien
2. Memantau berat badan pasien untuk penyesuaian kebutuhan dosis yang tepat bagi
pasien
3. Melakukan tindak lanjut dengan konfirmasi ke dokter terkait ketidaktepatan beberapa
dosis obat yang diberikan
4. kultur darah untuk melihat pathogen penyebab sepsis dan pneumonia pada pasien
sehingga dapat diterapi dengan antibiotic yang senstitif terhadap pathogen kausatif
Daftar Pustaka
Alolayan, Saleh Abdulrahman. 2014. Neonatal Dosage and Practical Guidelines Handbook.
Ministry of Health, King Fahd National Library Cataloging-in-Publication
Data.Saudi Arabia.
American Thoracic Society.2017. Respiratory Distress Syndrome of the Newborn (Chapter
19).https://www.thoracic.org/patients/patient-resources/breathing-in-
america/resources/chapter-19-respiratory-distress-syndr.pdf (online). Diakses 23
Agustus 2018 pukul 19.30 WIB
59
Anonim1.2018. Drugs.com : Interaction of Ampicillin,Gentamicin,Cefotaxime,Amikacin.
(online) https://www.drugs.com/interactionscheck.php?
interaction_list_id=183099562&drug_list=198-0,1168-0,549-0,161-
0,1530&types[]=major&types[]=minor&types[]=moderate&types[]=food&types[]=
therapeutic_duplication&professional=1. Diakses 26 Agustus 2018 Pukul 20.30
WIB.
Balest, Arcangela Lattari.2018.Respiratory Distress Syndrome in Neonates (Hyaline
Membrane Disease). MSD Manual Profesional Version.
https://www.msdmanuals.com/professional/pediatrics/respiratory-problems-in-
neonates/respiratory-distress-syndrome-in-neonates (online). Diakses 25 Agustus
2018 pukul 12.00 WIB
Beutler, Ernest., Marshall A. Lichtman, Barry S. Coller, Thomas J. Kipps, and Uri Seligsohn.
2001. Williams Hematology. Mc-Graw-Hill. New York.
Bhat, B.V., Plakkal N., 2015, Indian J Pediatr : Management of Shock in Neonates. Vol. 82
(10): Pg. 923-9
Blix, Hege S., Kirsten K.V., Tron A.M., Aasmund R., 2010, Pharmacy Practice : Drugs with
Narrow Therapeutic Index as Indicators the Risk Management in Hospitalised
Patients. Vol 8(1), Pg. 50-55.
Christensen, Robert D., Vickie L. Baer., Philip V. Gordon et al., 2012. PEDIATRICS :
Reference Range for lymphocyte Counts of Neonates : Associations Between
Abnormal Counts and Outcomes.
Effendi, Sjarif H., Leni Ambarwati., 2014. Continous Positive Airway Presure (CPAP).
Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung.
European Perinatal Health Report. Health and care of pregnant women and babies in Europe
in 2010. Euro Peristat [Internet]. 2010 [cited 2016 June 29]. Available from
http://www.europeristat.com/images/doc/EPHR2010_w_disclaimer.pdf
Frankenberger, Marion., Gurdun Kabner., Prajakta Oak., et al., 2014. European Respiratory
Journal : Intermediate CD14++ CD16++ Blod Monocytes are Elevated in Preterm
Neonates. Vol. 44 (S58). http://erj.ersjournals.com/content/44/Suppl_58/P3307
(online). Diakses 28 Agustus pukul 10.30 WIB
Gallacher DJ, Hart K, Kotecha S. 2016,Common respiratory conditions of the newborn.
Breathe.Vol. 12 Pg.30-42.
Gleason CA, Devaskar SU. 2012. Avery’s disease of the newborn. 9 th edition. United States
of America: Elsevier.
Grappone L, Messina F. 2014, Journal of Pediatric and Neonatal Individualized Medicine :
Hyaline membrane disease or respiratory distress syndrome? A new approach for
an old disease. Vol.3 (2)
60
Hermansen, Christian L., dan Anand Mahajan. 2015. American Academy of Family Physician
: Newborn Respiratory Distress. Vol. 92 (11) Pg. 994-1002.
Hermansen, Christian L., dan Kevin N. Lorah. 2007. American Academy of Family Physician
: Respiratory Distress in the Newborn. Vol. 76 (7) Pg. 987-994.
Hossain, Monir M., Nazma A. Chowdhury., Mahfuza Shirin et al.,2009.J Health Popul Nutr :
Simplied Dosisng of Gentamicin for Treatment of Sepsis in Bangladeshi Neonates.
Vol. 27 (5). Pg. 640-645.
Juul SE, Haynes JW, McPherson RJ. 2004. J Perinatol: Evaluation of neutropenia and
neutrophilia in hospitalized preterm infants. Vol.24(3):150–157.
Kent, Alison., Mark A.Turner., Mike S., Paul T. Heath., 2014. Expert Riviews :
Aminoglycoside Toxicity in Neonates : Something to Worry about?. Vol 12(3), Pg.
319-331.
Marwiyah, Nila.2016. NurseLine Journal : Hubungan Penyakit Kehamilan dan Jenis
Persalinan dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum di RSUD dr. Dradjat
Prawiranegara Serang. Vol. 1 (2). p-ISNN 2540-7937 e-ISSN 2541-464X
Mathai S, Raju C, Kanitkar C, Management of respiratory distress in the newborn, MJAFI.
2007;63 (269-72)
Milcic, Terri L., Patricia Nash.,2009. Neonatal Network : The Complete Blood Count. Vol.
28 (2)
Neofax Essensial. 2014. Micromedex Neofax Essensial 2014. Thompson Reuters. Canada
Nickavar, Azar., Farahnak Assadi. 2014. International Journal Prev Med : Managing
Hypertension in The Newborn Infants. Vol. 5 (suppl 1) : S39-S43
Nittala, Solomon., Girish C. Subbarao., Akhil Maheshwari.2012.J Matern Fetal Neonatal Med
: Evaluation of Neutropenia and Neutrophilia in Preterm Infants. Vol. 25 (5) : Pg.
100-103
Pacifici, Gian Maria.2017.International Journal of Pediatrics : Clinical Pharmacology of
Ampicillin in Neonates and Infants: Effect and Pharmacokinetics. Riview Article.
Vol. 5 (12). Pg. 6383:6410
Polin RA, Committee on Fetus and Newborn 2012. Management of neonates with suspected
or proven early-onset bacterial sepsis. Pediatrics 129:1006–1015.
10.1542/peds.2012-0541
Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Asuhan Neonatal dan Maternal. Jakarta : EGC
Qaril, Shahad Abdulhafith, Areej Abdulrhaman A., Sharaf Hassan M., Neisriene M. El M.,
2018. The Egyptian Journal of Hospital Medicine : Pravelence of Respiratory
Distress Syndrome in Neonates. Vol.70 (2). Page 257-264
61
Royal College of Nursing, Standards for Assessing, 2017, Measuring and Monitoring Vital
Signs in Infants, Children and Young People-Clinical Professional Resource,
London: RCN. Pg.19
Salvo V, Lista G, Lupo E, Ricotti A, Zimmermann LJI, Gabilanes AWD, et al. 2015.
Pediatrics : Noninvasive ventilation strategies for early treatment of RDS in
preterm infants: An RCT. Vol.135(03) Pg.444-451.
Simosen, Kari A., Ann L. Anderson-Berry., Shirley F., Delair et al.,2014., Clin Microbiol Rev
: Early-Onset Neonatal Sepsis. Vol. 27 (1). Pg. 21-47
Tobing, Ramona. 2004. Sari Pediatri : Kelainan Kardiovaskular pada SIndrom Gawat Nadas
Neonatus. Vol.6 (1). Hal. 40-46
Trihono, Pratini P., Endang Windastuti, S., Undung O. Pardede., 2013. Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan LXV: Pelayanan Kesehatan Anak Terpadu. Departemen
Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.Jakarta
Vasiljevic B., Antonic O., et al.,2008. Srp Arh Celok Lek : The Serum Level ofC-reactive
Protein in Neonatal Sepsis (Abstract). Vol. 136 (5-6)
Vera, Alonso Zea., Theresa J. Ochoa. 2015.Journal of Tropical Pediatrics, Clinical Riviews
:Chalenges in the Diagnosis and Management of Neonatal Sepsis. Vol 61 Pg. 1-13
Wandita, Satya., Achmad Surojo, Sunarto. 2006. Berkala Ilmu Kedokteran : Uji Diagnostik
Skor Apgar pada Asfiksia Neonatorum. Vol. 38, No. 1. Hal. 41-48
Wang, Hua., Jun Tang., Ying Xiong., et al. 2010.Journal of Pediatrics and Child Health :
Neonatal Community-Acquired Pneumonia : Pathogens and Treatment.
World Health Organization.2018. Preterm Birth. http://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/preterm-birth (online). Diakses 27 Agustus pukul 20.45 WIB
62