Anda di halaman 1dari 119

Farmakokinetika Klinis

2015
USU Press
Art Design, Publishing & Printing
Gedung F
Jl. Universitas No. 9, Kampus USU
Medan, Indonesia

Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737

Kunjungi kami di:


http://usupress.usu.ac.id

USU Press 2015

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak,


menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa
atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

ISBN 979 458 785 0

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Farmakokinetika Klinis / Azizah Nasution Medan: USU Press, 2015


ix, 106 p.; ilus.: 24 cm

Bibliografi
ISBN: 979-458-785-0

Dicetak di Medan, Indonesia


Tubuh manusia merupakan sistem yang sangat komplek yang mana
proses biologi, fisiologi, dan biokimia berpengaruh terhadap
pergerakan dan kerja obat di dalam tubuh. Proses-proses ini
dikelompokkan menjadi absorpsi, distribusi, metabolisme, dan
eksresi. Ilmu yang mempelajari tentang perubahan jumlah obat di
dalam tubuh dengan pertambahan waktu dikenal sebagai
farmakokinetika. Konsep farmakokinetika telah lama diaplikasikan
di bidang farmasi baik dalam rangka pengembangan obat baru
maupun di bidang klinis. Farmakokinetika klinis merupakan ilmu
yang mempelajari aplikasi konsep farmakokinetika untuk
mengoptimalkan efek pengobatan.

Pasien penderita penyakit kronik seperti hipertensi, diabetes


mellitus dan epilepsy harus memakan obat setiap hari seumur
hidupnya. Disamping itu ada juga pasien yang hanya menggunakan
dosis tunggal untuk menghilangkan rasa sakit seperti sakit kepala.
Cara bagaimana obat digunakan disebut regimen dosis (Dosage
regimen). Lama pengobatan dan regimen dosis tergantung kepada
tujuan pengobatan yaitu apakah untuk penyembuhan, pengurangan
rasa sakit atau pencegahan.

Umumnya obat dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan


seperti mual, mulut kering, iritasi saluran pencernaan dan
hipertensi. Selain itu dosis obat yang terlalu besar akan
mengakibatkan akumulasi di dalam tubuh yang selanjutnya
menghasilkan efek toksik. Sebaliknya pemberian obat dengan dosis
yang terlalu rendah tidak akan menghasilkan efek pengobatan yang
sesuai dengan yang diinginkan. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan pengobatan yang optimal, maka perlu pemahaman
yang baik tentang konsep farmakokinetika klinis. Untuk mencapai
pengo
Keputusan hasil pemilihan tersebut mengimplikasikan diaganosis
penyakit secara tepat, pengetahuan tentang kondisi klinik pasien,
pemahaman farmakoterapetika, serta pemahaman konsep
farmakokinetika klinis. Sebagai contoh, seorang penderita asma
akut terpaksa dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan
pengobatan. Tim medis sepakat untuk memberi terapi dengan

iii
teofilin secara infus intravena kecepatan konstan. Rentang terapi
obat adalah 10 20 mcg/ml plasma. Berapa kecepatan infus yang
harus diberikan untuk mendapatkan konsentrasi tersebut di atas?

Prinsip-prinsip farmakokinetika klinis yang mencakup proses


absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresi obat di dalam tubuh
dan parameter-parameternya, konsep pemberian obat intravena dan
per oral baik dosis tungggal maupun dosis ganda serta aplikasinya
dalam pengobatan pasien, akan dibahas dalam bab-bab berikut ini.

Buku ini terdiri dari 10 bab. Dalam bab satu dijelaskan tentang
perbedaan antara biofarmasi, farmakokinetika, farmakokinetika
klinis, dan farmakodinamika. Bab dua membahas tentang
penggolongan obat berdasarkan rute pemberian. Dalam bab tiga
dibahas tentang pengertian, konsep dasar pengaturan efek terapi,
serta perhitungan parameter-parameter farmakokinetika untuk
pemberian intravena dosis tunggal. Kemudian dalam bab empat
dibahas tentang pemberian obat secara infus, prinsip steady state,
faktor yang mempengaruhi selama obat diberikan, dan aplikasi
parameter farmakokinetika untuk menghitung besarnya dosis baik
secara infus maupun kombinasi intravena dan infus. Selanjutnya,
bab lima membahas pemberian obat secara ekstravaskular, faktor-
faktor yang mempengaruhi absorpsi, kinetika absorpsi, hubungan
antara waktu dengan konsentrasi serta interpretasinya untuk
mendapatkan parameter-parameter farmakokinetika. Seterusnya
dalam bab enam dibahas prinsip dan parameter farmakokinetika
dosis berganda, faktor-faktor penentu pengaturan dosis dan
interval, untuk pemberian intravaskular dan ekstravaskular. Dalam
bab tujuh dibahas tentang kinetika dan fator penentu jumlah
metabolit di dalam tubuh, interpretasi serta implikasi klinik.
Kemudian dalam bab delapan dibahas tentang keanekaragaman
respons serta strategi untuk mengoptimalkan terapi. Dalam bab
sembilan dibahas tentang penggunaan obat pada pasien dengan
gangguan ginjal, perubahan fisiologi, perubahan farmakokinatika
dan farmakodinamika serta pendekatan yang dapat dilakukan untuk
mengoptimalkan terapi. Terahir adalah bab sepuluh yaitu
membahas tentang prinsip penggunaan obat pada pasien dengan
gangguan hatiserta faktor-faktor yang harus dipertimbangkan.

iv
Dalam buku ini juga dibahas tentang contoh-contoh soal sebagai
pelatihan dan untuk mempermudah pemahaman dan aplikasi
konsep farmakokinetika klinis dalam pengoptimalan penggunaan
obat.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah


memberikan motivasi, saran dan kritikan yang membangun demi
penyelesaian dan penyempurnaan buku ini.

Semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca.

Azizah Nasution

v
Prakata ............................................................................................. iii
Daftar Isi ......................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN ........................................................ 1


BAB II PENGGOLONGAN OBAT DAN KONSEP
PENGATURANRESPONS ........................................ 3
2.1 Penggolongan Obat ................................................................ 3
2.1.1 Pemberian Intravaskular................................................ 3
2.1.2 Pemberian Ekstravaskular ............................................. 3
2.2 Contoh-contoh Soal ............................................................... 7

BAB III PENGERTIAN DAN PERHITUNGAN


PARAMETER PARAMETER
FARMAKOKINETIKA ........................................... 10
3.1 Pemberian Obat Secara Intravena......................................... 10
3.1.1. Volume Distribusi (V) ............................................ 10
3.1.2. Konstanta Kecepatan Eliminasi (k) ......................... 11
3.1.3. Waktu Paruh ............................................................. 17
3.1.4. Proporsi Obat Tereliminasi ....................................... 17
3.1.5. Clearance Total (Cl) ................................................. 18
3.1.6. Clearance Renal dan Clearance Ekstrarenal ............. 20
3.2 Contoh-contoh Soal .............................................................. 22

BAB IV PEMBERIAN INFUS DENGAN


KECEPATAN KONSTAN ...................................... 30
4.1 Prinsip Steady State ............................................................. 30
4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Steady State ................ 30
4.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsentrasi Obat
Selama Infus Diberikan ....................................................... 32
4.4 Waktu yang Dibutuhkan untuk Mencapai Steady State ....... 32
4.5 Kombinasi Intravena Bolus dan Infus .................................. 33
4.6 Konsentrasi Obat di dalam Plasma Setelah Infus
Dihentikan ............................................................................ 35
4.7 Estimasi Parameter Farmakokinetika ................................... 36
4.8 Contoh-contoh Soal .............................................................. 37

vi
BAB V PEMBERIAN OBAT EXTRAVASCULAR ........... 40
5.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Absorpsi ....................... 40
5.1.1. Ketersediaan Hayati Per Oral.................................... 42
5.1.2. Kinetika Absorpsi ..................................................... 42
5.1.3. Hubungan antara Waktu dengan Konsentrasi
Obat ........................................................................... 43
5.1.4. Analisis Parameter-parameter Farmakokinetika ...... 44
5.2 Contoh-contoh Soal ............................................................. 47

BAB VI PRINSIP PENGATURAN PEMBERIAN


DOSIS GANDA ......................................................... 48
6.1 Pendekatan Pengaturan Dosis dan Interval Pemberian
Obat ...................................................................................... 48
6.1.1 Pendekatan Empiris .................................................. 48
6.1.2 Pendekatan Kinetika ................................................. 49
6.1.3 Faktor-faktor Penentu Pengaturan Dosis dan
Interval ...................................................................... 49
6.2 Akumulasi Obat ................................................................... 50
6.3 Interpretasi Kinetika ............................................................. 51
6.3.1 Interval Pemberian dan Akumulasi Obat .................. 51
6.3.2 Jumlah Maksimum dan Minimum Obat di
dalam Tubuh ............................................................. 53
6.3.3 Jumlah Rata-Rata Obat Di Dalam Tubuh Pada
Steady State ............................................................... 54
6.3.4 Konsentrasi Rata-Rata Obat Di Dalam Plasma
Pada Steady State ...................................................... 55
6.3.5 Indeks Akumulasi ..................................................... 56
6.3.6 Kecepatan Akumulasi Sampai Dicapai Steady
State........................................................................... 56
6.3.7 Hubungan antara Dosis Muatan dengan Dosis
Pertahanan ................................................................. 57
6.4 Contoh-contoh Soal .............................................................. 58

BAB VII KINETIKA METABOLIT ....................................... 61


7.1 Proses Metabolisme Obat ..................................................... 61
7.2 Faktor-faktor Penentu Jumlah Metabolit di dalam
Tubuh .................................................................................... 62
7.2.1 Kecepatan Metabolisme Sebagai Penentu
Jumlah Metabolit ...................................................... 64
7.2.2 Kecepatan Eliminasi Metabolit Sebagai Penentu ..... 65

vii
7.2.3 Konsentrasi Metabolit di dalam Plasma ................... 66
7.2.4 Interpretasi Data Metabolit ....................................... 66
7.3 Implikasi Terapi .................................................................... 67
7.3.1 Prodrug tidak aktif dan metabolit aktif ..................... 67
7.3.2 Obat Aktif dan Metabolit Tidak Aktif ...................... 68
7.4 Contoh-contoh Soal .............................................................. 68

BAB VIII KEANEKARAGAMAN RESPONS ........................ 70


8.1 Ketidaksesuaian Penggunaan Obat ....................................... 70
8.2 Genetik.................................................................................. 71
8.3 Toleransi (ketergantungan) .................................................. 74
8.4 Penyakit ................................................................................ 75
8.5 Usia dan Berat Badan ........................................................... 75
8.6 Formulasi .............................................................................. 77
8.7 Rute Pemberian.................................................................... 78
8.8 Interaksi Obat ...................................................................... 78

BAB IX PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN


DENGAN GANGGUAN GINJAL.......................... 81
9.1 Penyakit Ginjal Kronik ......................................................... 81
9.2 Perubahan Farmakokinetika dan Farmakodinamika ............ 82
9.2.1 Perubahan Farmakokinetika ..................................... 82
9.2.1.1 Perubahan absurpsi obat ........................................... 82
9.2.1.2 Perubahan distribusi obat .......................................... 82
9.2.1.3 Perubahan metabolisme dan eksresi ......................... 83
9.2.2 Perubahan Farmakodinamika ................................... 84
9.3 Penyesuaian Dosis untuk Pasien dengan Gangguan
Ginjal .................................................................................... 84
9.3.1 Therapeutic Drug Monitoring ................................... 84
9.3.2 Pendekatan Praktis .................................................... 86
9.4 Contoh-contoh Soal .............................................................. 87

BAB X PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN


DENGAN GANGGUAN HATI ............................... 90
10.1 Fungsi dan Gangguan Hati ................................................... 90
10.2 Patofisiologi dan Manifestasi Klinik .................................... 91
10.3 Perubahan Farmakokinetika dan Farmakodinamika
Obat ...................................................................................... 91
10.4 PerubahanAliran Darah di Hati ............................................ 91
10.5 Penentuan Fungsi Hati .......................................................... 93

viii
10.6 Strategi Penyesuaian Dosis ................................................... 94
10.6.1 Obat dengan Extraction Ratio Tinggi ....................... 94
10.6.2 Obat dengan Extraction Ration Menengah ............... 95
10.6.3 Obat dengan Extraction Ratio dan Ikatan
Protein Rendah .......................................................... 95
10.6.4 Obat dengan Extraction Ratio dan Ikatan
Protein Tinggi ........................................................... 95
10.7 Contoh-contoh Soal .............................................................. 96

DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 99


LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................... 102
LAMPIRAN I - DAFTAR SINGKATAN .................................. 102
LAMPIRAN II - PARAMETER FARMAKOKINETIKA,
REGIMEN DOSIS DAN FARMAKODINAMIKA
BERBAGAI OBAT..................................................................... 104
INDEKS ....................................................................................... 108

ix
BAB I

PENDAHULUAN

Disiplin ilmu biofarmasi, farmakodinamika, farmakokinetika, dan


farmakokinetika klinis sangat erat hubungannya dan sering
dipertukarkan antara yang satu dengan lainnya. Biofarmasi
mempelajari hubungan antara sifat fisika kimia obat dan bentuk
sediaannya dengan efek biologik setelah diberikan kepada manusia
ataupun hewan. Jadi, konsep biofarmasi banyak diaplikasikan
dalam rangka pengembangan obat baru. Kajian biofarmasi bersifat
semi kuantitatif.

Berbeda dengan biofarmasi, kajian farmakokinetika bersifat


kuantitatif. Farmakokinetika berasal dari perkataan pharmacon (=
obat) dan kinetics (=sesuatu yang berubah dengan pertambahan
waktu). Jadi, farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari
perubahan-perubahan jumlah obat di dalam tubuh dengan
bertambahnya waktu. Farmakokinetika juga dapat didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari proses absorpsi, distribusi,
metabolisme dan eksresi obat yang dihitung secara kuantitatif
berdasarkan konsep matematika serta diaplikasikan untuk
menghitung besarnya dosis dan interval pemberian obat.
Farmakokinetika juga didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari
apa yang dilakukan oleh tubuh terhadap obat . Selain biofarmasi,
konsep farmakokinetika juga penting diaplikasikan dalam rangka
pengembangan obat baru.

Aplikasi konsep farmakokinetika untuk menentukan besarnya dosis


dan interval pemberian obat untuk individu sehingga diperoleh
terapi yang rasional disebut sebagai farmakokinetika klinis. Cara
bagaimana obat digunakan, berapa besarnya dosis dan interval
pemberian serta lama penggunaan disebut regimen dosis (Dosage
regimen). Lama pengobatan dan regimen dosis tergantung kepada
tujuan pengobatan yaitu apakah untuk penghilang rasa sakit,
pencegahan ataupun penyembuhan penyakit.

1
Berbeda dengan farmakokinetika, farmakodinamika adalah ilmu
yang mempelajari apa yang dilakukan oleh obat terhadap tubuh
atau ilmu yang mempelajari mekanisme kerja obat.
Farmakodinamika menghubungkan konsentrasi obat di dalam
plasma dengan respons terapi, sedangkan farmakokinetika
menghubungkan antara dosis obat dengan konsentrasi obat di
dalam plasma. Dengan demikian mudah dipahami bahwa
farmakokinetika mempunyai hubungan yang erat dengan
farmakodinamika.

Aplikasi konsep farmakokinetika klinis merupakan salah satu


pendekatan yang harus dilakukan untuk menghindari kemungkinan
terjadinya efek toksik, meminimalkan efek samping obat, serta
mengoptimalkan terapi. Pemahaman tentang prinsip-prinsip
farmakokinetika yang mencakup proses absorpsi, distribusi,
metabolisme dan eksresi obat di dalam tubuh dan parameter-
parameternya, perubahan nilai parameter farmakokinetika akibat
kondisi klinik pasien, keberadaan obat lain serta metabolit perlu
dipahami agar dapat diaplikasikan untuk merancang regimen dosis
yang rasional, sebagaimana akan dibahas dalam bab-bab berikut
ini.

2
BAB II

PENGGOLONGAN OBAT DAN


KONSEP PENGATURAN
RESPONS

2.1. Penggolongan Obat

Berdasarkan cara pemberiannya, obat dapat dikelompokkan


menjadi dua golongan yaitu obat yang diberikan secara
intravaskular (intravena) dan ekstravaskular yaitu dimasukkan ke
dalam tubuh tidak secara langsung ke dalam pembuluh darah.

2.1.1 Pemberian Intravaskular

Pemberian intravaskular artinya obat langsung dimasukkan ke


dalam pembuluh darah vena atau arteri. Dalam hal ini tidak ada
proses absorpsi obat, maka semua obat (dosis yang diberikan) yang
ada dalam sediaan masuk ke dalam tubuh.

2.1.2 Pemberian Ekstravaskular

Pemberian secara ekstravaskular meliputi rute per oral, sublingual,


buccal, intramuscular, subcutan, transdermal, dan rectal. Sebelum
memasuki sirkulasi sistemik, obat harus terlebih dahulu diabsorpsi
oleh tubuh. Pada pemberian ekstravaskular, biasanya obat yang
masuk ke dalam tubuh tidak mencapai 100%. Hal ini disebabkan
oleh berbagai faktor diantaranya bentuk sediaan, ionisasi obat, pKa
obat, pH cairan tubuh, luas permukaan zat berkhasiat terlarut yang
berkontak dengan dinding organ tubuh seperti dinding saluran
pencernaan, koefisien partisi, dan waktu pengosongan lambung.

3
Secara skematis, peristiwa yang dialami oleh obat di dalam tubuh
setelah diberikan secara intravena dan per oral dapat dilihat pada
Gambar 2.1. Dari skema tersebut dapat dilihat bahwa obat yang
diberikan secara intravena langsung memasuki sirkulasi sistemik
dan tidak mengalami peristiwa absorbsi. Jadi, seluruh obat yang
diberikan masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Berbeda dengan
pemberian obat secara intravaskular, obat yang diberikan per oral,
terlebih dahulu mengalami peristiwa absorpsi ke dalam sirkulasi
sistemik. Di dalam darah, baik obat yang diberikan secara intravena
maupun per oral akan berikatan secara reversible dengan protein
plasma dalam bentuk senyawa kompleks yang mengadakan
kesetimbangan (equilibrium) dengan obat bebas. Obat-obat yang
bersifat asam berikatan dengan albumin, sedangkan obat-obat yang
bersifat basa berikatan dengan alpha acid glycoprotein (AAG).

Obat bebas di dalam darah akan didistribusikan ke dalam jaringan


tubuh termasuk yang mengandung reseptor dan organ
pengmetabolisme yang selanjutnya metabolit yang dihasilkan akan
dieksresikan. Obat dengan reseptor membentuk senyawa kompleks
sehingga menyebabkan respons farmakologi. Berdasarkan teori
penempatan (occupational theory), besarnya respons yang
dihasilkan sebanding dengan konsentrasi obat yang berikatan
dengan reseptor. Dengan demikian konsentrasi obat pada reseptor
perlu dimonitor agar efek terapi yang diinginkan tercapai. Namun
pendekatan ini tidak mungkin dilaksanakan karena tidak praktis.
Contohnya adalah reseptor digoxin terdapat di dalam myocardium.
Sampel obat tidak mungkin dapat diambil dari jaringan ini.
Konsentrasi obat di dalam plasma, urin, saliva, dan cairan lainnya
dapat diukur. Perubahan konsentrasi obat di dalam plasma
merupakan gambaran perubahan konsentrasi obat pada reseptor dan
jaringan lainnya. Peninggian konsentrasi obat di dalam plasma
mengakibatkan peninggian konsentrasi obat di jaringan lainnya.
Dengan perkataan lain, konsentrasi obat yang berikatan dengan
reseptor ini sebanding dengan konsentrasi obat bebas yang ada di
dalam plasma. Jadi, pengaturan respons dapat dilakukan dengan
mengatur konsentrasi obat di dalam plasma.

Respons yang dihasilkan suatu saat akan menurun akibat


penurunan jumlah obat di dalam tubuh karena peristiwa
metabolisme dan eksresi. Dengan demikian konsep dasar

4
pengaturan respons farmakologi ialah menjaga agar konsentrasi
obat selalu berada dalam rentang terapi.

Obat dalam Obat dalam Respon


Jaringan Cairan Tubuh Farmakologi
(pengobatan)
Obat
Intravena

Obat Obat Komplek


per oral [Obat][Protein] Obat Bebas pada Obat
Reseptor Reseptor
(di dalam darah)

Absorpsi Organ pengmetabolisme:


metabolit

Eksresi
Metabolisme

Gambar 2.1. Skematis nasib obat di dalam tubuh

Rentang terapi adalah batasan konsentrasi obat di dalam serum


yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek pengobatan tanpa efek
toksik yang signifikan. Sungguhpun rentang terapi merupakan
konsentrasi efektif untuk kebanyakan pasien, namun konsentrasi
terapi dapat bervariasi dari pasien yang satu ke pasien lainnya
(individual variability). Kadang-kadang pasien tertentu
membutuhkan kadar obat sedikit lebih rendah atau lebih tinggi dari
rentang terapi untuk menghasilkan efek pengobatan yang optimal
(optimal efficacy). Rentang terapi berbagai obat tercamtum pada
Tabel 2.1. Seperti tercantum pada Tabel 2.1 rentang terapi obat-
obat tersebut bervariasi dari 0.006 sampai 400 mcg/ml.

Efek terapi optimal dapat diperoleh dengan mempertahankan agar


konsentrasi obat tetap berada dalam rentang terapi dengan
mengatur besarnya dosis dan interval pemberian (kecepatan
masuknya obat ke dalam tubuh) yang berdasarkan kepada besarnya
eliminasi obat. Karena struktur kimia berbagai kelompok obat

5
berbeda satu sama lainnya, maka akan menghasilkan parameter
farmakokinetika yang berbeda-beda pula sehingga dosis dan
interval pemberian akan berbeda.

Tabel 2.1 Rentang terapi berbagai obat


No Nama Obat Terapi Rentang
Terapi
(mcg/ml)
1 Acatazolamide Glaucoma 10-30
2 Digitoxin Congestive Heart 0,01-0,02
Failure
3 Digoxin Congestive Heart 0,0006-0,002
Failure
4 Gentamycin Infeksi bakteri Gram 1-10
negative
5 Lidocain Ventricular Arithmia 1,2-5,6
6 Lithium Depresi 0,04-1,4
(mEq/L)
7 Nortriptyline Depresi endogen 0,05-0,14
8 Phenobarbital Epilepsi 10-25
9 Phenytoin Epilepsi 10-20
10 Procainamide Ventricular Arithmia 4-8
11 Propranolol Angina Pectoris 0,01-0,1
12 Quinidine Cardiac Arithmia 3-6
13 Theophylline Asthma 6-20
14 Warfarin Thrombo embolic 1-4
diseases
15 Salicylic Acid Pain & Aches 20-100
Rheumatoid arthritis 100-300
Rheumatic Fever 250-400

6
2.2. Contoh-contoh Soal

1. Ilmu yang mempelajari perubahan jumlah obat di dalam tubuh


dengan pertambahan waktu disebut:
a. Farmakokinetika
b. Farmakodinamika
c. Bioavailabilitas
d. Farmakogenetik

2. Farmakodinamika adalah ilmu yang mempelajari tentang:


a. Apa yang dilakukan oleh tubuh terhadap obat
b. Apa yang dilakukan oleh obat terhadap tubuh
c. Menghubungkan antara dosis dengan konsentrasi obat
didalam plasma
d. Tidak ada jawaban yang benar

3. Farmakokinetika berbeda dengan biofarmasi yaitu:


a. Kajian farmkokinetika lebih bersifat kuantitatif
dibandingkan dengan kajian biofarmasi
b. Kajian biofarmasi lebih bersifat kuantitatif dibandingkan
dengan kajian farmakokinetika
c. Hanya kajian farmakokinetika yang dapat diaplikasikan
dalam pengembangan obat baru
d. Tidak ada jawaban yang benar

4. Strategi pengaturan efek terapi dapat dilakukan dengan:


a. Menentukan kadar obat pada reseptor
b. Mnghitung jumlah obat di dalam plasma
c. Mengatur konsentrasi obat di dalam plasma
d. Tidak ada jawaban yang benar

5. Obat yang diberikan secara intravena mempunyai nilai


bioavailabilitas:
a. > 100%
b. < 100%
c. 1
d. Tidak ada jawaban yang benar

7
6. Obat yang diberikan per oral mempunyai nilai bioavailabilitas:
a. > 100%
b. < 100%
c. 1
d. Tidak ada jawaban yang benar

7. Setelah memasuki sirkulasi sistemik, obat yang bersifat asam:


a. Berikatan secara reversibel dengan protein plasma
b. Berikatan secara irreversibel dengan protein plasma
c. Berikatan dengan protein plasma dan akan didistribusikan
ke dalam organ-organ lain
d. Tidak ada jawaban yang benar

8. Di dalam plasma, obat yang bersifat basa berikatan dengan:


a. Albumin
b. AAG
c. Globulin
d. Tidak ada jawaban yang benar

9. Respons yang dihasilkan oleh suatu obat akan menurun


sebagai akibat dari:
a. Distribusi obat ke dalam jaringan
b. Metabolisme
c. Metabolisme dan eksresi
d. Tidak ada jawaban yang benar

10. Yang dimaksud dengan rentang terapi suatu obat adalah:


a. Konsentrasi obat yang menghasilkan efek maksimal dan
meniadakan efek samping
b. Konsentrasi obat yang meniadakan efek toksik
c. Konsentrasi obat yang menghasilkan efek terapi optimal
d. b dan c benar

8
Jawaban:
Jawaban yang benar untuk soal nomor 1 sampai dengan 10
adalah sebagai berikut:
1. a
2. b
3. a
4. c
5. c
6. b
7. a
8. b
9. c
10. d

9
BAB III

PENGERTIAN DAN
PERHITUNGAN
PARAMETER-PARAMETER
FARMAKOKINETIKA

Seperti telah diuraikan dalam Bab II bahwa pengaturan respons


terapi dilakukan dengan mengatur kecepatan masuknya obat ke
dalam tubuh yang berdasarkan kepada kecepatan eliminasi. Terkait
dengan hal tersebut, parameter-parameter farmakokinetika yang
menentukan besarnya jumlah obat di dalam tubuh dan kecepatan
eliminasi serta berperan penting dalam menentukan regimen dosis
perlu dipahami terlebih dahulu. Parameter-parameter tersebut
meliputi:

Volume Distribusi (V)


Konstanta Kecepatan Eliminasi (k)
Waktu paruh (t ½)
Persen eliminasi dalam hubungan dengan t ½
Cleareance (bersihan):
- Clearance Total (Cl)
- Clearance Renal (ClR)
- Clearance Extra Renal (ClER)

3.1. Pemberian Obat Secara Intravena

3.1.1 Volume Distribusi (V)

Pendekatan sederhana tentang pemahaman volume distribusi dapat


dijelaskan setelah obat dengan dosis tertentu diberikan secara
intravena (iv). Obat akan didistribusikan oleh sirkulasi darah ke
dalam organ-organ tubuh sebagaimana telah diuraikan pada Bab II.

10
Setelah distribusi sempurna (kesetimbangan atau equilibrium
dicapai), maka jumlah obat (A) di dalam tubuh berhubungan
dengan konsentrasi obat di dalam plasma (C) seperti dituliskan
dalam persamaan (1) dan (2):

A = V.C ................
V = A/C .(2)

Berdasarkan persamaan (2), maka mudah dipahami bahwa volume


distribusi:
merupakan perbandingan antara jumlah obat di dalam tubuh
dengan konsentrasi di dalam plasma atau darah
merupakan volume plasma atau darah yang dibutuhkan
untuk memberi gambaran distribusi obat di dalam tubuh
setelah kesetimbangan dicapai
merupakan indikator besarnya distribusi obat ke dalam
cairan tubuh dan jaringan serta gambaran/indikasi obat di
dalam tubuh
jarang berhubungan dengan ukuran tubuh
berhubungan dengan ikatan protein
Obat yang bersifat polar cenderung memiliki volume
distribusi yang kecil. Sebaliknya, obat yang bersifat non-
polar cenderung mempunyai volume distribusi yang besar.
Semakin besar volume distribusi obat, semakin sedikit
jumlah obat yang berada di dalam plasma.

3.1.2 Konstanta Kecepatan Eliminasi (k)

Konstanta kecepatan eliminasi merupakan salah satu parameter


metabolisme dan eliminasi obat. Konstanta kecepatan eliminasi
ditentukan dengan mengaplikasikan konsep persamaan order
reaksi. Dalam hal ini tubuh dianggap mengikuti model satu
kompartemen terbuka dengan asumsi bahwa:
tubuh merupakan suatu system yang homogen
obat masuk ke dalam sirkulasi darah, tanpa proses absorpsi
distribusi obat berlangsung dengan cepat dan homogen
eliminasi obat merupakan proses reaksi order pertama

11
Dengan demikian kecepatan eliminasi obat berbanding lurus
dengan jumlah obat di dalam tubuh sebagaimana dijelaskan berikut
ini:

Ao ( = Dosis ) k
Fungsi
t=0 A, t

Setelah kesetimbangan dicapai, kecepatan eliminasi adalah sebagai


berikut:
dA
= k.A
dt
dA / dt
k=
A
A = Jumlah obat di dalam tubuh.

Perubahan jumlah obat di dalam tubuh dapat dituliskan dengan


persamaan (3).
dA
= - kA
dt

Bila persamaan (3) diintegralkan, maka akan diperoleh persamaan


(4) dan (5):

A = Ao e kt
kt
V. C = V. Co e

Setelah obat diberikan secara intravena, jumlah obat di dalam


tubuh saat t = 0 (Ao) adalah sama dengan dosis obat. Persamaan (5)
dapat disederhanakan menjadi persamaan (6).

C = Co e-kt

Persamaan (6) menunjukkan konsentrasi obat di dalam tubuh


menurun secara eksponensial setelah diberikan secara intravena
bolus seperti tertera pada Gambar 3.1.

12
C

Gambar 3.1. Plot konsentrasi versus t

Umumnya analisis parameter-parameter farmakokinetika dan


konsentrasi obat dapat dengan mudah dilakukan dengan
menggunakan persamaan garis lurus. Persamaan (6) dapat ditulis
menjadi persamaan (7):

In C = In Co kt

Persamaan (7) merupakan persamaan garis lurus yang mana apabila


diplot ln C versus waktu (t), maka akan diperoleh garis lurus seperti
tertera pada Gambar 3.2.

C0

lnC

t
Gambar 3.2. Plot ln C versus t

Cara lain untuk menganalisis data adalah dengan memplot


konsentrasi versus waktu di atas kertas grafik semilog. Contoh
kertas grafik semilog adalah seperti dicantumkan pada Gambar 3.3.

13
Kertas grafik semilog merupakan kertas grafik yang mana
pembagian skala sumbu y sudah disesuaikan dengan nilai
logaritma. Pembagian skala sumbu x adalah merata. Jadi istilah
semilog bermakna bahwa hanya satu sumbu yang sudah
disesuaikan dengan nilai logaritma. Bila diplot nilai konsentrasi
aktual versus waktu di atas kertas grafik ini, maka akan diperoleh
garis lurus. Keunggulan pemanfaatan kertas grafik semilog
dibandingkan dengan kertas grafik biasa adalah lebih efisien waktu
karena tidak diperlukan lagi untuk menghitung nilai logaritma dari
masing-masing konsentrasi sebelum diplot terhadap masing-masing
waktu yang bersangkutan.

14
Siklus
ketiga

Siklus
kedua

Siklus
pertama

Gambar 3.3. Kertas grafik semilog

15
Contoh kertas grafik semilog pada Gambar 3.3 adalah kertas grafik
3 siklus. Nilai sumbu y adalah fleksibel, tergantung kepada rentang
konsentrasi obat yang akan diplot. Bila nilai y terendah adalah 1
(perpotongan antara sumbu y dan sumbu x), maka nilai paling
tinggi pada siklus petama adalah 10. Selanjutnya angka 2 pada
siklus kedua adalah 20 dan angka paling tinggi pada siklus ini
adalah 100.

Dari persamaan (7) dapat dipahami bahwa:


konstanta kecepatan eliminasi merupakan slope dari
persamaan linier tersebut dan dapat dibaca dari grafik.
konstanta kecepatan eliminasi merupakan fraksi obat yang
dieliminasi dari dalam tubuh setiap unit waktu. Contoh:
Suatu obat mempunyai nilai k sebesar 0,3 jam-1. Nilai ini
bermakna bahwa 30 persen dari jumlah obat yang berada di
dalam tubuh dieliminasi setiap jam. Satuan k untuk reaksi
order pertama adalah waktu-1.
Bila k diketahui, maka jumlah obat yang tinggal di dalam
tubuh untuk waktu tertentu setelah diberikan secara
intravena (iv) dapat diketahui.

Misalkan suatu obat diberikan secara intravena dengan dosis


sebesar 1000 mg. Obat tersebut mempunyai nilai k = 0,1 jam-1.
Jumlah obat yang tinggal dan dieliminasi setiap jam dapat dihitung
dan hasilnya adalah seperti tertera pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Perubahan jumlah obat di dalam tubuh (dosis =


1000mg; k = 0,1 jam-1)
Waktu Jumlah Tereliminasi (mg) Jumlah yang tinggal di
dalam tubuh (mg)
0 0 1000
1 100 900
2 90 810

Dua konsep penting yang perlu dipahami, yaitu:


proporsi obat tereliminasi adalah konstan
kecepatan eliminasi menurun dengan pertambahan waktu

16
3.1.3 Waktu Paruh (t1/2)

Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan sehingga konsentrasi


obat tinggal setengah dari konsentrasi sebelumnya. Berdasarkan
persamaan (7) yaitu:

In C = In Co kt
Co
maka waktu paruh (t1/2) dicapai pada konsentrasi (C) = , bila
2
disubtitusikan ke dalam persamaan (7), maka:

Co
In = In Co k t1/2
2
k t1/2 = In 2, maka waktu paruh dapat dituliskan
dengan persamaan (8).

o,693
t1/2 =
k

Waktu paruh:
merupakan ukuran bagaimana obat dieliminasi dari
dalam tubuh
tidak tergantung kepada dosis
tidak tergantung kepada cara pemberian obat
spesifik untuk setiap obat
merupakan faktor penentuan dalam perhitungan dosis
obat

3.1.4 Proporsi Obat Tereliminasi

Proporsi obat tereliminasi dapat dihubungkan dengan waktu paruh


obat. Dari persamaan (4):
A = Ao e kt
Proporsi yang tinggal (P) di dalam tubuh adalah:
A
P= = e kt
Ao

17
Misalkan n = jumlah t1/2 yang dilalui setelah obat diberikan secara
intravena.
t 0,693
n= ; t = n t1/2; k =
t1 / 2 t1 / 2
P = e kt
P = e 0,693/t ½ x n t ½ = e - 0,693 n = (1/2) n
P = (1/2)n
Dengan demikian, apabila diketahui waktu paruh obat, maka
proporsi yang tinggal di dalam tubuh dan proporsi tereliminasi
dapat dihitung. Proporsi obat yang tinggal di dalam tubuh dan
proporsi tereliminasi dihubungkan dengan waktu paruh tercantum
dalam Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Proporsi obat yang tinggal di dalam tubuh dan


tereliminasi dihubungkan dengan waktu paruh
t ½ kumulatif (n) P (proporsi yang Proporsi
tinggal di dalam tereliminasi
tubuh)
0 1 0
1 0,5 0,5
2 0,25 0,75
3 0,125 0,875
4 0,0625 0,9375

3.1.5 Clearance Total (Cl)

Clearance total merupakan volume obat per satuan waktu


(misalnya ml/menit) yang dikeluarkan oleh tubuh. Ada 2 cara yang
dapat digunakan untuk menghitung nilai clearance obat, yaitu:
a. Menghubungkan kecepatan eliminasi obat dengan konsentrasi
obat di dalam plasma yang dapat dituliskan sebagai berikut:

Kecepatan = Cl x konsentrasi obat di dalam plasma............(10)


eliminasi

Dari persamaan (3)


dA
dt

18
Persamaan (10) = persamaan (11)
Cl . C = k V C

Jadi:
Cl = kV

b. Menghubungkan dosis dengan Luas Daerah Dibawah Kurva


(LDDK) atau Area Under the concentration-time Curve
(AUC)

Dari persamaan (11):


dA
=kVC
dt
dA
= Cl. C
dt
t
Ao
dA = Cl Cdt
o
o
Maka akan diperoleh persamaan (13):
Ao = Dosis = Cl x A U C

Nilai clearance dapat dihitung dengan mengaplikasikan


persamaan (13) karena dosis yang diberikan diketahui dan
AUC dari Gambar 3.4 dapat dihitung dengan menggunakan
Trapezoidal Rule (rumus trapezium).

AUC

t
Gambar 3.4. Plot konsentrasi versus t

19
3.1.6 Clearance Renal dan Clearance Ekstrarenal

Ginjal (renal) merupakan organ utama pengeliminasi obat. Peranan


renal dalam proses eliminasi dapat dipisahkan dari proses-proses
ekstrarenal (hepatic metabolisme, biliary excretion) dengan
menganalisis jumlah obat yang muncul di dalam urin pada interval
waktu tertentu. Konstanta kecepatan eliminasi adalah jumlah dari
konstanta kecepatan eliminasi renal dan konstanta kecepatan
eliminasi ekstrarenal seperti dituliskan pada persamaan (14).

K = kR + kER

KR = Konstanta kecepatan eliminasi renal.


KER = konstantan kecepatan eliminasi ekstrarenal.

Untuk obat yang dieliminasi berdasarkan reaksi order pertama,


kecepatan munculnya obat di dalam urin:

dAu
= kR. A
dt
A = jumlah obat di dalam tubuh.

Karena A = Ao e kt
Maka akan diperoleh prsamaan (16):
dAu
= kR. Ao.e kt
dt

Persamaan (16) dapat dirubah menjadi persamaan linier


sebagaimana dituliskan pada persamaan (17) berikut:

dAu
In = (InkR Ao ) kt ..
dt

Bila diplot ln dAu/dt versus waktu, maka akan diperoleh garis lurus
seperti tertera pada Gambar 3.5.

20
Intercept = kR.A0 = KR.Dosis
dAu
In
dt

Gambar 3.5. Plot ln dAu/dt versus t

Berdasarkan persamaan (17) maka:


Intercept = kR . Dosis

Karena dosis yang diberikan diketahui dan nilai intercept dapat


dibaca dari grafik, maka nilai konstanta renal dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan (18). Selanjutnya, konstanta
ektrarenal dapat dihitung dengan persamaan (14).

k = kR + kER

kER = k kR

Clearance renal: ClR = kR . V

Clearance ekstrarenal: ClER = kER . V

Fraksi obat yang diekskresikan dalam bentuk tidak berubah (fu)


adalah:
ClR.C Cl R k R
fu = = = .............................(19)
Cl.C Cl k

Parameter fu ini dibutuhkan untuk menghitung fungsi ginjal dalam


perhitungan dosis untuk pasien dengan gangguan ginjal yang akan
dibahas pada Bab IX.

21
Parameter farmakokinetika berbagai obat dapat dilihat pada
Lampiran II.

3.2. Contoh-contoh Soal

1. Suatu obat dieliminasi dari tubuh melalui proses


metabolisme (km = 0.2 jam-1)
dan ekskresi renal (kR = 0.15 jam-1).
Hitunglah :
a. t1/2
b. Fraksi obat tidak berubah di dalam urin (fu)
c. t1/2 pada pasien gagal ginjal
d. t1/2 bila terjadi induksi enzim (dalam hal ini km
menjadi dua kali lipat)

Jawab:
a. Perhitungan waktu paruh obat
Konstanta kecepatan eliminasi:
k = km + kR = 0,2 jam -1 + 0,15 jam-1 = 0,35 jam-1
Maka:
0,693 0,693
t1/2 = 1,9 jam
k 0,35 jam -1
b. Fraksi obat tidak berubah di dalam urin
k 0,15
fu = R = = 0,43
k 0,35
c. Pada pasien gagal ginjal kR = 0, maka eliminasi obat
hanya melalui proses metabolisme, maka:
0 ,693
t1/2 = 3,5 jam
0, 2 jam -1
e. Bila terjadi induksi enzim (km dua kali lipat), maka:
Km = 2 x 0,2 jam-1 = 0,4 jam-1
Dengan demikian, maka konstanta kecepatan eliminasi obat
adalah sebagai berikut:
k = km + kR = 0,4 + 0,15 = 0,55
sehingga:
0,693
t1/2 = 1,26 jam
0,55 jam -1

22
2. Suatu obat diberikan secara intravena bolus sebanyak 100
mg kepada pasien dengan t1/2 = 8 jam; Cl = 2 1iter/ jam.
Hitunglah konsentrasi obat pada saat t = 0 (Co) dan
konstanta kecepatan eliminasi (k).

Jawab:
Diketahui Dosis (D) = 100 mg; t1/2 = 8 jam; Cl = 2
1iter/jam, maka:
0,693 0,693
k= = 0,0866 jam -1
t1 / 2 8 jam
2l
Cl jam
Cl = k V V = 23,1 liter
k 0,0866 jam -1
D D 100 mg
V= Co 4,33 mg / liter
Co V 23,1 liter

3. Bila suatu obat dengan dosis 250 mg diberikan secara


intravena dan diperoleh konsentrasi obat di dalam plasma
pada saat t = 0 adalah 25 mg / liter. Delapan jam kemudian
konsentrasi obat di dalam plasma menurun menjadi
6.25 mg/liter.
Hitunglah:
a. waktu paruh obat (t1/2)
b. clearance ( Cl )
c. bila konsentrasi efektif minimum adalah 10 mg/liter,
kapan konsentrasi ini dicapai?

Jawab:
a. Perhitungan waktu paruh obat

Diketahui C = 6,25 mg / l, Co = 25 mg / liter dan t =


8 jam,
C = Co . e-kt
kt
log C = log Co
2,303
8k
log 6,25 = log 25
2,303
-1
k = 0,17 jam

23
0,693
t1/2 = = 0,693/0,17jam-1 = 4,08 jam
k
b. Perhitungan clearance obat
D 250 mg
Cl = kV: V = 10 liter
C o 25 mg / liter
Cl = 0,17 jam -1 x 10 liter = 1,7 liter jam-1

c. Perhitungan waktu yang dibutuhkan sehingga dicapai


konsentrasi efektif minimum (10 mg/liter)
kt
log C = log Co -
2,303
C = 10 mg / liter
Co = 25 mg / liter
k = 0,17 jam-1

0.17 jam -1 t
log 10 = log 25 , jadi t = 5,3 jam, artinya
2.303
konsentrasi efektif minimum dicapai 5,3 jam setelah
obat diberikan. Jadi waktu tersebut adalah saat
berkhirnya efek optimal obat.

4. Data di bawah ini adalah konsentrasi rata-rata LSD (


lysergic acid diethylamide, suatu senyawa halusinogenik) di
dalam darah sebagai fungsi waktu setelah diberikan
dengan dosis 2 mcg / kg berat badan secara intravena
terhadap 5 orang pasien.

Waktu Konsentrasi
(jam) (ng / ml)
0.16 9.5
0.33 7.4
0.50 6.3
1.00 5.3
2.00 4.2
4.00 2.9
8.00 1.2

24
Misalkan tubuh bersifat sebagai model satu kompartemen
terbuka dan berat badan (BB) rata-rata pasien adalah 75 kg.
Hitunglah:
a. Volume distribusi
b. Waktu paruh
c. Clearance total

Jawab:
a. Perhitungan volume distribusi obat
Dosis = 2 mcg / kg ; BB = 75 kg
Gambarkan grafik hubungan antara konsentrasi dan waktu
di atas kertas semilog, maka akan diperoleh kurva seperti
tertera pada Gambar 3.6, maka dari grafik dapat dibaca
bahwa Co = 6.5 ng / ml

b. Dari Grafik akan diperoleh nilai t1/2 = 3,3 jam


c. Perhitungan nilai clearance total
Cltotal = kV
K = 0,693/t1/2 = 0,693/3,3 jam = 0,21jam-1
Cltotal = kV = 0,21 jam-1 x 23 liter = 4,8 liter per jam

25
Gambar 3.6. Plot data konsentrasi versus waktu

26
5. Data di bawah ini obat yang diekskresikan dalam bentuk
tidak berubah melalui urine setelah diberikan 100 mg secara
intravena.
Selang Volume Konsentrasi Jumlah t Jumlah/ Mid
Waktu Urine ( mg / ml ) V x C t point
(jam) (ml) (mg) (jam) Atau Waktu
DAu/dt (jam)
0 - 1 100 0.25 25 1 25 0.5
1 - 3 150 0.18 27 2 13.5 2
3 - 5 100 0.12 12 2 6 4
5 - 9 200 0.035 7 4 1.75 7

Diketahui volume distribusi obat (V) = 100 liter


Hitunglah:
a. Waktu paruh obat (t1/2)
b. Konstanta Kecepatan Eliminasi (k)
c. Konstanta Kecepatan ekskresi renal (k R)
d. Clearance renal (Cl R)
e. Fraksi obat tidak berubah di dalam urin (fe)

Jawab:
a. Untuk mendapatkan waktu paruh obat, maka terlebih dahulu
dAU
digambarkan grafik ln versus t. Jadi karena akan
dt
dAU
digunakan kertas grafik semilog, maka langsung diplot
dt
terhadap waktu sehingga akan diperoleh kurva seperti tertera
pada Gambar3.6

Berdasarkan persamaan:
dAU
ln = ln (kR . Dosis) kt
dt

Dari grafik akan diperoleh t1/2 = 1,7 jam

0 .693 0.693
b. k= = 0,4076 jam-1
t1/ 2 1.7 jam

27
31mg/jam
.

.
10

1,7jam
.

0,1 1 4 7
Waktu (jam)
Gambar 3.6. Plot kecepatan eksresi versus waktu

28
c kR . Dosis = intercept = 31 mg / jam
kR x 100 mg = 31 mg / jam kR = 0,31 jam-1

d. Cl R = k R . V
= 0.31 jam-1 x 100 liter = 31 liter / jam

kR 0.31 jam -1
e. fe = 76.05%
k 0.4076 jam -1
Cl total = kV = 0.4076 jam-1 x 100 l = 40,76 liter/jam.

29
BAB IV

PEMBERIAN INFUS DENGAN


KECEPATAN KONSTAN

4.1. Prinsip Steady State

Steady state (SS) atau kondisi tunak adalah suatu keadaan yang
mana tidak terjadi perubahan jumlah atau konsentrasi obat di dalam
tubuh dengan bertambahnya waktu. Bila kecepatan masuknya
(input rate) obat ke dalam tubuh adalah konstan (order nol)
sedangkan kecepatan eliminasi (output rate) adalah eksponensial,
maka obat akan terakumulasi sampai kondisi tunak dicapai.
Dengan demikian steady state dapat dipertahankan apabila
kecepatan infus dipertahankan.

4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi SteadyState

Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah obat di dalam tubuh


selama infus diberikan dapat dijelaskan berdasarkan prinsip
farmakokinetika seperti tertera pada Gambar 4.1 berikut:
R k
A

=kA
A

t
Gambar 4.1. Plot jumlah obat di dalam tubuh versus t

30
R = Kecepatan pemberian infus
A = Jumlah obat dalam tubuh dalam waktu t
K = Konstanta kecepatan eliminasi untuk reaksi order pertama

Selama infus diberikan, kecepatan perubahan jumlah obat di dalam


tubuh dengan pertambahan waktu (dA/dt) adalah selisih antara
kecepatan pemberian dengan kecepatan eliminasi, maka:

dA
= Kecepatan pemberian infus - kecepatan eliminasi
dt
dA
= R kA
dt

Pada kondisi tunak (steady state) tidak ada perubahan jumlah obat
di dalam tubuh dengan adanya pertambahan waktu atau:
dA
=0
dt
Maka:
R = k Ass
Atau jumlah obat pada steady state (Ass) dapat dituliskan sebagai
berikut:
R
Ass =
k

Dari persamaan (2), jelaslah bahwa jumlah obat pada steady state:
Berbanding lurus dengan kecepatan pemberian infus
Berbanding terbalik dengan konstanta kecepatan eliminasi

Persamaan (2) dapat ditulis sebagai berikut:


R R
Css V = Atau Css =
k kV
R
Css =
Cl

Dari persamaan (3) dapat diambil kesimpulan bahwa:


semua obat yang diinfuskan dengan kecepatan yang sama
dan mempunyai clearance yang sama, akan mencapai
steady state yang sama

31
peninggian kecepatan infus dengan faktor X akan
menghasilkan peninggian konsentrasi Steady State dengan
faktor yang sama

4.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsentrasi Obat


Selama Infus Diberikan

Dari persamaan (1) diketahui bahwa:


dA
= R kA
dt
R
A= (1- e-kt
k
A = Jumlah obat di dalam tubuh selama pemberian infus

Mengingat bahwa jumlah (A) adalah hasil kali antara volume (V)
dengan konsentrasi (C), maka:
R
VC = (1 e-kt)
k
R R
atau C = (1 e-kt); Css =
kV kV
Maka akan diperoleh persamaan (4):

C = Css (1 e-kt

Konsentrasi obat selama infus diberikan:


Berbanding lurus dengan kecepatan pemberian infus
Berbanding terbalik dengan konstanta kecepatan eliminasi
Berbanding terbalik dengan volume distribusi

4.4. Waktu yang Dibutuhkan untuk Mencapai Steady State

Misalkan n adalah jumlah waktu paruh yang dilalui setelah infus


t 0,693
diberikan, maka: n = atau t = n t ½; k =
t1 / 2 t1 / 2

32
Bila nilai k dan t disubtitusikan ke dalam persamaan (4), maka akan
diperoleh:

C = Css [1 e-0,693/ t ½ . n t½ ]

C = Css ( 1 e -0,693 n ) = Css (1 ( ½ ) n)

Fraksi steady state dapat dihitung dengan persamaan (5):

C/Css = 1 (1/2)n .......


C
Bila n = 1: = 1 (1/2) = 0,50
Css
C
Bila n = 2: = 1 (1/2)2 = 0,75
Css
C
Bila n = 3: = 1 (1/2)3 = 0,88
Css
C
Bila n = 3.3: = 1 (1/2)3.3 = 0,90
Css
Praktisnya, steady state dianggap dicapai dalam waktu 3.3 t ½
setelah obat diberikan atau 90 % SS.
Dari persamaan (5):
C
= 1 (1/2)n
Css

Dengan demikian waktu yang dibutuhkan untuk mencapai steady


state (SS):
Hanya tergantung kepada t1/2
Tidak tergantung kepada dosis atau kecepatan pemberian
infus
Semakin singkat waktu paruh obat semakin cepat steady state
dicapai.

4.5. Kombinasi Intravena Bolus dan Infus

Seperti telah diuraikan pada bagian 4.4 bahwa steady state hanya
ditentukan oleh waktu paruh obat. Semakin panjang waktu paruh
obat, maka semakin lama waktu yang diperlukan agar dicapai

33
steady state. Dengan demikian, obat yang mempunyai waktu paruh
panjang tidak praktis apabila hanya diberikan secara infus
kecepatan konstan saja, karena membutuhkan waktu yang lama
sampai diperoleh efek pengobatan. Kombinasi pemberian intravena
bolus dengan infus kecepatan konstan seperti tertera pada Gambar
4.2 sering dilakukan agar efek pengobatan segera diperoleh dan
dipertahankan.

Infus

intavena

Gambar 4.2. Plot konsentrasi versus waktu untuk rute infus


dan intravena

Dalam hal ini, pemberian intravena bolus berperan sebagai dosis


muatan (loading dose, LD), sedangkan pemberian infus kecepatan
konstan berperan sebagai dosis pertahanan (maintenance dose,
MD).
Dosis muatan dihitung dengan menggunakan rumus:

LD = Css.V

Dosis pertahanan dihitung dengan menggunakan rumus:

MD = Cl.Css

34
4.6. Konsentrasi Obat di dalam Plasma Setelah Infus
Dihentikan

Profil konsentrasi obat di dalam plasma setelah infus dihentikan


adalah sama dengan profil konsentrasi obat setelah diberikan secara
intravena seperti tertera pada Gambar 4.3.

Css

C
Setelah
infus dihentikan

Jumlah t ½

Gambar 4.3. Plot konsentrasi versus jumlah t ½


setelah infus dihentikan

C = Konsentrasi obat di dalam plasma

Selama infus diberikan, maka:


kt
C = Css (1 e )

Setelah infus dihentikan, maka:


kt
C = Css e

35
4.7. Estimasi Parameter Farmakokinetika

Parameter farmakokinetika dapat dianalisis berdasarkan kepada


persamaan (4):
C = Css ( 1 e kt )
C = Css - Css e kt
In ( Css - C) = In Css

Persamaan (7) merupakan persamaan linier, bila ln (Css - C) diplot


terhadap waktu (t), maka akan diperoleh garis lurus seperti tertera
pada Gambar 4.4.

= Css

Ln (Css C -k

t
Gambar 4.4. Plot ln (Css - C) versus t

K = Slope dari ln (Css C) versus t


0,693
t 1/2 =
k
R
Cl T = R = ClT . Css
Css
Cl
V =
k

36
4.8. Contoh-contoh Soal

1. 5 Fluorouracil mempunyai t1/2 = 7,5 menit. Kapan dicapai


konsentrasi tunak (Css)?

Jawab:
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi tunak
adalah 3,3 t1/2 = 3,3 x 7,5 menit = 25 menit.

2. Phenobarbital mempunyai t1/2 = 5 hari. Kapan dicapai


konsentrasi tunak (Css)?

Jawab:
Konsentrasi tunak dicapai setelah 3,3 x 5 hari = 16,5 hari

3. Hitunglah loading dose dan maintenance dose theophylline


yang dibutuhkan untuk memperoleh dan mempertahankan
konsentrasi di dalam darah sebesar 10 mcg/ml. Diketahui
volume distribusi (V) = 0,5 1iter/kg ; t1/2 = 8 jam.

Jawab:
Loading dose = Css V
= 10 mcg/ml x 0,5 1iter/kg = 5 mg/kg
0,693 0,693
K= = = 0,087 jam -1
t1 / 2 8 jam
Cl = kV = 0,087 jam-1 x 0,5 1iter/kg = 0,04 1iter/kg jam
Maintenance dose = Cl . Css
= 0,04 1iter/kg jam x 10 mg/liter
= 0,4 mg/kg jam

4. Pada pasien dengan kebiasaan merokok, clearance theophylline


biasanya meningkat sampai 1.5 2 kali dibandingkan dengan
pasien yang bukan perokok, karena nicotine yang terdapat
dalam rokok menginduksi kerja enzim cytochrome P450
sehingga mempercepat metabolisme obat. Apakah penyesuaian
dosis dibutuhkan untuk pasien tersebut?

37
Jawab:
Dosis untuk pasien dengan kebiasaan merokok perlu
disesuaikan. Kecepatan pemberian infuse untuk pasien perokok
tersebut adalah 1,5 x 0,4 mg/kg jam sampai 2 x 0,4 mg/kg jam
atau 0,6 mg/kg jam sampai 0,8 mg/kg jam.

5. Suatu obat diberikan secara infus dengan kecepatan konstan


(R = 300 mcg/menit) selama 60 menit. Hubungan antara
konsentrasi obat dan waktu adalah seperti tertera pada Tabel
4.1.

Tabel 4.1. Hubungan antara konsentrasi dan waktu setelah obat


diinfuskan
Waktu Konsentrasi (CSS C)
(menit) Dalam Plasma
( mcg / 100 ml )
10 23 28.8
20 35 16.8
30 42 9.8
40 48 3.8
50 50 1.8
60 51.8 0

Konsentrasi steady state (Css) dicapai pada akhir pemberian


infus.
a. Hitunglah k dan V
b. Berapa konsentrasi obat setelah 20 menit infus dihentikan ?
c. Jika kecepatan infus 600 mcg / menit, berapa konsentrasi
obat setelah
20, 40 dan 60 menit infuse diberikan?
d. Berapa dosis muatan yang dibutuhkan untuk memperoleh
70 mcg / 100 ml dengan segera dan berapa kecepatan
pemberiaan infus untuk mempertahankan konsentrasi ini?

Jawab:
a. R = 300 mcg / menit, CSS = 51,8 mcg / ml
Dari grafik diperoleh t1/2 = 10 menit
0,693 0,693
k= 0,0693 menit -1
t1 / 2 10 menit

38
300mcg / menit
R = CSS x Cl Cl =
51,8mcg / 100ml
= 579 ml/menit
Cl 579 ml / menit
V = 8354,98 ml 8,4 liter
k 0,0693 menit -1

b. C = CSS . e-kt
C20 = 51,8 mcg / 100 ml x e- 0,693 x 20 menit
= 0,518 mcg / ml x e-1,386 = 0,518 mcg / ml
e 1,386
0,518mcg / ml
C20 = = 0,1295 mcg/ml
3,9988
c. Jika kecepatan pemberian infus (R) = 600 mcg / menit
maka konsentrasi obat dalam plasma akan menjadi
600/300 (dua kali lipat). Jadi:
Konsentrasi setelah 20 menit obat diinfuskan adalah 70
mcg / 100 ml
Konsentrasi setelah 40 menit obat diinfuskan adalah 96
mcg / 100 ml.
Konsentrasi setelah 60 menit obat diinfuskan adalah
103.6 mcg / 100 ml.

d. Dosis muatan yang dibutuhkan untuk memperoleh


konsentrasi 0.70 mcg / ml dengan segera = CSS x V
= 0,70 mcg / ml x 8355 ml
= 5848,5 mcg
= 5,85 mg.
Dosis pertahanan:
R = Cl x Css = 579 ml / menit x 0,70 mcg / ml = 405,3
mcg / menit.

39
BAB V

PEMBERIAN OBAT
EXTRAVASCULAR

Salah satu cara pemberian ekstravaskular yang paling sering


dilakukan untuk menghasilkan efek sistemik adalah per oral karena
dapat dilakukan oleh pasien sendiri tanpa bantuan perawat ataupun
dokter. Berikut ini akan dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi
kecepatan dan besarnya absorpsi yang meliputi kinetika absorpsi,
ketersediaan hayati (F), hubungan antara waktu dengan
konsentrasi, analisis parameter-parameter farmakokinetika
(konstanta kecepatan absorpsi, konstanta kecepatan eliminasi,
konsentrasi maksimum dan waktu yang diperlukan agar dicapai
konsentrasi maksimum) setelah obat diberikan per oral.

5. 1. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Absorpsi

Untuk obat yang diberikan per oral, absorpsi saluran


pencernaan ke dalam sirkulasi sistemik merupakan persyaratan
(prerequisite) agar obat didistribusikan ke organ-organ tubuh
termasuk reseptor, selanjutnya dihasilkan efek pengobatan.
Keterlambatan atau kehilangan sebagian obat selama proses
absorpsi dapat mengakibatkan penurunan ketersediaan hayati obat
dan keanekaragaman respons, bahkan kadang-kadang
menimbulkan kegagalan terapi. Tahapan yang terlibat dalam
proses absorpsi setelah obat diberikan per oral tertera pada Gambar
5.1.

40
Gambar 5.1. Tahapan yang terlibat dalam proses absorpsi obat

Umumnya obat diberikan per oral dalam bentuk padat, seperti


tablet dan kapsul. Karena obat padat tidak dapat diabsorpsi melalui
membran, maka obat tersebut harus terlebih dahulu larut.
Kecepatan dan besarnya disolusi tergantung kepada sifat fisika
kimia, proses produksi obat, dan faktor fisiologi tubuh. Di samping
senyawa aktif, senyawa lain yang ditambahkan untuk
meningkatkan stabilitas, mempermudah proses pembuatan, dan
meningkatkan penerimaan pasien (patient acceptability) dapat
mempengaruhi disolusi senyawa aktif serta efek terapi.

Setelah berlangsung proses disolusi, selanjutnya obat diabsorpsi ke


dalam sirkulasi sistemik melalui membran dengan fasilitas yang
berbeda. Sifat fisika kimia obat, membran, faktor-faktor fisiologi
seperti pH cairan pada absorption site (pH lambung dan usus),
waktu pengosongan lambung serta banyaknya aliran darah
setempat merupakan faktor penentu absorpsi. Beberapa obat
mudah melewati membran, namun absorpsi kecil karena sifatnya
tidak stabil di dalam cairan pencernaan ataupun dimetabolisme oleh
mikroflora usus, enzim epitel serta hati. Seluruh faktor-faktor yang
telah dijelaskan tersebut di atas menentukan besarnya nilai
ketersediaan hayati obat.

41
Obat yang berada di dalam sirkulasi sistemik, selanjutmya
didistribusikan ke organ-organ tubuh termasuk reseptor, kemudian
dihasilkan efek pengobatan. Besarnya respons yang dihasilkan
ditentukan oleh obat yang berikatan dengan reseptor. Semakin
banyak obat yang berikatan dengan reseptor, semakin tinggi
respons yang dihasilkan.

5.1.1. Ketersediaan Hayati Per Oral

Ketersediaan hayati (F) per oral merupakan fraksi obat yang masuk
ke dalam sirkulasi sistemik setelah diberikan dengan dosis tertentu
per oral dibandingkan dengan fraksi yang masuk ke dalam sirkulasi
sitemik setelah diberikan secara intravena dengan dosis yang sama.
Nilai F dapat dihitung persamaan berikut:

F = AUCpo/AUCiv

AUCpo = Area under the concentration-time curve atau luas


daerah di bawah kurva setelah diberikan per oral.
AUCiv = Area under the concentration-time curve atau luas
daerah di bawah kurva setelah diberikan intravena.
Nilai F biasanya lebih kecil dari satu.

5.1.2. Kinetika Absorpsi

Absorpsi obat per oral ke dalam tubuh manusia selalu dianggap


mengikuti kinetika order pertama, seperti halnya absorpsi
ekstravaskular lainnya, maka dapat dituliskan sebagai berikut:

Kecepatan absorpsi = ka . Aa ...........................................


ka = konstanta kecepatan absorpsi
Aa = jumlah obat yang akan diabsorpsi.

Kekuatan penggerak absorpsi adalah perbedaan konsentrasi obat


pada absorption site (Ca) dengan konsentrasi obat tak terikat di
dalam darah arteri (Cu).

Kecepatan absorpsi = p . A (Ca Cu) .. (2)

42
p = konstanta permiabilitas
A = Luas permukaan saluran pencernaan.

Distribusi dan eliminasi obat yang telah diabsorpsi menjamin


supaya nilai Cu jauh lebih kecil dari Ca, sehingga persamaan (2)
dapat ditulis menjadi:

Kecepatan absorpsi = p . A . Ca..................

Bila diasumsikan bahwa volume cairan pada absorption site (Va)


selalu konstan, maka persamaan (3) dapat ditulis sebagai berikut:

p A
Kecepatan absorpsi = . A ..
Va

Dari persamaan (4) dapat dilihat bahwa kecepatan absorpsi


mengikuti reaksi order pertama yang mana konstanta kecepatan
absorpsi ditentukan oleh konstanta permiabilitas obat, luas area
saluran pencernaan, serta volume cairan pada absorption site.
Sungguhpun absorpsi dibatasi oleh kecepatan disolusi sebagaimana
dirumuskan dalam persamaan (1), namun kecepatan absorpsi masih
mengikuti reaksi order pertama. Hal ini disebabkan karena disolusi
merupakan fungsi luas permukaan partikel terlarut yang mana
menurun secara eksponensial. Sebagai mana halnya proses reaksi
order pertama lainnya, absorpsi obat dapat digambarkan dalam
waktu paruh.
0.693
t1/2 absorpsi = .......
ka
Bila persamaan (1) diintegralkan, maka:
Aa = F . Dose . e-ka . t ...

5. 1.3. Hubungan antara Waktu dengan Konsentrasi Obat

Kecepatan perubahan jumlah obat di dalam tubuh merupakan


selisih antara kecepatan absorpsi dengan kecepatan eliminasi yang
dapat ditulis sebagai berikut:

Kecepatan perubahan jumlah = kecepatan absorpsi kecepatan eliminasi


obat di dalam tubuh

43
dA dAa
Cl . C
dt dt

dA
ka. Aa k . A .. (7)
dt
Bila persamaan (7) diintegralkan, maka:

F .D.ka -kt
A = (e - e-ka.t)
( ka k )
Mengingat bahwa jumlah adalah hasil kali antara volume dengan
konsentrasi (A = V.C), maka:
F . D . ka
C = (e-kt - e-ka.t)
V (ka - k)

Konsentrasi obat di dalam plasma (C) dapat dihitung pada waktu


tertentu setelah diberikan per oral dengan menggunakan persamaan
(8).

5.1.4. Analisis Parameter-Parameter Farmakokinetika

Bila konsentrasi obat di dalam plasma (C) diplot terhadap waktu (t)
di atas kertas grafik semilog, maka akan diperoleh kurva hubungan
antara konsentrasi obat di dalam plasma dengan waktu seperti
tertera pada Gambar 5.1. Secara umum kurva per oral dapat dibagi
menjadi 2 fase yaitu fase absorpsi dan fase eliminasi. Fase absorpsi
yaitu saat terjadi peninggian konsentrasi dengan pertambahan
waktu seperti dapat dilihat pada Gambar 5.1. Kondisi ini terjadi
karena obat dominan berada pada saluran pencernaan yang
mengakibatkan kecepatan absorpsi lebih besar dari kecepatan
eliminasi. Konsentrasi maksimum (Cmax) obat di dalam plasma
dicapai saat kecepatan absorpsi sama dengan kecepatan eliminasi.
Selanjutnya pada fase eliminasi terjadi penurunan konsentrasi
dengan pertambahan waktu karena obat sudah dominan berada di
dalam tubuh. Jadi, pada kondisi ini kecepatan absorpsi lebih kecil

44
dari kecepatan eliminasi yang dapat diamati dari penurunan kurva.

C
2.0
Cmax

0.8 C

0.4
C C
0.2

0.1 2 4 6 8 10 12 14 16
Waktu (t)
Gambar 5.1. Plot konsentrasi obat terhadap waktu

Waktu paruh obat dan konstanta kecepatan eliminasi dapat


ditentukan dari fase eliminasi obat. Waktu paruh absorpsi obat dan
konstanta kecepatan absorpsi dapat dihitung dengan menggunakan
metode residual dengan melakukan tahapan berikut:

a) Data diplot di atas kertas grafik semilog sehingga diperoleh


kurva C
b) Fase eliminasi kurva C diekstrapolasikan ke sumbu y, maka
diperoleh kurva C
c) Hitung perbedaan konsentrasi antara C dengan C pada fase
absorpsi, lalu diplot di atas kertas grafik yang sama sehingga
diperoleh kurva C C
d) Waktu paruh absorpsi dapat dibaca dari kurva C C

Misal:
F . D . ka
l maka C = I (e-k.t - e ka.t) ........................(9)
V (ka - k)
Secara umum konstanta kecepatan absorpsi (ka) lebih besar dari
konstanta kecepatan eliminasi (k). Pada saat waktu (t) sama dengan
tidak terhingga (~), maka:

45
e-ka.t = 0
C = I e-kt

Persamaan (10) dapat ditulis menjadi persamaan (11) yaitu:

ln C = ln I - kt

Konstanta kecepatan eliminasi obat (k) dan waktu paruh obat dapat
dihitung dari persamaan tersebut di atas.

Bila persamaan (10) dikurangi dengan persamaan (9) maka:

C - C = I e-kt - I ( e-kt - e ka.t )


= I e-kt - I e-kt + e ka.t
C - C = I e ka.t
In ( C C ) = 1n I - ka . t (12)

Pada saat t = 0, maka:

e ka.t = 1
e-kt = 1
maka :
(C C)= 0

Sehingga konsentrasi maksimum obat di dalam tubuh (Cmax)


dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (13) sebagai
berikut:
F D -k.t max
Cmax = .e
V
Waktu yang dibutuhkan agar dicapai konsentrasi maksimum dapat
dihitung dengan persamaan (14).
In (ka/k)
tmax =
ka - k

46
5.2. Contoh-contoh Soal

1. Aminophyllin sebanyak 600 mg (setara dengan theophylline 520


mg) diberikan per oral kepada seorang pasien dengan berat
badan 70 kg. Rentang terapi theophylline adalah 10 20 mg/liter,
k = 0.11 jam-1, V = 0,5 L/kg BB, ka = 0.8 jam-1 dan F = 1.0.
Ditanya:
a) Konsentrasi obat di dalam plasma 6, 8 dan 12 jam setelah
pemberian obat.
b) Berapa konsentrasi maksimum obat di dalam plasma?

Jawab:

a. Konsentrasi obat di dalam plasma 6 jam setelah diberikan


adalah:
F . D . ka -kt
C6 = (e - e-ka.t)
V (ka - k)
= (1x520)/35 L x 0,8jam-1/(0,8jam-1- 0,11jam-1)(e-0,11x6 e0,8x6)
= 520/35L x 0,8/0,69 (e-0,66 e-4,8)
= 416 mg/24,15 L(1/1,9348 1/121,5)
= 416 mg/24,15L(0,517 0,008)
= 416 mg/24,15L x 0,509 = 8,77 mg/L

Dengan cara yang sama, konsentrasi obat di dalam plasma:


8 jam setelah diberikan adalah 7,02 mg/L
12 jam setelah diberikan adalah 4,599 mg/L

b. Konsentrasi maksimum obat di dalam plasma dapat


dihitung sebagai berikut:

In (ka/k)
tmax = = ln (0,8/0,11)/(0,8-0,11) =
ka - k
ln7,273/(0,69) = 1,984/0,69 = 2,875

F D -k.t max
Cmax = .e = (520 mg/35 L) x e-0,11 x 2,875
V
= (520 mg/35L) x e-0,31625 = 520 mg/(35L x 1,37197)
= 520 mg/48,01845
= 10,83 mg/L

47
BAB VI

PRINSIP PENGATURAN
PEMBERIAN DOSIS GANDA

Dalam bab ini diuraikan pendekatan pengaturan dosis dan interval


pemberian obat, penentuan kecepatan dan besarnya akumulasi
setelah obat diberikan dengan dosis dan interval tertentu,
penentuan regimen dosis obat berdasarkan t½, F, interval pemberian
& CI (untuk eliminasi reaksi order pertama), penentuan parameter
farmakokinetika obat dari data pasien serta pemberian obat dosis
berganda, konsep perhitungan konsentrasi minimum dan
maksimum obat serta pemberian obat dengan dosis berganda.

6.1. Pendekatan Pengaturan Dosis dan Interval Pemberian


Obat

Pertanyaan berapa banyak obat harus diberikan dan berapa


frekuensinya untuk tujuan terapi bukan hal yang sederhana. Pada
prinsipnya ada 2 pendekatan yang telah dilakukan yaitu:
1. Pendekatan empiris
2. Pendekatan kinetika

6.1.1. Pendekatan Empiris

Pendekatan empiris dilakukan dengan menghubungkan respons


dengan dosis yang diberikan untuk mengoptimalkan terapi. Efek
samping dan efek toksik yang mungkin ditimbulkan oleh obat
harus dipertimbangkan. Berdasarkan pengalaman pengamatan
terhadap sejumlah pasien, dengan informasi yang cukup, maka
regimen dosis yang hampir akurat dapat ditentukan. Kelemahan

48
pendekatan ini yaitu memerlukan biaya yang lebih besar dan waktu
yang lebih lama, bahkan kadang-kadang terjadi efek toksik.

6.1.2. Pendekatan Kinetika

Pendekatan kinetika yaitu berdasarkan kepada hipotesis bahwa


respons pengobatan dan efek toksik berhubungan dengan jumlah
obat di dalam tubuh dan konsentrasi obat di dalam plasma.
Pendekatan ini lebih akurat dibandingkan dengan pendekatan
empiris. Berdasarkan data farmakokinetika dosis tunggal, maka
kadar obat di dalam tubuh dapat diprediksi ketika akan diberikan
dengan dosis berganda. Kesesuaian regimen dosis tertentu
selanjutnya dapat dievaluasi dalam hal lamanya obat di dalam
tubuh dan hubungan yang diketahui antara kadar obat, respons
terapi dan efek toksik. Selanjutnya regimen dosis diatur
berdasarkan respons terapi yang dihasilkan. Aplikasi prinsip-
prinsip farmakokinetika penting untuk menghitung dosis dan
interval yang tepat dengan segera dan berfungsi untuk
mengevaluasi regimen dosis yang diberikan.

6.1.3. Faktor-faktor Penentu Pengaturan Dosis dan Interval

Agar diperoleh efek terapi yang optimal, maka dalam pengaturan


dosis dan interval obat yang rasional harus dipertimbangkan faktor-
faktor yang berhubungan erat dengan efek terapi. Faktor-faktor
tersebut meliputi aktivitas-toksisitas, farmakokinetika, faktor
klinik, toleransi, faktor genetik, serta interaksi obat. Semua faktor
ini saling berhubungan satu sama lain. Untuk mempertahankan
jumlah obat di dalam tubuh, dosis muatan dan dosis pertahanan
harus diberikan pada interval tertentu untuk menjaga agar jumlah
obat berada di atas konsentrasi efektif minimum dan di bawah
konsentrasi yang menghasilkan efek samping dan toksik. Pada Bab
2, Tabel 1 tercantum rentang terapi (batasan antara konsentrasi
efektif minimum dan konsentrasi efektif maksimum) berbagai obat.

Parameter farmakokinetika pemberian intravaskular dan


ekstravaskular telah dibahas pada Bab-bab terdahulu. Faktor-faktor

49
aktivitas-toksisitas, klinik, toleransi, genetik serta interaksi obat
akan dibahas secara mendetail dalam Bab VIII.

6.2. Akumulasi Obat

Umumnya obat yang akan diberikan kepada pasien sering ditulis


dalam dosis dan interval tertentu, misalnya10 mg per hari atau 25
mg tiga kali sehari. Kadar obat di dalam tubuh berfluktuasi dan
meningkat sampai dicapai konsentrasi tunak (steady state
concentration). Contoh situasi yang paling sederhana dapat dilihat
pada Gambar 6.1. Dari gambar terlihat bahwa interval pemberian
menentukan besarnya akumulasi, tetapi bukan waktu untuk
mencapai steady state. Kurva A adalah profil yang diperoleh
setelah obat diberikan secara intravena 2 kali setiap satu waktu
paruh, sementara kurva B diperoleh setelah obat yang sama
diberikan secara intravena dengan dosis yang sama setiap satu
waktu paruh. Dari kurva tersebut dapat diamati dan dipahami
bahwa semakin panjang interval pemberian, maka semakin besar
fluktuasi konsentrasi dan semakin rendah konsentrasi obat di
dalam plasma. Yang dimaksud dengan fluktuasi konsentrasi adalah
perbedaan antara konsentrasi steady state maksimum (Cssmax) dan
konsentrasi steady state minimum (Cssmin). Hal ini perlu
diperhatikan dan dipertimbangkan terutama untuk obat yang
mempunyai rentang terapi sempit seperti digitoxin, digoxin,
lithium, dan propanolol.

50
A

Cssmax

Cssmin

Waktu (waktu paruh)

Gambar 6.1. Fluktuasi jumlah obat di dalam tubuh


dengan dosis yang berbeda

6.3. Interpretasi Kinetika

6.3.1. Interval Pemberian dan Akumulasi Obat

Pengaruh dosis dan interval pemberian terhadap akumulasi obat


dapat dijelaskan sebagai berikut:
Misalnya obat diberikan secara intravena dengan dosis 100 mg dan
interval pemberian sama dengan waktu paruh. Bila diplot hubungan
antara jumlah obat di dalam tubuh versus waktu (dalam hal ini
sebagai sumbu y adalah jumlah obat di dalam tubuh dan sumbu x
adalah waktu paruh), maka akan diperoleh kurva sebagai berikut:

51
V I : Ab1max setelah 100 mg obat di
III diberikan
I II : Ab1min
III : Ab2max setelah pemberian II
dengan dosis yang sama.
IV : Ab2min
IV V : Ab3max setelah pemberian III
II

Jumlah t1/2

Gambar 6.2. Pengaruh dosis dan interval pemberian terhadap


akumulasi obat

Berdasarkan Gambar 6.2, maka dapat dijelaskan bahwa:


1. Setelah interval I, pada saat t = 0, jumlah maksimum obat di
dalam tubuh (Ab1max) sama dengan dosis yaitu 100 mg.
Sebelum masuk interval II, maka jumlah minimum obat di
dalam tubuh (Ab1min) sama dengan (½ x Ab1max = 50
mg).

2. Setelah pemberian II, maka jumlah maksimum obat di


dalam tubuh (Ab2max) sama dengan (½ x Ab1max) +
dosis = 50 mg + 100 mg = 150 mg. Sebelum masuk interval
III, maka jumlah minimum obat di dalam tubuh (Ab2min)
sama dengan (½ x Ab2max) = ½ x 150mg = 75 mg.

3. Dengan cara yang sama, maka akan diperoleh Ab3max =


100mg + 75 mg = 175 mg; Ab3min = ½ x 175 mg = 87,5
mg; Ab4max = 87,5 mg + 100 mg = 187,5 mg; Ab4min = ½
x 187,5 mg = 93,75 mg; Ab5max = 93,75 mg + 100 mg =
193,75 mg; Ab5min = ½ x 193,75 mg = 96,875 mg.

4. Demikian seterusnya, maka akan diperoleh:


Abss max = 2 Dosis
Abss min = 1 dosis

Berdasakan uraian tersebut di atas dapat dimengerti bahwa


semakin pendek interval pemberian obat dengan dosis yang sama,

52
semakin tinggi akumulasi. Hal yang penting diketahui adalah
apakah jumlah obat maksimum di dalam tubuh berada dalam batas
yang aman atau telah mengakibatkan efek toksik. Konsep
perhitungan jumlah maksimum dan minimum obat di dalam tubuh
akan dijelaskan berikut ini.

6.3.2. Jumlah Maksimum dan Minimum Obat di Dalam Tubuh

Misalkan sejumlah obat (=Dose) diberikan secara intravena dengan

Fraksi obat yang tinggal pada waktu t adalah e-kt.


) adalah
-
e .

Jumlah obat di dalam tubuh setelah pemberian ke N dapat dihitung.


-
. Jumlah obat di
dalam tubuh setelah pemberian dosis berganda adalah total dari
jumlah yang tinggal dari setiap pemberian terdahulu.
Misal:
e-k = r

Maka, jumlah maksimum obat setelah pemberian ke 4 adalah:

Ab 4 max = Dose . (1 + r + r2 + r3)

Jumlah maksimum obat di dalam tubuh setelah pemberian ke N


adalah:

Ab N max = Dose. (1 + r + r2 N-2


+ rN-1) ..........

Persamaan tersebut dikalikan dengan r, akan diperoleh:

Ab N max . r = Dose. (1 + r + r2 N-2


+ rN-1 + rN)..............(2)

Bila persamaan (2) dikurangi dengan persamaan (1), maka akan


diperoleh persamaan:

Ab N max . (1 r) = Dose. (1 rN)

53
(1 r N )
Ab N max = Dose .
(1 r )

Nk
(1 e )
Ab N max = Dose . k
(1 e )

1 (1/ 2)n
Ab N max = D .. (3)
1 (1/ 2)

/ t1 / 2
D = Dose
N = jumlah pemberian
= interval pemberian

Jumlah minimum obat di dalam tubuh:


1 (1/ 2)n 1
AbN, min = D ( ) ...
1 (1/ 2) 2

Jumlah maximum obat di dalam tubuh pada Steady State:


1
Abss, max = D ..
1 (1 / 2)
Jumlah minimum obat di dalam tubuh pada Steady State:
(1 )
Abss, min = D 2 (1 / 2) Abss, max (1 / 2) ....(6)
1 (1 / 2)

6.3.3. Jumlah Rata-Rata Obat Di Dalam Tubuh Pada Steady


State

Pada steady state kecepatan masuknya obat ke dalam tubuh


(input) sama dengan kecepatan eliminasi (output), artinya jumlah
obat yang dieliminasi sama dengan jumlah obat yang diabsorbsi
seperti ditulis pada persamaan (7).

54
D/ = k Abav
D = dosis
= interval pemberian
Abav = jumlah rata-rata obat di dalam tubuh
0,693
k = konstanta kecepatan eliminasi =
t1
2
0,693
D/ = Abav
t1
2
Maka akan diperoleh persamaan (8):
Abav = 1,44 t1/2 (D/ ) ..............................................(8)

6.3.4 Konsentrasi Rata-Rata Obat Di Dalam Plasma Pada


Steady State
Ab
Mengingat bahwa konsentrasi (C) adalah jumlah per volume ( )
V
serta absorbsi diasumsikan berlangsung cepat, maka berdasarkan
persamaan (5), konsentrasi obat maksimum pada kondisi tunak
(Css, max) adalah sebagai berikut:

1
Css, max = FD...........................................(9)
V (1 (1 / 2) )
Dengan cara yang sama berdasarkan persamaan (6) konsentrasi
obat minimum pada kondisi tunak (Css, min) adalah sebagai
berikut:
(1/ 2)
Css, min =
V (1 (1/ 2) )
= Css, max (1/ 2) ..

Dari persamaan (7):

FD / Cl.Cav

55
Dengan demikian, konsentrasi rata-rata obat di dalam
plasma (Cav) adalah sebagai berikut:

1,44t1 / 2 ( FD / )
Cav
V

6.3.5. Indeks Akumulasi

Indeks akumulasi atau accumulation ratio (RAC) dapat diperoleh


dengan menghubungkan jumlah maksimum dan jumlah minimum
obat pada steady state dengan jumlah setelah pemberian dosis
tunggal:

Abss. max 1 Abss, min


RAC =
Abl max 1 (1/ 2) Abl , min

Abav
RAC = 1,44 t1/2 /
FD
RAC = Ratio akumulasi
F = Biovailabilitas
D = Dosis
= Interval pemberian

FD /
Abav =
k

6.3.6. Kecepatan Akumulasi Sampai Dicapai Steady State

Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai steady state


tergantung kepada waktu paruh obat (yaitu sebesar 3,3 t1/2)
dan tidak tergantung kepada frekuensi pemberian obat.

AbN min AbN , max


1 (1 / 2)
Abss min Abss, max

56
6.3.7. Hubungan antara Dosis Muatan dengan Dosis
Pertahanan

Bila absorbsi obat berlangsung sangat cepat, maka profil


hubungan antara konsentrasi (C) dengan waktu (t) atau jumlah obat
di dalam tubuh (Ab) dengan waktu (t) setelah obat diberikan per
oral dapat diasumsikan sama dengan profil setelah obat diberikan
steady state,
jumlah pada saat t = 0 adalah sama dengan Abss maksimum, maka:

Jumlah tersisa pada 1 Abss, max. e-


Jumlah yang hilang pada 1 Abss, max Abss max . e-
= Abss, max (1-e- )

Dosis pertahanan atau maintenance dose (MD) yang harus


diberikan untuk mempertahankan konsentrasi tunak harus sama
dengan jumlah obat yang hilang pada satu interval yaitu:

FMD = Abss, max (1- e- )


Yang mana:
MD = Maintenance Dose pada steady state
F = ketersediaan hayati absolut

Ketersediaan hayati obat ekstravaskular, berbeda antara yang satu


dengan lainnya karena perbedaan sifat fisika kimia obat dan faktor
fisiologi. Biasanya nilai ketersediaan hayati obat yang diberikan
secara ekstravaskular adalah lebih kecil dari 1. Jadi, agar segera
dicapai jumlah maksimum steady state, maka faktor ketersediaan
hayati (F) harus dimasukkan ke dalam perhitungan dosis muatan
sebelum obat diberikan kepada pasien menggunakan persamaan
berikut:

LD = Abss, max/F
MD = LD (1- e- )
DM
LD =
(1 e k ) )

Gambar 6.3 menunjukkan 2 regimen yang berbeda. Pada regimen


A, faktor ketersediaan hayati dimasukkan ke dalam pehitungan

57
dosis muatan (LD = 500 mg), dosis pertahanan (MD) adalah 250
mg. Berdasarkan Gambar 6.3 pada regimen A jelas terlihat bahwa
jumlah obat di dalam tubuh langsung berada dalam kondisi tunak
dengan efek terapi yang diharapkan. Berbeda dengan regimen A,
pada regimen B faktor ketersediaan hayati tidak dimasukkan ke
dalam perhitungan dosis muatan. Pada regimen B, dosis muatan
sama dengan dosis pertahanan yaitu 250 mg. Sebagai
konsekuensinya yaitu diperlukan waktu yang lebih lama sampai
dicapai kondisi tunak sebagaimana terlihat pada Gambar 6.3. Jadi
pada regimen B diperlukan waktu sekitar 3 sampai 4 waktu paruh
sampai dicapai steady state.

Berdasarkan uraian tersebut di atas jelaslah bahwa bila efek terapi


optimal ingin dicapai dengan segera, maka faktor ketersediaan
hayati harus diperhitungkan dalam pemberian dosis muatan.

Gambar 6.3. Profil pemberian obat dengan regimen yang berbeda

Setelah Steady State dicapai selanjutnya kurva A akan sama


dengan kurva B seperti ditunjukkan pada Gambar 6.3.

6.4. Contoh-contoh Soal

1. Suatu obat diberikan dengan dosis 30 mg per hari dan


mengakumulasi di dalam tubuh sampai dicapai jumlah rata-
rata dalam keadaan tunak sebesar 300 mg. Obat diabsorpsi
segera dengan sempurna. Ditanya:
a. Waktu paruh obat

58
b. Jumlah maksimum (Abmax) dan jumlah minimum
(Abmin) obat pada kondisi tunak apabila diberikan 300
mg per minggu
c. Dosis muatan yang diperlukan agar dicapai konsentrasi
tunak dengan segera

Jawab:
a. Perhitungan waktu paruh obat:
Rac = Abavg/(F.Dose) = 300 mg/(1x 30 mg) = 10
Rac = 1,44 (t1/2
10 = 1,44 (t1/2/1)
t1/2 = 6,9 hari = 7 hari
b. Berdasarkan konsep, maka jumlah maksimum dan
minimum obat pada kondisi tunak apabila diberikan
300 mg per minggu adalah:
Abmax = 2 x dosis = 2 x 300 mg =600 mg
Abmin = Dosis = 300 mg
c. Dosis muatan yang diperlukan agar dicapai konsentrasi
tunak dengan segera adalah 300 mg

2. Chlorpropamide diberikan kepada seorang pasien penderita


diabetes dengan dosis 250 mg per hari. Bila bioavailabilitas
obat = 1 dan waktu paruh obat = 36 jam, berapa jumlah
rata-rata obat di dalam tubuh pada kondisi tunak?

Jawab:

Abavg = 1,44 t1/2 (D/ )


= 1,44. 36 jam (250 mg/24 jam) = 540 mg

3. Paracetamol diberikan kepada seorang pasien dengan dosis


500 mg tiga kali sehari. Waktu paruh obat adalah 8 jam.
Hitung jumlah paracetamol rata-rata di dalam tubuh.

Jawab:
Abavg = 1,44 t1/2 (D/ )
= 1,44. 8 jam (500 mg/8 jam) = 729 mg

4. Seorang pasien (laki-laki, berat badan = 70 kg) masuk ke


sebuah rumah sakit karena mengalami infeksi bakteri.

59
Dokter akan memberi terapi ciprofloxacin tablet. Diketahui
waktu paruh ciprofloxacin adalah 6 jam, volume distribusi
0,25L/kg berat badan, bioavailabilitas adalah 0,5, dan
rentang terapi adalah 3 - 6 mcg/ml. Berapa dosis dan
interval pemberian ciprofloxacin tablet agar diperoleh efek
terapi yang optimal?

Jawab:

Pengaturan besarnya dosis dan interval pemberian obat


adalah berdasarkan kepada kecepatan eliminasi obat.
Parameter kecepatan eliminasi obat adalah clearance dan
konsentrasi obat di dalam plasma.

k =0,693/t1/2 = 0,693/6 jam = 0,12 jam-1


V = 70 kg x 0,25L/kg = 17,5 L
Maka:
Cl = k x V = 0,12 jam-1 x 17,5 L = 2,1L/jam = 2100 ml/jam

Perhitungan kecepatan pemberian obat:

Bila Css yang dipilih adalah 4 mcg/ml, maka:

Perhitungan
= 1,44 t1/2 lnCmax/Cmin
= 1,44. 6 jam ln 4/3= 1,44. 5 jam (ln 6 ln 3)
= 8,64 jam ( 1,792 1,099) = 8,64 jam .0,693 =
5,988 jam

Bila interval pemberian yang dipilih adalah 6 jam, maka:


D (dosis) = 6 jam x 16800 mcg/jam = 100800 mcg = 100,8 mg
Jadi dosis ciprofloxacin tablet yang harus diberikan adalah
100,8 mg/6 jam.

Sediaan tablet ciprofloxacin yang ada di pasaran adalah


tablet ciprofloxacin 250 mg dan 500 mg, maka yang dipilih
adalah tablet ciprofloxacin 250 mg. Dosis ciprofloxacin
dibulatkan menjadi 125 mg/6 jam (1/2 tab/6 jam).

60
BAB VII

KINETIKA METABOLIT

Metabolit obat merupakan salah satu aspek yang harus dikaji,


karena dapat menyebabkan perubahan respons farmakologi.
Kemungkinan pertama yaitu metabolit dapat menghasilkan respons
farmakologi yang sama dengan respons farmakologi obat asalnya
sehingga meningkatkan efeknya, seterusnya dapat menimbulkan
efek toksik terhadap pasien. Kemungkinan lain yaitu metabolit
dapat bersifat tidak aktif secara farmakologi, namun bersifat
sebagai inhibitor, memperpanjang ataupun memperbesar efek
pengobatan. Selain itu metabolit juga dapat mempengaruhi
disposisi (metabolisme) obat dengan cara menggeser ikatan antara
molekul obat dengan protein plasma ataupun jaringan sehingga
mempengaruhi efek terapi. Dalam Bab ini akan dibahas tentang
berbagai metabolit, faktor-faktor penentu jumlah metabolit di
dalam tubuh, serta implikasinya terhadap terapi.

7.1. Proses Metabolisme Obat

Umumnya proses metabolisme obat dapat berlangsung


secara oksidasi, reduksi, hidrolisis, konjugasi, hidrasi, dan
kondensasi terutama berlangsung di hati yaitu di Endoplasmic
reticulum. Tujuan proses metabolisme adalah untuk mengubah obat
menjadi bentuk yang lebih polar sehingga mudah dieksresi.
Sebagian kecil metabolisme dapat berlangsung pada organ lainnya
seperti ginjal, membrane saluran pencernaan, sirkulasi darah dan
kulit. Jumlah metabolit yang terbentuk tergantung kepada
kecepatan masing-masing jalur metabolisme. Pada Tabel 7.1
tercantum beberapa contoh obat dengan metabolit yang
menghasilkan efek terapi:

61
Tabel 7.1. Berbagai obat dengan metabolit aktif
Obat yang Metabolit Obat yang Metabolit
Diberikan diberikan
Acetylsalicylic acid Salicylic acid Lidocaine Desethyl
Amitriptylin Nortriptyline lidocaine
Chlordiazepoxide Desmethyl Meperidine
chlordiazepoxide Phenylbutazone Nor meperidine
Codein Morphin Prednisone Oxyphenbutazone
Diazepam Desmethyl Primidone Prednisolone
diazepam Procainamide Phenobarbital
Isosorbide dinitrate Isosorbide 5- N-Acethyl
mononitrate Propranolol procainamide
4-Hydroxy
Propanolol

7. 2. Faktor-Faktor Penentu Jumlah Metabolit di dalam


Tubuh

Untuk mengkaji jumlah metabolit di dalam tubuh, setelah


diberikan secara intravena dosis tunggal, dapat dijelaskan
berdasarkan skema seperti tertera pada Gambar 7.1. Obat di dalam
tubuh (A) menghasilkan sejumlah metabolit (Am) yang
mempunyai kecepatan konstanta metabolisme (k), serta metabolit
yang dihasilkan dieliminasikan dalam bentuk tidak berubah (Ame).

Metabolisme eliminasi metabolit


A Am Ame
(k) (km)

Gambar 7.1. Skematis pembentukan metabolit

yang mana:
A = jumlah obat di dalam tubuh
Am =jumlah metabolit di dalam tubuh
Ame = jumlah metabolit yang dieliminasi

62
Kedua tahap di atas yaitu proses metabolisme obat dan eliminasi
metabolit dapat dicirikan sebagai reaksi order pertama yang
mempunyai konstanta berturut-turut k dan km. Kecepatan
perubahan jumlah metabolit di dalam tubuh dapat ditulis sebagai
berikut:

Kecepatan perubahan = kecepatan pembentukan kecepatan eliminasi


Metabolit di dalam tubuh
= k . A - km . Am

Kecepatan pembentukan metabolit (kA) juga merupakan kecepatan


masuknya metabolit ke dalam sirkulasi darah.
km . Am = kecepatan eliminasi metabolit.

Jumlah tahapan yang terlibat di dalam eliminasi metabolit tidak


begitu penting, akan tetapi yang penting adalah di tahapan mana
berlangsung paling lambat. Sebagai contoh adalah tahapan
metabolisme seperti tertera pada Gambar 7.1. Jumlah metabolit
yang dihasilkan ditentukan oleh proses yang paling lambat
berlangsung diantara kedua tahap tersebut. Untuk memperjelas
pemahaman tentang prinsip tersebut dapat dilihat dari skema
metabolisme obat A seperti dicantumkan pada Gambar 7.2.

0,1 0,05 0,2


A B C D
Gambar 7.2. Skema metabolism obat A. Konstanta kecepatan
metabolisme dinyatakan dalam jam-1.

Berdasarkan Gambar 7.2 dapat dilihat bahwa ada 3 tahap dalam


proses metabolisme obat A menjadi metabolit D. Tahap penentu
kecepatan metabolisme obat A menjadi metabolit D ditentukan
oleh metabolisme metabolit B menjadi menjadi metabolit C yaitu
sebesar 0.05 jam-1.

63
7.2.1. Kecepatan Metabolisme Sebagai Penentu Jumlah
Metabolit

Jumlah metabolit di dalam tubuh akan ditentukan oleh kecepatan


metabolisme apabila:
1. Waktu paruh eliminasi obat lebih panjang dari waktu
paruh metabolit.
2. Jumlah obat di dalam tubuh lebih banyak dibanding
dengan jumlah metabolit
3. Kecepatan eliminasi metabolit hampir sama dengan
kecepatan pembentukannya, sehingga:

Maka,
Am = k/km . A

4. Jumlah metabolit di dalam tubuh sebanding dengan


jumlah obat. Bila diplot hubungan antara konsentrasi
dengan waktu, akan diperoleh kurva seperti tertera pada
Gambar 7.3. Pada kurva terlihat seolah-olah waktu paruh
metabolit sama dengan waktu paruh obat. Namun
sebenarnya apabila metabolit diberikan secara tunggal,
akan mempunyai waktu paruh yang lebih singkat
dibanding dengan waktu paruh obat sendiri.

III

II

t
Gambar 7.3. Hubungan antara konsentrasi dengan waktu
I = obat di dalam tubuh; II = metabolit di dalam tubuh; III = obat
pada lokasi absorpsi

64
Contoh situasi dimana kecepatan metabolisme obat sebagai faktor
penentu pembentukan metabolit adalah pemberian tolbutamide
secara intravena. Tolbutamide merupakan salah satu antidiabetes.
Obat ini dimetabolisme melalui oksidasi menjadi metabolit aktif
yaitu hydroxytolbutamide. Di dalam tubuh, hampir seluruh
tolbutamide diubah menjadi metabolit yaitu mendekati 100%.
Clearance hydroxytolbutamide lebih besar (kira-kira 20 kali lipat)
dibandingkan dengan clearance tolbutamide. Karena volume
distribusi tolbutamide dan hydroxytolbutamide hampir sama yaitu
0,15 0,30 liter, maka oksidasi tolbutamide menentukan eliminasi
hydroxytolbutamide. Metabolit ini segera diieksresikan dari dalam
tubuh, maka dengan demikian metabolit ini tidak begitu penting
dipertimbangkan dalam terapi.

7.2.2. Kecepatan Eliminasi Metabolit Sebagai Penentu


Kondisi-kondisi berikut ini mengimplikasikan bahwa jumlah
metabolit ditentukan oleh kecepatan eliminasi:
1. Waktu paruh eliminasi metabolit lebih panjang dari waktu
paruh obat.
2. Metabolit mengakumulasi di dalam tubuh.
3. Faktor penentu jumlah metabolit adalah eliminasi metabolit.

Plot hubungan antara konsentrasi metabolit dan obat versus waktu


adalah sebagaimana tertera pada Gambar 7.4.

II

III

t
Gambar 7.4. Plot konsentrasi metabolit versus waktu.
I = metabolit di dalam tubuh; II = obat pada lokasi absorpsi;
III = obat di dalam tubuh

65
Contoh obat yang mempunyai pola seperti tertera pada Gambar 7.4
adalah acetohexamide diberikan per oral. Obat ini juga merupakan
antidiabetes. Metabolit aktifnya yaitu hydroxyhexamide dieliminasi
jauh lebih lambat dibanding dengan acetohexamide. Jadi walaupun
saat hampir seluruh acetohexamide dieliminasi, namun efek
antidiabetik hydroxyhexamide masih lama berlangsung.

7. 2. 3. Konsentrasi Metabolit di dalam Plasma

Umumnya jumlah metabolit di dalam tubuh tidak dapat dihitung


karena volume distribusinya tidak dapat diketahui. Namun,
konsentrasi metabolit di dalam plasma (C) dapat diukur, maka nilai
clearance (Cl) dapat dihitung dengan mengaplikasikan persamaan
berikut:

Kecepatan Eliminasi = Cl x C

Nilai clearance metabolit dapat dijadikan sebagai indikator


akumulasi metabolit di dalam tubuh. Sebagai contoh adalah
glutethimide (suatu sedatif hipnotik). Overdosis glutethimide dapat
mengakibatkan koma. Penanggulang pasien koma akibat overdosis
glutethimide merupakan kasus yang rumit karena tidak ada korelasi
antara konsentrasi glutethimide dengan lamanya respons. Lamanya
koma lebih dari yang diperkirakan. Keadaan ini dapat dijelaskan
melalui pengkajian akumulasi metabolitnya yaitu 4-hydroxy
glutethimide. Metabolit ini mempunyai nilai clearance yang lebih
kecil dari clearance glutethimide sehingga mengakumulasi di
dalam darah, akibatnya bersifat toksik.

7.2.4. Interpretasi Data Metabolit

Pada berbagai kasus seperti keracunan obat, jumlah obat yang


masuk dan diabsorpsi ke dalam tubuh tidak diketahui. Dalam hal
ini, interpretasi metabolit dapat dilakukan dengan mengaplikasikan
metode area.

66
Kecepatan perubahan metabolit di dalam tubuh = Clm x C Cl(m)
x C(m)
Dalam hal ini
Clm = Clearance obat melalui metabolisme
Cl(m) = Clearance total metabolit
C = Konsentrasi obat di dalam plasma
Cm = Konsentrasi metabolit di dalam plasma
Bila persamaan tersebut diintegralkan antara nol sampai dengan
tidak terhingga, maka akan diperoleh:

Areamet Clm
=
Areadrug Cl (m )

Karena Clm = fm x Cl
fm = fraksi obat yang dimetabolisme
Cl = Clearance obat

Maka:
Areamet Clearance
= fm x
Areadrug Cl (m)

Mengingat nilai fm tidak dapat melampaui satu, maka clearance


metabolit akan lebih kecil dari satu.

7. 3. Implikasi Terapi

Implikasi terapi kinetika metabolit tergantung kepada aktivitas obat


dan metabolitnya. Dalam hal ini dapat terjadi beberapa
kemungkinan:

7.3.1 Prodrug tidak aktif dan metabolit aktif

Pada kondisi seperti ini, mulai kerja obat lebih cepat dicapai serta
menghasilkan efek yang lebih besar apabila diberikan per oral
dibanding dengan pemberian parenteral. Sebagai contoh adalah

67
propranolol (merupakan antihipertensi beta blocker) dimetabolisme
di hati. Salah satu dari metabolit aktifnya adalah 4
hydroxypropanolol. Obat dengan nilai ketersediaan hayati (F) yang
kecil artinya menghasilkan metabolit yang lebih banyak.

7.3.2 Obat aktif dan metabolit tidak aktif

Pada kondisi ini dibutuhkan dosis obat per oral yang lebih besar
dibanding dengan dosis intravena untuk menghasilkan efek yang
sama.

7.4. Contoh-contoh soal

1. Obat A dimetabolisme menjadi metabolit B dengan nilai k =


0,15 jam-1. Selanjutnya metabolit B dimetabolisme menjadi
metabolit C dengan nilai k = 0.04 jam-1. Tahap berikutnya
metabolit C dimetabolisme menjadi molekul D dengan nilai k
= 0.3 jam-1. Ditanya:
a. Berapa konstanta kecepatan perubahan obat A menjadi
metabolit D?
b. Berapa waktu paruh obat A?

Jawab:
a. Konstanta kecepatan perubahan obat A menjadi metabolit
D adalah 0,04 jam-1.
b. Waktu paruh obat A = 0,693/0,04jam-1 = 17,33 jam.

2. Jelaskan kenapa acetohexamide diberikan peroral mempunyai


efek yang lebih lama dibandingkan dengan tolbutamide
diberikan secara intravena dengan dosis yang sama.

Jawab:
Metabolit kedua obat ini sama-sama memiliki efek untuk
menurunkan kadar gula darah. Metabolit aktif dari acetohexamide
yaitu hydroxyhexamide mempunyai nilai clearance yang lebih kecil
dibandingkan dengan acetohexamide sendiri. Sementara metabolit
aktif dari tolbutamide yaitu hydroxytolbutamide mempunyai nilai

68
clearance yang lebih besar dibandingkan dengan clearance
tolbutamide. Berdasarkan kedua nilai clearance metabolit-metabolit
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tidak semua obat yang
diberikan secara intravena menghasilkan efek yang lebih lama
dibandingkan dengan obat yang diberikan per oral. Jadi nilai
clearance metabolit aktif harus menjadi bahan pertimbangan dalam
pemilihan obat.

69
BAB VIII

KEANEKARAGAMAN RESPONS

Secara umum manusia dapat dianggap sama, namun perbedaan


respons terhadap obat dapat terjadi akibat berbagai faktor sehingga
menyebabkan kerja obat tidak efektif, bahkan kadang-kadang
menimbulkan efek toksik. Oleh karena itu pendekatan pengaturan
pemberian obat secara individu sering dilakukan untuk mencegah
ketidak efektifan dan efek toksik obat. Pada Bab ini akan dibahas
sumber utama penyebab keanekaragaman respons yang meliputi
ketidaksesuaian penggunaan obat, genetik, toleransi, keberadaan
penyakit, umur dan berat badan, jenis kelamin, formulasi, rute
pemberian, serta interaksi obat serta pendekatan-pendekatan yang
dapat dilakukan untuk mengoptimalkan terapi.

8. 1. Ketidaksesuaian Penggunaan Obat

Penyebab utama keanekaragaman respons adalah ketidak sesuaian


penggunaan obat. Sebagai contoh adalah penggunaaan obat pada
waktu yang tidak tepat, meniadakan obat yang diperlukan,
menggunakan obat yang tak diperlukan, menghentikan terapi
sebagai akibat karena pasien telah merasa sembuh ataupun terjadi
efek samping yang tak dapat diterima oleh pasien. Contoh yang
paling nyata adalah terjadinya resistensi bakteri terhadap
antibiotika akibat kurangnya dosis dan lama penggunaan sehingga
untuk membunuh bakteri yang bersangkutan dibutuhkan antibiotika
yang lebih kuat. Untuk mencegah hal tersebut pasien perlu diberi
konseling menyangkut akibat negatif yang akan terjadi
apabila obat tidak digunakan dengan benar.

70
8. 2. Genetik

Faktor keturunan (genetik) kadang-kadang merupakan penyebab


timbulnya keanekaragaman respons terhadap obat walaupun
diberikan dengan dosis yang sama. Ilmu yang mempelajari
pengaruh faktor genetik terhadap respons obat disebut
farmakogenetika. Pada Tabel 8.1 tertera beberapa kondisi genetik
yang mempengaruhi farmakokinetika obat.

Salah satu faktor genetic yang mengakibatkan keanekaragaman


respons terhadap obat adalah polimorfis enzim pengmetabolisme.
Contohnya adalah N-acetyltransferase (enzim hati) yang berperan
dalam proses konjugasi mengkatalisis N-asetilasi (biasanya
deaktivasi) dan O-asetilasi (umumnya aktivasi) karsinogen
arilamine dan amin heterosiklik. Individu yang termasuk ke dalam
penotipe slow acetylator bila diberikan isoniazide, sulfonamide,
procainamide, dan hydralazine selalu mengalami efek toksik. Oleh
karena itu perlu diwaspadai terhadap gejala-gejala efek toksik obat
tersebut bila diberikan kepada kelompok pasien ini.

Sementara pasien dengan penotipe fast acetylator dapat mengalami


respons sub-level terapi (tidak ada dihasilkan respons terapi) bila
diberikan dengan dosis yang sama seperti yang diberikan kepada
pasien dengan penotipe slow acetylator. Bila isoniazide dosis
normal diberikan kepada pasien dengan penotipe slow asetilator
akan dapat mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Berbagai studi
telah membuktikan bahwa semakin ke Utara tempat tinggal
penduduk dunia, semakin rendah frekuensi penotipe slow
asetilator. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh pola makanan dan
lingkungan.

71
Tabel 8.1. Keanekaragaman farmakokinetika akibat kondisi genetik
Kondisi Respons Abnormal Frekuensi Contoh Obat
enzim dan
lokasi
Slow dan Slow acetylator N-Acetyltrans-40-70% INH,
fast asetilasi dapat ferase di hatipopulasi USA procainamide,
mengakibatkan adalah slow hydralazine,
efek toksik acetylator; 10- sulfonamida
Fast acetylator 20% penduduk
dapat Jepang dan
mengakibatkan Eskimo Canada
efek subterapi adalah fast
acetylator
Hidrolisis Sesak nafas Pseudocholinest Beberapa Succinylcholi
succinylcholi berkepanjangan erase di dalam kondisi gen ne
ne lambat plasma abnormal

Perbedaan Perbedaan Polimorfis Frekuensi Proton pump


kemampuan efikasi terapi CYP2C19 kejadian inhibitors:
enzim dalam mencapai 23% omeprazole,
metabolisme pada penduduk lansoprazole,
Oriental pantoprazole

Contoh lainnya adalah defisiensi enzim pseudocholinesterase.


Enzim ini berperan dalam metabolisme berbagai obat seperti
succinylcholine. Defisiensi pseudocholinesterase mengakibatkan
keterlambatan hidrolisis succinylcholine, seterusnya pasien tak
dapat bergerak dan bernafas. Tindakan berupa ventilasi mekanik
perlu dilakukan sampai seluruh succinylcholine dieksresikan dari
dalam tubuh.

Pada Tabel 8.2 tercantum beberapa kondisi genetik yang


mempengaruhi farmakodinamika obat. Sebagai contoh adalah
warfarin. Obat ini umum digunakan sebagai antikoagulan oral.
Besarnya respons yang dihasilkan sangat bervariasi antara pasien
yang satu dengan lainnya dan ditentukan oleh enzim
pengmetabolisme obat ini yaitu enantiomer CYP2C9 menjadi
senyawa inaktif yaitu 7-hydroxywarfarin. Sejumlah pasien sensitif
terhadap warfarin walaupun diberikan dengan dosis yang rendah.

72
Berikutnya adalah defisiensi enzyme glucose-6 phosphate
dehydrogenase (G6PD). Pasien dengan defisiensi enzyme G6PD
dapat mengalami hemolisis apabila diberikan primaquine. Glucose-
6 phosphate dehydrogenase berperan mengontrol pengaliran karbon
melalui jalur pentose phosphate, menghasilkan nicotinamide
adenine dinucleotide phosphate (NADPH) untuk biosintesis
reduktif, dan menstabilkan oksidasi-reduksi di dalam sel agar
gluthation berada dalam bentuk tereduksi. Ketidaktersediaan
gluthation dalam bentuk terduksi akan mengoksidasi gugus fungsi
sulfahydroxyl dari hemoglobin, selanjutnya terjadi hemolisis.

Obat yang bersifat oksidan seperti acetanilide dimetabolisme oleh


enzim CYP450 menjadi radikal bebas yang mengakibatkan
terbentuknya methemoglobin. Defisiensi enzim methemoglobin
reductase (cytochrome b5 reductase) mengganggu pengubahan
methemoglobin menjadi hemoglobin sehingga kadar
methemoglobin tinggi (>1%) di dalam darah. Kondisi ini disebut
methemoglobinemia. Gejala-gejala antara lain sakit kepala,
dispnea, lemah, kebingungan, irama jantung tak normal, delirium
(mengigau), dan coma.

Contoh lain adalah angiotensin converting enzyme (ACE)


- -agonis, dan inhibitor
selektif serotonin reuptake masing-masing dapat menghasilkan
respons yang berbeda (tidak ada respons, respons parsial, ataupun
reaksi yang tidak dikehendaki) walaupun diberikan kepada pasien
dengan dosis yang sama.

Berdasarkan Tabel 8.2, maka keanekaragaman respons akibat


faktor genetik perlu menjadi perhatian dan bahan pertimbangan
dalam mengatur regimen dosis obat secara individu sehingga dapat
diperoleh efek optimal dan dihindari efek negative penggunaan
obat.

73
Tabel 8.2. Keanekaragaman farmakodinamika akibat kondisi
genetik
Kondisi Respons Abnormal Frekuensi Contoh
enzim dan Obat
lokasi
Resisten Resisten terhadap Perubahan Sering warfarin
warfarin antikoagulasi reseptor dan
enzim di hati
dengan
peninggian
afinitas terhadap
vitamin K
Obat yang Hemolisis Defisiensi G6PD Terjadi Acetanilide,
menginduksi pada primaquine,
hemolitik daerah chlorampheni
anemia endemi col
malaria Analog
vitamin K
Defisiensi Methemoglobinemia Defisiensi Sekitar 1 Acetanilide,
methemoglobin methemoglobin % adalah primaquine,
reductase reductase carier benzocaine
heterozy
Got
Hipertermia Peninggian Tidak diketahui Sekitar 1 Berbagai
malignan temperatur tubuh dalam anestetika
yang tidak 20.000
terkontrol pasien
yang
dianestesi

8.3. Toleransi (ketergantungan)

Toleransi ialah suatu kondisi yang mana efektivitas obat berkurang


apabila diminum terus menerus. Salah satu faktor yang dapat
mengakibatkan toleransi adalah peristiwa farmakokinetika yaitu
mengakibatkan penurunan konsentrasi obat yang dicapai dengan
dosis tertentu, contohnya adalah peninggian metabolisme obat.
Selain itu, juga dapat terjadi toleransi farmakodinamika yaitu
konsentrasi obat yang sama pada reseptor menunjukkan penurunan
efek akibat dikonsumsi terus menerus. Contohnya adalah opiate
yang digunakan untuk pengobatan nyeri kronik.

74
8. 4. Penyakit

Penyakit merupakan salah satu sumber keanekaragaman respons.


Sebagai contoh adalah penyakit ginjal kronik (PGK), gangguan
hati, gangguan sirkulasi darah, gangguan thyroid dan
gastrointestinal serta keberadaan penyakit lebih dari satu. Agar
diperoleh respons sesuai dengan yang diharapkan maka dosis lazim
perlu dimodifikasi untuk pasien yang bersangkutan. Pada Bab IX
akan dibahas pendekatan farmakokinetika klinis untuk penanganan
penyakit ginjal kronik dan gangguan hati.

8. 5. Usia dan Berat Badan

Penuaan (senescence) merupakan sumber keanekaragaman respons


obat. Perubahan farmakokinetika obat termasuk penurunan
clearance renal dan hepatik, peningkatan volume distribusi obat
yang bersifat hidrofob, yang selanjutnya memperpanjang waktu
paruh obat. Dengan demikian diperlukan penyesuaian dosis untuk
kelompok pasien tersebut. Perubahan farmakodinamika termasuk
perubahan sensitivitas pasien terhadap kelompok obat tertentu
seperti antikoagulan, obat-obat kardiovaskular dan psikotropika.

Salah satu aspek dari proses penuaan adalah berat badan. Berat
badan meningkat cepat dari usia anak-anak sampai pancaroba,
selanjutnya setelah usia 50 tahun berat badan akan menurun secara
perlahan-lahan. Kandungan air rongga tubuh, massa otot, aliran
darah, dan fungsi organ berhubungan dengan berat badan. Oleh
karena itu volume distribusi, clearance dan regimen dosis juga
berhubungan erat dengan berat badan. Sebagai contoh, pasien
-
lactams yang lebih tinggi dari dosis untuk pasien dengan berat
badan normal untuk mencapai konsentrasi yang sama. Bila terjadi
penyimpangan respons, penyesuaian dosis hanya diperlukan bila
berat badan menyimpang 30% lebih dari berat normal.

Periode-periode pertumbuhan serta strategi yang dapat dilakukan


untuk mengoptimalkan terapi pada masing-masing kelompok usia
diuraikan berikut ini:

75
1) Bayi Baru Lahir (Neonate) yaitu usia di bawah 2 bulan
Bayi baru lahir dengan berat badan 3,18 kg umumnya hanya
membutuhkan dosis sebanyak 12,5 % dari dosis dewasa,
karena organ-organ tubuh masih dalam pertumbuhan.

2) Bayi (Infant) yaitu usia antara 2 bulan sampai dengan 1 tahun


dengan berat badan 4,54 9,98 kg dengan alasan yang sama
seperti point 1) membutuhkan dosis sekitar 15-25 % dari dosis
dewasa.

3) Anak-anak yaitu usia antara 1 sampai dengan 12 tahun dengan


berat badan 9,98-35,52 kg membutuhkan dosis sebanyak 25-75
% juga disebabkan karena fungsi organ belum sempurna.

4) Pancaroba (Adolescent) yaitu usia antara 12 sampai dengan 20


tahun. Dosis obat untuk kelompok usia ini adalah sebesar
perbandingan antara usia dengan dewasa (n/20) dikalikan
dengan dosis dewasa.

5) Dewasa (Adult) yaitu usia 20 tahun ke atas. Untuk kelompok


pasien ini, regimen dosis obat sesuai dengan yang
direkomendasikan di literatur, kecuali terdapat faktor-faktor
tertentu yang mempengaruhi farmakokinetika dan
farmakodinamika obat.

6) Usia Lanjut (Elderly) yaitu usia 70 tahun ke atas.

Penuaan ditandai dari gangguan fungsi proses yang menghasilkan


integrasi fungsional antara sel dan organ. Dengan demikian dapat
terjadi kegagalan untuk mempertahankan homeostatis pada kondisi
stres fisiologi. Penurunan kemampuan homeostasis ini
menghasilkan pengaruh yang berbeda terhadap sistem pengaturan
di antara subjek, sehingga keanekaragaman individu semakin
meningkan dengan pertambahan usia. Perubahan farmakokinetika
termasuk penurunan clearance renal dan hepatik, peninggian
volume distribusi obat hidrofob seterusnya memperpanjang waktu
paruh obat. Perubahan farmakodinamika melibatkan perubahan
sensitivitas terhadap beberapa kelas obat seperti antikoagulan, obat-

76
obat cardiovaskular dan psikotropik. Dengan demikian penyesuain
dosis untuk obat-obat tersebut perlu dilakukan apabila akan
diberikan kepada kelompok pasien usia lanjut.

Penuaan menghasilkan perubahan yang signifikan terhadap struktur


dan fungsi jantung termasuk penurunan elastisitas aorta dan arteri.
Kondisi ini mengakibatkan peninggian tekanan darah arteri,
selanjutnya meningkatkan tahanan terhadap tekanan ventrikular
kiri, selanjutnya terjadi hipertropi ventrikular kiri (left ventricular
hypertropy) dan interstitial fibrosis. Penurunan relaksasi miokardial
juga terjadi.

Massa ginjal dan nefron berkurang sejalan dengan pertambahan


usia. Aliran darah ginjal dan glomerular filtration rate (GFR) juga
menurun dengan pertambahan usia. Seterusnya kemampuan ginjal
untuk mengeksresikan berbagai senyawa dari dalam tubuh juga
menurun. Penyesuaian dosis untuk pasien dengan gangguan ginjal
akan dibahas secara mendetail pada Bab IX.

Selain itu, penuan juga berpengaruh terhadap sistim saluran


pencernaan. Perubahan utama adalah penurunan sekresi asam
lambung dan pepsin sebagai akibat perubahan sel-sel yang
memproduksi enzim. Peningkatan usia juga mengakibatkan
penurunan absorpsi berbagai senyawa diantaranya gula, kalsium,
dan besi oleh usus halus. Produksi enzim lipase dan trypsin oleh
pankreas menurun secara drastis.

Peningkatan usia juga berhubungan dengan penurunan volume dan


perubahan struktur hati, penurunan aliran darah, dan produksi
enzim hati. Pertimbangan dan pengaturan dosis pada pasien dengan
gangguan hati akan dibahas pada Bab X.

8. 6. Formulasi

Formulasi dan proses yang digunakan untuk memproduksi obat


dapat mempengaruhi kecepatan pelepasan zat aktif, sehingga
mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang masuk ke sirkulasi

77
sistemik. Obat yang tidak dirancang dan dievaluasi dengan baik
dapat mengakibatkan keanekaragaman respons saat digunakan.
Obat yang dirancang dengan baik dapat meminimalkan perbedaan
pelepasan in vivo obat. Proses produksi yang dikontrol dengan baik
serta berpedoman kepada Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB), akan dapat menghasilkan obat yang seragam dari batch ke
batch dan dari lot ke lot sehingga akan menghasilkan pelepasan dan
absorpsi obat yang seragam yang selanjutnya menghasilkan efek
yang seragam pula.

8. 7. Rute Pemberian

Perbedaan rute pemberian bukan hanya mempengaruhi konsentrasi


lokal dan sistemik tetapi juga dapat mempengaruhi konsentrasi
metabolit sistemik. Kesemua ini dapat menimbulkan perbedaan
respons obat sebagaimana telah dibahas dalam bab VII tentang
kinetika metabolit.

8. 8. Interaksi Obat

Penggunaan polifarmasi selalu dilakukan untuk mengobati pasien


yang menderita lebih dari satu penyakit atau meningkatkan efek
terapi. Namun, kombinasi obat sering menimbulkan interaksi yang
dapat terjadi secara farmakokinetika ataupun farmakodinamika.
Hasil interaksi tersebut dapat menurunkan efek farmakologi
ataupun menimbulkan efek toksik. Contoh-contoh interaksi obat
tertera pada Tabel 8.3.

Interaksi absorpsi dapat meningkatkan ataupun menurunkan


absorpsi obat. Metoclopramide per oral mempercepat pengosongan
lambung. Jadi obat-obat yang diberikan bersamaan dengan
metoclopramide akan lebih cepat memasuki area usus,
konsekuensinya adalah peningkatan absorpsi obat. Sebaliknya
obat-obat yang memperlambat pengosongan lambung akan
menurunkan absorpsi obat. Bila terjadi percepatan absorpsi obat

78
maka penurunan dosis perlu dipertimbangkan dan bila terjadi
penurunan absorpsi maka dosis perlu ditungkatkan.

Faktor berikutnya adalah adanya obat yang menginhibisi dan


menginduksi enzim hati ataupun membentuk komplek dengan obat
lain. Sebagai contoh inhibitor kuat adalah cimetidine. Bila obat-
obat yang dimetabolisme di hati diberikan bersamaan dengan
cimetidine akan mengakumulasi di dalam tubuh, selanjutnya dapat
mengakibatkan efek toksik. Dalam hal ini dosis obat yang
dipengaruhi harus diturunkan. Sebaliknya bila terjadi induksi
enzim, maka eksresi obat semakin cepat sehingga kadar obat di
dalam tubuh dan efeknya cepat turun. Bila terjadi induksi enzim,
maka dosis obat harus dinaikkan agar diperoleh efek yang
diinginkan.

Selain itu, penggeseran ikatan obat dengan protein juga akan


mengakibatkan peninggian kadar obat bebas di dalam plasma dan
jaringan tubuh yang seterusnya juga dapat menghasilkan efek
toksik. Contohnya adalah phenylbutazone menggeser asam salisilat
dari ikatan protein plasma. Asam salisilat adalah metabolit aktif
dari acetyl salicylic acid. Strategi yang perlu dilakukan untuk
mengatasi masalah tersebut adalah menurunkan dosis acetyl
salicylic acid saat phenylbutazone diberikan kepada pasien.

Interaksi lainnya yang dapat terjadi adalah peninggian ataupun


penurunan reabsorpsi obat dan metabolit akibat perubahan pH urin.
Perubahan pH urin akan mengakibatkan perubahan jumlah obat
yang tidak terionisasi dan terionisasi pada tubule. Peninggian
jumlah obat yang tidak terionisasi akan mengakibatkan peninggian
reabsopsi melalui tubule, seterusnya dapat meningkatkan efek
farmakologi. Sebaliknya peninggian jumlah obat yang terionisasi
akan mempercepat eliminasi obat, kemudian akan menurunkan
efek farmakologi.

Kesemua faktor tersebut harus dipertimbangkan dan diantisipasi


agar diperoleh efek maksimal dan dicegah efek toksik serta
sublevel terapi.

79
Tabel 8.3. Interaksi beberapa Obat dan kosekuensinya
Parameter Interaktan dan Respons Mekanisme
Kecepatan 1. kecepatan absorpsi Metoclopramide
absorpsi acetaminophen ditingkat oleh mempercepat pengosongan
metoclopramide lambung
Epinephrine mengurangi
2. kecepatan absorpsi lidocaine aliran darah ke lokasi injeksi
diurunkan oleh epinephrine subcutan dan intramuscular.
Availabilitas Ketersediaan hayati metoprolol Cimetidine menghambat
ditingkatkan oleh cimetidine metabolisme metoprolol
ketersediaan hayati tetracycline Kompl. Ca Tetracycline
Ca menurun Yang tak larut
Volume Volume distribusi salicylic acid Phenylbutazone menggeser
distribusi meningkatkan asam salisilat dari ikatan
protein plasma.
Volume distribusi Digoxin Quinidine menggeser digoxin
menurun dari ikatan dengan jaringan
Renal Renal clearance salicylic acid Peninggian pH urin oleh
clearance ditingkatkan oleh bicarbonate bicarbonate menurunkan
reabsorpsi tubular dari
salicylate.
Renal clearance benzylpenicillin Probenecid menghambat
diturunkan sekresi penicillin.

80
BAB IX

PENGGUNAAN OBAT
PADA PASIEN DENGAN
GANGGUAN GINJAL

9.1 Penyakit Ginjal Kronik

Ginjal merupakan organ utama pengeliminasi berbagai senyawa


dari dalam tubuh termasuk obat dan metabolitnya. Eliminasi obat
dan metabolitnya berkurang pada pasien dengan PGK dan akan
mengakibatkan akumulasi di dalam tubuh selanjutnya dapat
mengakibatkan berbagai masalah terhadap pasien termasuk efek
toksik. Oleh karena itu dosis obat untuk pasien dengan gangguan
ginjal perlu disesuaikan dengan fungsi ginjal.

Fungsi ginjal dapat ditentukan dengan menganalisis berbagai


indikator yaitu inulin, Blood Urea Nitrogen (BUN), dan creatinine.
Inulin merupakan senyawa eksogen (suatu polysaccharide), jadi
kurang bermanfaat untuk penentuan rutin Glomerular Filtration
Rate (GFR). Blood Urea Nitrogen merupakan hasil akhir
metabolisme protein di dalam tubuh. Peninggian BUN merupakan
indikator adanya gangguan ginjal. Blood Urea Nitrogen mudah
ditentukan, namun mempunyai beberapa kelemahan yaitu terjadi
reabsorpsi secara signifikan sehingga kadarnya tergantung kepada
urine flow rate . Selain itu produksi urea oleh hati tidak konstan.
Creatinine merupakan senyawa endogen yang mudah ditentukan
dan memberikan hasil yang lebih akurat sehingga nilai creatinine
clearance yang diperoleh umumnya sudah dapat dijadikan sebagai
indikator GFR.

Oleh karena itu, agar diperoleh efek terapi yang optimal, maka
dosis obat perlu disesuaikan berdasarkan creatinine clearance
terutama obat dengan rentang terapi yang sempit dan obat keras

81
lainnya. Sebagai contoh adalah dosis gentamisin untuk infeksi
pleural (membran serous dari paru) pada pasien gagal ginjal harus
dikurangi agar tidak terjadi akumulasi yang berlebihan dan efek
toksik.

9.2 Perubahan Farmakokinetika dan Farmakodinamika

Perubahan farmakokinetika dan farmakodinamika obat pada pasien


dengan gangguan ginjal dapat diuraikan sebagai berikut:

9.2.1 Perubahan Farmakokinetika

9.2.1.1 Perubahan absorpsi obat


Besarnya absorpsi obat pada pasien dengan gangguan ginjal
dipengaruhi oleh bukan saja gangguan pencernaan seperti mual dan
muntah, akan tetapi perubahan pH di saluran pencernaan yang
dialami oleh pasien sebagai akibat peninggian ureum di dalam
saliva dan pemberian obat seperti histamine H2-inhibitor. Untuk
obat yang bersifat basa, peninggian pH akan menurunkan
konsentrasi obat tak teionisasi di dalam saluran pencernaan, yang
selanjutnya akan menurunkan absorpsi, bioavailabilitas, dan efek
terapi.

9.2.1.2 Perubahan distribusi obat


Volume distribusi obat pada pasien dengan gangguan ginjal dapat
meningkat, menurun ataupun tidak berubah. Peninggian volume
distribusi dapat terjadi sebagai akibat penurunan ikatan antara obat
dengan protein, kompetisi obat terhadap protein, dan akumulasi
cairan di dalam tubuh. Selain itu, hipoalbuminemia selalu dialami
oleh pasien dengan gangguan ginjal karena terganggu produksi
albumin oleh ginjal. Kondisi ini dapat mengakibatkan penurunan
ikatan antara obat yang bersifat asam dengan protein (seperti
cefazolin, furosemide, gentamycin, and phenytoin) yang seterusnya
meningkatkan kadar obat bebas di dalam darah, meningkatkan
distribusi obat ke dalam organ-organ lain, ikatan jaringan, efek,
pada akhirnya meningkatkan toksisitas.

Pasien dengan PGK sering diberi polifarmasi sehingga dapat


mengakibatkan masalah terkait penggunaan obat termasuk interaksi

82
obat. Salah satu diantaranya ialah penggeseran suatu ikatan obat
dengan protein plasma akibat berkompetisi dengan obat lain
terhadap protein plasma. Sebagai contoh yaitu phenylbutazone
menggeser asam salisilat dari ikatan protein plasma. Kondisi ini
akan meningkatkan konsentrasi dan volume distribusi asam
salisilat. Strategi yang dapat dilakukan adalah mengatur dan
menurunkan dosis asam salisilat saat phenylbutazone diberikan
kepada pasien. Selain hal tersebut, penumpukan cairan tubuh juga
dapat meningkatkan volume distribusi obat yang bersifat hidrofil
-lactams) yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kadar
obat berada di bawah level terapi. Disamping itu, kondisi ini
merupakan faktor pemicu terjadinya resistensi bakteri terhadap
-lactam tersebut. Pemilihan terhadap dosis lazim
maksimum dan monitoring konsentrasi obat bebas adalah penting
untuk menyelesaikan masalah ini.

9.2.1.3 Perubahan metabolisme dan eksresi


Obat yang dieksresikan dari organ-organ pengeliminasi dapat
berupa metabolit ataupun dalam bentuk tidak berubah. Umumnya
obat dimetabolisme di hati melalui berbagai rute. Clearance
beberapa obat menurun sebagai akibat penurunan aliran darah ke
hati pada pasien dengan gangguan ginjal dengan kondisi infeksi
berat. Obat yang memiliki kerja vasokonstriksi seperti dopamine
dan epinephrine juga mengurangi aliran darah ke hati. Selain itu
beberapa obat dapat menginduksi ataupun menghambat aktivitas
enzim di hati, yang selanjutnya mempengaruhi nilai clearance obat-
obat tertentu. Semua perubahan metabolisme dan eksresi ini
berdampak terhadap efek farmakologi obat.

Umumnya obat-obatan dan metabolitnya dieksresikan melalui


ginjal, sebagian kecil juga dieksresikan melalui organ-organ lain
seperti GIT, kulit, saliva, dan cairan mata. Pada pasien dengan
gangguan ginjal, kemampuan ginjal untuk mengeliminasi senyawa-
senyawa dari dalam tubuh menurun. Perhatian harus difokuskan
terhadap obat dan metabolitnya karena dapat mengakumulasi di
dalam tubuh, selanjutnya meningkatkan respons dan menimbulkan
efek toksik sebagai akibat penurunan fungsi ginjal. Sebagai contoh,
allopurinol yang diberikan kepada pasien dengan gangguan ginjal
untuk mengobati batu asam urat, dimetabolisme menjadi inhibitor
xanthine oxidase (oxypurinol). Contoh lain adalah metabolit aktif

83
dari cefotaxime yang dikenal sebagai desacetyl cefotaxime.
Perhatian harus difokuskan terhadap obat-obat yang secara
ekstensif dieksresikan dalam bentuk tidak berubah melalui ginjal
seperti cephalosporins, penicillins, and ranitidine. Dalam hal ini
untuk mencegah efek toksik, maka dosis obat harus diturunkan
berdasarkan kepada fungsi ginjal.

9.2.2 Perubahan Farmakodinamika


Efek farmakodinamika obat dapat berubah sebagai akibat
perubahan biokimia dan fisiologi pasien dengan gangguan ginjal.
Sehubungan dengan permasalahan ini, maka untuk
mengoptimalkan terapi, dosis obat terutama yang bersifat
nefrotoksik dan rentang terapi sempit yang diberikan kepada pasien
dengan gangguan ginjal harus disesuaikan berdasarkan kepada
fungsi ginjal.

9.3 Penyesuaian Dosis untuk Pasien dengan Gangguan Ginjal

Ada 2 pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan


terapi yaitu therapeutic drug monitoring (TDM) dan pendekatan
praktis berdasarkan kepada fungsi ginjal.

9.3.1 Therapeutic drug monitoring


Therapeutic drug monitoring merupakan proses penggunaan
konsentrasi obat di dalam plasma agar diperoleh efek terapi yang
diinginkan. Pendekatan ini dapat diaplikasikan untuk beberapa obat
termasuk antibiotika. Ada beberapa criteria obat yang sesuai dalam
pelaksanaan TDM. Pertama, karakteristik farmakokinetika dan
farmakodinamika obat harus jelas. Kemudian obat yang akan
dimonitor mempunyai rentang terapi sempit dan waktu paruh
singkat. Selain itu korelasi antara dosis obat dan respons sulit
diprediksi serta tidak mempunyai titik akhir klinis yang jelas
seperti golongan aminiglikosida dan vancomycin.

84
Konsep dasar pendekatan ini dapat diuraikan sebagai berikut:
Konsentrasi obat bebas di dalam plasma seperti aminoglikosida
mempunyai korelasi yang baik dengan konsentrasi obat bebas di
dalam reseptor. Berdasarkan teori reseptor, efek farmakologi
dicapai dengan adanya interaksi antara obat bebas dengan reseptor
pada lokasi obat bekerja. Besarnya efek farmakologi yang
dihasilkan tergantung kepada konsentrasi obat bebas yang
berinteraksi dengan reseptor. Konsentrasi obat bebas di dalam
serum sebanding dengan obat yang berinteraksi dengan reseptor
pada lokasi obat menimbulkan efek. Dengan demikian, pengaturan
konsentrasi obat di dalam darah agar tetap berada dalam rentang
terapi merupakan konsep untuk mempertahankan efek terapi.
Pasien dengan gangguan ginjal mengalami penurunan eksresi obat
yang selanjutnya akan mengakibatkan akumulasi dan efek toksik
terhadap organ-organ tubuh. Oleh karena itu, penyesuaian dosis
melalui TDM diperlukan untuk mencegah efek yang tidak
diinginkan tersebut. Berikut ini adalah langkah-langkah
pelaksanaan TDM:

1) Pengukuran fungsi ginjal


Persamaan Cockcroft-Gault (C-G) umum digunakan untuk
menghitung fungsi ginjal seperti ditulis berikut ini:
Untuk jenis kelamin laki-laki:
Clcr (ml/min) = ((140 age) BW)/(72 x Scr)
Untuk jenis kelamin perempuan:
Clcr (ml/min) = ((140 age) BW)/(72 x Scr) x 0.85
kf = Clcr (RI)/Clcr(nl).................................................................
2) Penentuan clearance obat pada pasien dengan gangguan
ginjal (ClRI )
ClRI = Clnl [1 fe . (1 - kf )] ..........
3) Perhitungan kecepatan pemberian obat

4) max)
max = 1.44t1/2. ln Cmax/Cmin
5) Pemilihan interval pemberian
6) Monitoring kadar obat di dalam plasma, respons, dan tanda-
tanda keracunan
7) Penyesuaian dosis apabila masih diperlukan

85
dimana:
Clcr = Creatinine clearance; age=usia pasien; BW = body weight
(berat badan); Scr = konsentrasi serum creatinine; Clcr(RI) =
Creatinine clearance pada penderita PGK; Clcr(nl) = Creatinine
clearance pada pasien dengan fungsi ginjal normal; kf = kidney
function (fungsi ginjal); fe = fraksi obat tidak berubah yang
dieksresikan melalui urin; Clnl = clearance obat pada penderita
PGK; Clnl = clearance obat pada pasien dengan fungsi ginjal

= konsentrasi efektif obat; t1/2= waktu paruh obat; Cmax =


konsentrasi obat maksimum (upper limit of therapeutic window);
Cmin = konsentrasi obat minimum (lower limit of therapeutic
window max = interval pemberian obat maksimum.

9.3.2 Pendekatan praktis

Pendekatan praktis dapat dilakukan untuk menyesuaikan dosis obat


apabila data ataupun acuan tidak tersedia. Dalam hal ini prinsip
penyesuaian dosis obat didasarkan kepada perbandingan antara
clearance obat pada penderita PGK dengan clearance obat pada
pasien dengan fungsi ginjal normal (Q) sebagaimana ditulis pada
persamaan berikut ini:

Q = [(kf x fe) + (1- fe) x (140- age) x weight in kg0.7]/1660

Persamaan (7) dapat disederhanakan menjadi persamaan (8) untuk


obat yang mempunyai ikatan rendah dengan protein plasma (<25%)
dan dieksresikan dalam bentuk tidak berubah lebih besar atau sama
dengan 70 % seperti cefadroxyl dan ceftazidime.

Cl(ri)/ Cl(nl) = Q = [1 fe (1 kf)]

Metode untuk mengaplikasikan nilai Q dalam penyesuaian dosis


dapat dilakukan dengan pengurangan dosis seperti ditulis dalam
persamaan (9), penyesuaian interval pemberian sebagaimana
ditulis dalam persamaan (10) ataupun modifikasi antara interval
pemberian obat dan dosis seperti ditulis dalam persamaan (11):

86
DRI = Q x DN

RI N/Q

DRI = (DN RI N.................

9.4 Contoh-contoh Soal

1. Seorang pasien (laki=laki, usia 46 tahun, berat badan 55 kg)


didiagnosis menderita PGK dengan nilai serum creatinin
sebesar 25,2 mg/dL. Pasien juga mengalami infeksi yang
ditandai dari kadar leukosit darah sebesar 13,1(103)/mm3.
Penanganan infeksi dilakukan dengan terapi ciprofloxacin
tablet. Diketahui: bioavailabilitas ciprofloxacin = 0,7- 0,8;
volume distribusi = 1-2 L/kg berat badan; waktu paruh = 4
jam; rentang terapi = 3,4-4,3 ng/ml plasma; dieksresikan dalam
bentuk tidak berubah melalui urin sebesar 40-65%. Berapa
dosis dan interval pemberian ciprofloxacin untuk pasien
tersebut? Jelaskan langkah-langkah yang harus dilaksanakan
dalam TDM.

Jawab:
Creatinine clearance pada pasien dengan fungsi ginjal normal
dan tidak mormal:
ClCr pasien = (140 umur) BB/72 x Scr
= (140 46) 55 kg / 72 x 25,2 mg/dL = 2,85 ml/men
Kadar serum creatinin normal = 0,6 1,2 mg/dL = 0,9mg/dL
ClCr normal = (140 umur)BB/72 x Scr
= (140 46) 55kg / 72 x 0,9mg/dL = 79,78 ml/men

Penentuan fungsi ginjal:


KF = CrCl (ri) / CrCl (nl) = 2,85 ml/men / 79,78 ml/menit =
0.036

Penentuan clearance pada pasien dengan PGK:


Clearance obat utk pasien dengan fungsi ginjal normal:
k = 0,693/ t ½ = 0,693/4 jam = 0,17 jam-1
Cl(nl) = k.V
= 0,17 jam-1 . 2 L/kg . 55 kg = 18,7 L/jam

87
Clearance obat untuk pasien penderita penyakit ginjal kronik
adalah sebagai berikut:

Cl (ri) = Cl(nl) {1-fe. (1 KF)}


= 18,7 L/jam {1-0,5 (1 0,036 )}
= 9,7 L/jam = 161 ml/men

Berdasarkan persamaan (5):

am . 4 ng/ml
ml/jam.4 ng/ml
mcg/jam = 50 mcg/jam

Penentuan interval maximum


t1/2 ciprofloxacin adalah antara 4.4 12.6 jam untuk dewasa
dengan Clcr 30 mL/minute. Bila nilai t1/2 adalah 12 jam,
maka:

=1.44 . 12 jam . (1,5 1,2) = 5,18 jam


Alternatif interval pemberian obat adalah 6, 8, 12 atau 24 jam

Bila interval pemberian yang dipilih adalah 12 jam, maka:


Dosis pertahanan = 12 jam . 50 mcg/jam = 600 mcg = 0.6 mg
Dosis muatan = V x Css /F
= 55000 s/d 110000 ml x 4 ng/ml / 0,8 = 250 s/d 500 mg

Dosis muatan sebesar 250 sampai dengan 500 mg adalah


rasional dan sesuai dengan dosis produk yang ada di pasaran.
Prediksi kecepatan eliminasi obat hanya sekitar 600 mcg
/12jam.
Laksanakan monitoring, pengambilan sampel darah, penentuan
kadar obat, dan interpretasi data. Bila diperlukan, sesuaikan
dosis.

2. Bila pada soal 9.5.1 pendekatan TDM tidak dapat


dilaksanakan, maka pendekatan praktis merupakan alternatif
dalam pengaturan dosis ciprofloxacin untuk pasien tersebut.
Hitunglah dosis dan interval pemberian ciprofloxacin untuk
pasien tersebut di atas. Diketahui bahwa dosis ciprofloxacin

88
untuk pasien dengan fungsi ginjal normal adalah 250 mg/12
jam.

Jawab:
Cl (ri)/ Cl(nl) = 9.7 L/jam/ 18.7 L/jam = 0.518 = 0.5
Bila dosis disesuaikan, maka:
DRI = Q x DN = 0.5 x 250 mg = 125 mg
Maka:
Dosis ciprofloxacin untuk pasien tersebut adalah 125 mg/12
jam

Bila interval diperpanjang, maka:


RI = n/Q = 12 jam/0.5 = 24 jam

Jadi, dosis ciprofloxacin untuk pasien tersebut adalah 250


mg/24 jam

Perhitungan ini sesuai dengan saran di Handbook of Clinical


Drug Data: Clcr < 30 ml/min ada 2 alternatif:
- Dosis dikurangi 50 %
- Interval diperpanjang

89
BAB X

PENGGUNAAN OBAT
PADA PASIEN DENGAN
GANGGUAN HATI

Pada Bab ini akan dibahas tentang fungsi dan gangguan hati,
patofisiologi serta manifestasi klinik pada gangguan hati. Pada Bab
ini juga akan dibahas tentang eliminasi obat, clearance, extraction
ratio, pengaruh gangguan hati terhadap farmakokinetika dan
farmakodinamika obat, penentuan fungsi hati serta pendekatan
yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pemberian obat pada
pasien dengan gangguan hati.

10.1 Fungsi dan Gangguan Hati

Hati merupakan organ utama pengmetabolisme obat melalui


berbagai rute yaitu oksidasi, reduksi, hidrolisis, dan konjugasi.
Sintesis enzim hati tergantung kepada asupan protein. Penurunan
asupan protein dalam waktu yang berkepanjangan akan
mengakibatkan gangguan metabolisme. Di pihak lain, asupan
protein yang tinggi dapat menginduksi enzim. Rokok yang
mengandung nicotine menginduksi kerja enzim cytochrome P450
sehingga mempercepat metabolisme obat di hati seperti
chlordiazepoxide, chlorpromazine, diazepam dan theophylline.
Gangguan hati seperti hepatic cirrhosis akan mengakibatkan
kerusakan sel-sel hati, sebagai konsekuensinya adalah gangguan
produksi berbagai enzim di hati seperti cytochrome P450. Kondisi
ini memperlambat metabolisme obat sehingga nilai clearance akan
menurun, seterusnya mengakibatkan akumulasi obat di dalam
tubuh dan efek toksik. Untuk mencegah terjadinya efek toksik,
maka perlu penyesuaian dosis obat berdasarkan keadaan fungsi
hati pasien.

90
10.2 Patofisiologi dan Manifetasi Klinik

Gangguan hati terutama hepatic cirrhosis, mengakibatkan berbagai


perubahan patofisiologi di dalam hati. Pertama, gangguan hati
dapat mengakibatkan perubahan farmakokinetika obat. Disamping
itu, nodule abnormal (kelenjar dengan dengan konsistensi padat
dan dapat diketahui dengan meraba) dapat terbentuk pada pasien
cirrhosis. Selanjutnya pembentukan nodul ini mengakibatkan
penurunan aliran darah ke hati serta penurunan metabolisme obat.
Perubahan fungsi hati dan perkembangan penyakit cirrhosis
bervariasi dari pasien yang satu dengan lainnya tergantung kepada
etiologi cirrhosis.

Varises esophagial, edema (penumpukan air di dalam jaringan),


ascites (akumulasi cairan di antara rongga peritoneal), gangguan
fungsi parenchymal, dan hepatic encephalopathy mempengaruhi
farmakokinetika dan farmakodinamika obat. Konsekuensi
perubahan farmakokinetika dan farmakodinamika obat tersebut
adalah akumulasi dan efek toksik sehingga dosis obat harus
disesuaikan.

10.3 Perubahan Farmakokinetika dan Farmakodinamika


Obat

Gangguan sirkulasi darah seperti shock, hipertensi, dan gagal


jantung dapat dikarakterisasikan dari berkurangnya perfusi vaskuler
ke salah satu atau beberapa bagian tubuh. Karena aliran darah dapat
mempengaruhi absorpsi, distribusi dan eliminasi obat maka tidak
mengherankan bahwa parameter farmakokinetika obat dapat
berubah pada pasien gangguan sirkulasi darah.

10.4 Perubahan Aliran Darah di Hati

Kecepatan munculnya obat di suatu organ pengeliminasi


merupakan hasil kali antara aliran darah (Q) dengan konsentrasi
obat yang memasuki daerah arteri (CA).

91
Kecepatan obat meninggalkan daerah vena merupakan hasil kali
aliran darah (Q) dengan konsentrasinya pada daerah vena (CV)

Kecepatan

Kecepatan ekstraksi obat adalah selisih antara kecepatan


munculnya obat di organ dengan kecepatan obat meninggalkan
vena yaitu:

Kecepatan ekstraksi obat = Q.CA Q.CB = Q (CA CV)

Dengan demikian, perbandingan antara konsentrasi obat yang


terekstraksi (dieliminasi) dengan konsentrasi mula-mula atau
Extraction ratio (E) dapat dihitung sebagai berikut:

E = {Q (CA CV)/CA}/ (Q . CA) = (CA CV)/CA

Nilai E berkisar antara 0 dan 1.


Bila tak ada obat yang dieliminasi, maka nilai E = 0
Bila tak ada obat yang keluar dari organ, maka nilai E = 1

Extrction ratio berbagai obat tertera pada Tabel 10.1

Tabel 10.1 Obat dengan Extraction Ratio yang Berbeda


Extraction Ratio
Tinggi (> 0.7) Menengah (0.3-0.7) Rendah (< 0.3)
Isoproterenol Aspirin Carbamazepine
Isosorbid dinitrate Codeine Diazepam
Lidocaine Ciprofloxacin Digitoxin
Meperidine Diltiazem Indomethacin
Midazolam Nifedipine INH
Morphine Nortriptyline Phenobarbital
Nitroglycerin Omeprazol Phenytoin
Propranolol Quinidine Procainamide
Verapamil Ranitidine Salicylic acid
Simvastatin Theophylline
Tolbutamide

Clearance = Blood flow . Extraction ratio ...............

Aliran darah rata-rata ke hati adalah sekitar 1.35 liter/menit.

92
Pada Tabel 10.2 ditunjukkan hubungan antara aliran darah,
clearance (Cl) dan extraction ratio (E).

Tabel 10.2. Hubungan antara Aliran Darah, Clearance (Cl) dan


Extraction ratio
Kategori Perubahan Extraction Clearance obat
Extraction aliran darah ratio
ratio obat
Tinggi peningkatan Tidak berubah Meningkat
penurunan Tidak berubah Menurun
Rendah peningkatan Menurun Tidak berubah
penurunan Meningkat Tidak berubah

Seperti tercantum pada Tabel 10.2, perubahan aliran darah ke hati


tidak berpengaruh terhadap obat dengan extraction ratio tinggi
sehingga berdasarkan persamaan (5) agar sama antara ruas kiri dan
kanan, maka akan terjadi perubahan nilai clearance obat. Untuk
obat dengan extraction ratio rendah, tidak terjadi perubahan
clearance obat dengan perubahan aliran darah. Namun untuk obat
dengan extraction ratio rendah, peninggian aliran darah akan
menurunkan extraction ratio, sebaliknya penurunan aliran darah
akan menurunkan extraction ratio.

10.5 Penentuan Fungsi Hati

Child-Pugh classification mengelompokkan gangguan hati ke dalam 3


kategori yaitu ringan, menengah, dan berat berdasarkan kepada skor
indikator kimia dan biokimia seperti tertera pada Tabel 10.3.

Tabel 10.3. Pengkategorian gangguan hati


Indikator Kimia/biokimia 1 point 2 points 3 points
Serum bilirubin (mg/dL) <2 2-3 >3
Serum albumin (g/dL) >3.5 2.8-3.5 <2.8
Prothrombin time (s > <4 4-6 >6
control)
Encephalopathy (grade) Tidak ada 1 or 2 3 or 4
Ascites Tidak ada Ringan Menengah

93
Bila total skor yang diperoleh adalah antara 5-6 poin, maka
gangguan hati termasuk ke dalam kategori ringan, sedangkan 7-9
poin termasuk kategori menengah. Bila total skor yang diperoleh
adalah antara 10-15 poin, maka gangguan hati dikategorikan ke
dalam kelompok berat.

Child-Pugh score tidak dapat sepenuhnya memberi gambaran Cl


(hepatic) atau farmakodinamika obat untuk kelompok pasien ini.

10.6 Strategi Penyesuaian dosis

Urgensi penyesuaian dosis tergantung kepada besarnya nilai ER


(tinggi, rendah, ataupun menengah). Semakin tinggi nilai ER dari
suatu obat, semakin perlu dipertimbangkan aliran darah dalam
penentuan farmakokinetika obat. Obat yang mempunyai nilai ER
tinggi, mempunyai nilai clearance hepatic yang diatur oleh aliran
darah serta tidak sensitive terhadap perubahan ikatan obat dengan
komponen darah dan aktivitas enzim.

Pendekatan praktis dengan mempertimbangkan ER dan pengaruh


ikatan obat dengan albumin serta penyesuaian dosis dapat dapat
dilakukan untuk merasionalkan terapi sebagai berikut:

10.6.1 Obat dengan Extraction Ratio Tinggi

Obat dengan extraction ratio tinggi antara lain adalah imipramine,


promethazine, lovastatine, chlorpromazine, midazolam, metoprolol,
propranolol, sidenafil, dan verapamil. Efek liver cirrhosis
ketersediaan hayati meningkat karena pengurangan aliran darah ke
hati dan penurunan eliminasi obat.

Strategi yang dapat dilakukan bila obat diberikan per oral adalah
dengan menurunkan dosis muatan dan dosis pertahanan. Bila tidak
disebut lain, maka bioavailabilitas obat per oral dianggap 100%.
Dosis muatan dan dosis pertahanan, masing-masing dihitung
sebagai berikut:

Dosis = (Dosis normal x Fnormal)/100

94
10.6.2 Obat dengan Extraction Ratio Menengah

Yang termasuk ke dalam kelompok obat dengan extraction ratio


menengah antara lain ciprofloxacin, diltiazem, erythromycin,
simvastatin, haloperidol, dan omeprazole. Liver cirrhosis
mengakibatkan penurunan clearance hepatic (Clhep) yg ditentukan
oleh Q, metabolisme hepatik, dan ikatan dengan albumin.
Pendekatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
Dosis muatan dipilih pada rentang yg rendah. Dosis pertahanan
untuk gangguan hati kategori ringan dan menengah berturut-turut
sebesar 50% dan 25% dari dosis normal. Untuk gangguan hati
kategori berat, direkomendasikan agar dipilih obat yang
metabolismenya melalui konjugasi, bukan melalui enzim CYP.

10.6.3 Obat dengan Extraction Ratio dan Ikatan Protein


Rendah

Paracetamol, doxycline, metronidazole, metoclopramide,


carbamazepine, phenobarbital, diphenhydramine, alprazolam,
clobazam, theophyllyne, methylprednisone, prednisone, dan INH
termasuk ke dalam kategori obat dengan extraction ratio rendah

bioavailabilitas obat-obat ini. Dosis pertahanan disesuaikan seperti


dilakukan untuk obat dengan extraction ratio menengah yaitu 25%
dari dosis normal. Diutamakan juga agar memilih obat yang
metabolismenya melalui konjugasi, bukan melalui enzim CYP.

10.6.4 Obat dengan Extraction Ratio dan Ikatan Protein


Tinggi

Beberapa obat seperti chlordiazepoxide, diazepam, prednisolone,


rifampicin ceftroaxone, clindamycin, tolbutamide, phenytoin,
gemfibrozil, lansoprzole, chlordiazepoxide, diazepame,
prednisolone, dan rifampicin mempunyai extraction ratio yang
rendah dan ikatan protein yang tinggi (>90%). Bioavailabilitas
dalam hal ini ditentukan oleh enzym pengmetabolisme, dan kadar
albumin. Pemberian kelompok obat-obat ini kepada pasien dengan

95
cirrhosis sebaiknya disertakan dengan pemantauan kadar obat
bebas.

Bila terjadi gangguan perfusi pada saluran pencernaan, agar


diperoleh respons segera, maka sebaiknya obat diberikan secara
intravena. Pengaturan dosis secara individu direkomendasikan
apabila pasien menderita lebih dari satu jenis penyakit. Misalnya
pasien dengan penyakit jantung yang juga menderita hipertiroid
memerlukan digoxin dengan dosis yang lebih tinggi untuk
meningkatkan efisiensi terapi. Hipertiroid mengakibatkan
peninggian produksi hormon kelenjar tiroid yang selanjutnya akan
meningkatkan metabolisme digoxin.

10.7 Contoh-contoh Soal

1. Ciprofloxacin tablet 250 mg diberikan kepada pasien dengan


gangguan fungsi hati. Berat badan pasien adalah 70 kg.
Konsentrasi obat pada arteri adalah 5 ng/ml. Setelah obat
melintasi hati bersama sirkulasi darah, konsentrasi pada vena
adalah 2 ng/ml. Berapa extraction ratio (ER) ciprofloxacin?
Bila diketahui aliran darah ke hati (liver blood flow atau Q)
adalah 1.5 L/men, berapa hepatic clearance ciprofloxacin pada
pasien tersebut?

Jawab:
ER = (CA - Cv)/ CA= (5 mcg/ml 2 mcg/ml)/5 mcg/ml
= 0,6
Clhepatic = Q . ER = 1,5 L/men . 0,6 = 0,9 L/men

2. Apabila ER ciprofloxacin = 0.6, maka obat ini termasuk ke


dalam kelompok obat dengan intermediate ER. Diketahui
bahwa dosis ciprofloxacin tablet untuk pasien normal adalah
250-500 mg/12 jam. Rentang terapi ciprofloxacin adalah 3.4-
4.3 ng/ml plasma. Metabolisme berlangsung di hati.
Pertanyaan:
Apakah dosis muatan saja atau dosis prtahanan atau kedua
duanya perlu disesuaikan?.

96
Jawab:
Seperti telah dijelaskan bahwa obat dengan kelompok ER
menengah, untuk pasien gangguan hati, dosis awal per oral
harus dipilih dosis normal terendah dan dosis pertahanan harus
disesuaikan berdasarkan farmakokinetik obat sesuai kondisi
pasien tersebut.

Dosis awal:
Dosis awal yang direkomendasi adalah dosis normal terendah
yaitu 250 mg.
Perhitungan dosis pertahanan:
Pilih Cp antara 3.4-4.3 ng/ml, maka yang dipilih adalah 4
ng/ml
Cl total (normal) = 18.7 L/jam
MD = (Cl x Cp)/F = (0.9 L/men x 4 ng/ml)/0.7 = 0.9 L/men x
4 mcg/L = 5.14 mcg/men = 308.64 mcg/jam = 3703.68
mcg/12jam = 3.704 mg/12jam.

3. Konsentrasi verapamil pada arteri seorang pasien adalah 200


mcg/ml. Setelah obat melintasi hati bersama sirkulasi darah,
konsentrasi verapamil pada vena adalah 50 mcg/ml. Berapa ER
verapamil tersebut?

Jawab:

ER = (CA - CV)/ CA= (200 mcg/ml 50 mcg/ml)/200 mcg/ml


= 0,75

4. Jelaskan secara singkat hubungan antara ER suatu obat dengan


besarnya dosis yang harus diberikan kepada pasien cirrhosis.

Jawab:
Semakin tinggi nilai ER dari suatu obat, semakin perlu
dipertimbangkan aliran darah dalam penentuan
farmakokinetika obat. Obat yang mempunyai nilai ER tinggi,
mempunyai nilai clearance hepatic yang diatur oleh aliran
darah serta tidak sensitif terhadap perubahan ikatan obat
dengan komponen darah dan aktivitas enzim.

97
5. Hasil uji laboratorium seorang pasien cirrhosis adalah sebagai
berikut: serum bilirubin (mg/dL), 3; serum albumin (g/dL), 3;
protrombin time (detik), 3: encelopathy (grade), 2; ascites,
ringan. Tentukan kategori pasien cirrhosis tersebut berdasarkan
keparahannya (ringan, menengah atau berat).

Jawab:
Indikator Kimia/biokimia Points
Serum bilirubin (mg/dL) 3 2
Serum albumin (g/dL) 3 2
Prothrombin time (s > control) 3 1
Encephalopathy (grade) 2 2
Ascites Ringan 2
Total point 9

Berdasarkan keparahannya, maka pasien cirrhosis tersebut


termasuk ke dalam kategori menengah

6. Bila kepada pasien cirrhosis tersebut pada soal no.5 akan diberi
terapi paracetamol tablet, berapa dosis awal dan dosis
pertahanan paracetamol yang saudara rekomendasikan?

Jawab:
Paracetamol termasuk ke dalam kelompok obat dengan
extraction ratio menengah, maka:
Dosis awal paracetamol adalah 500 mg.
Dosis pertahanan paracetamol adalah 25% dari dosis normal
yaitu:
25% x 500 mg = 125 mg.

98
DAFTAR PUSTAKA

1. American Society of Health System Pharmacists. Cited Dec4th


2014 at www.ashp.org/.../p2418.

2. Anderson, P. O., Knoben, J. E., & Troutman, W. G. (2002).


Handbook of clinical drug data (Tenth ed.): McGraw-Hill
Medical.

3. Burton, M. E., Shaw, L. M., Schentag, J. J., & Evans, W. E.


(2006). Applied pharmacokinetics and pharmacodynamics:
principles of therapeutic drug monitoring: Lippincott Williams
& Wilkins.

4. DasGupta, R., Glass, J., & Olsburgh, J. (2010). Kidney


disorders. Arch Intern Med, 170(22), 2021-2027.

5. Delco, F., Tchambaz, L., Schlienger, R., Drewe, J., &


Krähenbühl, S. (2005). Dose adjustment in patients with liver
disease. Drug Safety, 28(6), 529-545.

6. Eichelbaum, M., Ingelman-Sundberg, M., & Evans, W. E.


(2006). Pharmacogenomics and individualized drug
therapy. Annu. Rev. Med., 57, 119-137.

7. Eyler, R. F., & Mueller, B. A. (2011). Antibiotic dosing in


critically ill patients with acute kidney injury. Nature Reviews
Nephrology, 7(4), 226-235.

8. Gibaldi, M. 1984. Biopharmaceutics and Clinical


Pharmacokinetics. Lea & Febiger, Pholadelphia.

9. Goodman, L.S. and Gilman, A. 1983. The Pharmacological


Basis of Therapeutics, 7th ed. Macmillan Publishing, New
York.

99
10. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/pseudocholinesterase, diasses
Februari 25, 2015

11. http://poisoncontrol.utah.edu/healthpros/utox/Vol5_No2.pdf,
diasses Maret 3, 2015

12. http://www.medscape.com/viewarticle/444804_4, diasses


Februari 25, 2015

13. Levey, A. S., Coresh, J., Balk, E., Kausz, A. T., Levin, A.,
Steffes, M. W., et al. (2003). National Kidney Foundation
Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification. Annals of Internal Medicine,
139(2), 137-147.

14. Makoid, M. C. 1996. Basic Pharmacokinetics.

15. Mangoni, A. A., & Jackson, S. H. (2004). Age related changes


in pharmacokinetics and pharmacodynamics: basic principles
and practical applications. British journal of clinical
pharmacology, 57(1), 6-14.

16. Matzke, G. R., Aronoff, G. R., Atkinson, A. J., Bennett, W.


M., Decker, B. S., Eckardt, K. U., et al. (2011). Drug dosing
consideration in patients with acute and chronic kidney
disease a clinical update from Kidney Disease: Improving
Global Outcomes (KDIGO). Kidney International, 80(11),
1122-1137.

17. Pai, M. P., & Bearden, D. T. (2007). Antimicrobial dosing


considerations in obese adult patients. Pharmacotherapy: The
Journal of Human Pharmacology and Drug Therapy, 27(8),
1081-1091.

18. Rowland, M., and Tozer, T.N. 1989. Clinical


Pharmacokinetics : Concepts and Applications, 2nd Ed, 1989,
Chapter 2, 8, 9, dan 10.

100
19. Rowland, M., & Tozer, T.N. (2011). Clinical
pharmacokinetics/pharmacodynamics (4th ed.): Lippincott
Williams and Wilkins.

20. Verbeeck, R. K. (2008). Pharmacokinetics and dosage


adjustment in patients with hepatic dysfunction. European
journal of clinical pharmacology, 64(12), 1147-1161.

101
LAMPIRAN I

DAFTAR SINGKATAN

AAG Alpha Acid Glycoprotein


ACE Angiotensin Converting Enzyme
AUC Area Under the concentration-time Curve
BB Berat Badan
BUN Blood Urea Nitrogen
Cl Clearance
ClR Clearance Renal
ClER Clearance Extrarenal
G6PD Glucose-6 Phosphate Dehydrogenase
g gram
GFR Glomerular Filtration Rate
im intramuscular
INH Isonicotinehydrazide
inj injeksi
iv intravena
ISK Infeksi Saluran Kemih
kg kilogram
L Liter
LSD Lysergic Acid Diethylamide
LD Loading Dose
mcg microgram
MD Maintenance Dose
men menit

102
mEq milliEquivalent
mg milligram
ml milliliter
mm millimeter
NADPH Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate
ng nanogram
PGK Penyakit Ginjal Kronik
po per oral
SS Steady State
tab tablet
TDM Therapeutc Drug Monitoring
TI Therapeutic Index
ISK Infeksi Saluran Kemih

103
LAMPIRAN II

104
PARAMETER FARMAKOKINETIKA, REGIMEN DOSIS
DAN FARMAKODINAMIKA BERBAGAI OBAT

Nama Obat Khasiat Dosis Lazim Rentang T1/2 (jam) Vd (L/kg) Mekanisme
Terapi
Farmakokinetika Klinis

(mcg/ml)
Ampisilin Bakterisida 250-500 mg/6 jam (po) 3 1,5 0,23 Menghambat sintesis dinding
1-2 g/6 jam (iv) sel bakteri
Cefotaxime inj Bakterisida Clcr: - 1-1,5 0,25 Menghambat sintesis dinding
*50-100 ml/men 1-2 sel mikroba
g/4-8 jam
*10-50 ml/men 1-2 g/6-
12 jam
* < 10 ml/men
1 g/ 8-12 jam
*normal:
Infeksi menengah-berat:
1-2g/8jam (iv,im)
Infeksi berat:
2g/6-8 jam (iv)
Cimetidine Gastirc ulcer *Menghilangkan 0,5-0,9 2 1 Menghambat kerja histamin
gejala:200 mg/12 jam pada reseptor histamin H2 sel-
(po) sel parietal sehingga efektif
*benign gastric dalam menghambat sekresi
ulcer/duodenal asam lambung
ulcer:400mg/12 jam (po)
Nama Obat Khasiat Dosis Lazim Rentang T1/2 (jam) Vd (L/kg) Mekanisme
Terapi
(mcg/ml)
Ciprofloxacin Bakterisida ISK: 3,4-4,3 5 1,8 Menginhibisi enzim
250 mg/12 jam (po) pensintesis DNA bakteri
Diare disertai infeksi:
500mg/12 jam (po)
Codein Analgetik narkotik Antitussive: - 3-4 2-3,5 Menekan pusat batuk.
dengan antitussive Dewasa: 7,5-20 mg/4-6
jam (po)
Deksametason Analgetik steroid 5 10 mg/ hari - 3 0,82 Menghambat fosfolipase
inj dalam sintesis prostaglandin
Digoxin Terapi gagal 0,125-0,25/hari po atau 0,0006- 0,5-1 (fase 7-8 Meningkatkan kontraktilitas
jantung iv 0,002 dengan menghambat pompa
sodium/potassium ATPase
Etambutol tab Anti bakteri (Anti Clcr : - 4 0,8 Menghambat sintesis RNA
Tuberkulosis) *50-100 ml/men: 15-25 bakteri
mg/kg BB/24 jam
* 10-50 ml/ men: 5-15
mg/kg BB/24 jam
*< 10 ml/ men:
5 mg/kg BB/24 jam
Gentamycin Bacterisida 3-5 mg/kg BB/hari (iv) 2 0,22 Berpenetrasi melalui dinding
sel dan mengikat diri pada
ribosom bakteri
Farmakokinetika
Farmakokinetika
Klinis

105
Klinis
Nama Obat Khasiat Dosis Lazim Rentang T1/2 (jam) Vd (L/kg) Mekanisme

106
Terapi
(mcg/ml)
Isoniazid tab Anti bakteri (Anti Clcr: - 4,5 0,6 Menghambat biosintesis asam
*
Tuberkulosis) 50-100 ml/men: 300 mikolat dinding sel mikro
mg/24 jam bakteri
*10-50 ml/men: 300 mg
Farmakokinetika Klinis

/24 jam
*< 10 ml/men: 300 mg/
24-28 jam
Metoclopramide Antiemetika Post operative: - 5,5 ± 0,5 3,4 ± 1,3 Memperkuat motilitas dan
10-20 mg/6 jam (im) pengosongan lambung

Metronidazol Antiprotozoa 250-75mg/hari - 6-10 0,85±0,25 Menghambat sintesis asam


(tab) nukleat bakteri
Phenobarbital Terapi epilepsy 15-18 mg/kgBB (iv) 10-25 48-120 0,61±0,05 Menekan sensoris dan motor
kalau diperlukan cortex, serebellum (bagian
30-120mg/hari (po) dari otak yang
Sedatif dibagi menjadi 2 atau 3 mengkordinasikan dan
kali sehari mengatur aktivitas otot)
Phenytoin Terapi epilepsi LD: 10-15mg/kgBB 10-20 26-40 (pada 0,83±0,2 Membantu efflux Na+ dan
MD: 100mg/8 jam (iv saat menurunkan influx Na+ di
atau po) konsentrasi di dalam motor cortex neurons
dalam plasma sehingga menstabilkan
10-20 membrane neuron
mcg/ml)
Nama Obat Khasiat Dosis Lazim Rentang T1/2 (jam) Vd (L/kg) Mekanisme
Terapi
(mcg/ml)
Pirazinamid Anti bakteri (Anti 20-30 mg/kg BB setiap - 9,2 0,7 Dalam tubuh dihidrolisis oleh
Tuberkulosis) 24 jam enzim pirazinamidase menjadi
asam pirazinoat yang bersifat
tuberkulostatika pada media
yang bersifat asam
Rifampisin Antibiotika Clcr: - 3,5 0,97 Menghambat DNA dan RNA
*
50-100 ml/men 10 polimerase dari mikrobakteria
mg/kg BB/24 jam
*10-50 ml/men 10
mg/kg BB/24 jam
* < 10 ml/men 10 mg/kg
BB/24 jam
Propilaksis:
600mg/24jam (po,iv)
Theophylline Bronchodilator LD:5-7mg/kgBB (iv 8-20 8 ± 2 (bukan 0,5- 0,7 Relaksasi smooth muscles
Pulmonary atau po) perokok)
vasodilator MD:0,4-0,6mg/kgBB 4,4 ± 1
(iv) (perokok)
0,48-0,72mg/kgBB (po)
Tramadol Analgetik non- Kronik: 25 mg po setiap - 6-8 2,5-3 Menduduki reseptor nyeri di
opioid pagi susunan saraf pusat sehingga
Akut: 50-100 mg/6 jam menghambat sensasi nyeri dan
Farmakokinetika

(po) respon terhadap nyeri


Farmakokinetika

Maksimum 400mg/hari
Klinis

107
Klinis
Farmakokinetika Klinis

INDEKS

A farmakodinamika, 1, 2, 72, 74, 75, 76,


78, 82, 84, 90, 91, 94
absorpsi obat, 3, 41, 43, 45, 78, 82 farmakogenetika, 71
acetanilide, 73 farmakokinetika, 1, 2, 6, 7, 10, 22, 30,
acetohexamide, 66, 68 36, 48, 49, 71, 72, 74, 75, 76, 78, 82
akumulasi obat, 51, 52, 90 fase absorpsi, 44, 45
albumin, 4, 82, 93, 94, 95, 98 fase eliminasi, 44, 45
alpha acid glycoprotein, 4 fast acetylator, 71, 72
analisis parameter-parameter formulasi, 70
farmakokinetika, 13, 40 fungsi ginjal, 21, 81, 83, 84, 85, 86, 87
angiotensin converting enzyme, 73 fungsi hati, 90, 91, 96
ascites, 91, 98
G
B gangguan fungsi parenchymal, 91
berat badan, 24, 25, 47, 59, 70, 75, 76, gangguan ginjal, 21, 77, 81, 82, 83, 84,
86, 87 85
biofarmasi, 1, 7 gangguan hati, 75, 77, 90, 91, 93, 94,
Blood Urea Nitrogen, 81, 102 95, 97
gangguan sirkulasi darah, 75, 91
genetik, 49, 50, 70, 71, 72, 73, 74
C gentamycin, 82
cefotaxime, 84 glucose-6 phosphate dehydrogenase, 73
Child-Pugh classification, 93 glutethimide, 66
cimetidine, 79, 80 gluthation, 73
ciprofloxacin, 60, 87, 88, 89, 95, 96
clearance metabolit, 66, 67, 69 H
creatinine, 81, 86
creatinine clearance, 81 hemolisis, 73
cytochrome P450, 37, 90 hepatic cirrhosis, 90, 91
hepatic encephalopathy, 91
hydroxyhexamide, 66, 68
D
digoxin, 4, 50, 80, 96 I
dosis berganda, 48, 49, 53
Indeks Akumulasi, 56
infus, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 38, 39
E interaksi obat, 49, 50, 70, 78, 83
edema, 91 interpretasi metabolit, 66
ekstrarenal, 20, 21 Intravena Bolus dan Infus, 33
extraction ratio, 90, 93, 94, 95, 96, 98 Isoniazid, 106
extraction ratio menengah, 95, 98
extraction ratio rendah, 93, 95 K
extraction ratio tinggi, 93, 94
keanekaragaman respons, 40, 70, 71,
73, 75, 78
F kecepatan absorpsi, 40, 42, 43, 44, 45,
faktor-faktor fisiologi, 41 80

108
Farmakokinetika Klinis

Kecepatan Akumulasi, 56 polimorfis enzim pengmetabolisme, 71


kecepatan eliminasi, 10, 11, 12, 16, 18, proses metabolisme, 22, 61, 63
20, 22, 23, 30, 31, 32, 40, 43, 44, 45, pseudocholinesterase, 72, 100
46, 54, 55, 60, 63, 65, 88
kertas grafik semilog, 13, 16, 27, 44, 45
Ketersediaan Hayati Per Oral, 42
R
kinetika metabolit, 67, 78 regimen dosis, 1, 2, 10, 48, 49, 73, 75,
konsentrasi obat maksimum, 55, 86 76
konsentrasi obat minimum, 55 rentang terapi, 5, 8, 49, 50, 60, 81, 84,
Konsentrasi Obat Selama Infus 85, 87
Diberikan, 32 Rifampisin, 107
konstanta kecepatan eliminasi
ekstrarenal, 20
S
M slow acetylator, 71, 72
Steady state, 30
metabolisme obat, 37, 61, 63, 65, 74, succinylcholine, 72
90, 91
metabolit, 2, 4, 61, 62, 63, 64, 65, 66,
67, 68, 78, 79, 83, 84 T
metabolit aktif, 62, 65, 67, 68, 79, 84 teori penempatan, 4
methemoglobin reductase, 73, 74 theophylline, 37, 47, 90
metoclopramide, 78, 80, 95 therapeutic drug monitoring, 84, 99
metode residual, 45 toleransi, 49, 50, 70, 74

N U
nasib obat, 5 usia, 75, 76, 77, 86, 87
nicotinamide adenine dinucleotide
phosphate, 73
V
P volume distribusi, 10, 11, 25, 27, 32,
37, 60, 65, 75, 76, 82, 83, 87
pemberian ekstravaskular, 40
pemberian intravaskular, 49
pendekatan praktis, 84, 88 W
pengaturan dosis dan interval obat, 49
waktu paruh, 17, 18, 22, 23, 27, 32, 33,
pengaturan respons, 4, 5, 10
43, 46, 50, 51, 56, 58, 59, 60, 64, 65,
penuaan, 75
68, 75, 76, 84, 86, 87
penyakit, 1, 70, 75, 78, 88, 91, 96
Waktu paruh absorpsi, 45
persamaan garis lurus, 13
warfarin, 72, 74
Phenobarbital, 6, 37, 62, 92, 106
Phenytoin, 6, 92, 106

109

Anda mungkin juga menyukai