Anda di halaman 1dari 41

PENUNTUN PRAKTIKUM

FARMAKOKINETIKA KLINIK DAN MONITORING TERAPI OBAT

FAKULTAS FARMASI USU

TIM PENYUSUN

STAFF DAN ASISTEN LABORATORIUM

DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI FARMASI

LABORATORIUM FARMAKOKINETIKA KLINIK DAN

MONITORING TERAPI OBAT

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019
LABORATORIUM FARMAKOKINETIKA KLINIK DAN MONITORING TERAPI
OBAT
DEPARTEMEN FARMAKOLOGI FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pas Foto
3x4

BIODATA MAHASISWA

NAMA :

NIM :

KELOMPOK :

PROGRAM :

FAKULTAS :

UNIVERSITAS :

i
STAF LABORATORIUM FARMAKOKINETIKA KLINIK DAN MONITORING
TERAPI OBAT
FAKULTAS FARMASI USU

Kepala Laboratorium : Embun Suci Nasution, S.Si., M. Farm. Klin., Apt.

Staf Laboratorium : Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.


Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt.
Prof. Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Apt.
Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt.
Drs. Rasmadin Muchtar., M.S., Apt.
Poppy Anjelisa Z. Hasibuan, S.Si., M.Si., Apt.
Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Apt.
Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., Apt.
Dr. Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt.
Yuandani, S.Farm., M.Si., Apt.
Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt.

Asisten : Trya Nur Indah, S.Farm


Dhea Nurfadillah, S.Farm
Zainul Fuad Nurhadi
Cindi Indriyani
Joule De Ceva Magribi
Kurnia Lavinda Yusfa
Sigit Duiharianto
Desy Ariyanti Panjaitan
Chrystal Jennifer Grundling
Ulva Khairani Ritonga
Nurnasuha Binti Zainal Abidin

ii
PERATURAN LABORATORIUM

1. Syarat mengikuti praktikum adalah sebagai berikut:


- Mahasiswa yang sedang mengikuti kuliah farmakokinetika klinik dan Monitoring Terapi
Obat
- Mahasiswa telah mengisi kartu rencana studi untuk mengikuti praktikum
farmakokinetika klinik dan Monitoring Terapi Obat
- Melampirkan salinan kartu rencana studi : 1 lembar
- Pas foto berwarna ukuran 3x4 : 2 lembar
2. Praktikum dimulai pukul 13.30 WIB pada hari pertama dan pukul 07.30 pada hari kedua.
Praktikan harus hadir tepat waktu.
3. Selama praktikum berlangsung, praktikan wajib memakai jas praktikum, sarung tangan,
masker, badge nama dan diwajibkan mengikuti tata cara berpakaian Fakultas Farmasi USU.
4. Setiap kelompok bertanggung jawab atas kebersihan meja dan alat-alat paktikum serta
mengembalikan peralatan dalam keadaan bersih.
5. Data praktikum dinyatakan sah apabila telah ditandatangani oleh asisten yang bertugas.
6. Laporan praktikum dibuat tertulis dan diserahkan satu hari sebelum praktikum selanjutnya.
7. Apabila dalam laboratorium terjadi keadaan yang berbahaya, praktikan harus segera
melapor pada dosen/asisten yang bertugas, dan bila dalam praktikum menemui kesulitan
atau kesukaran mintalah petunjuk dosen/asisten yang bertugas.
8. Praktikan yang berhalangan hadir harus memberikan keterangan tertulis atau surat
keterangan dokter apabila sakit.
9. Praktikan yang tidak mengikuti praktikum diwajibkan melakukan kegiatan praktikum di
hari lainnya.

iii
DAFTAR ISI

Biodata Mahasiswa .................................................................................................................... i


Staf Laboratorium Farmakokinetika Klinik dan Monitoring Terapi Obat ............................... ii
Peraturan Laboratorium ............................................................................................................ iii
Daftar Isi ................................................................................................................................... iv

Bab I Penetapan Parameter Farmakokinetika Sulfametoksazol Setelah


Pemberian Dosis Tunggal Per Oral Menggunakan Data Darah .............. 1
Bab II Penetapan Parameter Farmakokinetika Parasetamol Setelah Pemberian
Dosis Tunggal Per Oral Menggunakan Data Darah ............................. 12
Bab III Penentuan Kadar Asam Salisilat Dalam Darah
.....................................................................................................................
21 .................................................................................................................
Bab IV Profil Farmakokinetika Sulfametoksazol Pada Kondisi Gagal Ginjal
.....................................................................................................................
27 .................................................................................................................
Bab V Profil Farmakokinetika Sulfametoksazol Pada Kondisi Gagal Hati
.....................................................................................................................
34 .................................................................................................................

iv
PERCOBAAN I

PENETEPAN PARAMETER FARMAKOKINETIKA PARASETAMOL


SETELAH PEMBERIAN
DOSIS TUNGGAL PER ORAL MENGGUNAKAN DATA DARAH

I. Tujuan
Agar mahasiswa mampu menetapkan dan menghitung parameter
farmakokinetika parasetamol setelah pemberian dosis tunggal per oral berdasarkan
data kadar parasetamol dalam plasma lawan waktu.

I. Tinjauan Pustaka
Seperti telah diketahui bahwa parameter farmakokinetika adalah besaran
yang diturunkan secara matematis dari model berdasar hasil pengukuran kadar obat
utuh dan atau metabolitnya di dalam darah, urin, atau cairan hayati lainnya. Mengapa
demikian?, di samping tempat yang paling cepat dicapai oleh obat, darah juga
merupakan tempat yang paling logis bagi penetapan kadar obat dalam badan. Dalam
praktek, uji dengan data darah paling banyak dipergunakan. Karena darahlah yang
mengambil obat dari tempat absorpsi, menyebarkannya ke tempat distribusi / aksi.
Serta membuangnya ke organ eliminasi.
Kegunaan menetapkan parameter farmakokinetika suatu obat adalah untuk
mengkaji kinetika absorpsi, distribusi, dan eliminasinya di dalam badan. Di mana
hasil kajian ini, di antaranya memiliki arti penting dalam penetapan aturan dosis.
Parameter farmakokinetika yang dapat dipergunakan untuk mengkaji kinetika
absorpsi suatu obat diantaranya adalah konstanta kecepatan absorpsi (ka), luas daerah
di bawah kurva (AUC), dan fraksi obat yang diabsorpsi(bioavaibilitas/F). Sedang
untuk kinetika distribusi adalah volume distribusi (Vd atau VdSS). Dan untuk kinetika
eliminasi adalah klirens total (ClT), konstanta kecepatan eliminasi (Kel atau β) dan
waktu paruh eliminasi (t1/2).
Cara perhitungan parameter farmakokinetika tersebut, dapat dikerjakan
seperti pada Tabel I dan II, setelah diperoleh data kadar obat di dalam darah / plasma
1
lawan waktu. Terlihat pada kedua tabel tersebut, bahwa untuk menghitung parameter
farmakokinetika setelah pemberian oral (Vd dan CLT), diperlukan parameter F
(fraksi obat yang diabsorpsi=bioavaibilitas). Paramter F ini diperoleh dengan
membandingkan nilai AUC pemberian oral dengan nilai AUC pemberian intravena.
Dengan perkataan lain data intravena juga diperlukan untuk menghitung parameter
farmakokinetika obat setelah pemberian oral.
Dengan kertas grafik semilogaritmik, kita dapat memplotkan data kadar obat
lawan waktu. Dari data gambar kadar obat lawan waktu dapat ditetapkan parameter-
parameter farmakokinetika.

1. intravena 2. per oral


Cp0 Cp0 = A = B

Kel Kel
2,303 2,303
ka
2,303
numerik t numerik t
Gambar 1. Kinetika obat model satu kompartemen terbuka

1. intravena 2. per oral

B
β
β
2,303
2,303
α ka α
2,303 2,303
2,303
numerik t numerik t
Gambar 2. Kinetika obat model dua kompartemen terbuka

2
Tabel 1. Perhitungan parameter farmakokinetika obat model satu
kompartemen terbuka
Perhitungan
Kinetika Parameter Satuan
Intravena Oral

Absorpsi ka - Residual menit-1


AUC0 → ∞ Trapezoidal Trapezoidal ( mg x ml-1 ) menit

F - AUC p.o. -
AUC i.v.

Distribusi Vd D DxF
ml
Cp0 Cp0

Eliminasi CLT D DxF


ml x menit-1
AUC0 → ∞ AUC0 → ∞

Kel Residual Residual menit-1

t1/2 0,693 0,693


menit
Kel Kel

3
Tabel 2. Perhitungan parameter farmakokinetika obat model dua
kompartemen terbuka

Perhitungan
Kinetika Parameter Satuan
Intravena Oral

Absorpsi ka - Residual menit-1

AUC0 → ∞ B A M L N ( mg x ml-1 ) menit


+ + -
β α β α ka

fa - AUC p.o. -
AUC i.v.

Distribusi α Residual Residual menit-1

k21 Axβ + Bxα Lxβ + Mxα menit-1


A + B L + M

k12 α + β – k21 - Kel α + β – k21 - Kel menit-1

D DxF
Vc ml
A+B M+L

k12 + k21 k12 + k21


VdSS x Vc x Vc ml
k21 k21

D DxF
Eliminasi CLT ml x menit-1
0→∞ 0→∞
AUC AUC

β Residual Residual menit-1

t1/2β 0,693 0,693


menit
β β

Kel α x β α x β
menit-1
k21 k21

4
Parameter farmakokinetika suatu obat diperoleh dari hasil pengukuran kadar
obat tak berubah atau metabolitnya di dalam cairan tubuh (darah, urin, saliva atau
cairan lainnya). Oleh karena itu, pemahaman terhadap langkah-langkah analisis obat
dalam cairan tubuh merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian
farmakokinetika. Termasuk dalam langkah-langkah tersebut meliputi:
1. mencari jangka waktu larutan obat memiliki resapan tetap,
2. mencari panjang gelombang larutan obat dengan resapan terbesar,
3. membuat kurva baku eksternal / internal.
4. mencari harga perolehan kembali (ketelitian metode)
5. mencari koefisien variansi (ketepatan metode)

Untuk memberikan efek biologis, obat dalam bentuk aktifnya harus


berinteraksi dengan reseptor atau tempat aksi atau sel target, dengan kadar yang
cukup tinggi. Sebelum mencapai reseptor, obat terlebih dahulu harus melalui proses
farmakokinetik. Fasa farmakokinetik meliputi proses fasa II dan fasa III. Fasa II
adalah proses absorpsi molekul obat yang menghasilkan ketersediaan biologis obat,
yaitu senyawa aktif dalam cairan darah yang akan didistribusikan kejaringan atau
organ tubuh. Fasa III adalah fasa yang melibatkan proses distribusi, metabolisme dan
ekskresi obat, yang menentukan kadar senyawa aktif pada kompartemen tempat
reseptor berada.
Faktor – faktor penentu dalam proses farmakokinetik adalah :
1. Sistem kompartemen dalam cairan tubuh, seperti : cairan intrasel, ekstrasel
(plasma darah, cairan interstitial, cairan cerebrospinal) dan berbagai fasa lipofil
dalam tubuh.
2. Protein plasma, protein jaringan dan berbagai senyawa biologis yang mungkin
dapat mengikat obat.
3. Distribusi obat dalam berbagai sistem kompartemen biologis, terutama
hubungan waktu dan kadar obat dalam berbagai sistem tersebut, yang sangat
menentukan kinetika obat.
4. Dosis sediaan obat, transport antar kompartemen seperti proses absorpsi,
bioaktivasi, biodegradasi dan ekskresi yang menentukan lama obat dalam
tubuh (Siswandono, 1998).
5
Karena konsentrasi obat adalah elemen penting untuk menentukan
farmakokinetika suatu individu maupun populasi, konsentrasi obat diukur dalam
sample biologi seperti air susu, saliva, plasma dan urine. Sensitivitas, akurasi, dan
presisi dari metode analisis harus ada untuk pengukuran secara langsung obat dalam
matriks biologis. Untuk itu metode penetapan kadar secara umum perlu divalidasi
sehingga informasi yang akurat didapatkan untuk monitoring farmakokinetik dan
klinik (Shargel, 1999).
Pengukuran konsentrasi obat di darah, serum, atau plasma adalah pendekatan
secara langsung yang paling baik untuk menilai farmakokinetik obat di tubuh. Darah
mengandung elemen seluler mencakup sel darah merah, sel darah putih, keping
darah, dan protein seperti albumin dan globulin. Pada umumnya serum atau plasma
digunakan untuk pengukuran obat. Untuk mendapatkan serum, darah dibekukan dan
serum diambil dari supernatan setelah disentrifugasi. Plasma diperoleh dari
supernatan darah yang disentrifugasi dengan ditambahkan antikoagulan seperti
heparin. Oleh karena itu serum dan plasma tidak sama. Plasma mengalir keseluruh
jaringan tubuh termasuk semua elemen seluler dari darah. Dengan berasumsi bahwa
obat di plasma dalam kesetimbangan equilibrium dengan jaringan, perubahan
konsentrasi obat akan merefleksikan perubahan konsentrasi perubahan konsentrasi
obat di jaringan (Shergel, 1999).
Dalam sebuah analisis obat dalam cairan hayati, ada hal - hal penting dalam
farmakokinetika yang digunakan sebagai parameter – parameter, antara lain yaitu :
Tetapan (laju) invasi atau tetapan absorpsi. Volume distribusi yang menghubungkan
jumlah obat di dalam tubuh dengan konsentrasi obat ( C ) di dalam darah atau
plasma. Ikatan protein. Laju eliminasi dan waktu paruh dalam plasma (t1/2).
Bersihan (Cleareance) renal, ekstrarenal dan total. Luas di bawah kurva dalam
plasma (AUC), dan Ketersediaan hayati.
Dalam penetapan kadar obat dalam darah (cairan tubuh), metode yang
digunakan harus tepat, dan dalam pengerjaannya diperlukan suatu ketelitian yang
cukup tinggi agar diperoleh hasil yang akurat. Sehingga nantinya dapat menghindari
kesalahan yang fatal. Dalam analisis ini, kesalahan hasil tidak boleh lebih dari 10%
(tergantung pula alat apa yang digunakan dalam analisis) (Ritschel, 1976).
Cepat, simpel, dan sensitive telah membuat spektrofotometer UV-VIS menjadi suatu
6
metode analisis farmasetika yang sangat popular untuk pengukuran secara kuantitatif
obat dan metabolit dalam sampel biologi. Salah satu alasan penting atas
kepopulerannya adalah karena sensitivitas dari metode ini.
Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna.
Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu 1/2 jam dan masa paruh
plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersbar ke sluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25 %
parasetamol terikat protein plasma. Parasetamol digunakan sebagai analgesik dan
antipiretik (Anonim,1995).
Parasetamol sejumlah 10-15 gram dapat menyebabkan nekrosis hepatoseluler
berat dan kadang-kadang nekrosis tubuli ginjal. Kadar dalam darah antara 4-10 jam
setelah minum obat, yang mencapai 300 µg/ml dapat menyebabkan kerusakan hati
(Wenas, 1999).

II. Alat Dan Bahan


2.1 Bahan yang digunakan
 Bahan obat parasetamol
 Asam triklorasetat (TCA) 20%
 Natrium nitrit 10 %
 Asam sulfamat 15 %
 NaOH 10 %
 HCl 6 N

2.2 Alat yang digunakan


1. Skalpel 6. Labu takar 10 ml dan 100 ml
2. Vortex 7. Stop Watch
3. Tabung reaksi 8. Sentrifuge
4. Kuvet 9. Spektrofotometer
5. Pipet volume 0,1 ml, 0,2 ml, 1,0 ml, 2,0 ml.

7
III. Pelaksanaan Praktikum
3.1 Pembuatan Larutan Induk Baku (LIB)
Parasetamol ditimbang seksama 1000 mg, dilarutkan dalam air panas dan
diencerkan sampai 100 ml. (10000 ppm)

3.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi Untuk Penetapan Kadar Parasetamol


3.2.1 Penentuan Panjang Gelombang Absorbsi Maksimum Parasetamol
Penentuan kurva absorbsi Parasetamol dilakukan dengan cara memipet 0,1 ml
LIB kedalam tabung reaksi 5 ml. Lalu ditambahkan dengan darah segar 1 ml, 2,9
ml aquades dan 1 ml TCA 20%. Semua campuran di homogenkan dengan alat vortex
selama 3 menit kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit.
Setelah disentrifuge, seluruh supernatan diambil dan dimasukkan dalam labu
tentukur 10 ml. Kedalam labu tentukur ditambahkan 0,5 ml HCl 6 N dan 1 ml
NaNO2 10%, campur baik-baik dan diamkan 15 menit. Selanjutnya dengan hati-hati
ditambahkan 1 ml ammonium sulfamat 15% melalui dinding labu diikuti
penambahan 3,5 ml NaOH 10% dan aquades sampai 10 ml. Diamkan 5 menit lalu
absorbsi diukur dengan menggunakan panjang gelombang 400 nm sampai 800 nm.
3.2.2 Penentuan Operating Time
Penentuan Operating Time Parasetamol dilakukan dengan cara memipet 0,1
ml LIB kedalam tabung reaksi 5 ml. Lalu ditambahkan dengan darah segar 1 ml,
2,9 ml aquades dan 1 ml TCA 20%. Semua campuran di homogenkan dengan alat
vortex selama 3 menit kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 5
menit.
Setelah disentrifuge, seluruh supernatan diambil dan dimasukkan dalam labu
tentukur 10 ml. Kedalam labu tentukur ditambahkan 0,5 ml HCl 6 N dan 1 ml
NaNO2 10%, campur baik-baik dan diamkan 15 menit. Selanjutnya dengan hati-hati
ditambahkan 1 ml ammonium sulfamat 15% melalui dinding labu diikuti
penambahan 3,5 ml NaOH 10% dan aquades sampai 10 ml. Diamkan 5 menit lalu
absorbsi diukur dengan menggunakan panjang gelombang maksimum yang didapat
setiap 1 menit selama 30 menit.

8
3.2.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Parasetamol
Pembuatan kurva kalibrasi Parasetamol dilakukan dengan cara membuat satu
seri larutan Parasetamol dengan mempipet LIB sebanyak 0,1 ml, 0,2 ml, 0,3 ml, 0,4
ml, 0,5 ml, masing-masing ditambah darah segar 1 ml, kemudian ditambahkan
aquades 2,9, 2,8, 2,7, 2,6, dan 2,5 ml berturut-turut sesuai dengan banyaknya LIB
yang dipipet dan 1 ml TCA 20%. Semua campuran di homogenkan selama 5 menit
kemudian di sentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit.
Setelah disentrifuge, seluruh supernatan diambil dan dimasukkan dalam labu
tentukur 10 ml. Kedalam labu tentukur ditambahkan 0,5 ml HCl 6 N dan 1 ml
NaNO2 10%, campur baik-baik dan diamkan 15 menit. Selanjutnya dengan hati-hati
ditambahkan 1 ml ammonium sulfamat 15% melalui dinding labu diikuti
penambahan 3,5 ml NaOH 10% dan aquades sampai 10 ml. Diamkan 5 menit lalu
diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh pada
kurva absorpsi dan pada waktu operating time.

3.3 Pemberian Obat dan Pengambilan Darah pada Kelompok Percobaan


Percobaan dibagi dalam 2 kelompok, kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan. Pada kelompok pertama (kelompok kontrol), tidak diberi Parasetamol.
Kelompok kedua, (kelompok perlakuan), diberi Parasetamol secara oral dengan dosis
tunggal 1000 mg, Lalu darah disampling, melalui pembuluh darah vena pada menit
ke 5, 10, 15, 30, 45, 60, 90, 120, dan 150 sebanyak 1 ml.

3.4 Analisis Parasetamol dari Cuplikan Darah


Satu ml cuplikan darah ditambahkan 3 ml aquades dan 1 ml TCA 20%,
kemudian di homogenkan dengan selama 5 menit dan diikuti dengan sentrifuge 5
menit dengan kecepatan 2500 rpm.
Setelah disentrifuge, seluruh supernatan diambil dan dimasukkan dalam labu
tentukur 10 ml. Kedalam labu tentukur ditambahkan 0,5 ml HCl 6 N dan 1 ml
NaNO2 10%, campur baik-baik dan diamkan 15 menit. Selanjutnya dengan hati-hati
ditambahkan 1 ml ammonium sulfamat 15% melalui dinding labu diikuti
penambahan 3,5 ml NaOH 10% dan aquades sampai 10 ml. Diamkan 5 menit lalu

9
diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh pada
kurva absorpsi dan pada waktu operating time.
3.4.1 Berdasarkan Kurva Log. Kadar vs Waktu, tentukan :
a. Model farmakokinetika Parasetamol
b. Tetapkan parameter farmakokinetika sesuai dengan model
farmakokinetika yang didapat seperti pada Tabel 1 atau 2.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, ed. IV, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia , Jakarta
Ritschel, W. A, 1976, Handbook of Basic Pharmacokinetics, 1st edition, hal 78, Drug
Inteligence Publication Inc. Hamillton, USA.
Siswandono, Bambang Soekardjo, 1998, Prinsip-Prinsip Rancangan
Obat, hal 85, Airlangga University Press, Surabaya
Shargel, L., Yu, B.C. Andrew., 1999, Applied Biopharmaceutics &
Pharmacokinetics, edisi 4, hal 30-32, Appleton & Lange, USA
Wenas, 1999, Kelainan Hati Akibat Obat, Buku Ajar Penyakit Dalam, jilid 1, edisi 3,
363-369, Gaya Baru, Jakarta

10
DATA PERCOBAAN

11
12
13
PERCOBAAN II
PENENTUAN KADAR ASAM SALISILAT DALAM DARAH

I. Tujuan.
Untuk menentukan kadar asetosal dalam darah.

II. Tinjauan Pustaka.


Asetosal merupakan ester salisilat dari asam. Berbentuk kristal putih seperti
batang/jarum, berbau. Sedikit larut dalam air, sangat larut dalam alkohol. pKa : 3,5.
Aspirin bekerja dengan mengasetilasi enzim prostaglandin H2 endoperoxide
synthase (PGHS) & menghambat kerja enzim COX secara permanen. COX-1
umumnya ada di semua sel termasuk platelet. Aspirin relatif selektif menghambat
COX-1 & sedikit COX-2. PGH2 dalam platelet & endotel vaskular memproduksi
tromboxan A2 (bertanggung jawab dalam agregasi platelet dan vasokonstriksi) &
prostacyclin (bertanggung jawab dalam menghambat agregasi platelet &
vasodilatasi) sehingga dosis sangat bervariasi. Efek pada darah : Menghambat fase
kedua agregasi platelet & mencegah pelepasan adenosin diphospate (ADP) dari
platelet & faktor 4 platelet. Mekanisme sebagai antitrombotik adalah dengan
menghambat sintesa prostaglandin di vena. Aspirin dosis rendah dapat mencegah
trombosis dengan cara menghambat secara selektif sintesa PGHS & tromboxan A2.

III. Metodologi Percobaan.


3.1 Bahan
1. Asetosal
2. Heparin
3. Hg(Cl)2
4. HCl pekat
5. Fe(NO3)3.9H2O
6. Etanol 95%

14
3.2 Alat
1. Skalpel 6. Labu takar 10 ml dan 100 ml
2. Vortex 7. Stop Watch
3. Tabung reaksi 8. Sentrifuge
4. Kuvet 9. Spektrofotometer
5. Pipet volume 0,1 ml, 0,2 ml, 1,0 ml, 2,0 ml.
IV. Jalannya Praktikum
4.1 Pembuatan Larutan Induk Baku (LIB)
Asam Salisilat ditimbang seksama 1000 mg, dilarutkan dalam sedikit etanol
dan diencerkan sampai 100 ml dengan aquades. (10000 ppm)

4.2 Pembuatan Pereaksi Trinder


HgCl2 sebanyak 4 g, Fe(NO3)3.9H2O sebanyak 4 g dan HCl pekat sebanyak
12 ml dimasukkan kedalam labu tentukur 100 ml, lalu ditambahkan aquades sampai
batas tanda.

4.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Untuk Penetapan Kadar Asam Salisilat


4.3.1 Penentuan Panjang Gelombang Absorbsi Maksimum Asam Salisilat
Penentuan kurva absorbsi Asam Salisilat dilakukan dengan cara memipet 0,1
ml LIB kedalam tabung reaksi 5 ml. Lalu ditambahkan dengan 1 ml Heparin, darah
segar 1 ml dan 2,9 ml pereaksi Tinder. Semua campuran di homogenkan dengan alat
vortex selama 3 menit kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 5
menit.
Setelah disentrifuge, seluruh supernatan diambil dan dimasukkan dalam labu
tentukur 10 ml dan diencerkan dengan aquades sampai garis tanda. Absorbsi diukur
dengan menggunakan panjang gelombang 400 nm sampai 800 nm.
4.3.2 Penentuan Operating Time
Penentuan Operating Time Asam Salisilat dilakukan dengan cara memipet
0,1 ml LIB kedalam tabung reaksi 5 ml. Lalu ditambahkan dengan 1 ml Heparin,
darah segar 1 ml dan 2,9 ml pereaksi Tinder. Semua campuran di homogenkan
dengan alat vortex selama 3 menit kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2500
rpm selama 5 menit.

15
Setelah disentrifuge, seluruh supernatan diambil dan dimasukkan dalam labu
tentukur 10 ml dan diencerkan dengan aquades sampai garis tanda. Absorbsi diukur
dengan menggunakan panjang gelombang maksimum yang didapat setiap 1 menit
selama 30 menit.
4.3.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Asam Salisilat
Pembuatan kurva kalibrasi Asam Salisilat dilakukan dengan cara membuat
satu seri larutan Asam Salisilat dengan mempipet LIB sebanyak 0,1 ml, 0,2 ml, 0,3
ml, 0,4 ml, 0,5 ml, masing-masing ditambah dengan 1 ml Heparin, darah segar 1 ml,
kemudian ditambahkan pereaksi Tinder 2,9, 2,8, 2,7, 2,6, dan 2,5 ml berturut-turut
sesuai dengan banyaknya LIB yang dipipet. Semua campuran di homogenkan selama
5 menit kemudian di sentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit.
Setelah disentrifuge, seluruh supernatan diambil dan dimasukkan dalam labu
tentukur 10 ml dan diencerkan dengan aquades sampai garis tanda. Diukur
absorbansinya pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh pada kurva
absorpsi dan pada waktu operating time.

4.4 Pemberian Obat dan Pengambilan Darah pada Kelompok Percobaan


Percobaan dibagi dalam 2 kelompok, kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan. Pada kelompok pertama (kelompok kontrol), tidak diberi Asam Salisilat
(Aspirin). Kelompok kedua, (kelompok perlakuan), diberi Asam Salisilat (Aspirin)
secara oral dengan dosis tunggal 500 mg, Lalu darah disampling, melalui pembuluh
darah vena pada menit ke 5, 10, 15, 30, 45, 60, 90, 120, dan 150 sebanyak 1 ml.

4.5 Analisis Salisilat dari Cuplikan Darah


Satu ml cuplikan darah ditambah dengan 1 ml Heparin, kemudian
ditambahkan pereaksi Tinder 3 ml. Semua campuran di homogenkan selama 5 menit
kemudian di sentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit.
Setelah disentrifuge, seluruh supernatan diambil dan dimasukkan dalam labu
tentukur 10 ml dan diencerkan dengan aquades sampai garis tanda. Diukur
absorbansinya pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh pada kurva
absorpsi dan pada waktu operating time.

16
4.5.1 Berdasarkan Kurva Log. Kadar vs Waktu, tentukan :
c. Model farmakokinetika Asam Salisilat
d. Tetapkan parameter farmakokinetika sesuai dengan model
farmakokinetika yang didapat seperti pada Tabel 1 atau 2.
Hasil dan Pembahasan.
Dosis asetosal dalam darah ditentukan dengan rumus :

Kadar puncak yang didapat (µg/ml)


Dosis individu (mg) = Dosis lama (mg) x
Kadar puncak dosis lama (µg/ml)

DAFTAR PUSTAKA
Walson, P.D. 1998. Therapeutic Drug Monitoring in Special Population. Clin Chem.
44, 415-419.

17
DATA PERCOBAAN

18
19
PERCOBAAN III
PROFIL FARMAKOKINETIKA SULFAMETOKSAZOL
PADA KONDISI GAGAL GINJAL

I. Tujuan
Mempelajari profil farmakokinetika obat pada kondisi gagal ginjal dengan
menggunakan hewan percobaan yang mengalami gagal ginjal akut.

II. Tinjauan Pustaka


Ginjal merupakan salah satu organ vital tubuh yang berperan dalam proses
eliminasi (metabolisme dan ekskresi) suatu obat. Jika terjadi gangguan fungsi ginjal
maka akan mengakibatkan perubahan pada farmakokinetika obat tersebut karena
perubahan kadar obat dalam darah.
Fase farmakokinetika merupakan salah satu unsur penting yang menentukan
profil keberadaan zat aktif pada tingkat biofase dan selanjutnya menentukan aktifitas
terapeutik obat. Oleh karena itu, perubahan pada fase ini akan mengubah potensi
obat atau bahkan dapat menimbulkan efek toksik.
Gagal ginjal diklasifikasikan menjadi 2 yaitu kronik dan akut. Gagal ginjal
kronik merupakan perkembangan yang progresif dan lambat. Berlangsung beberapa
tahun. Gagal ginjal akut berkembang dalam beberapa hari atau beberapa minggu.
Gagal ginjal akut merupakan sindrom klinik akibat kerusakan metabolik atau
patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan kuat.

III. Alat dan Bahan


3.1 Alat
 Spektrofotometer
 Sentrifuge
 Vortex
 Neraca Analitik
 Polytube
 Stopwatch

20
 Alat-alat Gelas
3.2 Bahan
 Sulfametoksazol
 TCA
 NaNO2
 Ammonium Sulfamat
 N (1-naftil) etilendiamin
 Uranil Nitrat

IV. Jalannya Praktikum


4.1 Pembuatan Larutan Induk Baku (LIB)
Sulfametoksazol ditimbang seksama 1000 mg, dilarutkan dalam sedikit
NaOH 10% dan diencerkan dengan aquades sampai 100 ml. (10000 ppm)
4.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi Untuk Penetapan Kadar Sulfametoksazol
4.2.1 Penentuan Panjang Gelombang Absorbsi Maksimum Sulfametoksazol
Penentuan kurva absorbsi Sulfametoksazol dilakukan dengan cara memipet
0,1 ml LIB kedalam tabung reaksi 5 ml. Lalu ditambahkan dengan darah segar 1
ml, 2,9 ml aquades dan 1 ml TCA 20%. Semua campuran di homogenkan dengan
alat vortex selama 3 menit kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama
5 menit.
Setelah disentrifuge, seluruh supernatan diambil dan dimasukkan dalam labu
tentukur 10 ml. Kedalam labu tentukur ditambahkan 0,2 ml NaNO2 0,1%, campur
baik-baik dan diamkan 3 menit. Selanjutnya dengan hati-hati ditambahkan 0,2 ml
ammonium sulfamat 0,5% melalui dinding labu dan diamkan 2 menit, diikuti
penambahan 0,6 ml N (1-naftil) etilendiamin 0,1%, dan diamkan 5 menit di tempat
gelap lalu ditambahkan aquades sampai 10 ml lalu diamkan lagi selama 20 menit.
Absorbsi diukur dengan menggunakan panjang gelombang 400 nm sampai 800 nm.
4.2.2 Penentuan Operating Time
Penentuan operating time Sulfametoksazol dilakukan dengan cara memipet
0,1 ml LIB kedalam tabung reaksi 5 ml. Lalu ditambahkan dengan darah segar 1
ml, 2,9 ml aquades dan 1 ml TCA 20%. Semua campuran di homogenkan dengan

21
alat vortex selama 3 menit kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama
5 menit.
Setelah disentrifuge, seluruh supernatan diambil dan dimasukkan dalam labu
tentukur 10 ml. Kedalam labu tentukur ditambahkan 0,2 ml NaNO2 0,1%, campur
baik-baik dan diamkan 3 menit. Selanjutnya dengan hati-hati ditambahkan 0,2 ml
ammonium sulfamat 0,5% melalui dinding labu dan diamkan 2 menit, diikuti
penambahan 0,6 ml N (1-naftil) etilendiamin 0,1%, dan diamkan 5 menit di tempat
gelap lalu ditambahkan aquades sampai 10 ml dan diukur absorbansinya pada
panjang gelombang maksimum yang diperoleh pada kurva absorpsi setiap menit
selama 30 menit.
4.2.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Sulfametoksazol
Pembuatan kurva kalibrasi Sulfametoksazol dilakukan dengan cara membuat
satu seri larutan Sulfametoksazol dengan mempipet LIB sebanyak 0,1 ml, 0,2 ml,
0,3 ml, 0,4 ml, 0,5 ml, masing-masing ditambah darah segar 1 ml, kemudian
ditambahkan aquades 2,9, 2,8, 2,7, 2,6, dan 2,5 ml berturut-turut sesuai dengan
banyaknya LIB yang dipipet dan 1 ml TCA 20%. Semua campuran di homogenkan
selama 5 menit kemudian di sentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit.
Setelah disentrifuge, seluruh supernatan diambil dan dimasukkan dalam labu
tentukur 10 ml. Kedalam labu tentukur ditambahkan 0,2 ml NaNO2 0,1%, campur
baik-baik dan diamkan 3 menit. Selanjutnya dengan hati-hati ditambahkan 0,2 ml
ammonium sulfamat 0,5% melalui dinding labu dan diamkan 2 menit, diikuti
penambahan 0,6 ml N (1-naftil) etilendiamin 0,1%, dan diamkan 5 menit di tempat
gelap lalu ditambahkan aquades sampai 10 ml dan diukur absorbansinya pada
panjang gelombang maksimum yang diperoleh pada kurva absorpsi dan pada waktu
operating time.
4.2.4 Pemberian Obat dan Pengambilan Darah pada Hewan Percobaan
Percobaan dibagi dalam 2 kelompok, kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan. Sebelum perlakuan hewan dipuasakan (12-18 jam) terlebih dahulu. Pada
kelompok pertama (kelompok kontrol), hewan uji diberi Sulfametoksazol secara oral
dengan dosis 52 mg/kgBB. Kelompok kedua, (kelompok perlakuan), kepada hewan
uji diberi Sulfametoksazol secara oral dengan dosis yang sama, tetapi tiga hari
sebelumnya diberi praperlakuan uranil nitrat dengan dosis tunggal 2,6 mg/kgBB
22
secara injeksi intraperitonial EE4. Lalu darah disampling, melalui vena marginal
kelinci pada menit ke 5, 10, 15, 30, 45, 60, 90, 120, dan 150 sebanyak 1 ml.

4.3 Analisis Sulfametoksazol dari Cuplikan Darah


Satu ml cuplikan darah ditambahkan 3 ml aquades dan 1 ml TCA 20%,
kemudian di homogenkan dengan selama 5 menit dan diikuti dengan sentrifuge 5
menit dengan kecepatan 2500 rpm.
Setelah disentrifuge, seluruh supernatan diambil dan dimasukkan dalam labu
tentukur 10 ml. Kedalam labu tentukur ditambahkan 0,2 ml NaNO2 0,1%, campur
baik-baik dan diamkan 3 menit. Selanjutnya dengan hati-hati ditambahkan 0,2 ml
ammonium sulfamat 0,5% melalui dinding labu dan diamkan 2 menit, diikuti
penambahan 0,6 ml N (1-naftil) etilendiamin 0,1%, dan diamkan 5 menit di tempat
gelap lalu ditambahkan aquades sampai 10 ml dan diukur absorbansinya pada
panjang gelombang maksimum yang diperoleh pada kurva absorpsi dan pada waktu
operating time.
4.3.1 Berdasarkan Kurva Log. Kadar vs Waktu, tentukan :
e. Model farmakokinetika Sulfametoksazol,
f. Tetapkan parameter farmakokinetika sesuai dengan model
farmakokinetika yang didapat seperti pada Tabel 1 atau 2.
g.
DAFTAR PUSTAKA
Wahyono, Djoko, Rahman, Arief, dan Nugroho, Agung. (2007). Profil
Farmakokinetika Sulfasetamid pada Tikus Gagal Ginjal Karena Diinduksi
Uranil Nitrat. Majalah Farmasi Indonesia. 18(3) : 117-123.

23
DATA PERCOBAAN

24
25
26
PERCOBAAN IV
PROFIL FARMAKOKINETIKA SULFAMETOKSAZOL
PADA KONDISI GAGAL HATI

I. Tujuan
Mempelajari perubahan profil farmakokinetika obat pada kondisi gagal hati
dengan menggunakan hewan percobaan yang mengalami gagal hati akut.

II. Tinjauan Pustaka


Hati adalah organ tubuh utama dan mempunyai fungsi yang sangat kompleks,
sangat penting untuk mempertahankan hidup dan berperan untuk memetabolisme
berbagai senyawa dalam tubuh. Hati sering menjadi organ sasaran zat toksikan
karena sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal dan
setelah diserap toksikan dibawa oleh vena porta ke hati (first pass effect).
Gangguan pada fungsi hati akan mengakibatkan gangguan pada proses
metabolisme sehingga dapat mengubah farmakokinetika obat. Perubahan nilai
parameter farmakokinetika akan mengakibatkan perubahan aktivitas terapeutik obat.

III. Alat dan Bahan


3.5 Alat
 Spektrofotometer
 Sentrifuge
 Vortex
 Neraca Analitik
 Polytube
 Stopwatch
 Alat-alat Gelas
3.6 Bahan
 Sulfametoksazol
 TCA
 NaNO2

27
 Ammonium Sulfamat
 N (1-naftil) etilendiamin
 CCl4

IV. Jalannya Praktikum


4.1 Pembuatan Larutan Induk Baku (LIB)
Sulfametoksazol ditimbang seksama 1000 mg, dilarutkan dalam sedikit
NaOH 10% dan diencerkan dengan aquades sampai 100 ml. (10000 ppm)
4.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi Untuk Penetapan Kadar Sulfametoksazol
4.2.1 Penentuan Panjang Gelombang Absorbsi Maksimum Sulfametoksazol
Penentuan kurva absorbsi Sulfametoksazol dilakukan dengan cara memipet
0,1 ml LIB kedalam tabung reaksi 5 ml. Lalu ditambahkan dengan darah segar 1
ml, 2,9 ml aquades dan 1 ml TCA 20%. Semua campuran di homogenkan dengan
alat vortex selama 3 menit kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama
5 menit.
Setelah disentrifuge, seluruh supernatan diambil dan dimasukkan dalam labu
tentukur 10 ml. Kedalam labu tentukur ditambahkan 0,2 ml NaNO2 0,1%, campur
baik-baik dan diamkan 3 menit. Selanjutnya dengan hati-hati ditambahkan 0,2 ml
ammonium sulfamat 0,5% melalui dinding labu dan diamkan 2 menit, diikuti
penambahan 0,6 ml N (1-naftil) etilendiamin 0,1%, dan diamkan 5 menit di tempat
gelap lalu ditambahkan aquades sampai 10 ml lalu diamkan lagi selama 20 menit.
Absorbsi diukur dengan menggunakan panjang gelombang 400 nm sampai 800 nm.
4.2.2 Penentuan Operating Time
Penentuan operating time Sulfametoksazol dilakukan dengan cara memipet
0,1 ml LIB kedalam tabung reaksi 5 ml. Lalu ditambahkan dengan darah segar 1
ml, 2,9 ml aquades dan 1 ml TCA 20%. Semua campuran di homogenkan dengan
alat vortex selama 3 menit kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama
5 menit.
Setelah disentrifuge, seluruh supernatan diambil dan dimasukkan dalam labu
tentukur 10 ml. Kedalam labu tentukur ditambahkan 0,2 ml NaNO2 0,1%, campur
baik-baik dan diamkan 3 menit. Selanjutnya dengan hati-hati ditambahkan 0,2 ml
ammonium sulfamat 0,5% melalui dinding labu dan diamkan 2 menit, diikuti
28
penambahan 0,6 ml N (1-naftil) etilendiamin 0,1%, dan diamkan 5 menit di tempat
gelap lalu ditambahkan aquades sampai 10 ml dan diukur absorbansinya pada
panjang gelombang maksimum yang diperoleh pada kurva absorpsi setiap menit
selama 30 menit.
4.2.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Sulfametoksazol
Pembuatan kurva kalibrasi Sulfametoksazol dilakukan dengan cara membuat
satu seri larutan Sulfametoksazol dengan mempipet LIB sebanyak 0,1 ml, 0,2 ml,
0,3 ml, 0,4 ml, 0,5 ml, masing-masing ditambah darah segar 1 ml, kemudian
ditambahkan aquades 2,9, 2,8, 2,7, 2,6, dan 2,5 ml berturut-turut sesuai dengan
banyaknya LIB yang dipipet dan 1 ml TCA 20%. Semua campuran di homogenkan
selama 5 menit kemudian di sentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit.
Setelah disentrifuge, seluruh supernatan diambil dan dimasukkan dalam labu
tentukur 10 ml. Kedalam labu tentukur ditambahkan 0,2 ml NaNO2 0,1%, campur
baik-baik dan diamkan 3 menit. Selanjutnya dengan hati-hati ditambahkan 0,2 ml
ammonium sulfamat 0,5% melalui dinding labu dan diamkan 2 menit, diikuti
penambahan 0,6 ml N (1-naftil) etilendiamin 0,1%, dan diamkan 5 menit di tempat
gelap lalu ditambahkan aquades sampai 10 ml dan diukur absorbansinya pada
panjang gelombang maksimum yang diperoleh pada kurva absorpsi dan pada waktu
operating time.
4.2.4 Pemberian Obat dan Pengambilan Darah pada Hewan Percobaan
Percobaan dibagi dalam 2 kelompok, kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan. Sebelum perlakuan hewan dipuasakan (12-18 jam) terlebih dahulu. Pada
kelompok kontrol, hewan uji diberi Sulfametoksazol secara oral dengan dosis 52
mg/kgBB. Kelompok perlakuan, kepada hewan uji diberi Sulfametoksazol secara
oral dengan dosis yang sama, tetapi tiga hari sebelumnya diberi praperlakuan CCL 4
dengan dosis tunggal 0,52 mg/kgBB secara injeksi intraperitonial. Lalu darah
disampling, melalui vena marginal kelinci pada menit ke 5, 10, 15, 30, 45, 60, 90,
120, dan 150 sebanyak 1 ml.

29
4.3 Analisis Sulfametoksazol dari Cuplikan Darah
Satu ml cuplikan darah ditambahkan 3 ml aquades dan 1 ml TCA 20%,
kemudian dihomogenkan selama 5 menit, dan disentrifuge 5 menit dengan kecepatan
2500 rpm.
Setelah disentrifuge, seluruh supernatan diambil dan dimasukkan ke dalam
labu tentukur 10 ml. Kedalam labu tentukur ditambahkan 0,2 ml NaNO2 0,1%,
campur baik-baik dan diamkan 3 menit. Selanjutnya dengan hati-hati ditambahkan
0,2 ml ammonium sulfamat 0,5% melalui dinding labu dan diamkan 2 menit, diikuti
penambahan 0,6 ml N (1-naftil) etilendiamin 0,1%, dan diamkan 5 menit di tempat
gelap lalu ditambahkan aquades sampai 10 ml dan diukur absorbansinya pada
panjang gelombang maksimum yang diperoleh pada kurva absorpsi dan pada waktu
operating time.

4.3.1 Berdasarkan Kurva Log. Kadar vs Waktu, tentukan :


h. Model farmakokinetika Sulfametoksazol,
i. Tetapkan parameter farmakokinetika sesuai dengan model
farmakokinetika yang didapat seperti pada Tabel 1 atau 2.
j. Bandingkan nilai parameter farmakokinetika pada hewan yang
diinduksi CCL4 dengan hewan yang tidak diinduksi

DAFTAR PUSTAKA
Ganda, Ruqiah, handharyani, Ekowati, Chairul, Masriani, Zakiah, Zulfah, dan
Manalu, Wasmen. (2007). Pengaruh Pemberian Karbon Tetraklorida
Terhadap Fungsi Hati dan Ginjal Tikus. Makara, Kesehatan. 11(1) : 11-16.

30
DATA PERCOBAAN

31
PERCOBAAN V
THERAPEUTIC DRUG MONITORING ( TDM ) CIPROFLOXACIN

TDM telah menjadi suatu pelayanan yg essential untuk kondisi pasien krinis kritis
di rumah sakit. Hal ini bukan hanya krn akibat pesatnya perkembangan
Pharmacology, Analytical chemistry dan Clinical medicine, ttp juga sbg akibat
munculnya obat yg memerlukan monitoring rutin agar dicapai efek terapi optimal.
Terapi Optimal yaitu kondisi dimana efek pengobatan maksimal,efek toksik dan efek
samping diminimalkan.
TDM perlu dilaksanakan untuk obat dgn kriteria sbb :
1. Hubungan dosis dgn response sulit diperkirakan
2. Tidak mempunyai titik akhir klinis yg jelas
3. Rentang terapi jelas
4. Rentang terapi sempit
TDM melibatkan pengukuran serum drug concentration ( SDC ) dan clinical
pharmacokinetics. Berbagai golongan obat mempunyai hubungan ( korelasi ) yg
baik dgn respons farmakologi.
Commonly Monitored Drugs
1. Antibiotics :
Aminoglycosides
Immunusuppressive agents ( cyclosporine )
Chloramphenicol
Vancomycin
Other antiinfective agents
2. Bronchdilator: Theophylline
3. Analgesic, Antipyretic, Antiinflammatory Agents
4. Antiepileptics : phenobarbital, phenytoin etc.
5. Antineoplastics
6. Cardiac Agents : antiarhytmics ( lidocain, propranolol etc.)
cardiac glycosides ( digitoxin, digoxin )
7. Psychoactive agents
Tricyclic Antideppressants :amitriptyline, imipramine etc
32
PELAKSANAAN TDM
1. Physician ( dokter ) :
Mendiagnosa penyakit
Memilih obat,dosis dan interval
Memonitor respon klinik
2. Clinical Pharmacist ( apoteker ) :
Mengkordinasikan wkt pengambilan sampel yg sesuai
Interpretasi hasil SDC
Berkordinasi dgn dokter utk menentukan dosis yg tepat
Membantu monitoring respon klinik
3. Nurse ( perawat ) :
Memberikan dan mendokumentasikan obat yg diberikan.
Memonitor respon klinik.
4. Laboratory personnel :
Mencatat wkt pengambilan specimen pemberian dosis dan rute
Memberikan hasil SDC.
Membatu interpretasi hasil SDC.

Monitoring Kadar Obat dalam Serum


• Sebelum melakukan monitoring kadar obat dalam serum, kesesuaian regimen
dievaluasi dengan memonitoring efek terapi atau efek menguntungkan dari
obat sekaligus mengobservasi kemungkinan terjadinya efek merugikan atau
efek toksik pada pasien.
• Monitoring kadar obat dalam darah sudah lazim digunakan sebagai
intermediate endpoint dalam terapi untuk memepertahankan efek pterapi dan
mencegah efek toksik.
• TDM sesuai untuk obat yang mempunyai indeks terapeutik sempit dan
parameter farmakokinetika yang bervariasi antarindividu.

33
Tujuan Percobaan:
Menggunakan kadar obat dalam darah untuk membantu mempertahankan efek terapi
pada pasien untuk mengoptimalkan efek terapi, meminimalkan efek samping dan
meniadakan efek toksik.
Variabel-variabel yang harus dipertimbangkan untuk mengevaluasi hubungan
parameter farmakokinetika/konsentrasi dengan respons
 Harapan dalam terapi, well controlled trials?
• Pertimbangan kondisi pasein: usia, berat badan, obesitas, jenis dan berat-
ringannya penyakit. age, weight/degree of obesity, type and severity of
illness.
• Keberadaan penyakit lain
• Penggunaan obat bersamaan
• Akurasi dan presisi pengukuran efek
• Akurasi dan presisi pengukuran kadar obat
Variabilitas/keanekaragaman paien dapat terjadi secara:
1. Farmakokinetika obat (hubungan dosis dan konsentrasi obat)
2. Farmakodinamika (hubungan konsentrasi dan efek obat)

TAHAPAN PELAKSANAAN TDM


1. Tentukan kondisi klinis pasien
2. Tentukan jika ada obat lain/penyakit pasien yang akan merubah
farmakokinetika dan farmakodinamika obat.
3. Perkirakan nilai parameter farmakonetika yang paling mendekati untuk
pasien (V, Cl, k, t1/2. fu) berdasarkan kondisi klinis pasien.
4. Tentukan rute pemberian obat.
5. Pilih konsentrasi yang direncanakan
5.1. IV BOLUS AND INFUS
5.1.1. Hitung dosis muatan: LD = V x Css
5.1.2. Hitung dosis pertahanan : MD = Cl x Css
5.2. IV and EXTRAVASCULAR MULTIPLE DOSES :
5.2.1. Tentukan frekuensi pemberian obat untuk mencapai konsentrasi yang
direncanakan diatas.
D 34. Cav
Cl

 F
5.2.2. Tentukan interval pemberian maksimum berdasarkanMEC and Cmax

C max
‫ז‬max =1.44 t1/2 . ln
C min

5.2.3. Pilih salah satu interval ‫ ז‬berikut: 6, 8, 12 atau 24 jam (khususnya


untuk peroral)
5.2.4. Kalikan nilai yang diperoleh pada point 5.2.1 dan 5.2.2
5.2.5. Pemberian regimen yang telah dihitung kepada pasien oleh dokter
5.2.6. Monitor repons pasien terhadap regimen terapi
5.2.7. Ukur kadar obat dalam darah pada waktu yang tepat
5.2.8. Tentukan apakah diperlukan penyesuain dosis berdasarkan repons
pasien atau tanda-tanda toksisitas/overdosis.
5.2.9. Gunakan kadar obat dalam darah untuk melakukan penyesuaian dosis
yang baru.
5.2.10. Pantau kembali respon terapi

PENGAMBILAN SAMPEL DARAH


Waktu pengambilan sampel tergantung kepada rute pemberian dan farmakokinetik
obat.
1. Rute IV : konsentrasi maksimum cepat dicapai
pengambilan sampelbiasanya dilakukan 20 s/d 30 menit
setelah obat diberikan, untuk antibiotika gol. Aminoglikosida
sampel diambil 30 menit setelah obat diberikan.
2. Rute i.m : Konsentrasi maksimum dicapai biasanya 30- 60 menit
Setelah obat diinjeksikan.
3. Rute per oral: Kecepatan per oral bervariasi, tergantung kpd banyak faktor
spt tlh diuraikan terlebih dahulu.Biasanya pengambilan sam
pel dilakukan pada tmax obat ybs.
4. Rute infus : Pengambilan sampel biasanya dilakukan bbrp saat sebelum
atau sesudah dicapai Css ( Css dicapai dlm waktu 3,3 t1/2 ).
35
SOAL/KASUS

Seorang pasien ( AG ), laki-laki, 46 thn menderita GGK . Nilai Creatinine 0,5 mg/dl,
nilai creatinine normal adalah 0,7 – 1,4 mg/dl. Mula-mula pasien diberi Seftriaxone
inj ( vial 1 gram/12 jam ) selama 4 hari, kemudian diganti dengan Siprofloksasin ( 2
x 250 mg ) selama 2 hari. Data parameter farmakokinetik Siprofoksasin adalah sbb :
t ½ = 4 jam ;
V = 2L/kgBB ;
F = 0,8 ;
Range Terapi = 3,4 -4,3ng/ml,
BB = 55 kg
Cl=13,8 L/jam
Hitung dosis dan interval pemberian Siprofoksasin yang rasional untuk pasien
tersebut di atas.

36

Anda mungkin juga menyukai