Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

BIOFARMASEUTIKA

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK II (DUA)

1. NUR INAYAH 518 011 201

2. MUSDALIFAH.M 518 011 195

3. ANDI MALLARANGAN 518 011 003

4. KATARINASIMUNG 518 011 221

5. SONIA ARFANI 518 011 397

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PANCASAKTI

MAKASSAR

2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah lengkap

yang berjudul “BIOFARMASEUTIKA” sesuai waktunya dengan baik.

Terwujudnya makalah ini berkat bantuan dari para rekan sekalian

yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini ,Untuk itu kami ucapkan

banyak terima kasih.

Penyusun menyadari bahwa makalah yang kami susun ini masih

belum sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu kami sebagai

penyusun sangat mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi

mencapai kesempurnaan makalah selanjutnya.

Gowa,31 Maret 2020

PENULIS

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar belakang..................................................................................................1

B. Tujuan...............................................................................................................3

C. Manfaat.............................................................................................................3

BAB II......................................................................................................................4

PEMBAHASAN......................................................................................................5

A. Pengertian Sediaan Per Oral.............................................................................5

B. Anatomi dan Fisiologi Organ yang Terlibat.....................................................7

C. Biofarmasetika Sediaan Per Oral....................................................................14

D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biofarmasetika.......................................17

E. Sedian Rektal..................................................................................................24

F. Biofarmasi sediaan Rektal..............................................................................25

G. Anatomi dan Fisiologi Rektum.......................................................................25

ii
H. Pembuluh darah yang melewati rectum..........................................................28

I. komponen dan karakteristik cairan rectum.....................................................29

J. Gerakan rectum dan waktu transit..................................................................30

BAB III..................................................................................................................32

PENUTUP..............................................................................................................32

A. Kesimpulan.....................................................................................................32

B. Saran...............................................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................35

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam dunia farmasi obat merupakan unsur terpenting di dalamnya,

bagaimana obat itu berkerja dan bagaimana obat itu memberikan efek di

dalam tubuh. Kebanyakan obat yang diberikan dalam bentuk sediaan per oral

sehingga obat akan bisa memberikan efek di dalam tubuh. Jalur pemakaian

obat meliputi secara oral, rektal, dan parenteral serta yang lainnya harus

ditentukan dan ditetapkan petunjuk tentang dosis-dosis yang dianjurkan bagi

pasien dalam berbagai umur, berat dan status penyakitnya serta teknik

penggunaannya atau petunjuk pemakaiannya.

Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam

memaksimalkan proses absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat

menentukan efek biologis suatu obat seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dan

bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap), cepat atau lambatnya obat

mulai bekerja (onset of action), lamanya obat bekerja (duration of action),

intensitas kerja obat, respons farmakologik yang dicapai serta dosis yang tepat

untuk memberikan respon tertentu.

Pemberian obat yang paling sering digunakan adalah pemberian oral.

Pemberian obat per oral merupakan cara pemberian yang paling alamiah untuk

semua bahan yang akan diserap oleh organ tubuh. Walaupun beberapa obat

yang digunakan secara oral dimaksudkan larut dalam mulut, sebagian besar

dari obat yang digunakan secara oral adalah ditelan. Dari semua ini sebagian

1
besar penggunaan dimaksudkan untuk efek sistemik dari obat yang dihasilkan

setelah terjadi absorpsi pada berbagai permukaan sepanjang saluran cerna.

Beberapa obat ditelan untuk kerja lokal pada daerah yang terbatas dalam

saluran cerna.

Fungsi alat cerna adalah menyerap sebagian besar bahan-bahan yang

diperlukan untuk tubuh. Cara pemberian obat per oral paling banyak dipakai

di luar lingkungan rumah sakit, terutama untuk pengobatan sendiri.

Dibandingkan dengan cara-cara lainnya, cara oral dianggap paling alami, tidak

sulit, menyenangkan dan aman dalam hal pemberian obat. Para penderita

penyakit menahun dengan masa perawatan yang lama bahkan yang seumur

hidup (penggunaan obat anti-epileptik, anti-diabetik, dll) pemakaian obat per

oral merupakan cara yang umum dan nyaman. Untuk anak-anak pemberian

per oral lebih dapat diterima karena umumya sediaan mengandung sirup

dengan aroma yang enak dan cara pemberiannya yang mudah misalnya

pemberian gerusan tablet atau isi kapsul dalam sendok yang dicampur selai

atau susu.

Hal-hal yang tidak menguntungkan pada pemberian oral termasuk respon

obat yang lambat (bila dibandingkan dengan obat-obat yang diberikan secara

parenteral), kemungkinan absorbsi obat yang tidak teratur, yang tergantung

pada faktor-faktor seperti perbaikan yang mendasar, jumlah atau jenis

makanan dalam saluran cerna, dan perusakan beberapa obat oleh reaksi

lambung atau oleh enzim-enzim dari saluran cerna. Hal-hal tersebut dapat

mengganggu tujuan terapi sediaan oral yang sebagian besar dimaksudkan

2
secara sistemik. Oleh karena itu perlu diketahui biofarmasetika sediaan obat

dengan rute pemberian oral agar zat aktif yang diberikan dalam bentuk sediaan

oral dapat menghasilkan efek terapi yang optimal.

B. Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui pemberian sediaan per oral

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian sediaan

per oral

3. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi organ yang berperan dalam

pemberian sediaan per oral

4. Untuk mengetahui pembuluh darah yang melalui saluran cerna

5. Untuk mengetahui komponen dan karekteristik cairan rectal

6. Untuk mengetahui gerakan rectum dan waktu transit

7. untuk mengetahui anatomi dan fisiologi saluran rectal

C. Manfaat

Manfaat dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut.

1. Dapat mengetahui tentang pemberian sediaan per oral

2. Dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian sediaan

per oral

3. Dapat mengetahui anatomi dan fisiologi organ yang berperan dalam

pemberian sediaan per oral

4. Dapat mengetahui pembuluh darah yang melalui saluran cerna

3
5. Dapat mengetahui komponen dan karekteristik cairan rectal

6. Dapat mengetahui gerakan rectum dan waktu transit

7. Dapat mengetahui anatomi dan fisiologi saluran rectal.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sediaan Per Oral

Per oral merupakan pemberian obat melalui mulut yang paling lazim

karena penggunaannya yang sangat praktis, mudah dan aman. Cara pemberian

obat per oral paling banyak dipakai diluar lingkungan rumah sakit, terutama

untuk pengobatan sendiri. Pada penderita penyakit menahun dengan jangka

perawatan yang lama seperti obat antiepileptik, antidiabetik dan lain-lain,

pemakaian obat per oral merupakan cara yang uu dan nyaman. Pada anak-

anak pemberian per oral lebih dapat diterima karena umumnya sediaan

mengandung sirop dengan aroma yang enak dan cara pemberian yang mudah

dan misalnya pemberian gerusan atau isi kapsul dalam sendok yang dicampur

selai atau susu.

Penggunan sediaan per oral dapat menjadi kemungkinan gangguann

pencernaan yang disebabkan oleh kekurangan enzim, adanya infeksi setempat

seperti infeksi usus, parasitosis tertentu serta untuk melindungi mukosa yang

meradang atau pada tukak saluran cerna. Sehingga pada pemberian per oral

tidak dilihat kemudahannya saja namun beberapa kemungkinan hal yang tidak

diinginkan juga harus dipertimbangkan pada pemberian per oral .

Ada beberapa hal yang merupakan kontra indikasi pada pemberian obat

per oral yang harus dipertimbangkan, yaitu:

5
1. Keadaan patofisiologik penderita, misalnya pada suatu sediaan antirematik

yang tidak dapat diberikan per oral tanpa risiko dimuntahkan sebelum obat

bereaksi.

2. Pada cairan lambung yang asam, zat aktif tertentu dapat dirusak oleh

enzim pencernaan seperti lipase atau terjadi pengikisan mukosa. Salah satu

cara mengatasi kelemahan ini dapat dibuat sediaan bersalut yang tahan

terhadap cairan lambung. Bahan aktif juga dapat dibuta dalam bentuk tak

terbasahkan oleh cairan lambung walau pelarutannya lambat

3. Enzim proteolitik yang

4. Enzim flora usus dapat berpengaruh pada sediaan oral.

5. Interaksi antara zat aktif dan bahan cairanlambung yang akan membentuk

senyawa kompleks sehingga sulit untuk diserap.

6. Apabila dibutuhkan zat aktif yang dapat segera mencapai kadar dalam

darah yang tinggi, maka penggunaan per oral dianggap kurang sesuai.

7. Beberapa zat aktif yang dimetabolisme pada membran usus dapat rusak

saat memasuki aliran darah.

8. Harus diperhatikan kemungkinan adanya “efek lintas pertama (first pass

effect)”dan klirens yang merupakan proses metabolisme yang mengubah

zat aktif menjadi bentuk yang tidak aktif sehingga obat kurang sesuai bila

diberikan per oral.

6
B. Anatomi dan Fisiologi Organ yang Terlibat

1. Mulut

Mulut merupakan organ pertama yang dilewati oleh obat sediaan

per oral. Mulut merupakan rongga lonjong pada permukaan saluran

pencernaan. Bagian ini terdiri atas dua bagian luar yang sempit, yaitu

rongga mulut yang dibatasi sisi-sisinya dengan tulang maksilaris dan

semua gigi dan disebelah belakang bersambung dengan awal tekak atau

faring. Atap mulut dibentuk oleh palatum dan lidah terletak dilantainya

dna terikat pada tulang hioid .

a. Histo-patofisiologi

1) Mukosa

Penebalan mukosa dari permukaan lidah bagian atas berbeda, hal

ini dikarenakan ada papil-papil sensoris pengecapan. Mukosa

menempel pada “tight junction” dan terdiri atas susunan epitel

berlapis sel tanduk yang saling menempel san berdermis tebal,

penyerapan di daerah ini relatif nol.

7
2) Saliva (pengeluaran air liur)

Air liur yang dikeluarkan oleh berbagai kelenjar liur mempunyai

komposisi yang beragam sesuai asalnya. Jumlah air liur yang

dikeluarkan berkisar 0,5-1 liter/hari. Keasaman (pH) air liur akan

mempengaruhi ionisasi zat aktif yang bersifat basa lemah atau agak

netral dengan pH 6,7-7. Air liur mengandung enzim ptialin yang

merupakan suatu amilase dengan pH aktivitas optimum 6,7. pH

rata-rata pada mulut yaitu 6,7-7 dengan waktu tinggal 2-10 detik,

tergantung dari konsistensinya.Sebagian besar bentuk sediaa yang

diberikan per oral akan langsung ditelan. Waktu tinggal oabt dalam

mulut sangat singkat untuk memungkinkan terjadinya suatu

penyerapan. Adanya air liur berpengaruh pada penyerapan dan

dapat memulai peruraian amilum.Sedangkan pada bentuk sediaan

yang dihisap, dikunyah, ang melebur atau melarut di bawah lidah

memerlukan kontak dengan air liur yang akan memudahkan proses

pelepasan zat aktif tertentu.

2. Esofagus

Esofagus berukuran panjang 25 cm dan diameternya sekitar 3 cm.

Esofagus dimulai dari belakang rongga mulut sampai lambung serta

dibatasi oleh cardia lambung dan sphincter pharingo-oesophagica yang

membuka selama 0,5-1 detik saat penelanan. Cardia merupakan saluran

sempit yang relaks setelah penelanan. Dinding bagian dalam esofagus

dilapisi oleh mukosa tipis tanpa kelenjar dengan epitel malfigi. Obat yang

8
ditelan berjalan sepanjang esofagus dan didorong oleh gelombang

peristaltic lapisan otot.

Gaya gravitasi berperan sekunder sehingga tidak mempengaruhi

pemberian obat pada penderita yang berbaring.Perpindahan obat (missal

tablet) dari sphincter pharingo-oesophagica ke cardia memerlukan waktu

sekitar 10 detik, tetapi dengan bantuan air dapat dipersingkat menjadi 2

detik. Dengan demikian waktu tersebut sangat singkat sehingga praktis

tidak ada penyerapan

3. Lambung

a. Anatomi

Lambung merupakan sebuah kantong yang panjangnya sekitar 25cm

dan 10cm saat dalam keadaan kosong,tebalnya 3mm yang terdiri atas

lapisan otot,volume 1-1,5 liter pada dewasa normal.lambung diakhiri

dengan pylorus yang merupakan pintu pembuka lewatnya isi lambung

kedalam organ berikutnya yaitu duodenum.Pada bagian atas lambung

disebut fundus.sejumlah udara tinggal dilambung pada bagian tersebut

dan membentuk kantong udara.pada saat lambung dalam keadaan

kosong,dindingnya akan saling meleka,meninggalkan kantong udara

pada bagian atas.bila lambung terisi,penekanan akan berkurang dan

volume lambung bertambah,membentuk huruf j.

b. Histoisiolagi

9
Mukosa kelenjar merupakan lapisan paling penting pada penyerapan

obat. Dinding tersebut menyerupai “sarang lebah” karena adanya

lipatan-lipatan. Mukosa terdiri dari empat jenis sel penghasill getah

yaitu sel utama (chief cell), sel parietal (oxyntic), permukaan mukosa

yang dilapisi sel-sel epitel dan sel mukosa bening.

Derajat keasaman cairan lambung tergantung pada perbandingan relatif

getah pada kelenjar pylorus dan kelenjar fundus. Pengeluaran cairan

lambung terjadi karena tiga proses yaitu proses mekanik (kontak

makanan dengan dinding lambung) proses hormonal (sekresi lambung)

dan persarafan.

Permukaan bagian dalam mulut lebih sempit, ditutupi oleh lapidan

mukosan yang sangat tipis, bening dan agak melekat karena adanya

kapiler “tight junction” yang memudahkan penyerapan. Prinsip ini

digunakan untuk pemberian sublingual. Getah lambung terdiri atas:

1) Enzim

Ada pepsin yang dapat menyebabkan kerusakan pada cangkang

kapsul, katepsin, kimosin/rennin dan lipase.

2) Asam klorida

Getah ini dikeluarkan oleh sel parietal. Keasaman cairan lambung

akan mempengaruhi proses pelarutan dan ionisasi zat aktif tertentu,

sehingga menjadi faktor mengendalikan penyerapan bahan obat.

Keasaman ini menyebabkan pengendapan zat aktif yang bersifat

10
asam lemah serta hidrolisa senyawa tertentu. Kedua kemungkinan

tersebut tentu saja memperjelek ketersediaanhayati.

3) Mukus

Mukus merupakan senyawa yang sangat kental, dikeluarkan

bersamaan dengan bikarbonat oleh sel-sel mukosa tertentu. Mukus

berperan melindungi mukosa lambung terhadap cerna-diri oleh

pepsin. Semua rangsangan mukosa mekanik pada mukosa akan

meningkatkan pembentukan mukus

4) Air

Air bergerak secara pasif dari sel menuju lumen lambung dan akan

diserap kembali di usus halus.

5) Faktor instrinsik

Faktor instrinsik disebaban adanya mukoprotein termolabil yang

dihasilkan oleh sel utama.

6) Faktor bifidogen

Faktor bifidogen merupakan senyawa spesifik golongan darah,

asam polisakarida (heparin) dan lain-lain.

Ketersediaanhayati pada bentuk sediaan yang diberikan per oral

berbeda tergantung pada cara penelanan yaitu dengan atau tanpa air

(peningkatan laju pelarutan, penurunan derajat keasaman karena

pengenceran, proses transit dipercepat bila subyek berpuasa) dan

sebelum atau setelah makan, awal atau akhir makan ( keasaman dan

proteolitik akan meningkat pada akhir makan). Pelarutan di lambung

11
selama waktu makan sulit dikendalikan dan adanya resiko peresapan

zat aktif oleh makanan maka lebih disukai pemberian obat di antara

waktu makan atau sebelumnya .

Sediaan obat yang diserap tercampur dengan masa makanan tanpa

benar-benar teraduk bila berada dalam daerah pylorus. Pelepasan,

pelarutan dan penyerapan lambung terjadi bila obat digunakan

bersamaan atau setelah makan. Sebaliknya saat puasa pylorus akan

terbuka atau terbuka sedikit dan pembukaaan lambung pertama

meyebabkan obat segera memasuki duodenum dan pylorus akan

menutup kembali.

Waktu tinggal dalam lambung dipengaruhi oleh volume,

konsistensi, keasaman (pH), kandungan bahan (berlemak, asam lemah,

gula, daging dan lain-lain), hipertonisitas, emosi dan posisi tidur pada

sisi kanan. Pengosongan lambung dipercepat oleh kebasaan, gas CO2

yang mempercepat kontraksi pengosongan lambung, posisi tidur pasa

sisi kiri dna keadaan berjalan.

4. Usus Halus

a. Anatomi

Usus halus merupakan tabung yang berdiameter 2-3 cm tergantung

dari letaknya dan panjang keseluruhan antar 5-9 cm. panjang tersebut

akan berkurang oleh gerakan regangan otot, yang melingkari

peritoneum. Usus halus merupakan lanjutan dari lambung yang terdiri

12
atas tiga bagian yaitu duodenum (usus dua belas jari), jejenum ( usus

kosong) dan ileum (usus penyerapan).

Duodenum terdiri atas beberapa simpangan. Bagian pertama adalah

juxtapylorus, sangat lebar dan terdiri atas beberapa bulbus duodenalis.

Keduan adalah bagian “mulut” yang lebih lebar dan disebut papilla

vateri, disini ductus pancreaticus (Wirsungi) keluar dari pankreas

membawa getah pankreas. Ketiga adalah ductus choledochus yang

merupakan penggabungan saluran empedudari hati dan saluran

kandung empedu dan menyalurkan emedu ke dalam saluran cerna.

Panjang jejenum dan ileum sekitar 6 meter, terbentuk atas 14-15

lipatan-lipatan seperti telinga. Bila tidak berisi berbentuk pipih dan

berbentuk tabung bila dilewati sebongkah makanan, fungsi utama usus

halus adalah fungsi penyerapan dan fungsi pencenaan oleh

pengeluaran enzim.

b. Fisiologi

Fungsi penggetahan terjadi pada berbagai sumber pankreas,

kantong empedu dan usus. Getah pankreas merupakan cairan agak

kental (karena mengandung musin), pH alkalis (8-9) karena

mengandung bikarbonat yang pekat dan bersifat isotonic terhadap

plasma. Sedangkan getah empedu adalah cairan kuning berlendir,

kental, dengan pH 6 dalam kantong empedu dan pH 7-7,5 saat

memasuki duodenum. Getah empedu mengandung musin dan garam

empedu yang merupakan penyusun penting yang berperan pada proses

13
penyerapan. Kemudian pada getah usus mengandung khlor,

bikarbonat, musin, tetapi ada juga enzim ebterokinase yang aktif.

Getah pencernaan yang masuk ke dalam usus halus pada umumnya

hersifat basa dengan pH sekitar 8. Kebasaan ini menetralkan asam

kimus yang masuk dari saluran cerna kemudian saat memasuki

jejenum, mulai dinetralkan hingga dibagian akhir ileum pH nya

menjadi agak basa (7,5-8). Adanya perbedaan pH di dalam usus

merupakan landasan pertimbangan pemilihan pH media pelarutan

untuk uji sediaan oral yang kering dengan aksi terkendali, diperlambat

dan terutama untuk sediaan lepas lambat yang tahan asam.

Pemberian obat saat makan akan menyebabkan perjalanan obat

yang lambat dan teratur ke tempat penyerapan, jadi memungkinkan

pengosongan usus terjadi lebih lengkap karena adanya efek

pengenceran oleh makanan.

C. Biofarmasetika Sediaan Per Oral

Fase biofarmasetika dapat diuraikan dalam tiga tahap utama, yaitu L.D.A

yang berarti Liberasi (pelepasan), Disolusi (Pelarutan), dan Absorpsi

(penyerapan. Seperti halnya dengan sistem A.D.M.E pada nasib zat aktif in

vivo, maka ketiga tahap L.D.A berbeda pada setiap jalur.

1. Liberasi (Pelepasan)

Apabila seorang penderita menerima obat berarti ia mendapatkan

zat aktif yang diformula dalam bentuk sediaan dan dengan dosis tertentu.

14
Obat pada mulanya merupakan depot zat aktif yang jika mencapai tempat

penyerapan akan segera diserap (Drug delivery system dalam istilah anglo-

sakson). Proses pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan cukup rumit dan

tergantung pada jalur pemberian dan bentuk sediaan, serta dapat terjadi

secara cepat dan lengkap. Pelepasan zat aktif dipengruhi oleh keadaaan

lingkungan biologis dan mekanis pada tempat pemasukan obat, misalnya

gerak peristaltic usus, dan hal ini penting untuk bentuk sediaan yang keras

atau kenyal (tablet, suppositoria dll).

Sebagaimana diketahui, tahap pelepasan ini dapat dibagi dalam dua

tahap yaitu tahap pemecahan dan peluruhan misalnya untuk sebuah tablet.

Dari tahap pertama ini diperoleh suatu disperse halus padatan zat aktif

dalam cairan di tempat obat masuk ke dalam tubuh.

2. Disolusi (Pelarutan)

Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka tahap kedua

adalah pelarutan zat aktif yang terjadi secara progresif, yaitu pembentukan

disperse molekuler dalam air. Tahap kedua ini merupakan keharusan agar

selanjutnya terjadi penyerapan. Tahap ini juga diterapkan pada obat-obtan

yang dibuat dalam bentuk larutan zat aktif dalam minyak, tetapi yang

terjadi adalah proses ekstraksi (penyarian). Setelah pemberian sediaan

larutan, secara in situ dapat timul endapan zat aktif yang biasanya

berbentuk amorf sebagai akibat perubahan pH dan endapan tersebut

selanjutnya akan melarut lagi.

15
Laju disolusi obat mungkin tergantung posisi, karena variasi dalam

kedekatannya dengan kelenjar ludah utama dan kadar air saliva yang

diproduksi. Rute sublingual tidak cocok untuk produk yang mempunyai

profil konsentrasi plasma-waktu diperpanjang, absorpsi selesai cepat

karena epitel di daerah ini sangat tipis (sekitar 100 μm). Absorpsi cepat

yang menghasilkan konsentrasi plasma puncak tinggi dapat diatasi dengan

menghantarkan obat ke mukosa bukal lebih tebal yang dapat

memperlambat absorpsi. Aktivitas metabolik dari mukosa oral dan

populasi bakteri dapat mempengaruhi atau mendegradasi obat.

3. Absorpsi (Penyerapan)

Tahap ini merupakan bagian dari fase biofarmasetika dan awal fase

farmakokinetik, jadi tahap ini benar-benar merupakan masuknya zat aktif

dalam tubuh yang aturan-aturannya ditengarai oleh pemahaman

ketersediaan hayati (bioavabilitas).

Penyerapan zat aktif tergantung pada bagian parameter, terutama

sifat fisika-kimia molekul obat. Absorpsi ini tergantung juga pada tahap

sebelumnya yairu saat zat aktifnya berada dalam fase biofarmasetika.

Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi apabila

sebelumnya sudah dibebaskan dari sediaan dan sudah melarut dalam

cairan biologi setempat.

Tahap pelepasan dan pelarutan zat aktif merupakan tahap penentu

pada proses penyerapan zat aktif, baik dalam hal jumlah yang diserap

maupun laju penyerapannya.

16
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biofarmasetika

1. Faktor Fisiologi

a. Permukaan Penyerap

Lambung tidak memiliki permukaan penyerap yang berarti

dibandingkan dengan usus halus. Lambung sebagai organ

penggetahan. Namun mukosa lambung dapat menyerap obat yang

diberikan per oral, dan tergantung pada keadaan, lama kontak

menentukan terjadinya penyerapan pasif dari zat aktif lipofil dan

bentuk tak terionkan pada pH lambung yang asam.

Pada usus halus penyerapan pasif dapat terjadi secara kuat pada

daerah tertentu dengan adanya peranan dari pH yang akan

mengionisasi zat aktif atau menyebabkan pengendapan, sehingga

penyerapan hanya terjadi pada daerah tertentu.

b. Umur

Saluran cerna pada baya yang baru lahir berdifat dangat permeable

dibandingkan bayi yang berumur beberapa bulan. Sehingga terjadinya

“over dosis” disebabkan adanya penyerapan yang tak terkontrol.

Pada bayi dan anak-anak, sebagian sistem enzimnya belum

berfungsi sempurna sehingga dapat terjadi “over dosis” zat aktif yang

disebabkan tidak sempurnanya peroses detoksifikasi metabolik, atau

karena penyerapan yang tidak sempurna karena gangguan saluran

cerna sebagai akibat adanya bahan tambahan tertentu yang tidak dapat

17
diterima. Oleh karena itu, pengaturan dosis pada bayi harus

menggunakan fungsi berat badan.

Pada penderita tua, terjadi penurunan penyerapan dan

kecenderungan menurunnya asam lambung sehingga mengurangi

penerapan asam lemah. Fisisologi pada penderita yang sudah tua

sangat dipengaruhi oleh faktor individu. Secara sederhana pemberian

obat pada keadaan tersebut harus dilaksanakan dengan sangat hati-hati.

c. Sifat Membran Biologik

Sifat membrane biologik sel penyerap pada mukosa pencernaan

akan mempengaruhi proses penyerapan. Sifat utama lipida

memungkinkan terjadinya difusi pasif zat aktif dengan sifat lipofil

tertentu dari bentuk yang tak terionkan di lambung dan di usus besar.

d. Laju Pelewatan dan Waktu Tinggal dalam Lambung

Suatu zat aktif yang sukar diserap di lambung harusnya tidak

tinggal lama di lambung. Oleh sebab itu, waktu pengososngan

lambung sebaiknya diusahakan terjadi lebih cepat. Sebaliknya, bila

transit di usus berjalan lambat, hal tersebut menguntungkan bagi zat

aktif yang hanya diserap pada bagian tertentu saluran cerna, terutama

dalam hal transport aktif. Bila obat dalam keadaan terlarut melewati

daerah penyerapan terlalu cepat maka penyerapannya menjadi sangat

sedikit.

18
Kecepatan transit di lambung tidak dapat dikontrol selama waktu

makan dan gumpalan makanan meninggalkan lambung bertahap dalam

waktu yang lama ataupun singkat.

Transit lambung sangat berperan pada aktivitas awal sediaan yang

tahan asam. Berkaitan dengan bentuk sediaan dosis tunggal, tablet

salut atau kapsul gelatin yang tahan asam, maka aktivitasnya baru akan

dimulai bila sediaan telah mencapai usus. Sebaliknya untuk bentuk

sediaan yang pecah di lambung terdiri dari butiran-butiran atau partikel

bersalut yang tahan asam lambung, mempunyai efek lebih cepat dan

nyata. Butiran-butiran tersebut yang bercampur dengan isi lambung

secara teratur akan melewati pylorus yang membuka setelah sediaan

pecah. Adanya makanan mengaktifkan proses pelewatan di usus halus.

e. pH dan Perubahan pH karena Formulasi

Derajat keasaman cairan saluran cerna berbatas 1-8, sehingga

memungkinkan terjadinya pelarutan sebagian besar zat aktif pada

daerah tertentu di saluran cerna. Jadi pH merupakan faktor yang

mempengaruhi seluruh proses penyerapan. Menurut teori “partisi pH”,

hanya bentuk zat aktif tak terionkan yang mengalami penyerapan pasif,

dan ditinjau dari pH lambung dan usus maka hanya zat aktif yang

bersifat asam lemah yang dapat diserap di lambung dan bersifat basa

lemah diserap di usus. Perbedaan pH disepanjang saluran cerna

memungkinkan berkembangnya pembuatan seduaan yang tahan cairan

lambung atau sediaan dengan aksi terkendali. Penyalut selulosa atau

19
amilum asetoftalat mempunyai sifat polielektrolit dan akan melarut

sesuai dengan fungsi pH.

Hampir tidak memungkinkan membuat formula yang sesuai

dengan keragaman pH seluruh usus, sebaliknya hal tersebut dapat

dilakukan pada cairan lambung dengan tujuan untuk meningkatkan

ketersediaanhayati zat aktif yang tak larut pada pH lambung (asam

salisilat menjadi lebih larut), mengurangi iritasi bentuk asam dari zat

aktif (salisilat) dan mencegah peruraian yang disebabkan oleh

keasaman cairan lambung.

Di sekitar partikel zat aktif, pH dapat dinaikkan dengan ion basa

berasal dari bahan yang terlarut setempat. Ion dan molekul yang telarut

di sekitar partikel di daerah yang pH nya tinggi akan menembus

lingkungan sekitar partikel dan pada jarak tertentu dari partikel, bila

pH kembali menjadi asam maka zat aktif yang terlarut akan

mengendap dalam partikel yang sangat halus dan akan lebih mudah

larut dalam cairan penyerapan

f. Tegangan Permukaan

Tegangan permukaan pada cairan usus menurun karena adanya

garam empedu.pengurangan tegangan permukaan akan memudahkan

pembasahan dan pelarutan partikel yang semula belum larut. Senyawa-

senyawa “choleretic” merangsang pengeluaran cairan empedu,

sehingga akan meningkatkan pelarutan dan mempermudah

20
pengelmulsian dan penyerapan bahan lemak dan vitamin yang larut

lemak.

g. Kekentalan

Kekentalan dapat menghambat pembasahan partikel dan menekan

laju pelarutan. Kekentalan juga menghambat proses difusi molekul zat

aktif saat proses pelarutan di mukosa penyerap. Bahkan kekentalan

juga menghambat proses transit dan meningkatkan waktu tinggal

dalam lambung. Bahan pengental yang digunakan dalam formulasi

akan meningkatkan viskositas cairan cerna.

h. Isi Saluran Cerna yang Dapat Mengubah Aksi Zat Aktif

Di dalam saluran cerna terdapat kandungan ang dapat

mempengaruhi aksi zat aktif, yaitu :

 Musin

Senyawa ini melapisi saluran cerna yang dapat membentuk

kompleks dengan zat aktif dan menghambat proses penyerapan.

Hal tersebut dapat terjadi misalnya pada penurun tekanan golongan

ammonium kuartener yang bentuk kompleksnya sangat kuat.

Pemberian senyawa ammonium kuartener yang inert secara

farmakologik, data memperbaiki penyerapan zat aktif ammonium

kuatener dengan cara inhibisi kompetitif pada tempat aksi musin.

 Garam Empedu

Konsentrasi garam empedu, bahan penurun tegangan

permukaan fisiologik berada di atas konsentrasi miseler kritik

21
(CMC). Jadi dapat terjadi interaksi antara garam empedu dan zat-

zat aktif dengan miselinisasi yang dapat melarutkan zat aktif

tertentu yang tidak larut dalam air dan memperbaiki

penyerapannya.

 Ion-ion Tertentu : Ca+, Mg, Fe

Molekul-molekul tertentu dengan ion-ion bervalensi dua

atau tiga, seperti kalsium atau magnesium akan membentuk kelat

yang tak terserap. Contohnya tetrasiklin. Interaksi tersebut penting

pada formulasi sehingga harus dihindari penambahan garam

kalsium atau magnesium.

 Flora Usus

Flora usus mengeluarkan enzim, misalnya penisilinase yang

mengaktifkan zat aktif tertentu.

 Enzim

Enzim dapat merusak zat aktif tertentu, misalnya zat aktif

peptide akan dirusak oleh enzimproteolitik (insulin, ositosin).

Kadang enzim dapat merangsang pembentukan metabolit aktif

yang semula tidak aktif misalnya esterase menghidrolisa

kloramfeikol palmitat menjadi kloramfenikol aktif. Dalam hal

tertentu, enzim menyebabkan peningkatan pelepasan obat dan

mempengaruhi sifat sediaan yang tahan asam atau sediaan lepas

lambat, lipase usus akan menghidrolisa penyalut lemak tahan asam.

22
2. Faktor Patologi

Faktor patologi berpengaruh pada 3 hal utama, yaitu pengetahuan,

pergerakan dan penyerapan.

a. Gangguan Fungsi Penggetahan

Psikis merupakan faktor yang dapat meningkatkan atau

menghambat proses pengeluaran getah. Pada orang pemarah terjadi

peningkatan pengeluaran getah dan pada orang depresif akan terjadi

hambatan pengeluaran getah. Pengeluaran getah lambung meningkat

pada keadaan tukak duodenum yang mana kelebihan asam dapat

merusak aktivitas enzim pankreatik. Sedangkan pengeluaran getah

lambung yang berkurang pada keadaan pH yang meningkat akibat

tukak lambung, gastritis kronis dan diabetes.

Tidak cukupnya pengeluaran getah empedu disebabkan

pembuntuan (obstruksi) saluran empedu yang akan menghambat

penyerapan lemak dan vitamin yang larut lemak.

b. Gangguan Transit

Waktu tinggal dalam lambung umumnya meningkat pada keadaan

penyempitan pylorus, tukak lambung, kelainan pembuluh darah

tertentu, sprue dan myxcodemia (salah satu bentuk peradangan

kelenjar). Namun waktu tinggal lambung akan berkurang pada

keadaan duodenal, kecemasan dan menigkatnya aktivitas.

c. Gangguan Penyerapan

23
Gangguan penyerapan dapat terjadi apabila adanya pengurangan

luas permukaan penyerapan yang dapat diakibatkan adanya

pembedahan seperti gastrectomie, pemotongan usus, pemotongan pada

bagian distal dan lainnya. Kemudian karena adanya anomaly atau cacat

pada mukosa permukaan baik karena bawaan atau karena perolehan.

Selanjutnya gangguan penyerapan dapat terjadi karena adanya

perubahan media usus yang diakibatkan penambahan senyawa anti

mikroba atau anti parasit (memutuskan ikatan konjugasi garam

empedu sehingga terjadi kesalahan penyerapan lemak dan merusak zat

aktif sebelum diserap) dan adanya bahan obat antibiotika berspektrum

luas yan dapat mengganggu kesembangan flora usus (misalnya

neomisin dapat merintangi kerja lipase pankreatik dan garam empedu).

Kemudian tidak adanya molekul pembawa berpengaruh pada

transport spesifik dan hambatan pada pembuluh balik darah atau

pembuluh getah bening (tumor) juga mempengaruhi terjadinya

penyerapan.

E. Sedian Rektal

Sediaan rectal adalah pemberian obat melalui rectum yang layak untuk

obat yang merangsang atau yang diuraikan oleh asam lambung. Rektum

adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar ( setelah kolon

sigmoid ) dan berakhir di anus.biasanya rectum ini kosong karena tinja di

simpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon

24
desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rectum,maka timbul keinginan

untuk buang air besar ( BAB).

F. Biofarmasi sediaan Rektal

1. Absorpsi obat setelah pemberian rektal dapat bervariasi, tergantung pada

supositoria atau larutan obat di dalam rectum.

2. Sebagian dari obat dapat diabsorpsi melalui vena hemoroid bawah, dimana

obat langsung masuk ke sistemik,vena mesenterika ke pembuluh hati

dimetabolisme sebelum darah portal ke hati, dan absorpsi sistemik.

G. Anatomi dan Fisiologi Rektum

Secara anatomi rectum terbentang dari vertebre sacrum ke-3 sampai garis

anorektal. Secara fungsional dan endoskopik, rectum dibagi menjadi bagian

ampula dan sfingter. Bagian sfingter disebut juga annulus hemoroidalis,

dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fasia dari fasia supra –ani. Bagian

ampula terbentang dari sacrum ke-3 ke difragma pelvis pada insersi muskulus

levator ani. Panjang rectum berkisa 10-15 cm, dengan keliling 15 cm pada

rectosigmoid junction dan 35 cm pada bagian ampula yang terluas. Pada orang

dewasa dinding rectum mempunyai 4 lapisan: mukosa, submukosa,

muskularis ( sirkuler dan longitudinal ) dan lapisan serosa.

Perdarahan arteri daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis

superior, media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior yang merupakan

kelanjutan dari a. mesenterika inferior, arteri ini bercabang 2 kiri dan kanan.

Arteri hemoroidalis merupakan cabang a. pudenda interna. Vena hemoroidalis

25
superior berasal dari plexus hemoroidalis internus dan berjalan kea rah kranial

ke dalam v. mesenterika inferior dan seterusnya melalui v. lienali menuju v.

porta. Vena ini tidak berkatup sehingga tekanan alam rongga perut

menentukan tekanan di dalamnya.

Karsinoma rectum dapat menyebar sebagai embolus vena ke dalam hati.

Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke v. pudenda interna, v. iliaka

interna dan system vena kava.

Pembuluh limfe daerah anorektum pleksus halus yang mengalirkan isinya

menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalirkan ke kelenjar

limfe iliaka. Infeksi dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat

mengakibatkan limfadenopati inguinal.pembuluh rectum di atas garis

anorektum berjalan seiring dengan v. hemoroidalis superior dan melaju ke

kelenjar limfe mesentrika inferior dan aorta.

Persarafan sektum terdiri atas system simpatik dan parasimpatik. Serabut

simpatik berasal dari pleksus mesentrikus inferior yang berasal dari lumbal

2,3, dan 4, serabut ini mengatur fungsi emisi air mani dan ejakulasi. Serabut

parasimpatik berasal dari sacral 2, 3, dan 4, serabut ii mengatur fungsi ereksi

penis, klitoris dengan mengatur aliran darah ke dalam jaringan.

Klolon adalah yang pertama 6 kaki dari usus besar, dan rectum adalah

yang terakhir 8-10 inci. Bentuk :

a) Struktur anatomi Rektum.

1) Terdapat empat alpisan rectum dari arah luar ke dalam berurutan:

 Lapisan serosa peritoneal

26
 Lapisan otot

 Lapisan bawah mukosa

 Lapisan mukosa

2) Rectum dialiri oleh tiga jenis haemorrhoidales:

 venae haemorrhoidales superior yang bermuara ke vena

mesentericum inferior, selanjutnya masuk kedalam vena porta,

dan juga membawa darah langsung kre peredaran umum.

 venae haemorrhoidales medialis dan vena haemorrhoidales

inferior yang bermuara ke vena cava inferior dengan perantara

venae iliaca interna selanjutnya membawa darah ke peredaran

umum ( kecuali hati).

3) Persarafan rectum terdiri dari:

 anyaman haemorrhoidales bagian atas ( plexus harmorrhoidales

superior)

 anyaman haemorrhoidales yang keluar dari plxus

hipogastricum

 saraf haemorhoidales atau saraf anus yang merupakan cabang

dari plexus sacralis.

27
H. Pembuluh darah yang melewati rectum

Menurut Ravaud Penyerapan hanya terjadi pada pembuluh darah secara

langsung lewat inferior dan vena intermedier yang berperan dan membawa zat

aktif Mukosa rektum dalam keadaan tertentu bersifat

permeable sempurna. Penyerapan rektum melalui vena iliaca ke vena cava

inferior. Menurut Quecauviller dan Jund bahwa penyerapan dimulai dari vena

haemorrhoidalles inferior terutama vena haemorrhoidalles

superior menuju vena porta melalui vena mesentricum inferior. Saluran

getah bening juga berperan pada penyerapan rektal yaitu melalui saluran

toraks yang mencapai vena subclavula sinistra. Menurut Fabre dan Regnier

pengaruh tersebut hanya berlaku pada obat-obat yang larut lemak.kadang-

kadang lebih baik dari penyerapan bukal. Selain itu penyerapan juga

tergantung pada derajat pengosongan saluran cerna jadi tidak dapat

diberlakukan secara umum. Bahkan bebrapa obat tertentu tidak diserap oleh

28
mukosa rektum. Banyak obat yang tidak diresorbsi secara teratur dan lengkap

dari rektum, sebaiknya diberikan dosis yang melebihi dosis oral dan

digunakan pada rektum kososng, akan tetapi setelah obat diresorbsi efek

sistemisnya lebih cepat dan lebih kuat dibandingkan per oral, berhubung vena-

vena bawah dan tengah dari rektum tidak tersambung pada sistem porta dan

obat tidak melalui hati pada peredaran darah pertama, sehingga tidak

mengalami perombakan FPE (first pass effect). Pengecualian adalah

obat yang diserap dibagian atas rektum dan oleh vena rectalis superior

disalurkan ke vena portae dan kemudian ke hati, misalnya

thiazinamium.dengan demikian penyebaran obat didalam rektum yang

tergantung dari basis supositoria yang digunakan, dapat menentukanrutenya

kesirkulasi darah. Supositoria dan salep juga sering kali digunakan untuk efek

lokal pada gangguan poros-urus, misalnya wasir.

I. komponen dan karakteristik cairan rectum

1. Obat dapat diberikan dalam beberapa bentuk sediaan melalui rute rektal.

2. Bentuk sediaan yang biasanya adalah supositoria, baik suspense padat atau

emulsi padat, sedangkan kapsul gelatin yang di berikan rektal dapat berisi

formulasi cair.

3. Micro – enema memiliki volume antara 1 dan 20 ml, dan makro enema

50ml, atau lebih, yang keduanya dapat diberikan baik sebagai larutan atau

suspense.

29
4. Suppositoria suspense ssuspensi adalah formulasi yang paling banyak

digunakan, dan telah menunjukkan karakteristik pelepasan yang

tergantung pada faktor fifiologi, sifat fifikokimia obat, basis supositoria

dan lingkungan local di dalam rectum.

5. Secara umum larutan berair dari oabat diserap lebih cepat dalam rute rektal

daripada rute oral, tetapi absorpsi biasanya lebih lambat dengan formulasi

tak berair, karena terbatasnya jumlah air yang tersedia untuk disolusi obat.

6. Eksplorasi penggunaan pelepasan terkontrol ke rectum, untuk mencapai

pengntaran obat yang berkepanjangan dan berkelanjutan terus dilakukan.

7. Penelitian dilakukan menggunakan suatu perangkat pendorong secara

osmosis dengan karakteristik pelepasan orde nol. Ini tampaknya menjadi

system penghantaran yang menjanjikan untuk obat- obatan seperti

nifedipine yang secara efektif mengurangi tekanan darah tanpa efek

samping yang tidak diinginkan dari peningkatan detak jantung.

8. System hydrogel yang mendekati penghataran orde-nol juga telah

digunakan untuk menghantarkan murfin secara rektal.

J. Gerakan rectum dan waktu transit

Beberapa faktor harus diatasi untuk obat yang akan diserap setelah

pemberian rektal, jika obat diberikan sebagai supositoria, pelelehan atau

pencairan basis harus terjadi dan tahap ini sebagian akan menentukan

penyebaran dosis melalui rectum. Obat harus larut dalam cairan rectum

terbatas, yang telah diperkirakan antara 1 dan 3 Ml, jumlah obat yang tersedia

30
untuk absorpsi dapar berkurang banyak dengan degradasi oleh isi limen,

adsorpsi isi luminal dan defekasi. Obat harus berdifusi melintasi air yang

tidak teraduk dan lapisan mukosa yang berdekatan dengan epitel. Obat dapat

diserap di sel epitel atau melalui junction yang rapat, dan itu hanya dapat

terjadi melalui transport pasif. Jika obat dikirim ke bagian atas rectum

diangkut ke dalam system portal ,maka akan terkena metabolism lintas

pertama di hati. Salah satu cara untuk menghindari metabolism linta pertama

adalah memberikan obat ke bagian bawah rectum. Prinsip sederhana ini agak

rumit oleh keberadaan anastomoses yang tidak memungkinkan tujuan yang

tepat dari daerah yang mengalir ke portal dan sirkulasi sistemik. Kenaikan

100% dalam ketersediaan lignocaine menunjukkan ketika diberikan rektal

bukan oral, dan itu dihitung bahwa fraksi rata-rata yang diberikan rektal dosis

yang lolos dari metabolism lintasan pertama adalah 57%..obat yang memiliki

metabolism lintas pertama tinggi, seperti salisilamid dan propranolol, tidak

menunjukkan peningkatan biovailabilitas yang besar bila diberikan melalui

rektal.

31
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Sediaan per oral adalah pemberian obat melalui mulut yang paling lazim

karena penggunaannya yang sangat praktis, mudah dan aman. Sediaan

dalam bentuk oral paling banyak digunakan karena kepraktisan

penggunaannya. Diharapkan sediaan per oral ini dapat memberikan efek

sistemik dari obat setelah proses

2. Organ-organ yang terlibat pada pemberian obat secara per oral yaitu

mulut, esofagus, lambung, usus halus (duodenum, jejenum dan ileum) dan

usus besar. Proses penyerapan obat terjadi pada usus halus.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian obat per oral yaitu faktor

fisiologi dan faktor patologi. Faktor fisiologi meliputi permukaan

penyerap, umur, laju pelewatan dan waktu tinggal dalam lambung, pH dan

perubahan pH karena formulasi, tegangan permukaan, kekentalan serta isi

saluran cerna yang dapat mengubah aksi zat aktif. Faktor patologi meliputi

gangguan fungsi penggetahan, gangguan transit dan gangguan penyerapan.

4. anatomi dan fisiologi rectum

Secara anatomi rectum terbentang dari vertebre sacrum ke-3 sampai garis

anorektal. Secara fungsional dan endoskopik, rectum dibagi menjadi

bagian ampula dan sfingter. Bagian sfingter disebut juga annulus

32
hemoroidalis, dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fasia dari fasia

supra –ani. Bagian ampula terbentang dari sacrum ke-3 ke difragma pelvis

pada insersi muskulus levator ani. Panjang rectum berkisa 10-15 cm,

dengan keliling 15 cm pada rectosigmoid junction dan 35 cm pada bagian

ampula yang terluas. Pada orang dewasa dinding rectum mempunyai 4

lapisan: mukosa, submukosa, muskularis ( sirkuler dan longitudinal ) dan

lapisan serosa.

5. pembuluh darah yang melewati rectal

setelah obat diresorbsi efek sistemisnya lebih cepat dan lebih kuat

dibandingkan per oral, berhubung vena-vena bawah dan tengah dari

rektum tidak tersambung pada sistem porta dan obat tidak melalui hati

pada peredaran darah pertama, sehingga tidak mengalami perombakan

FPE (first pass effect).

6. komponen dan karekteristik cairan rectal

Suppositoria suspense ssuspensi adalah formulasi yang paling banyak

digunakan, dan telah menunjukkan karakteristik pelepasan yang

tergantung pada faktor fifiologi, sifat fifikokimia obat, basis supositoria

dan lingkungan local di dalam rectum.

7. gerak rectum dan waktu transit

Obat harus larut dalam cairan rectum terbatas, yang telah diperkirakan

antara 1 dan 3 Ml, jumlah obat yang tersedia untuk absorpsi dapar

berkurang banyak dengan degradasi oleh isi limen, adsorpsi isi luminal

33
dan defekasi. Obat harus berdifusi melintasi air yang tidak teraduk dan

lapisan mukosa.

B. Saran

Diharapkan pada makalah selanjutnya dapat dijelaskan lebih lengkap

mengenai mekanisme obat baik secara farmakokinetik maupun

farmakodinamik.

34
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C. 1989. “Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Empat”. Jakarta: UI
Press

Irianto, K. 2014. “Anatomi dan Fisiologi”. Bandung: Penerbit Alfabeta

Tjay, T.H dan Rahardja, K. 2007. “Obat-Obat Penting”. Jakarta: PT Gramedia

Shargel, Leon, Susana, Wu-Pong dan Andrew, B.C. 2005. “Biofarmasetika dan
Farmakokinetika Terapan Edisi Kelima”. Surabaya: Airlangga
University Press

Asian J. Res. Pharm. Sci. Rama Rao N. 2012. “Rektal drug delivery: A Promising
route for enhancing drug absorption: Asian”.departement of
pharmaceutics.

35

Anda mungkin juga menyukai