Anda di halaman 1dari 70

MAKALAH PATOLOGI

KARDIOVASKULAR

KELOMPOK 9

AUSILIUS YEIMO (51221011087/C1)


SITI ARDIANTI SURIADI (51421011103/C1)
SUHARNIATI
MASNAWATI
RAHMAWATI (518011202/C)
DIAN EKAWATI RACHMAN (518011152/C)
LILIS FEBRIANTI (51720011023/D)
NUR ZAHRA SAID
SUKRIYADI

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PANCASAKTI
MAKASSAR
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Penyusunan makalah ini dimaksudkan
untuk memenuhi tugas FARMAKOTERAPI.
Saya menyadari makalah ini masih kurang sempurna oleh karena itu, kritik
dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan guna
penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin.

Makassar, 29 Mei 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................ 1
KATA PENGANTAR ............................................................................. 2
DAFTAR ISI ............................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 4
A. Latar Belakang..................................................................... 4
B. Rumusan Masalah .............................................................. 5
C. Tujuan Makalah.................................................................... 5
D. Kegunaan Makalah............................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ........................................................... 7
A. Aterosklerosis ..................................................................... 7
B. Iskemia Otot Jantung............................................................ 21
C. Gagal Jantung ...................................................................... 27
D. Hipertensi............................................................................. 58
BAB III PENUTUP ............................................................................... 67
A. KESIMPULAN ......................................................... 67
B. SARAN............................................................................ 67
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 69

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Jantung merupakan salah satu organ tubuh yang berfungsi untuk memompa
dan mengedarkan darah ke seluruh tubuh. Hal tersebut dapat berlangsung dengan
baik apabila kemampuan otot jantung cukup baik, sistem katup, dan irama
pemompaan yang baik (Muttaqin, 2009).
Apabila ditemukan ketidaknormalan pada salah satu fungsi jantung, maka
kemungkinan dapat menyebabkan kegagalan pada pemompaan darah. (Muttaqin,
2009).
Gagal jantung merupakan keadaan jantung tidak dapat lagi memberikan
peredaran darah yang cukup bagi kebutungan tubuh, walaupun tekanan pada
pengisian vena normal. (Papadaksi, dkk, 2002).
Kematian akibat penyakit kardiovaskuler khususnya gagal jantung adalah 27
%. Sekitar 3 - 20 per 1000 orang mengalami gagal jantung, angka kejadian gagal
jantung meningkat seiring pertambahan usia (100 per 1000 orang pada usia di atas 60
tahun. Dari hasil penelitian Framingham pada tahun 2000 menunjukkan angka
kematian dalam 5 tahun terakhir sebesar 62% pada pria dan 42% wanita, berdasarkan
data dari di Amerika terdapat 3 juta penderita gagal jantung dan setiap tahunnya
bertambah dengan 400.000 orang, sedangkan untuk di Indonesia angka kejadian
gagal jantung menyebab kematian nomor satu, padahal sebelumnya menduduki
peringkat ketiga. Gagal jantung dapat disebabkan oleh beberapa factor yang dapat
dihindari dan yang tidak dapat dihindari.
Faktor - faktor penyebab gagal jantung diantaranya adalah kebiasaan
merokok, diabetes, hipertensi, kolestrol, kelebihan berat badan hingga stress. Ada tiga
faktor lainnya yang tidak bisa dihindari oleh manusia yakni faktor keturunan dan latar
belakang keluarga, faktor usia dan jenis kelamin yang banyak ditemui pada kasus
kegagalan jantung. Selain hipertensi, penyebab gagal jantung adalah kelainan otot
jantung, ateriosklerosis dan peradangan pada miokardium.

4
B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah pada makalah ini adalah :

1. Apa yang dimaksud dengan sistem kardiovaskular ?

2. Apa yang dimaksud dengan penyakit aterosklerosis ?

3. Apa yang dimaksud dengan penyakit iskemia otot jantung/angina ?

4. Apa yang dimaksud dengan penyakit gagal jantung ?

5. Apa yang dimaksud dengan penyakit hipertensi?

C. TUJUAN

Tujuan pembuatan pada makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui tentang sistem kardiovaskular

2. Untuk mengetahui tentang penyakit aterosklerosis

3. Untuk mengetahui tentang penyakit iskemia otot jantung/ angina

4. Untuk mengetahui tentang penyakit gagal jantung

5. Untuk mengetahui tentang penyakit hipertensi

D. KEGUNAAN MAKALAH

Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik secara


teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai
pengembangan pengetahuan tentang senyawa saponin. Secara praktis makalah ini
diharapkan bermanfaat bagi:
1. Penulis, sebagai wahana penambah wawasan dan pengetahuan khususnya tentang
senyawa saponin

5
2. Pembaca/dosen, sebagai media informasi tentang senyawa saponin secara teoritis
maupun secara praktis

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sistem Kardiovaskular

1. Defenisi

Sistem kardiovaskuler adalah kumpulan organ yang bekerja sama untuk

melakukan fungsi transportasi dalam tubuh manusia. Sistem ini bertanggung jawab

untuk mentransportasikan darah, yang mengandung nutrisi, bahan sisa metabolisme,

hormone, zat kekebalan tubuh, dan zat lain ke seluruh tubuh. Sehingga, tiap bagian

tubuh akan mendapatkan nutrisi dan dapat membuang sisa metabolismenya ke dalam

darah. Dengan tersampainya hormone ke seluruh bagian tubuh, kecepatan

metabolisme juga akan dapat diatur. Sistem ini juga menjamin pasokan zat kekebalan

tubuh yang berlimpah pada bagian tubuh yang terluka, baik karena kecelakaan atau

operasi, dengan bertujuan mencegah infeksi di daerah tersebut. Dengan demikian,

dapat dilihat bahwa sistem kardiovaskuler memiliki fungsi utama untuk

mentransportasikan darah dan zat-zat yang dikandungnya ke seluruh bagian tubuh

(Griadhi, 2016).

2. Komponen sistem kardiovaskular(Griadhi, 2016)

Sistem kardiovaskuler terdiri atas organ jantung dan pembuluh darah. Fungsi

sistem ini dapat dianalogikan dengan sistem pengairan di rumah tangga, dimana

organ jantung berperan sebagai pompa dan pembuluh darah berperan sebagai

salurannya atau pipanya. Sistem ini bertanggung jawab untuk mentransportasikan

7
darah dan zat yang dikandungnya ke seluruh bagian tubuh manusia.

Untuk menjaga agar darah tetap mencapai seluruh bagian tubuh secara terus-

menerus maka jantung sebagai pompa harus berdenyut secara terus menerus pula.

Denyutan jantung diatur oleh sistem saraf otonom (SSO) yang berada di luar

kesadaran atau kendali kita sehingga kita tidak dapat mengatur denyutan jantung

seperti kehendak kita.

Sistem kardiovaskuler merupakan sistem tertutup artinya darah yang

ditransportasikan akan berada di dalam jantung dan pembuluh darah, tidak dialirkan

ke luar pembuluh darah. Berdasarkan arah aliran darah maka pembuluh darah dapat

dikelompokkan menjadi dua. Pertama adalah pembuluh darah yang meninggalkan

jantung (arteri) dan pembuluh darah yang menuju jantung (vena). Berdasarkan

ukuran penampangnya (diameter) maka pembuluh darah (arteri dan vena) dapat

dikelompokkan menjadi pembuluh darah besar, sedang, dan kecil. Contoh pembuluh

arteri besar adalah aorta, a. iliaca commonis; pembuluh arteri sedang adalah a.

tibialis, a. radialis; sedangkan contoh vena besar adalah v. cafa superior dan inferior.

Diantara pembuluh darah arteri kecil (arteriole) dan vena kecil (venule) akan terdapat

saluran kecil yang disebut pembuluh kapiler. Pembuluh kapiler ini menghubungkan

bagian pembuluh darah arteri dan vena. Pembuluh kapiler ini memiliki struktur

histologis tertentu.

3. Fungsi sistem kardiovaskular (feriyanti, 2011)

Fungsi sistem kardiovaskuler antara lain: (1) sebagai alat transportasi,

8
mengangkutbahan-bahan yang dibutuhkan sel seperti oksigen, glukosa, dan lain-lain,

serta membawabahan sisa seperti CO2, urea untuk dibuang; (2) sebagai

pengatur/regulasi, yang berperandalam meyampaikan hormone ke organ target, serta

berperan dalam regulasi suhu; (3)sebagai proteksi, ikut berperan dalam sistem

imunitas tubuh dan pembekuan darah.

4. Macam penyakit kardiovaskuler

a. Aterosklerosis

1. Defenisi

Aterosklerosis juga dikenal sebagai penyakit Vaskuler arteriosclerotic / SVD

berasal dari bahasa Yunani: athero (yg berarti bubur / pasta) & sklerosis (indurasi &

pengerasan). Aterosklerosis / pengerasan arteri adalah suatu kondisi arteri besar &

kecil yg ditandai oleh deposit substansi berupa endapan lemak, trombosit, makrofag,

leukosit, kolesterol, produk sampah seluler, kalsium & aneka substansi lainnya yg

terbentuk di dlm lapisan arteri di seluruh lapisan tunika intima & akhirnya ke tunika

media.

Aterosklerosis merupakan proses yg berbeda yg menyerang intima arteri besar

& medium. Perubahan tersebut meliputi penimbunan lemak, kalsium. komponen

darah, karbohidrat & jaringan fibrosa pada lapisan intima arteri. Penimbunan tersebut

dikenal sebagai ateroma / plak. Karena aterosklerosis merupakan penyakit arteri

umum, maka kalau kita menjumpainya di ekstremitas, maka penyakit tersebut jg

terdapat di bagian tubuh yg lain (Brunner & Suddarth, 2002).

9
Pertumbuhan ini dijuluki dgn plak. Plak tersebut berwarna kuning oleh

mengandung lipid & kolesterol. Sudah diketahui bahwa aterosklerosis bukanlah suatu

proses berkesinambungan, melainkan suatu penyakit dgn fase stabil & fase tak stabil

yg silih berganti. Perubahan gejala-gejala klinik yg tiba-tiba & tak terduga berkaitan

dengan rupture plak, meskipun rupture tidak selalu diikuti gejala-gejala klinis.

Seringkali rupture plak segera pulih, dgn cara inilah proses plak berlangsung (Hanafi,

Muin R, & Harun, 1997).

Aterosklerosis ialah kondisi dimana terjadi penyempitan pembuluh darah

dampak timbunan lemak yg berkembang/berubah naik dalam dinding pembuluh

darah yg dapat menghambat aliran darah. Aterosklerosis dapat terjadi pada arteri di

otak, jantung, ginjal, & organ vital lainnya serta pada lengan & tungkai. Jika

aterosklerosis terjadi didalam arteri yg menuju ke otak (arteri karoid) maka dapat

terjadi stroke. Namun jika terjadi didalam arteri yg menuju kejantung (arteri koroner),

maka dapat terjadi serangan jantung. Biasanya arteri yg amat kerap kali terkena ialah

arteri koroner, aorta, & arteri-arteri serbrum.

Beberapa pengerasan dari arteri biasanya terjadi ketika seseorang semenjak

tua. Namun sekarang bukan hanya pada manusia yg semenjak tua, tetapi jg pada

kanak-kanak. Oleh munculnya bercak-bercak di dinding arteri koroner sudah menjadi

fenomena alamiah yg tak kerap kali wajib terjadi lesi aterosklerosis terlebih dahulu.

2. Patogenesis Aterosklerosis

Aterosklerosis adalah suatu penyakit akibat respon peradangan pembuluh

10
darah yang progresif. Aterosklerosis merupakan proses inflamasi kronis yang dimulai

dengan akumulasi lipid pada tunika intima pembuluh arteri. Aterosklerosis

berhubungan dengan degenerasi lemak dan pengerasan pembuluh darah. Lesi

awalnya adalah lapisan lemak yang membentuk plak, dan plak yang tidak stabil

bertanggungjawab pada beberapa gangguan kardiovaskular (Aziz dan Yadav, 2016).

Aterosklerosis ditandai dengan terbentuknya ateroma, yaitu plak di tunika

intima yang ada pada lumen arteri sedang sampai besar. Plak tersebut mengandung

sel-sel inflamasi, sel otot polos, komponen jaringan ikat, dan lipid (Aziz dan Yadav,

2016). Arteri yang paling sering mengalami aterosklerosis adalah arteri koroner,

aorta, dan arteri serebral. Langkah pertama pembentukan aterosklerosis dimulai dari

disfungsi endotel lumen arteri yang dapat terjadi setelah terjadinya cedera endotel

atau dari stimulus lain (Corwin, 2009).

Terdapat tiga tahapan patogenesis atheroma, yaitu inisiasi, progresi, dan

komplikasi. Inisiasi dimulai dengan perekrutan leukosit mononuklear ke tunika

intima. Molekul adhesi spesifik diekspresikan pada permukaan sel endote di bawah

efek stimulus aterogenik, yang kemudian akan memediasi adhesi leukosit (terutama

monosit) dan limfosit T ke tunika intima. Molekul-molekul adhesi ini adalah selektin,

Vascular Cell Adhesion Molecule-1 (VCAM-1), Intercelullar Adhesion Molecule-1

(ICAM-1). Monosit yang masuk akan berubah menjadi makrofag di dalam tunika

intima, pada keadaan hiperlipidemia kronik, lipoprotein akan terakumulasi dalam

intima yang kemudian akan teroksidasi. Proses oksidasi ini dipicu oleh radikal bebas

dan makrofag. LDL yang teroksidasi (Ox-LDL) akan memicu pelepasan sitokin dan

11
kemokin yang memperberat inflamasi. Makrofag kemudian akan menangkap Ox-

LDL dan membentuk sel busa (foam cell) yang merupakan prekursor ateroma. Setelah

inisiasi, terjadi tahap progresi. Ateroma yang sedang terbentuk ikut terakumulasi pada

otot polos. Sel otot polos kaya akan kolagen yang berguna untuk melindungi

stabilitas plak. Penurunan aktivitas sintesis sel otot polos dapat membahayakan

stabilitas plak. Kekurangan sel otot polos pada lokasi ruptur berkaitan dengan proses

apoptosis. Ateroma yang terbentuk seringkali menyebabkan kalsifikasi yang

mempengaruhi stabilitas plak. Plak ateromatosa tersusun dari komponen seluler

seperti makrofag, sel otot polos, sel T, matriks ekstraseluler termasuk kolagen, serat

elastis, proteoglikan, dan lipid. Plak tersebut memiliki pelindung fibrosa (fibrous cap)

yang tersusun dari kolagen dan sel otot polos. Di dalamnya adalah inti lemak yang

nekrosis, sel busa, dan sel otot polos. Tahap selanjutnya adalah komplikasi, yaitu

ketika plak yang stenosis lama-kelamaan akan menyebabkan oklusi pembuluh darah,

menurunkan aliran darah dan dapat menyebabkan iskemia pada miokardium jika plak

menutupi lumen sebesar 70%. Hal lain yang mungkin terjadi adalah ruptur plak. Hal

ini diakibatkan inflamasi, remodelling pelindung fibrosa dan inti lipid serta

penurunan sintesis matriks. Faktor lain yang menyebabkan instabilitas plak adalah

vasospasme, aliran yang rendah, dan penurunan aktivitas fibrinolitik (Singh, Neki dan

Bisht, 2012).

3. Patofisiologi

Proses aterosklerosis diawali dengan perubahan k-LDL menjadi Ox- LDL.

12
Pada daerah predileksi yaitu aorta dan arteri koroner endotel mengalami gangguan

fungsi deendotelisasi dengan atau tanpa adhesi trombosit. Karena pengaruh

aterogenesis dan stimulus inflamasi, maka endotel menjadi aktif. Sitokin yang

dikeluarkan endotel akan menangkap monosit yang berubah menjadi makrofag,

kemudian menangkap Ox-LDL dan membuat sel busa berkembang menjadi inti lemak

yang mempunyai pelindung fibrosa. Struktur pelindung fibrosa ini bisa rapuh

sehingga memicu proses trombogenesis yang dapat menyebabkan sindrom koroner

akut (SKA). Di samping itu, NO (Nitrogen monoksida) yang merupakan agen

vasodilator yang dihasilkan endotel akan berkurang, sehingga dapat terjadi gangguan

fungsi dilatasi endotel. Hal inilah yang dianggap sebagai disfungsi endotel. Kadar

trigliserida yang tinggi juga merupakan faktor risiko karena sebagai besar merupakan

trigliserida yang kaya lipoprotein terutama kilomikron remnan dan very low density

lipoprotein (VLDL) remnan. Remnan lipoprotein ini ukuran kecil sehingga dapat

masuk ke subendotel dan menyebabkan aterosklerosis. Erosi plak atau ruptur dapat

terjadi akibat peningkatan sekresi sitokin proinflamasi, sintesis molekul prokoagulan,

dan produksi matriks metalloproteinase oleh sel inflamasi endotel yang

mengdegradasi kolagen pada pelindung fibrosam sehingga mengakibatkan darah

berkontak dengan inti trombogenik, kemudian memicu terjadinya agregasi platelet

dan pembentukan trombus. Ekspansi plak dengan pembentukan trombus

menyebabkan terjadinya oklusi pada pembuluh darah dan menimbulkan manifestasi

penyakit kardiovaskular (Adi PR, Tanpa Tahun) dan (Douglas dan Channon, 2014)

4. Implikasi klinis dan pencegahan

13
Perkembangan fatty streak dimulaisejak usia anak-anak. Lesi

aterosklerotikpernah ditemukan pada bayi, dandikatakan lesi tersebut

berkembangsetelah umur 8-18 tahun dan masuk ketahap lanjutan pada umur 25

tahun,biasanya manifestasi muncul di umur 50-60 tahun yang disebabkan

instabilitasplak. Instabilitas plak aterosklerotik padaarteri koroner memegang

perananpenting dalam perkembangan sindromkoroner akut (SKA). Sindrom

koronerakut secara klinis tidak terdeteksi,sampai timbulnya stenosis atautrombosis

yang menyebabkan terjadinyagangguan aliran darah dan iskemiamiokardial. Secara

klinis tampak sebagai angina pektoris, infark miokardium, dan sudden cardiac death

(Muwarni, Ali dan Muliartha, 2006).

Pencegahan dan pengobatan dari pengendalian atherosklerosis dari faktor

resiko yang telah diketahui untuk penyakit tersebut.Didalamnya termasuk

pengobatan untuk hipertensi, hyperlipidemia, DM, dan kebiasaan merokok Perubahan

gaya hidup dapat meningkatkan kerja pembuluh arteri. Dokter memiliki beberapa tipe

pengobatan untuk memperlambat atau mengatasi pengaruharteriosklerosis dan

atherosclerosis

Pencegahan pada aterosklerosis bertujuan untuk menghindari kejadian

gangguan kardiovaskular pada pasien yang asimtomatik, dasar pencegahannya adalah

pengenalan dan intervensi faktor risiko. Secara global, faktor risiko terbagi menjadi

yang tidak bisa diubah dan bisa diubah (lihat tabel). Penilaian faktor risiko ini harus

dimulai sejak usia anak-anak, sebab proses aterosklerosis sudah dimulai sejak anak-

anak (Adi PR, Tanpa Tahun).

14
FAKTOR RESIKO YANG FAKTOR RESIKO YANG
DAPAT DI UBAH TIDAK DAPAT DI UBAH
Dislipidemia (LDL meningkat, Usia lanjut
HDL menurun)
Merokok Laki-laki
Hipertensi Herediter
Diabetes mellitus
Kurang aktivitas fisik

5. Skrining dan diagnosa Aterosklerosis

Dokter anda mungkin menemukan tanda-tanda dari penyempitan, perluasan

atau pengerasan arteri selama pemeriksaaan fisik. Termasuk didalamnya

a. Kelemahan atau ketidakadaanya denyut di bawah daerah

penyempitanarteri

b. Suara bising di seluruh arteri yang dapat terdengar dengan

menggunakanstetoskop

c. Bukti bahwa luka kecil menjadi sembuh kembali dalam bagian

dimanaaliran darah anda dibatasi

d. Penurunan tekanan darah pada salah satu extrimitas yang terkena

pengaruh

e. Tanda-tanda dari aneurysma dalam abdomen atau di belakang lutut

anda

Dokter anda mungkin menyarankan satu atau lebih dari test-test

berikutuntuk mengidentifikasi penyakit tersebut atau gejala-gejalanya.

a. Tes darah

15
Suatu test darah dapat mengetahui peningkatan levelkolesterol,

homocysteine atau gula darah (glukosa), yang juga

merupakanfaktor resiko untuk penyakit ini.

b. Ankle-Brachial Index (ABI)

Dengan menggunakan manset untuk mengukur tekan darah dan alat

ultrasound khusus yang digunakan untuk menentukan nilai dan

aliran darah (Doppler Ultrasound). Dokter dapatmengukur tekanan

darah pasien pada lengan dan kaki pasien menunjukkan penyakit

arteri perifer, yang mana biasanya disebabkan aterosklerosis

c. Electrocardiogram (ECG)

Elektrokardiogram merupakan alat uji diagnosa yang terdiri

ataselement-element elektroda yang di tempelkan di kulit pasien

untuk mengukur hantaran elektrik (listrik) atau impuls dari jantung.

ECG jugadapat mendeteksi serangan jantung lebih dini pada

beberapa pasien.Biasanya dokterakan melakukan pemeriksaan ECG

sepanjang dan setelahtreadmill

d. Gambar

Chest X-rays, ultrasound, computerized tomography (CT) scandan

magnetic resonance imaging (MRI) merupakan cara yang tidak

invasif untuk dokter memeriksa arteri pasien, apakah di arteri

terdapat sumbatandan berapa banyak sumbatan yang menutup

arteri. Semua test ini kadang-kadang dapat menunjukkan

16
pengerasan dan penyempitan serta arteri utamayang lebih besar,

sama baiknya seperti pada aneurisma dan simpanankalsium pada

dinding arteri

e. Doppler Ultrasound

Alat ini digunakan untuk mengamati seluruh arteri di dalam

tubuhdan menentukan tekanan darah pada angka yang bervariasi

pada lengandan kaki. Pemeriksaan ini dapat menolong untuk

menentukan jumlahsumbatan dan kecepatan aliran darah pada

arteri.

f. MUGA / radionuclide angiograpy

Nuclear scan untuk melihat bagaimana dinding jantung bergerak

dan berapa banyak darah yang di paksa keluar setiap ketukan

jantung(heartbeat), ketika pasien dalam keadaan istirahat.

g. Thallium / myocardial perfusionscan

Pengamatan nuclear yang diberikan ketika pasien dalam

keadaanistirahat atau setelah latihan yang dapat mengungkap daerah

dari otot jantung yang tidak cukup mendapatkan suplai darah.

6. Pengobatan aterosklerosis

a Pengobatan kimia

1. Obat penurun kolestrol

Secara agresive dapat menurunkan sejumlahlow-density

lipoprotein (LDL) – kolestrol “jahat” – yang

17
dapatmemperlambat aliran darah, berhenti atau bahkan

sebaliknya membentuk plak. Obat ini mengandung statin dan

fibrate dan diberikan dengan dosistertentu.

2. Pengobatan anti-platelet

Aspirin merupakan salah satu contoh dari tipeobat ini –

digunakan untuk mengurangi kemungkinan

penggumpalankepingan darah pada atherosklerosis,

terbentuknya bekuan darah, danterjadinya sumbatan pada

pembuluh darah.

3. Antikoagulan

Seperti Heparin atau Warfarin ( Komadin ). Digunakanuntuk

mengencerkan darah dan mencegah pembekuan untuk

pembentukanarteri dan aliran darah yang mengalami sumbatan

4. Vasodilatasi obat pembuluh darah

Vasodilator seperti Prostaglandin,dapat mencegah penebalan

otot pada dinding arteri dan menghentikan penyempitan arteri.

Tapi efek dari obat ini kuat dan biasanya hanyadigunakan

ketika obat lain tidak bekerja.

5. Pengobatan lainnya

Dapat disarankan beberapa pengobatan untuk mengontrol

faktor resiko, seperti diabetes, tekanan darah tinggi dan

levelhomocysteine yang tinggi. Dapat juga disarankan obat

18
spesifik untuk gejala tertentu, seperti claudicasi yang

intermittent.

b Pengobatan herbal

1. Alpukat

Alpukat mengandung asam folat, asam pantotenat, niasin,

vitamin B1,vitamin B6, vitamin C, vitamin E, fosfor, zat besi,

kalium, magnesium,dan glutation, juga kaya akan serat dan

asam lemak tak jenuh tunggal.Kandungan ini yang mampu

menurunkan kadar trigliserida dan kolesteroldarah.

2. Kubis

Kubis (brassica oleracea var. capitate) yang juga disebut kol,

mengandungair, protein, lemak, karbohidrat, serat, kalsium,

fosfor, tinamide, dan betakaroten. Kubis juga mengandung

senyawa sianohidroksibutena(CHB), sulforafan, dan iberin

yang merangsang pembentukan glutation.

3. Bawang merah

Bawang merah (Cepae bulbus), mengandung senyawa

flavonoid yang bekerja sebagai antioksidan dan menurunkan

kadar kolesterol, trigliserida,dan gula darah. Bawang putih

(Allii bulbus), bahan aktifnya s-allylcysteine, suatu komponen

thioallyl yang mempunyai khasiat hipolipidemik dan

antitrombotik.

19
4. Jati belanda

Jati belanda (Guezuma ulmifolia.lamk) bermanfaat

menurunkan kadar lemak dan kolesterol darah melalui

kandungan lendir, tanin, danalkaloidnya. Ketiga zat itu meski

memiliki mekanisme kerja yang berbeda,saling menunjang

dalam menurunkan kadar lemak dan kolesterol

darah.Dijelaskan oleh Djoko Hargono, pemerhati obat alami,

bila digunakansecara oral, kandungan lendir daun jati belanda

akan mengembang didalam lambung. Hal ini akan

menyebabkan tertekannya nafsu makan,sehingga mengurangi

gugus amino. Serat diet yang mengikat gugus aminolebih

efektif daripada kitin atau serat diet biasa. Serat ini memiliki

gugusamino yang bermuatan positif, sehingga dapat menyerap

lemak dankolesterol yang umumnya bermuatan negatif.

5. Kunyit

Kunyit (Curcumae domesticae rhizoma) berkhasiat

melancarkan darah danenergi vital, menghilangkan sumbatan,

sebagai peluruh kentut dan haid,mempermudah persalinan,

antibakteri, antiinflamasi, serta memperlancar pengeluaran

empedu ke usus.

6. Temulawak

Temulawak (Curcumae rhizoma) mempunyai aktivitas

20
kolagoga(memperlancar pengeluaran empedu ke usus).

7. Seledri

Seledri (Apii graveolentis radix), akarnya mengandung

asparagin, pentosan, glutamin, tirosin, manit, zat pati, lendir,

dan minyak atsiri.Khasiatnya memacu enzim pencernaan dan

peluruh kencing.

8. Angkak

Angkak, sering disebut beras merah Cina, adalah sejenis

cendawan berwarna merah, bernama Latin Monascus

purpureus. Angkak bisadigunakan untuk membuat arak merah

yang terbuat dari beras, sebagai bahan pengawet makanan, dan

untuk obat. Berdasarkan penelitian, angkak mampu

menurunkan kadar kolesterol darah.

b. Iskemia Otot Jantung/ Angina

1. Defenisi

Penyakit jantung iskemik merupakan berkurangnya suplai darah yang

membawa oksigen dan kebutuhan-kebutuhan vital untuk sel-sel otot jantung di

sebabkan adanya sumbatan atau blok terhadap pembuluh darah artery jantung ( artery

Coronar ).

2. Patofisiologi

21
Patofisiologi dasar dari penyakit jantung iskemik adalah ketidakseimbangan
antara penyediaan dan kebutuhan oksigen miokardium. Penyediaan oksigen
miokardium bisa menurun atau kebutuhan oksigen miokardium bisa meningkat
melebihi batas cadangan perfungsi koronaria, yang menyebabkan iskemia. Penelitian
belakangan ini menggambarkan bahwa penurunan dalam aliran darah koronaria
karena spasme arteri koronaria, agregasi trombosit atau keduanya bisa memainkan
peranan dalam patogenesis iskemia miokardium berulang yang lama pada pasien
aterosklerosis koroner.
Penyakit jantung iskemik/koroner dimulai saat terlalu banyak mengkonsumsi
makanan yang mengandung kolesterol, maka kadar kolesterol dalam darah bisa
berlebih disebut hiperkolesterolemia. Kelebihan kadar kolesterol dalam darah akan
disimpan di dalam lapisan dinding pembuluh darah arteri, yang disebut
sebagai plak atau ateroma ,sumber utama plak berasal dari LDL Kolesterol (kolestrol
jahat). Sedangkan HDL(kolestrol baik) membawa kembali kelebihan kolesterol ke
dalam hati, sehingga mengurangi penumpukan kolesterol di dalam dinding pembuluh
darah).Ateroma berisi bahan lembut seperti keju, mengandung sejumlah bahan lemak,
terutama kolesterol, sel-sel otot polos dan sel-sel jaringan ikat.
Apabila makin lama plak yang terbentuk makin banyak, akan terjadi suatu
penebalan pada dinding pembuluh darah arteri, sehingga terjadi penyempitan
pembuluh darah arteri. Kejadian ini disebut sebagai aterosklerosis terdapatnya aterom
pada dinding arteri, berisi kolesterol dan zat lemak lainnya. Hal ini menyebabkan
terjadinya arteriosklerosis (penebalan pada dinding arteri & hilangnya kelenturan
dinding arteri). Bila ateroma yang terbentuk semakin tebal, dapat merobek lapisan
dinding arteri dan terjadi bekuan darah trombus yang dapat menyumbat aliran darah
dalam arteri tersebut.
Hal ini yang dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah serta suplai zat-
zat penting seperti oksigen ke daerah atau organ tertentu seperti jantung. Bila
mengenai arteri koronaria yang berfungsi mensuplai darah ke otot jantung istilah
medisnya miokardium. Maka suplai darah jadi berkurang dan menyebabkan kematian

22
di daerah tersebut (disebut sebagai infark miokard).
Konsekuensinya adalah terjadinya serangan jantung dan menyebabkan
timbulnya gejala berupa nyeri dada yang hebat dikenal sebagai angina pectoris.
Keadaan ini yang disebut sebagai Penyakit Jantung Koroner (PJK).

3. Gejala

Penderita infark miokard akut sering didahului oleh keluhan dada terasa tdiak
enak (chest discomfort). Keluhan ini menyerupai gambaran angina yang klasik pada
saat istirahat sehingga dianggap terjadi angina tidak stabil. Tiga puluh persen
penderita mengeluh gejala tersebut 1-4 minggu sebelum penderita mengeluh gejala
tersebut dirasakan kurang dari 1 minggu. Selain itu penderita sering mengeluh rasa
lemah dan kelelahan. 
Ada beberapa gejala Penyakit Jantung Koroner yaitu :
a. Demam, suhu tubuh umumnya sekitar 38°C
b. Mual-mual dan muntah, perut bagian atas kembung dan sakit
c. Muka pucat pasi
d. Kulit menjadi basah dan dingin badan bersimbah peluh
e. Gerakan menjadi lamban (kurang semangat)
f. Sesak nafas
g. Cemas dan gelisah

23
h. Pingsan
4. Skrining dan diagnosa Iskemia Otot Jantung/ Angina

1. Elektrokardiogram (EKG)

Pemeriksaan aktifitas listrik jantung atau gambaran elektrokardiogram (EKG)


adalah pemeriksaan penunjang untuk memberi petunjuk adanya PJK. Dengan
pemeriksaan ini kita dapat mengetahui apakah sudah ada tanda-tandanya. Dapat
berupa serangan jantung terdahulu, penyempitan atau serangan jantung yang baru
terjadi, yang masing-masing memberikan gambaran yang berbeda.
2. Foto Rontgen Dada

Dari foto rontgen, dokter dapat menilai ukuran jantung, ada-tidaknya


pembesaran. Di samping itu dapat juga dilihat gambaran paru. Kelainan pada koroner
tidak dapat dilihat dalam foto rontgen ini. Dari ukuran jantung dapat dinilai apakah
seorang penderita sudah berada pada PJK lanjut. Mungkin saja PJK lama yang sudah
berlanjut pada payah jantung. Gambarannya biasanya jantung terlihat membesar.
3. Pemeriksaan Laboratorium

Dilakukan untuk mengetahui kadar trigliserida sebagai faktor resiko. Dari


pemeriksaan darah juga diketahui ada-tidaknya serangan jantung akut dengan melihat
kenaikan enzim jantung.
4. Treadmill

Bila dari semua pemeriksaan diatas diagnosa PJK belum berhasil ditegakkan,
biasanya dokter jantung/ kardiologis akan merekomendasikan untuk dilakukan
treadmill.
5. Kateterisasi Jantung

Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan kateter semacam selang


seukuran ujung lidi. Selang ini dimasukkan langsung ke pembuluh nadi (arteri). Bisa
melalui pangkal paha, lipatan lengan atau melalui pembuluh darah di lengan bawah.

24
Kateter didorong dengan tuntunan alat rontgen langsung ke muara pembuluh koroner.
Setelah tepat di lubangnya, kemudian disuntikkan cairan kontras sehingga mengisi
pembuluh koroner yang dimaksud. Setelah itu dapat dilihat adanya penyempitan atau
malahan mungkin tidak ada penyumbatan. Penyempitan atau penyumbatan ini dapat
saja mengenai beberapa tempat pada satu pembuluh koroner. Bisa juga sekaligus
mengenai beberapa pembuluh koroner. Atas dasar hasil kateterisasi jantung ini akan
dapat ditentukan penanganan lebih lanjut. Apakah apsien cukup hanya dengan obat
saja, disamping mencegah atau mengendalikan bourgeois resiko. Atau mungkin
memerlukan intervensi yang dikenal dengan balon,semacam penyangga seperti cincin
atau gorng-gorong yang berguna untuk mencegah kembalinya penyempitan. Bila
tidak mungkin dengan obat-obatan, dibalon dengan atau tanpa stent, upaya lain
adalah dengan melakukan bedah pintas koroner.
5. Pengobatan Iskemia Otot Jantung/ Angina

A. Farmokologi
1. Analgetik yang diberikan biasanya golongan narkotik (morfin) diberikan
secara intravena dengan pengenceran dan diberikan secara pelan-pelan.
Dosisnya awal 2,0 – 2,5 mg dapat diulangi jika perlu
2. Nitrat dengan efek vasodilatasi terutama venodilatasiakan menurunkan venou
s return akan menurunkan preload yang berarti menurunkan oksigen demam.
Di samping itu nitrat juga mempunyai efek dilatasi pada arteri koroner
sehingga akan meningkatakan suplai oksigen. Nitrat dapat diberikan dengan
sediaan spray atau sublingual, kemudian dilanjutkan dengan peroral atau
intravena.
3. Aspirin sebagai antitrombotik sangat penting diberikan. Dianjurkan diberikan
sesegera mungkin (di ruang gawat darurat) karena terbukti menurunkan
angka kematian.
4. Trombolitik terapi, prinsip pengelolaan penderita infark miokard akut adalah
melakukan perbaikan aliran darah koroner secepat mungkin

25
(Revaskularisasi / Reperfusi).Hal ini didasari oleh proses patogenesanya,
dimana terjadi penyumbatan / trombosis dari arteri koroner. Revaskularisasi
dapat dilakukan (pada umumnya) dengan obat-obat trombolitik seperti
streptokinase, r-TPA (recombinant tissue plasminogen ativactor complex),
Urokinase, ASPAC ( anisolated plasminogen streptokinase activator), atau
Scu-PA (single-chain urokinase-type plasminogen activator).Pemberian
trombolitik terapi sangat bermanfaat jika diberikan pada jam pertama dari
serangan infark. Dan terapi ini masih masih bermanfaat jika diberikan 12 jam
dari onset serangan infark.
5. Betablocker diberikan untuk mengurangi kontraktilitas jantung sehingga akan
menurunkan kebutuhan oksigen miokard. Di samping itu betaclocker juga
mempunyai efek anti aritmia.
B. Non-farmakologi
1. Merubah gaya hidup, memberhentikan kebiasaan merokok
2. Olahraga dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol dan memperbaiki
kolateral koroner sehingga PJK dapat dikurangi, olahraga bermanfaat karena:
 Memperbaiki fungsi paru dan pemberian O2 ke miokard
 Menurunkan berat badan sehingga lemak lemak tubuh yang berlebih
berkurang bersama-sama dengan menurunnya LDL kolesterol
  Menurunkan tekanan darah
 Meningkatkan kesegaran jasmani
3. Diet merupakan langkah pertama dalam penanggulangan hiperkolesterolemi.

c. Gagal Jantung

26
1. Defenisi

Jantung merupakan suatu organ otot berongga yang terletak di pusat dada.

Bagian kanan dan kiri jantung masing-masing memiliki ruang sebelah atas (atrium

yang mengumpulkan darah dan ruang sebelah bawah (ventrikel) yang mengeluarkan

darah. Agar darah hanya mengalir dalam satu arah, maka ventrikel memiliki satu

katup pada jalan masuk dan satu katup pada jalan keluar. Fungsi utama jantung

adalah menyediakan oksigen ke seluruh tubuh dan membersihkan tubuh dari hasil

metabolisme (karbondioksida). Jantung melaksanakan fungsi tersebut dengan

mengumpulkan darah yang kekurangan oksigen dari seluruh tubuh dan memompanya

ke dalam paru- paru, dimana darah akan mengambil oksigen dan membuang

karbondioksida. Jantung kemudian mengumpulkan darah yang kaya oksigen dari

paru-paru dan memompanya ke jaringan di seluruh tubuh.

27
Gagal jantung merupakan suatu keadaan dimana jantung tidak dapat lagi
memompa darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh,
walaupun darah balik masih dalam keadaan normal. Dengan kata lain, gagal jantung
merupakan suatu ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah dalam jumlah
yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh (forward failure) atau
kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang
tinggi (backward failure) atau keduanya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gagal jantung adalah
kontraktilitas miokard, denyut jantung (irama dan kecepatan/ menit) beban awal dan
beban akhir.
2. Etiologi gagal jantung

Menurut beberapa penelitian penyakit jantung disebabkan oleh beberapa hal


yaitu:
 usia,
 jenis kelamin,
 konsumsi garam berlebihan,
 keturunan,
 hiperaktivitas system syaraf simpatis,
 stress,
 obesitas,
 olahraga tidak teratur,
 merokok,
 konsumsi alcohol dan kopi berlebihan,
 hipertensi,
 ischaemic heart disease,
 konsumsi alkohol,
 Hypothyroidsm,

28
 penyakit jantung kongenital (defek septum, atrial septal defek, ventrical septal
defek),
 Kardiomiopati (dilatasi, hipertropik, restriktif), dan
 infeksi juga dapat memicu timbulnya gagal jantung.
3. Macam – macam gagal jantung

1. Gagal Jantung Akut


Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala-gejala
atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau
tanpa adanya sakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi
sistolik atau disfungsi diastolik . Diagnosis gagal jantung akut ditegakkan
berdasarkan gejala dan penilaian klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti
EKG, foto thoraks, biomarker dan ekokardiografi Doppler. Pasien segera
diklasifikasikan apakah disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik.
Timbulnya sesak napas secara cepat (<24 jam) akibat kelainan fungsi jantung,
gangguan fungsi sistolik atau diastolik atau irama jantung, atau kelebihan beban awal
(preload), beban akhir (afterload) atau kontraktilitas. Keadaan ini mengancam jiwa
jika tidak ditangani dengan cepat (Liwang F, et al, 2014).
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara
tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer
(Panggabean MM, 2009).
2. Gagal Jantung Kronik
Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, dimana terdapat kegagalan
jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Gagal jantung
kronis juga didefinisikan sebagai sindroma klinik yang komplek yang disertai
keluhan gagal jantung berupa sesak, fatique baik dalam keadaan istirahat maupun
beraktifitas.
Sindrom klinis yang kompleks akibat kelainan structural fungsional yang
mengganggu kemampuan pompa jantung atau mengganggu pengisian jantung

29
(Liwang F, et al, 2014).
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan
multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok,
namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik (Panggabean MM, 2009).
Pada gagal jantung kronis, derajat penyakit secara klinis fungsional dapat
dikategorikan berdasarkan criteria New York Heart Association (NYHA):
NYHA I : Penyakit jantung, namun tidak ada gejala atau keterbatasan dalam
aktivitas fisik sehari-hari biasa, misalnya berjalan, naik tangga, dan
sebagainya (Liwang F, et al, 2014).
NYHA II : Gejala ringan (sesak napas ringan dan atau angina) serta terdapat
keterbatasan ringan dalam aktivitas fisik biasa sehari-hari (Liwang F,
et al, 2014).
NYHA III: Terdapat keterbatasan fisik sehari-hari akibat gejala gagal jantung
pada tingkatan yang lebih ringan. Misalnya berjalan 20-100 m. Pasien
hanya merasa nyaman saat beristirahat (Liwang F, et al, 2014).
NYHA IV: Terdapat keterbatasan aktivitas yang berat, misalnya gejala muncul
saat istirahat (Liwang F, et al, 2014).
Klasifikasi terbaru yang dikeluarkan American Collage of
Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) pada tahun 2005 menekankan
pembagian gagal jantung berdasarkan progessivitas kelainan structural dari jantung
dan perkembangan status fungsional. Klasifikasi dari ACC/AHA ini dibagi menjadi 4
stage :
Stage A : Ada faktor risiko gagal jantung (seperti diabetes, hipertensi, penyakit
jantung koroner) namun belum ada kelainan structural dari jantung
(cardiomegali, LVH, dll) maupun kelainan fungsional (Manurung D,
2009).
Stage B : Ada faktor risiko gagal jantung dan sudah terdapat kelainan structural
dengan atau tanpa kelainan fungsional, namun bersifat asimptomatik
(Manurung D, 2009).

30
Stage C: Sedang dalam dekopensasi dan atau pernah gagal jantung, yang
didasari oleh kelainan structural dari jantung (Manurung D, 2009).
Stage D: Sudah masuk ke dalam refractory heart failure, dan perlu advanced
treatment strategies (Manurung D, 2009).
4. Patofisiologi

Terdapat beberapa kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu

gangguan mekanik (beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal atau

bersamaan yaitu beban tekanan, beban volume, tamponade jantung atau kontriksi

perikard, jantung tidak dapat diastol, obstruksi pengisian ventrikel, aneurisme

ventrikel, disenergi ventrikel, restriksi endokardial atau miokardial) dan abnormalitas

otot jantung yang terdiri dari primer (kardiomiopati, miokarditis metabolic (DM,

gagal ginjal kronik, anemia) toksin atau sitostatika) dan sekunder (iskemia, penyakit

sistemik, penyakit infiltrative, dan korpulmonal) (Soeparman, 2001).

1. Gangguan irama jantung atau konduksi


Menurut Soeparman (2000) beban pengisian (preload) dan beban tekanan
(afterload) pada ventrikel yang mengalami dilatasi atau hipertrofi memungkinkan
adanya peningkatan daya kontraksi jantung yang lebih kuat, sehingga curah jantung
meningkat. Pembebanan jantung yang lebih besar meningkatkan simpatis, sehingga
kadar katekolamin dalam darah meningkat dan terjadi takikardi dengan tujuan
meningkatkan curah jantung. Pembebanan jantung yang berlebihan dapat
mengakibatkan curah jantung menurun, maka akan terjadi redistribusi cairan dan
elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan vasokontriksi perifer dengan
tujuan untuk memperbesar aliran balik vena (venous return) ke dalam ventrikel
sehingga meningkatkan tekanan akhir diastolic dan menaikkan kembali curah
jantung (Soeparman, 2001).

31
Dilatasi, hipertrofi, takikardi, dan redistribusi cairan badan merupakan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi
kebutuhan kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi
kebutuhan sirkulasi badan. Bila semua kemampuan mekanisme kompensasi jantung
tersebut di atas sudah dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam badan
belum juga terpenuhi, maka terjadilah keadaan gagal jantung (Rang, 2003).
Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya
gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun
dengan akibat tekanan akhir diastole dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole
dalam ventrikel kiri meningkat. Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam
kerjanya untuk mengisi ventrikel kiri pada waktu diastolic, dengan akibat terjadinya
kenaikan tekanan rata-rata dalam atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang
meninggi ini menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dari vena-vena
pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka bendungan akan terjadi juga dalam
paru-paru dengan akibat terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan tanda-
tanda akibat adanya tekanan dalam sirkulasi yang meninggi. Keadaan yang terakhir
ini merupakan hambatan bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa darah untuk
sirkuit paru (sirkulasi kecil). Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah,
maka akan meransang ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan
mengalami hipertropi dan dilatasi sampai batas kemampuannya, dan bila beban
tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi gagal jantung kanan, sehingga pada
akhirnya terjadi gagal jantung kiri-kanan. Gagal jantung kanan dapat pula terjadi
karena gangguan atau hambatan pada daya pompa ventrikel kanan sehingga isi
sekuncup ventrikel kanan tanpa didahului oleh gagal jantung kiri. Dengan
menurunnya isi sekuncup ventrikel kanan, tekanan dan volume akhir diastole
ventrikel kanan akan meningkat dan ini menjadi beban atrium kanan dalam kerjanya
mengisi ventrikel kanan pada waktu diastole, dengan akibat terjadinya kenaikan
tekanan dalam atrium kanan. Tekanan dalam atrium kanan yang meninggi akan
menyebabkan hambatan aliran darah dalam vena kava superior dan inferior ke dalam

32
jantung sehingga mengakibatkan kenaikan dan adanya bendungan pada vena-vena
sistemik tersebut (bendungan pada vena jugularis dan bendungan hepar) dengan
segala akibatnya (tekanan vena jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bila
keadaan ini terus berlanjut, maka terjadi bendungan sistemik yang lebih berat dengan
akibat timbulnya edema tumit atau tungkai bawah dan asites (Osama Gusbi, 2002).
Manifestasi CHF tidak hanya disebabkan karena ketidakmampuan jantung
dalam mensuplai oksigen yang adekuat ke jaringan perifer, tapi juga tergantung pada
respon sistemik dalam mengkompensasi ketidakadekuatan suplai oksigen ke
jaringan. Beberapa faktor yang menentukan cardiac output meliputi heart rate dan
stroke volume. Stroke volume ditentukan oleh preload, kontraktilitas, dan afterload.
Variabel-variabel ini penting diketahui dalam patofisiologis CHF dan potensi terapi.
Selain itu interaksi kardiopulmonary penting juga untuk diketahui dalam peranannya
dalam kegagalan jantung (Figueroa, et al, 2006).
Preload dapat dilihat dari jumlah volume darah yang harus dipompa oleh
jantung, kontraktilitas merupakan kemampuan memompa jantung, sedangkan
afterload merupakan kekuatan yang harus dikeluarkan oleh jantung untuk
memompa darah. Preload tidak hanya dipengaruhi oleh volume intravaskuler, tapi
juga dipengaruhi oleh keadaan restriksi saat pengisian ventrikel. Fungsi diastolic
ditentukan oleh dua faktor yaitu elastisitas dari ventrikel kiri, yang mana merupakan
fenomena yang pasif, dan relaksasi myocardial yang mana proses ini merupakan
proses yang aktif dan membutuhkan energi. Ketidaknormalan ventrikel kiri untuk
relaksasi atau elastisitasnya baik itu karena structural (contoh: hypertropi ventrikel
kiri) atau perubahan pada fungsional (contoh: iskemia) mempengaruhi juga pengisian
ventrikel (preload) (Figueroa, et al, 2006).
Variable kedua dari stroke volume adalah kontraktilitas jantung, Pada jantung
normal fungsi sistolik fraksi ejeksi akan selalu dipertahankan diatas 50-55%. Infark
myokard akan menyebabkan myokard tidak dapat bekerja dengan baik, hal ini
dikarenakan jantung tidak dapat berkontraksi dengan baik. Jaringan yang infark
dapat diperbaiki dengan pembedahan atau dengan terapi obat-obatan. Beberapa hal

33
yang juga mempengaruhi kontraktilitas jantung adalah agent farmakologik (calcium
channel blocker), hipoksemia, dan asidosis yang parah (Figueroa, et al, 2006).
Variabel terakhir dari komponen stroke volume adalah afterload. Afterload
biasanya dilihat dengan pengukuran mean arterial pressure. Afterload dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu tahanan vaskuler, dan tekanan intratorakal. Bersama-
sama ketiga komponen ini saling mempengaruhi dalam patofisiologi CHF. Pada
kondisi dimana terjadi penurunan cardiac output, maka heart rate atau stroke
volume harus berubah untuk menjaga kelangsungan perfusi. Jika stroke volume tidak
dapat dirubah, maka heart rate harus ditingkatkan untuk menjaga cardiac output
(Figueroa, et al, 2006).
Sistem neurohormonal teraktivasi pada disfungsi ventrikel dengan penurunan
cardiac output, terjadi aktivasi baroreseptor pada arkus aorta, sinus karotikus, dan
ventrikel kiri. Baroreseptor ini menstimulasi pusat regulator vasomotor pada
medula, yang mana kemudian mengaktivasi system saraf simpatis, arginin
vasopressin, dan rennin-angiotensin aldosteron system. Aktivasi system saraf
simpatis dapat terlihat dari adanya peningkatan kadar norepinephrin plasma, hasilnya
dapat terlihat dari peningkatan heart rate, kontraktilitas myocardium, vasokonstriksi
perifer. Renin angiotensin system teraktivasi pada kegagalan jantung, melalui
mekanisme intrarenal, yang distimulasi oleh perubahan tekanan atau perubahan pada
kadar sodium pada macula densa, yang kemudian menyebabkan terjadinya retensi
sodium dan cairan (Tsutsui, et al, 2007).
2. Mekanisme Frank Starling
Mekanisme Frank Starling meningkatkan stroke volume berarti terjadi
peningkatan volume ventrivuler dan diastolik. Bila terjadi peningkatan pengisian
diastolic, berarti ada peningkatan peregangan dari serat otot jantung, lebih optimal
pada filament aktin dan myosin, dan hasilnya meningkatkan tekanan pada kontraksi
berikutnya. Pada keadaan normal, mekanisme Frank Starling mencocokkan output
dari dua ventrikel (Boron, et al, 2005).
Pada gagal jantung, mekanisme Frank Starling membantu mendukung

34
kardiak output. Kardiak output mungkin akan normal pada penderita gagal jantung
yang sedang beristirahat, dikarenakan terjadinya peningkatan volume ventricular end
diastolic dan mekanisme Frank-Starling. Mekanisme ini menjadi tidak efektif ketika
jantung mengalami pengisian yang berlebihan dan serat otot mengalami peregangan
yang berlebihan (Boron, et al, 2005).
Hal penting yang menentukan konsumsi energy otot jantung adalah
ketegangan dari dinding ventricular. Pengisian ventrikel yang berlebihan
menurunkan ketebalan dinding pembuluh darah dan meningkatkan ketegangan
dinding pembuluh darah. Peningkatan ketegangan dinding pembuluh darah akan
meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung yang menyebabkan iskemia dan lebih
lanjut lagi adanya gangguan fungsi jantung (Loscalzo, et al, 2008).
1. Aktivasi neurohormonal yang mempengaruihi sistem saraf simpatetik
Stimulasi system saraf simpatetik berperan penting dalam respon kompensasi
menurun cardiac output dan pathogenesis gagal jantung. Baik cardiac sympathetic
tone dan katekolamin (epinephrine dan norepinephrin) meningkat selama tahap
akhir dari hampir semua bentuk gagal jantung. Stimulasi langsung irama jantung dan
kontraktilitas otot jantung oleh pengaturan vascular tone, sistem saraf simpatetik
membantu memelihara perfusi berbagai organ, terutama otak dan jantung (Loscalzo,
et al, 2008).
Aspek negatif dari peningkatan aktivitas system saraf simpatetik melibatkan
peningkatan tahanan sistem vaskular dan kelebihan kemampuan jantung dalam
memompa. Stimulasi simpatetik yang berlebihan juga menghasilkan penurunan
aliran darah ke kulit, otot, ginjal, dan organ abdominal. Hal ini tidak hanya
menurunkan perfusi jaringan tetapi juga berkontribusi meningkatkan sistem tahanan
vaskular dan stres berlebihan dari jantung (Rang, 2003).
2. Mekanisme Renin-Angiotensin-Aldosteron
Salah satu efek yang paling penting dalam menurunkan cardiac output dalam
gagal jantung adalah reduksi aliran darah pada ginjal dan kecepatan filtrasi

35
glomerulus, yang menyebabkan retensi garam dan air. Penurunan aliran darah ke
ginjal, meningkatkan sekresi renin oleh ginjal yang secara paralel akan meningkatkan
pula angiotensin II. Peningkatan konsentrasi angiotensin II berkontribusi pada
keadaan vasokonstriksi dan menstimulasi produksi aldosteron dari adrenal korteks.
Aldosteron akan meningkatkan reabsorpsi natrium dengan meningkatkan retensi air
(Tsutsui, et al, 2007).

Selain itu angiotensin II dan aldosteron juga terlibat dalam inflamasi proses
perbaikan karena adanya kerusakan jaringan. Keduanya menstimulasi produksi
sitokin, adhesi sel inflamasi (contoh neutrofil dan makrofag) dan kemotaksis;
mengaktivasi makrofag pada sisi kerusakan dan perbaikan; dan menstimulasi
pertumbuhan fibroblas dan sintesis jaringan kolagen (Loscalzo, et al, 2008).
3. Peptida natriuretik dan substansi vasoaktif yang diproduksi secara lokal
Ada tiga jenis natriuretic peptide yaitu atrial natriuretic peptide (ANP), brain
natriuretic peptide (BNP), dan C-type natriuretic peptide (CNP). ANP dihasilkan dari
sel atrial sebagai respon meningkatkan ketegangan tekanan atrial, memproduksi
natriuresis cepat dan sementara, diuretik dan kehilangan kalium dalam jumlah sedang
dalam urine. BNP dikeluarkan sebagai respon tekanan pengisian ventrikel sedangkan
fungsi CNP masih belum jelas (Loscalzo, et al, 2008).
4. Hipertrofi otot jantung dan remodeling
Perkembangan hipertrofi otot jantung dan remodeling merupakan salah satu
mekanisme akibat meningkatnya kerja yang berlebih. Meskipun hipertrofi ventrikel
memperbaiki kerja jantung, ini juga merupakan faktor risiko yang penting bagi
morbiditas dan mortalitas. Keadaan hipertrofi dan remodeling dapat menyebabkan
perubahan dalam struktur (massa otot, dilatasi chamber) dan fungsi (gangguan fungsi
sistolik dan diastolik). Ada 2 tipe hipertrofi, yaitu pertama Concentric hypertrophy,
terjadi penebalan dinding pembuluh darah, disebabkan oleh hipertensi.dan kedua
Eccentric hypertrophy, terjadi peningkatan panjang otot jantung disebabkan oleh
dilated cardiomyopathy (Shigeyama, et al, 2005).

36
5. Diagnosis

Tanda dan Gejala Pasien dengan gagal jantung harus memenuhi kriteria sebagai

berikut:

1. Gejala-gejala (symptoms) dari gagal jantung berupa sesak napas pada saat
beraktivitas dan ada rasa lemah, atau tidak bertenaga. Pada kondisi berat
sesak napas dapat muncul dalam keadaan istirahat (Manurung D, 2009).
2. Tanda-tanda (signs) dari gagal jantung berupa retensi cairan, seperti kongesti
paru, edema tungkai (Manurung D, 2009).
3. Bukti objektif kelainan struktur atau fungsi jantung saat istirahat (Manurung
D, 2009).
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan kriteria klinis menggunakan
kriteria klasik Frangmingham: bila terdapat paling sedikit satu kriteria mayor
dan dua kriteria minor (Panggabean MM, 2009).
Kriteria Mayor:
- Paroxysmal nocturnal dyspnea - Kardiomegali

- Distensi vena-vena leher - Edema paru akut

- Peningkatan vena jugularis - gallop bunyi jantung III

- Refluks hepatojugular positif - Ronki (Panggabean MM,


2009)
Kriteria Minor:
- Edema ekstremitas - Efusi pleura

- Batuk malam - Takikardia (>100 kali/menit)

37
- Dispnea d’effort - Kapasitas vital berkurang 1/3 dari

- Hepatomegali normal (Panggabean MM, 2009)

-
6. Pemeriksaan menunjang

Berikut adalah beberapa pemeriksaan penunjang untuk diagnosis gagal


jantung:
1. Laboratorium rutin: darah tepi lengkap, elektrolit, BUN, kreatinin, enzim
hepar, serta urinalisis. Pemeriksaan untuk diabetes mellitus, dislipidemia, dan
kelainan tiroid juga penting untuk dilakukan (Kabo P, 2012).
2. EKG: pada gagal jantung, interprestasi EKG yang dicari adalah ritme, ada atau
tidaknya hipertrofi ventrikel kiri, serta ada atau tidaknya infark (riwayat atau
sedang berlangsung). Meski tidak spesifik, EKG yang normal dapat
mengeklusi disfungsi sistolik (Kabo P, 2012).
3. Rontgen toraks: dapat dinilai ukuran dan bentuk jantung, serta vaskularisasi
paru dan kelainan non-jantung lainnya (hipertensi pulmonal, edema intertisial,
edema paru) (Kabo P, 2012).
4. Pemeriksaan fungsi ventrikel kiri: Ekokardiogram 2-D/Doppler, untuk menilai
ukuran dan fungsi ventrikel kiri, serta kondisi katup dan gerakan dinding
jantung (Kabo P, 2012).
7. Pengobatan

Sebagian besar penderita gagal jantung harus minum obat dalam jangka
panjang atau bahkan seumur hidup agar gejalanya bisa terkendali. Beberapa penderita
lain yang memiliki gejala parah bahkan terpaksa harus dipasangi alat penopang
jantung, melakukan operasi, atau bahkan menjalani transplantasi jantung agar tetap
bertahan hidup

38
Penanganan gagal jantung bertujuan untuk:
 Meredakan gejala gagal jantung.
 Membantu jantung menjadi lebih kuat.
 Memungkinkan si penderita bisa hidup lebih lama secara normal.
 Menurunkan risiko serangan jantung dan kematian.
Berikut ini adalah beberapa obat yang dapat digunakan untuk menangani
gagal jantung.
1. Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ace-i)
ACE-I harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan
fraksi ejeksi ventrikel kiri c 40 % kecuali ada kontraindikasi. ACE-I memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas
rekomendasi I, tingkatan bukti A).
ACE-I terkadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia,
hipotensi simtomatik, batuk, dan angioedema (jarang). Oleh sebab itu, ACE-I hanya
diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
Indikasi pemberian ACE-I
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri c 40 %, dengan atau tanpa gejala
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri > 40 % dengan tanda dan gejala gagal jantung
 Kontraindikasi pemberian ACE-I
 Riwayat angioedema
 Stenosis renal bilateral
 Stenosis aorta berat
 Kadar kalium serum >5,5 mmol/L
 Serum kreatinin > 2,5 mg/dL (relatif)
Cara pemberian ACE-I pada gagal jantung
Inisiasi pemberian ACE-I
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit

39
 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu setelah terapi
ACE-I
Naikkan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu.
 Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
Dosis titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat dirawat di rumah sakit
 Jika tidak ada masalah di atas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat di toleransi.
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai dosis
target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali
2. Penyekat Reseptor 8
Kecuali terdapat kontraindikasi, penyekat 8 harus diberikan pada semua
pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri c 40 %. Penyekat 8
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit
karena perburukan gagal jantung, dan menurunkan mortalitas
Indikasi pemberian penyekat 8
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri c 40 % dengan atau tanpa gejala gagal jantung
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri > 40 % dengan tanda dan gejala gagal jantung
 Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
 ACE-I/ARB/ARNI (dengan atau tanpa antagonis aldosteron) sudah diberikan
 Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada
kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat 8
 Asma berat
 Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindrom sinus sakit (tanpa pacu
jantung permanen), sinus bradikardia (nadi <50x/menit)
Cara pemberian penyekat 8 pada gagal jantung
 Inisiasi pemberian penyekat 8

40
 Penyekat 8 dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien
dekompensasi secara hati-hati.
Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi simtomatik atau
bradikardi (nadi <50x/menit
 Jika tidak ada masalah diatas, naikkan dosis penyekat 8 sampai dosis target
atau dosis maksimal yang dapat di toleransi
Efek yang tidak menguntungkan yang dapat timbul dari pemberian penyekat 8
 Hipotensi simtomatik
 Perburukan gagal jantung
 Bradikardi

3. Antagonis Aldosteron
Kecuali terdapat kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis
kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi c 35 % dan
gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III- IV NYHA) tanpa hiperkalemia
dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron dapat mengurangi frekuensi
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka

kelangsungan hidup.1,3
Indikasi pemberian antagonis aldosteron
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri c 40 %
 Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III - IV NYHA)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron
 Konsentrasi serum kalium > 5,5 mmol/L
 Serum kreatinin > 2,5 mg/dL (relatif)
 Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium

41
 Kombinasi ACE-I dan ARB atau ARNI
Cara pemberian spironolakton (atau eplerenon) pada gagal jantung
Inisiasi pemberian spironolakton
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
 Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4 - 8 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia
 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu setelah
menaikkan dosis
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat di toleransi
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton:
 Hiperkalemia
 Perburukan fungsi ginjal
 Nyeri dan/atau pembesaran payudara

Fraksi ejeksi ventrikel kiri <40%

3 PILAR TERAPI UTAMA


ACE inhibitor (atau ARB bila tidak tolerang dg ACE), B
blocer (BB), mineraloreseptor antagonis (MRA)
Titrasi sampai dosis target atau dosis maksimal yang
dapat
ditoleransi (berdasarkan bukti ilmiah )

Evaluasi gejala

NHYHA I NHYHA II_IV


Lanjutkan terapi NHYA II_IV Irama sinus dg
utama Irama sinus, Nadi >70x/mnt nadi <70x/mnt
Tambah Ivabadrine dan atau Ganti ACEi atau
ganti ACEi atau ARB ke ARNI ARV ke ARNI
42
Evaluasi ulang gejala
NYHA I atau Dan FEVK NYHA IV
Pertimbangkan
FEVK > 40% - Hidralazine/nitrat
Lanjutkan terapi - Rujuk untuk perawatan
gagal jantung lanjut
NYHA I_II dan FEVK < 40% - Rujuk ketempat
pertimbangan ICD dan atau CRT rujukangagal jantung
lanjut
-

Evaluasi ulang
Evaluasi ulang Ekokarddiografi tiap 1-5 Evaluasi ulang
tiap 1-3 tahun tahun Ekokarddiografi sesuai
( tergantungdari dengankondisi klinis
kondisi klinis )

1. Pemberian ACE-1 direkomendasikan, bagi semua pasien dengan EF c 40%,


untuk menurunkan resiko masuk rumah sakit akibat gagal jantung dan
kematian dini
2. Pemberian penyekat 8, setelah pemberian ACE-I atau ARB atau ARNI pada
semua pasien dengan EF c 40% untuk menurunkan risiko masuk rumah sakit
akibat gagal jantung dan kematian dini.
3. MRA direkomendasikan bagi semua pasien dengan gejala gagal jantung yang
persisten dan EF c35%, walaupun sudah diberikan dengan ACE-I dan penyekat
8
ARB
Direkomendasikan untuk menurunkan risiko hosipitalisasi akibat gagal jantung
dan kematian dini pada pasien dengan FF c 40 dan pada pasien yang intoleran
terhadap ACE-1 (pasien tetap harus mendapat penyekat 8 dan MR
ARNI (angin reseptor- neprilysin inhibitor )
Sacubritil/valsartan direkomendasikan sebagai terapi pengganti ACE-1 (ARB)
pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksirendah, yang masih simtomatik

43
walaupun sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACE_1/ARB, penyekat dan
MRA, untuk menurunkan risiko rawat ulang dan kematian
Ivabradine
 Pemberiannya harus dipertimbangkan untuk menurunksn risiko hospitalisasi
pada pasien dengan EF < 3%, irama sinus dengan laju nadi > 70x/menit, dan
dengan gejala yang persisten (NHYA II-IV), walaupun sudah mendapat
terapioptimal penyekat B, ACE-I/ARB ARNI dan MRA
 Pemberiannya dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko hospitalisasi
pada pasien dengan EF c 45% yang intoleran terhadap penyekat 8 (ivabradine
adalah pilihan lain bagi pasien dengan laju nadi >70x/menit). Pasien juga harus
mendapat ACE-I/ARB/ARNI dan MRA
Digoxin
 Pemberiannya dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko hospitalisasi
pada pasien dengan EF c 45% yang intoleran terhadap penyekat 8 (ivabradine
adalah pilihan lain bagi pasien dengan laju nadi >70x/menit). Pasien juga harus
mendapat ACE-I/ARB/ARNI dan MRA
 Pemberiannya dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko hospitalisasi
pada pasien dengan EF c 45% dan gejala yang persisten (NYHA II-IV)
walaupun sudah mendapat terapi optimal ACE-I/ARB/ARNI, penyekat 8, dan
MRA
H-ISDN
 Pemberiannya dapat dipertimbangkan sebagai pengganti ACE-I ARB/ARNI
dan MRA, bila intoleran, untuk menurunkan risiko hospitalisasi dan kematian
dini pada pasien dengan EF c45% dengan dilatasi ventrikel kiri (atau EF
c35%). Pasien juga harus mendapat penyekat 8, dan MRA
 Pemberiannya dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko hospitalisasi
dan kematian prematur pada EF c45 % dengan dilatasi ventrikel kiri (EF c35%)
dan gejala yang persisten (NYHA II-IV) dengan terapi optimal ACE-
I/ARB/ARNI, penyekat 8, dan MRA

44
ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri c40% yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACE-I dan
penyekat 8 dosis optimal, kecuali terdapat kontraindikasi, dan juga mendapat
antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB dapat memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung. ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien yang intoleran terhadap
ACE-I. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab

kardiovaskular.1,3
Indikasi pemberian ARB
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri c 40 %
 Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II - IV NYHA) yang intoleran pada ACE-I
 ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi
simtomatik sama seperti ACE-I, tetapi ARB sedikit menyebabkan batuk
Kontraindikasi pemberian ARB
 Sama seperti ACE-I, kecuali angioedema
 Pasien yang diterapi ACE-I dan antagonis aldosteron bersamaan
 Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial bila ARB digunakan bersama
ACE-I
Cara pemberian ARB pada gagal jantung Inisiasi pemberian ARB
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
 Dosis awal lihat Tabel 4.7
Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikkan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu. Jangan
naikkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemi
 Jika tidak ada masalah di atas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau

45
dosis maksimal yang dapat ditoleransi (Tabel 4.7)
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai dosis
target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian ARB:
 Sama seperti ACE-I, kecuali ARB sedikit menyebabkan batuk.
ANGIOTENSIN RECEPTOR – NEPRILYSIN INHIBITOR (ARNI) = Sacubitril/
valsartan
Pada pasien yang masih simtomatik dengan dosis pengobatan ACE-I/ARB,
penyekat 8, dan MRA, dapat juga diberikan terapi baru sebagai pengganti ACE-I /
ARB yaitu Angiotensin Receptor–Neprilysin Inhibitor (ARNI) yang merupakan
kombinasi molekuler valsartan- sacubitril. Sacubitril merupakan penghambat enzim
nefrilisin yang akan menyebabkan memperbaiki remodeling miokard, diuresis dan
natriuresis serta mengurangi vasokontriksi, retensi cairan dan garam. Dosis yang
dianjurkan adalah 50 mg (2 kali per hari) dan dapat ditingkatkan hingga 200 mg (2
kali per hari). Bila pasien sebelumnya mendapatkan ACE-I maka harus ditunda
selama minimal 36 jam terbih dahulu sebelum memulai Sacubitril/ valsartan. Tetapi
bila pasien sebelumnya mendapatkan ARB, maka Sacubitril/ valsartan dapat langsung
diberikan sebagai pengganti ARB.
IVABRADINE
Ivabradine bekerja memperlambat laju jantung melalui penghambatan kanal If
di nodus sinus, dan hanya digunakan untuk pasien dengan irama sinus. Ivabradine
menurunkan mortalitas dan perawatan rumah sakit akibat gagal jantung pada pasien
gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun (LVEF c35%, irama sinus, dan
denyut nadi ≥70 kali/menit) yang pernah mengalami rawat inap dalam 12 bulan
terakhir berdasarkan hasil studi SHIFT.
Panduan pemberian terapi gagal jantung terbaru yang meliputi Sacubitril/ valsartan
dan Ivabradine dapat dilihat pada tabel di bawah

46
Panduan- Rekomendasi dan Indikasi Penggunaan Sacubitril/ Valsartan dan
Ivabradine

Rekomendasi Penggunaan sacubitril/ Rekomendasi Penggunaan Ivabradine


valsartan

EF S40% HFREF (EF S35%)


 Gagal Jantung NYHA Kelas II – IV  Dalam terapi Penyekat 8 dengan
dosis maksimal yang bisa ditoleransi
EF >40%  Irama sinus dengan nadi istirahat≥
 Gagal Jantung NYHA Kelas II - IV: 70 kali per menit
wanita dan atau LVEF c 57%  Gagal Jantung NYHA Kelas II dan
III

Rekomendasi Dosis Awal Sacubitril/Valsartan


Populasi Dosisi inisial
ACEI dosis sedang atau tinggi 100 mg 2x/hari
Ekuivalen dengan enalapril ≥10 mg dua
kali sehari

ARB dosis sedang atau tinggi Ekuivalen


dengan valsartan ≥80 mg dua kali sehari
ACEI dosis rendah 50 mg 2x/hari
Ekuivalen dengan < 10 mg enalapril dua
kali sehari

ARB dosis rendah


Ekuivalen dengan valsartan < 80 mg
dua kali sehari

ACEI/ARB naive
Gangguan ginjal berat (eGFR <30 mL/
menit/1,73 m2)

Gangguan hepar sedang (Kelas B Child-


Pugh)

Lansia (usia > 75 tahun )

47
Kontraindikasi dan Peringatan untuk Sacubitril/ Valsartan dan Ivabradine

A) Sacubitril-Valsatran

Kontraindikasi Peringatan
 Dalam 36 jam penggunaan ACEI Gangguan Ginjal:
 Angioedema dengan ACEI/ARB  Ringan-sedang (eGFR ≥30 mL/
sebelumnya min/1.73 m2): Tidak perlu
 Kehamilan• Menyusui (tidak penyesuaian dosis
direkomendasikan)  Berat : eGFR <30 mL/min/1.73 m2):
 Gangguan hepar berat (Child-Pugh Turunkan dosis awal menjadi 50 mg
C) dua kali sehari; gandakan dosisnya
 Digunakan bersamaan dengan setiap 2-4 minggu hingga mencapai
aliskiren pada pasien yang mengidap dosis target 200 mg dua kali sehari,
diabetes sesuai batas toleransi
 Diketahui hipersensitifitas pada Hyperkalemia (K>5.5 mEq/L)
ACEI/ARB Gangguan fungsi hepar:
 Ringan (Child Pugh A):
Tidak perlu penyesuaian dosi
 Sedang (Child-Pugh B): Turunkan
dosis awal hingga menjadi 24 mg/26
mg dua kali sehari; gandakan
dosisnya setiap 2-4 minggu hingga
mencapai dosis target 97 mg/103 mg
dua kali sehari, sesuai batas toleransi
 Berat (Child-Pugh C):
- Kontraindikasi stenosis arteri
renalis
- Hipotensi
- Kurang cairan
- Hiponatremia
- Setelah serangan jantung akut

B) Ivabradine

Kontraindikasi Peringatan
 HFpEF  Bradikardi
 Angina dengan pompa jantung baik  Penyakit sinus node

48
 Hipersensitivitas  Gangguan konduksi
 Gangguan liver berat  Interval QT memanjang
 Gagal jantung akut
 Tekanan darah <90/50 mm Hg
 Sick sinus syndrome dengan pacu
jantung
 Blok nodus sinoatrium
 Blok derajat dua atau tiga tanpa pacu
jantung
 Nadi istirahat <60x per menit
 Fibrilasi atrium atau flutter
 Atrial pacemaker dependenc

HYDRALAZINE DAN ISOSORBIDE DINITRATE (H-ISDN)


Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri c 40 %,
kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap ACE-
I/ARB/ ARNI (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).il/ valsartan
Dosis awal (mg) Dosis target (mg)

ACEI
Captopril 6,25 (3 x/hari) 50 - 100 (3 x/hari)
Enalapril 2,5 (2 x/hari) 10 - 20 (2 x/hari)
Lisinopril 2,5 - 5 (1 x/hari) 20 - 40 (1 x/hari)
Ramipril 2,5 (1 x/hari) 5 (2 x/hari)
Perindopril 2 (1 x/hari) 8 (1 x/hari)
ARB
Candesartan 4 / 8 (1 x/hari) 32 (1 x/hari)
Valsartan 40 (2 x/hari) 160 (2 x/hari)

Antagonis aldosteron
Eplerenon 25 (1 x/hari) 50 (1 x/hari)
Spironolakton 25 (1 x/hari) 25 - 50 (1 x/hari)

Penyekat 8

49
Bisoprolol 1,25 (1 x/hari) 10 (1 x/hari)
Carvedilol 3,125 (2 x/hari) 25 - 50 (2 x/hari)
Metoprolol 12,5 / 25 (1 x/hari) 200 (1 x/hari)
Nebivolol 1,25 (1 x/hari) 10 (1 x/hari)

Ivabradine 5 (2 x/hari) 7,5 (2 x/hari)

Sacubitril/ 50 (2 x/hari) 200 (2 x/hari)


Valsartan

Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN


- Pengganti ACE-I/ARB/ARNI jika tidak dapat ditoleransi
- Sebagai terapi tambahan ACE-I jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat
ditoleransi
- Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACE-I/ARB,
penyekat 8 dan atau antagonis aldosteron
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN
 Hipotensi simtomatik
 Sindrom lupus
 Gagal ginjal berat
Cara pemberian kombinasi H-ISDN pada gagal jantung (Tabel 4.3)
Inisiasi pemberian kombinasi H-ISDN
 Dosis awal: hydralazin 12,5 mg dan ISDN 10 mg, 2 - 3 x/hari
 Naikkan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikkan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu
 Jangan naikkan dosis jika terjadi hipotensi simtomatik
 Jika toleransi baik, dosis dititrasi naik sampai dosis target (hydralazin 50 mg
dan ISDN 20 mg, 3-4 x/hari)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi H-ISDN:
 Hipotensi simtomatik

50
 Nyeri sendi atau nyeri otot

DIGOXIN
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoxin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat
8) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel
kiri c 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan
angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, tetapi tidak

mempunyai efek terhadap mortalitas (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).1,3
Cara pemberian digoxin pada gagal jantung
Inisiasi pemberian digoxin
 Dosis awal: 0,25 mg, 1x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Pada
pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan menjadi 0,125
atau 0,0625 mg, 1 x/hari.
 Periksa kadar digoxin dalam plasma segera saat terapi kronik. Kadar terapi
digoxin harus antara 0,6 - 1,2 ng/mL.
 Beberapa obat dapat menaikan kadar digoxin dalam darah (amiodaron,
diltiazem, verapamil, kuinidin)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian digoxin:
 Blok sinoatrial dan blok AV
 Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hipokalemia
 Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan melihat
warna

INDIKASI

Fibrilasi atrium
• Dengan irama ventrikular saat istrahat > 80 x/menit atau
saat aktivitas > 110 - 120 x menit
Irama sinus

51
• Fraksi ejeksi ventrikel kiri c 40 %
• Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA)
• Dosis optimal ACE-I/ARB/ARNI, penyekat 8
dan antagonis aldosteron jika ada indikasi

KONTRAINDIKASI
 Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap); hati-hati jika pasien
diduga sick sinus syndrome
 Sindrom pre-eksitasi
 Riwayat intoleransi digoksin

DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti B). Tujuan dari pemberian
diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis
yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien untuk

menghindari dehidrasi atau retensi.1,3


Cara pemberian diuretik pada gagal jantung
 Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
 Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong
 Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan thiazide
karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.
Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang
resisten
Diuretik Dosis awal (mg) Dosis harian (mg)
Diuretik Loop
Furosemide Bumetanide 20 – 40 40 – 240
Torasemide 0.5 – 1.0 1–5
5 – 10 10 – 20
Thiazide
Hidrochlorothiazide 25 12.5 – 100

52
Metolazone Indapamide 2.5 2.5 – 10
2.5 2.5 – 5
Diuretik hemat kalium
Spironolakton (+ACE-I/ARB) (+ACE-I/ARB) 50
12.5
- 25
(- ACE-I/ARB) (- ACE-I/ARB) 100 – 200
50

Dosis diuretik
 Dosis diuretik Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan
gejala dan tanda kongesti
 Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering (tanpa
retensi cairan), untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan dehidrasi. Tujuan
terapi adalah mempertahankan berat badan kering dengan dosis diuretik
minimal
 Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur dosis
diuretik sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran berat badan harian dan
tanda-tanda klinis dari retensi cairan
 Pengelolaan pasien resisten diuretik terdapat pada Tabel 4.10.
Masalah Saran tindakan
Hipokalemia /  Cara kausa spesifik
hipomsgnesia  Tingkatkan dosis ACE-I /ARB?ARNI
 Tambahkan antagonis aldosteron
 Suplemen kalium dan atau magnesium,hanya
bila benar-benardiperlukan, misalnya artmia dll
Hiponatremia  Cari kuasa spesifik
simtomatik  Retriksi cairan
 Stop diuretik thiazide/ ganti diuretik loop, jika
memungkinkan turungkan dosis/ stop diuretik
loop
 Pemberian antagonis AVP (tolvaptan)
 Pemberian inotropik intra vena
 Pertimbangan ultrafiltrasi
Hiperurisemia  Pertimbangkan allupurinol

53
simtomatik  Bila gejala sangat hebat, gunakan kolkisin
 Hindari pemberian NSAID
Hipovolemia/  Cari kausa spesifik
dehidrasi  Nilai status volume
 Pertimbangan pengurangan dosis diuretik
Respon tidak  Periksa kepatuhan/ asupan cairan
adekuat  Tingkatkan dosis diuretik
 Kombinasikan diuretik loop dengan diuretik
jenis lain dengan aldosteron dan atau diuretik
thiazide
 Ingatkan pasien untuk mium diuretik loop saaat
lambung kosong
 Pertimbangan pemberian diuretik loop dosis
intra vena
 Pertimbsngkan untuk pemberian diuretik loop
intra vena
 Pertimbangkan untuk pemberiann dopamine
dengan dosis renal
Gangguan fungsi ginjal  Periksa apakah pasien hipovolemia/ dehidrasi
(peningkatan Yang  Hentikan penggunan obat nefrotosik Lin
berlebihan (NSAID, dll)
dari urea/kretini) atau  Tunda antagonis aldeteron
penurunan GFR  Jika pasien menggunakan kombinasi diuretik,
stop atau tunda diuretik thiazide
 Turunkan penurunan dosis ACE-I/ ARB/ARNI
bila memungkinkan
 Pertimbangkan untuk pemberian dopamin
dengan dosis renal

Pemberian terapi yang tidak direkomendasikan (dengan manfaat yang tidak


terbukti)
 Statin
Walaupun telah banyak penelitian besar mengenai manfaat statin, namun sebagain
banyak penelitian tersebut tidak memasukan pasien gagal jantung didalam
subyeknya. Ada beberapa penelitian mengenai statin pada gagal jantung
kronis,namun hasilnya tidak menyatakan manfaat statin yang jelas, walaupun tidak
juga menyatakan bahaya dari pemberian obat ini.

54
 Renin inhibitors
 Antikoagulan oral
Sampai saat ini belum terdapat data yang menyatakan bahwa antikoagulan oral
terbukti lebih baik dalam penurunan mortalitas dan morbiditas pada gagal jantung
bila dibandingkan dengan placebo atau aspirin.
Berikut ini beberapa jenis operasi untuk gagal jantung:
 Operasi bypass atau angioplasty. Operasi ini dilakukan untuk mengatasi
gagal jantung yang disebabkan oleh penyakit jantung koroner, yaitu kondisi
saat sejumlah pembuluh darah jantung tersumbat. Melalui operasi bypass, darah
dapat mengalir kembali melalui jantung secara lancar sehingga mencegah
serangan jantung, serta menyembuhkan angina. Pada beberapa kasus, operasi
bypass dapat memperbaiki fungsi otot jantung.
 Operasi katup jantung. Jika gagal jantung disebabkan oleh kerusakan
pada katup jantung, maka operasi ini dapat dilakukan. Ada dua jenis operasi
katup jantung, yaitu operasi untuk memperbaiki katup dan operasi untuk
mengganti katup.
 Operasi transplantasi jantung. Operasi ini dilakukan jika penanganan
gagal jantung dengan obat-obatan serta operasi lainnya tidak menemui hasil.
Melalui operasi transplantasi, jantung pasien yang sudah rusak diganti dengan
jantung yang didapat dari donor. Namun prosedur ini tidaklah mudah,
mengingat sulitnya mendapatkan donor jantung serta kecocokan dengan diri
pasien.
Berikut ini adalah beberapa alat yang dapat dipasangkan pada penderita gagal
jantung:
 Alat pemompa jantung. Alat ini dipasang oleh dokter untuk membantu
pasien gagal jantung parah agar tetap hidup, baik bagi mereka yang sudah tidak
bisa diobati lagi oleh cara apa pun atau bagi mereka yang sedang menunggu

55
donor jantung. Perangkat mekanik ini dipasang pada jantung untuk membuat
organ tersebut tetap berdetak.
 Cardic resynchronization therapy (CRT). CRT dikenal juga sebagai
pemicu jantung biventrikular. Alat ini dapat membantu pasien gagal jantung
yang memiliki masalah dengan sistem kelistrikan di dalam jantung mereka
sehingga organ tersebut menjadi lemah. CRT mengirim impuls listrik ke
ventrikel kiri dan kanan agar mampu memompa secara efisien.
 Implantable cardioverter-defibrillator (ICD). Fungsi perangkat ini sama
seperti alat pacu jantung. Perangkat yang dihubungkan ke jantung melalui
pembuluh darah ini akan terus memonitor detak jantung. Jika detak jantung
melemah atau bahkan berhenti, maka ICD akan mengirim sinyal kejut agar
jantung kembali berdetak secara normal.
 CRT-D. Perangkat ini merupakan gabungan dari Cardic
resynchronization therapy (CRT) dan Implantable cardioverter-defibrillator
(ICD).
Jika Anda menderita gagal jantung, penyembuhan tidak bisa bergantung pada
obat-obatan atau operasi semata, tapi juga harus didukung dengan gaya hidup sehat,
seperti:
 Berolahraga secara teratur.
 Mengonsumsi makanan sehat yang dianjurkan dokter.
 Berhenti merokok dan membatasi konsumsi minuman keras.
Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat Anda lakukan agar gejala gagal jantung
Anda tidak memburuk, di antaranya:
 Rutin memeriksakan diri ke dokter.
 Rutin memonitor gejala yang Anda rasakan.
 Rutin memonitor berat badan Anda.
 Membatasi konsumsi garam.
 Disiplin dalam mengonsumsi obat-obatan dari dokter.

56
 Membatasi konsumsi cairan.
Berikut ini adalah beberapa jenis obat yang harus dihindari oleh penderita gagal
jantung:
 Obat anti-aritmia.
 Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS).
 Dekongestan.
 Suplemen pengganti garam.
 Obat-obatan hormon.
 Obat penghambat saluran kalsium.

8. Pencegahan

Mencegah lebih baik daripada mengobati. Konsumsilah makanan bergizi


tinggi dan mengandung banyak serat, seperti sayur-sayuran, buah-buahan, gandum,
ikan, dan daging. Hindari makanan yang mengandung lemak jenuh, seperti jeroan,
daging kambing, kerang, kuning telur, dan udang.
Selain itu batasi asupan gula, garam, dan minuman keras. Jika Anda memiliki
tingkat tekanan darah dan kolesterol yang tinggi, segera lakukan penanganan. Kedua
kondisi ini dapat meningkatkan risiko terkena gagal jantung.
Gagal jantung juga dapat dicegah dengan menaga berat badan pada batasan
sehat dan melakukan langkah-langkah penurunan berat badan jika diperlukan.
Lakukan aktivitas atau olahraga yang dapat membuat jantung sehat, seperti bersepeda
atau berjalan kaki, minimal dua setengah jam per minggu.
Berhentilah merokok jika Anda seorang perokok. Jika Anda bukan perokok,
maka jauhi asap rokok agar tidak menjadi perokok pasif.

d. Hipertensi

1. Defenisi

57
Menurut WHO, hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik

lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg atau tekanan

darah diatas 160/90 mmHg. Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu

peningkatan abnomal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus-

menerus lebih dari satu priode. Hal ini bila arteriole-arteriole konstriksi. Konstriksi

arteriole membuat darah saling mengalir dan meningkatkan tekanan melawan dinding

arteri. Hipertensi menambah beban kerja jantung dan arteri yang bila berlanjut dapat

dapat menimbulkan kerusakan jantung dan pembuluh darah. (Wajan J. U, 2011).

2. Patogenesis

Pada dasarnya hipertensi merupakan penyakit multifaktorial yang timbul akibat

berbagai interaksi faktor-faktor resiko tertentu. Faktor-faktor resiko yang mendorng

timbulnya kenaikan. Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh

darah terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini

bermula jarak saraf simpatis, yang terlanjut ke bawah ke korna spinalis dan keluar

dari kolumna medula spinaliske ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan

pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk implus yang bergerak ke bawah melalui

saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron ganglion ke pembuluh darah

kapiler, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi

pembuluh darah kapiler. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat

mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsangan vasokontriktor. Individu

dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui

58
dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana sistem

saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar

adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula

adrenal mengekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Konteks adrenal

mengekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respon

vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran

darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan

angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokontriktor

kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldoseteron oleh konteks adrenal.

Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan

peningkatan volume intravaskuler. Semua vaktor tersebut cenderung mencetus

keadaan hipertensi. Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah

perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia.

Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya alastisitas jaringan ikat, dan

penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya

menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya,

aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume

darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan

curah jantung dan peningkatan tahanan perifer. Pada dasarnya, tekanan darah

dipengaruhi oleh curah jantung dan tekanan perifer. Berbagai faktor yang

mempengaruhi curah jantung dan tekanan parifer akan mempengaruhi tekanan darah

seperti asupan garam tinggi, faktor genetik, stres, obesitas, faktor endotel. Selain

59
curah jantung dan tahanan perifer sebenarnya tekanan darah tinggi dipengaruhi juga

oleh tebalnya atrium kanan, tidak mempunyai banyak pengaruh. Dalam tubuh

terdapat sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang

disebabkan oleh dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan darah sangat

kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem yang bereaksi dengan cepat misalnya

refleks kardiovaskuler memulai sistem saraf, reflek kemoreseptor, respon iskemia,

susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, arteri pulmonalis otot polos. Dari sistem

pengendalian yang bereaksi sangat cepat diikuti oleh sistem pengendalian yang

bereaksi kurang cepat, misalnya perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler dan

rongga intertisial yang dikontrol hormon angiotensin dan vasopresin. Kemudian

dilanjtkan sistem yang poten dan berlangsung dalam jangka panjang misalnya

kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang dipertahankan pleh sistem yang

mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ. Peningkatan tekanan

darah pada hipertensi primer dipengaruhi oleh beberapa faktor genetik yang

menumbulkan perubahan pada ginjal dan membran sel, aktivitas saraf simpatis dan

renin, angiotensin yang mempengaruhi keadaan hemodinamik, asupan natrium dan

metabolisme natrium dalam ginjal serta obesitas dan faktor endotel. Akibat yang

ditimbulkan dari penyakit hipertensi antara lain penyempitan arteri yang membawa

darah dan oksigen ke otak, hal ini disebabkan karena jaringan otak kekurangan

oksigen akibat penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak dan mengakibatkan

kematian pada bagian otak yang kemudian dapat menimbulkan stroke. Komplikasi

lain yaitu rasa sakit ketika berjalan kerusakan pada ginjal dan kerusakan pada organ

60
mata yang dapat mengakibatkan kebutaan, sakit kepala, jantung berdebar-debar, sulit

bernafas setelah bekerja keras atau mengangkat beban kerja, mudah lelah,

penglihatan kabur, wajah memerah, hidung berdarah, sering buang air kecil terutama

di malam hari telinga berdengung (tinnitus) dan dunia terasa berputar.

3. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah membentuknya angiotensis II dari

angiotensis I ileh angiotensis I conver ting enzyme (ACE). ACE memegang peran

fisiologi penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotrnsinogen

yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon, renin

4. Implikasi klinis dan pencegahan

Gambaran klinis pasien hipertensi meliputi nyeri kepala saat terjaga, kadang-

kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial.

Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi. Ayunan langka yang

tidak mantap karena keruskan susunan saraf pusat. Nokturia karena peningkatan

aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus. Edema dependen dan pembengkakan

akibat peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita

hipertensi yaitu puding, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara

tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain.

Beberapa upaya pencegahan hipertensi :

1. Mengurangi konsumsi garam (jangan melebihi 1 sendok teh

per hari)

61
2. Melakukan aktifitas fisik teratur (seperti jalan kaki 3

km/olahraga 30 menit per hari minimal 5 kali/minggu)

3. Tidak merokok dan menghindari asap rokok

4. Mempertahankan berat badan ideal

5. Menghindari minum alkohol

5. Skrining dan diagnosa hipertensi

Berdasarkan anamnesia, sebagian besar pasien hipertensi bersifat

asimptomotik. Beberapa pasien mengalami keluhan berupa sakit kepala, rasa seperti

berputar, atau penglihatan kabur. Hal yang dapat menunjang kecurigaan ke arah

hipertensi sekuler antara lain penggunaan obat-obatan seperti kontrasepsi hormonal,

kortikosteroid, dekongestan maupun NSAID, sakit kepala paroksismal, berkeringat

atau takikardi serta adanya riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Pada anamnesis dapat

pula digali mengenai faktor resiko kardiovaskuler seperti merokok, obesitas, aktivitas

fisik yang kurang, dislipidemia, diabetes millitus, mikroalbuminuria, penurunan laju

GRF, dan riwayat keluarga.

Berdasarkan pemeriksaan fisik, nilai tekanan darah pasien diambil rerata dua

kali pengukuran pada setiap kali kunjungan ke dokter. Apabila tekanan darah

>140/90 mmHg pada dua atau lebih kunjungan maka hipertensi dapat ditegakkan.

Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan dengan alat yang baik, ukuran dan posisi

manset yang tepat (setingkat dengan jantung) serta teknik yang benar. Pemeriksaan

penunjang dilakukan untuk memeriksa komplikasi yang telah atau sedang terjadi

62
seperti pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, kadar ureum, kreatining,

guladarah, elektrolit, kalsium, asam urat dan urinalisis. Pemeriksaan lain berupa

pemeriksaan fungsi jantung berupa elektrokardiografi. Pada kasus dengan kecurigaan

hipertensi sekunder dapat dilakukan pemeriksaan sesuai indikasi dan diagnosis

banding yang dibuat. Pada hiper atau hipotiroidisme dapat dilakukan fungsi tiroid

(TSH, FT4, FT3), hiperparatiroidisme (kadar PTH, Ca2+). Hiperaldosteronisme

primer berupa kadar aldosteron plasma, renin plasma, CT scan abdomen, peningkatan

kadar serum Na, penurunan K, peningkatan eksresi K dalam urin ditemukan alkalosis

metabolik. Pada feokromositoma, dilakukan kadar metanefrin, CT scan/MRI

abdomen. Pada sindrom cushing, dilakukan kadar kortisol urin 24 jam. Pada

hipertensi renovaskular, dapat dilakukan CT angiografi arteri renalis, USG ginjal,

Doppler Sonografi.

6. Pengobatan hipertensi

Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfakmakologis dan farmakologis.

Terpai nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan

tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor resiko penyakit

penyerta lainnya.

Modifikasi gaya hidup berupa oenurunan berat badan (target indeks massa

tubuh dalam batas normal untuk Asia-Pasifik yaitu 18,5-22,9 kg/m2), kontrol diet

berdasarkan DASH mencakup konsumsi buah-buahan, sayur-sayuran, serta produk

susu rendah lemak jenuh/lemak total, penurunan asupan garam dimana konsumsi

63
NacL yang disarankan adalah < 6 g/hari. Beberapa hal lain yang dirasakan adalah

target aktivitas fisik minimal 30 menit/hari dilakukan paling tidak 3 hari dalam

seminggu serta pembatasan konsumsi alkohol. Terapi farmakologi bertujuan untuk

mengontrol tekanan darah hingga mencapai tujuan terapi pengobatan. Berdasarkan

JNC VIII pilihan antihipertensi didasarkan pada ada atau tidaknya usia, ras, serta ada

atau tidaknya gagal ginjal kronik. Apabila terapi antihipertensi sudah dimulai, pasien

harus runtin kontrol dan mendapat pengaturan dosis setiap bulan hingga target

tekanan darah tercapai. Perlu dilakukan pemantauan tekanan darah, LFG dan

elektrolit.

Jenis obat antihipertensi :

1. Diuretik

Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan mengeluatkan

cairan tubuh (lewat kencing), sehingga volume cairan tubuh

berkurang mengakibatkan daya pompa jantung menjadi

lebih ringan dan berefek pada turunnya tekanan darah.

Contoh obat-obatan ini adalah : bendroflumethiazide,

chlorthizilidone, hydrochlorthiazide, dan indapamide.

2. ACE-Inhibitor

Kerja obat ini menghambat pembentukan zat angiotensin II

(zat yang dapat meningkatkan tekanan darah). Efek

samping yang sering timbul adalah batuk kering, pusing

sakit kepala, dan lemas. Contoh obat yang tergolong jenis

64
ini adalah : captopril, enalapril, dan lisinopril.

3. Calcium channel bloker

Golongan obat ini bekerja menurunkan daya pompa jantung

dengan menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas).

Contoh obat yang tergolong jenis ini adalah : amlodipine,

diltiazem dan nitrendipine.

4. ARB

Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat

angiotensin II pada reseptornya yang mengakibatkan

ringannya daya pompa jantung. Obat-obatan yang termasuk

golongan ini adalah : eprosartan, candesartan, dan losartan.

5. Beta blocker

Mekanisme obat antihipertensi ini adalah memulai

penurunan daya pompa jantung. Jenis obat ini tidak

dianjurkan pada penderita yang telah diketahui mengidap

gangguan pernafasan seperti asma broncial. Contoh obat

yang tergolong kedalam beta blocker adalah atenolol,

bisoprolol, dan beta metoprolol.

65
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

1. Sistem kardiovaskuler adalah kumpulan organ yang bekerja sama untuk

melakukan fungsi transportasi dalam tubuh manusia.

2. Aterosklerosis ialah kondisi dimana terjadi penyempitan pembuluh darah

dampak timbunan lemak yg berkembang/berubah naik dalam dinding

pembuluh darah yg dapat menghambat aliran darah.

3. Penyakit jantung iskemik merupakan berkurangnya suplai darah yang

membawa oksigen dan kebutuhan-kebutuhan vital untuk sel-sel otot jantung

di sebabkan adanya sumbatan atau blok terhadap pembuluh darah artery

jantung ( artery Coronar ).

4. Penyakit gagal jantung merupakan penyakit yang tergolong sangat


berbahaya, karena menyerang organ vital dari tubuh manusia. Oleh karena
itu, harus segera ditangani, apabila tidak segera ditangani maka akan dapat
menyebabkan kematian bagi si penderita.
5. Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik lebih dari 140

mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg atau tekanan darah

diatas 160/90 mmHg.

A. SARAN
1. Saran yang dapat kami berikan yaitu bagi penderita gagal jantung agar
melakukan pemeriksaan selalu guna mengetahui sejauh mana kondisi dan
seberapa parah penyakitnya.

66
2. Informasi atau pendidkan kesehatan berguna untuk klien dengan gagal jantung
selain itu pengobatan terbaik untuk gagal jantung adalah pencegahan atau
pengobatan dini terhadap penyebabnya.

67
DAFTAR PUSTAKA

Aaronson, P.I., Ward, J.P., 2010, At a Glance Sistem Kardiovaskular 3th Edition ed,
Penerbit Erlangga, Jakarta.
Adi PR, (Tanpa Tahun) “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam”. Pencegahan dan
penatalaksanaan aterosklerosis. Editor Siti Setiawati dkk. Jakarta:
InternaPublishing
American Heart Association, 2012, Hearth disease andstroke statistik,
http://ahajournal.org.com.

American Heart Association, 2014, Evaluation and Management of Chronic Heart


Failure in the Adult, 104 (24).
Aru W.Sudoyo,dkk. (2006) Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta: Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Aziz M, Yadav KS. (2016) “Pathogenesis of Atherosclerosis: A Review”. Med Clin
Rev. 2:3: 22
Beard TC. Pedoman diet dengan potensi terapeutik yang besar. Australia Jurnal
Boron, Walter, F., Boulpaep, Emile, L., 2005, Medical Physiology: A Cellular
and Molecular Approach(Updated ed.), Saunders, p. 533.
Corwin. (2009) Elizabeth. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Craig R, Mindell J. Survei Kesehatan untuk Inggris, 2006. Volume 1, Penyakit
kardiovaskular dan faktor risiko pada orang dewasa. Tersedia di
http://www.ic.nhs.uk/pubs/hse06cvdandriskfactors [diakses 19/04/2016].
diastolic heart failure. Circulation. 2009;119:1146–1157.
Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, et al. ESC Guidelines for the diagnosis
and treatment of acute and chronic heart failure 2008: the Task Force for
the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008 of
the European Society of Cardiology. Eur Heart J. 2008;29:2388– 2442.
Douglas G dan Channon KM. (2014) “The pathogenesis of

68
atherosclerosis”.Medicine.42:9: 480-484
Edisi 1. Salemba Medika : Jakarta
ESH and ESC 2013. ESH/ESC Guildelines For the Management of Arterial
Hypertension. Journal of hypertension 2013, vol 31, 1281-1357
Feriyanti, L. (2011) Sistem Kardiovaskuler. Universitas Sumatera Utara
Figueroa, M.S., Peters, J.I., 2006, Congestive Heart Failure: Diagnosis,
Pathophysiology,Therapy, and Implications for Respiratory Care, Respir
Care, 51 (4), pp. 403– 412.
Fikriana, R. (2018) Sistem Kardiovaskular. Deepublish. Jakarta
Follath, F., Yilmaz, M.B., Delgado, J.F., Parissis, J.T., Porcher, R., Gayat, E.,
2011, Clinical presentation, management and outcomes in the acute
heart failure global survey of standard treatment (ALARM-HF), J
Intensive Care Med, 37 (4): 19-26.
Ghani, A., 2008, Hypertention Current Perspective, Media Crea, Jakarta.
Gray, H.H., Dawkins, D.K., Simpson, L.A., Morgan, M.J., 2005, Lecture Notes:
Kardiologi, Alih Bahasa: Agoes, A.Z, Penerbit Erlangga.
Griadhi, P.A. (2016) Sistem Kardiovaskuler. Universitas Udayana
Guyton, A.C., Hall, J.E., 2006, Textbook of Medical Physiology 11th ed, Elsevier
Saunders, Philadelphia.
Guyton, A.C., Hall, J.E., 2014, Textbook of Medical Physiology 12th ed, Elsevier
Saunders, Philadelphia.
Haji, S., Movahed, A., 2000, Update on Digoxin Therapy in Congestive Heart
Failure, American Family Physician, vol 62 (2).
Harbanu, H., Mariyono, Anwar, S., 2007, Gagal Jantung Bagian Ilmu Penyakit
Dalam, Universitas Udayana, Denpasar
Harrison’s principles of internal medicine 16th edition page 1653. The McGraw-Hill
Companies. 2005
KesehatanPrimer:2008,14(3). 120-131
MacGregor GA, Garam, Diet dan Kesehatan Cambridge: Cambridge University

69
Press, 1998..
Maeder MT, Kaye DM. Heart failure with normal left ventricular ejection fraction. J
Am Coll Cardiol. 2009;53:905–918.
Mohammad Yogiantoro, 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Hipertensi Esensial.
Perhipunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
Muttaqin, Arif. 2009 . Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sisten
Kardiovaskuler. Salemba Medika : Jakarta
Muwarni, S., Ali M dan Muliartha K. (2006) Diet aterogenik pada tikus putih
(Rattusnovergicus strain Wistar) sebagai model hewan aterosklerosis”.
Jurnal Kedokteran Brawijaya. 22:1: 6-9
Panggabean. M. Buku Ilmu Penyakit Dalam: Gagal Jantung. Volume 2. Jakarta:
2009
Papadaksi, Maxine A, dkk. 2002. Diagnosis Terapi Kedokteran Penyakit Dalam
Ramani GV, Uber PA, Mehra MR. Chronic heart fail-ure: contemporary diagnosis
and management. Mayo Clin. Proc. 2010;85:180–195.
Ramani GV, Uber PA, Mehra MR. Chronic heart fail-ure: contemporary diagnosis
and management. Mayo Clin. Proc. 2010;85:180–195.
Ronny, Setiawan dan sari F. (2009) Fisiologi Kardiovaskular: berbasis masalah
keperawatan. EGC, Jakarta
Singh A, Neki NS, Bisht M. (2012) “Current advances in understanding the
pathogenesis of atherosclerosis and 66 JIMKI its clinical implications in
coronary artery disease”. JIMSA.25:4(2012): 251-253
The Eight Joint National Commite. Evidence based guideline for the menagement of
high blood pressure in adult-report from panel members appointed to the
eight join national commite 2014
Wang J, Nagueh SF. Current perspectives on cardiac function in patients with

70

Anda mungkin juga menyukai