KARDIOVASKULAR
KELOMPOK 9
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PANCASAKTI
MAKASSAR
2021
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Penyusunan makalah ini dimaksudkan
untuk memenuhi tugas FARMAKOTERAPI.
Saya menyadari makalah ini masih kurang sempurna oleh karena itu, kritik
dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan guna
penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................ 1
KATA PENGANTAR ............................................................................. 2
DAFTAR ISI ............................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 4
A. Latar Belakang..................................................................... 4
B. Rumusan Masalah .............................................................. 5
C. Tujuan Makalah.................................................................... 5
D. Kegunaan Makalah............................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ........................................................... 7
A. Aterosklerosis ..................................................................... 7
B. Iskemia Otot Jantung............................................................ 21
C. Gagal Jantung ...................................................................... 27
D. Hipertensi............................................................................. 58
BAB III PENUTUP ............................................................................... 67
A. KESIMPULAN ......................................................... 67
B. SARAN............................................................................ 67
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 69
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Jantung merupakan salah satu organ tubuh yang berfungsi untuk memompa
dan mengedarkan darah ke seluruh tubuh. Hal tersebut dapat berlangsung dengan
baik apabila kemampuan otot jantung cukup baik, sistem katup, dan irama
pemompaan yang baik (Muttaqin, 2009).
Apabila ditemukan ketidaknormalan pada salah satu fungsi jantung, maka
kemungkinan dapat menyebabkan kegagalan pada pemompaan darah. (Muttaqin,
2009).
Gagal jantung merupakan keadaan jantung tidak dapat lagi memberikan
peredaran darah yang cukup bagi kebutungan tubuh, walaupun tekanan pada
pengisian vena normal. (Papadaksi, dkk, 2002).
Kematian akibat penyakit kardiovaskuler khususnya gagal jantung adalah 27
%. Sekitar 3 - 20 per 1000 orang mengalami gagal jantung, angka kejadian gagal
jantung meningkat seiring pertambahan usia (100 per 1000 orang pada usia di atas 60
tahun. Dari hasil penelitian Framingham pada tahun 2000 menunjukkan angka
kematian dalam 5 tahun terakhir sebesar 62% pada pria dan 42% wanita, berdasarkan
data dari di Amerika terdapat 3 juta penderita gagal jantung dan setiap tahunnya
bertambah dengan 400.000 orang, sedangkan untuk di Indonesia angka kejadian
gagal jantung menyebab kematian nomor satu, padahal sebelumnya menduduki
peringkat ketiga. Gagal jantung dapat disebabkan oleh beberapa factor yang dapat
dihindari dan yang tidak dapat dihindari.
Faktor - faktor penyebab gagal jantung diantaranya adalah kebiasaan
merokok, diabetes, hipertensi, kolestrol, kelebihan berat badan hingga stress. Ada tiga
faktor lainnya yang tidak bisa dihindari oleh manusia yakni faktor keturunan dan latar
belakang keluarga, faktor usia dan jenis kelamin yang banyak ditemui pada kasus
kegagalan jantung. Selain hipertensi, penyebab gagal jantung adalah kelainan otot
jantung, ateriosklerosis dan peradangan pada miokardium.
4
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
D. KEGUNAAN MAKALAH
5
2. Pembaca/dosen, sebagai media informasi tentang senyawa saponin secara teoritis
maupun secara praktis
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem Kardiovaskular
1. Defenisi
melakukan fungsi transportasi dalam tubuh manusia. Sistem ini bertanggung jawab
hormone, zat kekebalan tubuh, dan zat lain ke seluruh tubuh. Sehingga, tiap bagian
tubuh akan mendapatkan nutrisi dan dapat membuang sisa metabolismenya ke dalam
metabolisme juga akan dapat diatur. Sistem ini juga menjamin pasokan zat kekebalan
tubuh yang berlimpah pada bagian tubuh yang terluka, baik karena kecelakaan atau
(Griadhi, 2016).
Sistem kardiovaskuler terdiri atas organ jantung dan pembuluh darah. Fungsi
sistem ini dapat dianalogikan dengan sistem pengairan di rumah tangga, dimana
organ jantung berperan sebagai pompa dan pembuluh darah berperan sebagai
7
darah dan zat yang dikandungnya ke seluruh bagian tubuh manusia.
Untuk menjaga agar darah tetap mencapai seluruh bagian tubuh secara terus-
menerus maka jantung sebagai pompa harus berdenyut secara terus menerus pula.
Denyutan jantung diatur oleh sistem saraf otonom (SSO) yang berada di luar
kesadaran atau kendali kita sehingga kita tidak dapat mengatur denyutan jantung
ditransportasikan akan berada di dalam jantung dan pembuluh darah, tidak dialirkan
ke luar pembuluh darah. Berdasarkan arah aliran darah maka pembuluh darah dapat
jantung (arteri) dan pembuluh darah yang menuju jantung (vena). Berdasarkan
ukuran penampangnya (diameter) maka pembuluh darah (arteri dan vena) dapat
dikelompokkan menjadi pembuluh darah besar, sedang, dan kecil. Contoh pembuluh
arteri besar adalah aorta, a. iliaca commonis; pembuluh arteri sedang adalah a.
tibialis, a. radialis; sedangkan contoh vena besar adalah v. cafa superior dan inferior.
Diantara pembuluh darah arteri kecil (arteriole) dan vena kecil (venule) akan terdapat
saluran kecil yang disebut pembuluh kapiler. Pembuluh kapiler ini menghubungkan
bagian pembuluh darah arteri dan vena. Pembuluh kapiler ini memiliki struktur
histologis tertentu.
8
mengangkutbahan-bahan yang dibutuhkan sel seperti oksigen, glukosa, dan lain-lain,
serta membawabahan sisa seperti CO2, urea untuk dibuang; (2) sebagai
berperan dalam regulasi suhu; (3)sebagai proteksi, ikut berperan dalam sistem
a. Aterosklerosis
1. Defenisi
berasal dari bahasa Yunani: athero (yg berarti bubur / pasta) & sklerosis (indurasi &
pengerasan). Aterosklerosis / pengerasan arteri adalah suatu kondisi arteri besar &
kecil yg ditandai oleh deposit substansi berupa endapan lemak, trombosit, makrofag,
leukosit, kolesterol, produk sampah seluler, kalsium & aneka substansi lainnya yg
terbentuk di dlm lapisan arteri di seluruh lapisan tunika intima & akhirnya ke tunika
media.
darah, karbohidrat & jaringan fibrosa pada lapisan intima arteri. Penimbunan tersebut
9
Pertumbuhan ini dijuluki dgn plak. Plak tersebut berwarna kuning oleh
mengandung lipid & kolesterol. Sudah diketahui bahwa aterosklerosis bukanlah suatu
proses berkesinambungan, melainkan suatu penyakit dgn fase stabil & fase tak stabil
yg silih berganti. Perubahan gejala-gejala klinik yg tiba-tiba & tak terduga berkaitan
dengan rupture plak, meskipun rupture tidak selalu diikuti gejala-gejala klinis.
Seringkali rupture plak segera pulih, dgn cara inilah proses plak berlangsung (Hanafi,
darah yg dapat menghambat aliran darah. Aterosklerosis dapat terjadi pada arteri di
otak, jantung, ginjal, & organ vital lainnya serta pada lengan & tungkai. Jika
aterosklerosis terjadi didalam arteri yg menuju ke otak (arteri karoid) maka dapat
terjadi stroke. Namun jika terjadi didalam arteri yg menuju kejantung (arteri koroner),
maka dapat terjadi serangan jantung. Biasanya arteri yg amat kerap kali terkena ialah
tua. Namun sekarang bukan hanya pada manusia yg semenjak tua, tetapi jg pada
fenomena alamiah yg tak kerap kali wajib terjadi lesi aterosklerosis terlebih dahulu.
2. Patogenesis Aterosklerosis
10
darah yang progresif. Aterosklerosis merupakan proses inflamasi kronis yang dimulai
awalnya adalah lapisan lemak yang membentuk plak, dan plak yang tidak stabil
intima yang ada pada lumen arteri sedang sampai besar. Plak tersebut mengandung
sel-sel inflamasi, sel otot polos, komponen jaringan ikat, dan lipid (Aziz dan Yadav,
2016). Arteri yang paling sering mengalami aterosklerosis adalah arteri koroner,
aorta, dan arteri serebral. Langkah pertama pembentukan aterosklerosis dimulai dari
disfungsi endotel lumen arteri yang dapat terjadi setelah terjadinya cedera endotel
intima. Molekul adhesi spesifik diekspresikan pada permukaan sel endote di bawah
efek stimulus aterogenik, yang kemudian akan memediasi adhesi leukosit (terutama
monosit) dan limfosit T ke tunika intima. Molekul-molekul adhesi ini adalah selektin,
(ICAM-1). Monosit yang masuk akan berubah menjadi makrofag di dalam tunika
intima yang kemudian akan teroksidasi. Proses oksidasi ini dipicu oleh radikal bebas
dan makrofag. LDL yang teroksidasi (Ox-LDL) akan memicu pelepasan sitokin dan
11
kemokin yang memperberat inflamasi. Makrofag kemudian akan menangkap Ox-
LDL dan membentuk sel busa (foam cell) yang merupakan prekursor ateroma. Setelah
inisiasi, terjadi tahap progresi. Ateroma yang sedang terbentuk ikut terakumulasi pada
otot polos. Sel otot polos kaya akan kolagen yang berguna untuk melindungi
stabilitas plak. Penurunan aktivitas sintesis sel otot polos dapat membahayakan
stabilitas plak. Kekurangan sel otot polos pada lokasi ruptur berkaitan dengan proses
seperti makrofag, sel otot polos, sel T, matriks ekstraseluler termasuk kolagen, serat
elastis, proteoglikan, dan lipid. Plak tersebut memiliki pelindung fibrosa (fibrous cap)
yang tersusun dari kolagen dan sel otot polos. Di dalamnya adalah inti lemak yang
nekrosis, sel busa, dan sel otot polos. Tahap selanjutnya adalah komplikasi, yaitu
ketika plak yang stenosis lama-kelamaan akan menyebabkan oklusi pembuluh darah,
menurunkan aliran darah dan dapat menyebabkan iskemia pada miokardium jika plak
menutupi lumen sebesar 70%. Hal lain yang mungkin terjadi adalah ruptur plak. Hal
ini diakibatkan inflamasi, remodelling pelindung fibrosa dan inti lipid serta
penurunan sintesis matriks. Faktor lain yang menyebabkan instabilitas plak adalah
vasospasme, aliran yang rendah, dan penurunan aktivitas fibrinolitik (Singh, Neki dan
Bisht, 2012).
3. Patofisiologi
12
Pada daerah predileksi yaitu aorta dan arteri koroner endotel mengalami gangguan
aterogenesis dan stimulus inflamasi, maka endotel menjadi aktif. Sitokin yang
kemudian menangkap Ox-LDL dan membuat sel busa berkembang menjadi inti lemak
yang mempunyai pelindung fibrosa. Struktur pelindung fibrosa ini bisa rapuh
vasodilator yang dihasilkan endotel akan berkurang, sehingga dapat terjadi gangguan
fungsi dilatasi endotel. Hal inilah yang dianggap sebagai disfungsi endotel. Kadar
trigliserida yang tinggi juga merupakan faktor risiko karena sebagai besar merupakan
trigliserida yang kaya lipoprotein terutama kilomikron remnan dan very low density
lipoprotein (VLDL) remnan. Remnan lipoprotein ini ukuran kecil sehingga dapat
masuk ke subendotel dan menyebabkan aterosklerosis. Erosi plak atau ruptur dapat
penyakit kardiovaskular (Adi PR, Tanpa Tahun) dan (Douglas dan Channon, 2014)
13
Perkembangan fatty streak dimulaisejak usia anak-anak. Lesi
berkembangsetelah umur 8-18 tahun dan masuk ketahap lanjutan pada umur 25
klinis tampak sebagai angina pektoris, infark miokardium, dan sudden cardiac death
gaya hidup dapat meningkatkan kerja pembuluh arteri. Dokter memiliki beberapa tipe
atherosclerosis
pengenalan dan intervensi faktor risiko. Secara global, faktor risiko terbagi menjadi
yang tidak bisa diubah dan bisa diubah (lihat tabel). Penilaian faktor risiko ini harus
dimulai sejak usia anak-anak, sebab proses aterosklerosis sudah dimulai sejak anak-
14
FAKTOR RESIKO YANG FAKTOR RESIKO YANG
DAPAT DI UBAH TIDAK DAPAT DI UBAH
Dislipidemia (LDL meningkat, Usia lanjut
HDL menurun)
Merokok Laki-laki
Hipertensi Herediter
Diabetes mellitus
Kurang aktivitas fisik
penyempitanarteri
menggunakanstetoskop
pengaruh
anda
a. Tes darah
15
Suatu test darah dapat mengetahui peningkatan levelkolesterol,
c. Electrocardiogram (ECG)
d. Gambar
16
pengerasan dan penyempitan serta arteri utamayang lebih besar,
dinding arteri
e. Doppler Ultrasound
arteri.
6. Pengobatan aterosklerosis
a Pengobatan kimia
17
dapatmemperlambat aliran darah, berhenti atau bahkan
2. Pengobatan anti-platelet
pembuluh darah.
3. Antikoagulan
5. Pengobatan lainnya
18
spesifik untuk gejala tertentu, seperti claudicasi yang
intermittent.
b Pengobatan herbal
1. Alpukat
2. Kubis
3. Bawang merah
antitrombotik.
19
4. Jati belanda
efektif daripada kitin atau serat diet biasa. Serat ini memiliki
5. Kunyit
empedu ke usus.
6. Temulawak
20
kolagoga(memperlancar pengeluaran empedu ke usus).
7. Seledri
peluruh kencing.
8. Angkak
1. Defenisi
sebabkan adanya sumbatan atau blok terhadap pembuluh darah artery jantung ( artery
Coronar ).
2. Patofisiologi
21
Patofisiologi dasar dari penyakit jantung iskemik adalah ketidakseimbangan
antara penyediaan dan kebutuhan oksigen miokardium. Penyediaan oksigen
miokardium bisa menurun atau kebutuhan oksigen miokardium bisa meningkat
melebihi batas cadangan perfungsi koronaria, yang menyebabkan iskemia. Penelitian
belakangan ini menggambarkan bahwa penurunan dalam aliran darah koronaria
karena spasme arteri koronaria, agregasi trombosit atau keduanya bisa memainkan
peranan dalam patogenesis iskemia miokardium berulang yang lama pada pasien
aterosklerosis koroner.
Penyakit jantung iskemik/koroner dimulai saat terlalu banyak mengkonsumsi
makanan yang mengandung kolesterol, maka kadar kolesterol dalam darah bisa
berlebih disebut hiperkolesterolemia. Kelebihan kadar kolesterol dalam darah akan
disimpan di dalam lapisan dinding pembuluh darah arteri, yang disebut
sebagai plak atau ateroma ,sumber utama plak berasal dari LDL Kolesterol (kolestrol
jahat). Sedangkan HDL(kolestrol baik) membawa kembali kelebihan kolesterol ke
dalam hati, sehingga mengurangi penumpukan kolesterol di dalam dinding pembuluh
darah).Ateroma berisi bahan lembut seperti keju, mengandung sejumlah bahan lemak,
terutama kolesterol, sel-sel otot polos dan sel-sel jaringan ikat.
Apabila makin lama plak yang terbentuk makin banyak, akan terjadi suatu
penebalan pada dinding pembuluh darah arteri, sehingga terjadi penyempitan
pembuluh darah arteri. Kejadian ini disebut sebagai aterosklerosis terdapatnya aterom
pada dinding arteri, berisi kolesterol dan zat lemak lainnya. Hal ini menyebabkan
terjadinya arteriosklerosis (penebalan pada dinding arteri & hilangnya kelenturan
dinding arteri). Bila ateroma yang terbentuk semakin tebal, dapat merobek lapisan
dinding arteri dan terjadi bekuan darah trombus yang dapat menyumbat aliran darah
dalam arteri tersebut.
Hal ini yang dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah serta suplai zat-
zat penting seperti oksigen ke daerah atau organ tertentu seperti jantung. Bila
mengenai arteri koronaria yang berfungsi mensuplai darah ke otot jantung istilah
medisnya miokardium. Maka suplai darah jadi berkurang dan menyebabkan kematian
22
di daerah tersebut (disebut sebagai infark miokard).
Konsekuensinya adalah terjadinya serangan jantung dan menyebabkan
timbulnya gejala berupa nyeri dada yang hebat dikenal sebagai angina pectoris.
Keadaan ini yang disebut sebagai Penyakit Jantung Koroner (PJK).
3. Gejala
Penderita infark miokard akut sering didahului oleh keluhan dada terasa tdiak
enak (chest discomfort). Keluhan ini menyerupai gambaran angina yang klasik pada
saat istirahat sehingga dianggap terjadi angina tidak stabil. Tiga puluh persen
penderita mengeluh gejala tersebut 1-4 minggu sebelum penderita mengeluh gejala
tersebut dirasakan kurang dari 1 minggu. Selain itu penderita sering mengeluh rasa
lemah dan kelelahan.
Ada beberapa gejala Penyakit Jantung Koroner yaitu :
a. Demam, suhu tubuh umumnya sekitar 38°C
b. Mual-mual dan muntah, perut bagian atas kembung dan sakit
c. Muka pucat pasi
d. Kulit menjadi basah dan dingin badan bersimbah peluh
e. Gerakan menjadi lamban (kurang semangat)
f. Sesak nafas
g. Cemas dan gelisah
23
h. Pingsan
4. Skrining dan diagnosa Iskemia Otot Jantung/ Angina
1. Elektrokardiogram (EKG)
Bila dari semua pemeriksaan diatas diagnosa PJK belum berhasil ditegakkan,
biasanya dokter jantung/ kardiologis akan merekomendasikan untuk dilakukan
treadmill.
5. Kateterisasi Jantung
24
Kateter didorong dengan tuntunan alat rontgen langsung ke muara pembuluh koroner.
Setelah tepat di lubangnya, kemudian disuntikkan cairan kontras sehingga mengisi
pembuluh koroner yang dimaksud. Setelah itu dapat dilihat adanya penyempitan atau
malahan mungkin tidak ada penyumbatan. Penyempitan atau penyumbatan ini dapat
saja mengenai beberapa tempat pada satu pembuluh koroner. Bisa juga sekaligus
mengenai beberapa pembuluh koroner. Atas dasar hasil kateterisasi jantung ini akan
dapat ditentukan penanganan lebih lanjut. Apakah apsien cukup hanya dengan obat
saja, disamping mencegah atau mengendalikan bourgeois resiko. Atau mungkin
memerlukan intervensi yang dikenal dengan balon,semacam penyangga seperti cincin
atau gorng-gorong yang berguna untuk mencegah kembalinya penyempitan. Bila
tidak mungkin dengan obat-obatan, dibalon dengan atau tanpa stent, upaya lain
adalah dengan melakukan bedah pintas koroner.
5. Pengobatan Iskemia Otot Jantung/ Angina
A. Farmokologi
1. Analgetik yang diberikan biasanya golongan narkotik (morfin) diberikan
secara intravena dengan pengenceran dan diberikan secara pelan-pelan.
Dosisnya awal 2,0 – 2,5 mg dapat diulangi jika perlu
2. Nitrat dengan efek vasodilatasi terutama venodilatasiakan menurunkan venou
s return akan menurunkan preload yang berarti menurunkan oksigen demam.
Di samping itu nitrat juga mempunyai efek dilatasi pada arteri koroner
sehingga akan meningkatakan suplai oksigen. Nitrat dapat diberikan dengan
sediaan spray atau sublingual, kemudian dilanjutkan dengan peroral atau
intravena.
3. Aspirin sebagai antitrombotik sangat penting diberikan. Dianjurkan diberikan
sesegera mungkin (di ruang gawat darurat) karena terbukti menurunkan
angka kematian.
4. Trombolitik terapi, prinsip pengelolaan penderita infark miokard akut adalah
melakukan perbaikan aliran darah koroner secepat mungkin
25
(Revaskularisasi / Reperfusi).Hal ini didasari oleh proses patogenesanya,
dimana terjadi penyumbatan / trombosis dari arteri koroner. Revaskularisasi
dapat dilakukan (pada umumnya) dengan obat-obat trombolitik seperti
streptokinase, r-TPA (recombinant tissue plasminogen ativactor complex),
Urokinase, ASPAC ( anisolated plasminogen streptokinase activator), atau
Scu-PA (single-chain urokinase-type plasminogen activator).Pemberian
trombolitik terapi sangat bermanfaat jika diberikan pada jam pertama dari
serangan infark. Dan terapi ini masih masih bermanfaat jika diberikan 12 jam
dari onset serangan infark.
5. Betablocker diberikan untuk mengurangi kontraktilitas jantung sehingga akan
menurunkan kebutuhan oksigen miokard. Di samping itu betaclocker juga
mempunyai efek anti aritmia.
B. Non-farmakologi
1. Merubah gaya hidup, memberhentikan kebiasaan merokok
2. Olahraga dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol dan memperbaiki
kolateral koroner sehingga PJK dapat dikurangi, olahraga bermanfaat karena:
Memperbaiki fungsi paru dan pemberian O2 ke miokard
Menurunkan berat badan sehingga lemak lemak tubuh yang berlebih
berkurang bersama-sama dengan menurunnya LDL kolesterol
Menurunkan tekanan darah
Meningkatkan kesegaran jasmani
3. Diet merupakan langkah pertama dalam penanggulangan hiperkolesterolemi.
c. Gagal Jantung
26
1. Defenisi
Jantung merupakan suatu organ otot berongga yang terletak di pusat dada.
Bagian kanan dan kiri jantung masing-masing memiliki ruang sebelah atas (atrium
yang mengumpulkan darah dan ruang sebelah bawah (ventrikel) yang mengeluarkan
darah. Agar darah hanya mengalir dalam satu arah, maka ventrikel memiliki satu
katup pada jalan masuk dan satu katup pada jalan keluar. Fungsi utama jantung
adalah menyediakan oksigen ke seluruh tubuh dan membersihkan tubuh dari hasil
mengumpulkan darah yang kekurangan oksigen dari seluruh tubuh dan memompanya
ke dalam paru- paru, dimana darah akan mengambil oksigen dan membuang
27
Gagal jantung merupakan suatu keadaan dimana jantung tidak dapat lagi
memompa darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh,
walaupun darah balik masih dalam keadaan normal. Dengan kata lain, gagal jantung
merupakan suatu ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah dalam jumlah
yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh (forward failure) atau
kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang
tinggi (backward failure) atau keduanya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gagal jantung adalah
kontraktilitas miokard, denyut jantung (irama dan kecepatan/ menit) beban awal dan
beban akhir.
2. Etiologi gagal jantung
28
penyakit jantung kongenital (defek septum, atrial septal defek, ventrical septal
defek),
Kardiomiopati (dilatasi, hipertropik, restriktif), dan
infeksi juga dapat memicu timbulnya gagal jantung.
3. Macam – macam gagal jantung
29
(Liwang F, et al, 2014).
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan
multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok,
namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik (Panggabean MM, 2009).
Pada gagal jantung kronis, derajat penyakit secara klinis fungsional dapat
dikategorikan berdasarkan criteria New York Heart Association (NYHA):
NYHA I : Penyakit jantung, namun tidak ada gejala atau keterbatasan dalam
aktivitas fisik sehari-hari biasa, misalnya berjalan, naik tangga, dan
sebagainya (Liwang F, et al, 2014).
NYHA II : Gejala ringan (sesak napas ringan dan atau angina) serta terdapat
keterbatasan ringan dalam aktivitas fisik biasa sehari-hari (Liwang F,
et al, 2014).
NYHA III: Terdapat keterbatasan fisik sehari-hari akibat gejala gagal jantung
pada tingkatan yang lebih ringan. Misalnya berjalan 20-100 m. Pasien
hanya merasa nyaman saat beristirahat (Liwang F, et al, 2014).
NYHA IV: Terdapat keterbatasan aktivitas yang berat, misalnya gejala muncul
saat istirahat (Liwang F, et al, 2014).
Klasifikasi terbaru yang dikeluarkan American Collage of
Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) pada tahun 2005 menekankan
pembagian gagal jantung berdasarkan progessivitas kelainan structural dari jantung
dan perkembangan status fungsional. Klasifikasi dari ACC/AHA ini dibagi menjadi 4
stage :
Stage A : Ada faktor risiko gagal jantung (seperti diabetes, hipertensi, penyakit
jantung koroner) namun belum ada kelainan structural dari jantung
(cardiomegali, LVH, dll) maupun kelainan fungsional (Manurung D,
2009).
Stage B : Ada faktor risiko gagal jantung dan sudah terdapat kelainan structural
dengan atau tanpa kelainan fungsional, namun bersifat asimptomatik
(Manurung D, 2009).
30
Stage C: Sedang dalam dekopensasi dan atau pernah gagal jantung, yang
didasari oleh kelainan structural dari jantung (Manurung D, 2009).
Stage D: Sudah masuk ke dalam refractory heart failure, dan perlu advanced
treatment strategies (Manurung D, 2009).
4. Patofisiologi
gangguan mekanik (beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal atau
bersamaan yaitu beban tekanan, beban volume, tamponade jantung atau kontriksi
otot jantung yang terdiri dari primer (kardiomiopati, miokarditis metabolic (DM,
gagal ginjal kronik, anemia) toksin atau sitostatika) dan sekunder (iskemia, penyakit
31
Dilatasi, hipertrofi, takikardi, dan redistribusi cairan badan merupakan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi
kebutuhan kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi
kebutuhan sirkulasi badan. Bila semua kemampuan mekanisme kompensasi jantung
tersebut di atas sudah dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam badan
belum juga terpenuhi, maka terjadilah keadaan gagal jantung (Rang, 2003).
Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya
gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun
dengan akibat tekanan akhir diastole dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole
dalam ventrikel kiri meningkat. Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam
kerjanya untuk mengisi ventrikel kiri pada waktu diastolic, dengan akibat terjadinya
kenaikan tekanan rata-rata dalam atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang
meninggi ini menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dari vena-vena
pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka bendungan akan terjadi juga dalam
paru-paru dengan akibat terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan tanda-
tanda akibat adanya tekanan dalam sirkulasi yang meninggi. Keadaan yang terakhir
ini merupakan hambatan bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa darah untuk
sirkuit paru (sirkulasi kecil). Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah,
maka akan meransang ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan
mengalami hipertropi dan dilatasi sampai batas kemampuannya, dan bila beban
tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi gagal jantung kanan, sehingga pada
akhirnya terjadi gagal jantung kiri-kanan. Gagal jantung kanan dapat pula terjadi
karena gangguan atau hambatan pada daya pompa ventrikel kanan sehingga isi
sekuncup ventrikel kanan tanpa didahului oleh gagal jantung kiri. Dengan
menurunnya isi sekuncup ventrikel kanan, tekanan dan volume akhir diastole
ventrikel kanan akan meningkat dan ini menjadi beban atrium kanan dalam kerjanya
mengisi ventrikel kanan pada waktu diastole, dengan akibat terjadinya kenaikan
tekanan dalam atrium kanan. Tekanan dalam atrium kanan yang meninggi akan
menyebabkan hambatan aliran darah dalam vena kava superior dan inferior ke dalam
32
jantung sehingga mengakibatkan kenaikan dan adanya bendungan pada vena-vena
sistemik tersebut (bendungan pada vena jugularis dan bendungan hepar) dengan
segala akibatnya (tekanan vena jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bila
keadaan ini terus berlanjut, maka terjadi bendungan sistemik yang lebih berat dengan
akibat timbulnya edema tumit atau tungkai bawah dan asites (Osama Gusbi, 2002).
Manifestasi CHF tidak hanya disebabkan karena ketidakmampuan jantung
dalam mensuplai oksigen yang adekuat ke jaringan perifer, tapi juga tergantung pada
respon sistemik dalam mengkompensasi ketidakadekuatan suplai oksigen ke
jaringan. Beberapa faktor yang menentukan cardiac output meliputi heart rate dan
stroke volume. Stroke volume ditentukan oleh preload, kontraktilitas, dan afterload.
Variabel-variabel ini penting diketahui dalam patofisiologis CHF dan potensi terapi.
Selain itu interaksi kardiopulmonary penting juga untuk diketahui dalam peranannya
dalam kegagalan jantung (Figueroa, et al, 2006).
Preload dapat dilihat dari jumlah volume darah yang harus dipompa oleh
jantung, kontraktilitas merupakan kemampuan memompa jantung, sedangkan
afterload merupakan kekuatan yang harus dikeluarkan oleh jantung untuk
memompa darah. Preload tidak hanya dipengaruhi oleh volume intravaskuler, tapi
juga dipengaruhi oleh keadaan restriksi saat pengisian ventrikel. Fungsi diastolic
ditentukan oleh dua faktor yaitu elastisitas dari ventrikel kiri, yang mana merupakan
fenomena yang pasif, dan relaksasi myocardial yang mana proses ini merupakan
proses yang aktif dan membutuhkan energi. Ketidaknormalan ventrikel kiri untuk
relaksasi atau elastisitasnya baik itu karena structural (contoh: hypertropi ventrikel
kiri) atau perubahan pada fungsional (contoh: iskemia) mempengaruhi juga pengisian
ventrikel (preload) (Figueroa, et al, 2006).
Variable kedua dari stroke volume adalah kontraktilitas jantung, Pada jantung
normal fungsi sistolik fraksi ejeksi akan selalu dipertahankan diatas 50-55%. Infark
myokard akan menyebabkan myokard tidak dapat bekerja dengan baik, hal ini
dikarenakan jantung tidak dapat berkontraksi dengan baik. Jaringan yang infark
dapat diperbaiki dengan pembedahan atau dengan terapi obat-obatan. Beberapa hal
33
yang juga mempengaruhi kontraktilitas jantung adalah agent farmakologik (calcium
channel blocker), hipoksemia, dan asidosis yang parah (Figueroa, et al, 2006).
Variabel terakhir dari komponen stroke volume adalah afterload. Afterload
biasanya dilihat dengan pengukuran mean arterial pressure. Afterload dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu tahanan vaskuler, dan tekanan intratorakal. Bersama-
sama ketiga komponen ini saling mempengaruhi dalam patofisiologi CHF. Pada
kondisi dimana terjadi penurunan cardiac output, maka heart rate atau stroke
volume harus berubah untuk menjaga kelangsungan perfusi. Jika stroke volume tidak
dapat dirubah, maka heart rate harus ditingkatkan untuk menjaga cardiac output
(Figueroa, et al, 2006).
Sistem neurohormonal teraktivasi pada disfungsi ventrikel dengan penurunan
cardiac output, terjadi aktivasi baroreseptor pada arkus aorta, sinus karotikus, dan
ventrikel kiri. Baroreseptor ini menstimulasi pusat regulator vasomotor pada
medula, yang mana kemudian mengaktivasi system saraf simpatis, arginin
vasopressin, dan rennin-angiotensin aldosteron system. Aktivasi system saraf
simpatis dapat terlihat dari adanya peningkatan kadar norepinephrin plasma, hasilnya
dapat terlihat dari peningkatan heart rate, kontraktilitas myocardium, vasokonstriksi
perifer. Renin angiotensin system teraktivasi pada kegagalan jantung, melalui
mekanisme intrarenal, yang distimulasi oleh perubahan tekanan atau perubahan pada
kadar sodium pada macula densa, yang kemudian menyebabkan terjadinya retensi
sodium dan cairan (Tsutsui, et al, 2007).
2. Mekanisme Frank Starling
Mekanisme Frank Starling meningkatkan stroke volume berarti terjadi
peningkatan volume ventrivuler dan diastolik. Bila terjadi peningkatan pengisian
diastolic, berarti ada peningkatan peregangan dari serat otot jantung, lebih optimal
pada filament aktin dan myosin, dan hasilnya meningkatkan tekanan pada kontraksi
berikutnya. Pada keadaan normal, mekanisme Frank Starling mencocokkan output
dari dua ventrikel (Boron, et al, 2005).
Pada gagal jantung, mekanisme Frank Starling membantu mendukung
34
kardiak output. Kardiak output mungkin akan normal pada penderita gagal jantung
yang sedang beristirahat, dikarenakan terjadinya peningkatan volume ventricular end
diastolic dan mekanisme Frank-Starling. Mekanisme ini menjadi tidak efektif ketika
jantung mengalami pengisian yang berlebihan dan serat otot mengalami peregangan
yang berlebihan (Boron, et al, 2005).
Hal penting yang menentukan konsumsi energy otot jantung adalah
ketegangan dari dinding ventricular. Pengisian ventrikel yang berlebihan
menurunkan ketebalan dinding pembuluh darah dan meningkatkan ketegangan
dinding pembuluh darah. Peningkatan ketegangan dinding pembuluh darah akan
meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung yang menyebabkan iskemia dan lebih
lanjut lagi adanya gangguan fungsi jantung (Loscalzo, et al, 2008).
1. Aktivasi neurohormonal yang mempengaruihi sistem saraf simpatetik
Stimulasi system saraf simpatetik berperan penting dalam respon kompensasi
menurun cardiac output dan pathogenesis gagal jantung. Baik cardiac sympathetic
tone dan katekolamin (epinephrine dan norepinephrin) meningkat selama tahap
akhir dari hampir semua bentuk gagal jantung. Stimulasi langsung irama jantung dan
kontraktilitas otot jantung oleh pengaturan vascular tone, sistem saraf simpatetik
membantu memelihara perfusi berbagai organ, terutama otak dan jantung (Loscalzo,
et al, 2008).
Aspek negatif dari peningkatan aktivitas system saraf simpatetik melibatkan
peningkatan tahanan sistem vaskular dan kelebihan kemampuan jantung dalam
memompa. Stimulasi simpatetik yang berlebihan juga menghasilkan penurunan
aliran darah ke kulit, otot, ginjal, dan organ abdominal. Hal ini tidak hanya
menurunkan perfusi jaringan tetapi juga berkontribusi meningkatkan sistem tahanan
vaskular dan stres berlebihan dari jantung (Rang, 2003).
2. Mekanisme Renin-Angiotensin-Aldosteron
Salah satu efek yang paling penting dalam menurunkan cardiac output dalam
gagal jantung adalah reduksi aliran darah pada ginjal dan kecepatan filtrasi
35
glomerulus, yang menyebabkan retensi garam dan air. Penurunan aliran darah ke
ginjal, meningkatkan sekresi renin oleh ginjal yang secara paralel akan meningkatkan
pula angiotensin II. Peningkatan konsentrasi angiotensin II berkontribusi pada
keadaan vasokonstriksi dan menstimulasi produksi aldosteron dari adrenal korteks.
Aldosteron akan meningkatkan reabsorpsi natrium dengan meningkatkan retensi air
(Tsutsui, et al, 2007).
Selain itu angiotensin II dan aldosteron juga terlibat dalam inflamasi proses
perbaikan karena adanya kerusakan jaringan. Keduanya menstimulasi produksi
sitokin, adhesi sel inflamasi (contoh neutrofil dan makrofag) dan kemotaksis;
mengaktivasi makrofag pada sisi kerusakan dan perbaikan; dan menstimulasi
pertumbuhan fibroblas dan sintesis jaringan kolagen (Loscalzo, et al, 2008).
3. Peptida natriuretik dan substansi vasoaktif yang diproduksi secara lokal
Ada tiga jenis natriuretic peptide yaitu atrial natriuretic peptide (ANP), brain
natriuretic peptide (BNP), dan C-type natriuretic peptide (CNP). ANP dihasilkan dari
sel atrial sebagai respon meningkatkan ketegangan tekanan atrial, memproduksi
natriuresis cepat dan sementara, diuretik dan kehilangan kalium dalam jumlah sedang
dalam urine. BNP dikeluarkan sebagai respon tekanan pengisian ventrikel sedangkan
fungsi CNP masih belum jelas (Loscalzo, et al, 2008).
4. Hipertrofi otot jantung dan remodeling
Perkembangan hipertrofi otot jantung dan remodeling merupakan salah satu
mekanisme akibat meningkatnya kerja yang berlebih. Meskipun hipertrofi ventrikel
memperbaiki kerja jantung, ini juga merupakan faktor risiko yang penting bagi
morbiditas dan mortalitas. Keadaan hipertrofi dan remodeling dapat menyebabkan
perubahan dalam struktur (massa otot, dilatasi chamber) dan fungsi (gangguan fungsi
sistolik dan diastolik). Ada 2 tipe hipertrofi, yaitu pertama Concentric hypertrophy,
terjadi penebalan dinding pembuluh darah, disebabkan oleh hipertensi.dan kedua
Eccentric hypertrophy, terjadi peningkatan panjang otot jantung disebabkan oleh
dilated cardiomyopathy (Shigeyama, et al, 2005).
36
5. Diagnosis
Tanda dan Gejala Pasien dengan gagal jantung harus memenuhi kriteria sebagai
berikut:
1. Gejala-gejala (symptoms) dari gagal jantung berupa sesak napas pada saat
beraktivitas dan ada rasa lemah, atau tidak bertenaga. Pada kondisi berat
sesak napas dapat muncul dalam keadaan istirahat (Manurung D, 2009).
2. Tanda-tanda (signs) dari gagal jantung berupa retensi cairan, seperti kongesti
paru, edema tungkai (Manurung D, 2009).
3. Bukti objektif kelainan struktur atau fungsi jantung saat istirahat (Manurung
D, 2009).
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan kriteria klinis menggunakan
kriteria klasik Frangmingham: bila terdapat paling sedikit satu kriteria mayor
dan dua kriteria minor (Panggabean MM, 2009).
Kriteria Mayor:
- Paroxysmal nocturnal dyspnea - Kardiomegali
37
- Dispnea d’effort - Kapasitas vital berkurang 1/3 dari
-
6. Pemeriksaan menunjang
Sebagian besar penderita gagal jantung harus minum obat dalam jangka
panjang atau bahkan seumur hidup agar gejalanya bisa terkendali. Beberapa penderita
lain yang memiliki gejala parah bahkan terpaksa harus dipasangi alat penopang
jantung, melakukan operasi, atau bahkan menjalani transplantasi jantung agar tetap
bertahan hidup
38
Penanganan gagal jantung bertujuan untuk:
Meredakan gejala gagal jantung.
Membantu jantung menjadi lebih kuat.
Memungkinkan si penderita bisa hidup lebih lama secara normal.
Menurunkan risiko serangan jantung dan kematian.
Berikut ini adalah beberapa obat yang dapat digunakan untuk menangani
gagal jantung.
1. Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ace-i)
ACE-I harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan
fraksi ejeksi ventrikel kiri c 40 % kecuali ada kontraindikasi. ACE-I memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas
rekomendasi I, tingkatan bukti A).
ACE-I terkadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia,
hipotensi simtomatik, batuk, dan angioedema (jarang). Oleh sebab itu, ACE-I hanya
diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
Indikasi pemberian ACE-I
Fraksi ejeksi ventrikel kiri c 40 %, dengan atau tanpa gejala
Fraksi ejeksi ventrikel kiri > 40 % dengan tanda dan gejala gagal jantung
Kontraindikasi pemberian ACE-I
Riwayat angioedema
Stenosis renal bilateral
Stenosis aorta berat
Kadar kalium serum >5,5 mmol/L
Serum kreatinin > 2,5 mg/dL (relatif)
Cara pemberian ACE-I pada gagal jantung
Inisiasi pemberian ACE-I
Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
39
Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu setelah terapi
ACE-I
Naikkan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu.
Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
Dosis titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat dirawat di rumah sakit
Jika tidak ada masalah di atas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat di toleransi.
Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai dosis
target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali
2. Penyekat Reseptor 8
Kecuali terdapat kontraindikasi, penyekat 8 harus diberikan pada semua
pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri c 40 %. Penyekat 8
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit
karena perburukan gagal jantung, dan menurunkan mortalitas
Indikasi pemberian penyekat 8
Fraksi ejeksi ventrikel kiri c 40 % dengan atau tanpa gejala gagal jantung
Fraksi ejeksi ventrikel kiri > 40 % dengan tanda dan gejala gagal jantung
Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
ACE-I/ARB/ARNI (dengan atau tanpa antagonis aldosteron) sudah diberikan
Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada
kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat 8
Asma berat
Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindrom sinus sakit (tanpa pacu
jantung permanen), sinus bradikardia (nadi <50x/menit)
Cara pemberian penyekat 8 pada gagal jantung
Inisiasi pemberian penyekat 8
40
Penyekat 8 dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien
dekompensasi secara hati-hati.
Naikan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi simtomatik atau
bradikardi (nadi <50x/menit
Jika tidak ada masalah diatas, naikkan dosis penyekat 8 sampai dosis target
atau dosis maksimal yang dapat di toleransi
Efek yang tidak menguntungkan yang dapat timbul dari pemberian penyekat 8
Hipotensi simtomatik
Perburukan gagal jantung
Bradikardi
3. Antagonis Aldosteron
Kecuali terdapat kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis
kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi c 35 % dan
gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III- IV NYHA) tanpa hiperkalemia
dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron dapat mengurangi frekuensi
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka
kelangsungan hidup.1,3
Indikasi pemberian antagonis aldosteron
Fraksi ejeksi ventrikel kiri c 40 %
Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III - IV NYHA)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron
Konsentrasi serum kalium > 5,5 mmol/L
Serum kreatinin > 2,5 mg/dL (relatif)
Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
41
Kombinasi ACE-I dan ARB atau ARNI
Cara pemberian spironolakton (atau eplerenon) pada gagal jantung
Inisiasi pemberian spironolakton
Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
Naikan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4 - 8 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia
Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu setelah
menaikkan dosis
Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat di toleransi
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton:
Hiperkalemia
Perburukan fungsi ginjal
Nyeri dan/atau pembesaran payudara
Evaluasi gejala
Evaluasi ulang
Evaluasi ulang Ekokarddiografi tiap 1-5 Evaluasi ulang
tiap 1-3 tahun tahun Ekokarddiografi sesuai
( tergantungdari dengankondisi klinis
kondisi klinis )
43
walaupun sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACE_1/ARB, penyekat dan
MRA, untuk menurunkan risiko rawat ulang dan kematian
Ivabradine
Pemberiannya harus dipertimbangkan untuk menurunksn risiko hospitalisasi
pada pasien dengan EF < 3%, irama sinus dengan laju nadi > 70x/menit, dan
dengan gejala yang persisten (NHYA II-IV), walaupun sudah mendapat
terapioptimal penyekat B, ACE-I/ARB ARNI dan MRA
Pemberiannya dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko hospitalisasi
pada pasien dengan EF c 45% yang intoleran terhadap penyekat 8 (ivabradine
adalah pilihan lain bagi pasien dengan laju nadi >70x/menit). Pasien juga harus
mendapat ACE-I/ARB/ARNI dan MRA
Digoxin
Pemberiannya dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko hospitalisasi
pada pasien dengan EF c 45% yang intoleran terhadap penyekat 8 (ivabradine
adalah pilihan lain bagi pasien dengan laju nadi >70x/menit). Pasien juga harus
mendapat ACE-I/ARB/ARNI dan MRA
Pemberiannya dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko hospitalisasi
pada pasien dengan EF c 45% dan gejala yang persisten (NYHA II-IV)
walaupun sudah mendapat terapi optimal ACE-I/ARB/ARNI, penyekat 8, dan
MRA
H-ISDN
Pemberiannya dapat dipertimbangkan sebagai pengganti ACE-I ARB/ARNI
dan MRA, bila intoleran, untuk menurunkan risiko hospitalisasi dan kematian
dini pada pasien dengan EF c45% dengan dilatasi ventrikel kiri (atau EF
c35%). Pasien juga harus mendapat penyekat 8, dan MRA
Pemberiannya dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko hospitalisasi
dan kematian prematur pada EF c45 % dengan dilatasi ventrikel kiri (EF c35%)
dan gejala yang persisten (NYHA II-IV) dengan terapi optimal ACE-
I/ARB/ARNI, penyekat 8, dan MRA
44
ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri c40% yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACE-I dan
penyekat 8 dosis optimal, kecuali terdapat kontraindikasi, dan juga mendapat
antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB dapat memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung. ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien yang intoleran terhadap
ACE-I. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab
kardiovaskular.1,3
Indikasi pemberian ARB
Fraksi ejeksi ventrikel kiri c 40 %
Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II - IV NYHA) yang intoleran pada ACE-I
ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi
simtomatik sama seperti ACE-I, tetapi ARB sedikit menyebabkan batuk
Kontraindikasi pemberian ARB
Sama seperti ACE-I, kecuali angioedema
Pasien yang diterapi ACE-I dan antagonis aldosteron bersamaan
Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial bila ARB digunakan bersama
ACE-I
Cara pemberian ARB pada gagal jantung Inisiasi pemberian ARB
Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
Dosis awal lihat Tabel 4.7
Naikan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikkan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu. Jangan
naikkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemi
Jika tidak ada masalah di atas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
45
dosis maksimal yang dapat ditoleransi (Tabel 4.7)
Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai dosis
target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian ARB:
Sama seperti ACE-I, kecuali ARB sedikit menyebabkan batuk.
ANGIOTENSIN RECEPTOR – NEPRILYSIN INHIBITOR (ARNI) = Sacubitril/
valsartan
Pada pasien yang masih simtomatik dengan dosis pengobatan ACE-I/ARB,
penyekat 8, dan MRA, dapat juga diberikan terapi baru sebagai pengganti ACE-I /
ARB yaitu Angiotensin Receptor–Neprilysin Inhibitor (ARNI) yang merupakan
kombinasi molekuler valsartan- sacubitril. Sacubitril merupakan penghambat enzim
nefrilisin yang akan menyebabkan memperbaiki remodeling miokard, diuresis dan
natriuresis serta mengurangi vasokontriksi, retensi cairan dan garam. Dosis yang
dianjurkan adalah 50 mg (2 kali per hari) dan dapat ditingkatkan hingga 200 mg (2
kali per hari). Bila pasien sebelumnya mendapatkan ACE-I maka harus ditunda
selama minimal 36 jam terbih dahulu sebelum memulai Sacubitril/ valsartan. Tetapi
bila pasien sebelumnya mendapatkan ARB, maka Sacubitril/ valsartan dapat langsung
diberikan sebagai pengganti ARB.
IVABRADINE
Ivabradine bekerja memperlambat laju jantung melalui penghambatan kanal If
di nodus sinus, dan hanya digunakan untuk pasien dengan irama sinus. Ivabradine
menurunkan mortalitas dan perawatan rumah sakit akibat gagal jantung pada pasien
gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun (LVEF c35%, irama sinus, dan
denyut nadi ≥70 kali/menit) yang pernah mengalami rawat inap dalam 12 bulan
terakhir berdasarkan hasil studi SHIFT.
Panduan pemberian terapi gagal jantung terbaru yang meliputi Sacubitril/ valsartan
dan Ivabradine dapat dilihat pada tabel di bawah
46
Panduan- Rekomendasi dan Indikasi Penggunaan Sacubitril/ Valsartan dan
Ivabradine
ACEI/ARB naive
Gangguan ginjal berat (eGFR <30 mL/
menit/1,73 m2)
47
Kontraindikasi dan Peringatan untuk Sacubitril/ Valsartan dan Ivabradine
A) Sacubitril-Valsatran
Kontraindikasi Peringatan
Dalam 36 jam penggunaan ACEI Gangguan Ginjal:
Angioedema dengan ACEI/ARB Ringan-sedang (eGFR ≥30 mL/
sebelumnya min/1.73 m2): Tidak perlu
Kehamilan• Menyusui (tidak penyesuaian dosis
direkomendasikan) Berat : eGFR <30 mL/min/1.73 m2):
Gangguan hepar berat (Child-Pugh Turunkan dosis awal menjadi 50 mg
C) dua kali sehari; gandakan dosisnya
Digunakan bersamaan dengan setiap 2-4 minggu hingga mencapai
aliskiren pada pasien yang mengidap dosis target 200 mg dua kali sehari,
diabetes sesuai batas toleransi
Diketahui hipersensitifitas pada Hyperkalemia (K>5.5 mEq/L)
ACEI/ARB Gangguan fungsi hepar:
Ringan (Child Pugh A):
Tidak perlu penyesuaian dosi
Sedang (Child-Pugh B): Turunkan
dosis awal hingga menjadi 24 mg/26
mg dua kali sehari; gandakan
dosisnya setiap 2-4 minggu hingga
mencapai dosis target 97 mg/103 mg
dua kali sehari, sesuai batas toleransi
Berat (Child-Pugh C):
- Kontraindikasi stenosis arteri
renalis
- Hipotensi
- Kurang cairan
- Hiponatremia
- Setelah serangan jantung akut
B) Ivabradine
Kontraindikasi Peringatan
HFpEF Bradikardi
Angina dengan pompa jantung baik Penyakit sinus node
48
Hipersensitivitas Gangguan konduksi
Gangguan liver berat Interval QT memanjang
Gagal jantung akut
Tekanan darah <90/50 mm Hg
Sick sinus syndrome dengan pacu
jantung
Blok nodus sinoatrium
Blok derajat dua atau tiga tanpa pacu
jantung
Nadi istirahat <60x per menit
Fibrilasi atrium atau flutter
Atrial pacemaker dependenc
ACEI
Captopril 6,25 (3 x/hari) 50 - 100 (3 x/hari)
Enalapril 2,5 (2 x/hari) 10 - 20 (2 x/hari)
Lisinopril 2,5 - 5 (1 x/hari) 20 - 40 (1 x/hari)
Ramipril 2,5 (1 x/hari) 5 (2 x/hari)
Perindopril 2 (1 x/hari) 8 (1 x/hari)
ARB
Candesartan 4 / 8 (1 x/hari) 32 (1 x/hari)
Valsartan 40 (2 x/hari) 160 (2 x/hari)
Antagonis aldosteron
Eplerenon 25 (1 x/hari) 50 (1 x/hari)
Spironolakton 25 (1 x/hari) 25 - 50 (1 x/hari)
Penyekat 8
49
Bisoprolol 1,25 (1 x/hari) 10 (1 x/hari)
Carvedilol 3,125 (2 x/hari) 25 - 50 (2 x/hari)
Metoprolol 12,5 / 25 (1 x/hari) 200 (1 x/hari)
Nebivolol 1,25 (1 x/hari) 10 (1 x/hari)
50
Nyeri sendi atau nyeri otot
DIGOXIN
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoxin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat
8) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel
kiri c 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan
angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, tetapi tidak
mempunyai efek terhadap mortalitas (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).1,3
Cara pemberian digoxin pada gagal jantung
Inisiasi pemberian digoxin
Dosis awal: 0,25 mg, 1x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Pada
pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan menjadi 0,125
atau 0,0625 mg, 1 x/hari.
Periksa kadar digoxin dalam plasma segera saat terapi kronik. Kadar terapi
digoxin harus antara 0,6 - 1,2 ng/mL.
Beberapa obat dapat menaikan kadar digoxin dalam darah (amiodaron,
diltiazem, verapamil, kuinidin)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian digoxin:
Blok sinoatrial dan blok AV
Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hipokalemia
Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan melihat
warna
INDIKASI
Fibrilasi atrium
• Dengan irama ventrikular saat istrahat > 80 x/menit atau
saat aktivitas > 110 - 120 x menit
Irama sinus
51
• Fraksi ejeksi ventrikel kiri c 40 %
• Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA)
• Dosis optimal ACE-I/ARB/ARNI, penyekat 8
dan antagonis aldosteron jika ada indikasi
KONTRAINDIKASI
Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap); hati-hati jika pasien
diduga sick sinus syndrome
Sindrom pre-eksitasi
Riwayat intoleransi digoksin
DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti B). Tujuan dari pemberian
diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis
yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien untuk
52
Metolazone Indapamide 2.5 2.5 – 10
2.5 2.5 – 5
Diuretik hemat kalium
Spironolakton (+ACE-I/ARB) (+ACE-I/ARB) 50
12.5
- 25
(- ACE-I/ARB) (- ACE-I/ARB) 100 – 200
50
Dosis diuretik
Dosis diuretik Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan
gejala dan tanda kongesti
Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering (tanpa
retensi cairan), untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan dehidrasi. Tujuan
terapi adalah mempertahankan berat badan kering dengan dosis diuretik
minimal
Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur dosis
diuretik sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran berat badan harian dan
tanda-tanda klinis dari retensi cairan
Pengelolaan pasien resisten diuretik terdapat pada Tabel 4.10.
Masalah Saran tindakan
Hipokalemia / Cara kausa spesifik
hipomsgnesia Tingkatkan dosis ACE-I /ARB?ARNI
Tambahkan antagonis aldosteron
Suplemen kalium dan atau magnesium,hanya
bila benar-benardiperlukan, misalnya artmia dll
Hiponatremia Cari kuasa spesifik
simtomatik Retriksi cairan
Stop diuretik thiazide/ ganti diuretik loop, jika
memungkinkan turungkan dosis/ stop diuretik
loop
Pemberian antagonis AVP (tolvaptan)
Pemberian inotropik intra vena
Pertimbangan ultrafiltrasi
Hiperurisemia Pertimbangkan allupurinol
53
simtomatik Bila gejala sangat hebat, gunakan kolkisin
Hindari pemberian NSAID
Hipovolemia/ Cari kausa spesifik
dehidrasi Nilai status volume
Pertimbangan pengurangan dosis diuretik
Respon tidak Periksa kepatuhan/ asupan cairan
adekuat Tingkatkan dosis diuretik
Kombinasikan diuretik loop dengan diuretik
jenis lain dengan aldosteron dan atau diuretik
thiazide
Ingatkan pasien untuk mium diuretik loop saaat
lambung kosong
Pertimbangan pemberian diuretik loop dosis
intra vena
Pertimbsngkan untuk pemberian diuretik loop
intra vena
Pertimbangkan untuk pemberiann dopamine
dengan dosis renal
Gangguan fungsi ginjal Periksa apakah pasien hipovolemia/ dehidrasi
(peningkatan Yang Hentikan penggunan obat nefrotosik Lin
berlebihan (NSAID, dll)
dari urea/kretini) atau Tunda antagonis aldeteron
penurunan GFR Jika pasien menggunakan kombinasi diuretik,
stop atau tunda diuretik thiazide
Turunkan penurunan dosis ACE-I/ ARB/ARNI
bila memungkinkan
Pertimbangkan untuk pemberian dopamin
dengan dosis renal
54
Renin inhibitors
Antikoagulan oral
Sampai saat ini belum terdapat data yang menyatakan bahwa antikoagulan oral
terbukti lebih baik dalam penurunan mortalitas dan morbiditas pada gagal jantung
bila dibandingkan dengan placebo atau aspirin.
Berikut ini beberapa jenis operasi untuk gagal jantung:
Operasi bypass atau angioplasty. Operasi ini dilakukan untuk mengatasi
gagal jantung yang disebabkan oleh penyakit jantung koroner, yaitu kondisi
saat sejumlah pembuluh darah jantung tersumbat. Melalui operasi bypass, darah
dapat mengalir kembali melalui jantung secara lancar sehingga mencegah
serangan jantung, serta menyembuhkan angina. Pada beberapa kasus, operasi
bypass dapat memperbaiki fungsi otot jantung.
Operasi katup jantung. Jika gagal jantung disebabkan oleh kerusakan
pada katup jantung, maka operasi ini dapat dilakukan. Ada dua jenis operasi
katup jantung, yaitu operasi untuk memperbaiki katup dan operasi untuk
mengganti katup.
Operasi transplantasi jantung. Operasi ini dilakukan jika penanganan
gagal jantung dengan obat-obatan serta operasi lainnya tidak menemui hasil.
Melalui operasi transplantasi, jantung pasien yang sudah rusak diganti dengan
jantung yang didapat dari donor. Namun prosedur ini tidaklah mudah,
mengingat sulitnya mendapatkan donor jantung serta kecocokan dengan diri
pasien.
Berikut ini adalah beberapa alat yang dapat dipasangkan pada penderita gagal
jantung:
Alat pemompa jantung. Alat ini dipasang oleh dokter untuk membantu
pasien gagal jantung parah agar tetap hidup, baik bagi mereka yang sudah tidak
bisa diobati lagi oleh cara apa pun atau bagi mereka yang sedang menunggu
55
donor jantung. Perangkat mekanik ini dipasang pada jantung untuk membuat
organ tersebut tetap berdetak.
Cardic resynchronization therapy (CRT). CRT dikenal juga sebagai
pemicu jantung biventrikular. Alat ini dapat membantu pasien gagal jantung
yang memiliki masalah dengan sistem kelistrikan di dalam jantung mereka
sehingga organ tersebut menjadi lemah. CRT mengirim impuls listrik ke
ventrikel kiri dan kanan agar mampu memompa secara efisien.
Implantable cardioverter-defibrillator (ICD). Fungsi perangkat ini sama
seperti alat pacu jantung. Perangkat yang dihubungkan ke jantung melalui
pembuluh darah ini akan terus memonitor detak jantung. Jika detak jantung
melemah atau bahkan berhenti, maka ICD akan mengirim sinyal kejut agar
jantung kembali berdetak secara normal.
CRT-D. Perangkat ini merupakan gabungan dari Cardic
resynchronization therapy (CRT) dan Implantable cardioverter-defibrillator
(ICD).
Jika Anda menderita gagal jantung, penyembuhan tidak bisa bergantung pada
obat-obatan atau operasi semata, tapi juga harus didukung dengan gaya hidup sehat,
seperti:
Berolahraga secara teratur.
Mengonsumsi makanan sehat yang dianjurkan dokter.
Berhenti merokok dan membatasi konsumsi minuman keras.
Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat Anda lakukan agar gejala gagal jantung
Anda tidak memburuk, di antaranya:
Rutin memeriksakan diri ke dokter.
Rutin memonitor gejala yang Anda rasakan.
Rutin memonitor berat badan Anda.
Membatasi konsumsi garam.
Disiplin dalam mengonsumsi obat-obatan dari dokter.
56
Membatasi konsumsi cairan.
Berikut ini adalah beberapa jenis obat yang harus dihindari oleh penderita gagal
jantung:
Obat anti-aritmia.
Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS).
Dekongestan.
Suplemen pengganti garam.
Obat-obatan hormon.
Obat penghambat saluran kalsium.
8. Pencegahan
d. Hipertensi
1. Defenisi
57
Menurut WHO, hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik
lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg atau tekanan
darah diatas 160/90 mmHg. Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu
peningkatan abnomal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus-
menerus lebih dari satu priode. Hal ini bila arteriole-arteriole konstriksi. Konstriksi
arteriole membuat darah saling mengalir dan meningkatkan tekanan melawan dinding
arteri. Hipertensi menambah beban kerja jantung dan arteri yang bila berlanjut dapat
2. Patogenesis
darah terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jarak saraf simpatis, yang terlanjut ke bawah ke korna spinalis dan keluar
dari kolumna medula spinaliske ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan
pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk implus yang bergerak ke bawah melalui
saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron ganglion ke pembuluh darah
pembuluh darah kapiler. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
58
dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana sistem
saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar
kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldoseteron oleh konteks adrenal.
Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
keadaan hipertensi. Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah
perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia.
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya
curah jantung dan peningkatan tahanan perifer. Pada dasarnya, tekanan darah
dipengaruhi oleh curah jantung dan tekanan perifer. Berbagai faktor yang
mempengaruhi curah jantung dan tekanan parifer akan mempengaruhi tekanan darah
seperti asupan garam tinggi, faktor genetik, stres, obesitas, faktor endotel. Selain
59
curah jantung dan tahanan perifer sebenarnya tekanan darah tinggi dipengaruhi juga
oleh tebalnya atrium kanan, tidak mempunyai banyak pengaruh. Dalam tubuh
terdapat sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang
disebabkan oleh dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan darah sangat
kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem yang bereaksi dengan cepat misalnya
susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, arteri pulmonalis otot polos. Dari sistem
pengendalian yang bereaksi sangat cepat diikuti oleh sistem pengendalian yang
bereaksi kurang cepat, misalnya perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler dan
dilanjtkan sistem yang poten dan berlangsung dalam jangka panjang misalnya
kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang dipertahankan pleh sistem yang
mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ. Peningkatan tekanan
darah pada hipertensi primer dipengaruhi oleh beberapa faktor genetik yang
menumbulkan perubahan pada ginjal dan membran sel, aktivitas saraf simpatis dan
metabolisme natrium dalam ginjal serta obesitas dan faktor endotel. Akibat yang
ditimbulkan dari penyakit hipertensi antara lain penyempitan arteri yang membawa
darah dan oksigen ke otak, hal ini disebabkan karena jaringan otak kekurangan
oksigen akibat penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak dan mengakibatkan
kematian pada bagian otak yang kemudian dapat menimbulkan stroke. Komplikasi
lain yaitu rasa sakit ketika berjalan kerusakan pada ginjal dan kerusakan pada organ
60
mata yang dapat mengakibatkan kebutaan, sakit kepala, jantung berdebar-debar, sulit
bernafas setelah bekerja keras atau mengangkat beban kerja, mudah lelah,
penglihatan kabur, wajah memerah, hidung berdarah, sering buang air kecil terutama
3. Patofisiologi
angiotensis I ileh angiotensis I conver ting enzyme (ACE). ACE memegang peran
Gambaran klinis pasien hipertensi meliputi nyeri kepala saat terjaga, kadang-
kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial.
Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi. Ayunan langka yang
tidak mantap karena keruskan susunan saraf pusat. Nokturia karena peningkatan
aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus. Edema dependen dan pembengkakan
akibat peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita
hipertensi yaitu puding, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara
per hari)
61
2. Melakukan aktifitas fisik teratur (seperti jalan kaki 3
asimptomotik. Beberapa pasien mengalami keluhan berupa sakit kepala, rasa seperti
berputar, atau penglihatan kabur. Hal yang dapat menunjang kecurigaan ke arah
atau takikardi serta adanya riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Pada anamnesis dapat
pula digali mengenai faktor resiko kardiovaskuler seperti merokok, obesitas, aktivitas
Berdasarkan pemeriksaan fisik, nilai tekanan darah pasien diambil rerata dua
kali pengukuran pada setiap kali kunjungan ke dokter. Apabila tekanan darah
>140/90 mmHg pada dua atau lebih kunjungan maka hipertensi dapat ditegakkan.
Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan dengan alat yang baik, ukuran dan posisi
manset yang tepat (setingkat dengan jantung) serta teknik yang benar. Pemeriksaan
penunjang dilakukan untuk memeriksa komplikasi yang telah atau sedang terjadi
62
seperti pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, kadar ureum, kreatining,
guladarah, elektrolit, kalsium, asam urat dan urinalisis. Pemeriksaan lain berupa
banding yang dibuat. Pada hiper atau hipotiroidisme dapat dilakukan fungsi tiroid
primer berupa kadar aldosteron plasma, renin plasma, CT scan abdomen, peningkatan
kadar serum Na, penurunan K, peningkatan eksresi K dalam urin ditemukan alkalosis
abdomen. Pada sindrom cushing, dilakukan kadar kortisol urin 24 jam. Pada
Doppler Sonografi.
6. Pengobatan hipertensi
penyerta lainnya.
Modifikasi gaya hidup berupa oenurunan berat badan (target indeks massa
tubuh dalam batas normal untuk Asia-Pasifik yaitu 18,5-22,9 kg/m2), kontrol diet
susu rendah lemak jenuh/lemak total, penurunan asupan garam dimana konsumsi
63
NacL yang disarankan adalah < 6 g/hari. Beberapa hal lain yang dirasakan adalah
target aktivitas fisik minimal 30 menit/hari dilakukan paling tidak 3 hari dalam
JNC VIII pilihan antihipertensi didasarkan pada ada atau tidaknya usia, ras, serta ada
atau tidaknya gagal ginjal kronik. Apabila terapi antihipertensi sudah dimulai, pasien
harus runtin kontrol dan mendapat pengaturan dosis setiap bulan hingga target
tekanan darah tercapai. Perlu dilakukan pemantauan tekanan darah, LFG dan
elektrolit.
1. Diuretik
2. ACE-Inhibitor
64
ini adalah : captopril, enalapril, dan lisinopril.
4. ARB
5. Beta blocker
65
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg atau tekanan darah
A. SARAN
1. Saran yang dapat kami berikan yaitu bagi penderita gagal jantung agar
melakukan pemeriksaan selalu guna mengetahui sejauh mana kondisi dan
seberapa parah penyakitnya.
66
2. Informasi atau pendidkan kesehatan berguna untuk klien dengan gagal jantung
selain itu pengobatan terbaik untuk gagal jantung adalah pencegahan atau
pengobatan dini terhadap penyebabnya.
67
DAFTAR PUSTAKA
Aaronson, P.I., Ward, J.P., 2010, At a Glance Sistem Kardiovaskular 3th Edition ed,
Penerbit Erlangga, Jakarta.
Adi PR, (Tanpa Tahun) “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam”. Pencegahan dan
penatalaksanaan aterosklerosis. Editor Siti Setiawati dkk. Jakarta:
InternaPublishing
American Heart Association, 2012, Hearth disease andstroke statistik,
http://ahajournal.org.com.
68
atherosclerosis”.Medicine.42:9: 480-484
Edisi 1. Salemba Medika : Jakarta
ESH and ESC 2013. ESH/ESC Guildelines For the Management of Arterial
Hypertension. Journal of hypertension 2013, vol 31, 1281-1357
Feriyanti, L. (2011) Sistem Kardiovaskuler. Universitas Sumatera Utara
Figueroa, M.S., Peters, J.I., 2006, Congestive Heart Failure: Diagnosis,
Pathophysiology,Therapy, and Implications for Respiratory Care, Respir
Care, 51 (4), pp. 403– 412.
Fikriana, R. (2018) Sistem Kardiovaskular. Deepublish. Jakarta
Follath, F., Yilmaz, M.B., Delgado, J.F., Parissis, J.T., Porcher, R., Gayat, E.,
2011, Clinical presentation, management and outcomes in the acute
heart failure global survey of standard treatment (ALARM-HF), J
Intensive Care Med, 37 (4): 19-26.
Ghani, A., 2008, Hypertention Current Perspective, Media Crea, Jakarta.
Gray, H.H., Dawkins, D.K., Simpson, L.A., Morgan, M.J., 2005, Lecture Notes:
Kardiologi, Alih Bahasa: Agoes, A.Z, Penerbit Erlangga.
Griadhi, P.A. (2016) Sistem Kardiovaskuler. Universitas Udayana
Guyton, A.C., Hall, J.E., 2006, Textbook of Medical Physiology 11th ed, Elsevier
Saunders, Philadelphia.
Guyton, A.C., Hall, J.E., 2014, Textbook of Medical Physiology 12th ed, Elsevier
Saunders, Philadelphia.
Haji, S., Movahed, A., 2000, Update on Digoxin Therapy in Congestive Heart
Failure, American Family Physician, vol 62 (2).
Harbanu, H., Mariyono, Anwar, S., 2007, Gagal Jantung Bagian Ilmu Penyakit
Dalam, Universitas Udayana, Denpasar
Harrison’s principles of internal medicine 16th edition page 1653. The McGraw-Hill
Companies. 2005
KesehatanPrimer:2008,14(3). 120-131
MacGregor GA, Garam, Diet dan Kesehatan Cambridge: Cambridge University
69
Press, 1998..
Maeder MT, Kaye DM. Heart failure with normal left ventricular ejection fraction. J
Am Coll Cardiol. 2009;53:905–918.
Mohammad Yogiantoro, 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Hipertensi Esensial.
Perhipunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
Muttaqin, Arif. 2009 . Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sisten
Kardiovaskuler. Salemba Medika : Jakarta
Muwarni, S., Ali M dan Muliartha K. (2006) Diet aterogenik pada tikus putih
(Rattusnovergicus strain Wistar) sebagai model hewan aterosklerosis”.
Jurnal Kedokteran Brawijaya. 22:1: 6-9
Panggabean. M. Buku Ilmu Penyakit Dalam: Gagal Jantung. Volume 2. Jakarta:
2009
Papadaksi, Maxine A, dkk. 2002. Diagnosis Terapi Kedokteran Penyakit Dalam
Ramani GV, Uber PA, Mehra MR. Chronic heart fail-ure: contemporary diagnosis
and management. Mayo Clin. Proc. 2010;85:180–195.
Ramani GV, Uber PA, Mehra MR. Chronic heart fail-ure: contemporary diagnosis
and management. Mayo Clin. Proc. 2010;85:180–195.
Ronny, Setiawan dan sari F. (2009) Fisiologi Kardiovaskular: berbasis masalah
keperawatan. EGC, Jakarta
Singh A, Neki NS, Bisht M. (2012) “Current advances in understanding the
pathogenesis of atherosclerosis and 66 JIMKI its clinical implications in
coronary artery disease”. JIMSA.25:4(2012): 251-253
The Eight Joint National Commite. Evidence based guideline for the menagement of
high blood pressure in adult-report from panel members appointed to the
eight join national commite 2014
Wang J, Nagueh SF. Current perspectives on cardiac function in patients with
70