Oleh:
Puja dan puji syukur Penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa
karena dengan rahmat-Nya maka laporan kasus dengan topik “Anestesi pada Pasien
dengan Struma Non Toksik” ini dapat selesai pada waktunya.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat
Penulis harapkan untuk kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Denpasar, Oktober 2019
Penulis
DAFTAR ISI
Pasien laki - laki usia 43 tahun dengan Struma Nodules Thyroid Folicular
Neoplasma akan dilakukan ishtmolobectomy sinistra. Kesadaran compos mentis
dengan frekuensi nafas 16x/menit, rhonki (-/-), wheezing (-/-), SpO2 98% udara
ruangan. Durante operasi pasien dilakukan pembiusan dengan teknik anestesi GA-
OTT. Selanjutnya pasien diposisikan supine untuk menjalani prosedur
pembedahan. Operasi berlangsung selama 3 jam dengan hemodinamik yang stabil
selama operasi. Pasca operasi, pasien dirawat di ruangan.
ABSTRACT
ANESTHESIA ON PATIENT WITH STRUMA NON TOXIC
TINJAUAN PUSTAKA
Persiapan yang dilakukan pasien dalam hal ini adalah menunda melakukan
pekerjaan efektif sampai pasien dalam keadaan autiroid. Hari saat operasi, biasanya
diberikan obat-obatan antitiroid. Benzodiazepin dapat diberikan untuk aksiolisis
namun harus dihindari apabila terdapat masalah jalan napas. Obat antikolinergik dapat
diberikan apabila direncanakan teknik inhalasi atau fiberoptik untuk membantu
mengeringkan sekresi. Pemberian carbimazole perlu dihindari karena dapat
meningkatkan vaskularisasi kelenjar. Pada operasi emergensi, tidak mungkin untuk
mengubah pasien dengan penyakit tiroid tidak terkontrol menjadi eutiroid (Dieudonne
dkk., 2010).
Pasien hipertiroid harus terkontrol baik gejalanya dengan beta bloker (seperti
propranolol, esmolol), hidrasi intravena, dan apabila diperlukan dengan active cooling.
Pasien hipotiroid yang berat yang mempunyai risiko koma myksoedema perioperative
harus diobati dengan T3 dan T4 intravena (Dieudonne dkk., 2010).
Managemen intraoperative secara historis untuk bedah tiroid dapat dilakukan
dengan anestesi lokal, general ataupun regional. Anestesi general merupakan teknik
yang saat ini banyak diminati namun anestesi regional tetap dipilih dengan atau tanpa
sedasi bersamaan untuk meningkatkan anestesi general (Dieudonne dkk., 2010).
1. Regional Anaesthesia
Anestesi regional untuk operasi tiroid dipilih dengan melakukan blok pada
pleksus serviks superfisial C2-C4 bilateral dengan atau tanpa sedasi yang dilakukan
dengan monitoring penuh. Pada teknik ini, efek sedasi dapat dicapai dengan
peningkatan dosis midazolam atau Target Controlled Infusion (TCI) dengan Propofol.
Blok pleksus servikal bilateral meningkatkan kejadian komplikasi terjadinya injeksi
subdural dan kelumpuhan saraf frenikus bilateral. Pada tiroidektomi diperlukan blok
secara bilateral. Pelaksanaan blok pada pleksus servikal superfisial, pasien harus
diposisikan dengan kepala terlentang ke sisi yang berlawanan, titik tengah batas
posterior sternocleidomastoid (SCM). Injeksi anestesi lokal 15-20 ml pada lapisan
dalam sampai ke lapisan fascia pertama kearah caudal dan cepalik sepanjang
perbatasan posterior SCM seperti lidokain dan atau bupivacaine dengan adrenaline
(Malhotra dan Sodhi 2017).
Blok pada garis tengah dapat dicapai dengan malakukan injeksi secara subkutan
melalui kartilago tiroid ke suprasternal notch yang merupakan teknik untuk
mengurangi rasa nyeri pada aspek medial leher. Pemilihan anestesi regional untuk
menghindari kemungkinan risiko yang terjadi apabila menggunakan anestesi general.
Selain itu, anestesi regional dapat digunakan untuk monitoring suara dan efek
postoperasi analgesia yang sangat baik. Pemilihan teknik ini dikatakan cocok untuk
pasien dengan gangguan medis seperti tirotoksikosis atau obstruktif sekunder oleh
karena goiter yang besar namun memiliki kelemahannya yang dapat menimbulkan
toksisitas anestesi local, hematoma, pneumothoraks dan dengan keadaan pasien yang
kooperatif (Malhotra dan Sodhi 2017).
2. General Anaesthesia
Banyak teknik yang dapat digunakan dalam anestesi general. Kebanyakan pasien
diberikan induksi intravena diperkuat dengan intubasi. Sebelum memberikan relaksan
otot sangat dianjurkan untuk diberikan ventilasi manual. Diperlukan kehati-hatian
untuk menghindari terjadinya overflating dari tube cuff (atau penggunaan cuff
manometer) untuk meminimalkan kerusakan trakea. Pemberian lidokain sebelum
intubasi dapat mencegah atau mengurangi munculnya batuk (Malhotra dan Sodhi
2017). Apabila khawatir mengenai potensi jalan napas, maka diperlukan pertimbangan
lain. Informasi lanjut dalam memprediksi dapat dilakukan :
- Induksi inhalasi. Teknik ini mencakup preoksigenasi yang baik dan induksi
bertahap dengan sevofurane. Apabila gangguan jalan napas, maka harus disediakan
sambungan ataupun peralatan jalan napas.
- Jika terdapat gangguan anatomi atau kesulitan melihat jalan nafas saat melakukan
induksi, maka dapat digunakan intubasi fibreoptic. Teknik ini harus dihindari untuk
pasien dengan obstruksi jalan nafas karena dapat menyebabkan obstruksi jalan
nafas total.
- Jika pilihan diatas tidak sesuai, maka dapat dilakukan trakeostomi dengan anestesi
local
- Ventilation rigid dapat dipilih jika kesulitan dalam memasukkan tabung endotrakeal
atau jika terdapat kompresi subglotis.
- Laryngeal Mask Airway (LMA) dapat digunakan namun harus dihindari pada pasien
dengan gangguan jalan nafas atau gangguan anatomi.
2.5 Hipertiroid
2.5.1 Manifestasi Klinis
Kelebihan dari hormon tiroid akan memberikan efek pada fungsi sistem
organ. Sistem kardiovaskular merupakan sistem yang perlu diwaspadai pada
keadaan hipertiroidisme. Hipertiroidisme memicu peningkatan kerja jantung yang
ditandai dengan takikardia, disritmia (umumnya atrial), dan palpitasi. Keadaan
tersebut menimbulkan sirkulasi hiperdinamik, peningkatan kontraktilitas
miokardium, peningkatan curah jantung, dan kardiomegali (Butterworth dkk.,
2013).
Pada ekstremitas, dapat ditemukan hipotrofi/atrofi otot (muscle wasting)
disertai kelemahan pada otot (miopati). Hal ini sejalan dengan keluhan pasien pada
umumnya yaitu pasien cenderung merasa lemah, namun sulit tidur. Selain itu, pada
pasien ditemukan peningkatan aktivitas metabolik tulang yang dapat menimbulkan
osteoporosis dan tremor pada kedua tangan serta refleks tendon yang meningkat
(hiperrefleksia ringan). Sedangkan pada sistem saluran cerna, dapat ditemukan
hiperperistaltik yang menyebabkan diare sehingga pasien mengalami penurunan
berat badan (Butterworth dkk., 2013).
Selain dari yang disebutkan diatas, gejala klinis yang ditemukan pada pasien
dengan hipertiroid yaitu adanya hipermetabolisme. Pasien dengan hipertiroid
terlihat khawatir dan cemas berlebihan, hiperkinetik, gangguan tidur dan
menunjukkan gejala emosional yang fluktuatif serta wajah pasien cenderung
kemerahan, rambut tipis, permukaan kuku lembut, dan rapuh. Pada palpasi, kulit
pasien terasa hangat dan lembab serta dapat berkeringat berlebih (De Leo dkk.,
2016). Pada penyakit Grave (Grave’s disease), didapatkan kedua bola mata terlihat
melotot akibat retraksi palpebra superior (disebut eksoftalmos). Oftalmopati dapat
menimbulkan peningkatan tekanan intraokular. (Butterworth dkk., 2013).
Pada hipertiroidisme yang diakibatkan oleh goiter toksik multinodular (toxic
multinodular goiter/TMG) dapat menyebabkan ukuran dari kelenjar tiroid
membesar sehingga menekan organ lain di sekitarnya dan dapat menimbulkan
gejala seperti disfagia, sensasi seperti terdapat benda asing di tenggorokan (globus
sensation), dan inspirasi stridor akibat kompresi dari trakea. Kompresi trakea terjadi
bila massa goiter membesar ke arah dalam apertura thoracis superior (thoracic inlet)
pada aspek retrosternal. TMG biasanya bersifat kronis sebagai fase lanjutan dari
goiter sederhana (bahasa awam: gondok) (Hines dan Marschall, 2018).
2.6 Hipotiroid
2.6.1 Manifestasi Klinis
Hipotiroidisme merupakan penyakit yang paling sering disebabkan pasca
ablasi kelenjar tiroid via iodin radioaktif atau tiroidektomi. Penyakit ini diakibatkan
oleh karena penurunan produksi hormon tiroid (Brenta dkk., 2013). Hipotiroidisme
kedua yang tersering adalah idiopatik maupun autoimun dengan auto antibodi yang
menghambat reseptor TSH (Butterworth dkk., 2013).
Gejala klinis yang muncul dapat beragam sesuai derajatnya. Pada kasus
hipertiroidisme ringan, pasien merasa mudah lelah dan berat badan bertambah
walaupun selera makan menurun. Pada kasus sedang hingga berat, pasien menjadi
kelelahan, letargik, dan apatis. Suara menjadi pelan dan kecerdasan menjadi
tumpul. Pasien juga mengalami intoleransi terhadap dingin, berkeringat lebih
sedikit, konstipasi dan perlambatan fungsi motorik akibat kekakuan dan kram otot.
Pasien memiliki kulit yang tebal dan kering, wajah yang agak kasar, rambut yang
rapuh dan mudah patah, ukuran lidah yang besar, suara serak, dan edema periorbital
dan perifer. Pada orang dewasa, hipotiroidisme memiliki awitan yang lambat,
bersifat akut, dan progresif. Aktivitas mental dan fisik mengalami perlambatan yang
gradual (Butterworth dkk., 2013).
Secara fisiologis, pasien dengan hipotiroidisme mengalami penurunan curah
jantung sebagai akibat dari penurunan stoke volume dan frekuensi denyut jantung
sehingga pasien cenderung bradikardia (Brenta dkk., 2013). Tahanan vaskular
perifer meningkat disertai volume darah menurun sehingga menimbulkan kulit
yang pucat dan dingin. Pasien hipotiroid dapat menderita hiperkolesterolemia dan
hipertrigliseridemia yang meningkatkan risiko penyakit jantung koroner. Sekresi
ADH yang tidak adekuat (SIADH) menyebabkan hipponatremia. Fungsi saluran
cerna juga melambat dan dapat terjadi ileus paralitik. Pada pemeriksaan refleks
neurologis biasanya ditemukan fase relaksasi memanjang (Butterworth dkk., 2013).
Struma non-toksik sederhana adalah asal dari struma multinodular toksik yang
mana pasien dengan struma non-toksik sederhana adalah eutiroid. Di Amerika Serikat,
sebagian besar kasus struma non toksik sederhana tidak diketahui penyebabnya dan
diobati dengan l-tiroksin. Terapi pembedahan dilakukan apabila terapi medis tidak
efektif dan mengganggu jalan napas atau menganggu secara kosmetik. Manajemen
anestesi dari pasien yang menjalani operasi pengangkatan struma yang besar atau
massa tiroid yang membahayakan jalan napas merupakan tantangan besar. Obat
penenang dan narkotika harus dihindari atau digunakan dengan sangat hati-hati
sebelum dan selama penempatan tabung endotrakeal. Intubasi dalam keadaan sadar
dengan tabung lapis baja (anoda) menggunakan bronkoskopi fiberoptik mungkin
merupakan metode teraman untuk menilai tingkat obstruksi dan mematenkan jalan
nafas. Ekstubasi trakea harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan perhatian sama
seperti intubasi (Hines dan Marschall, 2018).
Jika massa meluas ke regional substernal (Massa mediastinum anterior),
obstruksi vena kava superior, obstruksi jalan napas utama, dan / atau kompresi
jantung. Dua kemungkinan yang terakhir dapat terjadi hanya jika induksi anestesi
umum. Obstruksi jalan napas merupakan hasil dari perubahan mekanika paru-paru
dan dinding dada yang terjadi dengan perubahan posisi pasien atau dengan timbulnya
kelumpuhan otot. Selama respirasi spontan, jalan nafas yang lebih lapang didukung
oleh tekanan intrathorakik negatif dan efek kompresi ekstrinsik mungkin terlihat
hanya pada kasus yang paling berat. Dengan penghentian respirasi spontan,
mekanisme kompensasi dihilangkan dan obstruksi jalan napas terjadi. Selain itu,
ventilasi tekanan positif dapat menunjukkan oklusi jalan napas total. Riwayat dispnea
pra operasi dalam posisi tegak atau terlentang merupakan prediksi kemungkinan
obstruksi jalan napas selama anestesi umum. CT scan harus diperiksa untuk menilai
luasnya tumor dan memperlihatkan kelainan anatomi. Ekokardiografi dengan pasien
dalam posisi tegak dan terlentang dapat menunjukkan tingkat kompresi jantung.
Setelah reseksi tumor, jalan napas harus diperiksa dengan bronkoskopi
fiberoptik untuk mendeteksi trakeomalacia dan menentukan apakah dan kapan
ekstubasi trakea dilakukan. Bronkoskopi harus tersedia untuk membangun kembali
jalan napas jika terjadi kolaps (Hines dan Marschall, 2018).
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Pasien laki - laki, usia 43 tahun datang dengan keluhan saat ini berupa benjolan
di leher sebelah kiri. Keluhan dirasakan sejak 4 tahun yang lalu. Benjolan awalnya
hanya dirasakan oleh pasien seperti rasa mengganjal di leher tanpa terlihat dari luar,
berukuran kecil lama kelamaan bertambah besar hingga saat ini, namun dirasakan
tidak sampai menganggu aktivitas. Benjolan tersebut dirasakan pasien pada leher
sebelah kiri saja sedangkan leher sebelah kanan pasien masih normal. Keluhan
benjolan tanpa disertai rasa nyeri, keluhan sesak, suara serak, serta demam disangkal.
Riwayat tremor, keringat berlebih, berdebar, penurunan berat badan disangkal, nafsu
makan normal, BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Berat badan 68 kg; Tinggi badan 169 cm; BMI 23,81 kg/m2; Suhu axilla 36 oC; NRS
diam 0/10, NRS bergerak 0/10
Susunan saraf pusat : Kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6, pupil
isokor 3 mm/3 mm, RC/RK +/+
Respirasi : Frekuensi napas 16 kali per menit, vesikular pada
kedua lapang paru, rhonki dan wheezing tidak ada,
saturasi oksigen perifer 98% room air
Kardiovaskular : Tekanan darah 120/70 mmHg; nadi 78 kali
permenit, bunyi jantung 1 dan 2 tunggal, reguler,
murmur tidak ada.
Gastrointestinal Tract : Supel, bising usus (+) normal, asites (-), nyeri tekan
(-)
Urogenital : Buang air kecil spontan
Muskuloskeletal : Fleksi defleksi leher baik, Mallampati I, gigi geligi
Utuh
KRITERIA LEMON
Look externally:
- Tampak benjolan pada leher kiri ukuran 10 cm x 8 cm x 2 cm, kenyal,
terfiksir, permukaan rata, nyeri tekan tidak ada
- Gigi incisor besar tidak ada
- Lidah besar tidak ada
- Facial trauma tidak ada
Evaluated:
- Jarak interincisor 3 jari
- Jarak mentohyoid 3 jari
- Jarak hyothiroid 2 jari
Mallampati :I
Obstruction : tidak ada
Neck mobility : fleksi dan defleksi leher normal
WBC 9,38 x103/µL (4,1-11); HGB 15,93 g/dL (13.5-17.5); HCT 51,36
➢ Durante Operasi
Hemodinamik : TD 130-100 mmHg/ 70-60 mmHg, Nadi 80-
60x/menit, RR 16-12x/menit, SpO2 100-98%
dengan O2 67% 1,5 L/menit.
Cairan masuk : Ringer Laktat 1000 mL
Lama operasi : 3 jam
➢ Post Operasi
Analgesik : Morfin 20 mg/24jam via syringe pump,
Parasetamol 500 mg tiap 6 jam PO
Perawatan : Ruangan
BAB IV
DISKUSI KASUS
Pasien laki - laki, usia 43 tahun dengan SNT Sinistra Folicular Neoplasma
akan dilakukan ishtmolobectomy sinistra. Ishtmolobectomy adalah tindakan
pengangkatan kelenjar tiroid bisa sebelah dekstra atau sinistra atau kedua-duanya
(bilateral) (Sjamsuhidayat, 2016). Tindakan pembedahan ini memiliki risiko
perdarahan yang minimum. Indikasi ishtmolobectomy diantaranya kosmetik atau
kecantiakn, eksisi nodul tunggal (yang mungkin ganas), struma multinoduler yang
berat, serta struma yang menyebabkan kompresi laring atau struktur leher lain.
Pertama yang dilakukan adalah melakukan evaluasi praoperasi yaitu dilakukan
pemeriksaan status fisik, dan juga meramalkan penyulit yang bisa didapatkan
pasien selama operasi ataupun pasca operasi dan mempersiapkan obat atau alat
untuk mengatasi penyulit tersebut. Persiapan pra operasi yang baik akan mencegah
timbulnya komplikasi pada angka yang sangat kecil, yaitu kurang dari 2-3%
(Widodo dan Surarso, 2009).
Status fisik diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Pada pasien ini memiliki status ASA II dengan riwayat merokok lebih dari 5 tahun
kurang lebih 1 bungkus perhari. Berdasarkan penelitian sebelumnya, pasien dengan
pembesaran kelenjar pada leher dapat menimbulkan tantangan bagi ahli anestesi
untuk manajemen jalan napas karena ketika terjadi intubasi trakea yang gagal, dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Dalam kasus seperti
struma yang besar, baik struma toksik maupun non toksik yang besar dapat terjadi
kesulitan pada gerakan leher, pembukaan mulut yang terhambat, deviasi trakea, dan
kompresi (Kaur dkk., 2017). Setelah ekstubasi, hal ini dapat menyebabkan
kolapsnya trakea ke arah AP yang mengarah ke desaturasi. Hal tersebut biasanya
merupakan situasi yang self-limiting karena kekuatan dinding trakea akan pulih
kembali setelah pelepasan tekanan (Bajwa dan Sehgal, 2013). Dalam suatu studi
dikatakan bahwa ekstubasi dapat dilakukan 36 jam setelah operasi untuk mencegah
trakeomalasia (Shaikh dan Atlapure, 2015).
Pada pasien dilakukan pemeriksaan fisik yaitu monitoring tekanan darah,
nadi, suhu, laju napas, dan pemeriksaaan fisik rutin meliputi pemeriksaan tinggi
badan, berat badan, keadaan umum, serta kesadaran umum. Pemeriksaan
laboratorium yang diperlukan pada pasien SNT Sinistra Folicular Neoplasma
adalah pemeriksaan darah (Hb, leukosit, golongan darah, faal hemostasis, TSHs),
foto polos servikal, Rontgen Thorax PA, EKG serta dilakukan pemeriksaan USG.
Dari hasil pemeriksaan ini didapatkan kelainan massa jaringan lunak pada coli kiri.
Dari pemeriksaan darah yang ditemukan hasilnya dalam batas normal. Pada
pemeriksaan foto polos servikal ditemukan adanya Paracervical muscle spasme dan
deviasi trakea kearah kanan di setinggi CV C5 hingga CVTh 4, dan pada
pemeriksaan. Dari USG tiroid ditemukan massa solid dengan komponen kistik
tiroid kiri berukuran 4,57 cm x 6,2 cm.
Pada pelaksanaan intraoperatif pasien diawasi tanda vitalnya. Selama
durante operasi pasien tidak mengalami masalah pada tanda vitalnya. Tekanan
darah pasien konsisten ada di kisaran 130-100 mmHg/70-60 mmHg, frekuensi nafas
16-12x/menit, nadi 80-60 x/menit, SpO2 100-99 % dengan O2 67% 1,5 L/menit.
Ketamin dan antikolinergik seperti sulfas atropin juga tidak diberikan pada
pasien ini. Berdasarkan teori, ketamine merupakan obat agonis adrenergik indirek,
dan obat-obatan lain yang menstimulasi sistem saraf simpatis atau antagonis
muskarinik dengan luaran yang tidak dapat diprediksi sebaiknya dihindari pada
pasien dengan hipertiroidisime. Obat-obatan tersebut dapat menimbulkan
peningkatan tekanan darah dan detak jantung secara tiba-tiba (Hines dan Marschall,
2018). Ketamin tetap dapat diberikan jika dikombinasikan dengan midazolam,
propofol, dan atau opioid seperti fentanyl. Semua obat anestesi inhalasi akan
menyebabkan depresi fungsi jantung maka dari itu pemberian anestesi sebaiknya
diberikan dalam dosis rendah (Kumar dkk., 2014). Premedikasi analgesik yang
diberikan kepada pasien ini adalah Fentanyl 25 mg IV. Walaupun pasien memiliki
tekanan darah normal 110/70 mmHg pasien tetap diberikan Clonidine 75 mg untuk
mencegah hipertensi pada saat intraoperasi. Pada pasien ini fungsi tiroid masih
normal sehingga tidak ditemukan adanya hipotensi pada pasien selama durante
operasi. Begitu juga dengan anestesi yang diberikan sudah cukup dalam selama
masa intubasi dimana pasien tidak mengalami takikardi sepanjang masa durante
operasi dimana nadi pasien berada di 80-60x/menit. Pada saat pasca operasi, pasien
diberikan penanganan berupa Morfin 20 mg/24jam via syringe pump, Parasetamol
500 mg tiap 6 jam PO. Selain itu, pasien juga dimonitoring tanda vital seperti
tekanan darah, nadi, respirasi, saturasi dan apakah terdapat keluhan seperti mual
dan muntah ataupun nyeri kepala.
BAB V
SIMPULAN
Pasien laki - laki, usia 43 tahun dengan SNT Sinistra Folicular Neoplasma
akan dilakukan ishtmolobectomy sinistra. Pada pasien dilakukan evaluasi pra
operasi yaitu dengan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang untuk menentukan permasalahan dan kesimpulan status fisik pasien.
Permasalahan lain pada pasien ini yaitu pada sistem endokrin dengan struma non
toxic, eutiroid dan diprediksikan adanya kesulitan pada manajemen jalan napas
karena pembesaran dari kelenjar tiroid tersebut dan pada pemeriksaan foto
servikalis ditemukan foto polos servikal ditemukan adanya paracervical muscle
spasme dan deviasi trakea kearah kanan di setinggi CV C5 hingga CVTh 4.
Rencana anestesi pada pasien ini yaitu anestesi umum dengan oro-tracheal
tube. Pasien diberikan premedikasi dan analgetik, lalu pasien diinduksi dan
dilakukan pemeliharaan anestesi selama operasi. Selama operasi, pasien berada
dalam kondisi yang stabil berdasarkan monitoring tanda vital durante operasi.
Pasca operasi pasien diberikan obat analgetik dan perawatan di ruang intensif.
DAFTAR PUSTAKA
Assagaf, S., Lumintang, N., dan Lampus, H. 2015. Gambaran Eutiroid Pada Pasien
Struma Multinodusa Non-Toksik Di Bagian Bedah Rsup Prof. Dr. R.D.
Kandou Manado Periode Juli 2012 – Juli 2014. Jurnal e-Clinic (eCl),
[Online]. 3/3, 758-762. Available at:
http://fmipa.umri.ac.id/wp- content/uploads/2016/06/OKTAVIA-R-
GAMBARAN-PD-PSN- STRUMA.pdf
Bajwa, S.J. dan Sehgal, V. 2013. Anesthesia and thyroid surgery: The never- ending
challenges. Indian J Endocrinol Metab.17:228–34.
Barash, P.G., Cullen, F.B., Stoelting, R.K. 2013. Handbook Of Clinical Anesthesia.
7th Ed, Philadelphia: Lipincott Williams And Wilkins Company. p:593-606
Brenta1, G dkk. 2013. Clinical practice guidelines for the management of
hypothyroidism. Arq Bras Endocrinol Metab.p57-4.
Butterworth, J., Mackey, D., Wasnick, J., Morgan, G., dan Mikhail, M.
2013.Morgan & Mikhail's clinical anesthesiology. New York: McGraw-
Hill.
De Leo, S, Sun Y Lee dan Braverman L.E. 2016. Hyperthyroidism; 388(10047):
906–918.
Dieudonne N, Gomola A, Bonnichon P, Ozier Y. 2010. Prevention of Postoperative
Pain After Thyroid Surgery: A Double-Blind Randomised Study of
Bilateral Superficial Cervical Plexus Blocks. Anesth Analg;92:1538-42.
Guyton, A.C. dan Hall, J.E. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Hines, R. dan Marschall, K. 2018. Stoelting's anesthesia and co-existing disease.
7th ed. Philadelphia: Elsevier.
Kaur, H. dkk., 2017. Airway Considerations in Case of a Large Multinodular
Goiter. Anesthesia Essays and Researches, [Online]. 11/4, 1097–1100.
Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5735459/#ref19
Kumar, M., Batra, M. and Raj, R. 2019. Anaesthetic management of a case of
dilated cardiomyopathy for emergency appendectomy. [online] NCBI.
Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4173584/
Malhotra S dan Sodhi V. 2017. Anaesthesia for thyroid and parathyroid surgery.
Continuing Education in Anaesthesia Critical Care and Pain; 7(2): 55-58.
Shaikh, S.I. dan Atlapure, B.B. 2015. Airway challenges in thyroid surgery.
Karnataka Anaesth J. 1:28–30.
Sjamsuhidayat, R., dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. 2013. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Vanderpump, M. J. 2011. The epidemiology of thyroid diseas. British Medical
Bulletin, 99(1): p39–51.
Widodo, A. dan Surarso, B. 2009. Komplikasi Tiroidektomi. Jurnal THT-KL,
[Online]. 2/3, 127-133. Available at: http://journal.unair.ac.id/download-
fullpapers-thtkl292f402db3full.pdf
Wong, P., Liew, G.H., dan Kothandan, H. 2015. Anaesthesia for goitre surgery: A
review. Proc Singapore Healthc. 24:165–70.