Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN STRUMA NON


TOKSIK

Oleh:

dr. I Made Agus Kresna Sucandra, Sp.An KIC

DEPARTEMEN/KSM ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH
2019
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur Penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa
karena dengan rahmat-Nya maka laporan kasus dengan topik “Anestesi pada Pasien
dengan Struma Non Toksik” ini dapat selesai pada waktunya.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat
Penulis harapkan untuk kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Denpasar, Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ...................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
ABSTRAK ................................................................................................... iv
ABSTRACT ................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 3
2.1 Anestesia pada Pasien dengan Permasalahan Endokrin .................. 3
2.2 Fisiologi Kelenjar Tiroid .................................................................. 3
2.3 Permasalahan pada Kelenjar Tiroid ................................................. 4
2.4 Hipertiroid ........................................................................................ 5
2.4.1 Manifestasi Klinis ................................................................... 5
2.4.2 Pemeriksaan Fisis...................................................................... 6
2.4.3 Pertimbangan Anestesi ............................................................. 7
2.4.3.1 Preoperatif ............................................................. 7
2.4.3.2 Intraoperatif ........................................................... 8
2.4.3.3 Postoperatif ........................................................... 8
2.5 Hipotiroid ......................................................................................... 9
2.5.1 Manifestasi Klinis................................................................... 9
2.5.2 Pertimbangan Anestesi ............................................................ 10
2.5.3 Preoperatif .............................................................................. 10
2.5.3.1 Intraoperatif ........................................................... 10
2.5.3.2 Postoperatif ........................................................... 11
2.6 Goiter dan Tumor Tiroid .................................................................. 11
BAB III LAPORAN KASUS........................................................................ 13
3.1 Identitas Pasien ................................................................................. 13
3.2 Anamnesis ......................................................................................... 13
3.3 Pemeriksaan Fisik ................................................................................ 14
3.4 Pemeriksaan Penunjang .................................................................... 15
3.5 Permasalahan dan Kesimpulan ......................................................... 15
3.5 Persiapan Anestesi ................................................................................. 16
3.6 Manajemen Operasi ............................................................................... 17
BAB IV DISKUSI KASUS .......................................................................... 18
BAB V SIMPULAN ..................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
ANESTESI PADA PASIEN DENGAN STRUMA NON TOXIC

Pasien laki - laki usia 43 tahun dengan Struma Nodules Thyroid Folicular
Neoplasma akan dilakukan ishtmolobectomy sinistra. Kesadaran compos mentis
dengan frekuensi nafas 16x/menit, rhonki (-/-), wheezing (-/-), SpO2 98% udara
ruangan. Durante operasi pasien dilakukan pembiusan dengan teknik anestesi GA-
OTT. Selanjutnya pasien diposisikan supine untuk menjalani prosedur
pembedahan. Operasi berlangsung selama 3 jam dengan hemodinamik yang stabil
selama operasi. Pasca operasi, pasien dirawat di ruangan.
ABSTRACT
ANESTHESIA ON PATIENT WITH STRUMA NON TOXIC

Female patients aged 19 years with a diagnosis of Struma Non


Toxic Follicular Neoplasm will prevent Isthmolobectomy sinistra.
Compression of consciousness with a frequency of breath 16x / minute,
rhonki (- / -), wheezing (- / -), SpO2 98% of room air. Durante operated
on the patient under anesthesia under GA-OTT anesthesia. The patient is
then positioned for a surgical procedure. The operation lasts for 3 hours
with hemodynamics that is stable during surgery. Postoperatively,
patients are verified in the room.
BAB I
PENDAHULUAN

Kelenjar tiroid merupakan kelenjar endokrin tubuh terbesar yang


berperan penting dalam metabolisme tubuh. Kelenjar yang terletak dibawah
laring pada kedua sisi dan anterior daripada trakea. Kelenjar tiroid memiliki
dua lobus dengan ukuran panjang 2,5-5 cm, lebar 1,5 cm dengan tebal 1-1,5 cm
dan berat 15 sampai 20 gram pada orang dewasa. Fungsi kelenjar tiroid dalam
metabolismse tubuh manusia dengan mensekresikan dua hormon yaitu
hormone tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) (Guyton dan Hall, 2012).
Fungsi dari kelenjar tiroid tersebut dapat rendah (hipotiroid), normal
(eutiroid), atau meningkat (hipertiroid). Selain kelainan fungsi dan di luar
kelainan bawaan, kelainan kelenjar tiroid dapat digolongkan menjadi dua
kelompok besar, yaitu penyakit yang menyebabkan perubahan fungsi dan
penyakit yang menyebabkan perubahan jaringan dan bentuk kelenjar seperti
struma nodular (Sjamsuhidayat R dkk., 2013).
Kelainan tiroid yang paling sering ditemui adalah tipe difus. Prevalensi
terbanyak ditemukan pada wanita pra menopause dengan rasio perbandingan
antara wanita dan pria 4:1. Berbeda halnya dengan nodul tiroid, dimana
kelainan ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Menurut penelitian,
dikatakan bahwa prevalensi nodul tiroid sebanyak 3% sedangkan multinodular
hanya 1% (Vanderpum, 2011).
Pemberian penatalaksanaan yang tepat untuk pasien dengan kelainan
tiroid sangatlah penting terkait dari fungsi dari kelanjar tiroid itu sendiri.
Penatalaksanaan yang dapat diberikan utamanya pada pasien dengan nodul
tiroid meliputi penggunaan obat-obatan, pembedahan, maupun dengan
radioterapi. Selain itu, untuk menunjang dan menentukan modalitas terapi yang
akan diberikan maka diperlukan diagnosis penyakit baik secara klinis maupun
histopatologis. Apabila akan dilakukan pembedahan dalam penatalaksanaan
nodul tiroid, terdapat banyak penyulit yang berkaitan dengan banyaknya
struktur penting yang berjalan di dekat tiroid, serta kelainan endokrin yang
mungkin timbul. Dalam pelaksanaan pembedahan tersebut, tentu saja peranan
anestesi sangat penting, mengingat operasi dilakukan dekat dengan jalan nafas
yang sewaktu-waktu dapat menyebabkan tersumbatnya jalan napas tersebut.
Oleh karena kemungkinan sumbatan jalan nafas pada terapi pembedahan
tiroid maka yang menjadi suatu fokus dalam pelaksanaan anestesi adalah
menjaga agar saluran nafas tetap aman selama pembedahan berlangsung. Selain
itu, yang tidak kalah penting adalah gangguan fungsi tiroid, baik itu hipotiroid
ataupun hipertiroid, akan memberikan dampak pada banyak sistem organ dan
hal ini kemungkinan akan mengakibatkan gangguan-gangguan selama
pengelolaan anestesia, mulai dari sebelum operasi, durante operasi, hingga
pasca operasi. Sehingga akan tercipta keamanan dan kenyamanan .
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi pada Pasien dengan Permasalahan Endokrin


Tingkat produksi hormon yang berlebihan atau berkurang dapat mempengaruhi
fisiologis dan farmakologis dalam tubuh. Oleh karena itu, endokrinopati sangat
mempengaruhi manajemen anestesi. Empat organ endokrin yang menjadi perhatian
pada pasien yang akan menjalani operasi adalah tiroid, paratiroid, pankreas dan
kelenjar adrenal (Butterworth dkk., 2013).
2.2 Managemen Preoperatif
Sangat penting untuk memastikan bahwa pasien dalam keadaan eutiroid baik
secara klinis dan laboratorium sebelum memulai pembedahan tiroid. Meskipun
sebagian besar kasus baik secara langsung ataupun tidak langsung kesulitan jalan napas
tetap harus diantisipasi (Dieudonne dkk., 2010).
2.2.1 Penilaian pre operative
Riwayat yang perlu difokuskan yakni penetapan apabila pasien secara klinis
eutiroid dan menilai jalan napas. Gejala hipertiroid dan hipotiroid mungkin saja terjadi.
Menetapkan sifat patologis, posisi dan ukuran sangat penting untuk mengetahui
kesulitan dan kemungkinan terjadi komplikasi. Goiter besar yang sudah lama dapat
dikaitkan dengan trakeomalasia pasca operasi. Adanya penyakit sistemik, gangguan
kardiorespirasi dan hubungannya dengan penyakit endokrin atau autoimun perlu dicari
lebih lanjut. Seperti contoh, kanker tiroid berhubungan dengan pheoeochrocytoma
(Dieudonne dkk., 2010).
Gejala disfagia, sesak napas posisional dengan kesulitan berbaring secara supine,
perubahan suara atau stridor merupakan gangguan jalan napas yang mungkin terjadi
saat induksi Pemeriksaan fisik harus dinilai seperti adanya tanda-tanda hipertiroid atau
hipotiroid. Pemeriksaan goiter atau nodul harus dinilai untuk mengetahui ukuran dan
luasnya lesi. Nodul keras dan fix yang mengarah pada keganasan dengan kemungkinan
terjadinya gangguan disekeliling strukturnya dan terbatasnya pergerakan (Dieudonne
dkk., 2010).
Kesulitan pada saat pemeriksaan goiter bagian bawah mengindikasikan terjadi
metastasis ke bagian retrosternal. Selain itu, pemeriksaan trakea harus dilakukan untuk
mengetahui adanya deviasi atau terjadi kompresi. Goiter pada retrosternal atau goiter
yang besar dapat menekan struktur di sekitarnya dan dapat menimbulkan obstruksi
pada superior vena cava, sindrom Horner, efusi pericardial atau pleura. Pemeriksaan
jalan napas juga dilakukan secara terperinci untuk menilai fleksi dan ekstensi
atlantoaxial, jarak tromental, mallapatti, tonjolan mandibular dan jarak gigi seri
(Dieudonne dkk., 2010).
Pemeriksaan Penunjang juga diperlukan sesuai dengan indikasi pasien seperti :
1. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, fungsi tiroid dan kadar kalsium yang
diperbaiki diperlukan untuk memastikan bahwa pasien eutiroid sebelum operasi
untuk menghindari terjadinya thyroid storm atau koma miksedema pada saat
perioperativ. Pemeriksaan darah lengkap diperlukan untuk mengetahui potensi
kehilangan darah selama prosesur operasi dan untuk mengetahui efek dari obat anti
tiroid secara bersamaan.
2. Foto thoraks diperlukan untuk menilai ukuran atau besarnya goiter dan mengetahui
adanya deviasi dan kompresi trakea. Lateral thoracic inlet views juga dapat
membantu menilai ekstensi dari retrosternal dan diameter dari anteroposterior
trakea.
3. Pemeriksaan CT scan dilakukan apabila terdapat kemungkinan gangguan jalan
napas. Selain itu, CT scan diperlukan untuk menentukan luas dan lokasi
penyempitan atau kemungkinan adanya invasi trakea.
4. Pemeriksaan nasoendoskopi sering dilakukan untuk mengatahui fungsi pita suara,
inlet laring dan kemungkinan adanya kelainan anatomi.
5. Loop volume aliran pernapasan dapat digunakan untuk mengatahui adanya
obstruksi jalan napas.Namun jarang dilakukan secara rutin.

Persiapan yang dilakukan pasien dalam hal ini adalah menunda melakukan
pekerjaan efektif sampai pasien dalam keadaan autiroid. Hari saat operasi, biasanya
diberikan obat-obatan antitiroid. Benzodiazepin dapat diberikan untuk aksiolisis
namun harus dihindari apabila terdapat masalah jalan napas. Obat antikolinergik dapat
diberikan apabila direncanakan teknik inhalasi atau fiberoptik untuk membantu
mengeringkan sekresi. Pemberian carbimazole perlu dihindari karena dapat
meningkatkan vaskularisasi kelenjar. Pada operasi emergensi, tidak mungkin untuk
mengubah pasien dengan penyakit tiroid tidak terkontrol menjadi eutiroid (Dieudonne
dkk., 2010).
Pasien hipertiroid harus terkontrol baik gejalanya dengan beta bloker (seperti
propranolol, esmolol), hidrasi intravena, dan apabila diperlukan dengan active cooling.
Pasien hipotiroid yang berat yang mempunyai risiko koma myksoedema perioperative
harus diobati dengan T3 dan T4 intravena (Dieudonne dkk., 2010).
Managemen intraoperative secara historis untuk bedah tiroid dapat dilakukan
dengan anestesi lokal, general ataupun regional. Anestesi general merupakan teknik
yang saat ini banyak diminati namun anestesi regional tetap dipilih dengan atau tanpa
sedasi bersamaan untuk meningkatkan anestesi general (Dieudonne dkk., 2010).
1. Regional Anaesthesia
Anestesi regional untuk operasi tiroid dipilih dengan melakukan blok pada
pleksus serviks superfisial C2-C4 bilateral dengan atau tanpa sedasi yang dilakukan
dengan monitoring penuh. Pada teknik ini, efek sedasi dapat dicapai dengan
peningkatan dosis midazolam atau Target Controlled Infusion (TCI) dengan Propofol.
Blok pleksus servikal bilateral meningkatkan kejadian komplikasi terjadinya injeksi
subdural dan kelumpuhan saraf frenikus bilateral. Pada tiroidektomi diperlukan blok
secara bilateral. Pelaksanaan blok pada pleksus servikal superfisial, pasien harus
diposisikan dengan kepala terlentang ke sisi yang berlawanan, titik tengah batas
posterior sternocleidomastoid (SCM). Injeksi anestesi lokal 15-20 ml pada lapisan
dalam sampai ke lapisan fascia pertama kearah caudal dan cepalik sepanjang
perbatasan posterior SCM seperti lidokain dan atau bupivacaine dengan adrenaline
(Malhotra dan Sodhi 2017).
Blok pada garis tengah dapat dicapai dengan malakukan injeksi secara subkutan
melalui kartilago tiroid ke suprasternal notch yang merupakan teknik untuk
mengurangi rasa nyeri pada aspek medial leher. Pemilihan anestesi regional untuk
menghindari kemungkinan risiko yang terjadi apabila menggunakan anestesi general.
Selain itu, anestesi regional dapat digunakan untuk monitoring suara dan efek
postoperasi analgesia yang sangat baik. Pemilihan teknik ini dikatakan cocok untuk
pasien dengan gangguan medis seperti tirotoksikosis atau obstruktif sekunder oleh
karena goiter yang besar namun memiliki kelemahannya yang dapat menimbulkan
toksisitas anestesi local, hematoma, pneumothoraks dan dengan keadaan pasien yang
kooperatif (Malhotra dan Sodhi 2017).
2. General Anaesthesia
Banyak teknik yang dapat digunakan dalam anestesi general. Kebanyakan pasien
diberikan induksi intravena diperkuat dengan intubasi. Sebelum memberikan relaksan
otot sangat dianjurkan untuk diberikan ventilasi manual. Diperlukan kehati-hatian
untuk menghindari terjadinya overflating dari tube cuff (atau penggunaan cuff
manometer) untuk meminimalkan kerusakan trakea. Pemberian lidokain sebelum
intubasi dapat mencegah atau mengurangi munculnya batuk (Malhotra dan Sodhi
2017). Apabila khawatir mengenai potensi jalan napas, maka diperlukan pertimbangan
lain. Informasi lanjut dalam memprediksi dapat dilakukan :
- Induksi inhalasi. Teknik ini mencakup preoksigenasi yang baik dan induksi
bertahap dengan sevofurane. Apabila gangguan jalan napas, maka harus disediakan
sambungan ataupun peralatan jalan napas.
- Jika terdapat gangguan anatomi atau kesulitan melihat jalan nafas saat melakukan
induksi, maka dapat digunakan intubasi fibreoptic. Teknik ini harus dihindari untuk
pasien dengan obstruksi jalan nafas karena dapat menyebabkan obstruksi jalan
nafas total.
- Jika pilihan diatas tidak sesuai, maka dapat dilakukan trakeostomi dengan anestesi
local
- Ventilation rigid dapat dipilih jika kesulitan dalam memasukkan tabung endotrakeal
atau jika terdapat kompresi subglotis.
- Laryngeal Mask Airway (LMA) dapat digunakan namun harus dihindari pada pasien
dengan gangguan jalan nafas atau gangguan anatomi.

Intravena atau inhalasi dapat diberikan selama pemberian anestesi. Pemberian


relaksasi otot harus dipantau. Pemberian remifentanil untuk mengurangi kebutuhan
obat relaksasi otot. Ini juga dapat ditritasi untuk mencegah pendarahan berlebihan
selama pembedahan dan memungkinkan untuk kembali normal dengan penambahan
obat fenileprin bolus (Malhotra dan Sodhi 2017).
Dokter bedah biasanya akan memasukkan anestesi local dan adernalin secara
subkutan sebelum insisi yang dapat memberikan efek analgesic pada periode pasca
operasi. Paracetamol, NSAID dan opioid lemah biasanya cukup, namun pemberian
morfin mungkin diperlukan. Blok pleksus servikal superficial bilateral dapat secara
signifikan mengurangi nyeri dan kebutuhan morfin pada periode pasca operasi.
Pemberian antiemetic seperti ondansetron dengan deksametason penting karena pasien
berisiko mengalami mual dan muntah pasca operasi yang juga dapat mengurangi edema
jalan nafas pasca operasi (Malhotra dan Sodhi 2017).
2.3 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid adalah kelenjar tubuh terbesar yang terletak di anterior dan lateral
trakea dan terdiri atas dua lobus yang bergabung dengan ismus serta memiliki berat
kurang lebih 20 gram. Disetiap lobus posterior tiroid terdapat sepasang kelenjar
paratiroid. Kelenjar tiroid dipersarafi oleh sistem saraf kolinergik dan adrenergik.
Secara histologis kelenjar tiroid tersusun dari banyak folikel yang menyimpan zat
hasil ekskresi yaitu koloid. Koloid tersusun atas tiroglobulin yang akan dipecah
menjadi hormone tiroid oleh enzim endopeptidase. Kelenjar tiroid juga mengandung
sel C parafolikular yang menghasilkan kalsitonin. Produksi hormon tiroid bergantung
pada ketersediaan yodium eksogen. Sumber utama dari yodium eksogen adalah
makanan (Hines and Marschall, 2018).
Yodium akan diserap di saluran pencernaan, lalu diubah menjadi ion iodida, dan
secara aktif diangkut ke kelenjar tiroid. Setelah ion iodide masuk, ion tersebut
dioksidasi menjadi iodin dan terikat dengan asam amino tirosin. Hasil akhirnya dari
metabolism yodium ini adalah triiodothyronine (T3) dan thyroxine (T4) yang terikat
dengan protein dan disimpan di tiroid. Kelenjar tiroid lebih banyak melepaskan T4
daripada T3, hal ini dikarenakan hormon T3 lebih kuat dan lebih sedikit berikatan
dengan protein (Butterworth dkk., 2013). Perbandingan jumlah hormon T4 daripada
T3 adalah 10 : 1. Meskipun hanya 10% dari sekresi hormon tiroid adalah T3, namun
T3 lebih aktif tiga kali lipat daripada T4 per unit berat dan T3 merupakan hormon
tiroid yang aktif dalam jaringan perifer. Hormon tiroid merangsang hampir semua
proses metabolism (Hines dan Marschall, 2018). Sebagian dari T3 yang beredar
terbentuk dari deiodinasi parsial T4. Mekanisme umpan balik untuk mengontrol
sintesis hormon tiroid yaitu dengan melibatkan hipofisis anterior (hormon perangsang
tiroid [TSH]), hipotalamus (faktor pelepas thyrotropin [TRF] dan hormon pelepas
thyrotropin [TRH]), autoregulasi, dan asupan yodium tinggi (Butterworth dkk., 2013).
Gambar 1. Sel Folikular Tiroid (Hines and Marschall, 2018)

Hormon tiroid (T3) berfungsi untuk meningkatkan metabolisme karbohidrat dan


lemak, serta sebagai faktor penentu dalam laju metabolism dan pertumbuhan.
Peningkatan laju metabolisme akan menyebabkan peningkatan konsumsi O2 dan
produksi CO2, yang secara tidak langsung akan meningkatkan laju pernafasan per
menit, denyut jantung dan kontraktilitasnya. Hal ini akibat dari perubahan fisiologi
reseptor adrenergik dan perubahan protein internal lainnya, bukan dari peningkatan
konsentrasi katekolamin (Butterworth dkk., 2013).

2.4 Permasalahan pada Kelenjar Tiroid


Permasalahan pada kelenjar tiroid pada umumnya ada 4 jenis kelainan/gangguan
tiroid. Pertama dan kedua gangguan fungsi atau keseimbangan homeostasis berupa
kekurangan hormon tiroid (hipotiroid) dan kelebihan hormon tiroid (hipertiroid).
Ketiga, kelainan berupa pembesaran kelenjar tiroid dan keempat kelainan hormon
tiroid tanpa disertai gangguan klinis (eutiroid). Perlu pula diperhatikan adanya
pengaruh obat-obatan terhadap fungsi tiroid (Sjamsuhidayat R dkk., 2013).

Pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh penambahan jaringan kelenjar


tiroid disebut strauma. Struma dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi, fisiologi
dan klinis. Berdasarkan morfologi strauma dibedakan menjadi struma difus dan
struma nodular /multinodular; sedangkan berdasarkan fisiologis strauma dibedakan
menjadi eutirodisme, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme serta berdasarkan klinis,
yaitu struma toksik dan non toksik (Assagaf dkk., 2015). Eutiroid adalah suatu
keadaan fungsi kelenjar tiroid dalam keadaan normal. Hipertiroid adalah suatu
keadaan fungsi kelenjar tiroid bekerja melebihi kerja normal sehingga biasanya
kelenjar tiroid membesar yang dapat dilihat dari temuan hasil laboratorium FT3 dan
FT4 meningkat di atas normal, sedangkan TSH rendah. Sedangkan hipotiroid
kebalikan dari hipertiroid, dimana fungsi kelenjar tiroid bekerja di bawah normal, hal
ini dapat dilihat dari FT4 di bawah angka normal (Assagaf dkk., 2015).
Pada kasus struma nodusa eutiroid, penderita umumnya tidak mempunyai
keluhan karena fungsi dari kelenjar tiroidnya tidak terdapat gangguan. Nodul dapat
tunggal tetapi dapat berkembang menjadi multinodular tanpa terjadi perubahan fungsi.
Degenerasi jaringan menyebabkan terbentuknya kista atau adenoma. Pertumbuhan
dari struma sangat pelan sehingga struma dapat menjadi besar dan tidak menimbulkan
gejala, selain adanya benjolan dileher (Assagaf dkk., 2015).

2.5 Hipertiroid
2.5.1 Manifestasi Klinis
Kelebihan dari hormon tiroid akan memberikan efek pada fungsi sistem
organ. Sistem kardiovaskular merupakan sistem yang perlu diwaspadai pada
keadaan hipertiroidisme. Hipertiroidisme memicu peningkatan kerja jantung yang
ditandai dengan takikardia, disritmia (umumnya atrial), dan palpitasi. Keadaan
tersebut menimbulkan sirkulasi hiperdinamik, peningkatan kontraktilitas
miokardium, peningkatan curah jantung, dan kardiomegali (Butterworth dkk.,
2013).
Pada ekstremitas, dapat ditemukan hipotrofi/atrofi otot (muscle wasting)
disertai kelemahan pada otot (miopati). Hal ini sejalan dengan keluhan pasien pada
umumnya yaitu pasien cenderung merasa lemah, namun sulit tidur. Selain itu, pada
pasien ditemukan peningkatan aktivitas metabolik tulang yang dapat menimbulkan
osteoporosis dan tremor pada kedua tangan serta refleks tendon yang meningkat
(hiperrefleksia ringan). Sedangkan pada sistem saluran cerna, dapat ditemukan
hiperperistaltik yang menyebabkan diare sehingga pasien mengalami penurunan
berat badan (Butterworth dkk., 2013).
Selain dari yang disebutkan diatas, gejala klinis yang ditemukan pada pasien
dengan hipertiroid yaitu adanya hipermetabolisme. Pasien dengan hipertiroid
terlihat khawatir dan cemas berlebihan, hiperkinetik, gangguan tidur dan
menunjukkan gejala emosional yang fluktuatif serta wajah pasien cenderung
kemerahan, rambut tipis, permukaan kuku lembut, dan rapuh. Pada palpasi, kulit
pasien terasa hangat dan lembab serta dapat berkeringat berlebih (De Leo dkk.,
2016). Pada penyakit Grave (Grave’s disease), didapatkan kedua bola mata terlihat
melotot akibat retraksi palpebra superior (disebut eksoftalmos). Oftalmopati dapat
menimbulkan peningkatan tekanan intraokular. (Butterworth dkk., 2013).
Pada hipertiroidisme yang diakibatkan oleh goiter toksik multinodular (toxic
multinodular goiter/TMG) dapat menyebabkan ukuran dari kelenjar tiroid
membesar sehingga menekan organ lain di sekitarnya dan dapat menimbulkan
gejala seperti disfagia, sensasi seperti terdapat benda asing di tenggorokan (globus
sensation), dan inspirasi stridor akibat kompresi dari trakea. Kompresi trakea terjadi
bila massa goiter membesar ke arah dalam apertura thoracis superior (thoracic inlet)
pada aspek retrosternal. TMG biasanya bersifat kronis sebagai fase lanjutan dari
goiter sederhana (bahasa awam: gondok) (Hines dan Marschall, 2018).

2.5.2 Pemeriksaan Fisis


1) Menentukan pembesaran leher karena struma (Barash dkk., 2013):
• Tiroid berada di regio koli anterior yang mempunyai batas-batas m. sterno
kleidomastoideus, m. digastrikus, dan manubrium sterni. Tiroid di luar batas
tersebut disebut sebagai tiroid ektopik.
• Tiroid terdiri dari dua lobus kanan dan kiri, yang dihubungkan oleh satu
lobus piramidalis yang berada di garis media melekat pada kartilago
tiroidea dan terdapat di fasia koli media. Kartilago tiroidea melekat pada
trakea, maka pada saat menelan tiroid akan bergerak dan membuat tiroid
juga ikut bergerak. Bila terjadi pembesaran di leher yang berasal dari tiroid,
tiroid akan tampak bergerak naik turun sewaktu menelan.
2) Indeks Wayne (Barash dkk., 2013):

Gejala Saat Ini Dan/Atau Skor Tanda (Objektif) Ada Tida


Gejala Yang Memberat k
(Subjektif)
Dispnea on effort +1 Tiroid teraba +3 -3
Palpitasi +2 Bruid tiroid +2 -2
Kelelahan +2 Eksoftalmus +2
Suka panas -5 Lid retraksi +2
Suka dingin +5 Lid lag +2
Keringat banyak +2 Hiperkinesis +4 -2
Nervous +2 Tangan panas +2 -2
Napsu makan meningkat +3 Tangan basah +1 -1
Napsu makan menurun -3 Nadi <80x/menit -3
Berat badan meningkat -3 Nadi 80-90x/menit
Berat badan menurun +3 Nadi >90x/menit +3
Atrium fibrilasi +4
Bila total skor:
< 11 : eutiroid
11 – 18: tidak jelas ada hipertiroid
> 19 : hipertiroid
2.5.3 Pertimbangan Anestesi
2.5.3.1 Preoperatif
Pada pasien hipertiroid yang akan melakukan pembedahan, perlu diyakinkan
bahwa pasien dalam keadaan eutiroid secara klinis dan laboratorium dengan kadar
T3 dan T4 dalam batas normal (De Leo dkk., 2016). Pada kasus elektif, waktu
menunggu dapat memanjang untuk mencapai keadaan eutiroid (6-8 minggu)
(Hines dan Marschall, 2018). Namun waktu paruh T4 adalah 8 hari, sehingga
apabila dosis obat terlewat satu kali tidak akan menimbulkan dampak serius
(Butterworth dkk., 2013). Hal ini berhubungan dengan durasi medikamentosa
hipertiroid yang baru efektif pada rentang waktu tersebut (Hines dan Marschall,
2018). Medikamentosa anti-tiroid dan antagonis reseptor beta (beta bloker)
diberikan pada pagi hari sebelum operasi. Pemberian obat anti-tiroid seperti
propiltiourasil (PTU) maupun metimazol sangat penting untuk dilanjutkan
sebelum operasi karena waktu paruhnya yang pendek (Butterworth dkk., 2013).
Komponen penting evaluasi pre-operatif adalah evaluasi saluran napas atas
untuk identifikasi adanya kompresi trakea atau deviasi akibat goiter. Kompresi
saluran napas juga dapat dibuktikan dengan penunjang radiologis seperti rontgen
thoraks dan CT scan thoraks.
2.5.3.2 Intraoperatif
Pada pasien dengan riwayat hipertiroidime, selama proses pembedahan
diperlukan pemantauan ketat terhadap fungsi jantung dan temperature tubuh.
Pemilihan obat-obatan yang dapat menstimulasi sistem saraf simpatis atau
antagonis muskarinik dengan luaran yang tidak dapat diprediksi sebaiknya
dihindari pada pasien dengan hipertiroidisime. Obat-obatan tersebut dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah dan denyut jantung secara tiba-tiba.
Pasien hipertiroid yang tidak diterapi dengan baik dapat menjadi hipovolemia
kronis dan rentan hipotensi selama tindakan anestesi. Namun, anestesi diperlukan
sebelum melakukan laringoskopi atau pembedahan untuk menghindari takikardia,
hipertensi, atau aritmia ventrikular.
Tirotoksikosis berkaitan dengan kejadian miopati dan miastenia gravis,
sehingga penggunaan bloker neuromuskular (neuromuscular blocking agents)
perlu diberikan secara hati-hati (Hines dan Marschall, 2018).

2.5.3.3 Post Operatif


Ancaman utama pasca operasi pada pasien dengan hipertiroidisme adalah
thyroid storm yang ditandai dengan hiperpireksia, takikardia, perubahan status
mental (agitasi, delirium, koma) dan hipotensi (Butterworth dkk., 2013). Awitan
6-24 jam setelah operasi namun dapat terjadi intraoperatif, menyerupai
hipertermia malignan. Namun pada hipertermia malignan tidak terjadi rigiditas
otot, peningkatan kreatinin kinase, maupun asidosis metabolik dan respiratorik.
Tatalaksana thyroid strom yaitu dengan hidrasi, pendinginan (misal dengan
menggunakan cooling blanket), infus beta bloker seperti esmolol dengan target
frekuensi denyut jantung <100/menit. Pemberian PTU dengan dosis 250-500 mg
tiap 6 jam intraoral atau via NGT yang diikuti dengan pemberian natrium iodida
1g/12 jam intravena, serta koreksi adanya faktor presipitat (misal: infeksi)
membantu dalam tatalaksana thyroid strom.
Pembedahan tiroidektomi berhubungan dengan beberapa komplikasi,
diantaranya palsi nervus laringeus rekurens yang menimbulkan suara serak (bila
terkena unilateral) afonia dan stridor (bila terkena bilateral). Fungsi plika vokalis
dapat dievaluasi dengan segera saat ekstubasi dalam (deep extubation).
Kelumpuhan plika vokalis memerlukan reintubasi dan eksplorasi luka. Adanya
hematoma dapat menimbulkan gangguan saluran napas akibat kolapsnya trakea,
terutama pada pasien dengan trakeomalasia. Diseksi hematoma pada jaringan
lunak kompresibel pada leher dapat menyebabkan gangguan anatomi jalan napas
sehingga intubasi menjadi sulit. Selain itu dapat terjadi hipoparatiroidisme akibat
reseksi keempat kelenjar paratiroid secara tidak sengaja dan menyebabkan
hipokalsemia dalam 12-72 jam. Pneumothoraks juga merupakan komplikasi yang
dapat terjadi pada operasi di area leher (Butterworth dkk., 2013).

2.6 Hipotiroid
2.6.1 Manifestasi Klinis
Hipotiroidisme merupakan penyakit yang paling sering disebabkan pasca
ablasi kelenjar tiroid via iodin radioaktif atau tiroidektomi. Penyakit ini diakibatkan
oleh karena penurunan produksi hormon tiroid (Brenta dkk., 2013). Hipotiroidisme
kedua yang tersering adalah idiopatik maupun autoimun dengan auto antibodi yang
menghambat reseptor TSH (Butterworth dkk., 2013).
Gejala klinis yang muncul dapat beragam sesuai derajatnya. Pada kasus
hipertiroidisme ringan, pasien merasa mudah lelah dan berat badan bertambah
walaupun selera makan menurun. Pada kasus sedang hingga berat, pasien menjadi
kelelahan, letargik, dan apatis. Suara menjadi pelan dan kecerdasan menjadi
tumpul. Pasien juga mengalami intoleransi terhadap dingin, berkeringat lebih
sedikit, konstipasi dan perlambatan fungsi motorik akibat kekakuan dan kram otot.
Pasien memiliki kulit yang tebal dan kering, wajah yang agak kasar, rambut yang
rapuh dan mudah patah, ukuran lidah yang besar, suara serak, dan edema periorbital
dan perifer. Pada orang dewasa, hipotiroidisme memiliki awitan yang lambat,
bersifat akut, dan progresif. Aktivitas mental dan fisik mengalami perlambatan yang
gradual (Butterworth dkk., 2013).
Secara fisiologis, pasien dengan hipotiroidisme mengalami penurunan curah
jantung sebagai akibat dari penurunan stoke volume dan frekuensi denyut jantung
sehingga pasien cenderung bradikardia (Brenta dkk., 2013). Tahanan vaskular
perifer meningkat disertai volume darah menurun sehingga menimbulkan kulit
yang pucat dan dingin. Pasien hipotiroid dapat menderita hiperkolesterolemia dan
hipertrigliseridemia yang meningkatkan risiko penyakit jantung koroner. Sekresi
ADH yang tidak adekuat (SIADH) menyebabkan hipponatremia. Fungsi saluran
cerna juga melambat dan dapat terjadi ileus paralitik. Pada pemeriksaan refleks
neurologis biasanya ditemukan fase relaksasi memanjang (Butterworth dkk., 2013).

2.6.2 Pertimbangan Anestesi


2.6.2.1 Preoperatif
Terdapat beberapa hal yang dapat menimbulkan kesulitan selama proses
pembedahan pada pasien hipotiroidisme. Pada preoperative, pasien memiliki
risiko mengalami hambatan jalan nafas oleh karena edema plika vokalis atau
pembesaran goiter, mengalami aspirasi dan regurgitasi karena penurunan durasi
pengosongan lambung, mengalami gangguan sistem kardiovaskular yang ditandai
dengan penurunan curah jantung, stroke volume, frekuensi denyut jantung, dan
volume intravascular (Butterworth dkk., 2013).
2.6.2.2 Intraoperatif
Obat-obatan sejenis ketamin atau etomidat sebaiknya dihindari pada pasien
hipotiroid karena lebih rentan terhadap efek hipotensi dari obat-obatan anestesi
akibat penurunan curah jantung, tumpulnya reseptor barorefleks, dan penurunan
volume intravascular (Butterworth dkk., 2013). Pemberian vasopressor yaitu
efedrin, dopamine, atau epinefrin dapat dipertimbangkan apabila terjadi hipotensi.
Namun apabila tidak berespons terhadap obat-obatan tersebut perlu
dipertimbangkan untuk diberikan kortikosteroid terhadap kemungkinan terjadinya
insufisiensi adrenal. Dalam hal ini, pasien dapat diberikan anestesi umum melalui
pipa endotrakeal setelah induksi fase cepat (rapid sequence induction) atau
intubasi terbangun (awake intubation) apabila terdapat jalan napas yang sulit
(Hines dan Marschall, 2018).
Obat-obatan anestesi yang diberikan dapat memperberat respon ventilasi
yang tumpul terhadap rangsangan hipoksia dan hiperkarbia. Selain itu gangguan
hematologi seperti anemia, gangguan platelet dan faktor koagulasi lain (terutama
faktor VIII), gangguan elektrolit (hiponatremia), dan hipoglikemia umum
dijumpai dan perlu dipantau secara ketat selama. Penatalaksanaan hipoglikemia
dapat diberikan dekstrosa pada larutan salin normal. (Hines dan Marschall, 2018).
Selain pertimbangan pemberian obat, terdapat hal-hal lain yang perlu
diwaspadai yaitu kemungkinan terjadinya kondisi hipoglikemia, anemia,
hiponatremia, dan kesulitan intubasi karena lidah yang besar, serta hipotermia
akibat tingkat metabolisme basal yang rendah (Butterworth dkk., 2013).

2.6.2.3 Post Operatif


Pemulihan pasca anestesi pada pasien hipotiroid dapat tertunda akibat
hipotermia, depresi napas, atau perlambatan biotransformasi obat-obatan.
Keadaan tersebut memerlukan bantuan ventilasi mekanik. Hal tersebut
dikarenakan hipotiroid meningkatkan risiko depresi napas (Butterworth dkk.,
2013).
2.7 Struma dan Tumor Tiroid
Struma atau gondok atau goiter merupakan pembesaran kelenjar tiroid yang
dihasilkan dari hipertrofi kompensasi dan hiperplasia epitel folikuler sekunder akibat
penurunan hormon tiroid (Hines dan Marschall, 2018). Pembesaran kelenjar tiroid
dapat bersifat difus atau nodosa serta toksik dan non toksik. Pembesaran difus adalah
pembesaran pada seluruh kelenjar tiroid atau nodosa adalah pembesaran tiroid dengan
nodul di dalam kelenjar tiroid. Pembesaran nodosa dapat dibagi lagi menjadi
uninodosa (hanya terdapat 1 nodul) dan multinodular (terdapat lebih dari 1 nodul)
pada satu lobus atau kedua lobus kelenjar tiroid. Sedangkan definisi dari struma non
toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid baik difus maupun nodusa yang tidak
disebabkan oleh proses inflamasi, keganasan, maupun fungsi kelenjar tiroid yang
abnormal (Sjamsuhidayat dkk., 2013).

Penyebab struma mungkin karena kekurangan asupan yodium, konsumsi


makanan (seperti singkong), atau farmakologis (seperti Fenilbutazon, litium). Ukuran
struma tergantung pada tingkat dan lamanya insufisiensi hormon. Dalam kebanyakan
kasus, dikaitkan dengan keadaan eutiroid, dengan peningkatan massa dan aktivitas
seluler dapat mengatasi penurunan sintesis hormon. Namun, hipotiroidisme atau
hipertiroidisme terjadi dalam beberapa kasus (Hines dan Marschall, 2018).

Struma non-toksik sederhana adalah asal dari struma multinodular toksik yang
mana pasien dengan struma non-toksik sederhana adalah eutiroid. Di Amerika Serikat,
sebagian besar kasus struma non toksik sederhana tidak diketahui penyebabnya dan
diobati dengan l-tiroksin. Terapi pembedahan dilakukan apabila terapi medis tidak
efektif dan mengganggu jalan napas atau menganggu secara kosmetik. Manajemen
anestesi dari pasien yang menjalani operasi pengangkatan struma yang besar atau
massa tiroid yang membahayakan jalan napas merupakan tantangan besar. Obat
penenang dan narkotika harus dihindari atau digunakan dengan sangat hati-hati
sebelum dan selama penempatan tabung endotrakeal. Intubasi dalam keadaan sadar
dengan tabung lapis baja (anoda) menggunakan bronkoskopi fiberoptik mungkin
merupakan metode teraman untuk menilai tingkat obstruksi dan mematenkan jalan
nafas. Ekstubasi trakea harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan perhatian sama
seperti intubasi (Hines dan Marschall, 2018).
Jika massa meluas ke regional substernal (Massa mediastinum anterior),
obstruksi vena kava superior, obstruksi jalan napas utama, dan / atau kompresi
jantung. Dua kemungkinan yang terakhir dapat terjadi hanya jika induksi anestesi
umum. Obstruksi jalan napas merupakan hasil dari perubahan mekanika paru-paru
dan dinding dada yang terjadi dengan perubahan posisi pasien atau dengan timbulnya
kelumpuhan otot. Selama respirasi spontan, jalan nafas yang lebih lapang didukung
oleh tekanan intrathorakik negatif dan efek kompresi ekstrinsik mungkin terlihat
hanya pada kasus yang paling berat. Dengan penghentian respirasi spontan,
mekanisme kompensasi dihilangkan dan obstruksi jalan napas terjadi. Selain itu,
ventilasi tekanan positif dapat menunjukkan oklusi jalan napas total. Riwayat dispnea
pra operasi dalam posisi tegak atau terlentang merupakan prediksi kemungkinan
obstruksi jalan napas selama anestesi umum. CT scan harus diperiksa untuk menilai
luasnya tumor dan memperlihatkan kelainan anatomi. Ekokardiografi dengan pasien
dalam posisi tegak dan terlentang dapat menunjukkan tingkat kompresi jantung.
Setelah reseksi tumor, jalan napas harus diperiksa dengan bronkoskopi
fiberoptik untuk mendeteksi trakeomalacia dan menentukan apakah dan kapan
ekstubasi trakea dilakukan. Bronkoskopi harus tersedia untuk membangun kembali
jalan napas jika terjadi kolaps (Hines dan Marschall, 2018).

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : AAR
No. RM : 19042767
Jenis Kelamin : Laki - laki
Umur : 43 Tahun
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Dusun Krajan Menampu, Gumuk Mas, Jember.
Diagnosis : SNT Sinistra Folicular Neoplasma
Tindakan : Isthimolobectomy Sinistra
MRS : 8 Oktober 2019, pukul 09.22 WITA

3.2 Anamnesis
Pasien laki - laki, usia 43 tahun datang dengan keluhan saat ini berupa benjolan
di leher sebelah kiri. Keluhan dirasakan sejak 4 tahun yang lalu. Benjolan awalnya
hanya dirasakan oleh pasien seperti rasa mengganjal di leher tanpa terlihat dari luar,
berukuran kecil lama kelamaan bertambah besar hingga saat ini, namun dirasakan
tidak sampai menganggu aktivitas. Benjolan tersebut dirasakan pasien pada leher
sebelah kiri saja sedangkan leher sebelah kanan pasien masih normal. Keluhan
benjolan tanpa disertai rasa nyeri, keluhan sesak, suara serak, serta demam disangkal.
Riwayat tremor, keringat berlebih, berdebar, penurunan berat badan disangkal, nafsu
makan normal, BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Riwayat penyakit dahulu : Tidak ada


Riwayat alergi obat dan makanan : Tidak ada
Riwayat pengobatan : Tidak ada
Riwayat penyakit sistemik : Tidak ada
Riwayat operasi : Tidak ada
Riwayat sosial : Pasien adalah seorang wiraswasta yang
masih dapat melakukan aktivitas sehari – hari tanpa keluhan nyeri dada ataupun sesak
nafas. Riwayat merokok lebih dari 5 tahun kurang lebih 1 bungkus perhari, riwayat
minum minuman beralkohol disangkal.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Berat badan 68 kg; Tinggi badan 169 cm; BMI 23,81 kg/m2; Suhu axilla 36 oC; NRS
diam 0/10, NRS bergerak 0/10
Susunan saraf pusat : Kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6, pupil
isokor 3 mm/3 mm, RC/RK +/+
Respirasi : Frekuensi napas 16 kali per menit, vesikular pada
kedua lapang paru, rhonki dan wheezing tidak ada,
saturasi oksigen perifer 98% room air
Kardiovaskular : Tekanan darah 120/70 mmHg; nadi 78 kali
permenit, bunyi jantung 1 dan 2 tunggal, reguler,
murmur tidak ada.
Gastrointestinal Tract : Supel, bising usus (+) normal, asites (-), nyeri tekan
(-)
Urogenital : Buang air kecil spontan
Muskuloskeletal : Fleksi defleksi leher baik, Mallampati I, gigi geligi
Utuh

KRITERIA LEMON
Look externally:
- Tampak benjolan pada leher kiri ukuran 10 cm x 8 cm x 2 cm, kenyal,
terfiksir, permukaan rata, nyeri tekan tidak ada
- Gigi incisor besar tidak ada
- Lidah besar tidak ada
- Facial trauma tidak ada
Evaluated:
- Jarak interincisor 3 jari
- Jarak mentohyoid 3 jari
- Jarak hyothiroid 2 jari

Mallampati :I
Obstruction : tidak ada
Neck mobility : fleksi dan defleksi leher normal

3.4 Pemeriksaan Penunjang


• Darah Lengkap (20/9/2019)

WBC 9,38 x103/µL (4,1-11); HGB 15,93 g/dL (13.5-17.5); HCT 51,36

% (41-53); PLT 297,10 x103µL (150-440)


• Faal Hemostasis (4/9/2019)
PT 14,1 (10,8-14,4) detik; aPTT 31,7 (24-36) detik; INR 1,01
• Kimia Klinik (4/9/2019)
SGOT 19,8 U/L (11-33); SGPT 19,0 U/L (11-50); BUN 11,40 mg/dL
(8-23); SC 0,94 mg/dL (0,7-1,2); BS acak 139 mg/dL (70-140); Na 143
mmol/L (136-145); K 4,27 mmol/L (3,5-5,10)
• Tes Fungsi Tiroid (4/9/2019)
TSHS 0,65 IU/mL (0,27-4,20); FT4 1,30 ng/dL (0,93-1,70)
• Rontgen Thorax PA (20/9/2019)
Cor dan pulmo tak tampak kelainan, soft tissue pada region colli sinistra yang
menyebabkan trakea terdeviasi ke dextra di setinggi CV C7 hingga CVTh 5. Saat ini
tak tampak proses metastase.
• Cervical AP/Lateral (23/9/2019)
Paracervical muscle spasme. Spondylosis cervicalis. Soft tissue mass regio colli
sinistra anterior yang menyebabkan trakea terdeviasi ke dextra di setinggi CV
C5 hingga CVTh 4, tak tampak kompresi, fraktur, listhesis pada tulang-tulang
yang tervisualisasi.
• EKG (9/10/2019)
Normal sinus rhythm, HR 74 kali permenit, axis normal, ST-T changes tidak
ada
• USG Tiroid (28/12/2018)
Masa solid dengan komponen kistik tiroid kiri berukuran 4,57 cm x 6,2 cm.
• Patologi Anantomi (28/12/2018)
Lesi kistik proliferasi, kemungkinan neoplasma belum dapat disingkirkan.

3.5 Permasalahan Dan Kesimpulan


• Permasalahan Aktual :
- Endokrin: SNT, eutiroid (TSHS 0,65 IU/mL; FT4 1,30 ng/dL)

• Permasalahan Potensial : Cedera nervus laryngeus rekurens


• Pembedahan :
Lokasi : Colli
Posisi : Supine
Durasi : 2-3 jam
Manipulasi : Isthmolobectomy Sinistra
• Kesimpulan : Status Fisik ASA II

3.6 Persiapan Anestesi


Persiapan di ruang perawatan:
• Evaluasi identitas penderita
• Persiapan psikis
− Anamnesis pasien
− Memberikan penjelasan kepada penderita dan keluarganya tentang
rencana anestesi yang akan dilakukan mulai di ruang penerimaan, ruang
operasi sampai di ruang pemulihan
• Persiapan fisik
− Puasa 8 jam sebelum operasi
− Melepaskan perhiasan sebelum ke kamar operasi
− Ganti pakaian khusus sebelum ke ruang operasi
− Memeriksa status present, status fisik dan hasil pemeriksaan
penunjang
− Memeriksa surat persetujuan operasi
− Memasang IV line, cairan pengganti puasa dengan Ringer Lactat dengan
tetesan 20 tetes per menit
Persiapan di Ruang Persiapan OK IBS:
• Periksa kembali catatan medik penderita, identitas, persetujuan operasi
• Tanyakan kembali persiapan yang dilakukan di ruang perawatan
• Evaluasi ulang status present dan status fisik
• Penjelasan ulang kepada penderita tentang rencana anestesi
Persiapan di Kamar Operasi:
• Menyiapkan mesin anestesi dan aliran gas
• Menyiapkan monitor dan kartu anestesi
• Mempersiapkan obat dan alat anestesi
• Menyiapkan obat dan alat resusitasi
• Evaluasi ulang status present penderita

3.7 Manajemen Operasi


➢ Rencana Anestesi
Rencana Anestesi : GA-OTT
Premedikasi : Diphenhydramine 10 mg IV, Deksamethason 10
mg IV, Midazolam 1 mg IV
Analgetik : Fentanyl 150 mcg IV
Induksi : Propofol titrasi hingga pasien terhipnosis
Fasilitas Intubasi : Atracurium 30 mg IV

Pemeliharaan : O2; Compressed air; sevoflurane, fentanyl intermittent


0,25 mcg/kg tiap 45 – 60 menit, atracurium intermittent
0,2 mg/kg tiap 30 – 45 menit
Medikasi lain : Ondansentron 4 mg IV; ketorolac 30 mg IV

➢ Durante Operasi
Hemodinamik : TD 130-100 mmHg/ 70-60 mmHg, Nadi 80-
60x/menit, RR 16-12x/menit, SpO2 100-98%
dengan O2 67% 1,5 L/menit.
Cairan masuk : Ringer Laktat 1000 mL
Lama operasi : 3 jam

➢ Post Operasi
Analgesik : Morfin 20 mg/24jam via syringe pump,
Parasetamol 500 mg tiap 6 jam PO
Perawatan : Ruangan
BAB IV
DISKUSI KASUS

Pasien laki - laki, usia 43 tahun dengan SNT Sinistra Folicular Neoplasma
akan dilakukan ishtmolobectomy sinistra. Ishtmolobectomy adalah tindakan
pengangkatan kelenjar tiroid bisa sebelah dekstra atau sinistra atau kedua-duanya
(bilateral) (Sjamsuhidayat, 2016). Tindakan pembedahan ini memiliki risiko
perdarahan yang minimum. Indikasi ishtmolobectomy diantaranya kosmetik atau
kecantiakn, eksisi nodul tunggal (yang mungkin ganas), struma multinoduler yang
berat, serta struma yang menyebabkan kompresi laring atau struktur leher lain.
Pertama yang dilakukan adalah melakukan evaluasi praoperasi yaitu dilakukan
pemeriksaan status fisik, dan juga meramalkan penyulit yang bisa didapatkan
pasien selama operasi ataupun pasca operasi dan mempersiapkan obat atau alat
untuk mengatasi penyulit tersebut. Persiapan pra operasi yang baik akan mencegah
timbulnya komplikasi pada angka yang sangat kecil, yaitu kurang dari 2-3%
(Widodo dan Surarso, 2009).
Status fisik diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Pada pasien ini memiliki status ASA II dengan riwayat merokok lebih dari 5 tahun
kurang lebih 1 bungkus perhari. Berdasarkan penelitian sebelumnya, pasien dengan
pembesaran kelenjar pada leher dapat menimbulkan tantangan bagi ahli anestesi
untuk manajemen jalan napas karena ketika terjadi intubasi trakea yang gagal, dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Dalam kasus seperti
struma yang besar, baik struma toksik maupun non toksik yang besar dapat terjadi
kesulitan pada gerakan leher, pembukaan mulut yang terhambat, deviasi trakea, dan
kompresi (Kaur dkk., 2017). Setelah ekstubasi, hal ini dapat menyebabkan
kolapsnya trakea ke arah AP yang mengarah ke desaturasi. Hal tersebut biasanya
merupakan situasi yang self-limiting karena kekuatan dinding trakea akan pulih
kembali setelah pelepasan tekanan (Bajwa dan Sehgal, 2013). Dalam suatu studi
dikatakan bahwa ekstubasi dapat dilakukan 36 jam setelah operasi untuk mencegah
trakeomalasia (Shaikh dan Atlapure, 2015).
Pada pasien dilakukan pemeriksaan fisik yaitu monitoring tekanan darah,
nadi, suhu, laju napas, dan pemeriksaaan fisik rutin meliputi pemeriksaan tinggi
badan, berat badan, keadaan umum, serta kesadaran umum. Pemeriksaan
laboratorium yang diperlukan pada pasien SNT Sinistra Folicular Neoplasma
adalah pemeriksaan darah (Hb, leukosit, golongan darah, faal hemostasis, TSHs),
foto polos servikal, Rontgen Thorax PA, EKG serta dilakukan pemeriksaan USG.
Dari hasil pemeriksaan ini didapatkan kelainan massa jaringan lunak pada coli kiri.
Dari pemeriksaan darah yang ditemukan hasilnya dalam batas normal. Pada
pemeriksaan foto polos servikal ditemukan adanya Paracervical muscle spasme dan
deviasi trakea kearah kanan di setinggi CV C5 hingga CVTh 4, dan pada
pemeriksaan. Dari USG tiroid ditemukan massa solid dengan komponen kistik
tiroid kiri berukuran 4,57 cm x 6,2 cm.
Pada pelaksanaan intraoperatif pasien diawasi tanda vitalnya. Selama
durante operasi pasien tidak mengalami masalah pada tanda vitalnya. Tekanan
darah pasien konsisten ada di kisaran 130-100 mmHg/70-60 mmHg, frekuensi nafas
16-12x/menit, nadi 80-60 x/menit, SpO2 100-99 % dengan O2 67% 1,5 L/menit.
Ketamin dan antikolinergik seperti sulfas atropin juga tidak diberikan pada
pasien ini. Berdasarkan teori, ketamine merupakan obat agonis adrenergik indirek,
dan obat-obatan lain yang menstimulasi sistem saraf simpatis atau antagonis
muskarinik dengan luaran yang tidak dapat diprediksi sebaiknya dihindari pada
pasien dengan hipertiroidisime. Obat-obatan tersebut dapat menimbulkan
peningkatan tekanan darah dan detak jantung secara tiba-tiba (Hines dan Marschall,
2018). Ketamin tetap dapat diberikan jika dikombinasikan dengan midazolam,
propofol, dan atau opioid seperti fentanyl. Semua obat anestesi inhalasi akan
menyebabkan depresi fungsi jantung maka dari itu pemberian anestesi sebaiknya
diberikan dalam dosis rendah (Kumar dkk., 2014). Premedikasi analgesik yang
diberikan kepada pasien ini adalah Fentanyl 25 mg IV. Walaupun pasien memiliki
tekanan darah normal 110/70 mmHg pasien tetap diberikan Clonidine 75 mg untuk
mencegah hipertensi pada saat intraoperasi. Pada pasien ini fungsi tiroid masih
normal sehingga tidak ditemukan adanya hipotensi pada pasien selama durante
operasi. Begitu juga dengan anestesi yang diberikan sudah cukup dalam selama
masa intubasi dimana pasien tidak mengalami takikardi sepanjang masa durante
operasi dimana nadi pasien berada di 80-60x/menit. Pada saat pasca operasi, pasien
diberikan penanganan berupa Morfin 20 mg/24jam via syringe pump, Parasetamol
500 mg tiap 6 jam PO. Selain itu, pasien juga dimonitoring tanda vital seperti
tekanan darah, nadi, respirasi, saturasi dan apakah terdapat keluhan seperti mual
dan muntah ataupun nyeri kepala.
BAB V
SIMPULAN

Pasien laki - laki, usia 43 tahun dengan SNT Sinistra Folicular Neoplasma
akan dilakukan ishtmolobectomy sinistra. Pada pasien dilakukan evaluasi pra
operasi yaitu dengan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang untuk menentukan permasalahan dan kesimpulan status fisik pasien.
Permasalahan lain pada pasien ini yaitu pada sistem endokrin dengan struma non
toxic, eutiroid dan diprediksikan adanya kesulitan pada manajemen jalan napas
karena pembesaran dari kelenjar tiroid tersebut dan pada pemeriksaan foto
servikalis ditemukan foto polos servikal ditemukan adanya paracervical muscle
spasme dan deviasi trakea kearah kanan di setinggi CV C5 hingga CVTh 4.
Rencana anestesi pada pasien ini yaitu anestesi umum dengan oro-tracheal
tube. Pasien diberikan premedikasi dan analgetik, lalu pasien diinduksi dan
dilakukan pemeliharaan anestesi selama operasi. Selama operasi, pasien berada
dalam kondisi yang stabil berdasarkan monitoring tanda vital durante operasi.
Pasca operasi pasien diberikan obat analgetik dan perawatan di ruang intensif.
DAFTAR PUSTAKA

Assagaf, S., Lumintang, N., dan Lampus, H. 2015. Gambaran Eutiroid Pada Pasien
Struma Multinodusa Non-Toksik Di Bagian Bedah Rsup Prof. Dr. R.D.
Kandou Manado Periode Juli 2012 – Juli 2014. Jurnal e-Clinic (eCl),
[Online]. 3/3, 758-762. Available at:
http://fmipa.umri.ac.id/wp- content/uploads/2016/06/OKTAVIA-R-
GAMBARAN-PD-PSN- STRUMA.pdf
Bajwa, S.J. dan Sehgal, V. 2013. Anesthesia and thyroid surgery: The never- ending
challenges. Indian J Endocrinol Metab.17:228–34.
Barash, P.G., Cullen, F.B., Stoelting, R.K. 2013. Handbook Of Clinical Anesthesia.
7th Ed, Philadelphia: Lipincott Williams And Wilkins Company. p:593-606
Brenta1, G dkk. 2013. Clinical practice guidelines for the management of
hypothyroidism. Arq Bras Endocrinol Metab.p57-4.
Butterworth, J., Mackey, D., Wasnick, J., Morgan, G., dan Mikhail, M.
2013.Morgan & Mikhail's clinical anesthesiology. New York: McGraw-
Hill.
De Leo, S, Sun Y Lee dan Braverman L.E. 2016. Hyperthyroidism; 388(10047):
906–918.
Dieudonne N, Gomola A, Bonnichon P, Ozier Y. 2010. Prevention of Postoperative
Pain After Thyroid Surgery: A Double-Blind Randomised Study of
Bilateral Superficial Cervical Plexus Blocks. Anesth Analg;92:1538-42.
Guyton, A.C. dan Hall, J.E. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Hines, R. dan Marschall, K. 2018. Stoelting's anesthesia and co-existing disease.
7th ed. Philadelphia: Elsevier.
Kaur, H. dkk., 2017. Airway Considerations in Case of a Large Multinodular
Goiter. Anesthesia Essays and Researches, [Online]. 11/4, 1097–1100.
Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5735459/#ref19
Kumar, M., Batra, M. and Raj, R. 2019. Anaesthetic management of a case of
dilated cardiomyopathy for emergency appendectomy. [online] NCBI.
Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4173584/
Malhotra S dan Sodhi V. 2017. Anaesthesia for thyroid and parathyroid surgery.
Continuing Education in Anaesthesia Critical Care and Pain; 7(2): 55-58.
Shaikh, S.I. dan Atlapure, B.B. 2015. Airway challenges in thyroid surgery.
Karnataka Anaesth J. 1:28–30.
Sjamsuhidayat, R., dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. 2013. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Vanderpump, M. J. 2011. The epidemiology of thyroid diseas. British Medical
Bulletin, 99(1): p39–51.
Widodo, A. dan Surarso, B. 2009. Komplikasi Tiroidektomi. Jurnal THT-KL,
[Online]. 2/3, 127-133. Available at: http://journal.unair.ac.id/download-
fullpapers-thtkl292f402db3full.pdf
Wong, P., Liew, G.H., dan Kothandan, H. 2015. Anaesthesia for goitre surgery: A
review. Proc Singapore Healthc. 24:165–70.

Anda mungkin juga menyukai