Oleh:
i
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur Penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat-Nya maka laporan kasus dengan topik “Manajemen Anestesi Pasien
Geriatrik Pada Operasi Elektif” ini dapat selesai pada waktunya.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat
Penulis harapkan untuk kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR TABEL
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut WHO, geriatri atau orang usia lanjut dikategorikan dalam usia 65 tahun
atau lebih, dimana rentang usia 65-74 tahun dikelompokkan sebagai early elderly,
sedangkan umur 75 tahun keatas diklompokkan sebagai late elderly. Jumlah
populasi lanjut usia di seluruh dunia saat ini di perkirakan lebih dari 629 juta jiwa
(1 dari 10 orang berusia lebih dari 60 tahun), dan pada tahun 2025 lanjut usia akan
mencapai 1,2 milyar (Mila & Susanti, 2017). Pasien lanjut usia umumnya memiliki
beberapa perubahan anatomi dan fisiologi yang berhubungan dengan proses
penuaan yang mereka alami, antara lain pada sistem kardiovaskular, pernapasan,
metabolisme, endokrin, pencernaan, sistem saraf, dan muskuloskeletal. Perubahan
pada individu lanjut usia berisiko memiliki beberapa kondisi medis kronis dimana
dalam salah satu penanganannya membutuhkan tindakan operasi, namun tindakan
tersebut dapat memiliki konsekuensi mengalami penyakit akut pasca operasi.
Walaupun usia bukan sebagai kontraindikasi dari anestesia dan tindakan operasi,
tetapi tingkat kematian dan penyakit perioperatif pada pasien lanjut usia cenderung
lebih tinggi dibandingkan dengan pasien usia muda, maka dari itu pemahaman
tehadap perubahan anatomi, fisiologi, dan respon terhadap agen farmakologi pada
pasien lanjut usia menjadi hal yang penting untuk manajemen anestesi yang optimal
dan dapat mengakomodasi faktor usia (Butterworth J.F., dkk. 2013).
Proses penuaan adalah menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan strukur
dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk
infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses penuaan ini membuat
manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan
menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural yang disebut penyakit
degeneratif (hipertensi, aterosklerosis, diabetes melitus, dan kanker). Perubahan
fisiologis penuaan dapat memengaruhi hasil operasi tetapi penyakit penyerta lebih
berperan sebagai faktor risiko. Secara umum, pada geriatri terjadi penurunan cairan
tubuh total, lean body mass, dan juga respons regulasi termal, dengan akibat mudah
terjadi intoksikasi obat dan hipotermia (Satya I.M.H, 2015).
1
2
Perbaikan dalam anestesi dan teknik bedah telah sangat mengurangi angka
kematian karena pembedahan pada populasi umum, tetapi anestesi terkait kematian
pada pasien yang lebih tua masih cukup tinggi. Populasi individu lanjut usia (lansia)
sangat sensitif terhadap obat-obat anestesi dan membutuhkan penggunaan obat
anestesi yang tepat untuk mencapai efek tujuan dan menghindari efek samping yang
mungkin terjadi (Kakkar, 2017). Oleh karena itu, ahli anestesi perlu mempersiapkan
diri untuk tantangan baru dan harus sepenuhnya menyadari kemungkinan
perubahan karena perubahan fisiologis pada usia terkait dan tambahan dampak dari
komorbiditas terkait (Butterworth J.F., dkk. 2013).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
4
usaha pasien untuk bernafas akibat penurunan compliance dinding paru, gangguan
mekanisme pertukaran udara dan kapasitas penutupan yang kecil dapat mengarah
pada terjadinya atelektasis. Pemberian premedikasi sebagai profilaksis aspirasi
harus benar-benar diperhatikan, misalnya dengan pemberian natrium sitrat,
simetidin hidroklorida dan metoclopramide hidroklorida (Schlitzkus L., dkk 2015).
Penuaan juga mempengaruhi fungsi ginjal, yang menyebabkan penurunan
aliran darah dan berat dari ginjal, meningkatkan risiko gagal ginjal akut pada
periode pasca operasi dan memengaruhi farmakokinetik obat. Fungsi ginjal yang
ditentukan oleh laju filtrasi glomerulus dan eliminasi kreatinin mengalami
penurunan sekitar 45%, saat fungsi ginjal menurun, maka kemampuan eleminasi
obat ikut menurun, dan pemberian obat relaksan (doxacurium chloride,
pancuronium bromida) akan bekerja lebih lama (Kakkar B. 2017).
Pada sistem gastrointestinal, massa hepar dan aliran darah hepar menurun 1%
per tahun hingga sekitar 40% setelah 60 tahun. Perubahan lainnya seperti
penurunan motilitas lambung, peningkatan pH lambung, penurunan aliran darah
hepar dan massa hepar serta penurunan fungsi enzim mikrosomal hepar yang
mempengaruhi farmakokinetik obat. Waktu pengosongan lambung yang menurun
menyebabkan perlambatan penyerapan obat dan tingginya insiden aspirasi ( Kakkar
B. 2017).
Selanjutnya pada sistem saraf, penuaan dikaitkan dengan peningkatan
ambang batas untuk hampir semua modalitas sensorik, termasuk sentuhan, sensasi
suhu, propriosepsi, pendengaran, dan penglihatan. Disfungsi otonom meningkatkan
potensi terjadinya penurunan respon fisiologis kompensasi terhadap hipotensi dan
termoregulasi, sehingga pasien usia lanjut lebih rentan mengalami shivering atau
menggigil dan hipotermia. Pasien usia lanjut lebih mudah mengalami confussion,
akibat stres karena infeksi, dehidrasi, hipotensi atau prosedur anestesi dan bedah.
Pemeliharaan cairan, terapi antibiotik profilaksis dan perawatan bedah yang baik
dapat mengurangi terjadinya hal tersebut pasca operasi ( Schlitzkus L. dkk, 2015).
Penuaan mempengaruhi sistem muskuloskeletal pasien geriatri, terdapat
kenaikan jumlah lemak tubuh, penurunan dalam massa dan kekuatan otot karena
kehilangan serat otot dan perubahan hormon pertumbuhan, atrofi pada kulit
5
clearance secara sistemik yaitu obat yang tereleminasi tidak mengalami perubahan
oleh ginjal karena perubahan pada laju filtrasi glomerulus dan fungsi tubular.
Terdapat perubahan pada laju darah ginjal dan autoregulation, yang mengarah pada
peningkatan prevalensi terjadinya gagal ginjal akut perioperatif (Alvis & Hughes
2015).
distribusi dan eleminasi obat. Di sisi lain, terjadi peningkatan kadar α-1 asam
glikoprotein sebagai protein yang mengikat obat-obatan dasar. Efek penuaan pada
farmakokinetik tergantung pada jenis obat yang digunakan. Penurunan jumlah total
air dalam tubuh menyebabkan penurunan pada kompartemen sentral dan
peningkatan konsentrasi serum setelah pemberian obat secara bolus. Di sisi lain,
peningkatan lemak tubuh menghasilkan volume yang terdistribusi lebih besar,
sehingga memperpanjang half life dan efek pada obat lipofilik seperti propofol,
benzodiazepin, opioid. Metabolisme obat dipengaruhi oleh fungsi hati atau ginjal.
Penurunan protein plasma akan menyebabkan obat yang seharusnya berikatan kuat
dengan protein seperti propofol, lidocaine dan fentanyl menjadi tidak berikatan.
Pasien geriatri lebih sensitif terhadap agen anestesi dan umumnya memerlukan
dosis yang lebih kecil untuk mendapat efek dan kondisi klinis yang sama, dan
memiliki durasi efek obat yang lebih panjang (Akhtar & Ramani, 2015)
Perubahan farmakodinamik utama adalah penurunan kebutuhan anestesi
yang ditunjukkan oleh Minimum Alveolar Concentration (MAC) yang berkurang.
Pemberian titrasi agen anestesi yang cermat membantu dalam menghindari efek
samping dan durasi berkepanjangan yang tidak terduga. Agen kerja pendek, seperti
propofol, desflurane, remifentanil, dan suksinilkolin, atau obat-obatan yang tidak
tergantung pada fungsi hepar, ginjal, atau aliran darah, seperti atracurium atau
cisatracurium mungkin lebih baik diberikan pada pasien geriatri, (Kumra V., 2008).
insiden dari trombosis vena dalam setelah tindakan total hip arthroplasty
(Schlitzkus L. dkk, 2015).
Efek hemodinamik anestesi regional dapat berhubungan dengan penurunan
kehilangan darah pada operasi pelvic dan tungkai bawah. Lebih penting lagi, pasien
dapat menjaga jalan nafas dan fungsi paru-paru (Schlitzkus L. dkk, 2015).
Geriatri dan anestesi umum berhubungan dengan hipotermi.
Mempertahankan suhu tubuh pada keadaan normotermi, merupakan hal yang
penting karena hipotermi berkaitan dengan terjadinya iskemia miokard, dan
hipoksemia pada periode awal postoperasi (Schlitzkus L. dkk, 2015).
Pada kasus anestesi umum merupakan hal yang utama untuk melakukan
titrasi dosis obat dan hal tersebut menjadi perlu diwaspadai pada pemberian obat
yang bekerja cepat (Schlitzkus L. dkk, 2015).
Penggunaan blok perifer pada geriatri menjanjikan outcome yang baik tanpa
memengaruhi keamanan jalan nafas, dan risiko efek hemodinamik mayor.
Mengingat bahwa pada geriatri terjadi perubahan anatomi, namun blok perifer tetap
menunjukkan efek yang lebih panjang (Schlitzkus L. dkk, 2015).
Manajemen fisiologis yang optimal diperlukan untuk menghasilkan hasil
operasi yang terbaik (Schlitzkus L. dkk, 2015).
Penyulit yang sering dijumpai pada pasien yang akan menjalani pembedahan adalah
adanya hipertensi dan gagal jantung kronis. Prevalensi kedua penyakit ini juga
meningkat seiring bertambahnya usia. Penilaian perioperatif yang perlu dilakukan
pada pasien dengan hipertensi yakni terapi farmakologis yang sudah digunakan,
kerusakan target organ dan status volume cairan. Data tersebut dapat diperoleh dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang serta pemeriksaan laboratorium rutin.
Penggunaan diuretika yang rutin sering menyebabkan hipokalemia dan
hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya aritmia.
Evaluasi jantung dengan EKG dan x-ray toraks sangat berperan untuk penapisan
jejas organ target. Adanya LVH dapat menyebabkan risiko iskemia miokardial
akibat ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi
ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk
memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Apabila ditemukan
ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume
plasma perlu diperhatikan (Putra I.M.A., 2014)
Saat ini belum terdapat protokol yang pasti penentuan batas maksimal
tekanan darah untuk melakukan tindakan operasi. Banyak literatur yang menulis
bahwa TDD 110 mmHg atau 115 mmHg adalah cut-off point untuk mengambil
keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi. Tekanan
darah diastolik (TDD) dijadikan tolak ukur karena peningkatan TD sistolik (TDS)
akan meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih
dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Penundaan operasi
dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga
evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. The American Heart
Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan
bahwa TDS > 180 mmHg dan/atau TDD > 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum
dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang
sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam
dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami
bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD yang berlebihan pada
periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat
tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi
11
Selain itu, pasien geriatri yang menjalani anestesi umum mengalami respon
stress yang sama saat intubasi, pembedahan dan ekstubasi dengan pasien dengan
umur yang lebih muda. Lebih pentingnya lagi, komorbiditas yang mendasari
menempatkan pasien geriatri memiliki risiko komplikasi anestesi atau medis lain
yang lebih tinggi. Tingginya faktor risiko seperti hipertensi, diabetes melitus (DM),
indufisiensi ginjal, gagal jantung kronis (CHF) dan penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK) meningkatkan kejadian iskemia miokard perioperatif hingga 31%.
Komplikasi prosedur bedah dan anestesi juga dapat terjadi karena kesalahan
dalam memanajemen pasien berisiko tinggi. Hasil operasi yang buruk cenderung
kurang diterima oleh pasien, keluarga pasien dan penyedia layanan kesehatan
karena kesalahan persepsi tentang risiko komplikasi yang rendah dari operasi mata.
Kecemasan sering terjadi pada pasien geriatri yang akan menjalani operasi mata.
Bahkan pasien dengan hipertensi yan terkontrol cukup baik di rumah, tidak jarang
mengalami hipertensi yang berat pada hari operasi. Hal serupa juga dapat terjadi
pasa pasien dengan DM, terutama pada pasien yang menggunaan insulin. Hal
tersebut merupakan tantangan bagi penyedia layanan kesehatan untuk merawat
pasien geriatri yang menjalani prosedur operasi mata dengan aman dan efisien . Hal
tersebut juga mengharuskan tenaga medis untuk memahami detail mengenai
prosedur operasi mata, dan mengenali komorbiditas yang mendasari pasien dari
perubahan fisiologis yang disebabkan oleh tekanan mental, pembedahan dan
anestesi.
pembedahan dan anestesi. Pada operasi yang dilakukan secara elektif dilakukan
evaluasi setiap hari dan sesaat sebelum dilakukan operasi (White dkk., 2012).
Pasien geriatri sebagian besar tinggal sendiri di rumah sehingga
keselamatan pasien setelah operasi harus diperhatikan. Pasien mungkin memiliki
efek residual obat penenang yang dapat meningkatkan risiko jatuh. Idealnya
keluarga pasien atau sesorang yang bertanggung jawab merawat pasien di rumah
diberikan informasi mengenai risiko yang mungkin terjadi (White dkk., 2012).
3.2 Anamnesis
Pasein datang dengan keluhan putih pada bagian tengah bola mata kiri sejak 2 tahun
yang lalu. Pasien mengeluh mata sering berair, merah dan keluar kotoran. Riwayat
mata kabur sejak 5 tahun yang lalu. Pasien mengaku pernah melakukan operasi
pengangkatan mata kanannya karena keluhan yang sama sehingga pasien saat ini
tidak bisa melihat. Saat ini pasien tidak memiliki keluhan demam, sakit kepala,
mual dan muntah. Pasien didiagnosis glaukoma dan dijadwalkan untuk dilakukan
operasi.
Riwayat alergi obat dan makanan : Pasien tidak memiliki alergi obat maupun
makanan
Riwayat pengobatan : Riwayat hipertensi diketahui oleh pasien
sejak operasi 2 bulan yang lalu di Sanglah.
Pasien tidak rutin minum obat tensi dan
lupa nama obatnya.
Riwayat penyakit sistemik : Riwayat HHD (Hypertensive Heart
Disease) dengan hipertensi stage I
terkontrol dengan mengonsumsi
17
18
• BUN 9,4 mg/dL (8-23); SC 0,51 mg/dL (0,7-1,2); SGOT 38,9 U/L
(11-33); SGPT 11.8 U/L (11-50)
4. Elektrolit (02/12/2019)
• Na 142 mmol/L (136-145); K 3,89 mmol/L (3,5- 5,0); GDS 113
mg/dL
5. Foto Thorax PA (02/12/2019)
• Cardiomegaly (CTR 61%) dengan aortoschlerosis (ASHD), Pulmo
tak tampak kelainan, Susp lymphadenopathy hilar kanan,
Spondylosis thoracolumbalis
6. EKG (02/12/2019)
a. Normal sinus rhythm, HR 70x/menit, axis normal, ST-T changes
tidak ada
➢ Durante operasi
Hemodinamik : TD 100-150/ 50-80 mmHg, Nadi 60-80x/menit, RR
14x/menit, SpO2 99-100%
Cairan masuk : Kristaloid 1000 ml
Cairan keluar : perdarahan 10 ml
Lama operasi : 1,5 jam
➢ Post Operasi
Analgetik : Fentanyl 250 mcg per 24 jam via syringe pump,
Parasetamol 500 mg tiap 6 jam PO
Perawatan : Ruangan
BAB IV
DISKUSI KASUS
22
23
adalah (1) lokasi operasi akan dilakukan di mata kiri (2) manipulasi operasi, dimana
pada kasus ini membutuhkan relaksasi lapangan operasi yang optimal (3) lama
operasi yang cukup panjang sehingga penggunaan anestesi umum lebih
dipertimbangkan.
Dalam manajemen operasi pasien ini dilakukan teknik anestesi GA-OTT.
Saat di ruang persiapan operasi, pasien diberikan pre medikasi yang bertujuan untuk
menimbulkan rasa nyaman pada pasien, dimana pemberian midazolam 1 mg untuk
menghilangkan rasa cemas, diphenhydramine 10 mg untuk sedasi agar membantu
memudahkan dan memperlancar induksi serta dapat mengurangi resiko terjadinya
aspirasi, dan dexamethasone 10 mg untuk mencegah mual dan muntah.
Setelah dilakukan pemasangan OTT, sebagai langkah awal dimulainya proses
induksi dan anestesi umum, preoksigenasi dengan fraksi oksigen 100% diberikan
pada pasien dan dilakukan pemberian analgetik fentanyl 200 mcg dibantu dengan
induksi TCI propofol menggunakan model Schnider dengan target efek 1-2
mcg/mL. Selanjutnya, sebagai pemeliharaan sedasi, pada pasien ini diberikan
fentanyl 25 mcg tiap 30 menit, TCI propofol menggunakan model Schnider dengan
target efek 1-2 mcg/mL dan oksigen serta compressed air. Induksi TCI propofol
menggunakan model Schnider direkomendasikan pada pasien usia tua karena dapat
menurunkan efek penekanan jalan nafas. Model farmakokinetik TCI propofol yang
sering digunakan yaitu model Marsh dan Schnider. Perbedaan utama dari kedua
model ini terletak pada kovarian yang dipakai. Pada model Marsh kovarian yang
dipakai hanyalah berat badan sedangkan pada model Schnider kovarian yang
dipakai adalah berat badan, lean body mass, umur dan jenis kelamin. Oleh karena
itu pada model Marsh hanya bisa mendapatkan perhitungan konsentrasi obat dalam
darah (Cp), sedangkan pada model Schnider bisa didapatkan perhitungan
konsentrasi obat dalam darah (Cp) dan effect-site (Ce). Pada pasien geriatri
biasanya terjadi kehilangan kesadaran dengan Ce yang lebih rendah daripada orang
dewasa muda. Selain itu juga lebih sensitif terhadap efek penekanan sistem respirasi
dan kardiovaskuler, yang dapat menimbulkan efek tidak baik terhadap pasien.
Penggunaan sedasi propofol dengan teknik TCI dibandingkan dengan bolus manual
dihubungkan dengan peningkatan stabilitas hemodinamik (Choi dkk., 2014). Pada
pasien ini juga dilakukan pemberian fentanyl 25 mcg tiap 30 menit.
24
26
DAFTAR PUSTAKA
Akhtar S., Ramani R., 2015, 'Geriatric Pharmacology', Anesthesiol Clin, 33(3); pp
457-69
Butterworth, J.F. dkk., 2013, Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology, edisi 5,
New York: McGraw-Hill.
Doshi, A., Cabeza, R., Berger, M., 2018. Geriatric Anesthesia: Age-Dependent
Changes in the Central and Peripheral Nervous Systems, edisi 3, Chan :
Switzerlan
Kanonidou, Z., Karystianou, G., 2007. Anesthesia for the elderly. HIPPOKRATIA
11(4): pp 175–177.
Kumra, V., 2008. Issues in geriatric anesthesia. SAARC J. Anesthesia. 1(1) ; pp 39-
49
Lu F Cai, Jiabin Liu, Nabil E., 2018. Anesthesia and Pain Management in Geriatric
Fractures
Mila TS, Susanti., 2017, ' Gambaran Kualitas Hidup Lansia di Kota Jambi'. Jurnal
Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. 17(2); pp 178-83
Owczuk, R., 2013, 'Guidelines for general anaesthesia in the elderly of the
Committee on Quality and Safety in Anaesthesia , Polish Society of
Anaesthesiology and Intensive Therapy., 45(2), pp.57–61.
White PF, White LM, Monk T, et al. 2012 'Perioperative care for the older
outpatient undergoing ambulatory surgery'. Anesth Analg ;114(6):1190-215.
29