Anda di halaman 1dari 23

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2

PERKEMBANGAN INTERVENSI KEPERAWATAN PADA KLIEN


DEWASA DENGAN GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN PADA PASIEN
PRURITUS UREMIK PADA KLIEN GAGAL GINJAL KRONIK (GGK)

Dosen Fasilitator : Dr. Tintin Sukartini, S.Kp., M.Kes

Oleh :
KELOMPOK 9 / AJ-1 / B23
Fifi Rahmawati Dewi (132011123018)
Alvia Nur Chahya (132011123025)
Aken Larasati (132011123031)
Syarifah Qurrotu A (132011123032)
Butsainah Adinda Z.O.R (132011123038)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok makalah Small
Group Discussion (SGD) yang berjudul “PerkembanganIntervensi Keperawatan
Pada Klien Dewasa Dengan Gangguan Sistem Integumen Pada Pasien Pruritus
Uremik Pada Klien Gagal Ginjak Kronik (GGK)”, sebagai tugas mata ajar
Keperawatan Medikal Bedah 2 dengan baik. Makalah ini kami ajukan untuk
memenuhi tugas dari Bapak Dr. Tintin Sukartini, S.Kp., M.Kes
Diharapkan tugas ini dapat memberikan informasi dan menambah wawasan
pengetahuan kepada kita semua tentang Perkembangan Intervensi Keperawatan
Pada Klien Dewasa Dengan Gangguan Sistem Integumen Pada Pasien Pruritus
Uremik Pada Klien Gagal Ginjak Kronik (GGK). Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehubungan dengan hal ini, kritik dan
saran dari para pembaca yang bersifat membangun tentu kami harapkan demi
sempurnanya makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan dalam penyusunan makalah ini. Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.

Surabaya, 4 Maret 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN...........................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan...............................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................3
2.1 Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik (GGK)......................................3
2.1.1 Definisi..................................................................................3
2.1.2 Etiologi..................................................................................3
2.1.3 Klasifikasi..............................................................................4
2.1.4 Patofisiologi...........................................................................5
2.1.5 Penatalaksanakan Medis........................................................5
2.1.6 Komplikasi.............................................................................6
2.2 Konsep Dasar Gangguan Integumen : Pruritus Uremik....................7
2.2.1 Definisi..................................................................................7
2.2.2 Etiologi .................................................................................8
2.2.3 Manifestasi Klini ..................................................................8
2.2.4 Indikator Penilaian Pruritus ..................................................8
2.3 Perkembangan Intervensi Keperawatan Pruritus Uremik................10
2.3.1 Terapi OAT...........................................................................10
2.3.2 Terapi Gel Lidah Buaya.......................................................14
2.3.3 Terapi Virgin Coconut Oil ...................................................14
BAB 3 PENUTUP..............................................................................................17
3.1 Kesimpulan.....................................................................................17
3.2 Saran...............................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal ginjal kronik merupakan kegagalan fungsi ginjal untuk
mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat
destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa
metabolik (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin & Sari, 2011). Klien
memerlukan terapi dialisis yang kronis untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya dan mengendalikan gejala uremia (Brunner & Suddarth, 2010). Salah
satu gejala yang ditimbulkan dari kelebihan toksin uremik dapat menyebabkan
rasa gatal atau pruritus. Pruritus uremik dapat mengganggu aktivitas, mengganggu
tidur, dan menurunkan kualitas hidup klien. (Pardede, 2010).
Dari data (IRR, 2016), di Indonesia berjumlah 52.835 klien gagal ginjal
kronik dan mengalami peningkatan pada tahun 2017 menjadi 77.892 klien.
Sedangkan jumlah klien gagal ginjal kronik di Jawa Timur pada tahun 2016
berjumlah 1.822 klien dan mengalami peningkatan pada tahun 2017 menjadi
4.828 klien (IRR, 2017). Pada tahun 2017 klien aktif terus meningkat tajam, hal
ini menunjukkan lebih banyak klien yang menjalani hemodialisia lebih lama
untuk mengendalikan gejala uremia dan kelangsungan hidupnya. Prutitus
merupakan keluhan pada bagian kulit yang paling sering terjadi dengan pravelensi
58% sampai 90%. (Pardede, 2010). Pada penelitian yang telah dilakukan (Astuti
& Husna, 2017) di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
melaporkan, skala pruritus berada dalam kategori pruritus sedang karena klien
belum mengetahui cara mengurangi rasa gatal dengan frekuensi 91 orang (50,6%)
dari jumlah responden yaitu 180 klien. Prevalensi berkurang karena adanya
perbaikan dari teknik dan manajemen pruritus.
Sebagian besar gambaran patologik dari gagal ginjal kronik yang dapat
dihubungkan dengan penurunan fungsi ginjal adalah peningkatan kadar ureum
dan deposit kalsium-fosfat dalam kulit yang menyebabkan pruritus pada klien.
Pada mulanya klien dengan pruritus uremik tidak menunjukkan perubahan pada

1
kulit, ekskoriasi akibat garukan dengan atau tanpa impetigo dapat terjadi secara
sekunder (Pardede, 2010). Jika perjalanan penyakit berlangsung lama, dapat
terjadi pigmentasi kulit yang diaksentuasi oleh sinar matahari. Pada kejadian
pruritus berat menimbulkan ekskoriasi linier yang khas pada kulit yang dapat
disertai perdarahan dan infeksi, yang diperberat dengan gangguan fungsi
pembekuan dan fungsi imunologis yang terjadi pada uremia (Pardede, 2010).
Berdasarkan uraian diatas, kondisi tersebut sangat menganggu kenyamanan
dan aktivitas sehari-hari klien. Maka dari itu perlu adanya perkembangan ilmu
intervensi keperawatan untuk menangani gangguan integritas kulit: pruritus
uremik pada klien gagal ginjal sehingga perawat dapat memberikan edukasi dan
perawatan kulit untuk mengurangi rasa gatal secara efektif.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut
“Bagaimana perkembangan intervensi keperawatan gangguan integritas kulit :
pruritus uremik pada klien gagal ginjal kronik?”
1.3 Tujuan Penulisan
Menjelaskan perkembangan intervensi keperawatan gangguan integritas
kulit : pruritus uremik pada klien gagal ginjal kronik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik (GGK)


2.1.1 Definisi
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah kemunduran fungsi ginjal yang progresif
dan irreversible dimana terjadi kegagalan pada kemampuan tubuh untuk
mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit yang
mengakibatkan uremia atau azotemia. (Brunner & Suddarth, 2010).
Gagal ginjal kronik merupakan suatu sistem sindrom kronis yang
disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif
dan cukup lanjut. (Wijaya & Putri, 2013).
GGK merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang berlangsung
perlahan-lahan karena penyebab yang berlangsung lama dan menetap serta
mengakibatkan penumpukkan sisa metabolik (toksik uremik) sehingga ginjal tidak
dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala sakit. (Mubarak,
Chayatin, & Susanto, 2015).
2.1.2 Etiologi
1. Gangguan pembuluh darah ginjal: Berbagai jenis lesi vaskuler dapat
menyebabkan iskemik ginjal dan kematian jaringan ginjal. Lesi yang paling
sering adalah atreosklerosis pada arteri renalis yang besar, dengan konstriksi
skleratik progresif pada pembuluh darah. Hiperplasia fibromuskular pada
satu atau lebih arteri besar yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh
darah. Nefrosklerosis yaitu suatu kondisi yang disebabkan oleh hipertensi
lama yang tidak terobati, dikarakteristikkan oleh penebalan hilangnya
elastisitas sistem, perubahan darah ginjal mengakibatkan penurunan aliran
darah dan akhirnya gagal ginjal.
2. Gangguan imunologis, seperti: glumerulonefritis dan SLE.
3. Infeksi: dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri terutama E.Coli yang
berasal dari kontaminasi tinja pada traktus uranirus bakteri. Bakteri ini
mencapai ginjal melalui aliran darah.

3
4. Gangguan metabolik, seperti: diabetes milettus yang menyebabkan
mobilisasi lemak meningat sehingga terjadi penebalan membran kapiler dan
ginjal berlanjut dengan disfungsi endotel sehingga terjadi nefropati
amyloidosis yang disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia abnormal
pada dinding pembuluh darah secara serius yang merusak membran
glomerulus.
5. Gangguan tubulus primer seperti: terjadinya nefrotoksis akibat analgesik
atau logam berat.
6. Obstruksi traktus urinarius seperti: adanya batu ginjal, hipertrofi prostat, dan
kontraksi uretra.
Kelainan konginetal atau herediter seperti: penyakit polikistrik yang
merupakan kondisi keturunan oleh terjadinya kista atau kantong yang berisi cairan
didalam ginjal oleh organ lain, serta tidak adanya jaringan, ginjal bersifat
konginetal (hypoplasia renalis) serta adanya asidosis. Etiologi preeklampsia berat
sampai saat ini belum diketahui secara pasti. (Wijaya & Putri, 2013).
2.1.3 Klasifikasi
Menurut Wijaya & Putri (2013), gagal ginjal kronik dibagi menjadi 5 stadium
dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerular) meliputi:
1. Stadium 1: kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan
LFG yang masih normal (> 90 ml / menit / 1,73 m 2). Penurunan cadangan
ginjal, ditandai dengan kehilangan fungsi nefron 40-75%. Klien tidak
memiliki gejala khusus, karena sisa nefron yang ada dapat membawa fungsi-
fungsi normal dari ginjal.
2. Stadium 2 (insufisiensi): kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan
LFG antara 60-80 mL / menit / 1,73 m 2. Kehilangan fungsi ginjal 75-90 %
pada tingkat ini terjadi kreatinin serum dan nitrogen urea darah, ginjal
kehilangan kemampuannya untuk mengembangkan urin pekat atau azotemia.
Klien melaporkan poliuria dan nokturia.
3. Stadium 3: kelainan ginjal dengan LFG antara 30 - 59 mL / menit / 1,73 m 2.
Tingkat renal dari GGK yaitu sisa nefron yang berfungsi 10 %. Pada keadaan
ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat sebagai respon terhadap

4
LFG yang mengalami penurunan sehingga terjadi ketidakseimbangan kadar
ureum nitrogen darah dan elektrolit, klien diindikasikan untuk hemodialisis.
4. Stadium 4: kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29 mL/ menit / 1,73 m2.
5. Stadium 5: kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/ menit / 1,73 m 2 atau
gagal ginjal terminal.
Cara menilai LFG dapat digunakan rumus sebagai berikut:
Clearance creatin(mL /menit ) ¿ (140−umur)× berat badan (kg)
72 ×kreatinin serum
(Pada wanita hasil yang didapat dikalikan dengan 0,85).
2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi gagal ginjal kronik adalah terjadi kegagalan ginjal pada
sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) yang diduga utuh sedangkan
yang lain rusak. Nefron yang hipertrofi serta memproduksi volume filtrasi yang
meningkat disertai reabsopsi walaupun dalam keadaan penurunan LFG atau daya
saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi ¼ dari nefron-
nefron yang rusak. Beban bahan yang harus larut menjadi lebih besar daripada
yang bisa direabsopsi dan berakibat diuresis osmotic disertai poliuri (haluaran
urine > 3 L/24 jam) dan rasa haus. (L and K, 2013). Karena jumlah nefron yang
rusak bertambah banyak, oliguria timbul disertai retensi produksi urine sisa. Titik
dimana timbulnya gejala pada klien menjadi lebih jelas dan muncul gejala khas
kegagalan ginjal dengan fungsi ginjal telah hilang 80-90%. (Wijaya & Putri,
2013),
Fungsi renal menurun, produksi akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekresikan ke dalam urin) tertimbun oleh darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan ureum maka gejala
akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis (Brunner &
Suddarth, 2010).
2.1.5 Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik menurut Ketut Suwitra (2014)
meliputi :
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)

5
3. Memperlambat perburukkan fungsi ginjal.
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular.
5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi.
6. Terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi ginjal.
Tabel 1. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai Dengan Derajatnya
Derajat LFG (ml/mnt/1,73m2) Rencana Tatalaksana
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid, evaluasi perburukkan
fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskular.
2 60-89 Menghambat perburukkan fungsi
ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan terapi pengganti ginjal
5 < 15 Terapi pengganti ginjal
Sumber : Ketut Suwitra (2014)
Tabel 2. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat Pada Penyakit Ginjal Kronik
LFG Asupan Protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari
(ml/mnt/1,73m2)
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≤10 g
≥0,35gr/kg/hr nilai biologi tinggi
25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≤10 g
≥0,35gr/kg/hr nilai biologi tinggi
atau tambahan 0,3 g asam amino
essensial atau asam keton
<60 (Sindrom 0,8/kg/hr (+ 1 g protein/g ≤9g
nefrotik) proteinuria atau 0,3 g/kg
tambahan asam amino essensial
atau asam keton
Sumber : Ketut Suwitra (2014)
2.1.6 Komplikasi
Komplikasi gagal ginjal kronik yang dapat terjadi yaitu:
1. Hipertensi
Pada saat penyusutan progresif nefron, terjadi pembentukan jaringan parut
dan aliran darah ginjal yang menjadi berkurang. Pelepasan renin akan
meningkat bersama dengan kelebihan cairan sehingga menyebabkan
hipertensi.
2. Hiperkalemia

6
Hiperkalemia merupakan kompikasi yang paling serius, karena bila K +
serum mencapai 7 mEq/L dapat mengakibatkan aritmia dan juga henti
jantung.
3. Anemia
Anemia pada klien GGK merupakan komplikasi yang diakibatkan oleh
penurunan sekresi eritropoetin oleh ginjal.
4. Asidosis
Asidosis merupakan komplikasi akibat penumpukan asam dalam cairan
tubuh. Asidosis pada ginjal biasanya tidak dapat diobati kecuali HCO3
turun.
5. Hiperurisemia
Hiperurisemia adalah tingkat asam urat dalam darah yang terlalu tinggi.
6. Dehidrasi
Hilangnya fungsi ginjal menyebabkan retensi natrium akibat hilangnya
nefron. Ginjal tetap mempertahankan filtrasi namun kehilangan fungus
tubulus sehingga mengeskresikan urine yang sangat encer dan menyebabkan
dehidrasi.
7. Penyakit jantung
Perikarditis dapat terjadi jika kadar ureum dan fosfat meningkat. Kelebihan
cairan dan hipertensi dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri atau
kardiomiopati dilatasi. (Rizki, 2017)
2.2 Konsep Gangguan Integumen: Pruritus Uremik
2.2.1 Definisi
Pruritus adalah sensasi kulit yang iritatif dan menimbulkan rangsangan
untuk menggaruk. Pruritus merupakan gejala dari berbagai penyakit kulit dengan
atau tanpa disertai kelainan pada kulit. Pruritus pada penyakit ginjal sering disebut
dengan pruritus uremik, hal ini disebabkan karena ginjal gagal mengekskresikan
zat – zat toksin didalam darah sehingga dapat timbul uremia. (Pardede, 2010).
Pruritus Uremik merupakan perubahan respon kulit yang muncul karena
manifestasi klinis dari Gagal Ginjal Kronik (GGK) yang disebabkan oleh berbagai
faktor akibat penurunan fungsi ginjal dan penimbunan sisa metabolisme protein
(Pardede, 2010).

7
2.2.2 Etiologi
Pruritus uremik merupakan pruritus kronik (lebih dari 6 minggu) yang sangat
mengganggu dan persisten akibat komplikasi penyakit GGK pada klien
hemodialisis dengan prevalensi antara 20-70%. Pruritus uremik pada klien GGK
dapat terjadi secara menyeluruh dibagian tubuh (generalisata) atau hanya di lokasi
tertentu saja. Pruritus yang terlokalisasi umumnya dibagian lengan dan punggung.
(Susel et al, 2014).
2.2.3 Manifestasi klinis
Berdasarkan penelitian (Susel et al, 2014) kriteria pruritus ditetapkan sebagai
berikut:
1. Pruritus yang muncul karena penurunan fungsi ginjal yang signifikan tanpa
adanya bukti penyakit lain yang bisa menjadi alasan sebagai penyebab
pruritus.
2. Minimal 3 episode gatal selama 2 minggu atau kurang, gatal terjadi
beberapa kali sehari yang berlangsung selama lebih dari 5 menit dan
mengganggu.
3. Gatal intermiten selama 6 bulan atau lebih dengan pola teratur,
tetapi dengan frekuensi yang lebih rendah daripada di poin sebelumnya.
Diagnosis pada pruritus dapat dilakukan dengan anamnesis. Hal-hal yang
ditanyakan pada anamnesis sebagai berikut:
a. Personal data: demografik data, riwayat penyakit dan pengobatan
b. Riwayat pruritus: durasi, frekuensi, dan gejala yang menyertai
c. Pengobatan antipruritus dan efeknya pada pruritus
d. Pruritus karakteristik: lokasi pruritus, simetris, episodik atau kontinyu
e. Efek pruritus pada kegiatan sehari-hari dan kebiasaan: klien diminta untuk
mengevaluasi efek pruritus pada kehidupan sehari-hari dan kondisi fisik
f. Koping pruritus: efek pruritus pada mood, perilaku, kemampuan
berkonsentrasi, perubahan nafsu makan dan keinginan seksual
g. Derajat keparahan pruritus
h. Area lokasi gatal.

8
2.2.4 Indikator Penilaian Pruritus Uremik
Metode yang digunakan merupakan metode unidimensional yaitu Numeric
Rating Scale (NRS), Visual Analog Scale (VAS), Verbal Rating Scale (VRS).
Numeric Rating Scale (NRS) merupakan metode yang dapat digunakan untuk
mengukur skala intensitas pruritus. Klien diminta untuk menetapkan nilai numerik
yang mewakili intensitas gejala mereka pada skala dari 0 sampai 10, dengan skala
0 yaitu: tidak memiliki gejala dan skala 10 memiliki gejala terburuk yang
dibayangkan oleh klien. NRS 0 = tidak memiliki gejala, 1 – 3 = ringan, 4 – 6 =
sedang, 7 – 10 = berat (Phan et al, 2012).
Visual Analog Scale (VAS) merupakan alat grafis dengan garis horizontal
sepanjang 100-mm dengan ujung kiri ditandai sebagai "tidak ada gejala" dan
ujung kanan ditandai sebagai "gejala terburuk yang dibayangkan" (Phan et al,
2012).
Verbal Rating Scale (VRS) terdiri dari daftar kata sifat menggambarkan
setiap gejala yang berbeda, biasanya 5 tingkat untuk menilai intensitas gejala.
Interpretasi VRS yaitu 0 = tidak pruritus, 1 = pruritus ringan, 2 = pruritus sedang,
3 = pruritus berat, 4= pruritus sangat berat (Phan et al, 2012).

Skala Peringkat Numerik

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak gatal Sangat Gatal

(a)

Skala Analog Visual

Tidak ada gejala Sangat mengganggu

(b)

Skala Penilaian Verbal


Sangat
0= Tidak 1= ringan 2= sedang 3= parah 4=
parah

9
(c)

Gambar 2. Instrumen Penilaian Derajat Pruritus. (a) Numeric Rating Scale. (b)
Visual Analog Scale. (c) Verbal Rating Scale (Phan et al, 2012).

2.3 Perkembangan Intervesi Keperawatan Pruritus Uremik


2.3.1 Teraupetik OAT
1. Perkembangan Penemuan OAT
Toruan Elizabeth (2019), memaparkan hasil data yang
berhubungan dengan deskripsi nilai sensasi gatal sebelum dilakukan
intervensi pada pasien GGK dengan hemodialisa yang mengalami pruritus
ditunjukkan bahwa sensasi gatal sebelum intervensi berada dalam kategori
ringan sebanyak 8 (20,0 %) responden, kategori berat sebanyak 32 (80,0
%) responden. Jadi sensasi gatal pasien hemodialisa yang mengalami
pruritus sebelum dilakukan intervensi pemberian lotion oat pada penelitian
ini mayoritas berada dalam kategori sensasi gatal berat. Penyebab dari
pruritus bersifat multifaktorial sehingga ada banyak faktor yang dapat
mempengaruhi sensasi gatal yang dirasakan oleh pasien hemodialisa.
Beberapa faktor yang mempengaruhi sensasi gatal pasien hemodialisa
yang mengalami pruritus uremik antara lain faktor demografik,
pengobatan, nilai laboratorium, dll (Malekmakan, et al., 2013).
Walaupun patofisiologi dari pruritus uremik secara komplit tidak
dapat dipahami namun terdapat beberapa faktor yang terkait dengan
perkembangan pruritus uremik. Faktor pencetus pruritus uremik
diantaranya peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN), kalsium, fosfor, dan
β2–mikroglobulin (Ozen, Cinar, Askin, & Mut, 2018). Faktor lain yang
juga berkontribusi dalam pruritus uremik adalah kelebihan magnesium
serum dan vitamin A, peningkatan aluminium, anemia, kekurangan
eritropoietin, tingkat ferritin yang tinggi, rendahnya transferrin dan
albumin, hiperparatiroidisme sekunder, peningkatan kalsium, fosfat, dan
magnesium, serta peningkatan substansi-substansi yang dilepas oleh sel
mast seperti histamin, interleukin-2, protease, dll (Prasad, Kaviarasan,
Nethra, & Kannambal, 2015).

10
Terdapat beberapa terapi yang digunakan untuk mengatasi pruritus
uremik, salah satu diantaranya yaitu dengan penggunaan pengobatan
topikal (Misery & Stander, 2010). Perawat dapat mengimplementasikan
penggunaan topikal sebagai terapi non farmakologi dalam memberikan
asuhan keperawatan untuk membantu meringankan sensasi gatal yang
dikeluhkan oleh pasien hemodialisa.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Toruan Elizabeth
(2019) bahwa data pendukung yang didapatkan dari hasil pengisian
kuesioner dimana mayoritas responden (80,0 %) berada pada kategori
sensasi gatal berat, sementara responden dengan sensasi gatal ringan hanya
sebesar 20,0 %. Peranan lotion oat bagi pasien hemodialisa yang
mengalami pruritus sangat penting, artinya pemakaian lotion oat yang
dilakukan secara teratur dapat menghidrasi kulit dan meringankan sensasi
gatal yang dirasakan pasien hemodialisa.
Data yang dikemukakan oleh Toruan Elizabeth (2019)
berhubungan dengan deskripsi nilai sensasi gatal setelah dilakukan
intervensi pada pasien hemodialisa yang mengalami pruritus ditunjukkan
bahwa nilai sensasi gatal setelah intervensi pemberian lotion oat dengan
kategori sensasi gatal ringan terdapat 34 (85,0 %) responden dan kategori
sensasi gatal berat terdapat 6 (15,0 %) responden. Setelah diberikan
intervensi pemberian lotion oat jumlah responden pada kategori gatal berat
berkurang dan meningkat pada kategori gatal ringan. Hasil analisis Mann
Whitney U Test didapati p value = 0,000 (p< 0,05) sehingga dapat
disimpulkan adanya perbedaan nilai sensasi gatal sebelum dan sesudah
dilakukan intervensi pemberian lotion oat antara kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol, artinya tindakan atau intervensi yang dilakukan
mempunyai pengaruh pada peningkatan sensasi gatal responden.
Toruan Elizabeth (2019) memaparkan hasil setelah pasien
diberikan intervensi berupa pemakaian lotion oat yang dioleskan setiap
hari dengan frekuensi 2 kali/hari selama 2 minggu mayoritas responden
mengalami penurunan skor ketika dinilai menggunakan kuesioner 5D-IS,
artinya mayoritas responden mengalami penurunan sensasi gatal setelah

11
pemberian intervensi. Selama periode intervensi pemberian lotion oat
responden tidak ada melaporkan adanya keluhan ataupun efek samping
yang dirasakan. Hasil penelitiannya sejalan dengan pernyataan Nakhaee, et
al. (2015) yang melaporkan dalam hasil penelitiannya bahwa lotion Avena
sativa atau oat terbukti dapat mengurangi tiga dimensi pruritus meliputi
intensitas (p=0,01), komplikasi (p=0,008), dan pernyataan verbal pruritus
(p=0,006).
Walaupun mayoritas responden mengalami penuruan skor sensasi
gatal namun peneliti juga menemukan responden yang tidak mengalami
perubahan skor bahkan ada yang mengalami peningkatan skor sensasi
gatal. Hal ini mengingat penyebab dari pruritus uremik yang multifaktorial
dan ada banyak faktor yang dapat mempengaruhinya. Kulit kering
merupakan faktor penting yang berkontribusi dalam pruritus. Penelitian
lain menyatakan bahwa terdapat peningkatan jumlah pasien yang
mengalami pruritus uremik pada pasien HD dengan kulit kering
dibandingkan pasien HD dengan kulit tidak kering. Pasien HD yang
mengalami pruritus uremik memiliki kadar air yang lebih rendah pada
stratum korneum dibandingkan dengan yang tidak mengalami pruritus
uremik. (Masmoudi, A., Darouiche, M. H., Salah, H. B, Hmida, M. B., &
Turki, H., 2014).
Toruan Elizabeth (2019) mendapatkan hasil post test, responden
mengungkapkan bahwa mereka juga mengalami kulit kering yang
dianggap akibat dari pembatasan asupan cairan. Kondisi tersebut
menyebabkan atrofi kelenjar keringat dan dehidrasi lapisan stratum
korneum yang berperan sebagai faktor pendamping terjadinya pruritus
uremik dan merupakan salah satu faktor kausatif potensial untuk terjadinya
pruritus uremik (Ozen, Cinar, Askin, & Muk, 2018). Hal tersebut juga
dinyatakan dalam penelitian lain yaitu bahwa status hidrasi stratum
korneum yang lebih rendah pada pasien dengan pruritus uremik dan kering
meningkatkan sensasi gatal dengan menurunkan ambang batas untuk
pruritus (Shrestha & Mathur, 2014).

12
Selain kondisi kulit kering, pola diet responden penelitian juga
dinilai memiliki kontribusi terhadap sensasi gatal yang dialami responden.
Perubahan pola diet yaitu jenis makanan dari tidak vegetarian menjadi
vegetarian terbukti dapat memperbaiki kondisi pruritus uremiknya.
Tingkat high sensitivity C-reactive protein (hs-CRP) dan interleukin-2
dalam darah mereka menurun setelah diet berubah dan begitu juga dengan
skor keparahan dari pruritus uremik (Tseng, et al., 2018).
Tingkat aktivitas juga dinilai berkontribusi terhadap sensasi gatal
yang dialami oleh pasien HD. Shrestha & Mathur (2014) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa pruritus tidak dipengaruhi oleh istirahat,
beraktivitas, dingin, dan dialisis namun eksaserbasi pruritus oleh tidur,
kulit kering, dan juga suhu yang panas. Hasil penelitian telah
menggambarkan pemberian lotion oat pada pasien hemodialisa yang
mengalami pruritus menunjukkan pengaruh yang positif yaitu menurunkan
sensasi gatal yang dirasakan dan juga responden merasakan kulit menjadi
lebih lembab. (Toruan Elizabeth,2019)
2. Definisi OAT
Herbal sebagai sub bagian dari tanaman botani yaitu tanaman yang
dianggap memiliki nilai karena sifatnya yang memiliki efek mengobati
atau bersifat terapeutik. Sediaan obat herbal dapat dibuat dalam beragam
bentuk, salah satunya adalah dalam bentuk ekstrak. Oatmeal koloid adalah
salah satu dari beberapa produk alami yang diakui oleh Food and Drug
Administration sebagai perawatan kulit yang dijual bebasdan aman. Saat
ini ekstrak oatmeal koloid dapat ditemukan dalam krim, lotion, emolien,
sampo, sabun batang, sabun mandi, perawatan mandi, dan gel cukur
(Cerio, et al., 2010).
3. Sifat Klinis OAT
Karena kandungannya yang beragam maka oatmeal koloid
menunjukkan banyak fungsi dan sifat dermatologis yang menguntungkan.
Oat menghasilkan efek kardioprotektif termasuk menghambat
aterosklerosis dan hipertensi, dan dapat berfungsi sebagai pembersih,
pelembab, dan pelindung kulit. Oat juga menunjukkan sifat anti-inflamasi,

13
antipruritic, antioksidan, antijamur, dan sifat buffer/ penyangga saat
dioleskan ke kulit (Makdisi, et al., 2014).
4. Fungsi OAT
Eczema yang juga dikenal sebagai dermatitis atopik ditandai
dengan kulit yang gatal dan meradang yang sudah kronis dan dapat
diperberat dari waktu ke waktu. Preparat topikal oat yang berbentuk koloid
merupakan salah satu pengobatan herbal untuk mengatasi masalah kulit
seperti atopic dermatitis. Pengaplikasian oat pada klinis dapat dilakukan
pada masalah-masalah berikut (Makdisi, et al., 2014):
a. Dermatitis atopik
b. Dermatitis kontak
c. Penyembuhan luka
d. Terbakar sinar matahari
e. Erupsi
2.3.2 Gel Lidah Buaya
Gel lidah buaya dapat menurunkan keluhan pruritus karena gel
lidah buaya dapat melembabkan kulit karena kandungan air yang tinggi
dalam lidah buaya berdasarkan penelitian Ramadhia tahun 2012
kandungan air dalam lidah buaya yaitu 94,83 %.
Menurut Rajeswari sifat lidah buaya menenangkan dan
menyejukkan kulit yang meradang, nyeri kebas karena inflamasi dan
mencegah timbulnya rasa gatal. Gel lidah buaya dapat menurunkan
keluhan pruritus diduga karena lidah buaya mengandung glikoprotein
dengan sifat anti alergi, yang disebut alprogen. Menurut Ro Alprogen
menghalangi arus masuk kalsium ke sel mast, dengan demikian
menghambat antigen antibodi dalam pelepasan histamin dan leukotriene
dari sel mast.
Alprogen juga muncul untuk menghambat beberapa sinyal serta
masuknya ion kalsium blok, dan protein kinase C dan fosfolipase D serta
menghambat pembentukan 1,2 diasilgliserol massa dan fosfolipase
kegiatan selama aktivasi sel mast. Penelitian Keithi- Reddy menyatakan
pruritus disebabkan lepasnya histamin dari sel mast hal ini didukung oleh

14
penelitian tentang fototerapi ultraviolet-B yang dapat menurunkan jumlah
sel mast dan memperbaiki pruritus secara bermakna.
2.3.4 Virgin Coconut Oil
1. Definisi Virgin Coconut Oil
Virgin coconut oil (VCO) adalah minyak yang dibuat dari buah
kelapa segar yang diproses secara mekanik atau alamiah dengan atau tanpa
pemanasan dan tanpa penambahan bahan kimia dan zat aditif lainnya
(Kabara, 2010).
VCO dalam bentuk minyak kelapa murni, berwarna putih/jernih
seperti air, dan mengandung vitamin E alamiah dan tidak mengalami
proses hidrolisa atau oksidasi sebagaimana dibuktikan dengan nilai FFA
dan bilangan peroksida yang rendah. VCO adalah minyak yang dapat
dikonsumsi langsung tanpa mengalami proses selanjutnya. Umumnya
mutu VCO yang baik diproduksi dengan temperatur yang rendah (600C)
dan tergantung pada cara atau metode yang digunakan. Metode apapun
yang dipakai kadar air dari minyak yang dihasilkan adalah 0,1% atau lebih
kecil, sebaliknya lebih dari itu minyak akan menjadi tengik. Salah satu
indikator perbedaan antara minyak kelapa dengan VCO adalah bau dan
rasa. Dalam VCO aroma dan bau khas kelapa tidak berubah, sedangkan
minyak kelapa dari kopra yang sudah mengalami pemurnian tidak seperti
itu atau akan mengalami perubahan (Kabara, 2010).
VCO mengandung asam lemak jenuh ± 92%. Asam lemak tak
jenuh di dalam VCO merupakan asam lemak golongan rantai sedang
(MCFA) yaitu asam lemak dengan jumlah rantai atom karbon C1-C12,
golongan asam lemak ini memiliki keunggulan dibanding dengan asam
lemak lain diantaranya tidak dapat disintesis menjadi kolesterol, tidak
ditimbun dalam tubuh, mudah dicerna dan dibakar dalam proses
metabolisme serta lebih mudah dilarutkan. Virgin coconut oil mengandung
medium chain fatty acid (MCFA), mudah diserap langsung ke hati dan
sebagian besar dioksidasi seperti halnya karbohidrat. Jadi VCO
menyediakan energi instan dan terutama sangat cocok pada aktivitas
endurance (Kabara,2010). VCO memiliki kandungan triasilgliserol rantai

15
sedang (medium chain triacyglyserol/MCT0) khususnya yang mempunyai
koefisien digestibility maksimum sehingga komponen ini lebih cepat
dicerna daripada lemak jenis lain. Sifat ini disebabkan MCT mempunyai
ukuran lebih kecil daripada long chain triaciglyserol (LCT) yang dapat
memfasilitasi aksi lipase pankreas sehingga akan terhidrolisis lebih cepat
dan lebih sempurna dari lemak-lemak lainnya (Fatimah dan Rindengan,
2011).

2. Manfaat virgin coconut oil


Penelitian (Handayani 2010) menyampaikan salah satu bahan
topikal yang telah lama dimanfaatkan untuk perawatan kulit adalah
minyak kelapa murni atau virgin coconut oil yang bermanfaat sebagai
pelembab untuk mencegah kulit kering namun tidak membuat kulit basah,
memberikan maanfaat nutrisi, antioksidan dan antibacterial untuk kulit.
. Berdasarkan uji klinis yang dilakukan Erna Melastuti, dkk, (2013)
pada pasien pruritus yang menjalani hemodialisa metode penelitian ini
adalah Quasi Experimental kelompok kontrol non-setara dengan intervensi
pemberian VCO (Virgin Coconut Oil). Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui penurunan pruritus pada pasien dengan penyakit ginjal kronis
yang menjalani hemodialisis sebelum dan sesudah intervensi pemberian
VCO (Virgin Coconut Oil) padaa pasien Ginjal Kronis yang menjalani
hemodialisa dan memiliki komplikasi pruritus. VCO diberikan dengan
cara menggosok secara merata pada permukaan kulit yang mengalami
pruritus sebanyak 3 kali setiap 5 menit. Pemberian VCO dilakukan
untuk mengurangi pruritus efektif dilakukan 3-4 minggu, peneliti
mengambil 3 minggu untuk mempelajari dan melaksanakan pemberian
VCO pada kelompok perlakuan dalam seminggu 3 kali, setiap Senin,
Rabu, dan Jumat. Itu kelompok pembanding diberikan lotion 3 kali dalam
seminggu, setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu. Pengukuran skala pruritus,
dilakukan sehari sebelum diberikan VCO dan lotion kemudian dilakukan

16
pre-test dan sehari setelah diberi VCO dan lotion melakukan post-test pada
kelompok eksperimen.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pruritus adalah sensasi kulit yang iritatif dan menimbulkan
rangsangan untuk menggaruk. Pruritus merupakan gejala dari berbagai
penyakit kulit dengan atau tanpa disertai kelainan pada kulit. Pruritus pada
penyakit ginjal sering disebut dengan pruritus uremik, hal ini disebabkan
karena ginjal gagal mengekskresikan zat – zat toksin didalam darah
sehingga dapat timbul uremia. (Pardede, 2010).
Perkembangan intervesi keperawatan pruritus uremik sudah mulai
berkembang baik itu media ataupun konvensional. Teraupetik OAT adalah
salah satu terapi menggunakan OAT yang mana beberapa produk alami
yang diakui oleh Food and Drug Administration sebagai perawatan kulit
yang dijual bebas dan aman. Saat ini ekstrak oatmeal koloid dapat
ditemukan dalam krim, lotion, emolien, sampo, sabun batang, sabun
mandi, perawatan mandi, dan gel cukur (Cerio, et al., 2010). Gel lidah
buaya dapat menurunkan keluhan pruritus karena gel lidah buaya dapat
melembabkan kulit karena kandungan air yang tinggi dalam lidah buaya
berdasarkan penelitian Ramadhia tahun 2012 kandungan air dalam lidah
buaya yaitu 94,83 %. Virgin coconut oil adalah minyak kelapa yang
dihasilkan dari daging buah kelapa (cocos nucifera L) segar dan matang

17
dengan cara mekanis atau alamiah dengan atau tanpa pemanasan, yang
tidak mengakibatkan perubahan pada minyak. Penelitian (Handayani
2010) menyampaikan salah satu bahan topikal yang telah lama
dimanfaatkan untuk perawatan kulit adalah minyak kelapa murni atau
virgin coconut oil yang bermanfaat sebagai pelembab untuk mencegah
kulit kering namun tidak membuat kulit basah, memberikan maanfaat
nutrisi, antioksidan dan antibacterial untuk kulit.

3.2 Saran
Penulis berkeinginan agar makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan dapat
menambah pengetahuan tentang monitoring hemidinamik dan dapat
diaplikasikan dengan baik.

18
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, R., & Husna, C. (2018). Skala Pruritus pada Pasien Gagal Ginjal Kronik.
Pruritic Scale in Patients with Chronic Renal Failure, 1-6. Retrieved
Agustus 31, 2019, from http://jim.unsyiah.ac.id/FKep/article/view/4726
Brunner & Suddarth. (2010). Medical Surgical Nursing, (12 th ed.) Lippincott
Williams & Wilkins: New York
Indonesia Renal Registry. (2016). 9th Report Of Indonesian Renal Registry.
Retrieved September 15, 2019, from:
https://www.indonesianrenalregistry.org/data/INDONESIAN%20RENAL
%20REGISTRY%202016.com
Mubarak, W. I., Chayatin, N., & Susanto, J. (2015). Standar Asuhan
Keperawatan dan Prosedur dalam Praktik Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Muttaqin, A & Sari, K. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Pardede, S. O. (2010). Pruritus Uremik. Volume 11 (5) : 348-354. Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia- RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta:
Sari Pediatri. Retrieved Agustus 31 2019 from
https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/view/566/502
Phan, N. Q., Blome, C., Fritz, F., Gerss, J., Reich, A., Ebata, T, et al. (2012).
Assessment of Pruritus Intensity: Prospective Study on Validity and
Reliability of the Visual Analogue Scale, Numerical Rating Scale and
Verbal Rating Scale in 471 Patients with Chronic Pruritus. Acta Derm
Venereol. Retrieved Oktober 16, 2019, from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22170091
Rizki, G. (2017) Hubungan antara Kesejahteraan Psikologis dengan
Kebersyukuran pada Pasien Ginjal Kronik yang Menjalani hemodialisa di
Rumah Sakit Islam Fatimah Cilacap. Purwokerto:Universitas
Muhammadiyah Purwokerto. Retrieved September 13, 2019, from:

19
http://repository.ump.ac.id/3888/1/COVER_RIZKY%20GALUH
%20TIARA%20M_PSIKOLOGI%2717.pdf
Suseł, J., Batycka-Baran, A., Reich, A., & Szepietowski, J. C. (2014). Uremic
Pruritus Markedly Affects the Quality of Life and Depressive Symptoms in
Haemodialysis Patients with End-Stage Renal Disease. Acta Derm
Venereol. Retrieved Oktober 23, 2019, from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24217858
Suwitra Ketut. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Sehati S, Alwi I, Sudoyo AW,
dkk, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Jakarta Pusat
: Interna Publishing : 2014 ; 2159-2165.
Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah 1
(Keperawatan dewasa). Yogyakarta: Nuha Medika.

20

Anda mungkin juga menyukai