Anda di halaman 1dari 21

Referat

INKOTINENSIA URINE PADA POST PARTUM

Oleh :
Melenia Rhoma Dona YS, S.Ked
712021060

Pembimbing Klinik:
dr. Asmar Dwi Agustine, Sp.OG

SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT

Judul:
Inkontinensia Urine Pada Post Partum

Oleh:
Melenia Rhoma Dona YS, S.Ked
712021060

Telah dilaksanakan pada bulan Juni 2022 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di SMF/Departemen Obstetri dan
Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang.

Palembang, Juni 2022


Dokter Pendidik Klinik

dr. Asmar Dwi Agustine, Sp.OG

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Inkontinensia Urine Pada Post Partum” sebagai syarat mengikuti
kepaniteraan klinik senior (KKS) di Departemen Obstetri dan Ginekologi Rumah
Sakit Umum Daerah Palembang BARI. Salawat beriring salam selalu tercurah
kepada junjungan kita, nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarga,
sahabat, dan pengikut-pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. Asmar Dwi Agustine, Sp.OG selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik
Senior di SMF/ Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang yang telah memberikan masukan,
arahan, serta bimbingan dalam penyelesaian referat ini.
2. Rekan-rekan co-assistant atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan.

Palembang, Juni 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... ii
KATA PENGANTAR................................................................................... iii
DAFTAR ISI................................................................................................. iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..................................................................... 1
1.2 Maksud dan Tujuan.............................................................. 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi..........................................................
2.2 Inkontinensia Urin Pada Post Partum................................... 4
2.2.1 Definisi .................................................................... 4
2.2.2 Epidemiologi ........................................................... 5
2.2.3 Etiologi..................................................................... 6
2.2.4 Faktor risko............................................................... 6
2.2.5 Manifestasi klinis...................................................... 7
2.2.6 Klasifikasi................................................................. 8
2.2.7 Patofisiologi.............................................................. 9
2.2.8 Pemeriksaan penunjang............................................ 9
2.2.9 Diagnosis ................................................................. 11
2.2.10 Diagnosis Banding ................................................... 12
2.2.11 Tatalaksana .............................................................. 12
2.2.12 Komplikasi................................................................ 13
2.2.13 Prognosis.................................................................. 14
BAB III KESIMPULAN............................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 16

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan sistem perkemihan merupakan salah satu gangguan yang
dialami pada wanita khususnya Ibu postpartum. Diantara gangguan sistem
perkemihan tersebut yaitu inkontinensia urine.1 Data World Health
Organization (2016) menunjukkan bahwa 200 juta penduduk mengalami
inkontinensia urine. Terdapat 13 juta penduduk Amerika Serikat menderita
inkontinensia urine dan 85% diantaranya adalah perempuan. 2 Kasus
inkontinensia urine di Indonesia sangat signifikan. Tahun 2016, diperkirakan
5,8% dari jumlah penduduk mengalami inkontinensia urine. Sebanyak 62
Ibu post partum mengalami inkontinensia urine, dan tahun 2018 terdapat 55
Ibu mengalami inkontinensia urine dengan riwayat persalinan normal atau
pervaginam.3 Peningkatan suplai darah ke ginjal dan ureter menyebabkan
terjadinya dilatasi karena adaptasi dari sel-sel glomerulus ginjal dan ureter.
Frekuensi buang air kecil (BAK) yang sering juga disebabkan karena
penekanan kandung kemih atau uterus dan saat penurunan janin kerongga
panggul. Tekanan yang sering terjadi secara berulang-ulang dapat
melemahkan otot dasar panggul sehingga terjadi inkontinensia urine. 5
Tindakan yang dapat dilakukan pada inkontinensia urine yaitu dengan
latihan otot dasar panggul (kegel exercise), pemberian obat-obatan dan
penggunaan alat mekanis yaitu tampon. Salah satu teknik yang dapat
digunakan mencegah dan mengatasi inkontinensia urine adalah kegel
exercise. kegel exercise adalah latihan untuk membantu memperkuat otot
dasar panggul.5 Latihan Kegel pada awalnya dikembangkan sebagai metode
untuk mengendalikan inkontinensia urine pada wanita setelah melahirkan.
Kegel exercise ini bertujuan untuk memperkuat otot periuretra dan
perivaginal sehingga Ibu mampu mengontrol pengeluaran kemih secara
maksimal.6 Tingginya angka kejadian inkontinensia urine menyebabkan
perlunya penanganan yang sesuai, karena jika tidak segera ditangani dapat

1
2

menyebabkan berbagai komplikasi seperti infeksi saluran kemih, uremia,


sepsis, dan ruptur spontan vesika urinaria.7

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari referat ini adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan bagi semua dokter muda agar dapat memahami teori
inkontinensia urine pada post partum
2. Diharapkan munculnya pola berpikir kritis bagi semua dokter muda
setelah dilakukan diskusi dengan dosen pembimbing klinik tentang
kasus inkotinensia urine pada post partum
3. Diharapkan bagi semua dokter muda agar dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapatkan dalam kegiatan kepaniteraan klinik senior
(KKS) terutama untuk kasus inkontinensia urine pada post partum
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 2.1 Anatomi Sistem Urinaria. 6

Sistem urinaria bagian bawah terdiri atas kandung kemih dan uretra.
Keduanya harus bekeja secara sinergis untuk dapat menjalankan fungsinya dalam
menyimpan dan mengeluarkan urine. Kandung kemih merupakan organ berongga
yang terdiri dari mukosa, otot polos detrusor, dan serosa. Pada perbatasan antara
kandung kemih dan uretra, terdapat sfingter uretra interna yang terdiri dari otot
polos. Sfingter interna selalu tertutup pada saat fase pengisian dan penyimpanan,
terbuka pada saat isi kandung kemih penuh dan saat miksi. Uretra pria dan wanita
dibedakan berdasarkan ukuran panjangnya, pada wanita panjang uretra kurang
lebih 4 cm dan pada pria kurang lebih 20 cm.6
Di sebelah distal dari uretra terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri
atas otot bergaris dari otot dasar panggul. Sfingter ini membuka pada saat miksi
sesuai dengan perintah dari korteks serebri .6
4

2.1.1 Fisiologi Berkemih

Gambar 2.2 Fisiologi Berkemih.8

Proses berkemih normal dikendalikan oleh mekanisme volunter dan


involunter. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah
kontrol mekanisme volunter. Sedangkan otot detrusor kandung kemih dan
sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom. Ketika
otot detrusor berelaksasi maka akan terjadi proses pengisian kandung kemih
sebaiiknya jika otot ini berkontraksi maka proses berkemih (pengosongan
kandung kemih) akan berlangsung. Kontraksi otot detrusor kandung kemih
disebabkan oleh aktivitas saraf parasimpatis, dimana aktivitas ini dapat
tejadi karena dipicu oleh asetilkoline. Jika tejadi perubahan-perubahan pada
mekanisme normal, maka akan menyebabkan proses berkemih terganggu.8

2.2 Inkontinensia Urine Pada Post Partum


2.2.1 Definisi
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine involunter (tidak
disadari) atau berkemih diluar kesadaran pada waktu dan tempat yang tidak
tepat serta tidak melihat jumlah maupun frekuensinya setelah persalinan.
Keadaan seperti ini dapat menyebabkan berbagai permasalahan, yaitu
masalah medik, sosial, maupun ekonomi. Masalah medik berupa iritasi dan
kerusakan kulit di sekitar kemaluan akibat urine, masalah sosial berupa
perasaan malu, mengisolasi diri dari pergaulannya, dan mengurung diri di
5

rumah. Masalah ekonomi berupa pemakaian pempers atau perlengkapan lain


guna menjaga supaya tidak selalu basah oleh urine, memerlukan biaya yang
tidak sedikit.6
Masalah berkemih yang paling sering terjadi pada Ibu post partum
adalah inkontinensia urine stress. The international continence society (ICS)
mendefinisikan inkontinensia urine stres sebagai keluhan pelepasan
involunter saat melakukan aktivitas, saat bersin dan pada waktu batuk.
Inkontinensia urine stres terjadi akibat peningkatan tekanan intra abdomen
yang tiba-tiba (misalnya, tekanan mendadak yang timbul akibat bersin atau
batuk).6

2.2.2 Epidemiologi
Data World Health Organization (2016) menunjukkan bahwa 200
juta penduduk mengalami inkontinensia urine. Terdapat 13 juta penduduk
Amerika Serikat menderita inkontinensia urine dan 85% diantaranya adalah
perempuan.2 Kasus inkontinensia urine di Indonesia sangat signifikan.
Tahun 2016, diperkirakan 5,8% dari jumlah penduduk mengalami
inkontinensia urine. Sebanyak 62 Ibu post partum mengalami inkontinensia
urine, dan tahun 2018 terdapat 55 Ibu mengalami inkontinensia urine
dengan riwayat persalinan normal atau pervaginam. Hampir 50% wanita
yang pernah melahirkan akan menderita prolaps organ genitourinaria dan
40% disertai inkontinensia urin. Diantara kondisi ini inkontinensia urine
stress merupakan salah satu yang paling tinggi prevalensinya.9
Diketahui bahwa persalinan normal dapat menyebabkan perubahan
neurologis pada dasar panggul yang menimbulkan efek langsung pada
konduksi nervus pudendus, kekuatan kontraksi jalan lahir dan tekanan
velositas penutupan uretra. Hal ini menyebabkan menetapnya angka kejadian
inkontinensia urine stress. Tiga bulan setelah persalinan pertama inkontinensia
urin stress frekuensinya dua kali lebih besar pada persalinan pervaginam
dibandingkan persalinan seksio sesaria.11
2.2.3 Etiologi
6

Penyebab utama inkontinensia urine pada post partum adalah


peregangan dan melemahnya otot dasar panggul, yang memberikan
dukungan yang cukup untuk rahim selama kehamilan. Dasar panggul adalah
lapisan otot-fasia kuat yang digunakan untuk menjaga organ-organ internal,
mempertahankan posisi normal mereka, mengontrol tekanan intra-abdomen,
serta memfasilitasi pengeluaran janin saat lahir, membentuk jalan lahir.
Peregangan otot-otot dasar panggul terjadi di bawah berat rahim dan
pertumbuhan janin dalam uterus. Berat lahir, janin besar, cedera lahir juga
menyebabkan melemahnya otot.12

2.2.4 Faktor Risiko


Setiap kelahiran dapat menyebabkan kerusakan pada otot dasar
panggul. Pada saat kepala bayi keluar dari vagina, tekanan yang terjadi pada
kandung kemih, uretra dan terlebih pada otot dasar panggul serta
penyokongnya dapat merusak struktur ini. Sobekan atau tekanan yang
berlebihan pada otot, ligamentum, jaringan penyambung dan jaringan syaraf
akan menyebabkan kelemahan yang progresif akibat kelahiran bayi. Wanita
yang melahirkan dengan forcep, ekstraksi vakum atau melahirkan bayi
dengan berat badan > 4000 gr akan mengalami risiko peningkatan
inkontinensia urin. Persalinan seperti ini memiliki tendensi terjadinya
peningkatan kerusakan saraf dasar panggul. Kelainan struktur atau fungsi
otot dasar panggul akan menyebabkan inkontinensia urine. Kebanyakan
disfungsi dasar panggul (terutama prolapsus organ panggul inkontinensia
urin dan fekal) dihubungkan dengan kerusakan dasar panggul selama
persalinan pervaginam. Pada 24 jam pertama setelah melahirkan akan terjadi
retensi urin yang disebabkan oleh edema trigonium, diphorosis dan depresi
dari sphincter uretra. Bila wanita post partum tidak dapat berkemih dalam
waktu 4 jam mungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang dower
kateter selama 24 jam. Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam
waktu 4 jam, lakukan kateterisasi dan bila jumlah residu > 200 ml maka
kemungkinan ada gangguan proses urinasinya. Maka kateter tetap terpasang
7

dan dibuka 4 jam kemudian , bila volume urine < 200 ml, kateter dibuka dan
pasien diharapkan dapat berkemih seperti biasa. Setelah retensi teratasi dan
plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen akan menurun sehingga
menyebabkan hilangnya peningkatan tekanan vena pada tingkat bawah, dan
hilangnya peningkatan volume darah akibat kehamilan, hal ini merupakan
mekanisme tubuh untuk mengatasi kelebihan cairan. Keadaan ini disebut
dengan diuresis pasca partum. Diuresis pada ibu dengan disfungsi dasar
panggul akan memudahkan terjadinya inkontinensia urin pada ibu post
partum.2

2.2.5 Manifestasi Klinis

Menurut Aspiani (2014), terdapat beberapa manifestasi klinis


inkontinensia urin berdasarkan klasifikasinya, antara lain13 :
a. Inkontinensia urge
Gejala dari inkontinensia urge adalah tingginya frekuensi berkemih
(lebih sering dari 2 jam sekali) sehingga ketidakmampuan menunda
berkemih setelah sensasi berkemih muncul, perasaan ingin berkemih
yang mendadak (urge), berkemih berulang kali (frekuensi) dan keinginan
berkemih di malam hari (nokturia)
b. Inkontinensia stress
Gejalanya yaitu keluarnya urin sewaktu batuk, mengedan, tertawa,
bersin, berlari, atau hal yang lain yang meningkatkan tekanan pada
rongga perut.
c. Inkontinensia overflow
Gejala dari inkontinensia jenis ini adalah tidak terdapat sensasi bahwa
kandung kemih sudah penuh, rasa tidak puas setelah berkemih (merasa
urin masih tersisa di dalam kandung kemih), urin yang keluar sedikit dan
pancarannya lemah.
d. Inkontinensia refleks
Orang yang mengalami inkontinensia refleks biasanya tidak menyadari
8

bahwa kandung kemihnya sudah terisi, kurangnya sensasi ingin berkemih


dan berhenti berkemih.
e. Inkontinensia fungsional
Mendesaknya keinginan berkemih sehingga urin keluar sebelum
mencapai toilet merupakan gejala dari inkontinensia urin fungsional.

2.2.6 Klasifikasi
Menurut Cameron (2013), inkontinensia urin dapat dibedakan menjadi lima,
yaitu14:
a. Inkontinensia urge
Keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak stabil, di mana otot ini
bereaksi secara berlebihan.
b. Inkontinensia stress
Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin dengan secara tidak terkontrol
keluar akibat peningkatan tekanan intra abdomen, melemahnya otot dasar
panggul, operasi dan penurunan estrogen.
c. Inkontinensia overflow
Pada keadaan ini urin mengalir keluar dengan akibat isinya yang sudah
terlalu banyak di dalam kandung kemih, pada umumnya akibat otot
detrusor kandung kemih yang lemah. Biasanya hal ini bisa dijumpai pada
gangguan saraf akibat dari penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang
belakang, dan saluran kemih yang tersumbut.
d. Inkontinensia refleks
Hal ini terjadi karena kondisi sistem saraf pusat yang terganggu, seperti
demensia. Dalam hal ini rasa ingin berkemih dan berhenti berkemih tidak
ada.
e. Inkontinensia fungsional
Dapat terjadi akibat penurunan yang berat dari fungsi fisik dan kognitif
sehingga pasien tidak dapat mencapai ke toilet pada saat yang tepat. Hal
ini terjadi pada demensia berat, gangguan neurologi, gangguan mobilitas
dan psikologi.
9

2.2.7 Patofisiologi
Inkontinensia urin disebabkan oleh gangguan fungsi penyimpanan
dan fungsi pengosongan traktus urinarius bagian bawah. Beberapa orang
mengalami gangguan pada sfingter uretra dan kandung kemih. Hal ini terjadi
pada saat partus pervaginam dimana overaktifitas dari jumlah detrusor yang
sama dapat menjadi simptomatis dengan desakan inkontinensia. Adanya
trauma saat melahirkan dapat merusak otot dasar panggul, dimana hal ini
dapat mengganggu mekanisme kontinensia dimana uretra secara anatomis
juga didukung oleh otot-otot dasar panggul. Inkontinensia urin stress 95%
disebabkan oleh persalinan pervaginam. Inkontinensia urin stress muncul
ketika tekanan intrabdomen meningkat tiba-tiba dan tekanan kandung kemih
lebih besar dari tekanan uretral. Kenaikan tekanan ini dapat disebabkan
perubahan anatomi atau karena faktor neuromuskuler sfingter. Kerusakan
otot langsung menyebabkan berkurangnya kesanggupan untuk menahan
besarnya tekanan pada bladder neck sewaktu terjadi stres fisik. Kerusakan
vaskular akibat tekanan yang besar dari kepala janin dapat berpengaruh
terhadap otot dan saraf. Keadaan ini dapat terdeteksi pada saat batuk,
tertawa, bersin, dan gerakan-gerakan lainnya yang meningkatkan tekanan
intra-abdominal. Selanjutnya tekanan pada kandung kemih meningkat
disertai keluarnya urin pada penderita.15 Stres inkontinensia urin dibagi
dalam 3 stadium:15
1. Stadium I (ringan) : aktifitas tidak terganggu
2. Stadium II (sedang) : aktifitas mulai terganggu, sering pakai pembalut urin
keluar kalau batuk atau bersin.
3. Stadium III (berat) : aktifitas terganggu, selalu memakai pembalut kalau
berjalan atau berdiri urin keluar.

2.2.8 Pemeriksaan Penunjang


Terdapat pemeriksaan penunjang pada inkontinensia urine, yaitu:14
10

a. Pemeriksaan neurologis : pemeriksaan neurologis sebaiknya dilakukan


dengan berfokus pada jalur persarafan sakralis. Pemeriksaan cara berjalan
(gait), gerakan abduksi dan dorsofleksi ibu jari kaki (S3) dan persarafan
sensoris dari labia minor (L1-L2), aspek lateral dari kaki (S1), aspek
posterior pinggul (S2) serta refleks sakro-kutaneus (refleks
bulbocavernosus dan anal).
b. Pemeriksaan ginekologi : pemeriksaan ginekologi mencakup inspeksi
regio perineum untuk melihat ada atau tidaknya kelainan anatomis dan
pemeriksaan dalam vagina untuk mengevaluasi kekuatan otot dasar
panggul.
c. Tes pad : tes pad dilakukan dengan menggunakan pad (pembalut) untuk
periode waktu tertentu. Tujuan pemeriksaan tes pad adalah untuk
menghitung volume pelepasan urin dengan menghitung penambahan
berat pembalut setelah dilakukan provokasi pelepasan urin. Tes pad
dibagi menjadi dua yaitu tes jangka pendek dan tes jangka panjang. Tes
jangka pendek dimana dilakukan 1 jam tes, apabila pembalut memiliki
peningkatan berat > 1 gram menandakan postif. Sedangkan tes jangka
panjang menggunakan pembalut untuk periode 24 jam dimana hasil
positif untuk penambahan > 4 gram
d. Tes q-tip : tes ini secara tradisional digunakan untuk memeriksa mobilitas
dari urethra – vasical junction. Tes ini meliputi penempatan kapas lidi
yang pada ujungnya diberikan lubrikasi dan dimasukkan sampai pada
bladder neck pada posisi litotomi. Perubahan axis akan diamati pada saat
pasien melakukan manuver valsalva dimana hasil positif jika pada tepi
kapas lidi yang bebas bergerak tidak dalam bidang horizontal yang
menandakan adanya hipermobilitas. Beberapa hasil analisis
mengemukakan bahwa hasil tes q-tip tidak akurat untuk mendiagnosis
stres inkontinensia urin pada wanita.
e. Tes Diagnostik Imaging
11

Diagnostik imaging meliputi USG, CT scan dan IVP yang digunakan


untuk mengidentifikasi kelainan patologi (seperti fistel/tumor) dan
kelainan anatomi.

2.2.9 Diagnosis

Menurut Setiati & Pramantara (2009), diagnosis inkontinensia urine bertujuan


untuk:8
a. Menentukan kemungkinan inkontinensia urine tersebut reversible
b. Menentukan kondisi yang memerlukan diagnostik khusus
c. Menentukan jenis penanganan inkontinensia urin yang dilakukan
lewat observasi

Hal yang penting dalam menilai Ibu post partum dengan inkontinensia

urine adalah dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap.


Pemeriksaan awal tidak selalu diagnostik, tetapi informasi yang didapat
akan menuntun klinisi dalm memilih test diagnostik yang diperlukan. Pada
umumnya keluhan penderita yaitu:8

a. Kencing keluar pada waktu batuk, tertawa, bersin dan latihan.


b. Keluarnya kencing tidak dapat ditahan.
c. Kencing keluar menetes pada keadaan kandung kencing penuh.

Pemeriksaan fisik yang lengkap meliputi pemeriksaan abdomen,


vaginal dan penilaian neurologis. Pada pemeriksaan abdomen bisa
didapatkan distensi kandung kemih, yang menunjukkan suatu inkontinensia
dan dikonfirmasi dengan kateterisasi. Inspekulo bisa tampak prolaps genital,
sistokel dan rektokel. Test sederhana dapat dikerjakan setelah pemeriksaan
fisik untuk membantu dalam menentukan tindakan selanjutnya. Test Q-tip
(the cotton swab test), merupakan test sederhana untuk menunjukan adanya
inkontinensia stress. Penderita diminta mengosongkan kandung kemihnya,
urine ditampung. Kemudian spesimen urine diambil dengan kateterisasi.
12

Jumlah urine dari kencing dan kateter merupakan volume kandung kemih.
Volume residual menguatkan diagnosis inkontinensia. Spesimen urine
dikirim ke laboratorium. Diagnostik imaging meliputi USG, CT scan dan
IVP yang digunakan untuk mengidentifikasi kelainan patologi (seperti
fistel/tumor) dan kelainan anatomi (ureter ektopik). Test tambahan yang
diperlukan untuk evaluasi diagnostik yaitu tes pad. Penderita minum 500 ml
air selama 15 menit untuk mengisi kandung kemih. Setelah ½ jam, penderita
melakukan latihan selama 45 menit dengan cara : berdiri dari duduk (10
kali), batuk (10 kali), joging di tempat (11 kali), mengambil benda dari
lantai (5 kali), dan mencuci tangan dari air mengalir selama 1 menit. Test
positif bila berat Pad sama atau lebih besar dari 1g. Test ini dapat
menunjukan adanya inkontinesia stres hanya bila tidak didapatkan kandung
kemih yang tidak stabil.8

2.2.10 Diagnosis Banding

Diagnosis banding inkontinensia urine pada post partum, yaitu:14

a. Vaginitis

Pada vaginitis, ada leukorrhea patologis, nyeri abdomen bawah, dan


pemeriksaan usap vagina menunjukkan tanda infeksi bakteri atau jamur.

b. Obstruksi Saluran Kemih

Obstruksi saluran kemih ditandai nyeri abdomen, gangguan pola miksi,


serta gejala saluran kemih bawah obstruktif atau iritatif. Gejala juga
mungkin disertai hematuria atau riwayat infeksi saluran kemih berulang,
pembesaran ginjal, dan nyeri pinggang.

2.2.11 Tatalaksana
Penatalaksanaan inkontinensia urine dapat dilakukan dengan
latihan otot dasar panggul yaitu terapi non operatif yang paling populer,
selain itu juga dipakai obat-obatan, dan pemakaian alat mekanis.13
13

1. Latihan Otot Dasar Panggul (kegel excercises)

Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik urethra dan dasar pelvis.
Fisioterapi meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar panggul membantu
penutupan urethra pada keadaan yang membutuhkan ketahanan urethra
misalnya pada waktu batuk. Juga dapat mengangkat sambungan
urethrovesikal kedalam daerah yang ditransmisi tekanan abdomen dan
berkontraksi secara reflek dengan peningkatan tekanan intra abdominal,
perubahan posisi dan pengisian kandug kemih. Pada inkompeten sfingter
uretra, terdapat hilangnya transmisi tekanan abdominal pada uretra
proksimal. Fisio terapi membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot
lurik uretra dan periuretra. Pada kandung kemih neurogrik, ini telah

menunjukan hasil yang efektif.13 Latihan kandung kemih adalah upaya


melatih kandung kemih dengan cara konservatif, sehingga secara fungsional
kandung kemih tersebut kembali normal dari keadaannya yang abnormal.13

2. Obat-obatan11

Oxybutynin dan pseudoephedrinene.

3. Alat Mekanis (‘Mechanical Devices’) 13

Tampon yaitu alat yang dapat digunakan pada inkontinensia stres terutama
bila kebocoran hanya terjadi intermitten misal pada waktu latihan.
Penggunaan terus menerus dapat menyebabkan vagina kering/luka.

2.2.12 Komplikasi

Inkontinensia urin postpartum dapat menimbulkan komplikasi pada


masa nifas. Beberapa komplikasi akibat inkontinensia urin postpartum
adalah terjadinya infeksi saluran kemih, uremia, sepsis, dan ruptur spontan
vesika urinaria. Perubahan signifikan struktur dan fungsi saluran kemih
yang terjadi selama kehamilan dan masa nifas berkonsekuensi meningkatkan
resiko infeksi saluran kemih. Sekitar 8,3 juta alasan kunjungan ke pelayanan
14

kesehatan adalah karena infeksi saluran kemih (ISK) setiap tahunnya.


Dimana wanita lebih rentan terkena ISK karena uretra yang lebih pendek
dan kedekatan anus dengan meatus uretra. Urin yang tertinggal di kandung
kemih menjadi lebih basa dan mudah menjadi tempat pertumbuhan
mikroorganisme. Kebanyakan infeksi saluran kemih postpartum disebabkan
oleh mikroorganisme gram positif seperti Escherichia coli. Menurut
Menhert-Kay mikroorganisme jenis ini merupakan patogen penyebab ISK
utama yaitu 75%-95%. Bakteriuria (bakteri di dalam urin) dari kandung
kemih mungkin naik ke ginjal karena aliran aliran urin balik vesikouretral
sewaktu berkemih, sehingga menyebabkan pielonefritis setelah beberapa
hari. Ibu postpartum beresiko tinggi mengalami hal ini, karena sensitivitas
kandung kemih akibat peregangan, trauma, dan retensi dari urin residu;
bakteri yang masuk melalui jalur pemasangan kateter, dan trauma kandung
kemih selama kelahiran bayi.10

2.2.13 Prognosis
Pengobatan tekanan urin pada inkontinesia urin tidak begitu
efektif, pengobatan yang efektif adalah dengan latihan otot (latihan kegel)
dan tindakan bedah. Perbaikan dengan terapi alfa agonis hanya sebesar
17%-74%, tetapi perbaikan dengan latihan kegel bisa mencapai 87%-88%.10
15

BAB III
KESIMPULAN

Inkontinensia urine pada post partum merupakan pengeluaran urine


involunter (tidak disadari) atau berkemih diluar kesadaran pada waktu dan
tempat yang tidak tepat serta tidak melihat jumlah maupun frekuensinya yang
dialami setelah melahirkan.
Inkontinensia urine diklasifikasikan menjadi inkontinensia urin urge,
stress, overflow, refleks dan fungsional. Masalah berkemih yang paling sering
terjadi pada Ibu post partum adalah inkontinensia urine stress. The international
continence society (ICS) mendefinisikan inkontinensia urine stres sebagai
keluhan pelepasan involunter saat melakukan aktivitas, saat bersin dan pada
waktu batuk. Inkontinensia urine stres terjadi akibat peningkatan tekanan intra
abdomen yang tiba-tiba (misalnya, tekanan mendadak yang timbul akibat bersin
atau batuk).
Pilihan tatalaksana untuk inkotinensia urine yaitu dengan latihan otot dasar
panggul (kegel excercises), obat-obatan yaitu oxybutynin dan
pseudoephedrinene serta alat mekanik yaitu tampon.
16

DAFTAR PUSTAKA

1. Ambarwati. 2010. Asuhan kebidanan nifas. Yogyakarta: Nuha Medika.


2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Data kesehatan di
Indonesia. http://www.depkes.go.id. Diakses pada tanggal Juni 2022.
3. Puskesmas Rejosari. 2017. Sasaran program kesehatan Puskesmas
Rejosari
Pekanbaru tahun 2017. Pekanbaru: Puskesmas Rejosari Pekanbaru
4. Please. 2017. Kegel exercise. Diperoleh dari
https://www.uclahealth.org/urology/workfiles/Prostate_Cancer/Kegel_Exer
cises_for_ pdf.
5. Purnomo. 2014. Dasar-dasar urologi. Malang: CV Sagung Seto
6. Stenley & Barea. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta:
EGC.
7. Setiati & Pramanta. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing
8. Sudoyo A, dkk, 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing.
9. Serati M, et al. 2008. Stress Urinary Incontinence in Women of Child
Bearing Age. European Urological Review. Touchbriefing.
10. Saadia Z. 2015. Relationship between mode of delivery and development
of urinary incontinence: A possible link is demonstrated. Int J Health Sci.
9(4): 446–452.
11. Prawirohardjo S. 2014. Ilmu kandungan. Edisi I. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka.
12. Aspiani, R.Y. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik. Jakarta:
Trans Info
13. Rocha, et al. 2017. Assessment of Urinary Incontinence in Pregnancy and
Postpartum: Observational Study. Journal Acta Med. 30(7).
17

14. Gao, et al. 2021. Risk factors of postpartum stress urinary incontinence in
primiparas. Journal Medicine.

Anda mungkin juga menyukai