Oleh:
1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI INTERNA HEWAN KECIL
yang dilaksanakan di
KLINIK HEWAN DAN RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Oleh :
Olenka Putri Windiarko, S.KH
NIM. 190130100111093
Menyetujui,
Koordinator Rotasi Pembimbing
Pembimbing Pembimbing
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... 1
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ 2
DAFTAR ISI ................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 4
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 4
1.3 Tujuan dan Manfaat ................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 5
2.1 Pengertian Colotomy dan Colectomy ...................................................... 5
2.2 Prinsip Operasi ......................................................................................... 5
2.3 Saluran Pencernaan Kucing ..................................................................... 6
2.4 Preanastesi ................................................................................................ 8
2.5 Anestesi .................................................................................................... 8
2.6 Teknik Bedah Cootomy ........................................................................... 10
2.7 Terapi Cairan ............................................................................................ 11
2.8 Proses Kesembuhan Luka ........................................................................ 12
2.9 Faktor Keberhasilan Operasi ................................................................... 13
BAB III MATERI DAN METODE ............................................................ 15
3.1 Hasil Pemeriksaan dan Diagnosa ............................................................. 15
3.2 Persiapan Operasi ..................................................................................... 17
3.3 Anastesi dan Premedikasi ........................................................................ 19
3.4 Proses Operasi .......................................................................................... 20
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 21
4.1 Obat-obat yang Digunakan ...................................................................... 21
4.2 Monitoring Hwan Selama Operasi ........................................................... 23
4.3 Perkembangan Luka ................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 24
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kucing merupakah hewan peliharaan yang banyak dimiliki oleh banyak orang.
Banyak orang memelihara hewan tersebut karena sifatnya yang lucu, ramah, dan
bahkan banyak orang menjadikannya keluarga. Hewan kesayangan perlu dipastikan
kesehatannya. Penyebab kejadian penyakit pada anjing berbagai macam, salah
satunya gangguan pada sistem pencernaannya. Banyak faktor yang mempengaruhi
kesehatan sistem pencernaan anjing. Infeksi parasit, faktor pakan, lingkungan bisa
menjadi salah satu faktor penyebab. Oleh karena itu banyak hal yang harus
diperhatikan agar sistem pencernaan anjing tetap terjaga. Penyakit yang sering
dialamim kucing adalah Megacolon.
Megacolon adalah pelebaran yang menetap pada colon atau usus besar, yang
terjadi akibat sembelit yang kronis. Baik kucing maupun anjing dapat terkena
Megacolon, tetapi Megacolon lebih sering dijumpai pada kucing.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Memperlakukan jaringan dengan lembut dilakukan untuk meminimalisir
trauma fisik yang terjadi sehingga rasa nyeri dapat berkurang.
3. Alat bedah yang tajam
Alat bedah yang digunakan untuk memotong jaringan haruslah tajam untuk
mempermudah jalannya operasi dan meminimalisir trauma karena benda
tumpul.
4. Menyedikan suplai darah ke jaringan
Vaskularisasi jaringan adalah yang penting pada saat operasi. Suplai darah
ke jaringan pada saat operasi harus diperhatikan karena jaringan
membutuhkan suplai nutrisi dan oksigen untuk dapat mencapai proses
kesembuhan
5. Hemostasis
Pendarahan pada saat operasi juga harus dicegah dan jika terjadi pendarahan
operator harus mengupayakan untuk menghentikan pendarahan tersebut.
6. Menghindari dead space
Dead space atau ruang kosong harus dihindari untuk mencegah
terbentuknya ruang kosong pada daerah sekitar luka operasi karena hal
tersebut dapat menyebabkan terjadinya penimbunan cairan dan
menghambat kesembuhan luka.
7. Menghindari Tensi
Tensi yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menghambat sesembuhan
luka. Kesembuhan luka dapat terjadi secara optimal jika aposisi luka tertaut
dengan baik tanpa adanya tensi yang dapat menyebabkan inversi dan
overlapping atau penumpukan jaringan.
2.3 Saluran Pencernaan Kucing
Organ-organ yang terlibat dalam proses pencernaan makanan terdiri atas
saluran pencernaan dan organ atau kelenjar asesorisnya. Saluran pencernaan terdiri
atas rongga mulut, esofagus, colon, usus halus dan usus besar serta anus, sedangkan
kelenjar asesoris terdiri atas sedikitnya tiga pasang kelenjar ludah, pankreas, hati,
dan kantung empedu (Pough et al., 2005). Kolon merupakan bagian dari usus besar
yang berfungsi menyerap air, vitamin dan elektrolit serta sebagi tempat
penyimpinan feses sementara sebelum proses defekasi terjadi. Kolon terbagi
6
menjadi tiga bagian yaitu colonascendent, colon transcendent dan colon
descendent. Penyerapan air dan elektrolit terutama di colon ascendant dan
transcendent sedangkan colon descendent sebagian besar merupakan tempat
penyimpanan feses sementara. Colon ascendant berjalan kea rah cranial disebelah
kanan, colon transcendent berjalan dari kanan ke kiri. Colon descendent terletak di
sebelah kiri kea rah caudal dan menjadi rectum setelah melewati rongga pelvic
(Dyce et al., 2010).
2.4 Preanestesi
Preanestesi adalah pemberian zat kimia sebelum tindakan anestesi umum
dengan tujuan utama menenangkan pasien, menghasilkan induksi anestesi yang
halus, mengurangi dosis anestetikum, mengurangi atau menghilangkan efek
samping anestetikum, dan mengurangi nyeri selama operasi maupun pasca operasi
(Simpson, 2004). Pemilihan preanastesi dipertimbangkan sesuai dengan spesies,
status fisik pasien, derajat pengendalian, jenis operasi, dan kesulitan dalam
pemberian anestetikum (Simpson, 2004).
Preanestetikum yang paling umum digunakan pada hewan adalah atropine,
acepromazin, xylazine, diazepam, midazolam, dan opioid atau narkotik. Atropine
digunakan untuk mengurangi salivasi, peristaltik dan mengurangi bradikardia
akibat anestesi. Acepromazin digunakan sebagai penenang atau tranquilizer.
Xylazine, medetomidin, diazepam, dan midazolam digunakan sebagai agen sedatif
dan merelaksasi otot.
2.5 Anestesi
Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes
(1809-1894) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani: An berarti
tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Secara harfiah berarti ketiadaan
rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu keadaan
hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian anestetikum dilakukan untuk
mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai
hilangnya kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan
dengan pembedahan. Secara umum tujuan pemberian anestetikum pada hewan
adalah mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dengan meminimalkan
kerusakan organ tubuh sehingga hewan menjadi tenang, dengan demikian tindakan
7
diagnostik, terapeutik, atau pembedahan dapat dilaksanakan lebih aman dan lancar.
Semua tujuan anestesi dapat dicapai dengan pemberian obat anestetikum secara
tunggal maupun dalam bentuk balanced anesthesia, yaitu mengkombinasikan
beberapa agen anestetikum maupun dengan agen preanestetikum (Simpson, 2004).
Alasan lain penggunaan anestesi pada hewan adalah untuk melakukan pengendalian
hewan (restraint), keperluan penelitian biomedis, pengamanan pemindahan
(transportasi) hewan liar, pemotongan hewan yang humanis, dan untuk melakukan
ruda paksa (euthanasia).
Zat anastetik menghambat sistem saraf pusat secara bertahap. Trevor dan
Miller dalam Katzung (2004) membagi stadium anasthesi menjadi 4 stadium dan
stadium ketiga dibedakan lagi menjadi 4 tingkat. Stadium tersebut yaitu:
1. Stadium I (Analgesic)
Stadium ini dimuali ketika anastesi diinjeksikan hingga hilangnya
kesadaran. Stadium ini disebut stadium analgesic karena hewan tidak lagi
merasakan nyeri. Pada stadium ini dapat dilakukan pembedahan ringan.
2. Stadium II (Eksitasi)
Stadium ini dimulai ketika hewan hilang kesadarannya hingga muncul nafas
yang teratur. Stadium ini ditunjukkan dengan hewan mengalami
delirium/eksitasi dengan gerakan inkoordinasi, apnea, hiperpnea, kejang,
vomit, midriasis, tachicardi. Hal ini terjadi karena adanya hambatan pada pusat
inhibisi. Stadium ini harus diusahakan segera dilewati karena pada stadium ini
dapat menyebabkan kematian.
3. Stadium III (Pembedahan)
Stadium ini ditandai dengan pernafasan yang teratur, stadium ini dibagi lagi
menjadi 4 tingkatan berdasarakan gerakan bola mata, reflex bulu mata dan
konjungtiva, tonus otot, dan lebar pupil sebagai penggambaran dalamnya
anasthesi.
a. Tingkat 1: ditandai dengan pernafasan teratur, tonus otot rangka masih
ada, gerakan bola mata inkoordinasi.
b. Tingkat 2: ditandai pernafasan teratur namun frekuensinya mengecil,
bola mata tidak bergerak, pupil mata melebar, tonus otot rangka
melemah, reflek laring mulai hilang, sehingga pada tingkat dapat
8
dilakukan intubasi (memasukkan pipa jalan nafas buatan ke dalam
trachea).
c. Tingkat 3: ditandai dengan pernafasan abdominal, kontraksi otot
interkostalis mulai melemah, relaksasi tonus otot rangka dan pupil lebih
melebar namun belum sempurna.
d. Tingkat 4: ditandai dengan pernafasan abdominal smpurna, tonus otot
interkostalis tidak terlihat lagi, pupil melebar, reflex cahaya negatif.
Pembedahan diusahakan tidak mencapai tingkat ini karena hewan akan
mudah masuk ke dalam stadium selanjutnya.
4. Stadium IV (Depresi Medulla Oblongata)
Stadium ini dimulai dengan melemahnya pernafasan perut dibandingkan
dengan stadium II tingkat 4, pembuluh darah kolaps, dan jantung berhenti
berdenyut. Keadaan ini akan segera disusul dengan kematian.
9
besar memerlukan enterotomy terpisah pada kolon dorsal kanan untuk
pengeluaran enterolith yang mempunyai sisi rata atau bentuk polyhedral
biasanya lebih dari satu pemeriksaan adanya enterolith tambahan pada
kolon besar dan kecil sebelum menutup abdomen.
- Enterolith pada kolon kecil harus dikeluarkan melalui enterotomy pada
bagian kolon yang terkena.
- Panjang irisan enterotomy pada pelvic flexure dan evakuasi pada kolon
besar harus dilakukan sebelum enterotomy pada kolon kecil akan
meminimalisir ingesta masuk ke sisi enterotomy segera setelah masa
operasi.
- Enterotomy kemudian ditutup dalam 2 layer menggunakan benang yang
dapat diserap dengan jarum taper.
- Jahitan pertama dilakukan pada semua lapisan dinding usus dengan pola
jahitan sederhana tunggal atau menerus. Jahitan kedua pada sero muskuler
dengan pola jahitan lambert atau cushing.
10
volume cairan maintenan (13-20 ml/kgBB/hari). Total volume cairan maintenance
yang dibutuhkan berkisar 40-60 ml/kgBB/hari. Kebutuhan cairan untuk
maintenance = {(30 x kgBB) + 70}. Kebutuhan untuk mengatasi dehidrasi dapat
dihitung dengan menggunakan rumus : Jumlah cairan yang diperlukan = %
dehidrasi x berat badan (kg) x 1000 ml. Rute pemberian terapi: (Baldwin, 2001)
1. Per oral, jika pasien mau minum dan tidak muntah lagi pemberian secara
oral merupakan pilihan yang paling baik. Contoh larutan yang diberikan
secara oral adalah entrolit, pedialit dan gatorade.
2. Subkutan, pemberian cairan secara subkutan dilakukan jika tingkat
dehidrasi ringan, dan hewan terlihat sedikit agresif. Larutan yang digunakan
adalah larutan isotonik dan jumlah yang diberikan tidak lebih dari 5 sampai
10 ml pada setiap injeksi. Kecepatan penyerapan larutan subkutan
ditentukan oleh kondisi tubuh pasien. Secara umum, penyerapan larutan
secara subkutan berlangsung selama 6 sampai 8 jam.
3. Intravena, pemberian cairan secara intravena dilakukan jika tingkat
dehidrasi yang diderita oleh hewan mencapai 7% atau lebih. Lokasi tempat
pemberian secara intravena yaitu vena periperal (misal vena cephalica, vena
saphena, vena jugularis), dan intraosseus. Pemberian secara intravena juga
dilakukan untuk perbaikan volume cairan ekstraseluler yang harus segera
dilakukan pada kasus hemorhagic shock karena luka atau operasi.
11
2. Fase inflamasi: Fase inflamasi mempunyai prioritas fungsional yaitu
menggalakkan hemostasis, menyingkirkan jaringan mati, dan mencegah
infeksi oleh bakteri patogen terutama bakteria. Pada fase ini platelet yang
membentuk klot hematom mengalami degranulasi, melepaskan faktor
pertumbuhan seperti platelet derived growth factor (PDGF) dan
transforming growth factor ß (βTGF), granulocyte colony stimulating
factor (G-CSF), C5a, TNFα, IL-1 dan IL-8. Leukosit bermigrasi menuju
daerah luka. Terjadi deposit matriks fibrin yang mengawali proses
penutupan luka. Proses ini terjadi pada hari 2-4.
3. Fase proliperatif: Fase proliperatif terjadi dari hari ke 4-21 setelah trauma.
Keratinosit disekitar luka mengalami perubahan fenotif. Regresi hubungan
desmosomal antara keratinosit pada membran basal menyebabkan sel
keratin bermigrasi kearah lateral. Keratinosit bergerak melalui interaksi
dengan matriks protein ekstraselular (fibronectin, vitronectin dan kolagen
tipe I). Faktor proangiogenik dilepaskan oleh makrofag, vascular
endothelial growth factor (VEGF) sehingga terjadi neovaskularisasi dan
pembentukan jaringan granulasi.
4. Fase remodeling: Remodeling merupakan fase yang paling lama pada
proses penyembuhan luka,terjadi pada hari ke 21-hingga 1 tahun. Terjadi
kontraksi luka, akibat pembentukan aktin myofibroblas dengan aktin
mikrofilamen yang memberikan kekuatan kontraksi pada penyembuhan
luka. Pada fase ini terjadi juga remodeling kolagen. Kolagen tipe III
digantikan kolagen tipe I yang dimediasi matriks metalloproteinase yang
disekresi makrofag, fibroblas, dan sel endotel. Pada masa 3 minggu
penyembuhan, luka telah mendapatkan kembali 20% kekuatan jaringan
normal (Hunt, 2003; Mann, dkk; 2001, Ting, dkk; 2008).
12
lama kesembuhan dan berhasil tidaknya operasi ditentukan dari tahap terakhir yakni
pengobatan (Rubiyani, 2011).
Perawatan post operasi meliputi pemberian nutrisi yang cukup, obat-obatan
untuk membantu proses persembuhan luka, dan obat-obat untuk mencegah
munculnya infeksi sekunder seperti antibiotic. Selain itu kebersihan terhadap
hewan harus tetap dijaga, menginngat luka operasi sangat mudah untuk dimasuki
oleh agen infeksi. Perawatan post operasi dilakukan selama 14 hari untuk dapat
maximal sampai proses penutupan luka secara sempurna (Rubiyani, 2011).
13
BAB III
MATERI DAN METODE
Nama : Pussy
Jenis Hewan : Kucing
Jenis Kelamin : Jantan
Ras : Domestic Short Hair
Berat Badan : 7,7 kg
Anamnesa
Kucing “Pussy” datang ke Rumah Sakit Hewan Pendidikan UB dengan
keluhan tidak bisa poop selama 3 hari.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menunjukkan suhu tubuh normal yaitu 37,7 °C, berat
badan 8,25 kg, respirasi rate 56x/menit. Mukosa berwarna pink dengan
CRT 2 detik.
Pemeriksaan Penunjang
Xray, dan Hematologi
14
Gambar 3.1 Hasil X-ray Kucing Pussy
Operasi megakolon
Anamnese
15
Granulosit 71.4 % 60.0 - 80.0 35.0 - 78.0
Limfosit 3.7 10^ 3/µL 1.0 - 4.8 1.5 - 7.0
Monosit 1.4 10^ 3/µL 0.15 - 1.35 0.0 - 0.85
Granulosit 12.8 10^ 3/µL 3.5 - 14.0 2.5 - 14
RDW-CV 18.4 % 12.0 - 16.0 13.0 - 17.0
RDW-SD 39.4 fL 35-56 35-56
PCT 0.123 % 0.0 - 2.9 0.0 - 2.9
MPV 9 fL 6.7 - 11.0 12.0 - 17.0
PDW 9.7 fL 0.0 - 50.0 10.0 - 18.0
P-LCR 16.9 % 13-43 13-43
Hasil Interpretasi:
16
mencegah terjadinya emesis dan aspirasi pneumonia selama intraoperatif
dan post operatif. Puasa hanya dilakukan pada makanan, pemberian air
minum tidak dibatasi.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada hewan sebelum tindakan operatif bertujuan untuk
mengetahui status kesehatan hewan yang menentukan dapat dilakukannya
tindakan operatif.
a. Pemberian Antibiotik
Antibiotik injeksi diberikan 30 menit sebelum proses operasi pada kucing.
Pemberian antibiotic sebelum tindakan operasi bertujuan untuk
menurunkan resiko terhadap infeksi dan menjaga agar tetap aseptis pada
saat tindakan insisi pada jaringan yang memungkinkan kontaminan
bakteri dapat masuk ke dalam hasil sayatan.
b. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat sebelum pemberian anastesi yang
bertujuan untuk melancarkan induksi dan mengurangi efek samping dari
anastesi. Premedikasi yang digunakan adalah Atropin Sulfat yang dapat
mengurangi efek negative dari anastesi seperti mengurangi timbulnya
hipersalivasi, bradycardia, muntah sebelum dan sesudah operasi,
kecemasan, memperlancar induksi.
c. Pencukuran Rambut
Pencukuran rambut dilakukan pada daerah ekstremitas cranial (radius)
dan abdomen. Pencukuran rambut pada ekstremitas cranial bertujuan
untuk pemasangan IV catheter dan pencukuran rambut didaerah abdomen
sebagai lokasi insisi.
d. Pemasangan infuse NS
Catheter intravena dipsang pada vena cephalica antebrachii dan
disambungkan dengan cairan infuse NS. Pemasangan infuse NS secara
intravena bertujuan untuk terapi maintenance untuk menjaga cairan tubuh
agar tetap stabil apabila terjadi dehidrasi, pendarahan, dan shock saat
operasi berlangsung.
17
e. Anastesi
Induksi anastesi pada kucing menggunakan kombinasi xylazine dan
ketamin. Sebelum dilakukan injeksi anastesi, diberikan premedikasi
berupa atropine sulfat, selang 15 menit lalu diinjeksikan anastesi.
f. Persiapan Operator dan Asisten
Surgical scrub merupakan prosedur untuk membersihkan tangan dan
lengan bawah dengan cara mencuci dan menggosok tangan dan lengan
bawah operator operasi yang bertujuan untuk mengurangi bakteri yang
dapat kontak dengan luka operasi. Tujuan dari pencucian tangan adalah
untuk menghilangkan kotoran yang menempel, mintak dan mengurangi
populasi bakteri yang berasal dari lingkungan maupun menekan bakteri
flora normal yang berada dikulit. Metode yang digunakan untuk mencuci
tangan adalah metode anatomic timed scrub yaitu teknik melakukan
gosokan pada tangan selama 5 menit hingga menghasilkan busa yang
dapat menutupi semua permukaan kulit. Selama prosedur pencucian dan
menggosok permukaan kulit, tangan diposisikan lebih tinggi dari siku
yang bertujuan agar air dan sabun dapat mengalir dari daerah terbersih
yakni ke tangan dan mengalir ke daerah kurang bersih yaitu siku. Tangan
dan lengan yang telah dicuci kemudian dibersihkan dengan handuk steril
dan meminimalisir tetesan air menetes. Tangan kemudian disemprot
alkhol 70% oleh asisten non steril. Setelah itu, operator dibantu dengan
asisten steril menggunakan tutup kepala, masker, glove, dan baju operasi.
3.3 Anastesi dan Premedikasi
𝐵𝐵 (𝑘𝑔) 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 (𝑚𝑔/𝑘𝑔)
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 =
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 (𝑚𝑔/𝑚𝑙)
a. Atropin Sulfat
7,7 𝑘𝑔 𝑥 0,04 𝑚𝑔/𝑘𝑔
𝐴𝑇𝑆 ∶ = 1,232 𝑚𝑙
0, 25 mg/ml
b. Ketamin
7,7 𝑘𝑔 𝑥 10 𝑚𝑔/𝑘𝑔
𝐾𝑒𝑡𝑎𝑚𝑖𝑛𝑒 ∶ = 0,77 𝑚𝑙
100 𝑚𝑔/𝑚𝑙
18
c. Xylazine
19
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
20
dimana terletak pusat vasomotor dan pusat respirasi yang vital. Depresi umum pada
sistem saraf pusat tersebut akan menimbulkan hipnosis, analgesi, dan depresi pada
aktivitas refleks.
Pemberian induksi kombinasi xylazine dan ketamin sangat baik dan efektif
karena memiliki rentang keamanan yang luas. Kombinasi obat ini dapat
meningkatkan kerja masing-masing obat, xylazine memberikan efek relaksasi otot
yang baik sedangkan ketamin memberikan efek analgesik yang baik. Setelah hewan
tertidur atau teranestesi dilakukan pencukuran rambut didaerah yang akan diinsisi.
Sebelum dicukur, dibasahi terlebih dahulu dengan air sabun untuk memudahkan
pencukuran. Dipasang alas di meja untuk operasi, setelah teranestesi hewan
diletakkan diatasnya dengan posisi rebah dorsal. Kemudian diikatkan tali dibagian
pergelangan kaki untuk membatasi pergerakan dan membatasi gerak hewan
(restrain). Dimulai pencukuran rambut di daerah abdomen dan sekitarnya
menggunakan clipper dan silet. Ukur suhu tubuh serta pulsus hewan setiap 15 menit
sekali sebagai control operasi.
Cefotaxime
Cefotaxime merupakan antibiotik Cephalosporin golongan ketiga yang
memiliki afinitas baik terhadap bakteri gram positif dan memiliki cakupan gram
negatif yang lebih luas serta aktif melawan S.pneumoniae obat ini digunakan untuk
mengobati berbagai macam infeksi berat yang disebabkan oleh organisme yang
resisten terhadap kebanyakan antibiotik (Plumb, 2008).
Hematodine
Hematodine adalah larutan injeksi yang diindikasikan untuk meningkatkan
nafsu makan dan gangguan hematopoietic. Hematodine mengandung taurine,
ammonium, methionine, histisinw, teypotopan, cobalt acetate, cyanocobalamin
(Plumb, 2008).
Ranitidine
Ranitidine adalah obat yang dapat digunakan untuk menangani gejala atau
penyakit yang berkaitan dengan produksi asam lambung yang berlebih. Ranitidin
bekerja dengan cara menghambat histamine pada reseptor H2 dari sel parietal
sehingga mengurangi asam lambung. Ranitidine dapat menyebabkan waktu
pengosongan lambung tertunda, sehingga akan merangsang motilitas GI dengan
21
menghambat asetilkolinesterase (dengan demikian akan meningkatkan asetilkolin
pada reseptor muskarinik) (Plumb, 2008).
22
DAFTAR PUSTAKA
Baldwin, K. 2001. Fluid Therapy for the companion animal. Atlantic coast
veteriner conference (ACVC). http://www.vin.com. Tanggal akses 18
November 2019.
Dyce, K.M., Sack, W.O dan Wensing, C.J.G. 2010. Textbook of Veterinary
Anatomy. Edisi Keempat. Saunders Elsevier. Missouri. 102-103.
Katzung, BG. 2006. Farmakologi Dasar Dan Klinik. Salemba Medika : Jakarta
Meyer K., 1957. Canine Surgery, American Veterinary Publication. Inc., Santa
Barbara California
23