Anda di halaman 1dari 124

LAPORAN KEGIATAN PPDH

ROTASI INTERNA HEWAN KECIL, BEDAH DAN


RADIOLOGI
yang dilaksanakan di
KLINIK HEWAN PENDIDIKAN FKH UB DAN
RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN UB

Oleh:
MOCHAMMAD GUNTUR KARYA FEBRIANTO, S.KH
NIM. 170130100011012

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019

i
ii
KATA PENGANTAR

Ucapan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat,taufik


dan hidayah Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) rotasi Diagnosa Laboratorik
Parasitologi di Laboratorium Parasitologi FKH Universitas Airlangga Surabaya
tanpa ada halangan yang berarti. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan
kepada nabi besar Muhammad SAW.
Penulis ucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Sudarminto S. Yuwono, M.App.Sc. selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Brawijaya atas dukungan, arahan, dan semangat yang
diberikan kepada penulis
2. Prof. Drh Iwan Setyawan selaku kepala Laboratorium Parasitologi FKH
Universitas Airlangga Surabaya atas fasilitas, bimbingan dan kesempatan
yang telah diberikan
3. drh. Nurina Titisari, M.Sc dan drh. Rahadi Swastomo selaku penguji PPDH
rotasi Diagnosa Laboratorik Parasitologi
4. Saudara PPDH Gelombang 10 kelompok I atas kekompakkan dan
kerjasamanya
Serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan
laporan ini yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis membuka kesempatan untuk saran dan kritik
guna perbaikan. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Malang, Mei 2019

Penulis

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan hidayah-Nya
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan laporan kegiatan Pendidikan
Profesi Dokter Hewan (PPDH) Rotasi Interna Hewan Kecil, Bedah, dan Radiologi
yang dilaksanakan di Rumah Sakit Hewan Pendidikan dan Klinik FKH UB. Dalam
menyelesaikan penulisan laporan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada banyak
pihak yang telah membantu. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada :
1. Dr. Ir. Sudarminto S. Yuono, M.App.Sc., selaku dekan Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Brawijaya,
2. drh.Viski Fitri Hendrawan, M. Vet, sebagai Koordinator PPDH Rotasi Klinik
3. drh. Ahmad Fauzi, M. Sc, sebagai Penanggung Jawab Lapang PPDH Rotasi
Klinik
4. Dokter hewan pembimbing di RSHP dan Klinik Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya.
5. Orangtua, dan Kakak, serta semua keluarga atas kasih sayang, dukungan dan doa
tak terhingga sehingga penulis mampu menyelesaikan laporan ini,
6. Teman kelompok 1 PPDH Gelombang X atas semangat dan kekompakan yang
penuh rasa, dan
7. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan laporan ini
yang tidak dapat disebut satu persatu.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang
telah diberikan dan agar laporan ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya.

Malang, Juli 2019

Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN
HALAMAN JUDUL........................................................................... .... i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... ii
KATA PENGANTAR ............................................................................ iii
DAFTAR ISI........................................................................................... iv
ARTIKEL ILMIAH................................................................................. 1
Sistema Mata : Thelazia callipaeda Ocular Infection in Two Dogs in
Belgium..... 2
Sistema Respirasi dan Integumen : Pleural Effusion and Sterile
Nodular Panniculitis in a Dog....................... ...................................... 9
Sistema Neuromuscular : Lumbar Vertebral Angiomatosis in a Cat:
A Clinical Case .................................................................................... 17
Sistema Digesti, Sirkulasi, dan Urogenital : Case Report: Treatment
of An Elderly Dog With Concurrent Heart Disease and Acute Uremia
By Hemodialisis ................................................................................... 26
KASUS MANDIRI: Suspect Panleukopenia pada Kucing Emily .......... 37
OVARIOHISTEREKTOMI ANJING.................................................. 51
OVARIOHISTEREKTOMI KUCING ................................................ 81

v
ARTIKEL ILMIAH

1
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI INTERNA HEWAN KECIL, BEDAH DAN RADIOLOGI
yang dilaksanakan di
KLINIK HEWAN DAN RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

SISTEMA MATA
“Thelazia callipaeda Ocular Infection in Two Dogs in Belgium”

Oleh:
MOCHAMMAD GUNTUR KARYA FEBRIANTO, S. KH
NIM. 170130100011012

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019

2
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Thelaziosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit nematoda
yang termasuk dalam genus Thelazia (Spirurida, Thelaziidae). Cacing dewasa
dan larva dapat ditemukan di forniks konjungtiva dan saluran nasolacrimal, dan
memakan ekskresi dari nasolakrimal. Larva tahap pertama Thelazia callipaeda
termakan oleh lalat buah Phortica variegeta (Diptera: Drosophilidae), yang
merupakan inang perantara. Perkembangan larva Thelazia terjadi di folikel
ovarium dari lalat selama musim panas. Larva stadium akhir bermigrasi ke
mulut lalat dan ditularkan ke hospes ketika lalat hinggap dan makan. Lalat
Thelazia callipaeda ditemukan pada sapi, kuda, kucing, anjing, serigala dan
manusia.
II. STUDI KASUS

2.1 Signalemen

- Jenis hewan : Anjing

- Jenis kelamin : Betina

- Ras : Golden Retriever

- Umur : 7 tahun

- Jenis hewan : Anjing

- Jenis kelamin : Jantan

- Ras : Labrador Retriever

- Umur : 11 tahun

2.2 Anamnesa

Anjing betina yang telah di steril berusia 7 tahun di bawa ke klinik hewan
Universitas Liege dengan keluhan, selama 5 bulan terakhir sdengan gejala yang

3
terputus - putus pada mata sebelah kiri mengeluarkan leleran. Dua hari sebelum di
bawa ke klinik pada mata sebelah kiri terlihat mengeluarkan discharge purulent.
Sebelumnya anjing ini lama tinggal di Departemen Lot di barat daya Prancis
sebelum di bawa ke Belgia

Anjing kedua seekor anjing Labrador retriever berusia 11 tahun, dibawa ke


klinik dengan keluhan selama 3 bulan terakhir mengeluarkan discharge dari mata
kiri. Anjing ini telah melakukan perjalanan dari Italia selatan (Basilicata), kemudian
ke timur laut Prancis (Alsace) dank e Belgia.

2.3 Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinik pada kedua anjing nampak biasa saja. Pada anjing betina
sedang menjalani terapi hipotiroid dengan 300 μg I-tiroksin dua kali sehari
(Forthyron 200; Eurovet Animal Health). Tes air mata dengan Schirmer Test
(Schirmer Tear Test; Schering-Plough Animal Health Corp adalah 22 dan 20
mm/menit pada mata kiri dan mata kanan anjing jantan, serta 25 dan 21 mm/menit
pada mata kiri dan mata kanan anjing betina. Pada anjing betina mengalami
konjungtivitis purulen pada mata kiri, dengan palpabrae mengalami hiperemi berat
dan bulbar konjungtiva ditutupi oleh folikel limfoid yang besar. Pada anjing jantan,
terdapat hyperplasia ringan pada membran niktitan mata kiri. Pada kedua hewan
nampak adanya parasit seperti benang putih yang bergerak pada forniks
konjungtiva (Gambar 2.1). Tes flouresen (Flourescein; Haag-Streit Internasional)
negatif pada kedua anjing. Kedua anjing menunjukkan bilateral nuclear sclerosis.
Pada anjing jantan terdapat kista iris translucent pada ruang anterior kiri. Terdapat
titik kecil di daerah tapetal kedua mata pada anjing betina yang mengalami displasia
retina yang disertai dengan posterior polar subscapular lenticular opacities yang
kecil di mata kiri.

4
Gambar 2.1 Thelazia callipaeda pada bulbar konjungtiva yang mengalami
peradangan dari membrane niktitan.

2.4 Terapi

Parasit diambil menggunakan pinset cirurgis dan cotton tip aplikator di


kedua anjing. Sebelumnya pengambilan parasite, anjing diberikan anastesi lokal
secara topical menggunakan 4 mg/ml oxybuprocaine hydrochloride (0.5 %
Unicaine; Thea Pharma). Parasit yang telah terambil ditempatkan dalam etanol 70%
untuk identifikasi. Dilakukan pengobatan pada kedua anjing dengan pemberian satu
dosis spot on aplikasi dermal dari 10% imidakloprid dan 2.5% moxidectin
(Advocate Spot-On; Bayer Healthcare) dan secara topical dengan 1 mg
dexametason sodium phosphate dan 4 mg/ml klorampenikol (Deicol; Meda
Pharma) solusion tiga kali sehari pada mata kiri selama 4 minggu.

Empat minggu kemudian, infeksi telah sembuh pada kedua anjing, tidak
terdapat parasite yang teramati. Namun, pada anjing betina mild follicular
conjungtivitis masih terjadi sehingga obat tetes dilanjutkan untuk 2 minggu
kedepan. Satu bulan kemudian kedua owner anjing melaporkan bahwa mata anjing
sudah kembali normal.

2.5 Morfologi

Secara mikroskopis lima cacing betina (panjang 15.5 ± 2.5 mm dan lebar
435 ± 50 μm pada titik terlebar) dan satu cacing jantan (panjang 10.2 mm dan lebar
360 μm pada titik terlebar). Semua specimen diidentifikasi sebagai cacing Taelazia

5
callipaeda menurut ukuran, adanya buccal capsule, garis transversal kutikula,
posisi vulva yang terletak anterior ke esophagus-intestinal junction dan banyak
ditemukan larva stadium pertama di distal uterus pada cacing betina dan adanya dua
spikula di kaudal bursa dari cacing jantan (Gambar 2.2) (Otranto et al., 2003b).

Identifikasi molekuler dilakukan dengan cacing yang telah didapat


sebelumnya. Secara singkat, DNA genom diisolasi dari cacing menggunakan DNA
QIAmp Mini Kit (Qiagen GmbH). Cytochrome c oxidase subunit 1 (Cox1) (689
bp) diamplifikasi menggunakan primer yang dijelaskan dan komersial kit (Taq PCR
Master Mix; Qiagen GmbH). Amplifikasi produk dimurnikan menggunakan kit
komersial (MSB® Spin PCRapace; Invitek) dan diurutkan dengan penganalisis
genetik (ABI PRISM® 3100; Biosystem Terapan) dan dibandingkan dengan
Database genom BLASTn (McGinnis dan Madden 2004). Urutan COX1 yang
diperoleh identik dengan urutan yang mewakili haplotype 1 (h1) (GenBank
accession number AM042549) (Otranto et al., 2005).

(a.) (b.)

Gambar 2.2 (a.) Buccal kapsul dan lurik kutikula transversal; (b.) bursa kaudal
pada jantan dengan adanya spikula.

III. PEMBAHASAN

Kedua anjing yang terkena Okular Thelaziosis tinggal di Belgia ketika


didiagnosis, namun telah bepergian dan tinggal di berbagai daerah Eropa selatan.
Dari penelitian sebelumnya, Taelazia callipaeda diidentifikasi dari anjing yang
tinggal di Belanda, yaitu tinggal selama 3 bulan di Departemen Dordogne (Otranto

6
et al., 2005). Terdapat laporan lain yang menjelaskan kasus Thelaziosis pada anjing
di Belgia namun informasi yang ada terbatas, diketahui anjing tersebut telah
melakukan perjalanan ke Lombardia (Italia). Di Eropa barat, canine Thelaziosis
dianggap endemik dan menyebar ke barat daya Prancis (Departemen Dordogne), di
Swiss selatan dan semua wilayah Italia, dengan prevalensi 60% di wilayah
Basilicata. Pembentukan Thelazia callipaeda bergantung pada keberadaan vektor
lalat. Penyakit ini bisa subklinis dan simtomatik, dengan 15.4 – 81.4% dari anjing
yang terinfeksi menunjukkan tanda-tanda klinis (Malacrida et al., 2008).

Anjing yang terinfeksi biasanya menunjukkan follicular konjungtivitis,


leleran mukoid sampai purulen dan hyperplasia jaringan limfoid muncul pada kasus
ini. Ptechiae konjungtiva dan edema, epifora, keratitis dan ulser kornea jarang
ditemukan. Gejala klinis dapat terjadi akibat kerusakan mekanis pada permukaan
okular oleh gerakan kutikula dan parasite (Otranto, 2011). Adanya benda asing
dapat menyebabkan self mutilasi dan infeksi sekunder pada kelopak mata,
konjungtiva, dan kornea. Epifora bisa terjadi akibat obstruksi saluran nasolakrimal
oleh parasit. Pada anjing, keparahan gejala tidak berkolerasi dengan banyaknya
cacing yang ditentukan. Karena kesamaan gejala Thelaziosis harus dimasukkan
dalam diagnose banding konjungtivitis, dakriosistitis dan keratitis (Otranto, 2011).
Diagnosa dibuat dengan menemukan cacing dewasa di permukaan okular seperti
pada kasus ini, atau di saluran nasolakrimal. Diagnosa akan sulit ketika banyak
terdapat parasit yang masih dalam tahap larva, atau cacing berada di saluran
ekskretoris kelenjar lakrimal. Perawatan pada kondisi ini yaitu denga
menghilangkan keberadaan cacing. Kortikosteroid topical dan antibiotik dapat
digunakan untuk mengobati konjungtivitis dan mencegah infeksi bakteri. Dosis
tunggal 10% imidacloprid dan 2.5% moxidectin dengan aplikasi spot-on pada kulit
(Advocate Spot-On®; Bayer) telah terbukti efektif (Bianciardi and Otranto, 2005).
Satu persen tetes mata moksidektin yang dilarutkan dalam air, diberikan sebagai
dosis tunggal, juga sangat efisien pada anjing yang terinfeksi (Lia et al., 2004).

7
DAFTAR PUSTAKA

Bianciardi, P., and Otranto, D. 2005.Treatment of dog thelaziosis caused by


Thelazia callipaeda (Spirurida, Thelaziidae) using a topical formulation of
imidacloprid 10% and moxidectin 2.5%. Veterinary Parasitology 129, 89-93
Lia, R. P., Traversa , D., Agostini, A., and Otranto, D. 2004. Field efficacy of
moxidectin 1 per cent against Thelazia callipaeda in naturally infected dogs.
Veterinary Record 154, 143 145.
Malacrida F., Hegglin, D., Bacciarini, L., Otranto, D., Nageli, F., Nageli, C.,
Bernasconi, C., Scheu, U., Balli, A., Marenco, M., Togni, L., Deplazes, P.,
and Schnyder, M. 2008. Emergence of canine ocular Thelaziosis caused by
Thelazia callipaeda in southern Switzerland. Veterinary Parasitology 157,
321-327
Otranto, D., Lia, R. P., Traversa, D., and Gianneto, S. 2003b. Thelazia callipaeda
(Spirurida, Thelaziidae) of carnivores and humans: morphological study by
light and scanning electron microscopy. Parassitologia 45, 125-133
Otranto, D. 2011. Thelazia callipaeda Eyeworm: a “neglected” CVBD of human
concern. Second International Conference of Southeastern and Eastern
European Parasitological Society. Zagreb, Croatia, June 13–15, 2011.
Otranto, D., Testini, G., De Luca, F., Hu, M., Shamsi, S., and Gasser, R. B. 2005.
Analysis of genetic variability within Thelazia callipaeda (Nematoda:
Thelazioidea) from Europe and Asia by sequencing and mutation scanning of
the mitochondrial cytochrome c oxidase subunit 1 gene. Molecular and
Cellular Probes 19, 306-313

8
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI INTERNA HEWAN KECIL, BEDAH DAN RADIOLOGI
yang dilaksanakan di
KLINIK HEWAN DAN RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

SISTEMA RESPIRASI DAN INTEGUMEN


“Pleural Effusion and Sterile Nodular Panniculitis in a Dog”

Oleh:
MOCHAMMAD GUNTUR KARYA FEBRIANTO, S. KH
NIM. 170130100011012

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019

9
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Efusi pleura merupakan masalah pernafasan yang sering terjadi pada anjing
dan kucing. Jumlah efusi yang sedikit mungkin tidak menyebabkan perubahan pada
pemeriksaan fisik. Dibutuhkan sekitar 10 ml/kg BB efusi untuk dapat terlihat di
gambaran radiografi cairan pleura, dan lebih dari 30 ml/kg BB efusi untuk membuat
perubahan pada pemeriksaan fisik. Masalah pernapasan tidak akan parah sampai
akumulasi efusi sebanyak 50 -60 ml/kg BB. Konfirmasi efusi pleura dapat diperoleh
melalui pengambilan gambar radiografi atau melakukan torakosentesis. Cairan
pleura dapat diklasifikasikan antara lain hemoragik, transudatif, atau eksudatif.
Pendarahan di ruang pleura sering dikaitkan dengan trauma.

Panniculitis merupakan peradangan yang terjadi pada lemak subkutan


dengan berbagai penyebab dan temuan klinis. Penyebab-penyebabnya antara lain
infeksi, trauma, benda asing, peradangan area pasca injeksi, vaskulitis, defisiensi
vitamin E, gigitan serangga, neoplasia, dan Sterile Nodular Panniculitis (SNP).
SNP merupakan gangguan idiopatik yang bersifat primer atau diinisiasi oleh
masalah lain, seperti hyperplasia nodular pancreas, neoplasia pancreas, pankreatitis,
dan penyakit imunologis seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE).

II. STUDI KASUS


2.1 Signalemen

- Jenis hewan : Anjing

- Jenis kelamin : Betina

- Ras : Brittany spaniel

- Umur : 4 Tahun

10
Gambar 2.1 Anjing Lady Bug

2.2 Anamnesa

Seekor anjing bernama Lady Bug dirujuk ke dokter hewan dengan masalah
utama gigitan anjing lain pada paha sebelah kanan yang diterapi dengan lincomycin
topical, klindamicin oral, dan betadine lavage. Dua bulan kemudian lukanya tidak
sembuh, dan muncul benjolan di subkutan di flank sebelah kiri. Pyoderma juga
ditemukan pada saat pemeriksaan. Satu minggu kemudian anjing tersebut
mengalami demam 40.1 °C dan leukositosis ringan (12.000 sel/uL) dan terapi
dimulai dengan ciprofloksasin. Beberapa hari kemudian suhu kembali normal
menjadi 39.1 °C dan diterapi menggunakan carprofen dan amikacin. Pada
pemeriksaan darah menunjukkan hipoalbuminemia (1.9 g/dl) dan peningkatan
amylase (1454 U/L). Satu bulan kemudian abses mulai mengering pada flank
kirinya dan terapi dilakukan dengan klindamicin. Dua minggu kemudian anjing
tersebut menderita anoreksia, flank kirinya masih mengeluarkan cairan dan suhu
40.5 °C. Operasi dilakukan pada flank sebelah kiri , serta dilakukan kultur dan
biopsi. Histopatologi dari massa menunjukkan gambaran multifokal antara steatitis
pyogranulomatosis kronis dan reaksi inflamasi pyogranulomatosis kronis dengan
area nekrosis dan fibrosis perifer. Hasil kultur menunjukkan pertumbuhan 4+ dari
Serratia marcesens dan pertumbuhan 3+ dari Pseudomonas aeruginosa yang
sensitive terhadap beberapa antibiotik. Saat ini anjing memiliki banyak luka kulit
disekujur tubuhnya.

11
2.3 Pemeriksaan Klinis

Pada pemeriksaan klinik anjing Lady terlihat diam dan depresi dengan
peningkatan laju pernafasan dan upaya dalam bernafas. Anjing tersebut memiliki
berat 17 kg, dehidrasi, dan detak jantung yang tinggi, dan pada auscultasi pulmo
suaranya kurang jelas. Anjing tersebut memiliki luka yang belum sembuh pada
bagian flank kirinya yang sebagian dijahit. Terdapat beberapa keropeng kulit di
bagian leher, dada, dan perut serta mengeluarkan cairan kuning jernih apabila
keropeng tersebut dikelupas.

2.4 Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium, menunjukkan neutrofilia (34.000 sel/uL),


monositosis (4796 sel/uL) dan anemia (PCV 19%). Pada hasil kimia darah
menunjukkan peningkatan alkalin phosphatase (254 U/L), hipoalbuminemia (1,0
g/dL), peningkatan direct bilirubin (0,4 mg/dL), hiperkolesterolemia (457 mg/dL)
dan hiponatremia (135 mEq/L). Uji urinalisis menunjukkan Proteinuria 2+. Analisa
cairan pleura menunjukkan eksudat supuratif namun tidak terdapat adanya jamur
atau bakteri. Sitologi luka kulit dan luka gigitan yang tidak sembuh menunjukkan
keberadaan neutrofil namun tidak terdeteksi adanya mikroorganisme.

2.5 Pemeriksaan Radiografi

Pada pemeriksaan radiografi didapat hasil adanya efusi pleura dalam


volume yang besar dengan retraksi margin paru. Secara ventral, margin paru-paru
kurang jelas (Gambar 2.2) yang ditunjukkan oleh adanya air broncogram yang
ditumpangkan diatas siluet jantung sisi kanan. Nodul kecil terlihat pada bidang
perifer paru-paru (Gambar 2.3).

12
Gambar 2.2 Gambaran radiologi posisi left lateral: cairan pleura yang terakumulasi
di bagian ventral dan membuat margin dari paru-paru tidak jelas.

Gambar 2.3 Tampilan DV thorax. Nodul kecil terlihat pada tepi lobus paru-paru
(panah) yang disertai efusi pleura

Pada pemeriksaan USG yang dilakukan pada bagian abdomen, satu-satunya


abnormalitas yang tampak yaitu kandung empedu terjadi sedikit penebalan
dindingnya, hal ini dapat terjadi karena hewan tersebut mengalami hipoproteinemia
sehingga dinding kantung empedu mengalami edema. USG bagian thorax
dilakukan ketika cairan pleura telah dikeluarkan. Beberapa lesi kecil hypoecoic
ditemukan pada permukaan paru-paru dengan dugaan nodul paru-paru pada
gambaran radiografi. Struktur dan fungsi jantung tampak normal.

2.6 Terapi

Dilakukan thoracocentesis bilateral, sekitar 1 liter cairan serosanguinis


(bersifat hemoragik) dapat dikeluarkan. Terapi cairan dilakukan dengan pemberian

13
Normosol R dan hetastarch secara IV. Obat-obatan yang diberikan antara lain
enrofloxacin 5 mg/kg IV dua kali sehari, dexamethasone SP 0,35 mg/kg IV satu
kali sehari, cerenia 1 mg/kg SC satu kali sehari, sucralfate 1 gr PO empat kali sehari,
dan misoprostol 50 mcg PO dua kali sehari. Kondisi pasien membaik setelah dosis
kortikosteroid awal dan cairan pleura tidak menunjukkan progress. Anjing Lady
diberi obat berupa terapi gastrointestinal, antibiotik, antifungal, dan prednisone 10
mg P.O satu kali sehari. 0

Satu minggu kemudian anjing Lady kembali untuk check up. Sikap,
kekuatan, dan nafsu makan sudah membaik. Namun luka pada bagian flank kirinya
masih terbuka dan besar. Luka yang berada di tubuhnya yang membentuk keropeng
perlahan mulai sembuh. Pemeriksaan USG kembali dilakukan pada bagian thorax
dan menunjukkan keberadaan cairan efusi pleura serta nodul pada paru. Dosis
prednisone ditingkatlan menjadi 20 mg pada pagi hari dan 10 mg pada malam hari
(sekitar 2 mg/kg/hari). Pemeriksaan darah dilakukan dan menunjukkan hasil
neutrofilia (43,428 sel/uL), monositosis (7896 sel/uL), dan hematocrit 27,9%. Pada
pemeriksaan urinalisis tidak ditemukan kandungan protein pada urin. Kali ini tidak
dilakukan pengambilan gambar radiologi karena masalah keuangan dari klien.

Dua minggu kemudian anjing Lady kembali untuk melakukan check up.
Luka di bagian flank kirinya mulai membentuk jaringan granulasi dan ukurannya
mulai berkurang. Pemeriksaan darah dilakukan dan mendapat hasil neutrofilia
(31.332 sel/uL), hematocrit 37,8% dan monositosis (1865 sel/uL).

Seminggu kemudian anjing Lady kembali untuk pemeriksaan USG dan


menunjukkan dua nodul paru kecil pada paru-paru perifer kiri dan kanan, semua
berukuran kurang dari 1 cm. Dua minggu kemudian luka pada flank kirinya sudah
sembuh dengan baik. Dosis prednisone perlahan diturunkan selama 1,5 bulan
hingga 5 mg PO setiap hari.

III. PEMBAHASAN
Sterile nodular panniculitis dianggap sebagai hasil kompromi dari
vaskularisasi jaringan adiposa. Gangguan suplai nutrisi arterial akan menyebabkan

14
lobular panniculitis. Gangguan sistem vena menyebabkan perubahan septa fibrosa
dan bagian perifer dari lobules lemak yang menyebabkan septal panniculitis. Proses
inflamasi ini memicu lisis adiposit yang memicu histiositik atau respon
granulomatosa. Pada steril nodular panniculitis kali ini mengarah pada penyakit
inflamasi idiopatik dari jaringan lemak subkutan. Hal ini dapat dikaitkan dengan
berbagai penyakit sistemik seperti lupus erythematosus, reaksi obat, trauma,
neoplasia pancreas, dan pankreatitis. Kondisi ini jarang terjadi pada anjing dan
kucing. Lesi ditandai dengan satu atau lebih nodul kecil subkutan yang dapat
memborok dan mengeluarkan cairan kuning dan berminyak. Lesi dapat tumbuh di
berbagai bagian tubuh dan dapat bertambah parah. Pasien akan mengalami
anoreksia bersamaan dengan depresi dan demam. Diferensial diagnosanya yaitu
infeksi bakteri, jamur, reaksi benda asing, reaksi obat, reaksi pasca injeksi, atau
neoplasia. Treatment yang dapat dilakukan yaitu dengan bedah untuk lesi tunggal
atau lesi multiple, tetrasiklin dan niacinamide, cyclosporine, prednisone dan
tacrolimus.

Efusi pleura pada anjing dapat disebabkan oleh beberapa penyakit.


Transudat dan modified transudate dapat disebabkan hypoalbuminemia, gagal
jantung kanan, penyakit pericardial, hernia diafragmatika, dan neoplasia. Efusi
pleura eksudatif dapat disebabkan neoplasia, hernia diafragmatika kronis, tersio
lobus paru, obstruksi limfatik, dan proses infeksi. Anjing Lady mengalami efusi
pleura eksudatif, walaupun dia mengalami hipoalbumin, ada kemungkian terdapat
penyebab inflamasi lain yang mengakibatkan efusi pleura eksudatif. Pada manusia
penyakit autoimun sistemik seperti Systemic Lupus Erythematosus dapat
mempengaruhi rongga pleura. Pleura merupakan membran kontinyus yang terdiri
dari lapisan visceral dan parietal. Sel mesothelial menutupi pleura. Manusia dapat
mengembangkan rheumatoid pulmonary nodule yang melibatkan lapisan visceral
pleura dan dapat menyebabkan efusi pleura. Jika gangguan jaringan ikat pada
manusia dapat menyebabkan panniculitis nodular dan efusi pleura maka hal yang
sama juga dapat terjadi pada anjing. Anjing Lady diduga memiliki penyakit
imunologi yang menyebabkan sterile nodular panniculitis, nodu paru kecil dan efusi
pleura steril, dimana semua penyakit tersebut sembuh dengan terapi imunosupresif.

15
Biopsi pulmonal, baik antemortem atau postmortem akan memberikan bukti
pendukung lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Linden, A.Z and Deppe, T. 2017. Pleural Effusion and Sterile Nodular Panniculitis
In a Dog. VMSG.

16
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI INTERNA HEWAN KECIL, BEDAH DAN RADIOLOGI
yang dilaksanakan di
KLINIK HEWAN DAN RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

SISTEMA NEUROMUSCULAR
“Lumbar Vertebral Angiomatosis in a Cat: A Clinical Case”

Oleh:
MOCHAMMAD GUNTUR KARYA FEBRIANTO, S. KH
NIM. 170130100011012

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019

17
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Paresis kaki belakang pada kucing sering terjadi karena spinal tumor
(extradural atau intradural-extramedullary compression). Tumor ekstradural
berada di tulang belakang tetapi di luar kantung (dura) yang memegang sumsum
tulang belakang, akar saraf dan cerebrospinal fluid. Tumor intradural berada di
dalam kantung dural dan dapat berupa extramedullary (di luar sumsum tulang
belakang) atau intramedulla (di dalam sumsum tulang belakang). Masalah vaskuler,
inflamasi, traumatik, masalah anomaly, masalah idiopatik, dan neoplastic sering
digunakan sebagai diagnosa banding. Berfokus pada masalah anomali, beberapa
malforasi dapat mempengaruhi vertebrae dan merubah konduksi dari sistem
proprioceptif. Sebagai contoh, malforasi osseous seperti sacrocaudal dysplasia
terjadi pada kucing Manx. Namun, vaskulatur vertebrae juga dapat mengalami
malforasi, dan beberapai kasus angiomatosis dilaporkan terjadi pada kucing. Semua
kasus angiomatosis pada kucing telah dipelajari dalam studi kontras menggunakan
radiografi dan Computed Tomography (CT). Sampai saat ini tidak ada laporan
tentang angiomatosis yang dievaluasi menggunakan Magnetic Resonance Imaging
(MRI). MRI merepresentasikan gold standart ketika visualisasi akurat diperlukan
pada jaringan lunak yang memiliki kandungan air yang berbeda. Intensitas sinyal
yang berbeda memungkinkan untuk membedakan lemak, cairan cerebrospinal,
pembuluh darah, dan jaringan nervus. Oleh karena itu pencitraan MRI dari lesi
vaskular primer dalam kontak dekat dengan jaringan nervus merupakan modal yang
baik untuk perencanaan tindakan bedah.

II. STUDI KASUS


2.1 Signalemen

- Jenis hewan : Kucing

- Jenis kelamin : Jantan

- Ras : Domestik short hair

18
- Umur : 3.5 tahun

2.2 Anamnesa

Seekor kucing jantan berumur 3.5 tahun dilaporkan mengalami kesulian


melompat dan saat berjalan kaki belakang menyeret. Pemilik melaporkan bahwa
kucing terlihat mengalami ketidaknyamanan atau kesakitan. Penggunaan obat anti
inflamasi non-steroid diberikan beberapa kali namun tidak menunjukkan perubahan
dari gaya berjalan kucing yang abnormal. Kucing tidak menujukkan tanda-tanda
penyakit sistemik atau adanya trauma. Asupan makan dan minum tidak ada
perubahan.

2.3 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan, kucing tidak mengalami dehidrasi,


CRT kurang dari dua detik, denyut jantung 120 kali permenit, respirasi 20 kali
permenit, tidak ada tension pada palpasi abdomen, dan temperatur rektal 38,5 °C.
Pada inspeksi yang dilakukan menunjukkan ataksia pada kaki belakang, dengan
cara berjalan kaki depan normal. Pada palpasi menunjukkan proprioceptive deficits
(posisi badan yang abnormal) pada kaki belakang, tidak terdapat nyeri pada palpasi
tulang belakang dan gerakan leher. Lesi dilokalisasi pada T3-L3 segmental spinal
cord segmen.

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Untuk pemeriksaan lebih lanjut, kucing diinduksi dengan kombinasi


diazepam (0,2 mg/kg) dan propofol (6 mg/kg) secara intravena, dan anastesi di
maintenance dengan isofluran melalui endotracheal tube.

Pada gambaran radiografi lateral, ukuran vertebrae lumbar kelima terlihat


lebih tipis, dan kanalis vertebralis mengalami pembesaran dengan bukti
peningkatan opasitas mineral dari lamina (Gambar 2.1).

19
Gambar 2.1 Vertebrae lumbalis terlihat lebih tipis (panah), peningkatan diameter
canalis vertebrae (panah dua), dengan opasitas mineral pada lumbar kelima.

Myelografi dilakukan dengan pemberian media kontras (20 mg/kg,


lopamirol 300) melalui jarum 22G ke dalam ruang ventral subarachnoid pada
L6/L7. Kemudian radiografi kembali dilakukan segera setalah kontras injeksi
mengungkapkan kegagalan mengisi pada L5 dengan tidak adanya media kontras
yang terlihat pada vertebrae kelima (Gambar 2.1).

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan myelo CT-scan untuk mendefinisikan


lebih baik lesi osseous. Sebuah penyimpangan massa right-side extradural
compressive dari spinal cord kearah kiri dan menyumbat kontras columna kearah
cranial. Massa muncul dengan hiperatenuasi, pada L5 (Gambar 2.2).

20
Gambar 2.2 CT scan setelah injeksi IV bahan kontras. Lesi (panah) bertambah
buruk terlihat. (a.) posisi sagittal, (b.) posisi transversal, (c.) posisi dorsal.

Pemeriksaan MRI dibutuhkan 10 hari kemudian untuk menentukan apakah


perlu dilakukan operasi atau tidak. Pada kasus ini, sampel cerebrospinal didapatkan
dari cisterna magda. Terdapat peningkatan konsentrasi protein (4,7 g/L, normal <
0,2 gr/L). Pada pemeriksaan MRI dari tulang belakang lumbar dengan 0,2 T
permanen open magnet menunjukkan bahwa lesi tersebut extramedullar karena
lapisan tipis dari lemak epidural terlihat diantara jaringan abnormal dan sumsum
tulang pada gambaran dorsal (Gambar 2.3 a) dan gambaran transversal (Gambar
2.3 b). Gambar T1-weighted (T1W) pada bidang sagital dan transversal dan gambar
T2-weighted (T2W) pada bidang sagittal didapat. Pada gambar T1W pada bidang
tranversal dan dorsal dan Short Tau Inversion Recovery (STIR) juga didapat kontras
pasca pemberian intravena.

Gambar 2.3 Urutan gambaran MRI daerah lumbo-sacral: (a.) gambaran T1W
dorsal, (b.) gambaran T1W transversal pada vertebrae lumbalis
kelima sebelum pemberian kontras, (c.) gambaran T1W transversal
pada posisi yang sama dengan (b.) setelah pemberian kontras.
Keberadaan lemak (kepala panah) diantara massa (panah) dan

21
sumsum tulang, yang mengarah ke sisi kiri. Injeksi gadopentate
dimeglumine (Magnevist I.V bayer) diberikan saat ini.

2.5 Pengobatan

Setelah temuan klinis pertama kucing tersebut dipulangkan dengan obat


prednisolone 0,4 mg/kg perhari selama sepuluh hari. Pengobatan tersebut tidak
menunjukkan hasil yang baik. Setelah melihat gambaran MRI, dilakukan
laminektomi dorsal yang memanjang ke bagian ventral ke arah kanan. Setelah
pengangkatan tulang, terjadi pendarahan yang terus menerus dari area bedah dan
tidak mudah berhenti. Permukaan korteks dari lamina terlihat irregular dan tumbuh
tulang baru. Jaringan abnormal bersifat invasif dan pemilik memutuskan untuk
melakukan eutansia pada kucing tersebut selama operasi karena jaringan neoplastic
tidak sepenuhnya hilang.

2.6 Diagnosa

Diagnosa banding dari proliferasi tulang vertebrae yaitu benigna neoplasia,


osteomyelitis, granuloma atau kongenital intraosseous vascular malformation.
Fragmen dari tulang yang abnormal diambil untuk pembuatan preparat
histopatologi. Sampel tulang ditempatkan pada 10% phosphate buffer formalin
solution, didehidrasi dengan penggunaan larutan etanol meningkat , di clearing
dengan butanol, dan diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin, Bagian-
bagiannya mengungkapkan proliferasi mesenkimal, terutama vascular, dengan
jaringan pembuluh darah yang redundan (kemampuan sistem untuk tetap berfungsi
dengan normal walaupun terdapat elemen yang tidak berfungsi) (Gambar 1.4). Sel-
sel vascular dapat dibedakan dengan baik dengan heterogenous nuclear chromatin,
anisokariosis, dan atypia yang sangat kecil. Perivaskular stroma mengandung
limfosit, plasmosit, dan sel fusiform yang diorganisir dalam bundle atau lapisan,
sebagian yang muncul terus menerus dengan dinding pembuluh darah (Gambar
1.5). Neoformasi mesenkimal ini menginvasi tulang medulla, menggantikan sel
hematopoietic, yang sulit diamati. Tidak ada lisis yang terlihat jelas dan tulang

22
lamellae semakin menghilang ketika kontak dengan lesi (Gambar 1.4). Beberapa
thrombus juga teramati. Temuan-temuan ini sesuai dengan Vertebral Angiomatosis.

Gambar 2.4 Gambaran histopatologi dari lesi yang diwarnai dengan hematoxylin
dan eosin. Proliferasi vascular (panah) dalam kontinuitas dengan
lamella osseous (kepala panah). Perbesaran 40x

Gambar 2.5 Gambaran histopatologi dari lesi yang diwarnai dengan hematoxylin
dan eosin. Pembuluh darah baru terbentuk (panah) dengan bukti dari
moderate cellular stroma (bintang). Perbesaran 400x.

23
III. PEMBAHASAN
Dari lima kasus yang dilaporakan sebelumnya, satu kucing dilaporkan
menderita kesakitan pada tulang belakang, tiga kucing dilaporkan defisit
proprioceptive kaki belakang tanpa rasa sakit, dan satu kucing dilaporkan dengan
masalah sakit dan defisit proprioceptive bersamaan sebagai maslah utama. Masalah
yang dialami kucing terakhir, merupakan masalah yang dicurigai sebagai
Angiomatosis. Pada kasus ini kucing menunjukkan ataksia kaki belakang dengan
defisit proprioceptive selaras dengan mayoritas laporan sebelumnya. Pada semua
laporan sebelumnya lesi terlokalisir pada vertebrae thoracalis caudal. Ini
merupakan laporan pertama angiomatosis pada tulang lumbar. Ini merupakan
laporan ketiga yang menggambarkan dengan CT scan dari vertebral angiomatosis
pada kucing, hingga saat ini, tidak terdapat laporan lain yang menjelaskan
penggunaan MRI untuk malforasi benigna. Meskipun tidak ada ruang subarachnoid
yang mencegah media kontras mengarah kranial pada lesi, lemak epidural tetap
berada diantara jaringan abnormal dan sumsum tulang. Mengingat sifat vascular
dari neoformasi, ada kemungkinan media kontras tersebut diserap kedalam jaringan
yang abnormal. Angiomatosis diangap sebagai malformasi vascular bukan penyakit
neoplastic, dimana beberapa angioma (tumor pembuluh darah) berkembang di
dalam jaringan.

Angiomatosis dibedakan dengan neoplasia berdasarkan kehadiran populasi


berbagai sel termasuk sel-sel endotel, yang berbeda dan kurangnya angka-angka
mitosis. Kedua kondisi tersebut teramati pada sampel yang dikirimkan. Walaupun
lesi muncl pada gambaran radiografi, namun tidak teramati pada gambaran
histopatologi. Pada kucing muda dengan paraparesis, spinal hiperaestesia, atau
kombinasi keduanya dan proliferasi lesi pada tulang lumbar merupakan diagnose
banding dari angiomatosis. Namun angiomatosis dapat juga terjadi pada kucing
dewasa. Meskipun kucing dalam kasus ini dilakukan euthanasia atas instruksi dari
pemilik, sebelumnya dilaporkan kucing menggambarkan pemulihan yang baik
pasca dilakukan operasi.

24
DAFTAR PUSTAKA

Ricco, C., Bouvy, B., Gomes, E., and Cauzinille, L. 2015. Lumbar vertebral
angiomatosis in a cat: a clinical case. Revue Méd. Vét., 2015, 166, 11-12,
332-335. France

25
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI INTERNA HEWAN KECIL, BEDAH DAN RADIOLOGI
yang dilaksanakan di
KLINIK HEWAN DAN RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

SISTEMA DIGESTI, SIRKULASI, & UROGENITAL


“Case Report: Treatment of an Elderly Dog With Concurrent Heart Disease
and Acute Uremia By Hemodialysis”

Oleh:
MOCHAMMAD GUNTUR KARYA FEBRIANTO, S. KH
NIM. 170130100011012

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019

26
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hemodialisis merupakan terapi yang efektif yang digunakan untuk


mengeluarkan toksin uremik dan memperbaiki defisit serta kelebihan cairan,
elektrolit, dan ketidakseimbangan asam basa terkait dengan gagal ginjal. Banyak
dokter hewan melaporkan kasus bahwa hemodialysis merupakan cara yang efektif
untuk mengurangi metabolit darah dan konsentrasi racun untuk kerusakan ginjal
akut ketika terapi suportif tidak menunjukkan peningkatan kesembuhan. Pada kasus
ini, uremia parah yang dialami pasien dapat menunjukkan peningkatan kesembuhan
yang baik dengan terapi hemodialysis, yang mendukung kesembuhan dari terapi
untuk Chronic Kidney Disease (CKD) pada fase akut.

II. STUDI KASUS

2.1 Signalemen

- Jenis hewan : Anjing

- Jenis kelamin : Betina

- Ras : Mix breed

- Umur : 15 tahun

2.2 Anamnesa

Seekor anjing betina mix breed berumur 15 tahun dirujuk ke RSH


Universitas Chiayi pada 5 juni 2011. Pasien diberi makan buatan sendiri (home
made food) dan tinggal di luar rumah, dan memiliki catatan yang lengkap terhadap
pencegahan cacing jantung dan deworming, namun catatan vaksinasi tidak tersedia.
Menurut penjelasan pemilik, pasien dalam keadaan tidak sadarkan diri (stupor) dan
mengalami muntah selama satu minggu terakhir. Nafsu makan menurun dan hewan
lebih sering diam sejak februari 2011. Pemilik sempat membawa anjing tersebut ke
klinik setempat karena anjing tersebut tiba-tiba terjatuh pada mei 2011. Walaupun
terapi cairan intravena telah diberikan saat di klimik selama dua hari, namun kondisi

27
anjing tidak menunjukkan perbaikan, kemudian pemilik membawa anjing tersebut
ke klinik lain namun tetap tidak menunjukkan perbaikan kondisi.

2.3 Pemeriksaan Klinis

Pada temuan awal, anjing mengalami pingsan dengan posisi rebah lateral.
Denyut jantung 138 kali/menit, respirasi 54 kali/menit, dan suhu rektal 38,6 °C.
Anjing tersebut dalam kondisi fisik yang buruk, status dehidrasi 7%, kedua kaki
belakang menunjukkan atropi otot saat dilakukan palpasi. Auskultasi thorax
menunjukkan murmur jantung.

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah dilakukan dengan complete blood count (CBC) dan


kimia darah. Sampel urin diambil untuk pemeriksaan urinalisis. Hasil yang didapat
yaitu PCV rendah (24,7%), hemoglobin rendah (9,4 g/dL) dan konsentrasi sel darah
merah (RBC) rendah (3,93 x 106/uL) yang tercatat pada CBC. Pada hasil biokimia
darah, terjadi peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) (145 mg/dL), peningkatan
kreatinin (3,9 mg/dL), peningkatan aspartate aminotransferase (170 U/L),
peningkatan bilirubin total (0,8 U/L), hipoalbuminemia (2,1 g/dL), hiperkloremia
(127 mmol/L), dan hyperphosphatemia (17,2 mmol/L). Tekanan darah arterial 101
,,Hg. Pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan hasil proteinuria dan isostenuria
(berat jenis 1.10) dengan menggunakan refraktometer.

Pada pemeriksaan radiografi abdomen terlihat adanya atropi dari kedua


ginjal (Gambar 2.1) dan radiografi thorax menunjukkan pembesaran ventrikel
kanan jantung (Gambar 2.2). Pada pemeriksaan USG abdomen menunjukkan
perbedaan ukuran dari kedua ginjal dan batas irregular dari ginjal sebelah kiri
(Gambar 2.3).

28
Gambar 2.1 Radiografi abdominal terlihat atropi dari kedua ginjal (tanda panah).

Gambar 2.2 Radiografi thorax menunjukkan kardiomegali pada posisi right


lateral.

Gambar 2.3 USG bagian abdomen menunjukkan perbedaan ukuran dari kedua
ginjal dan batas irregular dari ginjal kiri.

Chronic Kidney Disease (CKD) dicurigai terjadi berdasarkan lamanya


gejala klinis, seperti significant uremia (peningkatan kadar BUN dan kreatinin),
pemeriksaan hematologi (moderate anemia, hipoalbuminemia, dan

29
hiperpospatemia), urinalisis (isostenuria, yang disertai proteinuria), dan gambaran
radiografi (atropi kedua ginjal dan tepi ginjal yang irregular). Secara bersamaan
mitral regurgitation (MR) dan tricuspid regurgitation (TR) didiagnosis oleh color
flow Dopler echocardiography (LOGIQ 400 CL PRO, GE Healthcare, Taipei, TW).

2.5 Terapi

Terapi yang diberikan pada anjing tersebut antara lain: terapi cairan yang
mengandung B-complex® 2 mL (setiap mL mengandung thiamine HCL 100 mg,
riboflavin 5 mg, pyridoxine HCL 2 mg, niacinamide 50 mg, dan dexpanthenol 5
mg) dan asam askorbat 100 mg dengan 0,45% sodium chloride solution 500 mL, 5
mL/kg/jam untuk dehidrasi; pimobendan 0,25 mg/kg peroral dua kali sehari dan
benazepril 0,25 mg/kg peroral dua kali sehari untuk penyakit jantung; Wellpine®
2,5 mg/kg peroral dua kali sehari, Azodyl® satu kapsul untuk 2.5 kg peroral satu
kali sehari, dan Erythropoietin (EPO) 100 U/kg subkutan setiap 3-4 jam sekali
untuk moderate anemia.

Setelah 48 jam dilakukan terapi cairan, azotemia tidak mengalami


perbaikan, plasma BUN yaitu 134 mg/dL dan kadar kreatinin meningkat dari 3,9 ke
4,2 mg/dL, karena pada kaki kanan depan anjing tersebut mengalami ulkus
decubitus setelah 2 hari dilakukan rawat inap, maka diberi terapi berupa
enrofloxcacin 0,1 mg/kg subkutan dua kali sehari. Hemodialisis dilakukan pada
kasus ini karena terapi obat tidak memberikan perbaikan azotemia pada dua hari
terapi yang telah dilakukan

Sebagai persiapan untuk melakukan dialysis, temporary double-lumen 7 Fr


× 20 cm dialysis catheter (Hemodialysis Conc. A-35, Chi Sheng Chemical
Corporation, Hsinchu, TW) ditempatkan pada vena jugularis kanan, diikuti dialysis
selama 1 jam 42 menit. Hemodialisis menggunakan resep polystyrene dialyzer
dengan dialisat (Hemodialisis Conc. BS-22, Chi Sheng Chemical Perusahaan,
Hsinchu, TW) flow rate 500 mL/jam dan blood precessing rate 5 mL/kg/menit.
Selama hemodialysis, CBC, kimia darah, dan Activated Clotting Time (ACT)
dimonitor setiap 30 menit untuk mencegah penurunan osmolaritas serum yang

30
cepat, yang diakibatkan dialysis yang berlebihan. Setelah terapi dialysis yang
pertama, nilai BUN dan kreatinin mengalami perbaikan, yaitu menurun masing-
masing menjadi 121 dan 3,0 mg/dL.

Dua hari setelah dialisis pertama dilakukan treatment dialysis yang kedua
selama 2,5 jam. Pasca dialysis nilai BUN dan kreatinin masing-masing adalah 90
dan 1,5 mg/dL. Kondisi anjing membaik setelah dilakukan hemodialisis. Karena
pasien tidak mau makan, bahkan disuap oleh paramedis juga tidak mau, dokter
menduga terdapat ulkus gastrointestinal. Sehingga anjing tersbut dipasangkan
feeding tube untuk memasukkan makanan agar pasokan energi dan nutrisi
tercukupi. Setelah hemodialisis, nilai BUN dan kreatinin membaik masing-masing
menjadi 95 dan 1,9 mg/dL. Anjing tersebut tetap diberikan terapi cairan, dan obat
oral untuk jantung dan masalah ginjal. CBC dan kimia darah terus dipantau setiap
2 atau 3 hari secara terus menerus. Hasil pemeriksaan biokimia darah menunjukkan
bahwa nilai BUN dan kreatinin mengalami perbaikan (Tabel 1 dan 2). Nilai
kreatinin pulih menjadi 1,0 mg/dL pada 27 juni 2011. Nilai BUN sekitar 30 mg/dL
pada 30 agustus 2011. Pemeriksaan CBC menunjukkan PCV, hemoglobin, dan
RBC mengalami perbaikan masing-masing menjadi 31,9%, 11,4 g/dL, dan 5,75 x
106/L. Elektrolit, termasuk natrium kalium, klorin, kalsium, dan fosfor berada di
bawah kontrol. Namun, pasien mati pada 23 september 2011. Tubuh anjing tersebut
diawetkan untuk pemeriksaan patologis.

Tabel 1. Konsentrasi Blood Urea Nitrogen (BUN) selama periode perawatan.

31
Tabel 2. Konsentrasi Kreatinin selama periode perawatan.

Pada nekropsi yang telah dilakukan, anjing tersebut nampak kurus kering
dan terdapat ulkus decubitus 1,5 x 2,0 cm (perfusi vaskuler yang buruk disebabkan
oleh kondisi jantungnya dan otot ekstremitas yang yang mengalami atropi). Kedua
ginjal dengan batas yang irregular dan keduanya mengalami atropi (Gambar 2.4).
Organ hati mengalami pembesaran dan berwarna coklat-kekuningan. Ditemukan
ulcer pada perut dan usus, serta dinding dari kantung kemih mengalami penebalan.
Jantung tampak mengalami pembesaran dan bagian kanan dan kiri jantung terisi
oleh darah yang membeku.

Gambar 2.4 Kedua ginjal mengalami atropi dengan tepi irregular.

Pada gambaran histopatologi, banyak nefron yang digantikan oleh


proliferasi jaringan fibrosa dan hemosiderin (pembentukan protein darah yan

32
terbentuk ketika sel darah merah rusak). Dalam sel epitel tubular dan terdapat pada
kedua ginjal (Gambar 2.5)

Gambar 2.5 Parenkim ginjal digantikan oleh jaringan fibrosa dan hemosiderin
yang terdapat pada epitel tubulus kedua ginjal.

Selain itu terdapat, nefritis interstitial dengan infiltrasi leukosit


mononuclear. Mayoritas epitel tubular mengalami pembengkakan dan nekrosis,
dan sisa-sisa epitel tubular diisi dengan bahan protein (Gambar 2.6). Pada
myocardium terdapat lemak multifocal berat. Lesi pada paru-paru ditandai dengan
edema pada paru dan emfisema.

Gambar 2.6 Lumen tubulus diisi pleh material protein.

III. Pembahasan

Pada gangguan ginjal, Chronic Kidney Disease (CKD) sering terjadi pada
anjing dan kucing. Lesi ginjal biasanya ditandai dengan pengurangan permanen
jumlah nefron yang berfungsi. Pada kasus tertentu, usaha ginjal untuk memperbaiki

33
gangguan primer dan/atau gangguan prerenal dan post renal dapat menyebabkan
gagal ginjal. Peningkatan fungsi ginjal yang berlebihan pada kasus ini tidak
diharapkan karena akan membuat perubahan pada jaringan ginjal dan hal tersebut
akan membuat jaringan ginjal mengalami kompensasi terhadap fungsinya.
Mekanisme kompensasi ini sering mengarah pada hilangnya fungsi ginjal, hal ini
merupakan karakteristik dari penyakit CKD. Fungsi ginjal pada penyakit CKD akan
menurun perlahan selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Dengan
perawatan yang baik anjing dan kucing yang menderita CKD sering bertahan hidup
dengan kualitas hidup yang baik selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
Meskipun tidak ada treatment yang paling benar, lesi ginjal pada CKD, gejala
klinis, dan perubahan biokimia dari penurunan fungsi ginjal dapat dikelola
menggunakan terapi supportif. Perjalanan progresif dari penyakit CKD dapat
diperlambat dengan intervensi terapeutik.

Tujuan pengobatan CKD adalah pencegahan dan menajemen dari


komplikasi penurunan fungsi ginjal. Terapi dirancang untuk memperlambat
hilangnya fungsi ginjal. Terapi mencangkup manajemen medis, terapi penggantian
ginjal, dan terapi diet. Terapi penggantian ginjal termasuk peritoneal dialysis,
hemodialisis, dan transplantasi ginjal. Ketika pasien mengalami oligouria berat atau
anuria dan konservatif medis tidak dapat mengurangi azotemia, defisit dan
kelebihan cairan elektrolit, dan kelainan asam-basa, perawatan dialisis perlu
dilakukan. Pada kasus ini anjing tua dengan masalah jantung dan masalah ginjal
dirujuk ke Rumah Sakit Hewan dengan kondisi pasien yang buruk. Diagnosa CKD
didasarkan pada durasi gejala, pemeiksaan laboratorium (CBC, kima darah, dan
urinalisis), dan gambaran radiologi. Anemia dan uremia terkait dengan CKD
dengan defisiensi erythropoietin dan penurunan fungsi ginjal ditemukan. Pada
kasus ini gangguan ginjal mungkin merupakan masalah utama atau CKD terjadi
karena kondisi jantungnya dengan mitral regurgitation dan tricuspid regurgitation.
Ketika pasien dirawat, dia diketahui mempunyai masalah pada ginjal dan jantung.
Tujuan pertama dilakukan pengobatan yaitu untuk menstabilkan kondisinya.
Pemberian terapi cairan segera dilakukan karena psaien mengalami uremia dan
ketidakseimbangan elektrolit. Masalah jantung yang dialami pasien yaitu mitral

34
regurgitation dan tricuspid regurgitation. Pimobendan dan benazepril diberikan
sesuai pedoman dari American College of Veterinary Small Medicine (ACVIM).
Pasien memiliki cardiac output yang buruk untuk mensuplai darah ke organ-organ
penting, dengan demikian organ ginjal dan organ-organ pada rongga abdomen
kurang mendapatkan suplai darah. Kekurangan suplai darah pada ginjal akan
menyebablan kerusakan jaringan pada ginjal dan secara bertahap akan
menyebabkan CKD. Karena kondisi pasien tidak menunjukkan peningkatan dalam
48 jam perawatan maka dilakukan terapi hemodialisis. Dilakukan transfuse darah
pada pasien sebelum dilakukan hemodialisis karena pasien mengalami anemia berat
(PCV 15,2%).

Setelah dilakuakan terapi hemodialisis sebanyak dua kali terjadi perbaikan


nilai BUN dan kreatinin. Pasien juga tetap diberi terapi cairan dan obat oral untuk
gangguan jantung dan ginjalnya. Pemeriksaan CBC dan kimia darah dilakukan
setiap 2-3 hari. Statistik menunjukkan bahwa fungsi ginjal nampak jauh lebih stabil
dibandingkan dengan kondisi awalnya. Namun pasien meninggal karena usia tua
dan kegagalan fungsi organ. Kegagalan fungsi organ diamati dengan lemak
multifocal yang berat pada myocardium dengan pemeriksaan patologis. Namun
hemodialisis tetap berhasil mengatasi uremia berat dan menstabilkan kondisi dari
fungsi ginjal pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Chan, K.W., Ping, T.Y., Chou, S.J., Zheng, Z.J., Yang, W.C., Lai, J.M., Lo, D.Y.,
Chang, C.C., and Wu, J.T. 2013. Case Report: Treatment of an
Elderly Dog with Concurrent Heart Disease and Acute Uremia by
Hemodialysis. Taiwan Vet J 39 (3): 150 – 157. Taiwan

35
KASUS MANDIRI

36
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI INTERNA HEWAN KECIL, BEDAH DAN RADIOLOGI
yang dilaksanakan di
ANIMAL CLINIC JAKARTA

KASUS MANDIRI
“Suspect Panleukopenia pada Kucing Emily”

Oleh:
MOCHAMMAD GUNTUR KARYA FEBRIANTO, S. KH
NIM. 170130100011012

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019

37
BAB I
TINJAUAN KASUS

1.1 Signalment Hewan


Nama : Emily
Jenis Hewan : Kucing
Ras Hewan : British Short Hair
Warna Rambut : Kuning kecoklatan
Umur : 1 tahun
Berat badan : 2,4 kg
Jenis kelamin : Betina

Gambar 1.1 Kucing Emily


1.2 Anamnesa
Kucing Emily dibawa oleh owner ke Animal Clinic Jakarta pada tanggal 26
maret 2018 dengan keluhan kucing sering berdiam diri di lantai, lemas, muntah dan
diare disertai adanya darah.

1.3 Pemeriksaan Fisik


1. Kondisi Fisik : Lemas
2. Sikap berdiri : Normal
3. Suhu : 40,9 ℃
3. Respirasi : 22 kali/menit
6. Pulsus : 88 kali/menit
7. Membran Mukosa : Pale
8. Turgor kulit : >3 detik

38
1.4 Temuan klinis
Klien membawa kucing Emily ke ACJ pada tanggal 26 Maret 2018, dengan keluhan
kucing Emily tidak mau makan, muntah, lemas dan diare. Saat dilakukan
pemeriksaan, berat badan kucing Emily 2,4 kg, suhu tubuh 40,9 ℃, keadaan umum
lemas, pulsus di bawah normal, pada pemeriksaan feses ditemukan adanya darah,
membran mukosa pucat dan turgor kulit > 3 detik.

1.5 Diagnosa Banding


Penentuan diagnosa banding didasarkan pada kesamaan gejala klinis dengan
patognomonis yang berbeda. Temuan klinis pada kucing Emily yaitu suhu tubuh
tinggi, tidak mau makan, muntah, lemas, berat badan turun sejak beberapa hari
terakhir. Berdasarkan temuan klinis tersebut, diagnosa banding kucing Emily antara
lain :
1. Salmonelosis.
2. Feline Leukimia Virus (FeLV).
3. Keracunan akut.
4. Diare Kronis
Nama Penyakit Keterangan
Feline Penyakit yang disebabkan Feline Parvovirus (FPV) yang
Panleukopenia merupakan virus yang sangat menular dan menjangkit
semua anggota Felidae. Keparahan gejala klinis tergantung
pada usia, status kekebalan, dan infeksi bersamaan
penyakit lain. Penyakit ini dimulai dari infeksi subklinis
sampai sindrom perakut yang disertai dengan kematian
mendadak. Gejala klinis: demam, hewan depresi,
anoreksia, muntah dengan frekuensi rendah, diare encer
sampai deare disertai darah, dehidrasi, kucing lemas.
Mortalitas pada panleukopenia akut yaitu 25%-90% dan
mencapai 100% pada infeksi perakut (Hartmann, 2017).

39
Salmonellosis Penyakit bakterial yang menyebabkan keradangan pada
usus, septikemia, dan abortus (kasus yang jarang) yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella sp. Gejela klinis: diare
encer yang terkadang disertai darah pada beberapa kasus,
muntah, demam (40-41 ℃), anoreksia, nyeri abdomen,
dehidrasi, dan membrane mukosa pucat (Carter et al.,
2000).
Feline Leukimia Penyakit viral yang sering menginfeksi kucing muda
Virus (FeLV). berumur di bawah 2 tahun. Sering menjangkit kucing yang
hidup di luar rumah karena rentan terkena penularan
langsung kucing lain yang terinfeksi FeLV. Gejala klinis:
penuruan sistem imun (dapat ditandai dengan tidak ada
persembuhan luka, stomatitis), anoreksia, penurunan berat
badan, hewan depresi, deman, anemia, beberapa gangguan
darah dan sumsum tulang termasuk leukemia, peningkatan
RBC, WBC, dan platelet dapat terjadi karena infeksi FeLV.
Limfosarkoma dapat terjadi biasanya pada kucing muda,
yang dapat menyebabkan kesulitan bernafas, muntah, dan
diare. Kucing yang terjangkit FeLv memiliki resiko 60 kali
lebih besar terkena kanker dibanding kucing yang tidak
terjangkit FeLV (Grace, 2016).
Keracunan Akut Banyak racun yang tidak spesifik dengan obat penawar dan
telah terjadi efek yang sistemik yang telah parah sehingga
sulit dilakukan pengobatan. Berikut merupakan zat rumah
tangga yang biasanya tertelan oleh hewan yaitu
antikoagulan rodensia (racun tikus), etilen glikol (pada air
radiator mobil), ganja, coklat, metaldehida (pestisida).
Gejala klinis: letargi, hewan depresi, anoreksia, membran
mukosa pucat, kualitas pulsus lemah, epistaksis, melena

40
atau hematochezia (terdapat darah pada feses) (Luiz et al.,
2008).
Diare kronis Perubahan frekuensi, konsistensi, dan volume feses lebih
dari 3 minggu. Dapat terjadi pada usus halus dan usus
besar. Berikut ini merupakan gejala klinis diare krinis yang
terjadi pada usus halus: peningkatan volume feses lebih
dari normal, peningkatan frekuensi defekasi (2-4 kali
perhari), penurunan berat badan (karena diare yang
berlangsung lama), feses berwarna hitam (melena), feses
tidak disertai darah, hewan tidak nampak kesulitan saat
defekasi. Sedangkan gejala klinis diare kronis yang terjadi
pada usus besar yaitu: volume feses yang dikeluarkan lebih
sedikit, frekuensi defekasi mengalami peningkatan yang
signifikan (lebih dari 4 kali perhari), tidak ada penurunan
berat badan, feses sering disertai darah dan tidak melena,
serta hewan kesulitan saat defekasi (Tilley and Francis.,
2011).

1.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mengerucutkan diagnosa, pemeriksaan
penunjang yang dilakukan yaitu CBC dan rapid test panleukopenia yang dilakukan
pada 26 Maret 2018.
Tabel 1 Hasil CBC kucing Emily tanggal 26 Maret 2018.
Pemeriksaan Satuan Nilai Normal Hasil
WBC 103 /ul 5.5 – 19.5 0.38 -
Limfosit 103 /ul 1.5 – 7 0.37 -
Monosit 103 /ul 0 – 1.5 0.00
Neutrofil 103 /ul 2.5 – 14 0.00 -
Eosinofil 103 /ul 0–1 0.00
Basofil 103 /ul 0 – 0.2 0.00

41
Limfosit % 20 – 55 98.3 +
Monosit % 1–3 0.5 -
Neutrofil % 35 – 80 1.2 -
Eosinofil % 0 – 10 0.0
Basofil % 0–1 0.0
RBC 10^6/ µl 5 – 10 8.94
Hemoglobin g/dl 8 – 15 12.5
Hematokrit % 24 – 45 34.85
MCV Fl 39 – 55 39
MCH Pg 12.5 – 17.5 14.0
MCHC g/dl 30 – 36 35.9
Trombosit (PLT) 10^3/ µl 300 - 800 80 -
MPV fl 12 - 17 10.2 -

Gambar 1.2 Hasil rapid test menunjukkan garis samar


1.7 Diagnosa
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa
CBC dan rapid test, maka kucing Emily didiagnosa suspect Feline Panleukopenia
Virus (FPV)

1.8 Prognosa : Dubius infausta

1.9 Terapi
1. Ampisilin 0.28 ml. (dosis 11 mg/kg) secara I.M

42
2. Metacam 0.16 ml. (dosis 0.3 mg/kg) secara S.C
3. Cerenia 0.24 ml. (dosis 1 mg/kg) secara S.C
4. Pakan khusus gangguan pencernaan

43
BAB II
PEMBAHASAN

Pada tanggal 26 maret 2018, klien membawa kucing bernama Emily ke


Animal Clinic Jakarta dengan keluhan kucing sering berdiam diri di lantai, muntah,
dan diare disertai adanya darah. Kucing Emily memiliki warna rambut kuning
kecoklatan, berumur 1 tahun, berat badan 2.4 kg, jenis kelamin betina. Pada
pemeriksaan fisik, keadaan umumnya lemas, membran mukosa pucat, turgor kulit
> 3 detik, pulsus di bawah normal, suhu tubuh 40,9 ℃. Dokter melakukan
pemeriksaan Complete Blood Count (CBC), pemeriksaan feses dan rapid test
panleukopenia, serta terapi berupa pemberian ampisilin, metacam, cerenia dan
memberi pakan khusus gangguan pencernaan.
Hasil pemeriksaan darah kucing Emily pada tanggal 26 maret 2018
menunjukkan penurunan WBC, limfosit, neutrofil, dan trombosit. Penurunan
jumlah leukosit disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada sumsum tulang
sehingga terjadi penurunan jumlah leukosit yang bersirkulasi. Perubahan tersebut
dapat berupa degenerasi, depresi, dan destruksi. Penurunan jumlah leukosit juga
dapat terjadi akibat infeksi dari virus. Penurunan kadar limfosit menunjukkan
hewan rentan terhadap infeksi, khususnya infeksi dari virus. Penurunan neutofil
(neutropenia) dapat disebabkan peningkatan kerusakan sel, infeksi bakteri, infeksi
virus, penyakit hematologi, dan infeksi berat. Penurunan kadar trombosit dapat
terjadi karena gangguan pada sumsum tulang (Kemenkes, 2011).
Pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan yaitu rapid test panleukopenia.
Prinsip utama tes kit ini ialah mendeteksi antigen permukaan protein FPV
(termasuk partikel virus utuh) yang terdapat dalam feses kucing yang terinfeksi.

44
Gambar 2.1 Langkah melakukan rapid test

Langkah-langkah yang dilakukan untuk melakukan rapid test ini yaitu


1. Mengambil specimen dari feses kucing menggunakan cotton swab.
2. Masukkan dan putar swab ke dalam tabung yang berisi 1ml diluen dan
campurkan.
3. Keluarkan alat rapid test dan letakkan diatas bidang yang rata.
4. Ambil sampel dari tabung menggunakan pipet, lalu teteskan pada lubamg yang
terdapat pada alat rapid test secara perlahan tetes demi tetes.
5. Ketika tes mulai bekerja, akan terlihat warna merah keunguan bergerak
melintasi lebang jendela penunjuk hasil di tengah perangkat tes.
6. Tunggu hasil tes selama 5 – 10 menit

Pembacaan Hasil Tes

Gambar 2.2 Hasil yang ditunjukkan oleh alat rapid test

45
1. Hasil Negatif
Hanya muncul 1 garis dalam membran dalam menunjukkan hasil negatif
2. Hasil Positif
Muncul dua garis warna (“T” dan “C”) pada membran menunjukkan hasil yang
positif
3. Hasil Tidak Valid
Jika garis warna ungu kemerahan tidak terlihat dalam membran alat rapid test. Pada
hasil rapid test panleukopenia yang dilakukan pada kucing Emily menunjukkan
hasil positif yang ditunjukkan oleh adanya garis samar (Gambar 2.2).
Terapi obat yang diberikan pada kucing Emily yaitu ampisilin, matecam,
dan cerenia. Ampisilin merupakan derivate penisilin yang merupakan kelompok
antibiotik β –lactam yang memiliki spectrum antimikroba yang luas. Antibiotik
golongan β-lactam bekerja dengan cara menghambat biosintesis dinding sel bakteri
(Wientarsih dkk., 2017). Metacam yang memiliki kandungan meloxicam
merupakan non steroid anti inflammation drugs (NSAID) yang mempunyai efek
anti inflamasi, analgetik dan antipiretik. Efek antipiretik diberikan karena kucing
Emily memiliki suhu tubuh yang tinggi. Cerenia yang mempunyai kandungan
maropitant bekerja dengan menghambat pengikatan substansi P. Substansi P
ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi dalam inti yang terdiri dari pusat emetik
dan dianggap sebagai neurotransmitter kunci yang terlibat pada proses emesis.
Dengan menghambat pengikatan substansi P dalam pusat emetic, maropitant
memberikan efektivitas spektrum luas terhadap saraf sentral dan perifer penyebab
muntah (Diemunsch et al., 2000).

2.1 Etiologi
Feline panleukopenia disebabkan oleh single-stranded DNA virus, yaitu
feline parvovirus (FPV). Penyakit ini sangat menular dan menyebabkan kematian
pada kucing dan keluarga felidae lain. Infeksi penyakit panleukopenia menyebar
dengan cepat, terutama pada sel yang memiliki aktivitas mitosis yang tinggi, seperti
sumsum tulang, jaringan limfoid, dan vili usus. Pada kucing yang terinfeksi

46
panleukopenia akan menunjukkan gejala klinis berupa anoreksia, muntahm diare,
neutropenia, dan limfopenia (Hartmann, 2017).

2.2 Patogenesa
Feline panleukopenia ditularkan melalui rute oronasal dari makanan yang
terkontaminasi, muntahan, dan udara. Virus bermultiplikasi pada sel yang memiliki
aktivitas mitosis tinggi (seperti sumsum tulang, jaringan limfoid, epitel usus,
cerebellum dan retina dari neonatal kitten) yang menyebabkan sel lisis. Apabila hal
ini terjadi maka akan muncul gejala klinis dari panleukopenia antara lain diare,
ataksia, inkoordinasi dan gangguan penglihatan pada kitten serta dapat
menyebabkan aborsi (Dissanayake et al., 2016).

Feline Parvo Virus

Makanan yang terinfeksi, muntahan,


udara

Bermultiplikasi di sumsum tulang, jaringan limfoid, epitel usus,


cerebellum, retina dari neonatal kitten

Sel mengalami lisis yang disebabkan


feline parvo virus

Timbul gejala klinis diare, ataksia, inkoordinasi dan gangguan penglihatan pada neonatal
kitten serta dapat terjadi abortus

Gambar 2.3 Skema patogenesa Feline Panleukopenia

47
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
kucing Emily didiagnosis suspect feline panleukopenia. Feline panleukopenia
terjadi karena infeksi dari Feline Parvo Virus (FPV), yang dapat berasal dari
makanan yang terifeksi virus, muntahan kucing yang terserang panleukopenia, dan
udara. Kucing Emily suspect panleukopenia karena dari hasil rapid test belum
menunjukkan hasil yang jelas.

3.2 Saran
Perlu dilakukan pencegahan penyakit panleukopenia yaitu dengan vaksinasi
serta meminimalkan kucing kontak langsung dengan kucing liar, karena rentan
terkena penularan langsung dari kucing liar yang tidak dilakukan vaksinasi.

48
DAFTAR PUSTAKA
Diemunsch P, Grelot L. 2000. Potential of substance P antagonists as antiemetics.
[Review] [60 refs]. Drugs. 60:533-46.
Dissanayak, D.R.A., Silva, I.D., Gamage, S., Sonnadara, D., Bandara, M.R.B.N.,
Alokabandara, S.S., Jayapani, V.P.P., and Jayaweera, W. 2016. Feline
Panleukopenia Virus Infection in a Captive – Breed Bengal Tiger (Panther
tigris tigris) and a Leopard (Panthera pradus). Faculty of Veterinary
Medicine and Animal Science. University of Paradenya. Paradenya.
Grace, Sharon. 2016. Feline Retroviruses: Feline Leukemia Virus. Mississippi State
University College of Veterinary Medicine The Feline Patient Course.
Hartmann, S. 2017. Feline Panleukopenia – Update On Prevention and Treatment.
Medizinische Kleintier Klinik. LMU Munich. Germany.
Kemenkes. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta.
Luiz, J.A and Hesetline, Johand. 2008. Five Commons Toxins Ingested by Dogs and
Cats. The Auburn University College of Veterinary Medicine.
Tilley, L.P and Francis, W.K. 2011. Blackwell’s Five-Minute Veterinary Consult:
Canine and Feline, Fifth Edition. John Willey and Sons, Inc.
Wientarsih, Ietje., Prasetyo, Bayu. F., Rini, Madyastuti., Lina, N. S., Rizal dan
Arifin. A. 2017. Obat-Obatan Untuk Hewan Kecil. Bogor: IPB Press.

49
OVARIOHISTEREKTOMI
ANJING

50
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI INTERNA HEWAN KECIL, BEDAH
DAN RADIOLOGI
Yang dilaksanakan di
RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN FKH UB
“OVARIOHISTEREKTOMI PADA ANJING”

Oleh:
MOCHAMMAD GUNTUR KARYA FEBRIANTO, S. KH
NIM. 170130100011012

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019

51
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anjing merupakan hewan peliharaan manusia yang bisa berinteraksi dengan
sesamanya ataupun manusia sehingga tidak sedikit orang memilih anjing sebagai
hewan peliharaan atau kesayangan. Anjing juga dapat mengidap penyakit menular
yang dapat berdampak buruk bagi manusia atau sering disebut penyakit
zoonosis.Pengaruhnya bermacam-macam, dari gatal-gatal, alergi sampai dengan
kematian. Penanganan dini terhadap penyakit menular yang diderita oleh anjing
dapat dilakukan untuk mencegah penyakit tersebut semakin parah dan mengurangi
resiko penyakit tersebut berdampak buruk bagi manusia. Namun sebelum
melakukan penanganan dini, pengetahuan mengenai gejala-gejala dari penyakit
menular yang diderita anjing sangat diperlukan karena dapat memprediksi penyakit
yang diderita sehingga dapat melakukan penanganan dini yang tepat. (Witari dkk,
2013)
Kesehatan anjing akan diperoleh melalui proses yang panjang. Oleh karena
itu, sejak anjing masih kecil kesehatannya perlu diperhatikan.Langkah pertama
yang perlu dilakukan yaitu membawa anjing ke dokter hewan. Pada kunjungan
pertama, anjing akan divaksin untuk mencegah timbulnya penyakit-penyakit
tertentu. Setelah mengalami beberapa kali vaksinasi, anjing akan memperoleh
kekebalan maksimum. Pada kunjungan itu, biasanya anjing juga akan diperiksa
kemungkinannya terserang cacingan yang dapat mengganggu system pencernaan
maupun yang bersarang di hati. Untuk mengetahuinya sampel kotoran anjing perlu
dibawa untuk pemeriksaan laboratorium. (Untung, 2013)
Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan praktik tindakan OH pada
kegiatan PPDH di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana prosedur pre-operatif pada operasi Ovariohisterektomi ?
2. Bagaimana teknik bedah Ovariohisterektomi pada kucing?

52
3. Bagaimana manajemen penanganan paska-operasi pada bedah
Ovariohisterektomi ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui prosedur pre-operatif pada bedah Ovariohisterektomi.
2. Untuk mengetahui teknik bedah Ovariohisterektomi pada kucing.
3. Untuk mengetahui manajemen penanganan paska-operasi pada bedah
Ovariohisterektomi.

1.4 Manfaat
1. Memahami prosedur pre-operatif pada bedah Ovariohisterektomi.
2. Memahami teknik bedah Ovariohisterektomi pada anjing.
3. Memahami manajemen penanganan paska-operasi pada bedah
Ovariohisterektomi.

53
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Organ Reproduksi Betina


Organ reproduksi betina terdiri dari vulva, vagina, servik, uterus, oviduk,
dan ovarium (Gambar 2.1). Oviduk merupakan saluran yang menghubungkan
ovarium ke uterus, dan ujung dari uterus disebut servik. Servik memisahkan bagian
uterus dengan vagina dan berfungsi sebagai barrier yang mencegah infeksi pada
uterus. Vagina merupakan saluran yang tersusun oleh otot yang dimulai dari ujung
servik hingga ke vulva. Vulva merupakan bagian terakhir dan terluar dari organ
reproduksi betina (Johnson, 2016).
Oviduk akan berhubungan langsung dengan ovarium kiri dan kanan. Setelah
ovulasi, ovum akan menuju uterus melalui oviduk. Cairan yang disekresikan oleh
oviduk akan memberikan kondisi yang sesuai untuk ovum, fertilisasi dan
perkembangan embrio dini. Uterus dan servik mempunyai fungsi untuk menjaga
dan mempertahankan kebuntingan (Johnson, 2016).

Gambar 2.1 Anatomi Organ Genetalia Betina


(Sumber: Johnson, 2016 dan Fos, 2008).

2.2 Ovariohisterectomy
Sterilisasi pada hewan betina disebut dengan ovariohysterectomy
(Ovariohisterektomi atau OH) atau ovariectomy. Ovariohisterektomi merupakan
tindakan pembedahan dengan membuang ovarium dan uterus dari rongga abdomen.
Sedangkan ovariectomy adalah tindakan pembedahan yang hanya membuang

54
ovarium saja (ACVS, 2011).Menurut Ranson Animal Hospital (2010), tujuan dari
OH adalah sebagai berikut:
 Untuk mencegah terjadinya siklus estrus sehingga tidak terjadi kebuntingan.
 Mencegah atau menurunkan resiko terjadinya tumor mammae. Jika sterilisasi
dilakukan sebelum umur enam bulan, maka resiko terjangkit tumor mammae
lebih kecil.
 Terapi pada penyakit reproduksi, misalnya: pyometra, metritis, kista, ruptur
uteri, torsio uteri, tumor pada uterus, prolapsus vagina, prolapsus uteri, dan
gangguan hormon endokrin.

2.3 Teknik Ovariohisterectomy pada Anjing


Menurut Fossum (2012), teknik operasi ovariohisterektomi dengan metode
laparotomi pada kucing adalah sebagai berikut.
1. Bagian area pembedahan pada ventral abdomen dipersiapkan, mulai
darixyphoid sampai pubis.
2. Identifikasi umbilikal, dan secara visual bagilah abdomen menjadi 3 bagian
(cranial, medial dan caudal).Badan uterus pada kucing terletak lebih caudal
dan lebih sulit untuk dijangkau, untuk itu sayatan yang dilakukan pada
kucing yaitu pada 1/3 bagian caudal abdomen.
3. Penyayatan 4-8 cm dilakukan didaerah orientasi yaitu daerah lineaalba
(laparotomi medianus).Pertama kali penyayatan dilakukan pada kulit,
subkutan, kemudianlinea alba dan peritoneum.
4. Setelah rongga abdomen terbuka dilakukan eksplorasi uterus. Masukkan
ovary hook/telunjuk ke sepanjang dindingabdomen, setelah itu putar ke arah
medial untuk mendapatkancornua uteri sebelah kanan dan ligamen-ligamen
kemudian angkat dari ruang abdomen.

55
Gambar 2.2 Penggunaan spay hook atau ovary hook

5. Eksplorasi cornua uteri yang didapatkan sampai didapatkanovarium. Jika


ovarium sudah ditemukan potong ligamentum suspensory dengan
menariknya perlahan kearah caudoventral. Ligamentum suspensory
merupakan ligamnetum yang menghubungkan ovarium dengan dinding
pelvis.

Gambar 2.3 Penarikan ligamen suspensory

6. Bagian mesovarium dijepitdengan dua arteri clamp dibagian proksimal


ovariumkemudian diikat melingkar dengan kuatmenggunakan benang
diantara dua arteri clamp tersebut. Bagian distal ovarium dijepit juga dengan
satu arteri clamp.
7. Benang yang digunakan menggunakan benang absorbable. Ikatan dilakukan
dengan menggunakan jarum ujung bulat, ditusukkan pada bagian tengah
ligamen kemudian diputar mengelilingi setengah bagian lalu kembali ke
tusukkan awal dan benang diputar kembali mengelilingi setengah bagian
lainnya. Ikatan ini dilakukan dua kali.

56
Gambar 2.4 Teknik pengikatan atau ligasi

8. Potong ligamen antara ikatan yang mengikat ligamen suspensory dengan


artery clamp yang menjepit ovarium.Setelah yakin tidak terjadi pendarahan,
arteri clamp dilepas.Prosedur ini dilakukan pada masing-masing ovarium
kanan dan kiri.

Gambar 2.5 Pemotongan ligamen

9. Bagian uterus ditelusuri sampai mencapai bifurcatio dan corpus uteri.


Bagian corpus uteri dijepit dengan klem, kemudian dilanjutkan untuk
menelusuri cornua uteri yang satu lagi. Lakukan penjepitan dan pemotongan
ovarium seperti sebelumnya.
10. Angkat dua cornua uteri yang telah di potong tadi sampai didapatkan corpus
uteri. Ligasi semua ligamen, lalu corpus uteri dijpeit dengan arteri clamp
seperti yang dilakukan pada pemotongan ovarium, pada bagian cranial dari
servik. Menggunakan tiga arteri clamp, dua dibagian proksimal dan satu
dibagian distal.

57
Gambar 2.6 Pemotongan corpus uterus

11. Diantara dua arteri clamp dibagian distal, corpus uteri diikat menggunakan
metode ikatan yang sama seperti sebelumnya. Buatlah dua ikatan dan
corpus uteri dipotong. Setelah yakin tidak terjadi pendarahan, klem dilepas.
Reposisi uterus dan omentum ke dalam abdomen.
12. Tutup bagian abdomen dengan menjahit tiga lapisan. Lapisan fascia atau
linea alba, subkutan dan kulit.

58
BAB III
METODE KEGIATAN

3.1 Waktu dan Tempat


Operasi ovariohisterektomi pada kucing dilaksanakan pada tanggal 28
Agustus 2018 yang bertempat di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Universitas
Brawijaya, Malang.

3.2 Peserta dan Pembimbing PPDH


Peserta PPDH mahasiswa PPDH FKH Universitas Brawijaya.

Nama : Mochammad Guntur Karya Febrianto


NIM : 170130100011012
yang berada dibawah bimbingan drh. Dodik Prasetyo, M.Vet.

3.3 Metode Kegiatan


Metode yang digunakan dalam kegiatan koasistensi ini yaitu melaksanakan
operasi bedah ovariohisterektomiberbasis Halsted Principal of Surgery dan sesuai
dengan kompetensi Program Profesi Dokter Hewan FKH UB. Hasil dari
pelaksanaan koasistensi ini akan dilaporkan secara tertulis kepada pihak Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya.

59
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Prosedur Pre-operasiPada Bedah Ovariohisterektomi


Pre-operasi merupakan persiapan sebelum operasi yang terdiri dari persiapan alat
dan bahan, persiapan operator dan persiapan hewan. Untuk menghindari terjadinya
kontaminasi selama pelaksanaan operasi diperlukan persiapan tersebut, karena
sumber kontaminasi bakteri dapat berasal dari pasien, lingkungan (udara, ruang dan
fasilitas yang tersedia untuk keperluan operasi), bahan dan alat operasi, serta
operator. Kontaminasi yang terjadi selama operasi dapat mempengaruhi lama
kesembuhan luka.

4.1.1 Persiapan Ruang Operasi


Ruang yang digunakan untuk operasi harus terang, berdinding, lantai dan langit-
langit yang bersih, sirkulasi udara minimal, dan jendela yang selalu tetap tertutup.
Ruang operasi hanya difungsikan sebagai tempat operasi, tidak menjadi tempat lalu
lalang dan orang yang tidak terlibat dalam pelaksanaan operasi tidak diperbolehkan
memasuki ruang operasi. Ruang operasi harus selalu bersih dan didesinfeksi
menggunakan desinfektan seperti alkohol, chlorine, dan iodine.

4.1.2 Persiapan Alat dan Bahan


Hal-hal yang perlu diperhatikan selama penggunaan alat dan bahan operasi adalah
jenis, jumlah, kebersihan atau sterilitas, tata letak dan kondisi alat. Peralatan operasi
yang dipergunakan harus steril sampai pelaksanaan operasi selesai dan segera
dibersihkan setelah selesai digunakan. Alat dan bahan yang dibutuhkan utuk operasi
OH dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Alat dan Bahan Operasi OH
Alat Bahan
1) Scalpel-blade 1) Drapes
2) Hemostatic forceps 2) Benang jahit:
 Cutgut chromic
 Cutgut plain
 Cutgut silk
3) Allis forceps 3) Obat-obatan:

60
 Amoxycillin
 Atropin
 Ketamin
 Xylazine
 Ketoprofen
 Bioplacenton
 Normal Saline 1 fl
Penggunaan obat dan perhitungan dosis
dapat dilihat pada Tabel 4.2.
4) Scissors (ta-tu, tu-tu,ta-ta) 4) Tampon
5) Needle holder 5) Kasa steril
6) Towel clamp 6) Alkohol 70%
7) Needle (blunt, taper) 7) Povidone iodine
8) Spay hook 8) Kapas
9) Groove director 9) Surgical dress
10) Gloves
11) Syringe 1 cc

Tabel 4.2 Perhitungan Volume Pemberian Obat


Nama Obat Jenis Obat Dosis Volume Pemberian
Amoxycillin Antibiotik 10 mg/kg 10 𝑚𝑔/𝑘𝑔 × 2,95 𝑘𝑔
q12h 100 𝑚𝑔/𝑚𝑙
PO, IM, SC, = 0,29 𝑚𝑙
IV
Atropin Premedikasi 0,04 mg/kg 0,04 𝑚𝑔/𝑘𝑔 × 2,95 𝑘𝑔
IV, IM, SC 0,25 𝑚𝑔/𝑚𝑙
= 0,48 𝑚𝑙
Ketamin Anastesi 10 mg/kg 10 𝑚𝑔/𝑘𝑔 × 2,95 𝑘𝑔
IM, IV 100 𝑚𝑔/𝑚𝑙
= 0,29 𝑚𝑙
Xylazin Anastesi 2 mg/kg 2 𝑚𝑔/𝑘𝑔 × 2,95 𝑘𝑔
IM, SC, IV 5 𝑚𝑔/𝑚𝑙
= 0,29 𝑚𝑙
Dexamethasone Analgesik, 0,1 mg/kg 0,1 𝑚𝑔/𝑘𝑔 × 2,95 𝑘𝑔
antiinflamasi q12h 50 𝑚𝑔/𝑚𝑙
3 hari, IV = 0,15 𝑚𝑙

61
4.1.3 Persiapan Hewan
Kucing Domestic Short Hai rbernama Bahagia dengan berat badan 2,95 kg.
Sebelum dilakukan tindakan operasi, hewan diperiksa kondisi fisiknya terlebih
dahulu, yang paling utama hewan tidak dalam kondisi bunting. Jika hewan dalam
kondisi sehat dan tidak bunting, maka diperbolehkan untuk melakukan
ovariohisterektomi.
Tahapan persiapan hewan adalah sebagai berikut.
a) Hewan dipuasakan 6-8 jam terlebih dahulu untuk menghindari efek muntah
yang dapat muncul akibat pemberian obat anastesi.
b) Hewan kemudian diberi antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder akibat operasi.
c) Dipasangkan infus secara intravena untuk menyeimbangkan cairan tubuh
yang dapat hilang selama operasi.
d) Diberikan premedikasi untuk mempermudah restrain dan proses
pencukuran rambut pada situs operasi.
e) Diberikan anastesi pada hewan.
f) Hewan kemudian direbahkan dorsal, difiksasi pada keempat kakinya,
dicukur rambut pada situs operasi.
g) Diberikan alkohol lalu povidone iodine pada situs insisi.
h) Dipasangkan drape yang dijepit menggunakan towel clamps.
Untuk pelaksanaan operasi yang berjalan lancar dan amanperlu dipahami stadium
anestesi umum. Berikut ini adalah stadium anastesi menurut Santosa (2016).
Pelaksanaan operasi OH adalah termasuk dalam operasi besar karena membuka
rongga abdomen, sehingga kondisi hewan pada pelaksanaan operasi ini harus
berada pada stadium anastesi ke III.

Tabel 4.3. Stadium Anastesi (Santosa, 2016).


Stage I. Induction Stage or Stage of  Hewan masih sadar, masih perlu
Voluntary Excitement (Stadium restrain yang baik agar hewan tidak
induksi atau stadium Eksitasi memberontak/lepas.
Bebas)  Peningkatan frekuensi nafas dan pulsus

62
 Pupil mata dilatasi
 Hewan biasanya mulai urinasi dan
defekasi.
Stage II. Stage of Involuntary  Hewan segera hilang kesadarannya.
Excitement (Stadium eksitasi tidak-  Nafas dan denyut jantung tidak teratur
bebas)  Reflek menelan, batuk, dan muntah
masih ada.
Stage III. Stage of Surgical Stadium ini dibagi dalam tiga (3) tingkatan
Anaesthesia (stadium operasi) kedalaman, yaitu light, medium dan deep.
1. First plane (light/ringan)
Ditandai dengan adanya pernafasan yang
bebas dari kemauan dan berhentinya semua
gerakan kaki belakang. Bola mata
bergerak-gerak dari satu sisi ke sisi yang
lain, sesuai dengan makin dalamnya
anestesi gerakan bola mata menjadi lebih
lemah dan akhirnya berhenti bila
memasuki tahapan berikutnya. Reflek
palpebra, kunjunctiva dan kornea segera
menghilang jika memasuki plain kedua.
Reflek pedal pada tingkat ini masih kuat
dan cepat.
2. Second Plane(medium)
Ditandaidengan perubahan pada sifat
respirasi bersifat thorakoabdominal dan
amplitudonya menurun, bola mata bergeser
ke ventromedial, reflek kornea, palpebra,
conjunctiva hilang, reflek batuk akan
menghilang pada pertengan stadium ini,
reflek pedal masih ada tetapi melemah, otot

63
mengalami relaksasi kecuali otot
abdominal. Anestesi pada tingkatan ini
semua pembedahan dapat dilakukan
kecuali pembedahan rongga perut.
3. Third Plane(deep/dalam)
Ditandai dengan adanya pernafasan yang
bersifat abdominal dengan amplitudo yang
minimal, antara inspirasi dan ekpirasi jelas,
bola mata menuju ke tengah, reflek pedal
hilang, reflek batuk hilang, tekanan rahang
(jaw tension) hilang; semua otot
mengalami relaksasi. Pada stadium inilah
semua operasi termasuk operasi besar dan
memerlukan waktu yang relatif lama dapat
dilakukan.
Stage IV.Overdosage atau stadium  Pada stadium ini ditandai dengan
paralisa. paralisa otot-otot thorak sempurna dan
hanya diagfragma yang masih aktif.
 Gerakan nafas tersengal-sengal, pulsus
cepat dan lemah.
 Pupil mengembang/dilatasi dan bola
mata seperti mata ikan( fish-eye) karena
sekresi mata berhenti.
 Warna mukosa mata berubah menjadi
abu-abu (ashen-grey colour) yang
menunjukkan adanya gagalnya jantung
kemudian diikuti berhentinya jantung
(cardiac arrest) dan kematian

64
4.1.4 Persiapan Operator
Sebelum dilakukan operasi, operator harus memperhatikan personal hygiene dan
sanitasi. Tahapan dari persiapan operator adalah sebagai berikut.
1. Pemakaian hair cap dan masker.
2. Pencucian tangan dan kuku dengan sabun antiseptik. Tangan dicuci sampai
siku, kuku dan sela jari disikat bersih.
3. Pemakaian surgical dress dibantu oleh asisten operator.
4. Pemakain gloves.

4.2 Teknik Pembedahan Ovariohysterectomy


Proses operasi dilakukan berbasis Halsted Principal of Surgery yang meliputi hal-
hal sebagai berikut (Koch, 2001).
1. Perlakuan jaringan dengan baik dan hati-hati. Hal tersebut meliputi:
a) Diseksi jaringan dengan tajam menggunakan scalpel-blade.
b) Penarikan jaringan secara lembut dan hati-hati terutama jika berkaitan
dengan pembuluh darah dan nervus.
c) Hindari dehidrasi dan peningkatan temperatur pada jaringan dengan
melakukan flushing.
2. Manajemen hemostasis yang akurat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
electrocoagulation dan ligasi. Pembuluh darah dengan diameter kurang
dari 1-2 mm lebih baik dilakukan electrocoagulation, sedangkan
pembuluh darah denagn ukuran diameter yang lebih besar lebih baik
dilakukan ligasi.
3. Menjaga suplai darah. Aliran darah yang baik dapat membantu proses
kesembuhan luka, karena darah membawa oksigen dan komponen yang
berperan dalam kesembuhan luka seperti fibroblast.
4. Proses operasi yang aseptis. Proses ini dapat dilakukan dengan hal-hal
sebagai berikut.
a) Persiapan pasien, asisten operator, peralatan bedah, dan ruang bedah
secara aseptis.
b) Memberikan cairan steril pada situs operasi.

65
c) Melakukan operasi secara cepat namun tepat.
d) Penutupan luka dan pemasangan perban secara steril.
5. Menjaga ketegangan otot.
6. Memperkirakan penutupan jaringan dengan hati-hati.
7. Menghindari adanya dead space.

Prosedur pembedahan Ovariohisterektomiyang dilakukan adalah sebagai berikut.


1. Pasien yang telah dianastesi diposisikan dorsal recumbency (Gambar 4.1).
Cukur rambut mulai dari caudal xyphoideus hingga pubis untuk
mempermudah proses operasi dan menghindari masuknya rambut ke dalam
lokasi operasi. Desinfeksi area operasi meggunakan alkohol 70% dan
povidone iodine.

Gambar 4.1 Posisi dan Fiksasi Kucing.


(Sumber: Dokumentasi pribadi)

2. Dipasang drape sehingga hanya area operasi yang tampak.


3. Incisi dilakukandengan menggunakan scalpel-blade 4-5 cm di caudal
umbilicus.
4. Jaringan lemak yang berada di subkutan dipreparir. Allis forceps
digunakan untuk menjepit kulit dan muskulus untuk memperluas lapang
pandang.
5. Untuk menemukan cornua uterus digunakan spay hook. Spay
hookdimasukkan mengikuti dinding abdomen lalu ditarik kearah medial
caudal.

66
6. Setelah cornua uterus didapatkan, kemudian ovarium dikeluarkan dengan
menarik ligamennya, kemudian dijepit menggunakan forcep (Gambar
4.2).

Gambar 4.2 Penjepitan (klem).


(Sumber: Dokumentasi pribadi)

7. Bagian ligamen proksimal ovarium di klem dengan dua forcep dan satu
forcep dibagian distalnya. Dilakukan ligasipada ligamendiantara dua
forcep menggunakan benang chromic 3/0, dan dilakuakan dua kali ligasi
(Gambar 4.3).

Gambar 4.3 Pengikatan Ligamen Ovarium


(Sumber: Dokumentasi pribadi)

8. Ovarium dipotong pada bagian diantara dua forcep proksimal ovarium.


Sedikit bagian ligamen ovarium yang tersisa dijepit dan forcep dilepaskan,
untuk memastikan masih ada pendarahan atau tidak. Jikat tidak ada

67
pendarahan ligamen dapat dilepas dan masuk ke rongga abdomen. Pada
ovarium yang lain dilakukan hal yang sama (Gambar 4.4).

Gambar 4.4 Pemotongan ligamen ovarium


(Sumber: Dokumentasi pribadi)

9. Setelah kedua ovarium dipotong dari mesovarium, selanjutnya dilakukan


ligasi corpus uteri di caudal bifurcatio utery dan cranial servik (Gambar
4.5). Ligasi dilakukan dengan cara yang sama seperti pada ligasi ovarium.

Gambar 4.5 Ligasi Bifurcatio Uteri.


(Sumber: Dokumentasi pribadi)

10. Corpus uteri dipotong diantara dua forcep di bagian proksimalcornua


uteri dan dipastikan ada pendarahan atau tidak sebelum dimasukkan
kembali ke rongga abdomen.
11. Bagian abdomen kemudian ditutup dengan menjahit setiap lapisan yang
diincisi sebelumnya.

68
12. Muskulus Rectus Abdominis Eksternus dijahit menggunakan benang
chromic 3/0 dan jarum ujung tumpul, dengan tipe jahitan simple
interrupted (Gambar 4.6).

Gambar 4.6 Penjahitan Muskulus Rectus Abdominsi Eksternus.


(Sumber: Dokumentasi pribadi)

13. Lapisan subkutan dijahit dengan tipe jahitan simple continuous untuk
mengurangi dead space yang dapat mengakibatkan timbulnya seroma
menggunakan benang chromic 3/0 (Gambar 4.7).

Gambar 4.7 Penjahitan Lapisan subkutan.


(Sumber: Dokumentasi pribadi)

14. Bagian kulit dijahit dengan tipe jahitan intradermal menggunakan


benang chromic 3/0 (Gambar 4.8).

69
Gambar 4.8 Jahitan Intradermal.
(Sumber: Dokumentasi pribadi)

15. Setelah selesai penjahitan, dilakukan pembersihan daerah sekitar jahitan


dengan iodine dan diberikan salep gentamicin, setelahnya dilakukan
pemasangan plaster penutup.
4.3 Manajemen Post-operasi
Manajemen post-operasi ovariohisterektomi terdiri dari hal-hal sebagai berikut.
Rincian pengobatan paska operasi dapat dilihat pada Lampiran 1.
1) Observasi situs operasi.
Observasi situs operasi meliputi pembersihan area operasi, pemberian salep
antibiotik, penggantian perban, dan pemasangan gurita..
2) Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan temperatur, pulsus, respirasi, observasi
urinasi, defekasi, vomit, dan perilaku hewan serta nafsu makan hewan.
3) Pengobatan
Pemberian obat meliputi obat antibiotik, analgesik, dan antiinflamasi.

4.4 Pembahasan
Ovariohisterektomi merupakan tindakan pembedahan dengan membuang
ovarium dan uterus dari rongga abdomen. Anjing yang digunakan untuk
ovariohisterektomi didapatkan dari daerah Kalisongo Malang, Malang. Anjing

70
merupakan ras domestic berwarna coklat. Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan
menunjukkan data-data sebagai berikut;suhu tubuh 38,7 °C, CRT <2 detik, telinga
bersih, pulsus 120 kali/menit, membran mukosa berwarna merah muda, umur ± 1,5
tahun, dan berat badan 2,95 kilogram. Menurut Widodo, dkk (2011), suhu tubuh
normal pada anjing adalah 37,5 – 39o C, membran mukosa normal berwarna merah
muda, frekuensi pulsus normal kucing 110-130 kali/menit. Hasil pemeriksaan fisik
ini menggambarkan kondisi anjing secara umum normal. Pemeriksaan lanjutan
lainnya sebelum operasi yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan darah, untuk lebih
memastikan bahwa profil darah kucing dalam keadaan normal sehingga tingkat
kesembuhan pasca operasi tinggi.
Sebelum operasi, anjing dipuasakan selama 8-12 jam. Hal ini dilakukan
untuk menghindari efek muntah setelah pemberian anastesi. Waktu puasa ini
didasarkan pada lama pengosongan lambung yang pada keadaan normal,
pengosongan lambung dimulai 5 sampai 10 menit setelah makan, makanan dapat
mencapai usus halus dalam waktu 15 menit. Lambung akan kosong dalam waktu 3
sampai 7 jam. Kecepatan pengosongan lambung dipengaruhi juga oleh keadaan
fisik, kuantitas dan konsistensi dari makanan. Makanan semi cair segera dapat
dikosongkan dalam waktu 3 sampai 4 jam, makanan yang tidak dimasak dapat
dikosongkan dalam waktu 4 sampai 7 jam dan makanan padat dapat bertahan
sampai 10 jam lebih.
Bagian ekstremitas cranial anjing kemudian dicukur, tepatnya di daerah
vena cephalica untuk dilakukan pemasangan iv cath untuk pemberian terapi cairan
pada kucing. Tujuan utama dari terapi cairan adalah untuk mengatasi dehidrasi,
memulihkan volume sirkulasi darah pada keadaan hipovolemia atau shock,
mengembalikan dan mempertahankan elektrolit (Na+ dan K+), dan asam basa dalam
tubuh ke arah batas normal (Suartha, 2010). Untuk penggunaan terapi cairan secara
efektif, diperlukan pengetahuan yang memadai tentang regulasi normal cairan
dalam tubuh hewan, dan faktor-faktor lain yang terlibat dalam proses keseimbangan
cairan, seperti osmolalitas plasma, peranan hormon (antidiuretik, angiotensin II)
dan pengeluaran ion natrium (ion Na) dari ginjal (Wingfield, 2009). Menurut
Suartha (2010), beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kecepatan pemberian

71
cairan adalah : (1) rute yang digunakan, (2) kehadiran penyakit primer, (3) kondisi
klinis pasien, (4) tujuan terapi, (5) komposisi cairan yang diberikan, (6) kesulitan
restrain yang diperlukan. Untuk menghitung jumlah cairan yang dibutuhkan untuk
mempertahankan hidrasi tubuh kucing digunakan rumus (Wingfield, 2009) :
Kebutuhan cairan untuk maintenance = {(30x kgBB) + 70}

Setelah itu, anjing diinjeksi Amoxycillin dengan dosis 10 mg/kg BB sebelum


operasi dimulai. Amoxycillin merupakan antibiotik spektrum luas golongan beta
laktam yang bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel bakteri (Plumb,
2011). Injeksi dilakukan secara intramuskular di antara muskulus
semimembranosus dan semitendinosus. Eliminasi amoxycillin melalui ginjal yang
dieksresikan oleh tubulus. Setelah diinjeksi Amoxycillin, dilanjutkan pemberian
Atropindengan dosis 0,04 mg/kg. Atropin merupakan agen antimuskarinik yang
secara kompetitif menghambat kinerja asetilkolin atau stimulan kolinergik lain pada
syaraf parasimpatik. Pada dosis rendah, obat ini menghambat salivasi, sekresi
bronkial, dan sekresi keringat. Pada dosis sistemik moderat, atropin melebarkan dan
menghambat akomodasi pupil, serta meningkatkan denyut jantung. Dosis tinggi
mengakibatkan penurunan motilitas saluran pencernaan dan saluran kemih, serta
menghambat sekresi lambung (Plumb, 2011). Injeksi dilakukan secarasubkutan.
Setelah pemberian Atropin, anjing menunjukkan respon kelemahan, lemas,
sehingga lebih mudah dihandling untuk pemberian anastesi.
Ketika anjing terlihat lemas, anjing diposisikan dorsal recumbency untuk
dilakukan pencukuran dibagian sekitar umbilikus dengan silet tajam secara hati-
hati agar tidak menimbulkan luka. Untuk mempermudah pencukuran sebelum
dicukur area ini dibasahi dengan air sabun. Pastikan daerah sekitar area
pembedahan bersih dan tidak ada rambut yang tersisa.
Lima belas menit setelah pemberian atropin. Anjing kemudian diberi
ketamin dan xylazine masing-masing dengan dosis 10 mg/kg dan 2 mg/kg lima
belas menit setelah pemberian Atropin. Ketamin bekerja dengan cara menghambat
reseptor NMDA, yaitu reseptor dan ion chanel protein pada sel syaraf. Obat ini
dapat menimbulkan efek samping berupa takikardi, takipnea, dan ketegangan otot.

72
Xylazine bekerja menghambat andrenergik reseptor yang merupakan reseptor pada
syaraf simpatik. Penggunaan obat ini menimbulkan efek samping berupa bradikardi
dan relaksasi otot (Plumb, 2011). Obat tersebut diberikan secara intramuscular di
antara muskulus semimembrinosus dan semitendinosus. Penggunaan obat ini
sebagai anastesi umum dan penenang untuk segala situasi dimana sedasi
diperlukan. Ketamin dapat dikombinasikan dengan atropin dan xylazine pada
prosedur pembedahan seperti ovariectomy, kastrasi, seksio sesaria, dan ekstraksi
gigi (Soetisna, 2011).
Ketika anjing mulai tidak sadarkan diri dan memasuki fase teranastesi,
dilakukan restrain dengan cara mengikat masing-masing kaki menggunakan tali
untuk menstabilkan posisi anjing di meja operasi. Pada area abdomen dipasangkan
drapeatau duk sehingga hanya area operasi yang tampak. Kemudian dioleskan
antiseptik untuk sterilisasi situs operasi. Dimulai dari bagian tengah abdomen
kearah lateral. Operasi siap dimulai.
Incisi dilakukan di bagian caudal umbilicus dengan panjang incisi 4-5 cm
Incisi dilakukan melalui kulit, subcutan dan linea alba. Setelah insisi, dilakukan
eksplorasi abdomen menggunakan spay hook. Digunakan allis forceps untuk
memperluas lapang pandang. Eksplorasi dilakukan untuk menemukan uterus,
bifurcatio uteri, dan ovarium. Setelah ovarium ditemukan, clamp dengan arteri
clamp atau forcep agar organ tidak masuk kembali ke dalam. Bagian proksimal dari
ovarium atau pada ligamennya dilakukan penjepitan menggunakan arteri clamp
atau forcep. Dua forcep dibagian proksimal ovarium dan satu forcep dibagain distal.
Forcep yang paling proksimal berfungsi untuk memfiksasi atau memegang
ligamen, forcep ditengah untuk berfungsi menahan ovarium untuk diligasi dan
forcep yang paling distal berfungsi untuk menahan aliran darah agar tidak ada aliran
darah balik kearah cornua uterus. Ligamen dan mesovarium diiligasi tepat di
proksimal ovarium menggunakan cutgut chromic dan dipotong pada bagian distal
ligasi. Lakukan hal yang sama pada ovarium yang lainnya. Kemudian ekplorasi
kembali untuk menemukan bifurcatio uteri. Dilakukan ligasi pada bagian uterus
yang berada diantara bifurcatio uteri dan servik. Proses ligasi dan pemotongannya
sama dengan proses ligasi dan pemotongan ligamen serta pembuluh darah dari

73
ovarium. Setelah proses ligasi selesai, lakukan cuttingtepat di caudal ligasi kedua
ovarium dan tepat di cranial ligasi bifurcatio uteri. Ketika akan melakukan cutting,
pertimbangkan jarak pemotongan dengan ligasi, usahakan lokasi pemotongan tidak
terlalu dekat dengan ligasi (Gambar 4.10).

Ovarium

Cornua Uteri

Bifurcatio
Uteri

Gambar 4.10 Cornua Uteri Setelah Dipotong.


(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Penjahitan musculus dan peritoneum menggunakan jarum ujung tumpul dan benang
chromic 3/0dengan tipe jahitan terputus sederhana, subkutan juga dijahit
menggunakan benang chromic 3/0 dengantipe jahitan menerus sederhana. Untuk
kulit dijahit secara intradermal menggunakan jarum ujung segitiga dan benang
chromic 3/0. Selama operasi berlangsung, setiap 15 menit sekali suhu, pulsus dan
respirasi kucing diperiksa dengan rutin.
Setelah operasi, anjing dirawat selama 12 hari. Perawatan pasca operasi
dilakukan dengan pemberian antibiotik, antiinflamasi, antiseptik, dan pergantian
perban serta gurita. Antibiotik yang diberikan adalah Amoxycillin sebanyak 10
mg/kg BB secara intramuskular selama lima hari. Antiinflamasi yang diberikan
adalah dexamethasone sebanyak 0,1 mg/kg BB secara intramuskular sehari 2 sekali
selama lima hari. Dexamethasone merupakan golongan obat antiinflamasi
nonsteroid (OAINS) turunan asam fenilalkanoat yang bekerja sebagai
antiinflamasi,antipiretik, analgesik (BSAVA, 2011). Mekanisme kerja
dexamethasone yaitu dengan menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat
memiliki efek analgesik,antiinflamasi, dan antipiretik. Salep antibiotik yang

74
digunakan adalah Genoint salep yang mengandung antibiotik gentamicin sulfat.
Gentamicin sulfat memiliki daya bakterisidal dengan spektrum luas. Bekerja
dengan menghambat sintesis protein bakteri. Kondisi jahitan pasca operasi dapat
dilihat pada Lampiran 1. Setelah luka kering dan sembuh pada hari ke 12, kucing
dilepaskan kembali ke tempat asal.
Lama penyembuhan luka berdasarkan fase penyembuhan luka terdiri
darifase koagulasi, faseinflamasi (berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4), fase
proliferasi(berlangsung 3-24 hari), fase maturasi dimulai pada minggu ke-3
setelahperlukaan dan memerlukan waktu lebih dari 1 tahun.
Fase koagulasi : setelah luka terjadi, terjadi perdarahan pada daerah luka yang
diikutidengan aktifasi kaskade pembekuan darah sehingga terbentuk klot
hematoma. Prosesini diikuti oleh proses selanjutnya yaitu fase inflamasi.
Fase inflamasi : Fase inflamasi mempunyai prioritas fungsional yaitu
menggalakkanhemostasis, menyingkirkan jaringan mati, dan mencegah infeksi
oleh bakteri patogenterutama bakteria. Pada fase ini platelet yang membentuk klot
hematom mengalamidegranulasi, melepaskan faktor pertumbuhan seperti platelet
derived growth factor (PDGF) dan transforming growth factor ß(βTGF),
granulocyte colony stimulating factor (G-CSF), C5a, TNFα, IL-1 dan IL-8.
Leukosit bermigrasi menuju daerah luka.Terjadi deposit matriks fibrin yang
mengawali proses penutupan luka. Proses initerjadi pada hari 2-4.
Fase proliperatif : Fase proliperatif terjadi dari hari ke 4-21 setelah
trauma.Keratinosit disekitar luka mengalami perubahan fenotif. Regresi
hubungandesmosomal antara keratinosit pada membran basal menyebabkan sel
keratinbermigrasi kearah lateral. Keratinosit bergerak melalui interaksi dengan
matriksprotein ekstraselular (fibronectin,vitronectin dan kolagen tipe I).
Faktorproangiogenik dilepaskan oleh makrofag, vascular endothelial growth factor
(VEGF)sehingga terjadi neovaskularisasi dan pembentukan jaringan granulasi.
Fase remodeling : Remodeling merupakan fase yang paling lama pada
prosespenyembuhan luka,terjadi pada hari ke 21-hingga 1 tahun. Terjadi kontraksi
luka,akibat pembentukan aktin myofibroblas dengan aktin mikrofilamen yang
memberikankekuatan kontraksi pada penyembuhan luka. Pada fase ini terjadi juga

75
remodelingkolagen. Kolagen tipe III digantikan kolagen tipe I yang dimediasi
matriksmetalloproteinase yang disekresi makrofag, fibroblas, dan sel endotel. Pada
masa 3minggu penyembuhan, luka telah mendapatkan kembali 20% kekuatan
jaringannormal (Diegelmann, 2004).

76
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan operasi Ovariohisterektomi yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
hal berikut :
1. Persiapan pre operasi dari operasi ovariohisterektomi meliputi persiapan
alat dan bahan, persiapan hewan, persiapan operator, dan persiapan ruang
operasi.
2. Pelaksanaan operasi ovariohisterektomi berbasis Halsted Principal of
Surgery.
3. Manajemen perawat post operasi yaitu observasi situs operasi,
pemeriksaan fisik, dan pemberian terapi antibiotik dan anti-inflamasi.

5.2 Saran
Sebelum pelaksanaan operasi Ovariohisterektomi sebaiknya dilakukan
pemeriksaan penunjang seperti pada operasi lainnya. Pemeriksaan penunjang yang
dibutuhkan yaitu pemeriksaan darah untuk mengetahui kondisi anjing, apakah
layak atau tidak untuk dioperasi.

77
DAFTAR PUSTAKA

American College of Veterinary Surgeon (ACVS). 2011. Ovariohysterectomy.


https://www.acvs.org/small-animal/ovariohysterectomy (Diakses
tanggal 2Juli 2017).
Diegelmann R.F, Evans M.C. Wound Healing : An Overview of Acute, Fibrotic and
Delayed Healing. Frontiers in Bioscience 2004;9:283-9.
Fossum. TW., Curtis. WD., Caroline. VH., Ann. LJ., Catriona. MMP.,
MaryAnn.GR., Kurt. SS., Michael. DW. 2013. Small Animal Surgery.
4thEdition. Elsevier. St. Louis Missouri 63043.
Johnson, Cheri A. James AF. Autumn PD. Fabio DP. 2016. The Gonads and
Genital Tract of Cats. Veterinary
Manual.http://www.msdvetmanual.com.
Koch, D. 2001. Introduction to The Principal of Small Animal Surgery. Small
Animal Surgery Clinic, University of Zurich.
Plumb D.C. 2011.Veterinary Drug Handbook 7th Edition. Wisconsin:
PharmaVetInc.
Ramsey, Ian. 2011. BSAVA Small Animal Formulary. British Small Animal
Veterinary Association. Gloucester GL2 2AB.
Ranson Animal Hospital. 2010. Routine Spay (Ovariohysterectomy).
http://www.ransonanimal.com.
Santosa, A.B. 2016. Anastesiologi. Universitas Gajah Mada.
Soetisna, A. 2011. Indeks Obat Hewan Indonesia. Jakarta: Asosiasi Obat Hewan
Indonesia.
Suartha, I Nyoman. 2010. Terapi Cairan pada Anjing dan Kucing. Buletin
Veteriner Udayana Vol. 2 No.2. :69-83.
Widodo et al. 2011. Diagnostik Klinik Hewan Kecil. Bogor (ID): IPB Press.
Wingfield WE. 2009. Fluid and Elektrolite Therapy.
http://www.cvmbs.colostate.edu/clinsci/wing/fluids/fluids.htm.
(Diakses Tanggal 10 Juli 2017).
Witari, K.R. dkk. 2013, Sistem Pakar Pendiagnosa Penyakit Menular Pada. Anjing,
Bali : e-Jurnal

78
Lampiran 1. LaporanKondisi Jahitan Pasca Operasi
Foto Kondisi Jahitan Keterangan

Hari - 1
Pasca-operasi

Hari ke - 3

 Jahitan baik
 Tidak terjadi edema
 Tidak terdapat seroma
maupun hemoragi

Hari ke - 6

 Luka menutup
 Lepas jahitan
 Sedikit edema
 Tidak terdapat seroma

Hari ke - 9

 Tidak ada edema


 Luka sudah mulai tidak telihat
 Tersisa sedikit luka diujung
caudal dari luka

Hari ke - 12

 Luka kering sempurna


 Kucing dikembalikan ke
tempat asalnya.

79
OVARIOHISTEREKTOMI
KUCING

80
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI INTERNA HEWAN KECIL, BEDAH DAN RADIOLOGI
yang dilaksanakan di
KLINIK HEWAN DAN RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

“OVARIOHISTEREKTOMI PADA KUCING”

Oleh:

MOCHAMMAD GUNTUR KARYA FEBRIANTO, S.KH


NIM. 170130100011012

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019

81
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peningkatan populasi hewan dalam jumlah besar menjadi suatu masalah tersendiri
bagi kesehatan manusia. Terutama hewan kecil seperti anjing dan kucing karena hewan-
hewan tersebut dapat menularkan dan membawa berbagai agen penyakit. Salah satu
solusi untuk memecahkan permasalahan di atas adalah melakukan tindakan sterilisasi
pada anjing maupun pada kucing jantan atau betina. Sterilisasi pada betina dapat
dilakukan dengan hanya mengangkat ovarium atau mengangkat ovarium beserta
uterusnya. Pengangkatan ovarium beserta uterus ini disebut Ovariohisterectomy.
Ovariohysterectomy merupakan salah satu tindakan bedah untuk mengatasi kelainan pada
ovarium dan saluran reproduksi hewan betina. Keputusan untuk melakukan
ovariohysterectomy dipilih ketika berbagai jenis terapi lain sudah tidak memungkinkan.
Berbagai kasus yang memungkinkan dilakukannya tindakan bedah ini diantaranya
adanya tumor atau kista pada ovarium dan pada kasus pyometra yaitu penimbunan nanah
pada uterus.
Sterilisasi pada hewan betina dapat dilakukan dengan hanya mengangkat ovarium
saja (ovariectomy) atau mengangkat ovarium beserta dengan uterusnya
(ovariohisterectomy). Ovariohisterectomy merupakan istilah kedokteran yang terdiri dari
ovariectomy dan histerectomy. Ovariectomy adalah tindakan mengamputasi,
mengeluarkan dan menghilangkan ovarium dari rongga abdomen. Sedangkan
histerectomy adalah tindakan mengamputasi, mengeluarkan dan menghilangkan uterus
dari rongga abdomen. Beberapa indikasi dilakukannya ovariohisterectomy adalah, terapi
(tumor ,cysta, ovary, dan tumor uterus, pyometra), modifikasi tingkah laku (lebih mudah
dikendalikan, lebih jinak, membatasi jumlah populasi), dan penggemukan.
Keuntungan spaying hewan adalah mencegah kelahiran anak hewan yang tidak
diinginkan. Selain menjaga populasi hewan tetap terkendali, tindakan ini juga
memungkinkan pemilik hewan bisa merawat hewan-hewannya dengan maksimal.
Tindakan bedah ini akan memberikan efek pada hewan seperti perubahan tingkah laku
dimana hewan tidak lagi mampu untuk bunting dan menyusui serta kebiasaan birahi.
Perubahan tingkah laku ini dapat terjadi akibat ketidakseimbangan hormonal. Meskipun

82
banyak keuntungan yang didapat, namun operasi ini memiliki beberapa kelemahan yaitu
hewan betina steril sudah tidak dapat birahi, tidak bunting, dan tidak dapat menyusui.
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui dan memahami teknik bedah ovariohisterectomy (OH)
meliputi persiapan operasi, pelaksanaan, dan pengobatan post operasi pada kucing.

1.4 Manfaat
Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) dapat memahami dan
melakukan sendiri teknik bedah (OH) meliputi persiapan operasi, pelaksanaan, dan
pengobatan post operasi pada kucing.

83
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Alat Reproduksi Betina


Ovarium terdiri dari medulla dan cortex korteks pada kulit terluarnya, medula
tersusun dari pembuluh darah, saraf, dan jaringan ikat. Korteks berisi lapisan-lapisan sel
dan jaringan yang terkait dengan ovum dan produksi hormon. Uterus memanjang dari
persimpangan uterotubal ke serviks. Pada sapi, babi, dan kuda panjang keseluruhan
berkisar 35-60 cm. Pada babi, rusa, domba, dan sapi tanduk uterus mencapai 80 sampai
90% dari panjang total, sedangkan pada kuda, tanduk uterus sekitar 50% dari total
panjang. Fungsi uterus umumnya untuk mempertahankan dan memelihara embrio, atau
fetus. Sebelum embrio melekat ke uterus, makanan embrio berasal dari kuning telur
dalam embrio atau dari susu uterus rahim yang disekresikan oleh kelenjar dalam lapisan
mukosa uterus. Setelah melekat pada uterus embrio mengambil nutrisi dan buangan
produk-produk limbah melalui plasenta.
Uterus terdiri dari tanduk uterus, badan uterus dan leher uterus (serviks). Proporsi
relatif masing-masing uterus, bentuk dan tanduk uterus bervariasi tergantung spesies.
Pada babi, uterus dengan tipe bikornua (uterus bicornis). Tanduk uterus berlipat-lipat dan
mencapai panjang 4–5 kaki, sedangkan badan uterus pendek. Panjang uterus ini
merupakan adaptasi anatomik dalam melahirkan sejumlah anak pada satu satuan waktu
kelahiran. Pada sapi, domba dan kuda, tipe uterus adalah bipartite (uterus bipartitus). Pada
ternak-ternak ini, uterus mempunyai penyekat (septum) yang memisahkan dua tanduk
uterus dan badan uterus. Kedua bagian uterus melakat pada pelvis dan dinding abdominal.
Meskipun secara teknis serviks merupakan bagian dari uterus, namun demikian serviks
ini akan dibahas sebagai salah satu organ reproduksi tersendiri. Perbedaan yang mendasar
dari uterus adalah bahwa serviks berdinding tebal dan elastis, bagian anterior yang
menuju badan uterus sedangkan ujung posterior menjorok ke vagina. Kebanyakan
spesies, panjang serviks berkisar antara 5 sampai 10 cm dengan diameter luar 2 sampai 5
cm. Serviks terdiri dari saluran yang merupakan pembukaan ke dalam uterus yang
berfungsi untuk mencegah kontaminasi mikroba terhadap uterus, namun juga dapat
berfungsi sebagai reservoir sperma setelah perkawinan. Secara histologi, lapisan luar
serviks adalah tunika serosa, lapisan tengah adalah jaringan ikat diselingi dengan serat

84
otot polos. Mukosa, terdiri terutama dari sel epitel secrectory, tetapi beberapa sel epitel
bersilia. Tingginya konsentrasi estrogen menyebabkan saluran serviks bersilia selama
estrus (standing heat). Sinergisme antara tingginya kadar estrogen dan relaksin
menyebabkan pelebaran yang lebih besar sebelum proses kelahiran. Terbukanya saluran
ini menjadikan serviks. lebih rentan terhadap invasi organisme. Namun demikian,
estrogen menyebabkan sel-sel epitel serviks mengeluarkan lendir yang sifat antibakteri,
sehingga melindungi uterus.
Vagina adalah berbentuk tabung, berdinding tipis dan cukup elastis. Panjangnya
berkisar antara 25 sampai 30 cm pada sapi dan kuda, dan 10 sampai 15 cm pada kambing
dan domba. Pada sapi, kambing dan domba, semen disimpan di dalam ujung anterior
vagina, dekat pembukaan serviks, selama perkawinan alami. Organ ini merupakan organ
kopulasi pada betina. Lapisan luar, tunika serosa, diikuti oleh lapisan otot polos yang
mengandung serat. Pada kebanyakan spesies, lapisan mukosa terdiri dari sel skuamosa
epitel (kecuali pada sapi). Sel-sel epitel cornify (sel tanpa inti) di bawah pengaruh
estrogen.Vulva, atau alat kelamin luar, terdiri dari vestibula depan dengan bagian-bagian
terkait dan ruang depan labia.Vestibula adalah bagian dari sistem saluran betina yang
umum bagi sistems reproduksi dan saluran kencing. Panjangnya sekitar 10 sampai 12 cm
pada sapi dan kuda, setengah panjang tersebut pada babi dan seperempatnya pada domba
dan kambing. Bagian luar uretra terdiri dari labia minor, lipatan dalam atau bibir vulva,
dan labia major, lipatan luar atau bibir vulva. Labia minora adalah homolog dengan
preputium (selubung) pada jantan dan tidak menonjol. Labia majora, homolog dengan
skrotum pada jantan, merupakan bagian dari sistem betina yang dapat terlihat secara
eksternal. Pada sapi labia major ditutupi dengan rambut halus hingga klitoris mucosa.
Klitoris sekitar 1 cm secara ventral di dalam labia.

85
Gambar 2.1 Organ reproduksi kucing betina.

2.2 Ovariohisterectomy
Ovariohisterectomy merupakan istilah kedokteran yang terdiri dari ovariectomy
dan histerectomy. Ovariectomy adalah tindakan mengamputasi, mengeluarkan dan
menghilangkan ovarium dari rongga abdomen. Sedangkan histerectomy adalah tindakan
mengamputasi, mengeluarkan dan menghilangkan uterus dari rongga abdomen. Beberapa
indikasi dilakukannya ovariohisterectomy adalah untuk terapi (tumor, cysta ovarium dan
tumor uterus, pyometra), modifikasi tingkah laku (lebih mudah dikendalikan, lebih jinak,
membatasi jumlah populasi), dan untuk penggemukan.

Gambar 2.2 Ovariohisterectomy.

86
Pengertian ovariohisterectomy merupakan gabungan dari pengetian diatas yaitu
tindakan pengambilan ovarium, corpus uteri dan cornua uteri . Ovariohisterectomy
dilakukan pada kasus-kasus pyometra, metritis, dan salphingitis ataupun keduanya.
Dalam istilah medis, desexing (kastrasi) kucing betina disebut “spaying” dan pada jantan
disebut “neutering”. Keuntungan dari kastrasi anak kucing sejak usia 10-12 minggu
adalah mencegah penyebaran kucing secara berlebihan dan mengurangi kemungkinan
terkena penyakit kanker. Usia yang masih sangat muda membutuhkan waktu bedah yang
lebih singkat dan pendarahan lebih sedikit sehingga akan sembuh lebih cepat, pada
akhirnya kucing dan pemiliknya akan mengalami stress yang lebih sedikit.
Berikut adalah anatomi dari ovariohysterectomy:
 Kedua ovarium berada di caudal ginjal, dengan ovarium kanan berada lebih cranial dan
lebih sulit dijangkau.
 Ligamentum suspensorium yang arahnya craniodorsal dari ovarium menautkan
ovarium dengan dinding tubuh.
 Ligamentum utama dari ovarium menautkan ovarium dengan uterus. Ligamentum yang
cukup kuat ini, nantinya akan di jepit dengan tang arteri.
 Arteri dan vena pada ovarium sangat rapuh dan mudah pecah. Tertetak pada bagian
dorsal dari ovarium. Pada hewan tua, arteri dan vena tersebut kadang ditutupi oleh
lemak.
 Ligamentum sekitar menautkan ovarium dengan dorsolateral tubuh. Pada
ovariohysterectomy, dilakukan teknik bedah laparotomi medianus posterior.
Penyayatan kulit dilakukan pada bagian caudal umbilical. Pada anjing, penyayatan
dilakukan lebih ke cranial, karena badan uterus terletak lebih cranial apabila
dibandingkan dengan kucing.

87
Gambar 2.3 Gambaran letak ovarium dari hewan betina (kiri) dan anatomi
ovariohisterectomy (kanan).

Terdapat beberapa kerugian apabila tidak dilakukan OH pada kucing betina, yaitu
antara lain :
 Spontaneous Ovulators: kucing betina adalah “spontaneous ovulators”, artinya kucing
betina akan ovulasi hanya pada saat kawin, jika betina mengalami estrus (selama 3-16
hari) dan tidak dikawinkan maka betina akan estrus kembali setiap 14-21 hari sampai
akhirnya dikawinkan. Pola fisiologi dan tingkah laku akan tertekan selama kawin.
Apabila betina terkunci atau terjebak di dalam rumah maka kemungkinan akan
menyebabkan kegelisahan dan frustasi.
 Masalah tingkah laku dan higienis: selama siklus estrus akan muncul beberapa
permasalahan tingkah laku. Betina yang sedang estrus akan aktif mencari pejantan dan
mungkin berusaha untuk pergi jauh dari rumah, kecelakaan mobil, berkelahi dengan
hewan yang lain dan lain-lain. Kadang kucing jantan datang secara tiba-tiba disekitar
rumah dan halaman. Pada beberapa keadaan, betina yang belum di OH akan spray
urinnya ketika estrus. Hal ini akan sulit untuk dihentikan dan sangat dianjurkan untuk
dilakukan OH sebagai salah satu pengobatan.
 Kanker mamae: kanker mamae adalah no 3 kanker yang umum terjadi pada kucing
betina. Hormon reproduksi adalah salah satu penyebab utama kanker mamae pada
kucing betina. Kucing yang telah di OH memiliki risiko 40-60% lebih rendah pada
perkembangan kanker mamae daripada yang tidak di OH.
 Tumor pada traktus reproduksi: tumor akan muncul pada uterus dan ovarium. OH tentu

88
saja akan mengeliminasi berbagai kemungkinan munculnya tumor.
 Infeksi traktus reproduksi: kucing yang tidak di OH kemungkinan akan berkembang
penyakit pada uterus yang disebut pyometra. Dengan demikian, bakteri akan masuk dan
uterus akan dipenuhi oleh nanah.. Apabila tidak terdeteksi, umumnya akan fatal. Pada
kasus yang jarang adalah ketika kondisi ini diketahui lebih dini maka terapi hormonal
dan antibiotik mungkin akan berhasil. Secara umum, pengobatan pyometra
membutuhkan OH yang cukup sulit dan mahal.
Beberapa riset terbaru juga mengatakan bahwa desexing bisa membuat usia
kucing lebih panjang. Kucing jantan yang tidak dikebiri 4 beresiko terkena kanker testis,
luka bernanah akibat berkelahi, ditabrak mobil saat berjalan-jalan, FIV (AIDS bagi
kucing) & FeLV. Kucing betina yang mempunyai resiko yang lebih besar terkena kanker
payudara dan bisa terkena pyometra (infeksi rahim), ditambah lagi bisa terkena FIV &
FeLV dari jantan yang terinfeksi dan kecelakaan mobil.
Sebagian besar kucing di sterilisasi ketika berumur 5±8 bulan. Para ahli perilaku
hewan menyarankan menstrerilisasi kucing sebelum memasuki masa puber, karena dapat
mencegah munculnya sifat/perilaku kucing yang tidak diinginkan. Sterilisasi pada hewan
jantan ataupun betina berguna untuk mengendalikan (mengontrol) populasi hewan
dengan mencegah kesuburan. Manfaat dari ovariohysterectomy diantaranya adalah:
 Menghindari sifat abnormal yang diturunkan dari induk ke anak.
 Dapat mengurangi gangguan endokrin.
 Penurunan kadar hormon estrogen dan progesterone pada hewan betina yang sudah
di OH.
 Mencegah terjadinya estrus (loop / haid), sehingga hewan menjadi lebih tenang dan
tidak menarik perhatian pejantan.
 Mencegah tumor mamae. Anjing dan kucing betina memiliki peluang 99.5 %
terhindar dari tumor mamae apabila di OH sebelum menstruasi pertama. Apabila OH
dilakukan setelah menstruasi pertama peluang terhindar 92 %, tapi apabila dilakukan
setelah hewan betina berumur diatas 2 tahun kemungkinan terhindar dari tumor
mamae adalah 45 %.
 Mencegah metritis (radang uterus) dan pyometra (infeksi rahim)

89
 Mencegah terjadinya cyst (kista) dan neoplasia (tumor / kanker) di ovarium, uterus
dan vagina, walaupun kanker ovarium tidak biasa terjadi pada anjing dan kucing, tapi
mereka masih memiliki 1% kemungkinan terkena.
 Mencegah gangguan keseimbangan endokrin dengan manifestasi klinis seperti
sterilitas, penyakit kulit, tumor mamae, dan nymphomania (estrus terus menerus).
 Mencegah komplikasi kebuntingan dan kemungkinan pseudopregnant
(bunting palsu).

Sterilisasi dapat dilakukan pada saat anjing/kucing berumur 8 minggu, tetapi lebih
baik dilakukan setelah anjing dan kucing divaksinasi lengkap, setelah sistem immunitas
tubuh (kekebalan) mereka bekerja dengan baik, tetapi sebelum masuk masa pubertas
(umur 4-6 bulan). OH dapat dilakukan pada hampir semua fase siklus reproduksi dari
hewan betina, tetapi yang paling baik dilakukan sebelum pubertas (umur 4-6 bulan) dan
selama fase anestrus.
Setiap operasi memiliki kelemahan. Beberapa anjing/kucing bereaksi buruk
terhadap anasthesi (obat bius), kadang terjadi komplikasi pembedahan yang meliputi
bleeding (perdarahan) dan infeksi, sehingga luka sukar sembuh dengan baik. Resiko ini
bisa meningkat pada beberapa hewan yang memiliki masalah kesehatan. Oleh karena itu
anjing/kucing yang akan di steril harus di pastikan berada dalam kondisi sehat. Kerugian
yang didapatkan ketika dilakukannya ovariohysterectomy antara lain adalah:
 Kegemukan atau obesitas. Rata-rata proses metabolisme makanan yang rendah maka
asupan nutrisi tersebut akan disimpan menjadi lemak, sehingga menimbulkan
kegemukan.
 Kehilangan untuk memperoleh keturunan yang potensial/berharga terutama untuk para
breeder.
 Alopecia
Terdapat beberapa komplikasi yang mungkin akan terjadi, diantaranya yaitu (Saunders,
2003):
o Pendarahan (hemoragi). Hemoragi dilaporkan sebagai kausa kematian paling umum
setelah ovariohysterectomy (Pearson, 1973). Pendarahan dapat disebabkan karena

90
pembuluh ovarium yang rupture ketika ligamentum suspensorium ditarik
(diregangkan).
o Ovariant Remnant Syndrome. Sindroma ini menyebabkan hewan tetap estrus pasca
ovariohysterectomy (Osborne, 1979). Hal ni disebabkan karena pengambilan ovarium
yang tidak sempurna (tuntas).
o Uterine Stump Pyometra, inflamasi dan granuloma.
o Fistula pada traktus reproduksi. Fistula tersebut berkembang dari adanya
respon inflamasi terhadap material operasi (benang).
o Urinary incontinence. Merupakan kejadian tidak dapat mengatur spincter
vesica urinary. Hal ini dapat terjadi karena adanya perlekatan (adhesi) atau
granuloma pangkal uterus (sisa) yang mengganggu fungsi spincter vesica
urinary.
2.3 Proses kesembuhan luka
Respon organisme terhadap kerusakan jaringan/organ serta usaha pengembalian
kondisi homeostasis sehingga dicapai kestabilan fisiologis jaringan atau organ yang pada
kulit terjadi penyusunan kembali jaringan kulit ditandai dengan terbentuknya epitel
fungsional yang menutupi luka (Nelson, 2003). Tahapan penyembuhan luka terbagi atas:
 Fase koagulasi: setelah luka terjadi, terjadi perdarahan pada daerah luka yang diikuti
dengan aktifasi kaskade pembekuan darah sehingga terbentuk klot hematoma. Proses
ini diikuti oleh proses selanjutnya yaitu fase inflamasi.
 Fase inflamasi: Fase inflamasi mempunyai prioritas fungsional yaitu menggalakkan
hemostasis, menyingkirkan jaringan mati, dan mencegah infeksi oleh bakteri patogen
terutama bakteria. Pada fase ini platelet yang membentuk klot hematom mengalami
Universitas Sumatera Utara degranulasi, melepaskan faktor pertumbuhan seperti
platelet derived growth factor (PDGF) dan transforming growth factor ß (βTGF),
granulocyte colony stimulating factor (G-CSF), C5a, TNFα, IL-1 dan IL-8. Leukosit
bermigrasi menuju daerah luka. Terjadi deposit matriks fibrin yang mengawali proses
penutupan luka. Proses ini terjadi pada hari 2-4.
 Fase proliperatif: Fase proliperatif terjadi dari hari ke 4-21 setelah trauma.
Keratinosit disekitar luka mengalami perubahan fenotif. Regresi hubungan
desmosomal antara keratinosit pada membran basal menyebabkan sel keratin

91
bermigrasi kearah lateral. Keratinosit bergerak melalui interaksi dengan matriks
protein ekstraselular (fibronectin, vitronectin dan kolagen tipe I). Faktor
proangiogenik dilepaskan oleh makrofag, vascular endothelial growth factor (VEGF)
sehingga terjadi neovaskularisasi dan pembentukan jaringan granulasi.
 Fase remodeling: Remodeling merupakan fase yang paling lama pada proses
penyembuhan luka,terjadi pada hari ke 21-hingga 1 tahun. Terjadi kontraksi luka,
akibat pembentukan aktin myofibroblas dengan aktin mikrofilamen yang
memberikan kekuatan kontraksi pada penyembuhan luka. Pada fase ini terjadi juga
remodeling kolagen. Kolagen tipe III digantikan kolagen tipe I yang dimediasi
matriks metalloproteinase yang disekresi makrofag, fibroblas, dan sel endotel. Pada
masa 3 minggu penyembuhan, luka telah mendapatkan kembali 20% kekuatan
jaringan normal.
2.4 Faktor Keberhasilan Operasi
Keberhasilan suatu operasi atau tindakan bedah dipengaruhi oleh tiga hal yaitu,
anastesi, operasi dan pengobatan pasca operasi. Jika salah satu dari ketiga prosedur ini
tidak dijalankan dengan baik maka dapat dikatakan bahwa operasi tersebut gagal dan
bisa menyebabkan kematian. Pengobatan pasca operas menjadi penting karena lama
kesembuhan dan berhasil tidaknya operasi ditentukan dari tahap terakhir yakni
pengobatan (Rubiyani dkk, 2010).
Perawatan post operasi meliputi pemberian nutrisi yang cukup, obat-obatan untuk
membantu proses persembuhan luka, dan obat-obat untuk mencegah munculnya infeksi
sekunder seperti antibiotic. Selain itu kebersihan terhadap hewan harus tetap dijaga,
menginngat luka operasi sangat mudah untuk dimasuki oleh agen infeksi. Perawatan post
operasi dilakukan selama 14 hari untuk dapat maximal sampai proses penutupan luka
secara sempurna (Rubiyani dkk, 2010).

92
BAB III

PERSIAPAN OPERASI

3.1 Persiapan Hewan


3.1.1 Signalement
Nama Hewan : Seger Waras
Jenis Hewan : Kucing
Ras : DSH
Warna : Tricolor
Jenis Kelamin : Betina
Berat Badan : 3,5 kg
Habitus / tingkah : Aktif
Sikap Berdiri : Tegak
Gizi : Baik
Pertulangan kepala : Normal
Frekuensi denyut jantung : 144 x / menit
Frekuensi nafas : 48 x / menit
Suhu tubuh : 38,80 C
Capilary refill time : < 2 detik

3.1.2 Kondisi Umum Hewan dan Panca Indera


3.1.2.1 Kulit dan Rambut
Aspek rambut : Bersih dan halus
Kerontokan : Sedikit rontok
Kebotakan : Negatif
Turgor kulit : <2 detik
Permukaan kulit : Normal tidak ditemukan abnormalitas
Bau kulit : Bau kucing
Jenis bulu : Short hair
3.1.2.2 Mata dan Orbita
Palpebrae : Membuka dan menutup dengan sempurna
Cilia : Normal

93
Conjungtiva : Normal
Membrana nictitan : Normal

3.1.2.3 Hidung dan Sinus


Cairan hidung : Basah, tidak ada discharge
Aliran udara : Normal
Bentuk pertulangan : Simetris
3.1.2.4 Telinga
Posisi : Tegak
Bau : Negatif
Permukaan daun telinga : Bersih
Refleks panggilan : Ada reflek positif
3.1.2.5 Leher
Perototan : Simetris
Trakhea : Teraba, refleks batuk negatif
Esofagus : Tidak teraba
3.1.2.6 Sistem digesti
Defek bibir : Negatif
Mukosa : Pink normal
Lidah : Normal
Rongga abdomen : Normal
Anus : Bersih
3.1.2.7 Sistem Urogenital
Ginjal : Normal
Vesica urinaria : Normal
Genital Betina : Mukosa normal, bersih
3.1.2.8 Kelenjar Mammae
Ukuran : Kecil
Bentuk : Puting kecil
Letak : Ventral thoraks dan ventral abdomen
Konsistensi : Lunak

94
3.1.2.9 Alat Gerak Dan Ekstremitas
Peorotan ekstremitas cranial : Simetris
Perototan ekstremitas caudal : Simetris
Spasmus, tremor : Negatif
Cara berjalan : Normal
Struktur pertulangan : Normal

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
Alat yang digunakan pada pelaksanaan OH adalah meja operasi, lampu operasi,
clipper, tali kekang, underpad, scalpel handle, blade No.22, kain drape, hemostatic
forceps ( kelly forceps dan mosquito forceps), pinset anatomis, pinset chirurgis, groove
director, allis tissue forceps, retractor, spy hook, needle holder, needle reverse cutting,
needle tapper cutting, gunting tajam tajam, gunting tajam tumpul, kapas, tampon,
hypafix, plester, thermometer, spuit, stetoskop, gloves steril, masker steril, Elisabeth
collar.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam pelaksanaan OH adalah alkohol 70 %, povidine
iodine, atropine sulfat, xylazine, ketamin, amoxicillin, benang cut gut chromic 3.0, dan
benang silk 3,0, ketoprofen, NS steril.

3.3 Perhitungan Dosis


Berdasarkan hasil penimbangan berat badan diketahui berat badan kucing adalah
3,5 kg sehingga dosis obat yang dibutuhkan adalah sebagai berikut :
- Amoxicilin
Volume = Dosis obat x Berat badan = mg/kg x kg
Sediaan mg/ml
= 10 mg/kgx 3,5 kg
150 mg/ml
= 0,23 ml = 0,2 ml

95
- Atropine sulfat
Volume = Dosis obat x Berat badan = mg/kg x kg
Sediaan mg/ml
= 0,04 mg/kg x 3,5 kg
0,25 mg/ml
= 0,56 ml = 0,6 ml

- Xylazine
Volume = Dosis obat x Berat badan = mg/kg x kg
Sediaan mg/ml
= 2 mg/kg x 3,5 kg
20 mg/ml
= 0,35 ml
- Ketamine
Volume = Dosis obat x Berat badan = mg/kg x kg
Sediaan mg/ml
= 10 mg/kg x 3,5 kg
100 mg/ml
= 0,35 ml
- Ketoprofen
Volume = Dosis obat x Berat badan = mg/kg x kg
Sediaan mg/ml
= 2 mg/kg x 3,5 kg
100 mg/ml
= 0,07 ml

3.4 Metode Operasi


3.4.1 Persiapan ruang operasi dan sterilisasi alat
Persiapan ruang operasi dilakukan dengan cara membersihkan kotoran dan debu
dalam ruangan. Tindakan sterilisasi ruangan menggunakan radiasi atau dengan
menggunakan desinfektan 70 %. Perlakuan sterilisasi alat operasi seperti baju operasi,

96
masker, penutup kepala, sarung tangan, kain drape, dan peralatan instrument bedah.
Perlengkapan ini dimasukkan ke dalam oven untuk disterilisasi dengan suhu 60oC selama
15-30 menit.
Perlakuan sterilisasi yang dilakukan pada alat bedah minor adalah dengan cara mencuci
bersih dan dikeringkan, kemudian peralatan ini dimasukkan ke dalam kotak sesuai, yang
selanjutnya peralatan tersebut dibungkus dengan koran lalu disterilisasi menggunakan
inkubator dengan suhu 121oC selama 15 menit. Keseluruhan peralatan yang sudah steril
digunakan pada saat tidakan operasi dilaksanakan.

3.4.2 Prosedur Pre Ovariohisterectomy


Perlakuan pre ovariohisterectomy diantaranya adalah :
- Dilakukan pembersihan tubuh kucing.
- Dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan kondisi hewan secara umum
- Dipuasakan 12 jam sebelum operasi, namun air minum diberikan secara ad libitum.
- Dilakukan pencukuran rambut pada daerah yang akan diinsisi.
- Lokasi yang akan diinsisi dibersihkan dengan menggunakan air sabun, povidive
iodine dan alkohol 70 %.
- Kateter intravena dipasang pada vena chepalica antibrachii dan disambungkan
dengan cairan infus normal saline.
3.4.3 Prosedur Operasi Ovariohisterectomy
Perlakuan ovariohisterectomy menggunakan metode midline terdiri dari pemberian
anasthesi, pembedahan/laparotomi, pengikatan/ligasi ovarium, dan penutrupan rongga
abdomen dengan rincian sebagai berikut:
a.Pemberian anesthesi
- Injeksi atropine sulfat secara subcutan (SC) sebanyak 0,6 ml sebagai premedikasi.
- Selang waktu 15 menit diberikan anasthesi kombinasi xylazine sebanyak 0,35 ml
dan ketamine sebanyak 0,35 ml.
- Pada saat hewan sudah tidak sadarakan diri, hewan diposisikan rebah dorsal
(dorsal recumbency).
- Keempat kaki hewan diikat dengan tali kekang ke meja operasi.

97
- Pada kondisi ini dilakukan penataan posisi jalan nafas dengan cara menjulurkan
lidah kucing dan diberi pengganjal menggunakan tampon bulat
b. Persiapan operator dan asisten sebelum operasi
- Operator dan asisten I harus mencuci tangan dengan menggunakan sabun sabun
antiseptic selama 5-7 menit dengan cara menyikat kedua tangan dengan sabun lalu
membilasnya dengan air mengalir.
- Penyikatan tangan dimulai dari ujung jari kemudian terus berlanjut kearah lengan.
Setelah cuci tangan selesai, kran ditutup menggunakan siku untuk mencegah
kontaminasi lalu tangan kemudian disemprot dengan alkohol 70 % oleh asisten
non steril.
- Setelah itu menggunakan tutup kepala dan masker, baju operasi dipakai, sarung
tangan dipakai dan operator serta asisten I siap melakukan operasi.
c. Pembedahan/laparotomi
1) Daerah yang telah dicukur rambutnya dibersihkan menggunakan antiseptic
(alkohol dan povidine iodine) dengan arah sirkuler (dari dalam keluar).
2) Dilakukan pemasangan kain drape dan dikuatkan dengan towel clamp. Drape
berfungsi sebagai pelindung pasien dari kontaminasi dan sebagai alas utuk
meletakan alat-alat operasi yang digunakan selama operasi berlangsung.
3) Insisi dilakukan di daerah jarak dua jari dari bawah umbilical. Insisi dilakukan
sepanjang 3-5 cm, setelah insisi kulit selesai, dilanjutkan insisi pada subcutan.
4) Preparir cutan dan subcutan menggunakan gunting tajam tumpul hingga terlihat
linea alba .
5) Pada saat terlihat linea alba, dilakukan insisi sepanjang 1 cm menggunakan blade.
Insisi diteruskan dengan menggunakan pinset anatomis dan gunting tajam tumpul
dengan bagian tumpul di dalam. Untuk mencegah terjadinya kerusakan jaringan
digunakan groove director.
6) Setelah terbuka rongga abdomen, bagian insisi dexter dan sinister dipertahankan
tetap dalam kondisi terbuka menggunakan musculus retractor.
7) Selanjutnya dilakukan pencarian ovarium menggunakan jari tangan. Pada
umumnya ovarium terletak di dorsal vesika urinaria.

98
d. Ligasi ovarium
1) Apabila ovarium sudah ditemukan dilakukan pembendungan arteri ovarica
menggunakan hemostatic forceps.
2) Selanjutnya dilakukan ligasi antara dua hemostatic forceps menggunakan benang
catgut chromic 3.0 dengan simpul 2-1-2.
3) Dilakukan pengecekan kebocoran arteri pada ujung hemostatic forceps. Apabila
tidak ditemukan kebocoran atau pendarahan dilakukan pemotongan jaringan pada
bagian caudal forceps.
4) Hal yang sama dilakukan pada ovarium yang lainnya.
5) Kemudian dilakukan pencarian bifurcatio uteri, dilakukan pembendungan arteri
menggunakan hemostatic forceps.
6) Dilakukan ligasi pada arteri uterine menggunakan benang catgut chromic dan
jarum ditembuskan ke bagian tengah corpus uteri. Selanjutnya ligasi juga
dilakukan pada setengah bagian bifurcatio dan ligasi bifurcatio secara
keseluruhan. Keseluruhan ligasi diakhiri dengan simpul 2-1-2.
7) Dipastikan tidak ada kebocoran pada arteri. Setelah itu dilakukan pemotongan
uterus di cranial simpul.
8) Cek secara keseluruhan untuk memastikan tidak adanya kebocoran pada arteri.
Selanjutnya dilepaskan semua hemostatic forceps yang digunakan pada bifocartio
dan kedua ovarium.
e. Penutupan rongga abdomen
1) Dilakukan penjahitan peritoneum dan muskulus menggunakan jahitan terputus
sederhana dengan jarum reverse cutting dan benang cut gut chromic 3.0.
2) Selanjutnya penjahitan intradermal dilakukan mengunakan jahitan menerus
sederhana dengan jarum tapper cutting dan benang cut gut chromic 3.0.
3) Terakhir yaitu penjahitan kulit menggunakan tipe jahitan terputus sederhana
dengan jarum reverse cutting dan benang silk 3.0.
4) Hasil jahitan dibersihkan menggunakan povidone iodine, dioles salep gentamicin
kemudian ditutup dengan kasa steril dan kucing dipakaikan gurita.

99
3.5 Perawatan Post Ovariohisterectomy
Perlakukan post operasi diantaranya:
- Apabila suhu pasca operasi mengalami penurunan/hipotermia maka dilakukan
penyinaran menggunakan infrared.
- Dilakukan pengamatan berkala terhadap temperatur, pulsus dan respirasi hingga
hewan sadarkan diri.
- Hewan diposisikan rebah kanan lateral untuk mempermudah jalan nafas.
- Pengamatan dilakukan pula terhadap tingkat dehidrasi, urinasi, dan defekasi.
- Selama menunggu keringnya jahitan, setelah sadarkan diri hewan diberi terapi
berupa ketoprofen sebanyak 0,07 ml secara subcutan sehari sekali selama 3 hari
dan antibiotik amoxicilin per oral dengan dosis 10 mg/kg BB. Luka jahitan dicek
setiap hari sekali. Perlakuan yang diberikan adalah dibersihkan daerah sekitar
jahitan menggunakan NS selanjutnya diberikan salep gentamicin sehari sekali dan
diganti perban.

100
BAB IV

PEMBAHASAN

Ovariohisterectomy (OH) merupakan istilah kedokteran yang terdiri dari dua kata
yaitu ovariectomy dan histerectomy. Ovariectomy adalah tindakan pengamputasian,
mengeluarkan dan menghilangkan ovarium dari rongga abdomen, sedangkan
Hysterectomy adalah tindakan pengamputasian, mengeluarkan dan menghilangkan organ
uterus dari dalam tubuh, sehingga dapat didefinisikan ovariohisterectomy merupakan
tindakan bedah atau operasi pengangkatan organ reproduksi betina dari ovarium sampai
dengan uterus (Ibrahim, 2000). Prosedur operasi terdiri atas pre operasi yaitu persiapan
hewan, persiapan alat dan bahan, persiapan ruang operasi, persiapan operator dan asisten
operator; prosedur operasi dan prosedur post operasi.
Persiapan hewan pertama-tama kucing Seger Waras dipuasakan selama 12 jam
untuk mengosongkan lambung. Hal ini sesuai pada pernyataan Fossum (2002) yang
menyatakan bahwa, hewan dipuasakan makan selama 12 jam dan puasa minum 6 jam
sebelum operasi. Lambung yang terisi penuh dapat menyebabkan muntah sehingga
menimbulkan terjadinya aspirasi yang dikhawatirkan berakibat slipneumonia, selain itu
lambung yang penuh akan mengurangi pergerakan diafragma sehingga mengganggu
respirasi (Sardjana dan Kusumawati, 2004). Persiapan hewan dilakukan melalui physical
examination (PE) untuk mengetahui kondisi kucing meliputi penimbangan berat badan,
temperatur, pulsus, respirasi, kondisi rambut, membran mukosa, muskulosketal (otot dan
pertulangan), sistem sirkulasi, sistem respirasi, sistem digesti, sistem urogenital, sistem
syaraf, dan sistem panca indera. Pemeriksaan umum ini bertujuan untuk mengetahui
status kesehatan kucing, bila kucing berada dalam kondisi yang tidak sehat, maka
dianjurkan untuk ditunda operasi atau mengganti dengan kucing lain. Berat kucing
ditimbang untuk menentukan perhitungan dosis obat. Kucing kemudian dilakukan
pencukuran pada daerah yang akan dilakukan insisi, kemudian dilakukan pemasangan iv
cath dengan cairan infus Ringer Lactat (RL).
Sebelum dilakukan induksi anesthesi, terlebih dahulu diberikan injeksi antibiotik
Amoxicillin 0,2 ml secara intravena untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder yang
mungkin terjadi selama operasi. Amoxicillin merupakan adalah nama dagang dari obat

101
antibiotik golongan penisilin sub golongan amoksisilin, yaitu amoksisilin trihidrat. Obat
golongan ini bekerja sebagai broad-spectrum (bisa untuk membunuh bakteri gram positif
dan negatif), seperti salmonella, shigella dan lainnya. Obat ini tidak membunuh bakteri
secara langsung tetapi dengan cara mencegah bakteri membentuk semacam lapisan yang
melekat disekujur tubuhnya. Lapisan ini bagi bakteri berfungsi sangat vital yaitu untuk
melindungi bakteri dari perubahan lingkungan dan menjaga agar tubuh bakteri tidak
tercerai berai. Bakteri tidak akan mampu bertahan hidup tanpa adanya lapisan ini.
Amoxicillin sangat efektif untuk beberapa bakteri seperti H. influenzae, N. gonorrhoea,
E. coli, Pneumococci, Streptococci, dan beberapa strain dari Staphylococci (Brander and
Pugh, 2007).
Operasi dimulai dengan menginjeksikan medikasi pra anasthesi atau sering
disebut premedikasi. Tujuan pemberian agen premedikasi adalah untuk mengurangi
sekresi kelenjar saliva, memperlancar induksi anastesi, mencegah efek bradikardi dan
vomit setelah ataupun selama anastesi, mendepres reflek vasovagal, mengurangi rasa
sakit dan mengurangi gerakan yang tidak terkendali selama recovery. Pada operasi OH
kali ini premedikasi yang diberikan adalah atropine sulfat. Atropin sulfat merupakan
agen premedikasi yang digolongkan sebagai antikolinergik. atropin sulfat diinjeksikan
secara subcutan (SC) sebanyak 0,6 ml. Atropin merupakan agen preanestesi yang
digolongkan sebagai antikolinergik atau parasimpatolitik. Atropin sebagai premedikasi
diberikan pada kisaran dosis 0.022-0.044 mg/kg BB, yang diberikan baik secara
subkutan, intra vena maupun intramuskuler. Pada dosis normal, atropin dapat mencegah
bradikardia dan sekresi berlebih saliva serta mengurangi motilitas gastrointestinal.
Atropin sebagai prototip antimuskarinik mempunyai kerja menghambat efek asetilkolin
pada syaraf postganglionik kolinergik dan otot polos. Hambatan ini bersifat reversible
dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian
antikolinesterase (Latief dkk., 2001). Atropin dapat menimbulkan beberapa efek,
misalnya pada susunan syaraf pusat, merangsang medulla oblongata dan pusat lain di
otak, menghilangkan tremor, perangsang respirasi akibat dilatasi bronkus, pada dosis
yang besar menyebabkan depresi nafas, eksitasi, halusinasi dan lebih lanjut dapat
menimbulkan depresi dan paralisa medulla oblongata. Efek atropin pada mata
menyebabkan midriasis dan siklopegia. Pada saluran nafas, atropin dapat mengurangi

102
sekresi hidung, mulut dan bronkus. Efek atropin pada sistem kardiovaskuler (jantung)
bersifat bifasik yaitu atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah
secara langsung dan menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin. Pada saluran pencernaan,
atropin sebagai antispasmodik yaitu menghambat peristaltik usus dan lambung,
sedangkan pada otot polos atropin mendilatasi pada saluran kemih sehingga
menyebabkan retensi urin (Fendrick, 2008).
Setelah induksi premedikasi, ditunggu kurang lebih 15 menit hingga kucing
tampak tenang, kemudian segera diberikan anesthesi. Anesthesi yang digunakan yaitu
kombinasi ketamin 0,35 ml dan xylazine 0,35 ml (1:1). Ketamin HCl bekerja dengan
memutus syaraf asosiasi serta korteks otak dan thalamus optikus dihentikan sementara,
sedangkan sistem limbik sedikit dipengaruhi. Ketamin HCl merupakan analgesia yang
tidak menyebabkan depresi dan hipnotika pada syaraf pusat tetapi berperan sebagai
kataleptika. Setelah pemberian ketamin, refleks mulut dan menelan tetap ada dan mata
masih terbuka (Saeeda and Jain, 2004). Xylazine menimbulkan efek relaksasi muskulus
juga analgesik. Kondisi tidur yang ringan sampai dalam dapat tercapai, tergantung pada
dosis untuk masing-masing spesies hewan. Obat ini dapat berfungsi sebagai sedatif yang
efeknya tercapai maksimal 20 menit setelah pemberian intramuskular dan berakhir
setelah 60 menit. Xylazin untuk tujuan relaksasi muskulus pada umumnya
dikombinasikan dengan ketamin untuk beberapa spesies termasuk kucing. Pada hewan
kecil, efek sampingnya meliputi bradikardia dan penurunan cardiac output, vomit, tremor,
motilitas intestinal menurun tetapi kontraksi uterus meningkat, selain itu juga
mempengaruhi keseimbangan hormonal antara lain menghambat produksi insulin dan
ADH (Sardjana dan Kusumawati, 2004). Kombinasi kedua obat ini memberikan efek
saling melengkapi antara efek analgesik yang didapatkan dari pemberian ketamin dan
efek relaksasi otot dari penggunaan xylazine. Manfaat lain yang didapatkan dari
penggunaan kombinasi ketamin-xylazin pada kucing akan menyebabkan perlambatan
absorpsi ketamin sehingga eliminasi ketamin lebih lama, hal ini menyebabkan durasi
anestesi lebih panjang (Jacqueline, 2005).
Setelah kucing teranestesi, kucing diposisikan rebah dorsal dan diikat pada meja
operasi pada keempat ekstremitasnya, bagian mulut diganjal dengan tampon bulat, dan
lidahnya dijulurkan keluar agar pernafasannya tetap lancar. Kemudian area insisi

103
dibersihkan dengan alkohol dan povidon iodine secara sirkular dari dalam keluar. Tahap
operasi pertama yaitu melakukan laparotomi bagian abdomen. Titik orientasi yang
digunakan untuk menentukan lokasi insisi adalah os. costae terakhir, umbilical, dan
puting terakhir. Insisi dilakukan dua jari dibawah umbilical dan maksimal di atas puting
terakhir dengan panjang insisi 3 cm setelah insisi kulit/cutan selesai, dilanjutkan insisi
pada subcutan. Dilakukan preparir cutan dan subcutan menggunakan arteri klem hingga
terlihat linea alba Pada saat terlihat linea alba, dilakukan insisi sepanjang 3 cm
menggunakan blade. Insisi diteruskan dengan menggunakan pinset anatomis dan gunting
tajam tumpul dengan bagian tumpul di dalam, sementara untuk mencegah terjadinya
kerusakan jaringan digunakan groove director. Setelah terbuka rongga badomen, bagian
insisi dexter dan sinister dipertahankan tetap dalam kondisi terbuka menggunakan
retractor. Selanjutnya dilakukan pencarian ovarium menggunakan jari tangan. Pada
umumnya ovarium terletak di dorsal vesika urinaria, pada kucing Seger Waras, ovarium
ditemukan dari arah cranial insisi. Ovarium pertama yang ditemukan adalah ovarium
sinister lalu diangkat menggunakan jari dan dilakukan blok arteri ovarica menggunakan
hemostatic forceps. Penggantung ovarium atau mesovarium disayat untuk memudahkan
ligasi.
Selanjutnya dilakukan ligasi antara dua hemostatic forceps menggunakan benang
catgut chromic 3.0 dengan simpul 2-1-2. Lalu dilakukan pemotogan pada caudal
hemostatic forceps. Pengecekan kebocoran arteri pada ujung hemostatic forceps.
Prosedur tersebut juga dilaksanakan untuk ovarium sebelah kanan. Kemudian pada
bifocartio uteri, dilakukan pembendungan arteri menggunakan hemostatic forceps dan
dilakukan ligasi pada arteri uterine menggunakan benang catgut chromic dan jarum
ditembuskan ke bagian tengah bifocartio. Selanjutnya ligasi juga dilakukan pada setengah
bagian biforcatio dan ligasi biforcatio secara keseluruhan. Keseluruhan ligasi diakhiri
dengan simpul 2-1-2. Dalam hal ini dipastikan tidak ada kebocoran pada arteri. Setelah
itu dilakukan pemotongan uterus di cranial simpul. Cek secara keseluruhan untuk
memastikan tidak adanya kebocoran pada arteri. Selanjutnya dilepaskan semua
hemostatic forceps yang digunakan pada insisi dan kedua ovarium.

104
A A

B C

Gambar 4.1 (A) Preparir Ovarium dan uterus, setelah diligasi dan disimpul dengan chromic 3.0.
(B) Insisi bagian ovarium dan corpus uteri yang telah diligasi. (C) Ovarium dan
uterus setelah dilepaskan dari rongga abdomen.

Perlakukan selanjutnya yaitu penjahitan muskulus dengan menggunakan benang


cut gut chromic 3.0 dan jarum reverse cutting dan pola jahitan terputus sederhana.
A B C
Menurut Saunders (2003) bahan idel jahitan adalah nonreaktif dalam jaringan, mudah di
handling dan disteril, komposisi monofilamen, dan harus memiliki kekuatan tarik tinggi.
Pilihan material penjahitan dapat mempengaruhi reaksi jaringan dan hasil jahitan.
Selanjutnya pada lapisan subcutan dilakukan penjahitan menerus sederhana
menggunakan benang benang chromic 3.0 dan jarum reverse benang chromic 3.0
merupakan benang absorbable berbentuk monofilament berasal dari bahan sintetis
polyglactin dan pada filamennya dilapisi antibiotic. Lapisan (coated) antibiotic dalam
benang diharapkan mampu mengurangi kontaminasi bakteri selama proses penjahitan.
Benang ini mempunyai kekuatan regangan (tensile stengh) yang lebih kuat dibandingkan

105
dengan benang catgut. Tensile strengh adalah kekuatan yang dibutuhkan untuk
memutuskan jahitan, semakin kuat tensile strenght suatu benang semakin besar dayanya
dalam melekatkan luka. Chromic juga dapat menimbulkan reaksi jaringan. bahan sintetik
cenderung merangsang makrofag dan giant cell. Semakin besarnya reaksi suatu jaringan
akan memperlambat penyembuhan luka dan menyebabkan hasil akhir jahitan yang
kurang bagus. Hasil akhir jahitan yang kurang bagus dapat meninggalkan bekas (stiching
marks), akan tetapi benang monofilament/ berserat memiliki keamanan simpul yang
tinggi. semakin kasar serat suatu benang, semakin tinggi pula koefisien gesekannya
(coefficient of friction), dengan demikian semakin tinggi pula keamanan simpulnya
(Jacqueline, 2005).
Penjahitan terakhir yang dilakukan menggunakan tipe jahitan intradermal dengan
pola menerus sederhana menggunakan benang chromic 3.0. setiap jahitan diusahakan
agar tidak ditarik terlalu kuat agar tidak pola jahitan tidak mengkerut dan menyebabkan
timbulnya seroma. Dilakukan penjahitan kulit menggunakan benang silk. Setelah selesai
operasi, luka jahitan kucing diberikan iodine, salep gentamycin dan dipasang perban serta
gurita. Pemasangan gurita ini bertujuan untuk menghindari kucing menjilat dan mencakar
jahitan yang dapat menyebabkan infeksi sekunder dan lamanya kesembuhan.
Perlakuan terapi post operasi adalah pemberian ketoprofen sebagai agen analgesik
dan Amoxicilin sebagai antibiotik. Pemberian masing - masing dilakukan setiap 1 hari
sekali untuk ketoprofen dan 2 kali sehari untuk Amoxicilin, pemilihan pemberian terapi
ini adalah untuk mengurangi rasa sakit dan menghindari infeksi luka, sehingga
diharapakan luka dapat segera. Pemberian ketoprofen berfungsi sebagai penghilang rasa
nyeri dan sebagai antiinflamasi. Ketoprofen adalah golongan Nonsteroidal Anti
Inflammatory Drugs (NSAIDs) long action yang penggunannya biasanya secara injeksi
secara subcutan ataupun intramuscular dengan mekanisme kerja menghambat
terbentuknya prostaglandin melalui aktifitas enzim siklooksigenase (McGettigan and
Henry, 2013).
Sedangkan Amoxicilin adalah produk antibiotik golongan beta laktam aminobenzyl
penicillin dari Sanbe Farma dengan kandungan amoxicillin trihydrate. Amoxicillin stabil
dalam keadaan asam, diserap cepat melalui saluran pencernaan tanpa terpengaruh adanya
makanan di lambung, dan mencapai dosis efektif dalam 1jam. Kemampuan

106
bakterisida amoxicillin efektif terhadap bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. Dengan
cara menghambat sintesis pada dinding sel bakteri.

Pasca operasi kucing dilakukan pemeriksaan suhu yang mengalami penurunan/


hipotermia sehingga dilakukan penyinaran menggunakan infrared dan atau dihangatkan
menggunakan lampu bohlam, selanjutnya dilakukan pengamatan berkala terhadap
temperatur, pulsus dan respirasi hingga hewan sadarkan diri, hewan diposisikan rebah
kanan lateral untuk mempermudah jalan nafas, pengamatan dilakukan pula terhadap
tingkat dehidrasi, urinasi, dan defekasi. Pasca operasi kucing masih sangat lemas,
keadaan ini berlangsung selama kurang lebih 12 jam setelah operasi. Kucing tidak boleh
minum minimal 6 jam setelah operasi dan baru boleh makan (pakan basah) pada esok
harinya karena kondisi lambung masih berada dibawah efek anestesi.
Pada H+1 hingga H+5 post operasi diberikan amoxcillin secara per oral, sedangkan untuk
ketoprofen hanya diberikan hingga H+3 secara intramuscular (IM). Pada hari ke-3
dilakukan penggantian perban, luka tampak merah, belum mengering, dan didapati
beberapa jahitan terlepas (Gambar 4.2).

Gambar 4.2 Luka Jahitan Hari Ketiga Pasca Operasi


Kemudian luka ditutup kembali menggunakan perban. Luka hari ketiga
merupakan gambaran terjadinya proses inflamasi pada jaringan yang telah diinsisi yang
diawali dengan adanya bekuan darah yang akan menyatukan tepi luka dan merangsang
pembentukan kinin dan prostaglandin menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah di daerah luka. Hal ini meyebabkan edema dan kemudian
menimbulkan pembengkakan dan nyeri pada awal terjadinya luka (Rang et al, 2007).
Proses penyembuhan pada hari 2-3 pasca operasi didominasi oleh adanya leukosit
polimorfonuklear, sel ini akan memfagosit bakteri dan kotoran serta jaringan nekrotik.
Makrofag memiliki andil dalam merangsang fase penyembuhan berikutnya dengan

107
menarik fibroblas dan mempengaruhi pematangan, pembelahan dan sintesa kolagen
(Bryant and Nix, 2009).
Pada hari ke-6 dilakukan penggantian perban kembali namun kondisi luka tampak
semakin merah, basah, dan jahitan semakin banyak yang terlepas, sehingga dilakukan
penjahitan ulang. Menurut David and Justin (2008), pengeringan jahitan dapat
dipengaruhi kebersihan perban, perban dihindarkan dari sesuatu yang basah, dilakukan
pengecekan luka jahitan (Gambar 4.3).

Gambar 4.3 Luka Jahitan Hari Keenam Pasca Operasi


Pada hari ke-9 dilakukan penggantian perban kembali, luka tampak semakin
basah dan merah, selain itu kulit yang berada disekitar luka juga mengalami iritasi.
Karena itu, dilakukan pembersihan luka menggunakan Normal Saline (NS), penjahitan
ulang luka pada bagian yang terbuka menggunakan pola jahitan intradermal (Gambar
4.4), pemberian gentamycin topical, namun luka dibiarkan terbuka tanpa ditutup
menggunakan perban. Dilakukan juga penyemprotan kandang setiap harinya
menggunakan desinfektan yang bertujuan untuk meminimalisir kontaminasi yang dapat
menyebabkan terjadinya infeksi sekunder pada luka. Pemeriksaan rutin tersebut
dilaksanakan setiap harinya hingga selama 21 hari.

Gambar 4.4 Luka Jahitan Hari Kesembilan dan Dilakukan Penjahitan Ulang

108
Secara tingkah laku dan pola makan minum urinasi dan defekasi turut pula untuk
diamati. Berdasarkan hasil pemeriksaan rutin untuk frekuensi detak jantung, nafas dan
temperatur pada pagi dan sore hari masih dalam kisaran normal. Dari hasil pemeriksaan
umum dan pemeriksaan fisik, kucing Seger Waras tidak mengalami perubahan patologis,
turgor kulitnya normal (<2 detik), rambut bersih, dan tidak rontok, cuping hidung lembab
dengan tipe nafas thoraco-abdominal, suara sistole dan diastole dapat dibedakan dengan
jelas, urinasi normal, defekasi normal, pola makan dan minum masih normal.
Pada hari ke-22 menunjukkan luka hampir menutup sempurna dan iritasi pada kulit
sekitar luka telah sembuh (Gambar 4.5). Menandakan terjadinya fase maturasi pada
jaringan kolagen, yakni terbentuknya matrik kolagen yang akan menyebabkan kekakuan
dan kekuatan tegangan luka. Pada tahap ini akan terjadi reorganisasi matriks ekstraseluler
diawali dengan terbentuknya fibronectin yang menyebabkan akumulasi kolagen dan
memicu aktivasi dari proteogilkan yang akan memecah kolagen sehingga dapat
menyeimbangkan jumlah kolagen yang diproduksi dengan yang dipecah dan menghindari
penebalan jarring an parut. Proses ini akan berlangsung dalam waktu 6 bulan sampai satu
tahun.

Gambar 4.5 Luka Jahitan Hari Ke-22 Pasca Operasi.


Pada hari ke 27 luka operasi telah tertutup, kulit sekitar luka tidak mengalami iritasi dan
kucing diperbolehkan di release (Gambar 4.6)

109
Gambar 4.6 Luka Pasca Operasi Hari ke-27

110
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Ovariohisterctomy (OH) adalah prosedur operasi yang dilakukan dengan
mengambil ovarium dan saluran kelahiran (uterus). Teknik bedah overiohisterectomy pra
operasi meliputi injeksi anasthesi, persiapan operator ,ruang operasi, dan persiapan
hewan. Tahap operasi meliputi insisi abdomen (laparotomi), pencarian ovarium dan
bifocartio uteri, pemotongan ovarium dan uterus, ligasi arteri dan penjahitan muskulus,
subcutan serta cutan. Perawatan luka dan jahitan memegang peranan penting dalam masa
penyembuhan luka. Perawatan post operasi yang diberikan berupa antibiotik, analgesik,
yunan baio dan nebacetin terbukti efektif membantu proses recovery hewan post
ovariohisterectomy.

5.2 Saran
Luka sebaiknya dikontrol setiap harinya untuk mengetahui perkembangan
penyembuhan luka pasca operasi. Selain itu, kondisi kandang dan perban juga perlu
diperhatikan untuk memastikan tidak ada agen asing yang dapat memicu terjadinya
infeksi sekunder.

111
DAFTAR PUSTAKA

Adam R. 2001. Veterinary Pharmacology and Theurapeutics. Blackwell Publishing


Company. Iowa.

Fendrick, A.M., Pan, D.E., and Johnson, G.E., 2008. OTC Analgesics and Drug
Interactions: Clinical Implications. Osteopathic Medicine and Primary Care 2
(2).

Fossum, T.W. (2002) Small Animal Surgery, ed 2nd Mosby, St. Lois London.
Philandelphia sydney. Toronto.

Hosgood, G and D.H. Johnny. 1998. Small Animal Paediatric Medicine and
Surgery. London: Reed Educational and Professional Publishing Ltd.

Ibrahim, R. 2000. Pengantar Ilmu Bedah Veteriner, Edisi Pertama. Syiah Kuala
University Press. Darussalam. Banda Aceh.

Jacqueline R. Davidson and Daniel J. Burba. 2005. Surgical and Medical Nursing. Di
dalam : Mc Curnin DM and Bassert JM, editor. Clinical Textbook for
Veterinary Technicians. Ed. Ke-6. USA : Elsevier Saunders.

Latief, S,A, Surjadi K, Dachlan R., 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Pertama.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. h 41 – 9.

Lunn, JN., 2004. Farmakologi Terapan Anestesi Umum. Catatan Kuliah Anestesi. Edisi
4.Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC; 4: 86-93.

Nelson, R.W. and C.G Couto. 2003. Small Animal Internal Medicine. Ed-3. Missouri :
Mosby.

Prayoga. 2010. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC.

Rang, H.P., Dale, M.M., Ritter, J.M., and Moore, P.K., 2007. Pharmacology. 5th ed. UK:
Churchill Livingstone.

Rubiyani., dan Kusumawati, D., 2010. Anestesi Veteriner Jilid 1, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

112
Saeeda I, Jain PN., 2004. Post operative nausea and vomiting (PONV) : a review article.
Indian J Anaesth;48(4):253–8.

Sardjana, I.K.W. 2011. Bedah Veteriner. Airlangga University Press. Surabaya.

Saunders. 2003.Text Book Of Small Animal Surgey. Philadelpia : The Curtis Center
Independence square west.

Trevor, A.J. and R.D Miller. 2004. General Anasthetics. In Katzung B.G. ed Basic &
Clinical Pharmacology. 9th ed. MacGRaw-Hill : Singapore pp 401-17.

113
LAMPIRAN
Tanggal T P R Keterangan

27Agustus 38,3 104 x / 32 x / menit - Injeksi ketoprofen 0,07 ml


2018 menit - Defekasi (-), urinasi (-)
- Pemberian kassa pada luka
(Gentamycin salep,
kasa steril, Hypafix,
plester)
28 Agustus 38,7 128 x / 48 x / menit - Injeksi ketoprofen 0,07 ml
2018 menit - Makan minum suap (pakan
basah)
- Defekasi & urinasi ok
29 Agustus 38,1 144 x / 60 x / menit - Injeksi ketoprofen 0,07 ml
2018 menit - Makan minum suap (pakan
(Hari ke 3) basah)
- Defekasi & urinasi ok
- kondisi jahitan basah,
beberapa jahitan terlepas
bengkak sudah berkurang
- Penggantian kasa pada luka
(Gentamycin salep,
kasa steril, Hypafix,
plester)
30 Agustus 38,5 100 x / 44 x / menit
2018 menit - Makan minum ok (pakan
kering)

31 Agustus 37,8 108 x / 40 x / menit - Makan minum ok (kering)


2018 menit - Defekasi & urinasi ok

114
1 September 38,5 112 x / 40 x / menit - Makan minum ok (pakan
2018 menit kering)
(Hari ke 6) - Defekasi & urinasi ok
- Kondisi luka masih basah
- Penggantian kasa pada luka
(Gentamycin salep,
kasa steril, Hypafix,
plester)
2 September 38,2 156 x / 36 x / menit - Makan minum ok
2018 menit - Defekasi dan urinasi ok
3 September 37,4 144 x / 32 x / menit - Makan minum ok
2018 menit Defekasi dan urinasi ok
4 September 38,4 120 x / 40 x / menit - Makan minum ok
2018 menit - Defekasi dan urinasi ok
(hari ke 9) - Dilakukan penjahitan
ulang pada luka yang
masih terbuka
5 September 38,2 132x/ 36 x / menit - Makan minum ok
2018 menit - Defekasi dan urinasi ok
- Dilakukan pembersihan
pada daerah sekitar luka,
dan pemberian salep
gentamicyn
6 September 38,1 120 x / 44 x / menit - Makan minum ok
2018 menit - Defekasi dan urinasi ok
- Dilakukan pembersihan
pada daerah sekitar luka,
dan pemberian salep
gentamicyn

115
7 September 38,5 124 x / 32 x / menit - Makan minum ok (pakan
2018 menit kering)
- Defekasi & urinasi ok
- Dilakukan pembersihan pada
daerah sekitar luka, dan
pemberian salep gentamicyn
8 September 38,4 120 x / 36 x / menit - Makan minum ok (pakan
2018 menit kering)
- Defekasi & urinasi ok
- Dilakukan pembersihan pada
daerah sekitar luka, dan
pemberian salep gentamicyn
9 September 38,0 128 x / 44 x / menit - Makan minum ok (pakan
2018 menit kering)
- Defekasi & urinasi ok
- Dilakukan pembersihan pada
daerah sekitar luka, dan
pemberian salep gentamicyn
10 38,2 124 x / 40 x / menit - Makan minum ok (pakan
September menit kering)
2018 - Defekasi & urinasi ok
- Dilakukan pembersihan pada
daerah sekitar luka, dan
pemberian salep gentamicyn
11 38,5 120 x / 36 x / menit - Makan minum ok (pakan
September menit kering)
2018 - Defekasi & urinasi ok
- Dilakukan pembersihan pada
daerah sekitar luka, dan
pemberian salep gentamicyn

116
12 38,0 120 x / 40 x / menit - Makan minum ok (pakan
September menit kering)
2018 - Defekasi & urinasi ok
- Dilakukan pembersihan pada
daerah sekitar luka, dan
pemberian salep gentamicyn
13 38,3 124 x / 44 x / menit - Makan minum ok (pakan
September menit kering)
2018 - Defekasi & urinasi ok
- Dilakukan pembersihan pada
daerah sekitar luka, dan
pemberian salep gentamicyn
14 38,5 128 x / 36 x / menit - Makan minum ok (pakan
September menit kering)
2018 - Defekasi & urinasi ok
- Dilakukan pembersihan
pada daerah sekitar luka,
dan pemberian salep
gentamicyn
15 38,3 120 x / 32 x / menit - Makan minum ok (pakan
September menit kering)
2018 - Defekasi & urinasi ok
- Dilakukan pembersihan
pada daerah sekitar luka,
dan pemberian salep
gentamicyn
16 38,7 132 x / 40 x / menit - Makan minum ok (pakan
September menit kering)
2018 - Defekasi & urinasi ok

117
- Dilakukan pembersihan
pada daerah sekitar luka,
dan pemberian salep
gentamicyn
17 38,5 128 x / 44 x / menit - Makan minum ok (pakan
September menit kering)
2018 - Defekasi & urinasi ok
(hari ke 22) - Dilakukan pembersihan
pada daerah sekitar luka,
dan pemberian salep
gentamicyn
18 38,5 124 x / 44 x / menit - Makan minum ok (pakan
September menit kering)
2018 - Defekasi & urinasi ok
- Dilakukan pembersihan
pada daerah sekitar luka,
dan pemberian salep
gentamicyn
19 38,4 128 x / 40 x / menit - Makan minum ok (pakan
September menit kering)
2018 - Defekasi & urinasi ok
- Dilakukan pembersihan
pada daerah sekitar luka,
dan pemberian salep
gentamicyn
20 38,6 132 x / 44 x / menit - Makan minum ok (pakan
September menit kering)
2018 - Defekasi & urinasi ok
- Dilakukan pembersihan
pada daerah sekitar luka,

118
dan pemberian salep
gentamicyn
21 38,3 124 x / 36 x / menit - Makan minum ok (pakan
September menit kering)
2018 - Defekasi & urinasi ok
- Dilakukan pembersihan
pada daerah sekitar luka,
dan pemberian salep
gentamicyn
22 38,5 132 x / 40 x / menit - Makan minum ok (pakan
September menit kering)
2018 - Defekasi & urinasi ok
Hari ke 27 - Luka jahitan operasi sudah
mentup
- Tidak terdapat iritasi pada
kulit sekitar jahitan
- Kucing diperbolehkan untuk
di release

119

Anda mungkin juga menyukai