Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KASUS MANDIRI

KOASISTENSI KLINIK INTERNA HEWAN KECIL

Pioderma pada Anjing

Disusun oleh :
Mirza Astiyani Agustina, S.K.H.
19/451436/KH/10355

Dosen Pembimbing
Prof. Dr. drh. Sri Hartati, SU.

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2021
INTISARI

Pioderma pada Anjing

Oleh:
Mirza Astiyani Agustina, S.K.H (19/451436/KH/10355)

Dosen Pembimbing
Prof. Dr. drh. Sri Hartati, SU.

Pata tanggal 17 April 2020 di Klinik Kuningan Departemen Ilmu


Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Hewan telah dilakukan pemeriksaan
terhadap anjing Ruby milik Amira yang beralamat di Jalan Mangga No2
Klebengan, Yogyakarta. Anjing Ruby merupakan anjing Maltese, betina, berumur
2 tahun. Berdasarkan anamnesa sudah diberi vaksin dan obat cacing, pakan yang
diberikan berupa dryfood, hati ayam, dan daging, serta sering diumbar. pemilik
mengeluhkan bahwa rambut anjing Ruby rontok dan terdapat beberapa lesi pada
area punggung. Anjing Ruby belum diberikan pengobatan apapun. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan adanya alopesia eritema, papula, dan pustula pada
punggung serta rambut rontok. Pada pemeriksaan hematologi ditemukan hewan
mengalami anemia, leukositosis, neutrofilia, dan eosinofilia. Pemeriksaan skin
scrapping dan woodlamp menunjukkan hasil negatif. Pemeriksaan sitologi
ditemukan adanya bakteri Staphylococcus sp dan neutrofil. Diagnosa pada anjing
Ruby berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan hematologi, dan
pemeriksaan sitologi adalah pioderma. Terapi yang diberikan berupa Amoxicillin
Clavulanat (Clavamox®) dengan dosis 13-25 mg/kg BB, Chlorhexidine
(Pyoderm®) sebagai sampo, Dipenhidramin HCl (Vetadryl®) dosis 1 mg/kg BB
secara intramuscular, dan Hematodin dosis 1 ml/5 kg BB.

Kata kunci: anjing, pioderma, alopesia, pustule, eritema, papula, Staphylococcus


sp.
STATUS PRESENS

Serta krusta
PEMERIKSAAN DARAH RUTIN

Parameter Standar Hasil Keterangan


Hb (g/dL) 12,0-1,.0 11.49 Menurun
PCV (%) 37-55 37.24 Normal
Total eritrosit x 106/ μL 5,5-8,5 5.85 Normal
Total leukosit /μL 6.000-17.000 17.530 Meningkat
Neutrofil/ μL 3.000-11.500 12.850 Meningkat
Limfosit/ μL 1.000-4.800 3.080 Normal
Eosinofil/ μL 100-1.250 1.500 Meningkat
Monosit/ μL 150-1350 96 Normal
(Hnilica dan Patterson, 2017)
TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian

Pioderma berasal dari kata pio yang berarti nanah dan derma yang
berarti kulit, sehingga piodema didefinisikan sebagai infeksi pada kulit dan
jaringan lunak yang dicirikan dengan adanya nanah yang disebabkan oleh bakteri
dan umum terjadi pada anjing. Pioderma merupakan hasil dari gangguan
mekanisme pertahanan lokal, yang memungkinkan invasi bakteri sekunder pada
kulit seperti alergi dan parasit. Berdasarkan kedalaman kulit yang terlibat,
pyoderma bisa diklasifikasikan sebagai surface, superficial, dan deep pioderma
(Sykes et al, 2014).
Surface pyoderma terjadi ketika bakteri berproliferasi bagian eksternal
permukaan kulit dan memicu respons peradangan. Superficial pyoderma bakteri
menginfeksi lapisan epidermis superfisial yang terletak tepat di bawah stratum
korneum. (lapisan kulit paling luar) dan bagian rambut folikel di atas duktus
sebasea (infundibulum). Superficial pyoderma merupakan pioderma yang paling
sering ditemukan pada anjing. Deep pyoderma menginfeksi dermis, subkutan,
atau jaringan dibawahnya. Pada anjing, jenis pioderma yang umum terjadi adalah
superficial pyoderma (Sykes et al, 2014).

Etiologi
Penyebab infeksi pioderma yang paling sering ditemukan adalah
Staphylococcus pseudintermedius, namun juga ditemukan spesies Staphylococcus
lainnya yaitu S. schleiferi, S. aureus, and S. lugdunensis. Pada kasus lainnya
bakteri Streptococcus sp, Klebsiella sp, Escherichia coli, dan Pseudomonas sp
diisolasi pada anjing yang terinfeksi pioderma. Pioderma yang terjadi berulang
umumnya merupakan infeksi sekunder dari proses suatu penyakit seperti
demodekosis, infestasi kutu atau caplak, alergi kulit, Malassezia dermatitis,
seborrhea, dan skabies (Hnilica dan Patterson, 2017; Reddy et al, 2016).

Gejala Klinis
Surface pyoderma umumnya disebabkan oleh trauma kulit superfisial,
seperti pada lipatan bibir, wajah, dan ekor. Hot spot atau dermatitis piotraumatik
terjadi akibat trauma dan infeksi sekunder dermatitis akibat infestasi kutu, yang
secara umum ditemukan di area lumbosacral. Tanda klinis dari surface pyoderma
adalah eritema, pruritus, alopesia, eksudasi, dan bau busuk. Lesi kronis ditandai
dengan adanya likenifikasi dan hiperpigmentasi. Pioderma mukokutan ditandai
dengan erosi dan ulserasi dengan atau tanpa pengerasan pada kulit yang meliputi
bibir, planum nasal, nares, perioral, dan kadang pada anus, vulva, preputium, dan
kelopak mata (Sykes et al, 2014).
Lesi awal pada superficial pyoderma adalah papula eritema folikuler
(papula pada folikel rambut). Pus (nanah) terakumulasi pada epidermis dan folikel
rambut disebut dengan pustule. Pustula dan papula merupakan lesi primer. Pustula
yang pecah menimbulkan papula berkrusta. Epidermal collarette adalah lesi
bersisik yang berbentuk lingkaran pada epidermis dan merupakan sisa papula
yang pecah. Pada anjing dengan rambut yang tebal, sisik yang dihasilkan
terperangkan pada mantel rambut saat epidermal collerette terkelupas
menyebabkan fragmen rambut terlepas dan folikel rambut rusah sehingga terjadi
alopesia. Papula berkerak, epidermal collerette, dan alopesia merupakan lesi
sekunder. Pioderma superfisial umumnya terjadi akibat alergi atau dermatitis
atopik, endokrinopati (hiperadrenokortisisme atau hipotiroidisme), dan ektoparasit
(Sykes et al, 2014).

a b

Gambar 1. (a) Superficial pyoderma, (b) Deep pyoderma (Sykes et al, 2014)
Deep pyoderma menginfeksi kulit bagian dermis, subkutan, dan
jaringan dibawahnya, serta folikel rambut dengan atau tanpa pecahnya folikel atau
furunkulosis. Pecahnya folikel akan menyebabkan granuloma sebagai respon
peradangan. Perbedaan lesi antara surface, superficial, dan deep pyoderma dapat
dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Pioderma pada Anjing

Lokasi infeksi Ciri-ciri lesi


Surface Eritema, eksudat, krusta, erosi, ekskoriasi, sedikit
plaque
Superfisial Eritematous, papula, pustule, scale (sisik), krusta,
epidermal colleretes, erosi, ekskoriasi,
hiperpigmentasi, alopesia, liknefikasi
Deep Nodul, plaque, furunkel, hemoragik bullae,
pembengkakan jaringan lunak, ulser, nekrosis,
alopesia, hiperpigmentasi, dan penebalan kulit
(Hnilica dan Patterson, 2017)

Diagnosa

Diagnosa pioderma berdasarkan sejarah penyakit, temuan klinis, dan


pemeriksaan laboratorium. Diagnosa harus mencakup penyebab yang mendasari
terjadinya pioderma. Pemeriksaan laboratorium yang bisa dilakukan antara lain
skin scrapping, pemeriksaan sitologi, kultur bakteri, dan pemeriksaan
histopatologi (Sykes et al, 2014).
Skin scrapping dilakukan apabila ada kemungkinan pioderma terjadi
sebagai infeksi sekunder dari demodekosis. Pemeriksaan sitologi mennggunakan
spesimen swab pustula atau tape preparation digunakan untuk mengidentifikasi
sel radang, bakteri, dan Malassezia spp. pada kasus pioderma akan menunjukkan
adanya neutrophil dan bakteri penyebab umumnya Staphylococcus (Sykes et al,
2014).
Kultur bakteri dilakukan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab
pioderma. Spesimen yang digunakan pada superficial pioderma adalah swab
pustula atau epidermal collerette sedangkan pada deep pyoderma adalah spesimen
biopsi kulit. Pemeriksaan histopatologi digunakan untuk menentukan seberapa
luas infeksi dan jenis pioderma, selain itu dapat digunakan untuk mengidentifikasi
kondisi lain seperti dermatitis atopik, demodekosis, dermatofitosis, dan neoplasia
(Sykes et al, 2014).

Terapi

Kesembuhan pada kasus pioderma tergantung pada tingkat keparahan,


luas lesi, dan resistensi bakteri Staphylococcus sp. Selain itu, menyembuhkan
penyebab utama yang mendasari terjadinya pioderma seperti demodekosis,
infestati ektoparasit, dan dermatofitosis sangat penting agar tidak terjadi pioderma
berulang. Pemilihan antibiotik perlu diperhatikan karena resistensi
Staphylococcus sp terhadap berbagai macam antibiotik. (Sykes et al, 2014). Jenis-
jenis antibiotik sistemik dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Antibiotik sistemik untuk terapi infeksi bakterial pada kulit


Jenis obat Dosis Pemberian
Amoxicillin clavulanat 13-25 mg/kg PO q 8-12 h
Cefadroxil 22 mg/kg PO q 8-12 h
Cefpodoxime proxetil 5-10 mg/kg PO q 24 h
Cephalexin 30 mg/kg PO q 12 h
Cefovecin 8 mg/kg SC tiap 2 minggu
Lincomycin 15-25 mg/kg PO q 12 h
Ormetoprim- 55 mg/kg pada hari pertama, PO q 24 h
sulfadimethoxine dilanjutkan 27,5 mg/kg pada
hari berikutnya
Trimetoprim-sulfadiazine / 15-30 mg/kg PO q 12 h
sulfamethoxazole
Amikacin 15-30 mg/kg SC/IM/IV q 24 h
Cloramphenicol 40-50 mg/kg PO q 8 h
Clindamycin 11 mg/kg PO q 12 h
Doxycyclin 5-10 mg/kg PO q 12 h
10 mg/kg PO q 24 h
Enrofloxacin 10-20 mg/kg BB PO q 24 h
Gentamicin 9-14 mg/kg SC/IM/IV q 24 h
Marbofloxacin 2,75-5,5 mg/kg PO q 24 h
Minocycline 10 mg/kg PO q 12 h
Orbifloxacin 7,5 mg/kg PO q 24 h
Pradofloxacine 3 mg/kg PO q 24 h
Rifampin 5-10 mg/kg PO q 12-24 h
(Hnilica dan Patterson, 2017)

Terapi dilakukan minimal 4 minggu untuk superficial pyoderma dan 8


minggu untuk deep pyoderma. Pada superficial pyoderma, terapi dilanjutkan
paling tidak 7 hari setelah lesi mulai sembuh karena inflamasi mereda sebelum
infeksi terselesaikan sepenuhnya (Sykes et al, 2014).
Pengobatan secara topikal dilakukan untuk membantu memulihkan
struktur dan fungsi kulit. Antibiotik topikal biasanya dalam bentuk sampo, spray,
salep, krim, atau gel dengan kandungan chlorhexidin 2-4% dengan kombinasi
miconazole dan benzoil peroksida (Hnilica dan Patterson, 2017).
PEMBAHASAN

Pada tanggal 17 April 2021, di Klinik Hewan Kuningan Departemen


Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada telah
dilakukan pemeriksaan terhadap anjing Ruby milik Amira yang beralamat di Jalan
Mangga No. 2 Yogyakarta. Anjing Ruby merupakan anjing ras Maltese berumur
2,5 tahun, betina, berwarna putih, dan pada telinga kiri terdapat bekas luka.
Berdasarkan anamnesa diketahui bahwa anjing Ruby sudah diberi vaksin dan obat
cacing, pakan yang diberikan berupa dryfood, hati ayam, dan daging, serta sering
diumbar. pemilik mengeluhkan bahwa rambut anjing Ruby rontok dan terdapat
beberapa lesi pada area punggung. Anjing Ruby belum diberikan pengobatan
apapun.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan bahwa ekspresi muka anjing


gelisah, hal ini kemungkinan disebabkan oleh rasa tidak nyaman akibat lesi dan
karena berada di tempat baru yaitu Klinik Hewan Kuningan. Menurut Santarossa
et al (2017) Body Condition Score (BCS) pada anjing dinilai dengan poin 1-9,
anjing Ruby termasuk dalam golongan poin 4 yang berarti ideal dengan ciri costae
tidak terlihat namun mudah dipalpasi, coxae tidak menonjol namun mudah
ditemukan.
Frekuensi nafas anjing 40 x/menit, frekuensi pulsus 120 x/menit, dan
temperatur badan 39,4 C. Menurut Surono et al (2003), frekuensi nafas normal
anjing adalah 24-42 x/menit, frekuensi pulsus 76-148 x/ menit, dan temperatur
37,8-39,5 C. Berdasarkan dari data tersebut, menunjukkan bahwa frekuensi nafas,
pulsus, dan temperatur pada anjing Ruby normal.
Hasil pemeriksaan selaput lendir, kelenjar limfe, pernafasan,
peredaran darah, pencernaan, kelamin dan perkencingan, saraf, dan anggota gerak
normal. Pada pemeriksaan kulit dan rambut ditemukan adanya rambut rontok,
alopesia, eritema, papula,krusta dan pustula pada punggung anjing.
Gambar 2. Eritema pada Anjing Ruby
Alopesia merupakan rontoknya rambut yang tidak normal yang
mungkin terjadi pada sebagian atau seluruhnya, terbatas atau berdifusi, dan
simetris atau asimetris. Alopesia terjadi akibat kerusakan serat rambut, disfungsi
folikel rambut dan kekurangan nutrisi. Eritema adalah kemerahan pada kulit
yang menyebar. Papula merupakan hasil dari adanya infeksi pada kulit berupa
penojolan padat di permukaan kulit dengan diameter < 0,5 cm. Pustula pada
kulit merupakan lesi kulit yang berukuran relatif lebih besar dari papula dan
biasanya terdapat eksudat nanah didalamnya (Wirawan et al, 2019).
Lesi-lesi pada kulit seperti alopesia, eritema, papula, dan pustule
kemungkinan diawali oleh kebiasaan mengumbar anjing, hal ini menyebabkan
pemilik kurang mengetahui apa saja yang terjadi pada anjing tersebut misalkan
anjing terjatuh, tergores batang pohon, bertengkar dengan anjing lainnya, atau
kemungkinan lain yang dapat menyebabkan anjing terluka. Kelukaan pada anjing
dapat menyebabkan jumlah bakteri komensal (Staphylococcus) yang normal
berada di kulit meningkat. Peningkatan jumlah bakteri yang tidak dikontrol
memicu respon imun dari anjing dengan migrasi sel darah putih pada area infeksi.
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan darah. Pada
pemeriksaan darah menunjukkan adanya penurunan nilah hemoglobin dan
peningkatan leukosit, neutrofil, dan eosinofil. Menurut Salasia dan Hariono
(2014) anemia adalah kondisi penurunan jumlah eritrosit, hemoglobin, atau
keduanya dalam sirkulasi darah. Pada kasus ini, anemia diindikasikan dari
penurunan nilai hemoglobin, hal ini disebabkan karena penurunan nafsu makan
dan hilangnya darah akibat garukan oleh hewan serta inflamasi (Sindha et al,
2015).
Peningkatan nilai leukosit dapat disebabkan oleh toksin yang
dikeluarkan oleh Staphylococcus yang menyebabkan kerusakan jaringan atau
nekrosis akibat peradangan (Sindha et al, 2015). Peningkatan total leukosit dan
neutrofil menunjukkan adanya keradangan, pada kasus ini peradangan terjadi pada
kulit. Neutrofil merupakan sel pertahan pertama ketika ada infeksi sehingga
neutrolil bermigrasi secara cepat menuju tempat infeksi (Salasia dan Hariono,
2014). Peningkatan leukosit dan eosinophil kemungkinan karena respon humoran
dan seluler yang menyebabkan pelepasan leukotaxin dan luekositosis promoting
factors (Reddy et al, 2016).
Hasil pemeriksaan menggunakan skin scrapping dan woodlamp
menunjukkan hasil negatif, sehingga demodekosis dan dermatofitosis dapat
dihilangkan dari diagnosa. Pemeriksaan penunjang untuk mengetahui agen
penyebab adalah sitologi kulit dengan tape preparation pada pustule. Pemeriksaan
ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya sel radang, bakteri bentuk kokus
atau batang, dan Malassezia sp. Hasil dari pemeriksaan sitologi ditunjukkan pada
Gambar 2.

Gambar 2. Sitologi menunjukkan bakteri kokus (Staphylococcus sp.) dan


neutrophil (Sykes et al, 2014)
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan hematologi
dan sitology maka, anjing Ruby didiagnosa pioderma akibat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus yang tidak terkendali. Prognosa dari kasus ini adalah fausta-
dubius karena infeksi masih bersifat lokal pada kulit dan belum mempengaruhi
organ lainnya.
Pengobatan kausatif yang dilakukan pada anjing Ruby yaitu
membersihkan lesi kemudian diberikan antibiotik amoxicillin clavulanat
(Clavamox®) diproduksi oleh Zoetis, New York. Amoxicillin clavulanat
merupakan antibiotik dengan inhibitor beta-lactame, digunakan untuk terapi pada
anjing atau kucing dengan penyakit pada saluran kemih, kulit, dan jaringan lunak
yang disebabkan oleh mikroorganisme (Plumb, 2008). Dosis yang diberikan 13-
25 mg/kg BB diberikan tiap 8-12 jam. Pemberian antibiotik dilakukan selama 3-4
minggu, jika lesi sembuh dalam waktu 7 hari maka pemberian obat dihentikan
(Hnilica dan Patterson, 2017). Memandikan anjing dengan shampoo yang
mengandung chlorhexidin 2-4%. Chlorhexidine (Pyoderm®) diproduksi Virbac,
Australia dengan konsentrasi 3% digunakan setiap 2-7 hari sebagai antibiotic
topical yang mampu melawan berbagai jenis bakteri (Plumb, 2008).
Pengobatan simtomatif dengan pemberian antihistamin
Dipenhidramin HCl (Vetadryl®) untuk menekan inflamasi, gatal, dan reaksi
alergi. Dosis yang diberikan pada anjing 1 mg/kg BB diberikan secara
intramuscular/intravena/ subkutan setiao 8-12 jam (Plumb, 2008). Hematodin®
untuk mengatasi anemia yang terjadi pada anjing Ruby. Hematodin berfungsi
untuk meningkatkan hematopoietic dengan dosis 1 ml/5 kg BB selama 6 hari.
Selain itu kandungan hematodin dapat membantu proses penyembuhan penyakit
(Wira et al, 2020).

KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan hematologi,
dan pemeriksaan sitologi maka diagnosa penyakit pada anjing Ruby adalah
pioderma. Terapi yang diberikan berupa Amoxicillin Clavulanat,, Dipenhidramin,
dan Hematodin.
DAFTAR PUSTAKA

Hnilica, K. A., dan Patterson, A. P. 2017. Small Animal Dermatology: A Colour


Atlas and Therapeutic Guide. Netherland: Elsevier
Plumb, D. C. 2008. Veterinary Drug Handbook. Minnesotta: Blackwell
Publishing
Reddy, S. B., Kumari, N. K., Rao, V. V., Rayulu, V. C., dan Sivajothi, S. 2016.
Symptomatology and Haemato-biochemical Changes in Dogs Suffering
Reccurent Pyoderma. Malaysian Journal of Veterinary Research 7 (2): 35-
42.
Salasia, S.I., dan Hariono, B. 2014. Patologi Klinik Veteriner: Kasus Patologi
Klinis. Yogyakarta: Samudra Biru
Santarossa, A., Parr, J. M., dan Verbrugghe A. 2017. The Importance of Assesing
Body Compotition of Dogs and Cats and Methods Available for use in
Clinical Practice. Journal of the American Veterinary Medical Association
25 (5): 521-529.
Sindha, M. J., Trangadia, B. J., Vihol, P. D., Parmar, R. S., dan Patel, B. V. 2015.
Clinicopathological Evaluation of Non-Parasitic Dermatoses in Canines. Vet
World 8 (11): 1346-1350.
Surono. 2003. Data Fisiologi Normal. Diagnosa Klinik Veteriner. Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKH UGM, Yogyakarta.
Sykes, J. E., Nagle, T. M., & White, S. D. (2014). Pyoderma, Otitis Externa, and
Otitis Media. Canine and Feline Infectious Diseases. Netherland: Elsevier
Wirawan, I. G., Widiastuti, S. K., dan Batan, I. W. 2019. Laporan Kasus:
Demodekosis pada Anjing Lokal Bali. Indonesia Medicus Veterinus 8 (1):
9-18.

Anda mungkin juga menyukai