Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KEGIATAN KOASISTENSI MANDIRI (E4)

PENYAKIT DALAM HEWAN BESAR


30 April s/d 09 Juni 2018
THELAZIASIS DAN ENTERITIS PADA SAPI BALI

OLEH

YUNI RATIANI RIWU, S.KH


NIM. 1309012022

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2018
LEMBAR PENGEESAHAN
LAPORAN KEGIATAN KOASISTENSI MANDIRI (E4)
PENYAKIT DALAM HEWAN BESAR
30 April s/d 09 Juni 2018

Disiapkan dan disusun oleh :

YUNI RATIANI RIWU, S.KH


NIM. 1309012022

Menyetujui,

Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2

(Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M.Sc) (drh. Yohanes T.R.M.R.Simarmata, M.Sc)


NIP. 19650308 199003 1 013 NIP. 19800731 200801 1 008

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Dokter Hewan

(drh. Cynthia Dewi Gaina, M.Trop.V.Sc)


NIP. 19860605 200912 2 005
Nama Lengkap : YUNI RATIANI RIWU, S.KH

Nama Panggilan : YUNI

Jenis Kelamin : PEREMPUAN

Tempat/tanggal lahir : PANITE, 07 JUNI 1995

Alamat Asal : JL. KEY NABUASA, BENA, TTS.

Alamat Tinggal di Kupang : JL. UNTUNG SURAPATI 006/003, BATUPLAT,


KUPANG, NTT

Nomor Handphone : 085239352553

Alamat email : yuniriwu27@gmail.com


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang atas
rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
Koasistensi Penyakit Dalam Hewan Besar.
Laporan Koasistensi Penyakit Dalam Hewan Besar merupakan salah
satu persyaratan wajib pada Profesi Pendidikan Dokter Hewan UNDANA.
Laporan ini disusun sebagai hasil kegiatan yang telah dilaksanakan selama 6
minggu di Fakultas Kedokteran Hewan Undana dan Puskeswan Tarus.
Dengan selesainya laporan ini, maka penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan laporan ini
1. drh. Yohanes T.R.M.R. Simarmata, M.Sc dan Dr.drh Maxs U.E. Sanam, M.Sc
selaku dosen pembimbing
2. drh. Theresia Murni, M.Sc, drh. Maria Zeingo dan paramedik veteriner di
Puskeswan Tarus
3. Teman-teman kelompok Koas E4 yang berkenan saling membantu
selama kegiatan berlangsung
Demikian laporan ini dibuat agar dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Kupang, 19 Juni 2018

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peternakan adalah kegiatan mengembangbiakkan dan
membudidayakan hewan ternak untuk mendapatkan manfaat dan
hasil dari kegiatan tersebut. Di provinsi Nusa Tenggara Timur,
peternakan merupakan salah satu penyumbang pendapatan daerah
dan pendapatan masyarakat selain bertani. peternakan terdiri atas
dua yaitu peternakan hewan besar dan hewan kecil.
Peternakan hewan besar meliputi sapi, babi, kerbau dan kuda
sedangkan peternakan hewan kecil terdiri dari ayam, itik, entok,
bebek. seiring dengan kebutuhan masyarakat akan bahan pangan asal
hewan meningkat, maka peternakan dituntut untuk mengutamakan
kesehatan hewan. menginggat ada beberapa jenis penyakit hewan
yang bersifat zoonosis yang dapat menyerang peternak maupun
manusia yang mengkonsumsi bahan pangan asal hewan.
Keberadaan Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) sangat
penting dan membantu peternak dalam pemeliharaan kondisi
kesehatan ternak., keberadaan puskeswan juga sangat membantu
dalam pencegahan berbagai penyakit menular yang ada di daerah
sekitar, sehingga sangat diperlukan kerja sama yang baik antara
petugas puskeswan dan peternak.
1.2. Profil Pusat kesehatan Hewan (PUSKESWAN) Tarus
Pusat kesehatan Hewan (PUSKESWAN) Tarus terletak di
kecamatan kupang tengah. Puskeswan Tarus berdiri sejak tahun 1997
dari dana APBD II. Puskeswan tarus mempunyai letak yang sangat
strategis karena hanya berjarak 13 km dari kota kupang berada di
pusat kecamatan yaitu di kelurahan tarus tepatnya disebelah kantor
lurah tarus. Wilayah kerja puskeswan tarus yaitu dikecamatan kupang
tengah yang terdiri dari 8 desa dengan luas wilayah 97,79 m2.
Struktur organisasi Puskeswan Tarus terdiri dari kepala
Puskeswan, medik veteriner dan paramedik veteriner. Kegiatan
pelayanan puskeswan dilakukan baik pelayanan aktif, semi aktif dan
pasif. Pelayanan aktif dilaksanakan sesuai dengan program kerja yang
telah disusun setiap tahunnya seperti vaksinasi, pemberian obat
cacing dan pembinaan kelompok. Pelayanan semi aktif dilakukan
apbila ada laporan dari peternak kemudian petugas mendatangi lokasi
untuk melakukan penanganan, hal ini dilakukan terhadap unggas,
ternak kecil dan ternak besar. Sedangkan pelayanan pasif yaitu
melakukan pelayanan pada puskeswan terutama menangani
konsultasi masalah manajemen pemeliharaan, pengobatan dan
kesehatan hewan, penangan gangguan reproduksi dan pemeriksaan
kebuntingan.
Jenis ternak yang biasa dilayani oleh puskeswan meliputi
ternak besar ( sapi, kerbau, kuda), ternak kecil (babi, kambing),
unggas (ayam), dan hewan kesayangan (anjing).Secara keseluruhan
kecamatan kupang tengah mempunyai populasi sebanyak 23.211 ekor
yang terdiri dari 3.506 ekor sapi, 5 ekor kerbau, 27 ekor kuda, 1701
ekor kambing, 3233 ekor babi, 14298 ekor ayam, 20 ekor itik, 421
ekor bebek yang menyebar di 7 desa dan 1 kelurahan.
1.3. Tujuan
 Mengetahui dan mampu melakukan teknik pemeriksaan klinis
pada hewan besar secara langsung di lapangan
 Mampu memberikan diagnosa terhadap kasus penyakit pada
hewan besar baik penyakit infeksius maupun non infeksius
berdasarkan pemeriksaan fisik dan sebagai bahan konfirmasi
didukung oleh hasil pemeriksaan laboratorium
 Dapat memberikan penanganan dan pemilihan pengobatan
sebagai tindakan terapi terhadap hasil diagnosa atas bimbingan
dokter hewan.
1.4. Manfaat
Mahasiswa koasistensi dapat mendiagnosa, melakukann
pengobatan dan terapi secara tepat dan benar pada kasus yang terjadi
di hewan besar.
BAB II
KASUS PENYAKIT

1. Kasus 1 (Thelaziasis)
a. Ambulator
- Signalemen
Nama Pemilik : Bpk. Abraham
Alamat : Baumata Timur, Kec. Taebenu
Jenis Hewan dan Ras : Sapi Bali
Jenis Kelamin : Betina
Umur : 2 Tahun
Berat Badan :-
Status Vaksinasi : Belum pernah divaksin
Warna :rambut coklat, kaos kaki putih,
ujung ekor berwarna hitam,
bagian posterior tubuh berwarna
putih (khas sapi Bali)
- Anamnesa
Sapi belum pernah divaksin, belum pernah diberikan obat anti
helmintiasis, induk dari sapi pernah mengalami thelaziasis,
pemeliharaan secara ekstensif sehingga sapi jarang
diperhatikan.
- Status Present
Keadaan umum pasien terlihat bulu kusam, masih terlihat aktif,
anggota gerak tidak terdapat inkoordinasi, tidak mengalami
diare, tidak terdapat lesi pada tubuh. Suhu 38,9 °C, tidak
terdapat alopecia, tidak ada kerontokan pada rambut,
konjungtifa mata pink pucat, gusi pink.

Gambar 1. Kondisi umum sapi


b. Gejala Klinis
Gejala klinis berupa hiperlacrimasi, konjungtifitis dan ulcer
belum terlihat. Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan
laboratorium dikarenakan agen penyebab (Thelazia) sudah
ditemukan pada kedua mata.
c. Diagnosa dan Prognosa
Diagnosa pada kasus ini yaitu Thelaziasis yaitu kecacingan
pada mata yang disebabkan oleh nematoda dari genus Thelazia.
Prognosa kasus ini adalah fausta yang merupakan perkiraan
mengenai perjalanan penyakit yang memiliki tingkat kesembuhan
yang tinggi.
d. Tindakan Pengobatan dan Terapi
Tindakan pengobatan dilakukan dengan pemberian tetramisole
1% yang diteteskan ke mata dan dilakukan pengambilan thelazia
dengan menggunakan kapas yang dibasahi aquades. Terapi ini
dilakukan selama 4 hari sampai tidak ditemukan lagi thelazia.
R/ Tetramisole 1% liq 4 ml
aquades 8 ml
m.f.l.a liq in fl
s.p.r.n gtt in od.s

e. Pembahasan
Thelaziasis merupakan penyakit kecacingan pada mata yang
disebabkan oleh nematoda dari famili Thelaziidae, genus Thelazia
dan memiliki inang perantara yaitu lalat muscidae (Djugu, 2014).
Penyakit ini, kesulitan ditanggulangi oleh peternak karena pada
awal infeksi tidak menunjukkan gejala klinis yang spesifik. infeksi
dapat diditeksi ketika sudah menunjukkan gejala klinis yang parah
seperti keratitis, ulcerasi, perforasi, fibrosis, katarak, kerusakan
konjungtiva dan blephartis organ mata (Supriadi, 2015).
Kasus ini terjadi pada seekor sapi betina berumur 2 tahun yang
ditemukan di kecamatan Taebenu, desa Baumata Timur. Sistem
pemeliharaan secara ekstensif yang dapat memperbesar
kemungkinan sapi terinfeksi penyakit salah satunya Thelaziasis.
Ternak tidak menunjukkan gejala klinis yang spesifik mengarah
kepada Thelaziasis seperti hiperlacrimasi dan ulcerasi akan tetapi
diketahui ketika diamati dengan seksama keadaan mata dan
ditemukan adanya infestasi parasit Thelazia seperti pada Gambar
2.

Gambar 2. Thelazia pada sapi


Pemeriksaan laboratorium pada kasus ini tidak dilakukan
dikarenakan telah ditemukan agen penyebab penyakit, hal ini
sesuai dengan tulisan dari Centers For Disease Contol and
prevantion (2018) yaitu peneguhan diagnosa kasus Thelazia
dilakukan ketika telah menemukan cacing dewasa pada mata sapi
yang diduga terinfeksi.
Pengobatan kasus ini, dilakukan dengan cara meneteskan
tetramisole 1% yang telah diencerkan bersama aquades dengan
perbandingan 1:2. Penetesan dilakukan pada kedua mata secara
bertahap dan dalam jumlah yang tidak terlalu banyak (kurang
lebih 1 ml setiap kali penetesan), kemudian diamati apakah
terdapat thelazia yang keluar kemudian dilakukan pengambilan.
Gambar 3. Terapi hari 1 Gambar 4. Terapi hari 2
Penggunaan tetramisole 1% dilakukan berdasarkan kandungan
obat yang berfungsi untuk terapi pada kasus cacingan baik itu di
usus yang dilakukan dengan injeksi dan pada mata yang
diencerkan terlebih dahulu. Pengenceran dilakukan untuk
mengurangi konsentrasi obat agar tidak menyebabkan
peradangan atau iritasi pada mata yang diterapi.

Gambar 5. Thelazia yang dikoleksi


Pada terapi hari pertama menggunakan tetramisole 1%
ditemukan 10 individu Thelazia dari kedua mata, pada terapi hari
ke dua ditemukan 5 individu Thelazia dari kedua mata, pada hari
ke tiga dan empat tidak ditemukan keberadaan Thelazia.

f. Daftar pustaka
Djungu. D.F.L. 2014. Thelaziosis Pada Ternak Sapi Potong
Peternakan Rakyat di Kabupaten Kupang. Skripsi.M.Si.
Sekolah Pascaserjana. Institut Pertanian Bogor.
Supriadi. 2015. Prevalensi Infeksi Cacing Thelazia sp. Pada Ternak
Sapi Bali Di Kecamatan Terano Kabupaten Kupang. Jurnal
Sangkareang Mataram.vol 1 (50-53)

2. Kasus 2 (Enteritis)
a. Ambulator
- Signalemen
- Nama Pemilik : Bpk. Herman Nifu
- Alamat : Baumata Utara, Kec. Taebenu
- Jenis Hewan dan Ras : Sapi Bali
- Jenis Kelamin : Jantan
- Umur : 6 Bulan
- Berat Badan : 58 kg
- Status Vaksinasi : Belum pernah divaksin
- Warna :Rambut coklat, kaos
kaki putih, ujung ekor berwarna
hitam, bagian posterior tubuh
berwarna putih (khas sapi Bali)
- Anamnesa
Sapi belum pernah divaksin, belum pernah diberikan obat anti
helmintiasis, diare sudah berlangsung 1 minggu, diare disertai
dengan darah dan berbau busuk.
- Status Present
Keadaan umum pasien masih terlihat aktif bergerak, anggota
gerak tidak terdapat inkoordinasi, frekuensi nafas 32x/ menit,
suhu 39,1 °C, tidak terdapat alopecia, tidak ada kerontokan
pada rambut, gusi putih, tidak terdapat pembengkakan pada
kelenjar limfe, pernafasan thoracoabdominal, peredaran darah
sistol diastol terdengar jelas.

Gambar 6. Sapi sakit


b. Gejala Klinis
Gejala klinis yang teramati berupa diare yang sudah
berlangsung selama satu minggu dengan konsistensi encer
(Gambar 7) terkadang disertai dengan darah berwarna gelap
(Gambar 8), berbau busuk dan sedikit berlendir , konjungtiva dan
gusi pucat/ putih.

Gambar 7. Diare Gambar 8. darah pada feses


c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi:
Pemeriksaan Feses dengan metode natif, pemeriksaan ulas darah
untuk melihat protozoa darah dan pemeriksaan darah lengkap
untuk melihat gambaran darah yang lebih terperinci. Hasil
pemeriksaan feses negatif/tidak ditemukan telur cacing, hasil
pemeriksaan ulas darah tidak ditemukan parasit darah, sedangkan
pada pemeriksaan darah lengkap ada beberapa pengujian yang
menunjukkan perubahan nilai dari nilai normal yang dapat dilihat
pada Gambar 9.
Gambar 9. Hasil pemeriksaan darah
d. Diagnosa dan Prognosa
Diagnosa pada kasus ini yaitu enteritis. Diagosa banding
Koksidiosis. Gejala klinis pada kasus ini mengarah ke koksidiosis
akan tetapi saat dilakukan pemeriksaan terhadap sampel feses
tidak ditemukan koksidia, dan berdasarkan hasil hematologi tidak
ada peningkatan jumlah eosinofil yang menandakan infeksi
parasit. Prognosa kasus ini adalah fausta atau perjalanan penyakit
yang memiliki tingkat kesembuhan yang tinggi.
e. Tindakan Pengobatan dan Terapi
Tindakan pengobatan dilakukan dengan pemberian Sulfa
strong injeksi yang mengandung Sulfadiazin Sodium,Sulfamidin
Sodium danb Sulfamerazin Sodium sebanyak 4 ml secara IM.
Terapi ini dilakukan selama 3 hari kemudian dilanjutkan dengan
terapi Oralit dan ADE-Plex yang mengandung vit A, D 3, E,
B1,B2,B6,B12.

f. Pembahasan
Enteritis adalah peradangan pada mukosa usus yang dapat
menyebabkan peristaltik dan sekresi usus meningkat, namun
fungsi dan absorbsi usus berkurang sehingga menimbulkan gejala
klinis berupa diare. Gejala klinis yang diamati ternak mengalami
diare dengan konsistensi encer (Gambar 7), kadang disertai
dengan darah yang berwarna gelap, berbau busuk, konjungtiva dan
gusi pucat. Gejala klinis ini sesuai dengan gambaran darah yang
didapat.
Pada gambaran darah, terjadi peningkatan jumlah
limfosit/limfositosis yang menunjukkan kemungkinan adanya
infeksi virus, GRA %(granulosit yang meliputi basofil, eosinofil dan
limfosit) rendah, MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin
Concentration) tinggi atau hiperkromik, hal ini jarang terjadi
dikarenakan nilai maksimal Hb dalam darah 30-35%
(Pandarangga, 2016). Nilai MCV (Mean Corpuscular Volume)
rendah atau mikrositik yang dapat disebabkan karena defisiensi Fe
misalnya pada kasus cacingan dan hambatan dalam absorbsi Fe.
RDW-CV (perhitungan dari sel darah merah dan MCV ) meningkat
berhubungan dengan nilai MCV yang menurun sehingga
memungkinkan terjadi defisiensi Fe, RDW-CV mengukur
keragaman bentuk dan volume sel darah merah, jika Fe kurang
maka sel darah merah yang dibentuk akan mengalami gangguan
seperti berukuran kecil (mikrositik), karena fungsi dari Fe yaitu
untuk pembentukan dan pematangan sel darah merah.
Nilai HCT/PCV dalam pengujian ini rendah, yang menunjukkan
presentasi sel darah merah yang beredar dalam darah sedikit yang
dapat disebabakan karena kerusakan sel darah merah, sumsum
tulang gagal memproduksi sel darah merah dan hemoragi. Pada
kasus diare ini, feses yang dikeluarkan disertai dengan darah yang
sudah menghitam (bukan darah segar) dan berbau busuk,
sehingga dapat dikatakan bahwa penurunan nilai PCV disebabkan
karena pasien mengalami hemoragi pada bagian usus halus.
Pengujian PLT untuk menentukan jumlah platelet yang beredar
dalam darah, nilai platelet yang tinggi dapat disebabkan karena
anemia akibat defisiensi Fe, dimana ketika terjadi diare berdarah
maka penyerapan zat--zat yang masuk ke dalam tubuh berkurang
dan Fe yang masuk ke dalam tubuh tidak terserap dengan baik
sehingga cadangan Fe yang berada didalam tubuh akan dibawah ke
sumsum tulang belakang lalu dilakukan pembentukan sel darah
merah untuk mengatasi kekurangan sel darah merah akibat
hemoragi, maka endotel pada vaskular yang rusak terkuak dan
menyebabkan platelet datang menutupi endotel, sehingga ketika
dilakukan pengecekan darah maka jumlah platelet yang beredar
dalam darah menjadi meningkatan.
Pengujian MPV (Mean Platelet Volume) yang
merepresentasikan ukuran rata-rata trombosit, PDW (Platelet
Distribution Width) untuk melihat keseragaman trombosit yang
beredar dan P-LCR (Platelet Large Cell Ratio) untuk melihat rasio
ukuran trombosit yang besar. Pada sampel darah yang diperiksa
nilai MPV tinggi yang berarti ukuran rata-rata trombosit
besar/platelet muda karena sumsum tulang ditriger untuk
memproduksi lebih banyak platelet akibat adanya perlukaan
dalam vascular (Pandarangga,2016).
Pada kasus diare ini, didagnosa enteritis yang didasarkan pada
beberapa gejala klinis yang mengarah ke enteritis yaitu ternak
mengalami diare berdarah, sedikit berlendir, dengan konsistensi
feses lembek sampai encer dan berbau busuk. perkembangan
penyakit dari awal terapi sampai hari ke 3 masih diare tetapi
konsistensi feses yang lembek dan tidak terlalu encer sehingga
dilanjutkan dengan pemberian oralit selama 3 hari dan pada hari
ke 6 feses berbentuk pasta.
Gejala klinis pada kasus ini, sangat mirip dengan gejala klinis
pada kasus koksidiosis. Pada kasus Koksidiosis menurut
Doviansyah (2015), Gejala klinis koksidiosis yaitu terdapat diare
yang hebat, tinja cair bercampur mukus dan darah yang berwarna
merah sampai kehitaman, pada kondisi diare hewan sering
mengejan dan dapat menyebabkan prolaps rektum. Pada kasus ini,
diare yang ditimbulkan cair terkadang disertai dengan darah, akan
tetapi pada pemeriksaan feses tidak ditemukan telur cacing
ataupun eimeria sp. yang menyebabkan koksidiosis. Pemeriksaan
hematologi juga menunjukkan tidak ada peningkatan terhadap
nilai eosinofil yang mengindikasikan infeksi parasit.
g. Client Education
1. Sapi yang mengalami diare diberikan air terus menerus
2. Sapi yang mengalami diare diberikan pakan dalam jumlah yang
sedikit untuk mengurangi kerja usus.
h. Daftar pustaka
Centers For Disease Contol and prevantion.2018. Laboratory
Identification of Parasites of Public Health Concern.
Diakses pada 17 Juni 2018 melalui
https://www.cdk.gov/dpdx/thelaziasis/indeks.html
Pandarangga. P. 2016. Bahan Ajar Patologi Klinik. Fakultas
Kedokteran Hewan. Universitas Nusa Cendana
Doviansyah. Z. 2015. Prevalensi Koksidio Sis Dan Identifikasi
Ookista Eimeria Spp. Pada Sapi Perah Di Kawasan Usaha
Peternakan (Kunak) Kabupaten Bogor. skripsi. Fakultas
Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

BAB III
KEGIATAN RUTIN
Kegiatan rutin yang dilakukan di Pusat Kesehatan Hewan Tarus yaitu
Kegiatan vaksinasi dan SIWAB. Kegiatan vaksinasi dan SIWAB yang dilakukan
melibatkan partisipasi mahasiswa koas. Kegiatan pelayanan puskeswan
dilakukan baik pelayanan aktif,semi aktif dan pasif. Pelayanan aktif
dilaksanakan sesuai dengan program kerja yang telah dirancang setiap
tahunnya seperti vaksinasi, pemberian obat cacing, dan pembinaan
kelompok.
Pelayanan semi aktif dilakukan apabila ada laporan dari peternak dan
kemudian petugas mendatangi lokasi untuk melakukan penanganan,hal ini
dilakukan terhadap unggas, ternak kecil dan ternak besar. Sedangkan pasif
yaitu melakukan pelayanan pada puskeswan terutama menangani masalah
menajemen pemeliharaan, pengobatan dan kesehatan hewan, penanganan
gangguan reproduksi dan pemeriksaan kebuntingan.
Jenis ternak yang biasa dilayani puskeswan meliputi ternak besar (sapi,
kerbau, kuda), ternak kecil (babi, kambing), unggas (ayam), dan hewan
kesayangan (anjing). Secara keseluruhan Kecamatan Kupang Tengah
mempunyai populasi sebanyak 23.211 ekor yang terdiri dari 3.506 ekor sapi,
5 ekor kerbau, 27 ekor kuda, 1701 ekor kambing, 3233 ekor babi, 14298 ekor
ayam, 20 ekor itik, 421 ekor bebek yang menyebar di 7 desa dan 1 kelurahan.

Gambar 10. Kegiatan pemberian obat cacing

BAB IV
PENUTUP
1. Kegiatan koasistensi yang dilakukan di Pusat Kesehatan Hewan
Tarus selama 6 minggu sangat bermanfaat dan menjadi bahan
pembelajaran bagi mahasiswa.
2. Kasus Thelazia dapat dilakukan penanganan dengan meneteskan
Tetramisole 1%
3. Penanganan kasus Enteritis dilakukan dengan pemberian Sulfa
strong, Oralit dan ADE-Plex.

Anda mungkin juga menyukai