Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kambing adalah salah satu ternak yang banyak dipelihara oleh
masyarakat Indonesia. Ternak kambing cukup diminati karena pemeliharaannya
menghasilkan produk ternak berupa daging, susu dan kulit. Data statistik
peternakan tahun 2017 menunjukkan bahwa populasi kambing di Indonesia yaitu
sebesar 18 juta ekor. Populasi tersebut terdiri dari berbagai rumpun/ kelompok,
salah satunya adalah kambing Peranakan Ettawa (PE). Menurut Moeljanto dan
Wiryanta (2002), kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan jenis kambing yang
banyak diminati masyarakat karena jenis kambing ini memiliki fungsi dwiguna
yaitu sebagai penghasil daging dan penghasil susu. Berpatokan pada jumlah data
statistik peternakan tahun 2017 tersebut, populasi ternak kambing di Indonesia
jumlahnya mencapai 18.410.379 ekor, maka apabila diasumsikan sebanyak 10%
dari total tersebut merupakan ternak kambing PE maka total populasi ternak
kambing PE mencapai 1.841.037 ekor.
Unit Pelaksanaan Teknis Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan
Ternak (UPT PT dan HMT) Malang merupakan salah satu tempat pembudidayaan
ternak kambing PE yang berada di kota Malang Jawa Timur. Wilayah UPT PT
dan HMT Malang berada pada ketinggian 700-800 mdpl dengan udara sejuk,
temperatur udara tertinggi mencapai 29oC, dan terendah 14 oC dengan rata-rata 20-
22oC. Kegiatan yang dilakukan di UPT PT dan HMT Malang meliputi pembibitan,
budidaya dan pemuliaan ternak, pembibitan hijauan makanan ternak, distribusi
bibit ternak, ketatausahaan, pelayanan masyarakat dan tugas lain yang diberikan
oleh Kepala Dinas (Disnakjatim, 2013). Jenis kambing yang dibudidayakan di
UPT PT dan HMT Malang salah satunya adalah jenis kambing Peranakan Ettawa
(PE) untuk dimanfaatkan daging, susu dan olahannya. Kambing PE dipilih karena
keunggulannya dalam fungsi dwiguna yaitu penghasil daging dan susu dengan
kualitas yang cukup baik.

1
Penyakit yang sering ditemui di UPT PT dan HMT Malang salah satunya
yaitu penyakit kulit yang disebabkan oleh penyakit parasitik. Penyakit parasitik
yang sering menyerang ternak kambing PE adalah scabiosis. Menurut Iskandar
(2000), scabiosis merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai pada ternak di
Indonesia dan cenderung sulit disembuhkan. Penyakit ini disebabkan oleh tungau
Sarcoptes scabiei. Tungau S. scabiei adalah ektoparasit yang menyerang hewan
terutama pada bagian kulit yang ditandai dengan gejala khas yaitu gatal pada kulit
dan akhirnya mengalami kerusakan pada kulit yang terserang. Menurut Khan
(2008), penyakit parasitik seperti scabiosis merupakan salah satu faktor yang
dapat menurunkan produktivitas ternak. Tungau S. scabiei bertahan hidup dalam
tubuh hospes dengan memakan jaringan tubuh dan mengambil nutrisi yang
dibutuhkan. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan bobot badan,
pertumbuhan yang lambat, penurunan daya tahan tubuh dan kematian hospes.
Ternak yang terinfeksi biasanya mengalami kekurusan sehingga mempunyai nilai
jual yang rendah.
Unit Pelaksanaan Teknis Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan
Ternak (UPT PT dan HMT) Malang memiliki tingkat penyebaran penyakit
scabiosis yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan pendistribusian bibit ternak
kambing PE dari dalam UPT ke daerah sekitar dan sebaliknya. Hal ini
memungkinkan masuknya kambing PE yang terjangkit scabiosis ke dalam UPT
dan kemudian menjadi penyebab menyebarnya scabiosis di UPT PT dan HMT
Malang. Upaya pengobatan dan pencegahan telah dilakukan oleh tenaga kerja dan
dokter hewan yang bertugas disana, namun sampai saat ini penyebaran scabiosis
di UPT PT dan HMT Malang masih terus berlangsung dan belum dapat teratasi.
Berdasarkan latar belakang diatas, Praktek Kerja Lapang (PKL) di Unit
Pelaksanaan Teknis Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (UPT PT
dan HMT) Malang ini dilakukan untuk menambah pengetahuan serta soft skill
untuk melakukan penanganan dan pengobatan penyakit scabiosis pada kambing
Peranakan Ettawa.

2
1.2 Rumusan Masalah
1) Bagaimana cara penanganan penyakit scabiosis pada kambing Peranakan
Ettawa di UPT PT dan HMT Malang?

1.3 Tujuan
1) Mengetahui cara penanganan penyakit scabiosis pada kambing Peranakan
Ettawa di UPT PT dan HMT Malang?

1.4 Manfaat
1) Menambah wawasan serta pengetahuan mengenai cara penanganan
penyakit scabiosis pada kambing Peranakan Ettawa.
2) Bagi Fakultas Kedokteran Hewan, diharapkan dapat digunakan sebagai
pengembangan ilmu dan penelitian lebih lanjut tentang penanganan dan
pencegahan penyakit scabiosis di Indonesia.
3) Bagi instansi serta lembaga terkait lainnya diharapkan dapat menjadi
pertimbangan dalam mengambil keputusan terkait pencegahan scabiosis
pada kambing PE di Indonesia.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kambing Peranakan Ettawa (PE)


Kambing merupakan ternak jenis ruminansia kecil yang memiliki
kekerabatan sangat dekat dengan domba, namun berbeda sifat biologisnya.
Kambing memiliki 60 kromosom yang terdiri dari atas 29 pasang kromosom
autosom dan sepasang kromosom kelamin. Penyebaran kambing sangat luas dan
hampir tersebar diseluruh dunia, karena beberapa sifat unggul yang dimiliki
kambing yakni daya adaptasi yang baik dan tahan hidup pada daerah dengan
hijauan terbatas serta mampu memanfaatkan hijauan pakan secara efisien. Adapun
klasifikasi dari kambing yakni (Mileski and Myers, 2004) :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Family : Bovidae
Genus : Caprinae
Species : Capra
Salah satu jenis kambing yang banyak dipelihara peternak di Indonesia
adalah kambing Peranakan Ettawa (PE). Menurut pamungkas et al (2009),
kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan kambing hasil persilangan antara
kambing Ettawa (asal India) dengan kambing Kacang. Kambing ini tersebar
hampir di seluruh Indonesia. Penampilannya mirip kambing Ettawa, tetapi lebih
kecil. Kambing PE merupakan kambing tipe dwiguna, yaitu sebagai penghasil
daging dan susu. Peranakan PE yang penampilannya mirip kambing Kacang
disebut Bligon atau Jawa randu yang merupakan tipe pedaging.
Sutama (2011) menyebutkan, karakteristik yang paling penting dari
kambing PE yaitu bentuk muka cembung, telinga relatif panjang (18-30 cm) dan
terkulai. Jantan dan betina bertanduk pendek. Warna bulu bervariasi dari kream

4
sampai hitam. Bulu pada bagian paha belakang, leher dan pundak lebih tebal dan
lebih panjang daripada bagian lainnya seperti yang terlihat pada gambar 2.1. Rata-
rata tubuh berwarna putih dengan belang hitam atau belang coklat dibagian
kepala. Tinggi badan untuk jantan 70-100 cm, dengan berat badan dewasa
mencapai 40-80 kg untuk jantan dan 30-50 kg untuk betina.

Gambar 2.1 Gambaran kambing Peranakan Ettawa


(Ditjen Peternakan dan Keswan, 2015).

Kambing Ettawa pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1920-an


dibawa oleh Belanda ke pulau Jawa tepatnya di Kaligesing Jawa Tengah,
tujuannya yaitu untuk memenuhi kebutuhan susu bagi orang Belanda. Kambing
Ettawa mampu menghasilkan susu yang lebih banyak dibandingkan dengan
kambing lokal, namun kurang mampu bertahan terhadap lingkungan tropis
Indonesia, sehingga disilangkan dengan kambing lokal (kambing kacang)
(Kusuma dan Irmansah, 2009). Hasil persilangannya disebut sebagai kambing
Peranakan Ettawa (PE) yang masih mampu memproduksi susu diatas kambing
lokal dengan produksi susu antara 2 – 3 l/h pada masa laktasi dan mencapai 2 l/h
pada puncak laktasi (Hanum dan Zuraida, 2010). Kambing PE kemudian
menyebar disekitar daerah Kaligesing hingga ke luar pulau Jawa. Pemicu paling
signifikan penyebaran kambing PE yakni karena kebutuhan masyarakat terhadap

5
susu kambing untuk pengobatan dan juga difungsikan sebagai penjantan untuk
memperbaiki kualitas kambing lokal pedaging (Kusuma dan Irmansah, 2009).

2.2 Scabiosis
Penyakit scabiosis dikenal juga sebagai mange, itch, scab, acariasis.
Semua hewan piaraan rentan terhadap penyakit ini tetapi berbeda dalam
prevalensi dan patogenesisnya. Penyakit scabiosis tersebar di seluruh Indonesia
dan banyak menyerang hewan seperti: kambing, sapi, kerbau, domba, babi, anjing
dan kelinci (Colville, 2000).
Scabiosis juga termasuk penyakit zoonosis sehingga dapat ditularkan ke
manusia. Menurut Elser dkk (2005), penularan scabiosis dapat terjadi melalui
kontak langsung antar hewan penderita dengan hewan lain atau manusia, dapat
juga melalui kontak tidak langsung yaitu melalui peralatan yang terkontaminasi.
Serangan penyakit scabiosis dapat mengakibatkan pertumbuhan kambing yang
dipelihara terhambat sampai 38% dengan mortalitas meningkat sampai 28%.

2.2.1 Etiologi Sarcoptes scabiei


Penyakit scabiosis pada kambing terjadi karena adanya infestasi
dari Sarcoptes scabiei. Flynn (2002), menyatakan bahwa scabiosis ada
dalam semua populasi hewan. Varietas tungau penyebab scabiosis pada
beberapa jenis hewan morfologinya sama, hanya berbeda dalam
kesanggupannya memanfaatkan induk semang yang berlainan sehingga
dari populasi tersebut timbul nama yang khas untuk masing-masing jenis.
Tiga famili tungau yang sering menyerang hewan dan
menyebabkan penyakit kudis, yaitu famili Sarcoptidae, Prosoptidae dan
Demodicidae. Scabiosis pada kambing disebabkan oleh tungau dari famili
Sarcoptidae dengan nama spesies Sarcoptes scabiei. Sarcoptes scabiei
memiliki klasifikasi yaitu Kingdom Animal, Phylum Arthropoda, Class
Arachnid, Order Acarina, Family Sarcoptidae, Genus Sarcoptes dan
Species Sarcoptes scabiei (Siregar, 2007).

6
2.2.2 Morfologi Sarcoptes scabiei
Tungau S. scabiei berwarna putih krem dan berbentuk oval yang
cembung pada bagian dorsal dan pipih pada bagian ventral. Tungau betina
dewasa berukuran 300 - 500 x 230 - 340 µm sedangkan yang jantan
berukuran 213 - 285 x 160 - 210 µm. Permukaan tubuhnya bersisik dan
dilengkapi dengan kutikula. Stadium larva mempunyai tiga pasang kaki
sedangkan nimpa dan dewasa mempunyai empat pasang kaki (Wardhana,
2006).
Mulut S. scabiei terdiri atas chelicorn yang bergigi, pedipalp
berbentuk kerucut yang bersegmen tiga dan palb bibir yang menjadi satu
dengan hipostoma. Sarcoptes dibedakan dengan genus lain berdasar
adanya leg sucker (pulvilus), seperti yang terlihat pada gambar 2.2 dimana
pada Sarcoptes jantan dapat dijumpai adanya leg sucker pada kaki ke-1, 2
dan 4, sedang pada yang betina dapat dijumpai pada kaki ke-1 dan 2
(Belding, 2001).

(A) (B)
Gambar 2.2 Bentuk tubuh S. scabiei. (a) Tungau S. scabiei jantan dengan
sucker panjang pada pasang kaki 1,2 dan 4 (ditunjukan
dengan panah merah) (b) Tungau S. scabiei betina dengan
sucker panjang pada pasang kaki 1 dan 2 (ditunjukan dengan
panah merah) (Richard and David, 2001).

7
2.2.3 Siklus Hidup Sarcoptes scabiei
Perkembangan S. scabiei meliputi telur, larva, protonimfa,
tritonimfa kemudian menjadi dewasa (Gambar 2.3). Sarcoptes Scabiei
biasanya berkumpul di daerah yang memiliki rambut tipis dan kulit lembut
seperti telinga dan wajah kambing. Menurut Tan (2017), tungau S. scabiei
melakukan kopulasi (perkawinan) di atas kulit, kemudian betina yang telah
dibuahi akan menggali terowongan dalam stratum korneum epidermis
kulit, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil meletakkan
telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Setelah
3-4 hari, larva berkaki enam akan muncul dari telur dan keluar dari
terowongan dengan memotong atapnya. Jika penyakit tidak diperiksa dan
diobati, infestasi dapat menutupi seluruh tubuh. Daerah yang terkena
dampak mengalami alopecia dan menjadi tertutup dengan keropeng atau
scabs.

Gambar 2.3 Siklus hidup S. scabiei dalam tubuh makhluk hidup (Griana,
2013).

Setelah menetas, larva bermigrasi ke permukaan kulit dan menggali


area stratum korneum yang masih utuh menghasilkan terowongan pendek
yang hampir tidak terlihat yang disebut sebagai moulting pounch (kantung
untuk berganti kulit). Setelah berumur 3-4 hari, larva S. scabiei, yang
berkaki 3 pasang akan berganti kulit, menghasilkan protonimfa berkaki 4

8
pasang. Kemudian protonimfa akan berganti kulit lagi menjadi tritonimfa
sebelum benar-benar menjadi tungau dewasa. Larva dan nimfa biasanya
dapat ditemukan di dalam moulting pounch atau pada folikel rambut.
Tritonimfa akan menjadi dewasa dan berubah spesifik menjadi jantan atau
betina dalam waktu 3-6 hari. Setelah dewasa, tungau akan segera keluar
dari moulting pounch ke permukaan kulit untuk mencari area stratum
korneum yang masih utuh dan membuat terowongan kembali (Griana,
2013). Seluruh siklus hidup S. scabiei mulai dari telur sampai bentuk
dewasa berlangsung antara 10 – 14 hari.

2.2.4 Gejala Klinis

(A) (B)
Gambar 2.4 Gejala yang ditimbulkan pada kambing akibat infestasi S.
scabiei, (A) Terlihat pada telinga adanya pruritis, (B) Terjadi
penebalan kulit pada bagian muka dan scabs (Sungkar, 2001).

Scabiosis adalah salah satu penyakit zoonosis yang dapat menular


ke hewan lain dan juga ke manusia melalui kontak langsung seperti
bersentuhan dengan hewan yang terinfeksi dan secara tidak langsung
melalui perkakas kandang dan baju pekerja yang terkontaminasi tungau S.
scabiei. Scabiosis ditandai dengan radang pada kulit yang disertai gatal –
gatal yang disebabkan oleh sensitisasi kulit terhadap sekreta dan ekskreta
tungau, serta gejala keropeng atau scabs dan alopecia yang timbul kira –
kira tiga minggu pasca infestasi atau sejak larva membuat terowongan di
dalam kulit (Gambar 2.4 A dan B). Pada kambing, scabiosis menyebabkan
kerusakan pada kulit terutama di daerah muka dan telinga. Hal tersebut
dikarenakan saat menginfestasi hewan ternak kambing, tungau S. Scabiei

9
biasanya berkumpul di daerah yang memiliki rambut tipis dan kulit
lembut. Pada kasus scabiosis yang parah seluruh bagian tubuh kambing
dapat terserang (Kettle, 2004). Menurut Sungkar (2001), kambing yang
terinfeksi akan terlihat lesu, tidak ada nafsu makan, kulit tampak menebal,
berkerak atau scabs, turgor kulit jelek, alopecia, gatal-gatal atau pruritus,
hyperemia pada selaput lendir mulut, terdapat lepuh pada mukosa mulut
dan terjadi konjungtivitis.

2.2.5 Diagnosa
Dasar diagnosa scabiosis adalah dengan melihat gejala klinis yang
terjadi meliputi lesu, tidak ada nafsu makan, kulit tampak menebal,
berkerak, turgor kulit jelek, alopecia, gatal-gatal atau pruritus, hyperemia
pada selaput lendir mulut, terdapat lepuh pada mukosa mulut dan terjadi
konjungtivitis (Sungkar, 2001). David (2002) menyatakan, bahwa
diagnosa scabiosis dipertimbangkan bila terdapat riwayat gatal yang
persisten dengan gejala klinis seperti yang diuraikan di atas dan konfirmasi
agen penyebab S. scabiei, larva atau telur dengan pemeriksaan
mikroskopis yakni membuat kerokan kulit dari hewan yang terinfeksi
seperti pada gambar 2.5.

Gambar 2.5 Hasil pemeriksaan kerokan kulit positif ditemukan Sarcoptes


scabiei dengan perbesaran 100x menggunakan mikroskop (Adrian,
2011).

10
Kerokan kulit diambil dari bagian kulit yang luka, kemudian
dikerok dengan scalpel atau silet hingga berdarah. Kerokan kulit diambil
dari beberapa tempat yang berbeda pada kulit yang berlesi (Colville,
2000). Hasil kerokan diletakkan diatas kaca objek dan ditetesi dengan
KOH 10 % kemudian ditutup dengan kaca penutup dan diperiksa dibawah
mikroskop. Diagnosis scabiosis positif jika ditemukan tungau, nimpa,
larva, atau telur S. scabiei (Robert et al, 2003).

2.2.6 Pencegahan dan Pengobatan


2.2.6.1 Pencegahan
Hewan ruminansia termasuk ternak yang peka terjangkit
scabiosis dengan masa inkubasi empat belas hari. Masa inkubasi 14 hari
merupakan waktu yang diperlukan oleh S. scabiei untuk berlipat ganda
hingga dapat menimbulkan gejala pada inangnya. Oleh karena itu,
pencegahan yang dapat dilakukan menurut Wardhana (2006), yaitu
hewan yang datang atau akan dikirim ke daerah lain harus dikarantina
selama empat belas hingga tiga puluh hari. Hewan yang terserang
scabiosis sebaiknya diisolasi dari kelompoknya dan diobati sampai
sembuh. Populasi ternak yang terlalu padat dalam suatu kandang dan
sanitasi yang buruk harus dihindari untuk mencegah penularan antara
ternak.
2.2.6.2 Pengobatan
Pengobatan scabiosis dapat dilakukan dengan dua acara yaitu
dengan pengobatan tradisional dan pengobatan dengan obat kimia.
Menurut Randu (2002), pengobatan tradisional untuk scabiosis dapat
dilakukan dengan menggunakan campuran belerang dan minyak kelapa.
Belerang dipercaya oleh masyarakat dapat mematikan tungau S. scabiei
karena kandungan sulfurnya. Seperti yang dijelaskan Qonita (2015),
bahwa sulfur dapat membentuk hidrogen sulfida dan asam pentationat
pada jaringan hidup yang bersifat toksik terhadap tungau. Sulfur 2-10%

11
dalam bentuk salep efektif terhadap stadium larva, nimfa dan dewasa. Oleh
karena itu, pengobatan dengan sulfur ini minimal digunakan selama 3 hari
agar larva menetas dari telurnya dan dapat dimatikan. Sedangkan minyak
kelapa dipercaya sebagai bahan pencampur obat-obatan karena
kegunaannya sebagai pelarut untuk melarutkan belerang disamping
berperan dalam proses reabsorbsi obat ke dalam tubuh melalui pori-pori
kulit.
Sedangkan pengobatan scabiosis dengan obat kimia dapat
menggunakan obat yang mengandung Ivermectin. Ivermectin bekerja
dengan berikatan secara selektif pada reseptor di sinaps motor perifer,
menghambat transmisi kimia dari asam γ aminobutirat (GABA)-gated
chloride channels yang berada di sistem saraf pusat. Hal tersebut
merangsang pelepasan GABA pada ujung saraf endoparasit, meningkatkan
afinitas GABA pada reseptor di sinaps dan menyebabkan gangguan impuls
saraf, menimbulkan paralisis dan kematian parasit (Chhaiya, 2012).
Ivermectin dengan dosis yang tepat dapat mengendalikan dan
mengobati endoparasit dan ektoparasit. Pengobatan scabiosis injeksi dapat
diulang 10-14 hari kemudian dari injeksi yang pertama, karena Ivermectin
dapat membunuh S.scabiei pada fase larva hingga dewasa tapi tidak dapat
membunuh pada fase telur, dalam kurun waktu 10-14 hari tersebut
merupakan waktu yang diperlukan untuk sebuah telur tungau S. scabiei
yang mungkin masih tersisa untuk menetas. Ivermectin dapat diberikan
kepada ternak kambing dengan dosis 200 μg/kg atau 0,02 mL/kg berat
badan dan secara oral 100-200 μgr per kg berat badan per hari selama 7
hari. Salah satu merek dagang Ivermectin adalah Ivomec (Oktora, 2009).
Menurut Giangaspero (2013), kambing yang sedang dalam masa
pengobatan dengan Ivermectin tidak dianjurkan dikonsumsi produksi
susunya dalam kurun waktu 28 hari, dan tidak dapat dipotong kurang dari
21 hari setelah pemberian Ivermectin karena dalam kurun waktu tersebut
masih terdapat residu Ivermectin di dalam susu dan daging kambing.

12
Oktora (2009) juga menyatakan, pengobatan dan perawatan harus
ditambahkan juga sesuai dengan kondisi hewan bersangkutan seperti :
a. Antibiotik untuk mencegah infeksi pada luka akibat
garukan. Antibiotik yang dapat digunakan adalah antibiotik
spektrum luas seperti Oxytetracycline dengan cara injeksi
melalui Intramuskular. Pemberian antibiotik ini bertujuan untuk
mengcegah adanya infeksi sekunder dari organisme lain.
Menurut Plumb (2008) Oxytetracycline umumnya bertindak
sebagai antibiotik bakteriostatik dan menghambat sintesis
protein dari organisme yang rentan. Oxytetracycline dapat
didistribusikan secara luas di tubuh, termasuk ke jantung, ginjal,
paru- paru, otot, cairan pleura, sekresi bronkial, sputum,
empedu, air liur, urin, cairan sinovial, cairan asites.
b. Antihistamin untuk mengurangi rasa gatal. Antihistamin
yang bisa digunakan pada kambing yaitu vetadryl dengan cara
injeksi melalui intramuskular. Menurut Plumb (2008) Vetadryl
diberikan pada kambing untuk meredakan rasa gatal agar
kambing tidak menggaruk-garuk bagian yang terdapat keropeng.
Hal ini supaya tidak menimbulkan luka pada bagian tersebut.
Vetadryl Ini adalah produk yang mengandung Diphenhydramine
HCL, digunakan untuk menghambat pengeluaran histamin yang
berlebihan (alergi). Reaksi alergi dapat disebabkan oleh
makanan, lingkungan, penyakit, reaksi setelah pengobatan atau
vaksinasi yang ditunjukkan dengan adanya gejala-gejala seperti
gatal-gatal pada kulit.
c. Vitamin untuk meningkatkan kondisi secara umum dan
daya tahan. Salah satu jenis vitamin yang dibutuhkan oleh
ternak kambing adalah vitamin B-kompleks. Menurut Astiti
(2017) vitamin B-kompleks merupakan grup vitamin yang larut
dalam air terdiri dari vitamin B1 (thiamine), B2 (riboflavin), B3

13
(niacin atau niacinamide), B5 (pantothenic acid), B6
(piridoksin), B7 (biotin), B9 (folic acid), dan B12 (cobalamins).
Vitamin ini berperan sebagai kofaktor enzim metabolisme
sehingga mampu membantu dan meningkatkan penyerapan
nutrisis dalam tubuh kambing sehingga meningkatkan nafsu
makan, mempertahankan kesehatan tubuh dan dapat membantu
proses penyembuhan penyakit.

14
BAB III
METODE KEGIATAN

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Kegiatan


Kegiatan Praktek Kerja Lapang dilaksanakan di Unit Pelaksanaan Teknis
Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (UPT PT dan HMT) Malang.
Pelaksanaan PKL dilakukan pada hari kerja dimulai tanggal 23 Oktober 2018
hingga 27 Desember 2018, selama 30 hari.

3.2 Metode Pelaksanaan PKL


Metode yang digunakan dalam Kegiatan Praktek Kerja Lapang ini adalah
dengan survei melalui pengumpulan data primer dan data sekunder. Pengumpulan
data primer yang akan digunakan dalam kegiatan ini yaitu melalui :
1. Observasi
Kegiatan observasi ini dilakukan secara langsung di lapangan. Hal-
hal yang akan diobservasi antara lain meliputi penanganan kasus scabiosis
di lapangan. Partisipasi merupakan metode pengembangan data dengan
ikut aktif dalam kegiatan yang berhubungan baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap semua aspek yang berkaitan dengan kegiatan
pelaksanaan penanganan yang disertai pengobatan scabiosis.
2. Wawancara
Teknik wawancara ini dilakukan dengan berpedoman pada
pedoman wawancara yaitu interview guide (lampiran 1). Wawancara
dilakukan secara mendalam terhadap penanggung jawab kandang tentang
sistem pemeliharaan ternak dan prosedur penanganan kasus jika terjadi
gangguan. Wawancara kepada penanggung jawab kandang selaku sumber
informasi akan dilakukan melalui serangkaian tanya jawab yang bersifat
terbuka.
Teknik pengumpulan data dengan cara menyusun daftar pertanyaan
yang sudah dipersiapkan sebelumnya secara sistematis sehingga dapat

15
berfungsi sebagaimana pedoman wawancara. Interview guide dalam
penelitian ini bersifat fleksibel artinya pertanyaan yang diajukan kepada
informan akan berkembang dan tidak hanya terpancang pada daftar
pertanyaan.
Sumber data sekunder diambil dari laporan kegiatan di UPT PT dan HMT
Malang, catatan kejadian penyakit hewan di lingkungan UPT PT dan HMT
Malang, data jumlah ternak, buku, jurnal serta penelusuran dengan memanfaatkan
teknologi internet.

3.3 Rencana Jadwal Kegiatan PKL


Jadwal kegiatan Praktek Kerja Lapang di UPT PT dan HMT Malang, yang
dilaksanakan seperti tertera pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.1 Jadwal rencana kegiatan PKL di UPT PT dan HMT Malang
Bulan
September Oktober November Desember
Kegiatan Minggu Ke- Minggu Ke- Minggu Minggu
Ke- Ke-
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4
I. Persiapan
1.1 Pengajuan Proposal
Rencana PKL
kepada pihak FKH-
UB
1.2 Pengajuan Proposal
Rencana PKL
kepada pihak UPT
PT dan HMT
Malang
II. Pelaksanaan PKL

16
2.1 Pelaksanaan
Praktek Kerja Lapang di
UPT PT dan HMT
Malang

III. Pengumpulan Data


dan Evaluasi Hasil

3.1 Evaluasi Hasil


3.2 Pengumpulan Data
3.3 Analisa dan
Pengolahan Data

3.4 Penarikan
Kesimpulan dan
Penyusunan Laporan
Kegiatan

3.4 Biodata Peserta PKL


Peserta yang melaksanakan Praktek Kerja Lapang di UPT PT dan HMT
Malang yaitu :
Nama Mahasiswa : Sarah Alifia
Program Studi : Pendidikan Dokter Hewan
Fakultas : Kedokteran Hewan
Universitas : Brawijaya
NIM : 155130100111048
Alamat : Jl. Terusan Ijen No.22A, Kel. Bareng, Kec. Klojen,
Kota Malang
Nomor Telepon : 085714693506
Email : alifiasarah27@gmail.com

17
BAB IV
PELAKSANAAN KEGIATAN

4.1 Tempat dan Waktu


Praktek Kerja Lapang (PKL) ini dilaksanakan di UPT PT dan HMT
Malang. Praktek Kerja Lapang dilaksanakan dalam waktu 1 bulan dimulai dari
tanggal 23 Oktober 2017 sampai tanggal 27 Desember. Kegiatan dilaksanakan
dengan mengikuti jadwal kerja yang ditentukan oleh pihak UPT PT dan HMT
Malang.
4.2 Jadwal Kegiatan
Aktivitas PKL dapat dilihat dari tabel jadwal kegiatan PKL di UPT PT dan
HMT Malang yang telah dicantumkan pada tabel 4.1 dibawah ini.
Tabel 4.1 Jadwal Kegiatan PKL
No. Tanggal Kegiatan
1. 23/10/2018 Pengenalan Lingkungan PKL meliputi :
a. Briefing oleh Drh. Jaya Wulandari di
UPT PT dan HMT Malang
b. Pengenalan tata ruang UPT PT dan
HMT Malang dan petugas kandang yang
bertugas.
2. 26/10/2018 a. Membantu penanganan post partus
b. Membantu penanganan myasis kambing
3. 27/10/2018 a. Pemeliharaan Kambing
4. 28/10/2018 a. Pemeliharaan Kambing
5. 30/10/2018 a. Pemeliharaan Kambing
b. Materi
c. Membantu penanganan pink eye
6. 02/11/2018 a. Pemeliharaan Kambing
b. Materi

18
7. 03/11/2018 a. Pemeliharaan Kambing
b. Membantu penanganan mastitis, pink
eye dan myasis kambing
8. 04/11/2018 a. Pemeliharaan Kambing
b. Membantu penanganan pink eye
9. 06/11/2018 a. Pemeliharaan Kambing
b. Membantu penanganan pink eye
10. 09/11/2018 a. Pemeliharaan Kambing
b. Membantu penanganan scabiosis
11. 10/11/2018 a. Pemeliharaan Kambing
b. Membantu penanganan post partus
12. 11/11/2018 a. Pemeliharaan Kambing
b. Membantu penanganan mastitis
13. 13/11/2018 a. Pemeliharaan Sapi Perah
14. 16/11/2018 a. Pemeliharaan Sapi Perah
15. 17/11/2018 a. Pemeliharaan Sapi Perah
16. 18/11/2018 a. Pemeliharaan Sapi Perah
17. 23/11/2018 a. Perawatan Cempe
b. Pengolahan Produk (membuat yoghurt)
c. Membantu penanganan scabiosis
18. 24/11/2018 a. Perawatan Cempe
b. Pengolahan Produk (membuat kefir)
19. 25/11/2018 a. Perawatan Cempe
b. Pengolahan Produk (membuat es krim)
20. 27/11/2018 a. Manajemen Pakan dan Konsentrat
21. 30/11/2018 a. Manajemen Pakan dan Konsentrat
22. 01/12/2018 a. Manajemen Pakan dan Konsentrat
23. 02/12/2018 a. Manajemen Pakan dan Konsentrat
24. 07/12/2018 a. Pemeliharaan Kambing
b. Membantu penanganan scabiosis

19
25. 08/12/2018 a. Pemeliharaan Kambing
26. 13/12/2018 a. Perawatan Cempe
27. 14/12/2018 a. Perawatan Cempe
28. 15/08/2018 a. Perawatan Cempe
29. 16/08/2018 a. Perawatan Cempe
30. 27/08/2018 Presentasi Kasus yang diambil dari UPT
PT dan HMT Malang

20
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Profil Instansi


Unit Pelaksanaan Teknis Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak
(UPT PT dan HMT) Malang merupakan salah satu Unit Pelaksanaan Teknis di
lingkup Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur yang memiliki tugas pokok dan
fungsi sebagai unit pembibitan dan budidaya ternak, khususnya kambing dan
hijauan makan ternak. Unit Pelaksanaan Teknis Pembibitan Ternak dan Hijauan
Makanan Ternak Malang berdiri berdiri sejak tahun 1982 dengan nama Unit
Pelaksanaan Teknik Singosari Malang. Pada tanggal 27 September 2000 diubah
menjadi UPT dan HMT Singosari Malang sesuai Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Timur Nomor 19 Tahun 2000 (Gambar 5.1). Berdasarkan Peraturan Gubernur
Jawa Timur Nomor 130 Tahun 2008 diubah menjadi UPT PT dan HMT Malang
dengan penekanan tugas teknis di bidang pembibitan dan budidaya ternak serta
hijauan makan ternak.

Gambar 5.1 Unit Pelaksanaan Teknis Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan
Ternak Malang (Sumber: Dokumen pribadi).

Unit Pelaksanaan Teknis Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak


Malang terletak di Desa Toyomerto, Kecamatan Singosari Kabupaten Malang di
lereng gunung Arjuno dengan luas area 29,9 ha. Wilayah UPT PT dan HMT
Malang berada pada ketinggian 700-800 mdpl dengan udara sejuk, temperatur
udara tertinggi mencapai 29 oC, dan terendah 14oC dengan rata-rata 20-22oC.

21
5.2 Jumlah Populasi Kambing di UPT PT dan HMT Malang
Kambing yang dipelihara di UPT PT dan HMT Malang adalah kambing
dari jenis Peranakan Ettawa (PE) dan Senduro. Jumlah populasi kambing di UPT
PT dan HMT Malang berdasarkan data terakhir tanggal 21 November 2018
berjumlah 578 ekor yang terdiri dari 495 ekor kambing PE dan 83 ekor kambing
Senduro yang terbagi ke dalam 12 kandang yaitu satu kandang laktasi, satu
kandang koleksi, empat kandang induk, dua kandang induk – anak, dan lima
kandang pembesaran. Berdasarkan data bulan November – Desember tahun 2018,
kambing di UPT PT dan HMT Malang yang diduga terjangkit scabiosis berjumlah
15 ekor yang terdiri dari 13 kambing PE dan 2 kambing Senduro. Kasus scabiosis
di UPT PT dan HMT Malang masih terus terjadi sepanjang tahun, namun tidak
ada data pasti mengenai peningkatan ataupun penurunan kasus (Table 5.1). Maka
dari itu, penanganan scabiosis di UPT PT dan HMT Malang merupakan hal yang
sangat penting untuk dilakukan.

Tabel 5.1 Data Scabiosis pada Kambing di UPT PT dan HMT Malang Tahun
2018
No Kambing Jumlah Scabiosis Persentase
1 PE 495 13 2,6%
2 Senduro 83 2 2,4%
Total 578 15 2,5%

5.3 Kasus Scabiosis di UPT PT dan HMT Malang


Selama dilaksanakannya PKL di UPT PT dan HMT Malang jumlah
kambing PE tercatat sebanyak 495 ekor, dari jumlah tersebut kambing PE yang
terlihat mengalami gejala klinis scabiosis berjumlah 13 ekor atau 2,6% dari total
populasi kambing PE. Kasus terbanyak diketahui terjadi di kandang laktasi yaitu 5
ekor dari total 13 ekor kambing PE yang diduga scabiosis. Kandang laktasi di
UPT PT dan HMT Malang menggunakan kandang koloni dengan luas 3 x 5 m
yang diisi oleh sekitar 10 ekor kambing (Gambar 5.2).

22
Gambar 5.2 Kandang Laktasi (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Menurut data bulan November – Desember, jumlah populasi kambing PE


di kandang laktasi berjumlah 63 ekor dan 5 diantaranya terlihat mengalami gejala
scabiosis. Gejala yang terlihat berupa keropeng pada bagian telingan dan tubuh,
kambing terlihat kurus dan sering menggaruk dan menggosokkan tubuhnya ke
pagar kandang. Tiga data sinyalmen kemudian diambil dari 5 kambing tersebut
(Tabel 5.2).

Tabel 5.2. Sinyalmen Kambing PE


No Gambar Sinyalmen
1 a. Nomor : 025
b. Umur : 4 tahun
c. Breed : Peranakan Ettawa
d. Jenis kelamin : Betina
e. BB : 25 kg
f. Ciri khusus : -

23
2 a. Nomor : 017
b. Umur : 3 tahun
c. Breed : Peranakan Ettawah
d. Jenis kelamin : Betina
e. BB : 25 kg
f. Ciri khusus : belang hitam di
kaki depan kanan dan
ambing.

3 a. Nomor : 057
b. Umur : 3 tahun
c. Breed : Peranakan Ettawah
d. Jenis kelamin : Betina
e. BB : 25 kg
f. Ciri khusus : belang putih di
sepanjang moncong hingga
kepala.

5.4 Cara Mendiagnosa Scabiosis pada Kambing PE di UPT PT dan HMT


Malang
5.4.1 Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesa penyakit scabiosis awalnya diketahui oleh anak kandang
yang kemudian dilaporkan ke dokter hewan yang berwenang di UPT PT dan
HMT Singosari Malang. Dokter hewan kemudian melakukan pemeriksaan
terhadap kambing yang diduga terserang scabiosis berdasarkan laporan.
Menurut literatur, anamnesa merupakan teknik pemeriksaan dengan metode
percakapan antar dokter dengan pasien atau dengan orang yang mengetahui
riwayat medis pasien (Asmadi, 2008). Dalam kasus ini anamnesa dapat
berupa pertanyaan mengenai tempat asal kambing didatangkan, kondisi dan
tipe kandang, tingkah laku kambing serta riwayat penyakit. Setelah

24
melakukan anamnesa, dokter hewan kemudian memeriksa bagian yang
terindikasi penyakit scabiosis dan memperhatikan gejala klinis yang terlihat.
5.4.2 Gejala Klinis dan Diagnosa
Gejala klinis yang tampak pada kambing PE di UPT PT dan HMT
Malang adalah kambing secara terus menerus menggaruk atau menggesekkan
bagian tubuh yang gatal. Timbul keropeng atau scabs di bagian tubuh
kambing yang terserang. Kambing nomor 025 memperlihatkan gejala
keropeng di kedua telinga dan di sekitar mata, kambing nomor 017
memperlihatkan gejala keropeng di bagian tubuh dan alopecia, sedangkan
kambing nomor 057 memperlihatkan gejala keropeng di bagian kedua telinga.
Nafsu makan kambing menurun disebabkan oleh rasa gatal yang membuat
kambing lebih fokus menggaruk dari pada makan. Hal ini menyebabkan
bobot kambing menurun dan jika dibiarkan dapat menyebabkan kambing
lesu, malnutrisi hingga kematian. Tiga belas ekor kambing PE yang
mengalami scabiosis di UPT PT dan HMT Malang menunjukkan gejala klinis
yang sama.
Diagnosa scabiosis yang dilakukan oleh dokter hewan berwenang di
UPT PT dan HMT Malang adalah dengan melihat anamnesa dan gejala klinis
seperti yang diuraikan diatas, sedangkan untuk peneguhan diagnosa dengan
pemeriksaan laboratorium jarang dilakukan. Maka dari itu pengobatan yang
diberikan hanya berdasarkan diagnosa dari pemeriksaan klinis.

5.5 Penanganan Scabiosis di UPT PT dan HMT Malang


Penanganan yang dilakukan pada kasus scabiosis pada kambing PE di
UPT PT dan HMT Malang yakni dengan memberikan obat injeksi dan topikal.
Pengobatan injeksi menggunakan sediaan Ivermectin dengan dosis 0,02 mL/kg
BB. Sedangkan pengobatan topikal dilakukan dengan pemberian Amitraz yang
diencerkan 0,025% dengan air.

25
5.5.1 Pengobatan Injeksi
Pengobatan dengan sediaan Ivermectin diberikan secara subkutan.
Injeksi subkutan dilakukan dengan mencubit kulit dibagian leher kemudian
disuntikkan spuit ke bawah kulit dan tidak sampai menembus ke muskulus
(Gambar 5.3). Sediaan yang digunakan berupa ivermectin 1% dengan dosis
200 𝜇g/kg BB atau sama dengan 0,02 mL/kg BB (Plumb, 2008). Injeksi
diulang 10-14 hari dari injeksi pertama, karena masa tersebut merupakan
waktu yang diperlukan untuk sebuah telur tungau S. scabiei yang mungkin
masih tersisa untuk menetas. Selama kegiatan PKL dilaksanakan, pemberian
injeksi Ivermectin dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan yaitu pada tanggal
9 November, 23 November dan 7 Desember 2018 dengan dosis volume 0,5
ml pada ketiga kambing dengan bobot 25 kg.

Gambar 5.3 Pemberian injeksi Ivermectin melalui subkutan (Sumber: Dokumentasi


Pribadi).

Kandungan Ivermectin yaitu (22,23-dihydroavermectin B1a dan 22,23-


dihydroavermectin B1b). Ivermectin bekerja dengan cara meningkatkan
pelepasan Gamma Amino Batyric Acid (GABA) di sistem syaraf S. scabei.
Gamma Amino Batyric Acid (GABA) bertindak sebagai neurotransmitter
inhibisi dan memblokir impuls syaraf sehingga mengakibatkan kegagalan
sistem syaraf pada tungau dan dapat menyebabkan kematian tungau pada
keadaan paralisis (Robert and Fawcett, 2003). Cara pemberian Ivermectin

26
yakni dengan injeksi subkutan, medikasi dimasukkan ke dalam jaringan ikat
jarang di bawah dermis. Jaringan subkutan tidak mempunyai banyak
pembuluh darah maka absorpsi obat agak sedikit lambat dibandingkan
suntikan intramuskuler. Jaringan subkutan mengandung reseptor nyeri, jadi
hanya obat dalam dosis kecil yang larut dalam air, yang tidak mengiritasi
yang dapat diberikan melalui cara ini. Keuntungan pemberian injeksi
subkutan yakni efeknya lebih cepat dan teratur dimana absorpsinya terjadi
secara lambat dan konstan sehingga efeknya dapat bertahan lama (Darma et
al., 2013).
Indikasi Ivermectin yaitu sebagai anthelmintik endoparasit (nematode)
pencernaan, jantung, dan ektoparasit pada sapi, kambing, babi, anjing dan
kucing. Kontraindikasi dari Ivermectin yaitu daging dan susu sebaikya tidak
dikonsumsi dalam 21-28 hari setelah pengobatan, dan tidak dianjurkan pada
kambing yang sedang laktasi, hal tersebut dikarenakan dalam daging dan susu
masih terdapat residu Ivermectin. Menurut Plumb (2008) pemberian
Ivermectin pada kambing yang bunting dikategorikan aman. Pengobatan
scabiosis di UPT PT dan HMT Malang menggunakan obat Ivermectin dari
berbagai merk dagang yang bertujuan untuk menghindari resistensi obat pada
kambing. Resistensi terhadap obat adalah hilangnya sensitivitas yang
diturunkan secara genetik pada populasi tungau yang mula-mula sensitif
terhadap obat yang sama. Pada proses ini akan terjadi kemoterapi secara
selektif dalam membunuh individu tungau yang peka dari populasi yang
heterogen secara genetik sehingga akan terjadi peningkatan individu
pembawa gen resisten yang akan diwariskan pada keturunannya. Setelah
beberapa generasi, gen resisten akan terakumulasi sehingga tungau pembawa
gen resisten tersebut dalam populasi akan lolos dari pengobatan (Dyah,
2008). Walaupun ivermectin memiliki batas dosis aman yang luas hingga 20
kali dosis yang direkomendasikan, pada dosis yang sangat tinggi
neurointoksikasi dapat terjadi dengan gejala seperti ataksia, tremor, depresi
dan kematian (Abdou, 2004).

27
5.5.2 Pengobatan Topikal
Amitraz adalah salah satu jenis obat yang berasal dari golongan Amidin
berbentuk larutan dengan konsentrasi 5%. Pengobatan topikal dilakukan
dengan mengencerkan Amitraz dengan konsentrasi 0,025% yaitu 1 mL
Amitraz dilarutkan dalam 200 mL air diberikan pada daerah yang alopecia
dan berkeropeng dengan cara digosok-gosok sampai keropeng mengelupas
dan terkena kulit (Gambar 5.4). Fungsi Amitraz menghambat enzima mono
amine-oxidase dan sintesa prostaglandin, serta bertindak sebagai antagonis
dari reseptor oktopamin. Enzima mono amine-oxidase menjadi katalisator
pemecah amin-nemotransmitter didalam caplak dan tungau sedang oktopamin
mampu meningkatkan kontaksi otot parasit (British Veterinary Association
2005). Pengobatan dengan Amitraz dilakukan seminggu sekali dalam waktu
2-6 minggu. Selama kegiatan PKL dilaksanakan, pemberian Amitraz
dilakukan seminggu sekali selama 3 minggu.

Gambar 5.4 Pemberian obat topikal Amitraz (Sumber: Dokumentasi Pribadi).

5.5.3 Hasil Pengobatan


Setelah pengobatan selama 6 minggu dengan injeksi Ivermectin yang
diulang 3 kali dan pemberian Amitraz yang rutin seminggu sekali selama 3
minggu dilakukan pada kambing terinfeksi, diketahui kerak sudah mulai

28
menghilang dan mulai tumbuh sedikit rambut. Pemeriksaan laboratorium
kemudian dilakukan untuk memastikan kesembuhan kambing. Pemeriksaan
laboratorium dilakukan dengan mengambil kerokan kulit pada daerah yang
berkeropeng hingga kulit sedikit berdarah dengan tujuan agar bagian
terowongan terangkat sehingga telur ataupun larva didalam terowongan dapat
diamati. Kemudian sampel kerokan diletakkan di atas kaca objek dan ditetesi
KOH 10%. Fungsi KOH 10% adalah untuk melarutkan debris dan lemak dari
kerokan kulit, rambut dan mukosa (Kasmar, 2015). Objek glass kemudian
ditutup dengan kaca penutup lalu ditunggu 5 menit kemudian diperiksa
menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40x. Saat dilakukan uji
laboratorium, ternyata masih ditemukan adanya S. scabiei pada ketiga
kambing tersebut (Tabel 5.3).

Tabel 5.3 Hasil Pengobatan Kambing PE Setelah 6 Minggu


No Gambar Hasil Kerokan Kulit Keterangan
1 a. Nomor : 025
b. Terlihat keropeng
disekitar mata sudah
menghilang, namun
saat dilakukan
pengerokan kulit
masih ditemukan
Perbesaran 400x S. scabiei.

29
2 a. Nomor : 017
b. Terlihat bulu sudah
mulai tumbuh di
daerah yang
awalnya alopecia,
namun saat
dilakukan
Perbesaran 100x
pengerokan kulit
masih ditemukan
S. scabiei.

3 a. Nomor : 057
b. Terlihat keropeng di
daerah telinga sudah
berkurang, namun
saat dilakukan
pengerokan kulit
masih ditemukan
Perbesaran 100x
S.scabiei.

Berdasarkan tabel diatas dapat dikatakan bahwa pengobatan scabiosis


dengan injeksi Ivermectin dan Amitraz secara topikal sebenarnya cukup
ampuh dilihat dari berkurangnya keropeng dan alopecia. Kemungkinan
penyebab masih didapati S. scabiei pada ketiga kambing tersebut adalah
adanya infeksi berulang akibat beberapa faktor seperti jenis dan tipe kandang
serta kebersihan kandang.
Jenis kandang yang digunakan pada kandang laktasi di UPT PT dan
HMT Malang adalah kandang koloni dimana dalam satu kandang diisi hingga
10 ekor kambing. Hal ini menyebabkan scabiosis mudah tertular dari

30
kambing yang terinfeksi ke kambing yang sehat secara langsung. Tipe
kandang laktasi menggunakan kandang kombinasi panggung dan lemprak
yaitu sebagian kandang bertipe panggung dengan lantai kayu dan sebagian
berlantai tanah. Pembersihan kandang sehari-hari yang dilakukan oleh
petugas kandang di kandang laktasi hanya sebatas menyapu lantai kayu,
membersihkan palung pakan dan tempat minum, bagian lantai tanah jarang
disapu sehingga banyak kotoran kambing yang menumpuk. Maka dari itu,
lantai tanah pada kandang dapat menjadi media penularan scabiosis yang
baik. Menurut Patrick (2000) tungau S. scabiei dapat bertahan 2-3 minggu
diluar induk semangnya. Tungau S. scabiei yang tergaruk dan jatuh ke tanah
kemungkinan besar akan bertahan hidup dan kembali menyerang kambing
yang ada di kandang tersebut sehingga menyebabkan infeksi berulang.

5.6 Pencegahan Scabiosis di UPT PT dan HMT Malang


Pencegahan terhadap penyakit scabiosis yang dilakukan di UPT PT dan
HMT Malang adalah dengan menjalankan biosecurity. Biosecurity adalah suatu
tindakan atau program yang dirancang untuk mengurangi penyebaran penyakit
yang disebabkan oleh organisme dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Ada tiga
perlakuan utama dalam biosecurity yaitu isolasi, kontrol lalu lintas dan sanitasi.
Isolasi kambing yang sakit di UPT PT dan HMT Malang belum dilakukan
dengan efektif sehingga masih sering didapati kambing sakit yang bergabung
dengan kambing sehat di satu kandang koloni. Hal tersebut dapat menyebabkan
penyakit scabiosis yang terus menyebar. Menurut Wardhana (2006) kambing
yang terinfeksi scabiosis harus segera di isolasi di kandang karantina agar tidak
menular ke kambing yang sehat.
Kontrol lalu lintas di UPT PT dan HMT Malang juga belum berjalan
secara efektif baik lalu lintas pekerjanya maupun ternaknya. Para pekerja bebas
keluar masuk seluruh kandang sehingga resiko penularan scabiosis antar kandang
lewat baju, sepatu dan perkakas perkeja yang terkontaminasi cukup besar.
Pemindahan ternak dari kandang satu ke kandang lainnya juga tidak melalui

31
kandang karantina terlebih dahulu seperti contohnya pemindahan kambing
bunting dari kandang laktasi ke kandang induk – anak untuk melahirkan dapat
beresiko membawa tungau S. scabiei ke kandang yang belum terinfeksi.
Sanitasi adalah pembersihan dan desinfeksi semua peralatan dan bahan
yang masuk maupun yang ada di peternakan, termasuk kebersihan petugas
kandangnya. Petugas kandang di UPT PT dan HMT Malang sudah secara rutin
mengontrol keadaan kambing dan membersihkan kandang dengan menyapu lantai
kandang, membersihkan palung pakan dan tempat air minum. Penyemprotan
kandang dengan desinfektan juga dilakukan rutin sebulan sekali untuk
meminimalkan penyebaran penyakit. Larutan desinfektan yang biasa digunakan di
UPT PT dan HMT Malang adalah Destan yang mengandung Benzalkonium
Chloride 10% dengan pemakaian 60mL/10 liter air untuk desinfeksi kandang,
tempat pakan dan minum. Sementara itu penyemprotan dan perendaman ban
dengan desinfektan pada kendaraan yang masuk belum dilaksanakan sehingga
kemungkinan berpindahnya tungau S. scabiei dari luar peternakan sangat besar.

32
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
1. Cara penanganan scabiosis pada kambing PE di UPT PT dan HMT Malang
adalah dengan pemberian injeksi Ivermectin secara subkutan dan Amitraz secara
topikal.

6.2 Saran
Pemeriksaan laboratorium sebaiknya dilakukan untuk
mendapatkan data yang dapat menunjang diagnosa, mengetahui keparahan
penyakit serta penanggulangannya yang tepat. Penanggulangan penyakit melalui
biosecurity seperti isolasi ternak yang sakit, kontrol lalu lintas pekerja dan ternak
yang di perketat serta sanitasi terhadap pekerja, perkakas, kendaraan dan hewan
sebaiknya dilakukan lebih teratur agar angka kejadian penyakit dapat
diminimalkan.

33
DAFTAR PUSTAKA

Abdou, Kh.A. 2004. Some Toxicological Studies on Ivermectin in Goats. Dept. of


Forensic Med. and Toxicology, Fac. Vet. Med. (Beni-Suef), Cairo Univ.
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan
Dasar Klien. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. 55-56
Astiti, L.G.S., Hijriah. 2017. Efektivitas Vitamin B-Kompleks terhadap Gambaran
Hematologi Sapi Bali Bunting dan Post-Partus. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Nusa Tenggara Barat.
Belding, D.L. 2001. Textbook of Clinical Parasitology. Appleton Century Croft.
New York
[BVA] British Veterinary Association. 2005. The Veterinary Formulary Sixth
Edition. Yolande Bishop : Editor. London : Pharmaceutical Press.
Chhaiya, S.B., Mehata, D.S., Kataria, B.C. 2012. Ivermectin : Pharmacology and
Therapeutic Applications. International Journal of Basic and Clinical
Pharmacology. Vol 1 (3), Page 132-139.
Colville, J. 2000. Diagnostic Parasitology for Veterinary Technicians American
Veterinary Publications. Inc 5782 Thornwood Drive Goleta. California.
Darma, S., Manjas, M., Saputra, D., Agus, S., dan Erkadius. 2013. Efek
Pemberian Suntikan Subkutan Vitamin C terhadap Luka Insisi Dermal.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2(3).
David. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Bina Rupa Aksara. Jakarta
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur. 2013. UPTPT-HMT Singosari Malang.
<http://disnakjatim.org/web/uptlab/uptpthmtsingosarimalang> [Diakses
pada 24 September 2018]
Ditjen Peternakan dan Keswan. 2015. Kambing PE. Direktorat Pembibitan dan
Produksi Ternak. Jakarta.
Dyah, H., 2008. Perkembangan Metode Deteksi Resistensi Cacing Nematoda
Gastrointestinal pada Ternak Terhadap Antelmentika. Balai Besar
Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 1611
Eleser, S., Junjungan, J. M., dan Toni Suibu. 2005. Efektivitas Pemberian
Monolaurin dan Obat Alternatif Lainnya dalam Memberantas Penyakit
Scabies pada Kambing. Seminar Nasional Tekonologi Peternakan dan
Veteriner 2005. Galang>
Flynn, R. J. 2002. Parasites of Laboratory Animal. The Lowa State University
Press. Ames. Lowa.

34
Giangaspero, A.; Alvinerie, M.; Traversa, D.; Paoletti, B.; Lespine, A.; Otranto,
D. and Boulard, C. (2003): Efficacy and pour-on microdose ivermectin in
the treatment of goat warble fly infestation by Przhevalskiana silenus
(Diptera, oestridae). Vet. Parasit., 16(4): 333-343.
Griana, T .P. 2013. Scabies : Penyebab, Penanganan, dan Pencegahannya. El-
Hayah Vol.4, No.1. Universitas Islam Negeri Malang.
Hanum dan Zuraida. 2010. Jurnal Agripet Vol 10, No 2 (2010): Volume 10, page
34-39. Publisher: Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas
Syiah Kuala.
Harianto, B. 2012. Bisnis Penggemukkan Domba. Cetakan Pertama. PT Agro
Media Pustaka. Jakarta 82-83.
Hartati, N. 2001. Studi Kasus Skabies pada Kambing di Kelompok Peternak
Kambing Simpay Tampomas Sumedang-Jawa Barat. Fakultas Kedokteran
Hewan IPB. Bogor
Iskandar, T. 2000. Masalah Scabies pada Hewan dan Manusia serta
Penanggulangannya. Wartazoa Vol.10 No1
Kasmar, Ihwal, N. 2015. Prevalensi Skabies pada Kambing di Kecamatan
Bontotiro, Kabupaten Bulukumba (Skripsi). Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanudin.
Kettle, D.S. 2004. Medical and Veterinary Entomology. Croom Helm.
LondonSidney.
Khan, M.K., Sajid, M.S., Khan, M.N., Iqbal, Z., and Iqbal, M.U. 2008.
Prevalence, Effects of Treatment on Productivity and Cost Benefit Analysis
Infive Districts of Punjab, Pakistan. Res Vet Sci. 87: 70–75
Kusuma, B.D., dan Irmansah. 2009. Menghasilkan Kambing Peranakan Etawa
Jawara Kontes. Agromedia Pustaka
Mileski, A., and P. Myers. 2004. Capra hircus, Animal Diversity.
<http://animaldiversity.ummz.umich.edu/stie/accounts/information.Ca
pra_hircus.html> [Diakses 24 September 2018]
Moeljanto, R.D., dan Wiryanta, B.T.W. 2002. Khasiat dan Manfaat Susu
Kambing. Agro Media Pustaka. Jakarta
Oktora, S., 2009. Scabies pada Hewan Peliharaan. Piet Klinik Hewan. Bogor
Pamungkas, F. A., Batubara. A., M. Doloksaribu., dan E. Sihite. 2009.
Potensi Beberapa Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia. Petunjuk
Teknis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Patrick, C.D. 2000. Cattle Scabies. Extension Entomologist, Texas A & M
University, Amarillo, Texas

35
Plumb, C.Donald. 2008. Veterinary Drug Handbook Sixth Edition. Blackwell
Publishing
Qonita, H. 2015. Perbandingan Efektivitas Terapi Kombinasi Salep 3-6 dan
Sabun Sulfur 10% dengan Salep 3-6 Tunggal pada Pengobatan Skabies di
Pondok Pesantren Ymmul Qura. Program Studi Pendidikan Dokter.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Randu. 2002. Aplikasi Pengobatan Scabies Pada Ternak Kambing Di Desa
Camplong Kabupaten Kupang.
Richard, W., and David, S. 2001. Veterinary Ectoparasites: Biology, Pathology
and Control. Blackwell Science Ltd
Robert, S., and M.D. M.S, Fawcett. 2003. Ivermectin Use in Scabies. Am. Fam
Physic. 68(6): 1089 - 1092
Sasongko, W.R., Astiti, L.G.S., Panjaitan, T., Muzani, A., dan Agustini, N. 2009.
Beternak Kambing Intensif. Juknis. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Nusa Tenggara Barat.
<http://ntb.litbang.deptan.go.id/ind/infotek/it-3.pdf> [Diakses pada 18
September 2018]
Siregar. 2007. Creeping Eruption dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Kelima. Penerbit Fakultas Kedokteran FKUI
Sungkar. 2001. Cara Pemeriksaan Kerokan Kulit untuk Menegakkan Diagnosis
Skabies. Maj. Parasitol. Ind. 61-64
Sutama, I. K. 2011. Kambing Peranakan Etawah Sumber Daya Ternak Penuh
Berkah. Badan Litbang Pertanian. Edisi 19-25 No.3427.
Tan, S.T., Angelina, J., Krisnataligan. 2017. Scabies: Terapi Berdasarkan Siklus
Hidup. CDK-254/ vol. 44 no. 7. Universitas Tarumanegara. Jakarta.
Wardana. 2006. Skabies: Tantangan Penyakit Zoonosis Masa Kini dan Masa
Datang. Wartazoa. 16 (1). 40-52.

36
Lampiran 1. Formulir Wawancara
Kolom Korespondensi
Nama : drh. Jaya Wulandari
Jabatan : Dokter Hewan di UPT PT dan HMT Malang

1. Hewan apa saja yang diternakkan di UPT PT dan HMT Malang ?


Jawaban :
Kambing PE, kambing Senduro, sapi perah, sapi bali
2. Berapa total populasi ternak di UPT PT dan HMT Malang ?
Jawaban :
Sekitar ± 630 ekor
3. Berapa total populasi ternak kambing di UPT PT dan HMT Malang ?
Jawaban :
Sekitar ± 600 ekor
4. Berapa total populasi ternak kambing Peranakan Ettawa di UPT PT dan
HMT Malang ?
Jawaban :
Sekitar ± 570 ekor
5. Berapa jumlah kandang kambing di UPT PT dan HMT Malang ?
Jawaban :
Ada 14 buah kandang
6. Kandang kambing tipe apa yang digunakan di UPT PT dan HMT Malang ?
Jawaban :
Kandang tipe panggung
7. Bagaimana sistem manajemen kesehatan pada ternak kambing Pernakan
Ettawa yang dilakukan di UPT PT dan HMT Malang ?
Jawaban :
Dilakukan pencegahan penyakit dengan biosecurity, pemberian obat cacing,
pemberian vitamin, pemotongan bulu rewos, pemotongan tanduk (opsional),

37
pemotongan kuku, memperbaiki kualitas pakan, dan optimalisasi kandang
karantina.
8. Apa saja penyakit yang menyerang ternak kambing Peranakan Ettawa di
UPT PT dan HMT Malang ?
Jawaban :
Scabies, bloat, enteritis, mastitis, pink eye, orf
9. Bagaimana cara penanganan ternak kambing Peranakan Ettawa yang
terkena penyakit scabiosis di UPT PT dan HMT Malang ?
Jawaban :
- Diberikan pengobatan berdasarkan gejala klinis, dengan injeksi ivermectin
dan amitraz topikal.
- Dilakukan peninjauan dan perbaikan manajemen pakan
- Dilakukan pemeriksaan laboraturium.
10. Bagimana cara pencengahan penyakit pada ternak kambing Peranakan
Ettawa di UPT PT dan HMT Malang ?
Jawaban :
Biosecurity dan sanitasi kandang

38
Lampiran 2. Dokumentasi PKL di UPT PT HMT Malang
Pemeriksaan laboratorium
hasil kerokan kulit

Pemerahan kambing

Pemberian susu pada


cempe

39
Penanganan myasis pada
kambing

Penanganan abortus pada


kambing

Penanganan pinkeye pada


cempe

Penanganan orf pada


cempe

40

Anda mungkin juga menyukai