PENDAHULUAN
1
Penyakit yang sering ditemui di UPT PT dan HMT Malang salah satunya
yaitu penyakit kulit yang disebabkan oleh penyakit parasitik. Penyakit parasitik
yang sering menyerang ternak kambing PE adalah scabiosis. Menurut Iskandar
(2000), scabiosis merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai pada ternak di
Indonesia dan cenderung sulit disembuhkan. Penyakit ini disebabkan oleh tungau
Sarcoptes scabiei. Tungau S. scabiei adalah ektoparasit yang menyerang hewan
terutama pada bagian kulit yang ditandai dengan gejala khas yaitu gatal pada kulit
dan akhirnya mengalami kerusakan pada kulit yang terserang. Menurut Khan
(2008), penyakit parasitik seperti scabiosis merupakan salah satu faktor yang
dapat menurunkan produktivitas ternak. Tungau S. scabiei bertahan hidup dalam
tubuh hospes dengan memakan jaringan tubuh dan mengambil nutrisi yang
dibutuhkan. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan bobot badan,
pertumbuhan yang lambat, penurunan daya tahan tubuh dan kematian hospes.
Ternak yang terinfeksi biasanya mengalami kekurusan sehingga mempunyai nilai
jual yang rendah.
Unit Pelaksanaan Teknis Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan
Ternak (UPT PT dan HMT) Malang memiliki tingkat penyebaran penyakit
scabiosis yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan pendistribusian bibit ternak
kambing PE dari dalam UPT ke daerah sekitar dan sebaliknya. Hal ini
memungkinkan masuknya kambing PE yang terjangkit scabiosis ke dalam UPT
dan kemudian menjadi penyebab menyebarnya scabiosis di UPT PT dan HMT
Malang. Upaya pengobatan dan pencegahan telah dilakukan oleh tenaga kerja dan
dokter hewan yang bertugas disana, namun sampai saat ini penyebaran scabiosis
di UPT PT dan HMT Malang masih terus berlangsung dan belum dapat teratasi.
Berdasarkan latar belakang diatas, Praktek Kerja Lapang (PKL) di Unit
Pelaksanaan Teknis Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (UPT PT
dan HMT) Malang ini dilakukan untuk menambah pengetahuan serta soft skill
untuk melakukan penanganan dan pengobatan penyakit scabiosis pada kambing
Peranakan Ettawa.
2
1.2 Rumusan Masalah
1) Bagaimana cara penanganan penyakit scabiosis pada kambing Peranakan
Ettawa di UPT PT dan HMT Malang?
1.3 Tujuan
1) Mengetahui cara penanganan penyakit scabiosis pada kambing Peranakan
Ettawa di UPT PT dan HMT Malang?
1.4 Manfaat
1) Menambah wawasan serta pengetahuan mengenai cara penanganan
penyakit scabiosis pada kambing Peranakan Ettawa.
2) Bagi Fakultas Kedokteran Hewan, diharapkan dapat digunakan sebagai
pengembangan ilmu dan penelitian lebih lanjut tentang penanganan dan
pencegahan penyakit scabiosis di Indonesia.
3) Bagi instansi serta lembaga terkait lainnya diharapkan dapat menjadi
pertimbangan dalam mengambil keputusan terkait pencegahan scabiosis
pada kambing PE di Indonesia.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
sampai hitam. Bulu pada bagian paha belakang, leher dan pundak lebih tebal dan
lebih panjang daripada bagian lainnya seperti yang terlihat pada gambar 2.1. Rata-
rata tubuh berwarna putih dengan belang hitam atau belang coklat dibagian
kepala. Tinggi badan untuk jantan 70-100 cm, dengan berat badan dewasa
mencapai 40-80 kg untuk jantan dan 30-50 kg untuk betina.
5
susu kambing untuk pengobatan dan juga difungsikan sebagai penjantan untuk
memperbaiki kualitas kambing lokal pedaging (Kusuma dan Irmansah, 2009).
2.2 Scabiosis
Penyakit scabiosis dikenal juga sebagai mange, itch, scab, acariasis.
Semua hewan piaraan rentan terhadap penyakit ini tetapi berbeda dalam
prevalensi dan patogenesisnya. Penyakit scabiosis tersebar di seluruh Indonesia
dan banyak menyerang hewan seperti: kambing, sapi, kerbau, domba, babi, anjing
dan kelinci (Colville, 2000).
Scabiosis juga termasuk penyakit zoonosis sehingga dapat ditularkan ke
manusia. Menurut Elser dkk (2005), penularan scabiosis dapat terjadi melalui
kontak langsung antar hewan penderita dengan hewan lain atau manusia, dapat
juga melalui kontak tidak langsung yaitu melalui peralatan yang terkontaminasi.
Serangan penyakit scabiosis dapat mengakibatkan pertumbuhan kambing yang
dipelihara terhambat sampai 38% dengan mortalitas meningkat sampai 28%.
6
2.2.2 Morfologi Sarcoptes scabiei
Tungau S. scabiei berwarna putih krem dan berbentuk oval yang
cembung pada bagian dorsal dan pipih pada bagian ventral. Tungau betina
dewasa berukuran 300 - 500 x 230 - 340 µm sedangkan yang jantan
berukuran 213 - 285 x 160 - 210 µm. Permukaan tubuhnya bersisik dan
dilengkapi dengan kutikula. Stadium larva mempunyai tiga pasang kaki
sedangkan nimpa dan dewasa mempunyai empat pasang kaki (Wardhana,
2006).
Mulut S. scabiei terdiri atas chelicorn yang bergigi, pedipalp
berbentuk kerucut yang bersegmen tiga dan palb bibir yang menjadi satu
dengan hipostoma. Sarcoptes dibedakan dengan genus lain berdasar
adanya leg sucker (pulvilus), seperti yang terlihat pada gambar 2.2 dimana
pada Sarcoptes jantan dapat dijumpai adanya leg sucker pada kaki ke-1, 2
dan 4, sedang pada yang betina dapat dijumpai pada kaki ke-1 dan 2
(Belding, 2001).
(A) (B)
Gambar 2.2 Bentuk tubuh S. scabiei. (a) Tungau S. scabiei jantan dengan
sucker panjang pada pasang kaki 1,2 dan 4 (ditunjukan
dengan panah merah) (b) Tungau S. scabiei betina dengan
sucker panjang pada pasang kaki 1 dan 2 (ditunjukan dengan
panah merah) (Richard and David, 2001).
7
2.2.3 Siklus Hidup Sarcoptes scabiei
Perkembangan S. scabiei meliputi telur, larva, protonimfa,
tritonimfa kemudian menjadi dewasa (Gambar 2.3). Sarcoptes Scabiei
biasanya berkumpul di daerah yang memiliki rambut tipis dan kulit lembut
seperti telinga dan wajah kambing. Menurut Tan (2017), tungau S. scabiei
melakukan kopulasi (perkawinan) di atas kulit, kemudian betina yang telah
dibuahi akan menggali terowongan dalam stratum korneum epidermis
kulit, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil meletakkan
telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Setelah
3-4 hari, larva berkaki enam akan muncul dari telur dan keluar dari
terowongan dengan memotong atapnya. Jika penyakit tidak diperiksa dan
diobati, infestasi dapat menutupi seluruh tubuh. Daerah yang terkena
dampak mengalami alopecia dan menjadi tertutup dengan keropeng atau
scabs.
Gambar 2.3 Siklus hidup S. scabiei dalam tubuh makhluk hidup (Griana,
2013).
8
pasang. Kemudian protonimfa akan berganti kulit lagi menjadi tritonimfa
sebelum benar-benar menjadi tungau dewasa. Larva dan nimfa biasanya
dapat ditemukan di dalam moulting pounch atau pada folikel rambut.
Tritonimfa akan menjadi dewasa dan berubah spesifik menjadi jantan atau
betina dalam waktu 3-6 hari. Setelah dewasa, tungau akan segera keluar
dari moulting pounch ke permukaan kulit untuk mencari area stratum
korneum yang masih utuh dan membuat terowongan kembali (Griana,
2013). Seluruh siklus hidup S. scabiei mulai dari telur sampai bentuk
dewasa berlangsung antara 10 – 14 hari.
(A) (B)
Gambar 2.4 Gejala yang ditimbulkan pada kambing akibat infestasi S.
scabiei, (A) Terlihat pada telinga adanya pruritis, (B) Terjadi
penebalan kulit pada bagian muka dan scabs (Sungkar, 2001).
9
biasanya berkumpul di daerah yang memiliki rambut tipis dan kulit
lembut. Pada kasus scabiosis yang parah seluruh bagian tubuh kambing
dapat terserang (Kettle, 2004). Menurut Sungkar (2001), kambing yang
terinfeksi akan terlihat lesu, tidak ada nafsu makan, kulit tampak menebal,
berkerak atau scabs, turgor kulit jelek, alopecia, gatal-gatal atau pruritus,
hyperemia pada selaput lendir mulut, terdapat lepuh pada mukosa mulut
dan terjadi konjungtivitis.
2.2.5 Diagnosa
Dasar diagnosa scabiosis adalah dengan melihat gejala klinis yang
terjadi meliputi lesu, tidak ada nafsu makan, kulit tampak menebal,
berkerak, turgor kulit jelek, alopecia, gatal-gatal atau pruritus, hyperemia
pada selaput lendir mulut, terdapat lepuh pada mukosa mulut dan terjadi
konjungtivitis (Sungkar, 2001). David (2002) menyatakan, bahwa
diagnosa scabiosis dipertimbangkan bila terdapat riwayat gatal yang
persisten dengan gejala klinis seperti yang diuraikan di atas dan konfirmasi
agen penyebab S. scabiei, larva atau telur dengan pemeriksaan
mikroskopis yakni membuat kerokan kulit dari hewan yang terinfeksi
seperti pada gambar 2.5.
10
Kerokan kulit diambil dari bagian kulit yang luka, kemudian
dikerok dengan scalpel atau silet hingga berdarah. Kerokan kulit diambil
dari beberapa tempat yang berbeda pada kulit yang berlesi (Colville,
2000). Hasil kerokan diletakkan diatas kaca objek dan ditetesi dengan
KOH 10 % kemudian ditutup dengan kaca penutup dan diperiksa dibawah
mikroskop. Diagnosis scabiosis positif jika ditemukan tungau, nimpa,
larva, atau telur S. scabiei (Robert et al, 2003).
11
dalam bentuk salep efektif terhadap stadium larva, nimfa dan dewasa. Oleh
karena itu, pengobatan dengan sulfur ini minimal digunakan selama 3 hari
agar larva menetas dari telurnya dan dapat dimatikan. Sedangkan minyak
kelapa dipercaya sebagai bahan pencampur obat-obatan karena
kegunaannya sebagai pelarut untuk melarutkan belerang disamping
berperan dalam proses reabsorbsi obat ke dalam tubuh melalui pori-pori
kulit.
Sedangkan pengobatan scabiosis dengan obat kimia dapat
menggunakan obat yang mengandung Ivermectin. Ivermectin bekerja
dengan berikatan secara selektif pada reseptor di sinaps motor perifer,
menghambat transmisi kimia dari asam γ aminobutirat (GABA)-gated
chloride channels yang berada di sistem saraf pusat. Hal tersebut
merangsang pelepasan GABA pada ujung saraf endoparasit, meningkatkan
afinitas GABA pada reseptor di sinaps dan menyebabkan gangguan impuls
saraf, menimbulkan paralisis dan kematian parasit (Chhaiya, 2012).
Ivermectin dengan dosis yang tepat dapat mengendalikan dan
mengobati endoparasit dan ektoparasit. Pengobatan scabiosis injeksi dapat
diulang 10-14 hari kemudian dari injeksi yang pertama, karena Ivermectin
dapat membunuh S.scabiei pada fase larva hingga dewasa tapi tidak dapat
membunuh pada fase telur, dalam kurun waktu 10-14 hari tersebut
merupakan waktu yang diperlukan untuk sebuah telur tungau S. scabiei
yang mungkin masih tersisa untuk menetas. Ivermectin dapat diberikan
kepada ternak kambing dengan dosis 200 μg/kg atau 0,02 mL/kg berat
badan dan secara oral 100-200 μgr per kg berat badan per hari selama 7
hari. Salah satu merek dagang Ivermectin adalah Ivomec (Oktora, 2009).
Menurut Giangaspero (2013), kambing yang sedang dalam masa
pengobatan dengan Ivermectin tidak dianjurkan dikonsumsi produksi
susunya dalam kurun waktu 28 hari, dan tidak dapat dipotong kurang dari
21 hari setelah pemberian Ivermectin karena dalam kurun waktu tersebut
masih terdapat residu Ivermectin di dalam susu dan daging kambing.
12
Oktora (2009) juga menyatakan, pengobatan dan perawatan harus
ditambahkan juga sesuai dengan kondisi hewan bersangkutan seperti :
a. Antibiotik untuk mencegah infeksi pada luka akibat
garukan. Antibiotik yang dapat digunakan adalah antibiotik
spektrum luas seperti Oxytetracycline dengan cara injeksi
melalui Intramuskular. Pemberian antibiotik ini bertujuan untuk
mengcegah adanya infeksi sekunder dari organisme lain.
Menurut Plumb (2008) Oxytetracycline umumnya bertindak
sebagai antibiotik bakteriostatik dan menghambat sintesis
protein dari organisme yang rentan. Oxytetracycline dapat
didistribusikan secara luas di tubuh, termasuk ke jantung, ginjal,
paru- paru, otot, cairan pleura, sekresi bronkial, sputum,
empedu, air liur, urin, cairan sinovial, cairan asites.
b. Antihistamin untuk mengurangi rasa gatal. Antihistamin
yang bisa digunakan pada kambing yaitu vetadryl dengan cara
injeksi melalui intramuskular. Menurut Plumb (2008) Vetadryl
diberikan pada kambing untuk meredakan rasa gatal agar
kambing tidak menggaruk-garuk bagian yang terdapat keropeng.
Hal ini supaya tidak menimbulkan luka pada bagian tersebut.
Vetadryl Ini adalah produk yang mengandung Diphenhydramine
HCL, digunakan untuk menghambat pengeluaran histamin yang
berlebihan (alergi). Reaksi alergi dapat disebabkan oleh
makanan, lingkungan, penyakit, reaksi setelah pengobatan atau
vaksinasi yang ditunjukkan dengan adanya gejala-gejala seperti
gatal-gatal pada kulit.
c. Vitamin untuk meningkatkan kondisi secara umum dan
daya tahan. Salah satu jenis vitamin yang dibutuhkan oleh
ternak kambing adalah vitamin B-kompleks. Menurut Astiti
(2017) vitamin B-kompleks merupakan grup vitamin yang larut
dalam air terdiri dari vitamin B1 (thiamine), B2 (riboflavin), B3
13
(niacin atau niacinamide), B5 (pantothenic acid), B6
(piridoksin), B7 (biotin), B9 (folic acid), dan B12 (cobalamins).
Vitamin ini berperan sebagai kofaktor enzim metabolisme
sehingga mampu membantu dan meningkatkan penyerapan
nutrisis dalam tubuh kambing sehingga meningkatkan nafsu
makan, mempertahankan kesehatan tubuh dan dapat membantu
proses penyembuhan penyakit.
14
BAB III
METODE KEGIATAN
15
berfungsi sebagaimana pedoman wawancara. Interview guide dalam
penelitian ini bersifat fleksibel artinya pertanyaan yang diajukan kepada
informan akan berkembang dan tidak hanya terpancang pada daftar
pertanyaan.
Sumber data sekunder diambil dari laporan kegiatan di UPT PT dan HMT
Malang, catatan kejadian penyakit hewan di lingkungan UPT PT dan HMT
Malang, data jumlah ternak, buku, jurnal serta penelusuran dengan memanfaatkan
teknologi internet.
16
2.1 Pelaksanaan
Praktek Kerja Lapang di
UPT PT dan HMT
Malang
3.4 Penarikan
Kesimpulan dan
Penyusunan Laporan
Kegiatan
17
BAB IV
PELAKSANAAN KEGIATAN
18
7. 03/11/2018 a. Pemeliharaan Kambing
b. Membantu penanganan mastitis, pink
eye dan myasis kambing
8. 04/11/2018 a. Pemeliharaan Kambing
b. Membantu penanganan pink eye
9. 06/11/2018 a. Pemeliharaan Kambing
b. Membantu penanganan pink eye
10. 09/11/2018 a. Pemeliharaan Kambing
b. Membantu penanganan scabiosis
11. 10/11/2018 a. Pemeliharaan Kambing
b. Membantu penanganan post partus
12. 11/11/2018 a. Pemeliharaan Kambing
b. Membantu penanganan mastitis
13. 13/11/2018 a. Pemeliharaan Sapi Perah
14. 16/11/2018 a. Pemeliharaan Sapi Perah
15. 17/11/2018 a. Pemeliharaan Sapi Perah
16. 18/11/2018 a. Pemeliharaan Sapi Perah
17. 23/11/2018 a. Perawatan Cempe
b. Pengolahan Produk (membuat yoghurt)
c. Membantu penanganan scabiosis
18. 24/11/2018 a. Perawatan Cempe
b. Pengolahan Produk (membuat kefir)
19. 25/11/2018 a. Perawatan Cempe
b. Pengolahan Produk (membuat es krim)
20. 27/11/2018 a. Manajemen Pakan dan Konsentrat
21. 30/11/2018 a. Manajemen Pakan dan Konsentrat
22. 01/12/2018 a. Manajemen Pakan dan Konsentrat
23. 02/12/2018 a. Manajemen Pakan dan Konsentrat
24. 07/12/2018 a. Pemeliharaan Kambing
b. Membantu penanganan scabiosis
19
25. 08/12/2018 a. Pemeliharaan Kambing
26. 13/12/2018 a. Perawatan Cempe
27. 14/12/2018 a. Perawatan Cempe
28. 15/08/2018 a. Perawatan Cempe
29. 16/08/2018 a. Perawatan Cempe
30. 27/08/2018 Presentasi Kasus yang diambil dari UPT
PT dan HMT Malang
20
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 5.1 Unit Pelaksanaan Teknis Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan
Ternak Malang (Sumber: Dokumen pribadi).
21
5.2 Jumlah Populasi Kambing di UPT PT dan HMT Malang
Kambing yang dipelihara di UPT PT dan HMT Malang adalah kambing
dari jenis Peranakan Ettawa (PE) dan Senduro. Jumlah populasi kambing di UPT
PT dan HMT Malang berdasarkan data terakhir tanggal 21 November 2018
berjumlah 578 ekor yang terdiri dari 495 ekor kambing PE dan 83 ekor kambing
Senduro yang terbagi ke dalam 12 kandang yaitu satu kandang laktasi, satu
kandang koleksi, empat kandang induk, dua kandang induk – anak, dan lima
kandang pembesaran. Berdasarkan data bulan November – Desember tahun 2018,
kambing di UPT PT dan HMT Malang yang diduga terjangkit scabiosis berjumlah
15 ekor yang terdiri dari 13 kambing PE dan 2 kambing Senduro. Kasus scabiosis
di UPT PT dan HMT Malang masih terus terjadi sepanjang tahun, namun tidak
ada data pasti mengenai peningkatan ataupun penurunan kasus (Table 5.1). Maka
dari itu, penanganan scabiosis di UPT PT dan HMT Malang merupakan hal yang
sangat penting untuk dilakukan.
Tabel 5.1 Data Scabiosis pada Kambing di UPT PT dan HMT Malang Tahun
2018
No Kambing Jumlah Scabiosis Persentase
1 PE 495 13 2,6%
2 Senduro 83 2 2,4%
Total 578 15 2,5%
22
Gambar 5.2 Kandang Laktasi (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
23
2 a. Nomor : 017
b. Umur : 3 tahun
c. Breed : Peranakan Ettawah
d. Jenis kelamin : Betina
e. BB : 25 kg
f. Ciri khusus : belang hitam di
kaki depan kanan dan
ambing.
3 a. Nomor : 057
b. Umur : 3 tahun
c. Breed : Peranakan Ettawah
d. Jenis kelamin : Betina
e. BB : 25 kg
f. Ciri khusus : belang putih di
sepanjang moncong hingga
kepala.
24
melakukan anamnesa, dokter hewan kemudian memeriksa bagian yang
terindikasi penyakit scabiosis dan memperhatikan gejala klinis yang terlihat.
5.4.2 Gejala Klinis dan Diagnosa
Gejala klinis yang tampak pada kambing PE di UPT PT dan HMT
Malang adalah kambing secara terus menerus menggaruk atau menggesekkan
bagian tubuh yang gatal. Timbul keropeng atau scabs di bagian tubuh
kambing yang terserang. Kambing nomor 025 memperlihatkan gejala
keropeng di kedua telinga dan di sekitar mata, kambing nomor 017
memperlihatkan gejala keropeng di bagian tubuh dan alopecia, sedangkan
kambing nomor 057 memperlihatkan gejala keropeng di bagian kedua telinga.
Nafsu makan kambing menurun disebabkan oleh rasa gatal yang membuat
kambing lebih fokus menggaruk dari pada makan. Hal ini menyebabkan
bobot kambing menurun dan jika dibiarkan dapat menyebabkan kambing
lesu, malnutrisi hingga kematian. Tiga belas ekor kambing PE yang
mengalami scabiosis di UPT PT dan HMT Malang menunjukkan gejala klinis
yang sama.
Diagnosa scabiosis yang dilakukan oleh dokter hewan berwenang di
UPT PT dan HMT Malang adalah dengan melihat anamnesa dan gejala klinis
seperti yang diuraikan diatas, sedangkan untuk peneguhan diagnosa dengan
pemeriksaan laboratorium jarang dilakukan. Maka dari itu pengobatan yang
diberikan hanya berdasarkan diagnosa dari pemeriksaan klinis.
25
5.5.1 Pengobatan Injeksi
Pengobatan dengan sediaan Ivermectin diberikan secara subkutan.
Injeksi subkutan dilakukan dengan mencubit kulit dibagian leher kemudian
disuntikkan spuit ke bawah kulit dan tidak sampai menembus ke muskulus
(Gambar 5.3). Sediaan yang digunakan berupa ivermectin 1% dengan dosis
200 𝜇g/kg BB atau sama dengan 0,02 mL/kg BB (Plumb, 2008). Injeksi
diulang 10-14 hari dari injeksi pertama, karena masa tersebut merupakan
waktu yang diperlukan untuk sebuah telur tungau S. scabiei yang mungkin
masih tersisa untuk menetas. Selama kegiatan PKL dilaksanakan, pemberian
injeksi Ivermectin dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan yaitu pada tanggal
9 November, 23 November dan 7 Desember 2018 dengan dosis volume 0,5
ml pada ketiga kambing dengan bobot 25 kg.
26
yakni dengan injeksi subkutan, medikasi dimasukkan ke dalam jaringan ikat
jarang di bawah dermis. Jaringan subkutan tidak mempunyai banyak
pembuluh darah maka absorpsi obat agak sedikit lambat dibandingkan
suntikan intramuskuler. Jaringan subkutan mengandung reseptor nyeri, jadi
hanya obat dalam dosis kecil yang larut dalam air, yang tidak mengiritasi
yang dapat diberikan melalui cara ini. Keuntungan pemberian injeksi
subkutan yakni efeknya lebih cepat dan teratur dimana absorpsinya terjadi
secara lambat dan konstan sehingga efeknya dapat bertahan lama (Darma et
al., 2013).
Indikasi Ivermectin yaitu sebagai anthelmintik endoparasit (nematode)
pencernaan, jantung, dan ektoparasit pada sapi, kambing, babi, anjing dan
kucing. Kontraindikasi dari Ivermectin yaitu daging dan susu sebaikya tidak
dikonsumsi dalam 21-28 hari setelah pengobatan, dan tidak dianjurkan pada
kambing yang sedang laktasi, hal tersebut dikarenakan dalam daging dan susu
masih terdapat residu Ivermectin. Menurut Plumb (2008) pemberian
Ivermectin pada kambing yang bunting dikategorikan aman. Pengobatan
scabiosis di UPT PT dan HMT Malang menggunakan obat Ivermectin dari
berbagai merk dagang yang bertujuan untuk menghindari resistensi obat pada
kambing. Resistensi terhadap obat adalah hilangnya sensitivitas yang
diturunkan secara genetik pada populasi tungau yang mula-mula sensitif
terhadap obat yang sama. Pada proses ini akan terjadi kemoterapi secara
selektif dalam membunuh individu tungau yang peka dari populasi yang
heterogen secara genetik sehingga akan terjadi peningkatan individu
pembawa gen resisten yang akan diwariskan pada keturunannya. Setelah
beberapa generasi, gen resisten akan terakumulasi sehingga tungau pembawa
gen resisten tersebut dalam populasi akan lolos dari pengobatan (Dyah,
2008). Walaupun ivermectin memiliki batas dosis aman yang luas hingga 20
kali dosis yang direkomendasikan, pada dosis yang sangat tinggi
neurointoksikasi dapat terjadi dengan gejala seperti ataksia, tremor, depresi
dan kematian (Abdou, 2004).
27
5.5.2 Pengobatan Topikal
Amitraz adalah salah satu jenis obat yang berasal dari golongan Amidin
berbentuk larutan dengan konsentrasi 5%. Pengobatan topikal dilakukan
dengan mengencerkan Amitraz dengan konsentrasi 0,025% yaitu 1 mL
Amitraz dilarutkan dalam 200 mL air diberikan pada daerah yang alopecia
dan berkeropeng dengan cara digosok-gosok sampai keropeng mengelupas
dan terkena kulit (Gambar 5.4). Fungsi Amitraz menghambat enzima mono
amine-oxidase dan sintesa prostaglandin, serta bertindak sebagai antagonis
dari reseptor oktopamin. Enzima mono amine-oxidase menjadi katalisator
pemecah amin-nemotransmitter didalam caplak dan tungau sedang oktopamin
mampu meningkatkan kontaksi otot parasit (British Veterinary Association
2005). Pengobatan dengan Amitraz dilakukan seminggu sekali dalam waktu
2-6 minggu. Selama kegiatan PKL dilaksanakan, pemberian Amitraz
dilakukan seminggu sekali selama 3 minggu.
28
menghilang dan mulai tumbuh sedikit rambut. Pemeriksaan laboratorium
kemudian dilakukan untuk memastikan kesembuhan kambing. Pemeriksaan
laboratorium dilakukan dengan mengambil kerokan kulit pada daerah yang
berkeropeng hingga kulit sedikit berdarah dengan tujuan agar bagian
terowongan terangkat sehingga telur ataupun larva didalam terowongan dapat
diamati. Kemudian sampel kerokan diletakkan di atas kaca objek dan ditetesi
KOH 10%. Fungsi KOH 10% adalah untuk melarutkan debris dan lemak dari
kerokan kulit, rambut dan mukosa (Kasmar, 2015). Objek glass kemudian
ditutup dengan kaca penutup lalu ditunggu 5 menit kemudian diperiksa
menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40x. Saat dilakukan uji
laboratorium, ternyata masih ditemukan adanya S. scabiei pada ketiga
kambing tersebut (Tabel 5.3).
29
2 a. Nomor : 017
b. Terlihat bulu sudah
mulai tumbuh di
daerah yang
awalnya alopecia,
namun saat
dilakukan
Perbesaran 100x
pengerokan kulit
masih ditemukan
S. scabiei.
3 a. Nomor : 057
b. Terlihat keropeng di
daerah telinga sudah
berkurang, namun
saat dilakukan
pengerokan kulit
masih ditemukan
Perbesaran 100x
S.scabiei.
30
kambing yang terinfeksi ke kambing yang sehat secara langsung. Tipe
kandang laktasi menggunakan kandang kombinasi panggung dan lemprak
yaitu sebagian kandang bertipe panggung dengan lantai kayu dan sebagian
berlantai tanah. Pembersihan kandang sehari-hari yang dilakukan oleh
petugas kandang di kandang laktasi hanya sebatas menyapu lantai kayu,
membersihkan palung pakan dan tempat minum, bagian lantai tanah jarang
disapu sehingga banyak kotoran kambing yang menumpuk. Maka dari itu,
lantai tanah pada kandang dapat menjadi media penularan scabiosis yang
baik. Menurut Patrick (2000) tungau S. scabiei dapat bertahan 2-3 minggu
diluar induk semangnya. Tungau S. scabiei yang tergaruk dan jatuh ke tanah
kemungkinan besar akan bertahan hidup dan kembali menyerang kambing
yang ada di kandang tersebut sehingga menyebabkan infeksi berulang.
31
kandang karantina terlebih dahulu seperti contohnya pemindahan kambing
bunting dari kandang laktasi ke kandang induk – anak untuk melahirkan dapat
beresiko membawa tungau S. scabiei ke kandang yang belum terinfeksi.
Sanitasi adalah pembersihan dan desinfeksi semua peralatan dan bahan
yang masuk maupun yang ada di peternakan, termasuk kebersihan petugas
kandangnya. Petugas kandang di UPT PT dan HMT Malang sudah secara rutin
mengontrol keadaan kambing dan membersihkan kandang dengan menyapu lantai
kandang, membersihkan palung pakan dan tempat air minum. Penyemprotan
kandang dengan desinfektan juga dilakukan rutin sebulan sekali untuk
meminimalkan penyebaran penyakit. Larutan desinfektan yang biasa digunakan di
UPT PT dan HMT Malang adalah Destan yang mengandung Benzalkonium
Chloride 10% dengan pemakaian 60mL/10 liter air untuk desinfeksi kandang,
tempat pakan dan minum. Sementara itu penyemprotan dan perendaman ban
dengan desinfektan pada kendaraan yang masuk belum dilaksanakan sehingga
kemungkinan berpindahnya tungau S. scabiei dari luar peternakan sangat besar.
32
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Cara penanganan scabiosis pada kambing PE di UPT PT dan HMT Malang
adalah dengan pemberian injeksi Ivermectin secara subkutan dan Amitraz secara
topikal.
6.2 Saran
Pemeriksaan laboratorium sebaiknya dilakukan untuk
mendapatkan data yang dapat menunjang diagnosa, mengetahui keparahan
penyakit serta penanggulangannya yang tepat. Penanggulangan penyakit melalui
biosecurity seperti isolasi ternak yang sakit, kontrol lalu lintas pekerja dan ternak
yang di perketat serta sanitasi terhadap pekerja, perkakas, kendaraan dan hewan
sebaiknya dilakukan lebih teratur agar angka kejadian penyakit dapat
diminimalkan.
33
DAFTAR PUSTAKA
34
Giangaspero, A.; Alvinerie, M.; Traversa, D.; Paoletti, B.; Lespine, A.; Otranto,
D. and Boulard, C. (2003): Efficacy and pour-on microdose ivermectin in
the treatment of goat warble fly infestation by Przhevalskiana silenus
(Diptera, oestridae). Vet. Parasit., 16(4): 333-343.
Griana, T .P. 2013. Scabies : Penyebab, Penanganan, dan Pencegahannya. El-
Hayah Vol.4, No.1. Universitas Islam Negeri Malang.
Hanum dan Zuraida. 2010. Jurnal Agripet Vol 10, No 2 (2010): Volume 10, page
34-39. Publisher: Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas
Syiah Kuala.
Harianto, B. 2012. Bisnis Penggemukkan Domba. Cetakan Pertama. PT Agro
Media Pustaka. Jakarta 82-83.
Hartati, N. 2001. Studi Kasus Skabies pada Kambing di Kelompok Peternak
Kambing Simpay Tampomas Sumedang-Jawa Barat. Fakultas Kedokteran
Hewan IPB. Bogor
Iskandar, T. 2000. Masalah Scabies pada Hewan dan Manusia serta
Penanggulangannya. Wartazoa Vol.10 No1
Kasmar, Ihwal, N. 2015. Prevalensi Skabies pada Kambing di Kecamatan
Bontotiro, Kabupaten Bulukumba (Skripsi). Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanudin.
Kettle, D.S. 2004. Medical and Veterinary Entomology. Croom Helm.
LondonSidney.
Khan, M.K., Sajid, M.S., Khan, M.N., Iqbal, Z., and Iqbal, M.U. 2008.
Prevalence, Effects of Treatment on Productivity and Cost Benefit Analysis
Infive Districts of Punjab, Pakistan. Res Vet Sci. 87: 70–75
Kusuma, B.D., dan Irmansah. 2009. Menghasilkan Kambing Peranakan Etawa
Jawara Kontes. Agromedia Pustaka
Mileski, A., and P. Myers. 2004. Capra hircus, Animal Diversity.
<http://animaldiversity.ummz.umich.edu/stie/accounts/information.Ca
pra_hircus.html> [Diakses 24 September 2018]
Moeljanto, R.D., dan Wiryanta, B.T.W. 2002. Khasiat dan Manfaat Susu
Kambing. Agro Media Pustaka. Jakarta
Oktora, S., 2009. Scabies pada Hewan Peliharaan. Piet Klinik Hewan. Bogor
Pamungkas, F. A., Batubara. A., M. Doloksaribu., dan E. Sihite. 2009.
Potensi Beberapa Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia. Petunjuk
Teknis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Patrick, C.D. 2000. Cattle Scabies. Extension Entomologist, Texas A & M
University, Amarillo, Texas
35
Plumb, C.Donald. 2008. Veterinary Drug Handbook Sixth Edition. Blackwell
Publishing
Qonita, H. 2015. Perbandingan Efektivitas Terapi Kombinasi Salep 3-6 dan
Sabun Sulfur 10% dengan Salep 3-6 Tunggal pada Pengobatan Skabies di
Pondok Pesantren Ymmul Qura. Program Studi Pendidikan Dokter.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Randu. 2002. Aplikasi Pengobatan Scabies Pada Ternak Kambing Di Desa
Camplong Kabupaten Kupang.
Richard, W., and David, S. 2001. Veterinary Ectoparasites: Biology, Pathology
and Control. Blackwell Science Ltd
Robert, S., and M.D. M.S, Fawcett. 2003. Ivermectin Use in Scabies. Am. Fam
Physic. 68(6): 1089 - 1092
Sasongko, W.R., Astiti, L.G.S., Panjaitan, T., Muzani, A., dan Agustini, N. 2009.
Beternak Kambing Intensif. Juknis. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Nusa Tenggara Barat.
<http://ntb.litbang.deptan.go.id/ind/infotek/it-3.pdf> [Diakses pada 18
September 2018]
Siregar. 2007. Creeping Eruption dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Kelima. Penerbit Fakultas Kedokteran FKUI
Sungkar. 2001. Cara Pemeriksaan Kerokan Kulit untuk Menegakkan Diagnosis
Skabies. Maj. Parasitol. Ind. 61-64
Sutama, I. K. 2011. Kambing Peranakan Etawah Sumber Daya Ternak Penuh
Berkah. Badan Litbang Pertanian. Edisi 19-25 No.3427.
Tan, S.T., Angelina, J., Krisnataligan. 2017. Scabies: Terapi Berdasarkan Siklus
Hidup. CDK-254/ vol. 44 no. 7. Universitas Tarumanegara. Jakarta.
Wardana. 2006. Skabies: Tantangan Penyakit Zoonosis Masa Kini dan Masa
Datang. Wartazoa. 16 (1). 40-52.
36
Lampiran 1. Formulir Wawancara
Kolom Korespondensi
Nama : drh. Jaya Wulandari
Jabatan : Dokter Hewan di UPT PT dan HMT Malang
37
pemotongan kuku, memperbaiki kualitas pakan, dan optimalisasi kandang
karantina.
8. Apa saja penyakit yang menyerang ternak kambing Peranakan Ettawa di
UPT PT dan HMT Malang ?
Jawaban :
Scabies, bloat, enteritis, mastitis, pink eye, orf
9. Bagaimana cara penanganan ternak kambing Peranakan Ettawa yang
terkena penyakit scabiosis di UPT PT dan HMT Malang ?
Jawaban :
- Diberikan pengobatan berdasarkan gejala klinis, dengan injeksi ivermectin
dan amitraz topikal.
- Dilakukan peninjauan dan perbaikan manajemen pakan
- Dilakukan pemeriksaan laboraturium.
10. Bagimana cara pencengahan penyakit pada ternak kambing Peranakan
Ettawa di UPT PT dan HMT Malang ?
Jawaban :
Biosecurity dan sanitasi kandang
38
Lampiran 2. Dokumentasi PKL di UPT PT HMT Malang
Pemeriksaan laboratorium
hasil kerokan kulit
Pemerahan kambing
39
Penanganan myasis pada
kambing
40