Anda di halaman 1dari 33

TUGAS AKHIR

PENANGANAN KASUS DISTOKIA PADA SAPI PERAH


DI PT.ULTRA PETERNAKAN BANDUNG SELATAN

Diajukan Sebagai Syarat Ujian Komprehensif Profesi Dokter Hewan pada Program Studi
Pendidikan Profesi Dokter Hewan untuk Memperoleh Gelar Dokter Hewan (Drh)

Oleh :

SRI RATNA SARI WULAN


O121 16 019

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017

i
HALAMAN PERSETUJUAN TUGAS AKHIR DOKTER HEWAN

Judul : Penanganan Distokia pada Sapi Perah di PT Ultra Peternakan


Bandung Selatan
Nama : Sri Ratna Sari Wulan
NIM : O121 16 019

Disetujui oleh
Pembimbing

Drh. A. Magfira Satya Apada, M.Sc


NIP.19850807 201012 2 008

Diketahui oleh

Dekan Ketua
Fakultas Kedokteran Program Profesi Dokter Hewan

Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp. Bs Dr. drh. Dwi Kesuma Sari
NIP. 19551019 198203 1 001 NIP. 19730216 199903 2 001

Tanggal lulus :

i
PERNYATAAN KEASLIAN

1. Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Sri Ratna Sari Wulan


Nim : O121 16 019

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa :


a. Karya tulis ilmiah saya adalah asli.
b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya tulis ini, terutama dalam bab hasil dan
pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan dikenakan
sanksi akademik yang berlaku.

2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.

Makassar, 2017

Sri Ratna Sari Wulan

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat,
taufik dan hidayah-Nya, penyusunan karya tulis ilmiah yang berjudul “Penanganan Kasus
Distokia pada Sapi Perah di PT.Ultra Peternakan Bandung Selatan” dapat diselesaikan
dengan baik untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Dokter Hewan pada
Program Pendidikan Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Tak lupa
penulis mengirimkan shalawat beserta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada
Nabi Muhammad SAW beserta sahabat dan keluarganya. Penulis menyadari bahwa dalam
proses penulisan karya tulis ilmiah ini banyak mengalami kendala, namun berkat bantuan,
bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak dan berkah dari Allah SWT sehingga kendala-
kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi. Untuk itu pada kesempatan ini perkenankanlah
penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung,
serta membimbing penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung hingga
terselesaikannya karya tulis ilmiah terutama kepada:
1. Dr.Drh.Dwi Kesuma Sari selaku Ketua Program Pendidikan Dokter Hewan Universitas
Hasanuddin yang telah memberikan arahan, dalam penyelesaian tugas karya tulis ilmiah ini.
2. Drh. A. Magfira Satya Apada, M.Sc selaku pembimbing yang telah dengan sabar,tulus dan
ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan
saran-saran yang sangat berharga kepada penulis selama menyusun karya tulis ilmiah.
3. Seluruh staf Dosen dan Pegawai di PPDH.FK UNHAS danPSKH FK UNHAS yang
telah banyak membantu
4. Sahabat-sahabat terbaik penulis dan seperjuangan: Mita, Ainin, Ety, Nana, Ryan payung, Ita
Masita, Endang Jayanti dan Christin Lupita
5. Rekan-rekan mahasiswa koas angkatan pertama Program Pendidikan Dokter Hewan
Universitas Hasanuddin yang telah memberikan dukungan moral dan motivasi yang sangat
besar selama koas.
6. Rekan-rekan kerja di DP2 dan UPTD Puskeswan ade Ilmi yang sudah sangat banyak
membantu dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini, Drh Yanti, Kak Chicha dan kak Uti yang
memberikan dukungan moral dan motivasi yang sangat besar
7. Suami tercinta Asrullah yang telah menemani penulis saat senang, susah, sedih, dan tertawa
bersama. Canda tawamu sangat menghibur hati. Terimakasih banyak atas perhatian lebih
dan kasih sayangnya.
8. Ucapan terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta dan
mertua terbaik, juga kepada kakak-kakakku serta seluruh keluarga besar atas doa, dukungan,
memberi kekuatan moral dan cinta kasih yang senantiasa mengiringi perjalanan hidup
penulis. Serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Atas perhatian
dan dukungannya, penulis menyampaikan terima kasih.

Makassar,……................. 2017

Penulis

iii
ABSTRAK

Sri Ratna Sari Wulan. O121 16 019. Penanganan Kasus Distokia pada Sapi Perah di PT.
Ultra Peternakan Bandung Selatan. Dibimbing oleh A. Magfira Satya Apada.

Distokia pada ternak maupun hewan kesayangan adalah istilah medis veteriner yang
digunakan untuk menggambarkan tentang proses kelahiran yang sulit. Kejadian distokia
pada ternak bisa disebabkan oleh beberapa faktor bisa dari induknya maupun dari fetusnya
itu sendiri, bisa juga karena manajemen pemeliharaan yang kurang tepat dan penyakit.
Gangguan reproduksi seperti distokia sering dijumpai pada beberapa hewan kesayangan
seperti anjing, kucing dan beberapa ternak besar seperti kerbau, kuda dan sapi. Sapi perah
milik PT. Ultra Peternakan Bandung Selatan bernama Bazilla berumur ±1 tahun dengan
berat badan ±295 kg menunjukkan tanda-tanda ingin partus. Suhu rektal sapi terlihat
mengalami peningkatan yaitu 40,2ºC dan frekuensi nafas berada diatas angka normal
yaitu 45x/menit. Sapi perah milik PT.Ultra Peternakan Bandung Selatan yang
menunjukkan tanda-tanda ingin partus merupakan sapi dara yang pertama kali melahirkan
dan selama bunting sapi selalu dikandangkan. Hasil inspeksi terlihat pada tahap pertama
kelahiran yang lama dan tidak progresif sehingga kelahiran tidak berlanjut pada tahap
kedua dan kurangnya kontraksi uterus dari induk sehingga fetus tidak mampu keluar.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, tanda klinis dan hasil inspeksi sapi tersebut didiagnosa
mengalami distokia. Pertolongan kelahiran sapi perah dilakukan dengan cara penarikan
paksa menggunakan alat calf puller. Sesaat setelah melahirkan, induk sapi diberi infus 400
ml cofacalcium secara subkutan dan diberi 20 liter air hangat ditambahkan dengan Mono
Propylene Glycol (MPG), selain itu diberikan juga antibiotik spektrum luas (colibact bolus)
sebanyak 2 bolus secara intra-uterina. Pengobatan lainnya yaitu pemberian multivitamin
Biosan Tp Inj yang mengandung berbagai macam ATP dan vitamin diberikan 20 ml
Injeksikan secara intramuskular. Perlakuan pasca pengobatan yaitu perbaikan manajemen
dalam pemberian pakan. Setelah penanganan distokia, dilakukan pengamatan terhadap
perkembangan kondisi sapi selama 3 hari.

Kata kunci: distokia, sapi perah, penanganan distokia

iv
ABSTRACT

Sri Ratna Wulan Sari. 160190121. Handling the case of dystocia in dairy cow at PT Ultra
Farm South Bandung. Guided by A. Magfira Satya Apada

Dystocia in livestock and pet is a medical term used to describe veterinary procesess that
are difficult birth process. The incident dystocia in livestock can be due to several
factors such as its could be from its parent as well as its fetus, can also be due to improper
maintenance management and disease. Reproductive disorders such as dystocia are often
found in some pets such as dogs, cats, and a few huge livestock such as buffaloes, horses,
and cows. Dairy cows owned by PT. Ultra Farm South Of Bandung named Bazilla ± 1
year old with a weight of approximately 295 kg showed signs of wanting to partus. Cow's
rectal temperature seen increased i.e. 40.2° C and frequency of breath are above the normal
number IE 45x/min. Dairy cows owned by PT.Ultra Farm South Of Bandung, which
shows signs of wanting to partus is heifer the first childbirth and during pregnancy
cows always in cage. The results of the inspection looks at the first stage of a
long birth and is not progressive so that birth does not continue on the second stage
of uterine contraction and lack of parent so that the fetus was not able to get out. Based
on clinical signs, physical examination and the results of inspections of the cow is
diagnosed dystocia. Help the birth of dairy cows conducted by way of a forced with drawal
using calf puller. Shortly after giving birth, parent of cows were given an infusion
of 400 ml cofacalcium in subcutaneous and given 20 liters of warm water mix with Mono
Propylene Glycol (MPG), moreover to this broad spectrum antibiotics are also given
(colibact bolus) bolus as much as 2 on intra-uterina. Other treatment that is administering
multivitamin Biosan Tp Inj containing a variety of ATP and vitamins given in injection 20
ml intramuscular. Treatment of post treatment namaly improved management in feeding.
After handling distokia, made observations on the development condition of beef for 3
days.

Key words: dystocia, dairy cows, handling dystocia

v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... iii


ABSTRAK ....................................................................................................................... iv
ABSTRACT ...................................................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Kegiatan ....................................................................................................... 2
1.4 Manfaat Kegiatan ..................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................... 3
2.1 Sapi Perah ................................................................................................................. 3
2.2 Tahap Kelahiran Pada Sapi Perah ............................................................................ 3
2.3 Gangguan Reproduksi pada Sapi Perah ................................................................... 4
2.4 Distokia ................................................................................................................... 5
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Distokia ........................................... 5
2.6 Tanda Klinis Distokia pada Sapi .............................................................................. 6
2.7 Diagnosa .................................................................................................................. 7
2.8 Treatment Distokia .................................................................................................. 7
2.9 Terapi Pasca Penanganan Distokia .......................................................................... 9
BAB III MATERI DAN METODE .............................................................................. 10
3.1 Tempat dan Waktu Kegiatan .................................................................................. 10
3.2 Teknik Pengumpulan Data ..................................................................................... 10
3.3 Analisis Data ......................................................................................................... 10
3.4 MATERI ................................................................................................................. 10
3.4.1 Alat yang Digunakan.................................................................................. 10
3.4.2 Bahan yang Digunakan .............................................................................. 10
3.5 METODE ............................................................................................................... 10
3.5.1 Prosedur Kegiatan ...................................................................................... 10
3.5.2 Sinyalemen ................................................................................................. 11
3.5.3 Anamnesa ................................................................................................... 11
3.5.4 Tanda Klinis ............................................................................................... 11
3.5.5 Diagnosa..................................................................................................... 11
3.5.6 Terapi pasca penanganan ........................................................................... 11
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 12
BAB V PENUTUP .......................................................................................................... 17
5.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 17
5.2 Saran .................................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 18
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................................ 21
Lampiran Gambar Maldisposisi Fetus Penyebab Distokia .......................................... 21
Lampiran Foto Penanganan Kasus ............................................................................... 24

vi
DAFTAR TABEL

Table 1 Gejala Klinis ........................................................................................................... 12


Table 2 Pakan Total Mix Ration (TMR) untuk sapi laktasi ............................................... 15
Table 3 Kandungan konsentrat yang dicampurkan pada pakan sapi laktasi di PT.UPBS .. 15
Table 4. Perkembangan kondisi sapi perah di PT Ultra Peternakan Bandung..................... 16

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Jenis–jenis sapi perah ........................................................................................... 3


Gambar 2. Fase kelahiran pada sapi berdasarkan urutan proses kelahiran ........................... 4
Gambar 3. Maldisposisi fetus kepala dengan satu kaki depan pada vulva .......................... 6
Gambar 4. Penaganan distokia melalui mutasi dengan cara ekstensi yaitu pembetulan letak
ekstremitas ............................................................................................................ 8
Gambar 5. Penarikan fetus menggunakan alat penarik fetus atau calf puller ....................... 8
Gambar 6. Penarikan fetus menggunakan kekuatan tangan ................................................. 8
Gambar 7. Penanganan distokia dengan cara fetotomy ........................................................ 8
Gambar 8. Kantong amnion yang masih utuh tampak pada vulva ...................................... 13
Gambar 9. Alat penarik fetus ............................................................................................. 14

vii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peternakan merupakan sektor pertanian yang berperan penting dalam memenuhi
kebutuhan gizi masyarakat terutama protein hewan yang sangat berguna untuk kesehatan
maupun kecerdasan otak. Peternakan sapi perah, salah satu bentuk usaha yang sangat
potensial untuk dikembangkan di Indonesia karena dapat menghasilkan produk pangan
berupa protein hewani, terutama susu dan daging. Kebutuhan susu dan daging di Indonesia
sangat besar seiring bertambahnya jumlah penduduk. Faktor yang penting untuk diperhatikan
dalam usaha peternakan sapi perah adalah keberhasilan reproduksinya karena merupakan
pendukung dalam peningkatan populasi dan produksi susu, namun banyak permasalahan
yang timbul dalam peternakan seperti permasalahan kesehatan, khususnya gangguan
reproduksi. Gangguan reproduksi berdampak pada rendahnya fertilitas induk, sehingga
efisiensi reproduksi menurun yang mengakibatkan lambatnya pertambahan populasi sapi
perah dan produksi susu.
Salah satu gangguan reproduksi yang sering terjadi pada ternak yaitu distokia. Distokia
lebih sering terjadi pada sapi perah daripada sapi potong dan lebih umum terjadi pada sapi
dara yang pertama kali melahirkan (Youngquist et al, 2007). Distokia adalah istilah medis
yang digunakan untuk menggambarkan tentang kelahiran yang sulit dimana ketidakmampuan
induk sapi melakukan perejanan untuk mengeluarkan anaknya dengan usaha sendiri dan
penyebab utama penurunan jumlah kelahiran pedet sehingga menimbulkan masalah ekonomi
yang besar bagi peternak (Abera, 2017).
Kejadian distokia pada sapi telah banyak dipelajari karena pengaruhnya terhadap
produktivitas. Tercatat sekitar 85,5 % distokia terjadi karena faktor dari fetusnya dan 14,5%
distokia terjadi karena faktor dari induknya (Arnott et al, 2014). Berdasarkan Studi CHAPA
(Survei Sapi-sapi dan Produktivitas) menunjukkan bahwa distokia merupakan penyebab
kematian fetus saat partus yaitu sekitar 33% dan kerugian bagi peternak sapi akibat distokia
mencapai 15,4 % (Whitter et al, 2009). Menurut Santosa (2003) telah terjadi penurunan
populasi sapi perah di Indonesia dimana pada tahun 2012 populasi sapi perah di Indonesia
berjumlah 612.000 ekor dan mengalami penurunan jumlah populasi pada tahun 2013 yaitu
444.000 ekor sapi yang disebabkan karena kejadian distokia yang diikuti dengan kematian
fetus. Salah satu perusahaan pertama dan penghasil susu terbesar di Indonesia yang juga
sampai saat ini masih sering menghadapi gangguan reproduksi seperti distokia yaitu PT Ultra
Peternakan Bandung Selatan (PT.UPBS). PT Ultra Peternakan Bandung Selatan memiliki
populasi sapi perah hampir mencapai 4000 ekor dan setiap sapi perah miliknya yang ingin
partus selalu mengalami kejadian distokia. Kejadian distokia yang terjadi tentunya dapat
menyebabkan penurunan angka produktivitas di perusahaan tersebut sehingga dikhawatirkan
jika perusahaan tersebut nantinya tidak lagi efektif dan efisien dalam menghasilkan protein
hewani terutama susu untuk kebutuhan manusia.
Kasus distokia merupakan kasus yang sangat penting untuk diperhatikan karena
kerugian yang ditimbulkan bagi peternak maupun perusahaan yang bergerak di dunia
peternakan khususnya peternakan sapi perah bersifat ekonomis yaitu menyebabkan produksi
susu dan jumlah kelahiran fetus menurun. Oleh karena itu, diperlukan penanganan yang tepat
untuk mengatasi dan mencegah terjadinya distokia pada ternak sapi perah demi ketahanan
pangan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah yang dapat disimpulkan dari kegiatan
ini adalah bagaimana penanganan kasus distokia pada sapi perah di PT. Ultra Peternakan
Bandung Selatan.

1.3 Tujuan Kegiatan


Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk membantu proses kelahiran pasien sapi perah
yang kesulitan dalam pengeluaran fetus serta memberikan informasi tentang cara penanganan
kasus distokia pada sapi perah.

1.4 Manfaat Kegiatan


Manfaat dari kegiatan ini adalah dapat mengetahui penanganan kasus distokia pada sapi
perah dan memberi gambaran kepada unit usaha peternakan sapi perah tentang distokia
sehingga dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam manajemen pemeliharaan sapi perah.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sapi Perah


Sapi perah adalah sapi yang dikembangbiakan secara khusus karena kemampuannya
dalam menghasilkan susu dalam jumlah besar. Ada enam jenis sapi perah yang umum dan
biasanya paling banyak dipelihara yaitu Ayrshire, Browm Swiss, Guernsey, Milking
Shorthorn, Jersey dan Friesian Holstein. Dari keenam jenis sapi perah ini yang paling
populer dikalangan peternak yaitu sapi perah jenis Friesian Holstein, karena FH cukup baik
beradaptasi pada segala lingkungan, memiliki sifat yang jinak dan memiliki produksi susu
yang tinggi dari pada breed lainnya (Anonim, 2016).

Gambar 1 Jenis–jenis sapi perah (Pinterest, 2012)


2.2 Tahap Kelahiran Pada Sapi Perah

Menurut Deutscher et al (1988), proses kelahiran pada sapi perah merupakan proses
fisiologis yang berhubungan dengan pengeluaran fetus dan plasenta dari induk pada akhir
masa kebuntingan. Kondisi normal proses kelahiran fetus dibagi menjadi 3 fase yaitu :
1. Dilatasi serviks dan kontraksi uterus yang berlangsung sekitar 2-6 jam, terlihat ternak
tampak gelisah, relaksasi dan dilatasi serviks, fetus mengambil postur kelahiran dan
kontraksi uterus terjadi
2. Pengeluaran fetus yang berlangsung sekitar 1 jam atau bisa kurang dari 1 jam yaitu sekitar
½ jam, pada fase ini kontraksi uterus berlanjut, fetus memasuki saluran peranakan,
kantong amnion memasuki vagina dan akan pecah secara refleks ini merupakan awal
terjadinya kontraksi otot-otot abdominal. Dengan adanya dua macam kontraksi yaitu
kontraksi uterus dan kontraksi abdominal maka fetus akan terdorong melalui saluran
kelahiran dan dikeluarkan.
3. Pengeluaran plasenta, pada fase ini membran janin (plasenta) dikeluarkan dalam waktu 3
jam setelah melahirkan. Jika tidak dikeluarkan dalam waktu 8 jam pasca melahirkan,
pengobatan mungkin diperlukan.

3
Tahap 1 terlihat fetus mengambil
Tahap 2 adanya perejanan yang
postur kelahiran dan kontraksi uterus
terjadi, terlihat adanya kantong amnion kuat hingga pengeluaran fetus
sampai pecah

Terlihat induk menjilati anaknya untuk Tahap 3 terlihat pengeluaran


menghilangkan lendir dan merangsang plasenta
syaraf-syaraf pada pedet
Gambar 2. Fase kelahiran pada sapi berdasarkan urutan proses kelahiran
(dokumentasi BBVT Lampung, 2013)
2.3 Gangguan Reproduksi pada Sapi Perah
Menurut Partodihardjo (1980), gangguan reproduksi pada ternak secara umum dapat
diklasifikasikan menjadi tiga bagian. Pertama, gangguan reproduksi karena faktor
pengelolaan termasuk teknik pelakasanaan inseminasi yang kurang terampil, penanganan
masalah reproduksi dengan prosedur yang kurang tepat sehingga menyebabkan terjadinya
trauma fisik yang akan menjadi faktor predisposisi gangguan reproduksi, defisiensi mineral
dan pemberian pakan yang kurang sehingga tidak mendukung kesuburan saluran reproduksi
dan sekresi hormon terganggu. Kedua, gangguan reproduksi karena faktor internal hewan,
antara lain karena kelainan bentuk anatomi seperti adanya saluran reproduksi yang tidak
berkembang, ovarium kecil dan tidak berkembang atau ovarium hanya satu, dan gangguan
reproduksi karena faktor internal hewan lainnya yaitu karena penyakit yang dapat disebabkan
oleh virus, bakteri, jamur dan protozoa. Ketiga, faktor-faktor lain yang bersifat aksidental
(kecelakaan atau kelainan dapatan) yang pada umumnya ditemukan secara sporadis, misalnya
torsio uteri dan distokia.

4
2.4 Distokia
Distokia merupakan istilah medis yang biasa digunakan untuk menyatakan kesulitan
dalam proses melahirkan. Distokia pada sapi perah adalah suatu gangguan dalam proses
kelahiran atau partus, berupa kesulitan dan ketidakmampuan pada fase pertama dan fase
kedua untuk mengeluarkan fetus atau terjadi perpanjangan periode kelahiran (diatas 8 jam),
sehingga induk membutuhkan pertolongan tenaga ahli untuk mengeluarkan fetus (Whittier et
al, 2009). Tercatat sekitar 85,5 % distokia terjadi karena faktor dari fetusnya dan 14,5%
distokia terjadi karena faktor dari induknya (Arnott et al, 2014). Berdasarkan Studi CHAPA
(Survei Sapi-Sapi dan Produktivitas) menunjukkan bahwa distokia merupakan penyebab
kematian fetus saat partus yaitu sekitar 33% dan kerugian bagi peternak sapi akibat distokia
mencapai 15,4 %. (Whitter et al, 2009).

2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Distokia


Menurut Blanchard et al (2017), kejadian distokia pada ternak disebabkan oleh dua
faktor umum yaitu: (1) faktor maternal dan (2) faktor fetal. Faktor maternal yaitu faktor yang
disebabkan dari induknya, seperti adanya penyempitan saluran kelahiran akibat
ketidakseimbangan hormonal sehingga serviks tidak dilatasi sepenuhnya atau hal lain yang
menghalangi masuknya fetus secara normal ke dalam saluran kelahiran seperti ukuran pelvis
yang kecil karena betina belum dewasa tubuh dan adanya cacat anatomis atau patologis.
Cacat anatomis atau patologis pada jalan saluran kelahiran yang biasa terjadi seperti fraktura
pelvis, adanya pertumbuhan jaringan ikat atau bekas luka di vagina atau vulva akibat
kesulitan pada kelahiran sebelumnya dan cacat miometrium yang menyebabkan kehilangan
kemampuan uterus untuk berkontraksi (Inersia) (Peters et al, 2004).
Faktor fetal yaitu faktor yang disebabkan dari fetusnya, seperti ukuran fetus yang
terlalu besar, semakin besar ukuran fetus maka akan semakin sulit keluar melalui saluran
peranakan yang dikarenakan ukuran fetus yang melebihi dari saluran peranakan induk
(Purohit et al., 2012). Kematian fetus, kematian fetus intrauterina pada akhir kebuntingan
atau awal kelahiran dapat menyebabkan distokia. Misalnya, fetus mengalami hipoksia kronis,
kegagalan pelepasan hormon yang cukup pada fetus (ACTH dan kortisol) dan bisa juga
disebabkan karena ukuran fetus yang terlalu besar (Purohit et al., 2012). Maldisposisi fetus
merupakan penyebab paling umum terjadinya distokia (Anonim, 2011). Istilah maldisposisi
meliputi abnormalitas presentasi, postur dan posisi yang menyebabkan fetus sulit atau tidak
mungkin melewati saluran peranakan. Presentasi yaitu menjelaskan tentang hubungan antara
poros panjang fetus dan poros panjang saluran peranakan maternal (longitudinal anterior,
longitudinal dan transversal). Posisi yaitu menjelaskan tentang hubungan antara dorsum atau
punggung fetus pada presentasi longitudinal atau kepala pada presentasi transversal, terhadap
sisi pelvis induk yaitu sacrum, pubis, illium kiri dan illium kanan. Postur yaitu menjelaskan
tentang bagian tubuh mana yang terdapat pada jalan kelahiran seperti disposisi kepala,tungkai
dan lengan fetus (Dasrul, 2014). Menurut Wahab (2011), terdapat beberapa kejadian
maldisposisi fetus yang bisa menyebabkan terjadinya kasus distokia dapat dilihat pada
lampiran 1.
Faktor lain yang mempengaruhi kejadian distokia adalah manajemen pemberian
pakan, penyakit dan exercise (latihan). Pemberian pakan, harus diupayakan dengan baik dan
seimbang terutama pada umur muda. Pemberian pakan dengan nutrisi yang buruk seperti
defisiensi mineral meliputi kalsium, fisfor, cobalt, selenium, iodine, zinc dan magnesium di
akhir kebuntingan akan mempengaruhi sistem tubuh dari induk sehingga pada waktu partus
induk tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perejanan untuk mengeluarkan fetus
(Anonim, 2010). Sedangkan pemberian pakan yang berlebih bisa menyebabkan obesitas
fetus, timbunan lemak intrapelvis sehingga efisiensi pengejanan dapat menurun akibat
berlemak (Jackson, 2004). Penyakit yang biasanya terjadi pada saat partus yang secara tidak

5
langsung bisa menyebabkan terjadinya distokia yaitu hipokalsemia. Hipokalsemia saat
melahirkan merupakan penyebab inersia uterine primer atau kegagalan uterus dalam
berkontraksi sehingga mengalami kesulitan pada saat pengejanan (Jackson, 2013). Kurang
latihan seperti kurang bergerak dan berjalan-jalan setiap hari juga bisa sebagai faktor
penyebab terjadinya distokia, memperbanyak melakukan exercise saat bunting dapat
mempengaruhi tonus otot yang merupakan pendukung dalam proses partus (Hilton et al,
2016).
2.6 Tanda Klinis Distokia pada Sapi

Menurut Jackson (2004), tanda klinis yang bisa diamati pada sapi yang mengalami
distokia yaitu :
1. Kelahiran pada tahap pertama yang berkepanjangan dan tidak progresif kejadian ini
disebabkan karena kegagalan dilatasi serviks yang merupakan penyebab distokia sapi
paling umum, tidak ada kontraksi uterus dan amnion sering kali masih utuh. Tidak
adanya kontrasi yang efektif biasanya akibat hipokalsemia dengan tanda-tanda milk
fever saat kelahiran.
2. Induk sapi berusaha keras untuk melakukan perejanan selama 30 menit namun tidak
nampak fetus mengambil postur kelahiran, biasanya disebabkan karena otot perut
hewan tidak mampu berkontraksi atau mengejan dengan baik. Selain itu pada sapi
yang sangat tua, otot-otot perut mungkin sudah tertarik melebihi kapasitas elastisitas
alamiahnya. Kondisi sakit yang melibatkan abdomen, diafragma dan dada seperti
retikulitis/perikarditis dapat menghambat upaya mengejan.
3. Kegagalan fetus untuk dikirim ke vulva dalam waktu 2 jam setelah amnion muncul
biasanya dipengeruhi oleh ukuran tulang pelvis yang terlalu kecil untuk lewatnya
fetus. Meternal immaturity adalah penyebab paling umum dan sering terjadi sebagai
akibat sapi dara dikawinkan pada umur terlalu muda dan disebabkan ketika fetus lebih
besar dari ukuran normal.
4. Fetus mengalami malpresentaion yang jelas, malposture, atau maldisposition;
misalnya penampilan kepala fetus tanpa disertai forelimbs (kaki depan), ekor tapi
tidak ada tungkai belakang, kepala dengan satu forelimb (kaki depan)

Gambar 3. Maldisposisi fetus kepala dengan satu kaki


depan pada vulva (Anonim2, 2012)

6
2.7 Diagnosa
Beberapa hal yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan diagnosis terhadap kasus
distokia pada sapi perah. Menurut Roberts (2004) terlebih dahulu dilakukan anamnesa untuk
memperoleh informasi dari peternak maupun dari pengamatan sendiri tentang sejarah
kejadian distokia. Informasi ini penting untuk pemeriksaan dan penanggulangan distokia
secara cermat dan tepat. Diagnosa terhadap kejadian distokia dapat juga dilakukan dengan
melihat gejala klinis seperti, tahap pertama kelahiran yang lama dan tidak progresif, sapi
mengejan dengan kuat selama 30 menit namun anak sapi tidak muncul, cairan amnion telah
tampak pada vulva selama 2 jam namun anak sapi gagal keluar, fetus mengalami
malpresentasi, malpostur atau maldisposisi, misalnya kepala keluar tanpa kaki depan, ekor
keluar tanpa kaki belakang atau kepala keluar dengan salah satu kaki depan (Jackson, 2004).
Pemeriksaan umum penting juga dilakukan yaitu meliputi kondisi fisik hewan saat itu. Pada
kebanyakan kasus distokia denyut nadi dan respirasi meningkat secara cepat dan suhunya
sedikit lebih tinggi dari biasanya hal ini disebabkan karena usaha melakukan perejanan
dengan kuat untuk partus tetapi fetus tidak bisa dikeluarkan. Untuk menunjang diagnosa
perlu dilakukan pemeriksaan obstetrik yaitu pemeriksaan terhadap saluran kelahiran dan
kondisi fetus untuk menentukan presentasi, posisi dan postur tubuhnya (Kumar, 2009).

2.8 Treatment Distokia


Menurut Saber (2017) terdapat beberapa treatment yang dapat dilakukan untuk
penanganan kasus distokia pada ternak yaitu:
 Untuk dilatasi serviks yang tidak terjadi sepenuhnya bisa dilakukan treatment dengan
pemberian hormon yaitu hormon Oxitosin 50 IU bersama Diethyl Stilbestrol yang
merupakan estrogen sebanyak 30 mg.
 Untuk relaksasi otot polos berikan Valethamate Bromide (Injection Epidosin) 80 mg
secara intramuskular yang merupakan anti kolinergik yang mempunyai efek
spasmolitik (melemaskan otot) dapat membantu dalam beberapa kasus jika casearian
section harus dilakukan.
 Untuk inersia uterin primer berikan Kalsium Borogluconat 400 ml secara intravena dan
Oxytocin 20-60 IU Secara intramuskular.
 Untuk inersia uterus sekunder: distokia dapat tangani dengan tindakan (a) mutasi, (b)
ekstraksi paksa, (c) fetotomi (d) casearian section.
a. Mutasi adalah tindakan mengembalikan presentasi, posisi dan postur fetus agar
normal. Mutasi dapat dilakukan melalui repulsi (pendorongan fetus keluar dari pelvis
induk atau jalan kelahiran memasuki rongga perut dan rahim sehingga tersedia cukup
ruangan untuk pembetulan posisi atau postur fetus dan ektremitasnya), rotasi
(pemutaran tubuh pada sumbu panjangnya untuk membawa fetus pada posisi dorso
sakral), versi (rotasi fetus pada poros transversalnya yaitu situs anterior atau posterior),
dan ekstensi (pembetulan atau perentangan letak ekstremitas) (Toelihere, 2006)

7
Gambar 4. Penaganan distokia melalui mutasi dengan cara ekstensi yaitu
pembetulan letak ekstremitas ( Anonim, 2015)
b. Penarikan paksa dilakukan apabila uterus lemah dan janin tidak ikut menstimulasi
perejanan. Penarikan fetus melalui jalan lahir dapat menggunakan kekuatan. Kekuatan
tersebut diaplikasikan dengan tangan atau menggunakan alat penarik fetus yang dapat
diaplikasikan saat melakukan pertolongan pada proses kelahiran. penarikan fetus
dalam kasus distokia dilakukan dengan tepat dan tidak menggunkan kekuatan
berlebihan karena dapat menyebabkan trauma pada induk dan fetus (Roberts, 2004).

A B

Gambar 6. Penarikan fetus Gambar 5. Penarikan fetus


menggunakan kekuatan tangan menggunakan alat penarik fetus
(Karen Lee, 2016) atau calf puller (Avet, 2014)

c. Pemotongan janin (Fetotomi) dilakukan apabila presentasi, posisi, dan postur fetus
yang abnormal dan sangat sulit diatasi dengan mutasi atau penarikan paksa demi
mengutamakan keselamatan induk (Ratnawati et al., 2007). Menurut Jackson (2004)
jika fetus mati dan tidak mungkin untuk dikeluarkan atau menarik anggota badannya,
dapat dilakukan proses fetotomy. Kawat fetotomy diikatkan di antara forelimb bagian
atas fetus dan pada bagian toraksnya, kemudian proses pemotongan fetus segera
dilakukan menjadi potongan-potongan kecil yang lebih mudah dikeluarkan.

Gambar 7. Penanganan distokia dengan cara fetotomy


(Anonim, 2002)
8
d. Operasi caesar (Sectio Caesaria), merupakan alternatif terakhir apabila semua cara
tidak berhasil. Operasi caesar adalah prosedur operasi (bedah) untuk mengeluarkan
janin (fetus) dengan incisi melalui dinding abdomen (laparotomi) dan uterus
(hiskotomi). Indikasi untuk prosedur ini mencakup fetus yang maldisposisi berat,
kondisi maternal yang abnormal seperti torsio uterus yang tidak dapat dibetulkan lagi
dan untuk mengurangi trauma pada saluran reproduksi induk (Cady, 2009).

2.9 Terapi Pasca Penanganan Distokia


Pemberian antibiotik spektrum luas perlu diberikan pada sapi yang telah
mengalami distokia saat partus hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi
bakteri sebagai akibat dari proses kelahiran yang tidak steril. Penggunaan antibiotik
berbentuk bolus yang mengandung sulfadiazine dan trimethoprim umum digunakan untuk
terapi kasus-kasus reproduksi yang terjadi setelah melahirkan pada ternak dengan tujuan
untuk mengeliminasi bakteri yang menginfeksi uterus (Gilbert et al, 2002). Colibact bolus
merupakan kombinasi antibiotik trimethoprim dan sulfadiazine yang bersifat bakterisidal
yang efektif terhadap bakeri gram positif maupun gram negatif dan bekerja dengan cara
mengganggu sintesis/pembentukan asam folat bakteri. Colibact bolus diindikasikan untuk
melindungi uterus terhadap infeksi bakteri penyebab endometritis, metritis, dan pyometra
pada sapi, babi, dan ruminansia kecil akibat dari retensio secundinae, abortus, prolapsus
uteri, operasi caesaria, proses kelahiran (partus), mengobati penyakit saluran reproduksi,
kemih, pencernaan, dan pernapasan (Anomin1, 2012). Tiap Bolus Colibact mengandung
Sulfadiazine (1000 mg) dan Trimethoprim (200 mg). Dosis yang biasa diberikan untuk
sapi yaitu 2-4 bolus dan cara pemakaian yaitu secara Intra-uterine setelah melahirkan
( ASOHI, 2013).
Ternak yang mengalami distokia saat partus dianjurkan untuk pemberian terapi
supportif seperti pemberian multivitamin, untuk menjaga stamina tubuh dan menguatkan
otot yang lemah akibat melahirkan dan meningkatkan nafsu makan sehingga asupan
nutrisi yang dibutuhkan tubuh tetap terpenuhi. Pada saat asupan nutrisi tercukupi maka
daya tahan tubuh pasien akan semakin kuat sehingga memudahkan proses penyembuhan
dan mengurangi adanya infeksi sekunder. Salah satu multivitamin yang dapat diberikan
yaitu Biosan Tp Inj. Biosan Tp Inj merupakan larutan yang berisi ATP dan vitamin.
Dimana tiap ml mengandung: Adenosine Triphosphat 1,1 mg, Mg-Aspartate: 15,0 mg, K-
Aspartate 10,0 mg, Na selenite 1,0 mg dan Vitamin B12 0,5 mg. Kandung dalam Biosan
Tp Inj. akan menjaga dan mengembalikan stamina tubuh hewan, serta menguatkan otot
yang lemah akibat kesulitan saat melahirkan, kekurangan makanan, infeksi penyakit dan
lain-lain. Dosis dan cara pemakaian yaitu untuk sapi diberikan 20 ml per ekor yang
diberikan secara intramuskular sebanyak 3 kali sehari dan diberikan dengan interval
waktu 2 – 5 hari (ASOHI, 2013).

9
BAB III
MATERI DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Kegiatan


Kegiatan penanganan distokia pada sapi perah ini dilaksanakan di PT Ultra Peternakan
Bandung Selatan (UPBS) pada bulan Mei 2017.

3.2 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu data primer dan sekunder. Data primer
merupakan data yang diperoleh secara langsung dengan melakukan wawancara dengan
dokter hewan dan paramedik serta melakukan pengamatan di lapangan seperti persiapan
penanganan, pengobatan sampai dengan perawatan sedangkan data sekunder merupakan data
yang diperoleh dengan cara mengumpulkan data dari literatur yang berkaitan dengan
penanganan distokia pada ternak sapi.

3.3 Analisis Data


Data hasil pengamatan dibandingkan dan dibahas secara deskriptif. Berdasarkan
sumber referensi yang diperoleh melalui wawancara, dokumentasi dan studi pustaka.

3.4 MATERI

3.4.1 Alat yang Digunakan


Alat yang digunakan dalam kegiatan ini antara lain kandang jepit alat penarik fetus
(Calfpuller), gloves plastik,tali dan spoit 20 ml.

3.4.2 Bahan yang Digunakan


Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini antara lain, iodine tincture 20%, elektolit,
Mono Propylene Glycol (MPG), multivitamin (Biosan Tp Inj), cofacalcium 400 ml (1 botol),
dan antibiotik spektrum luas (COLIBACT BOLUS) 2 bolus.

3.5 METODE

3.5.1 Prosedur Kegiatan


Kegiatan dilakukan dengan survei terhadap responden. Sebagai respondennya adalah
para petugas dan paramedik yang bekerja dan berhubungan langsung dengan sapi tersebut.
Melakukan observasi lapangan dan interview kepada responden meliputi: data sinyalemen
dan anamnesa berupa: status ternak sapi, gangguan reproduksi yang pernah dialami oleh sapi
tindakan dan penanganan yang dilakukan untuk mengatasinya serta tatalaksana pemeliharan
sapi. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan umum diantaranya melakukan inspeksi terhadap
gerak-gerik induk yang sudah memasuki kandang sawdust pans (kandang melahirkan) untuk
persiapan partus.

10
3.5.2 Sinyalemen
Pemilik : PT. Ultra Peternakan Bandung Selatan
Nama hewan : Bazilla
Jenis hewan : Sapi perah (Friesian Holstein)
Warna : Hitam Putih
Jenis kelamin : Betina
Umur : ± 1 tahun
Berat badan : ± 295 kg

3.5.3 Anamnesa
 Sapi dikandangkan terus-menerus
 Partus pertama (sapi dara)
 Pada tahap kedua kelahiran sapi perah terlihat tidak berlanjut /kegagalan dalam
melahirkan karena tidak mampu berkontraksi atau mengejan dengan baik
 Hasil palpasi vagina fetus berada pada presentasi, postur dan posisi yang tepat

3.5.4 Tanda Klinis


 Peningkatan suhu tubuh dan frekuensi nafas yang cepat
 Tahap pertama kelahiran yang lama sehingga kelahiran tidak berlanjut pada tahap
kedua.
 Kurangnya kontraksi uterus dari induk saat partus sehingga fetus tidak mampu keluar
 Kantong amnion yang masih utuh telah tampak pada vulva selama 2 jam

3.5.5 Diagnosa
Berdasarkan hasil anamnesa dan tanda klinis yang ditemukan, ternak sapi perah
tersebut mengalami distokia, sehingga induk membutuhkan pertolongan tenaga ahli
dengan penarikan paksa untuk mengeluarkan fetus.

3.5.6 Terapi pasca penanganan


 Infus 1 botol (400 ml) cofacalcium secara subkutan
 Pemberian Mono Propylene Glycol (MPG) yang dicampur air dengan perbandingan 1
botol Mono Propylene Glycol (MPG) dengan 20 liter air
 Antibiotik spektrum luas
 Pemberian multivitamin injeksi (Biosan Tp Inj) 20 ml

11
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bulan Mei 2017 sapi perah milik PT. Ultra Peternakan Bandung Selatan
menunjukkan tanda-tanda ingin partus. Sapi perah digiring ke kandang sawdust pans
(kandang melahirkan) dan dimasukkan ke kandang jepit. Dilakukan pemeriksaan untuk
memastikan apakah sapi tersebut mengalami distokia. Pemeriksaan pertama yang dilakukan
yaitu mengukur suhu rektal dan frekuensi nafas dengan cara menghitung gerakan flank dan
tulang rusuk yang bergerak simetris pada saat inspirasi. Hasil suhu rektal 40,2ºC dan
frekuensi nafas 45x/menit. Suhu rektal terlihat mengalami peningkatan dan frekuensi nafas
termasuk cepat atau berada diatas angka normal. Menurut Rosenberger (1979) suhu normal
pada sapi yaitu 38ºC-39ºC dan biasanya mengalami peningkatan yaitu 0.5ºC-1ºC dalam
kurun waktu 24 jam sebelum partus. Menurut Jackson dan Cockroft (2002) frekuensi nafas
normal pada sapi dewasa adalah 15-35 kali per menit. Peningkatan frekuensi nafas
disebabkan karena stres akibat usaha melakukan perejanan untuk partus.
Pemeriksaan kedua dilakukan anamnesa dengan bertanya ke paramedik. Menurut
paramedik sapi yang menunjukkan tanda akan partus merupakan sapi dara yang pertama kali
melahirkan dan sapi tersebut selalu dikandangkan selama bunting sehingga kurang exercise.
Menurut Youngquist et al (2007) distokia pada ternak sapi bervariasi namun lebih umum
terjadi pada sapi dara yang pertama kali melahirkan. Peters et al (2004) berpendapat bahwa
sapi dara yang pertama kali melahirkan dan dikawinkan pada umur terlalu muda biasanya
beresiko mengalami distokia, karena memiliki ukuran tulang pelvis yang masih kecil. Pelvis
yang kecil adalah penyebab distokia kaitannya dengan disproposi fetopelvis dan diperburuk
dalam kasus fetus lebih besar dari ukuran normal yang merupakan hasil perkawinan dengan
pejantan yang besar. Pendapat lain yaitu menurut Hilton et al (2016) bahwa kurang exercise
seperti kurang bergerak setiap hari pada sapi bunting juga berpotensi mengalami distokia.
Melakukan banyak exercise dapat mempengaruhi tonus otot yang merupakan pendukung
dalam proses partus.
Pemeriksaan ketiga yaitu dilakukan pemeriksaan fisik diantaranya inspeksi dengan
melihat kondisi sapi secara umum dan mengamati perubahan tingkah laku sebelum partus,
pada pemeriksaan ini teramati dengan durasi tiap 10 menit sapi gelisah dan menghentakkan
kaki, dengan melakukan inspeksi induk sapi perah dibiarkan terlebih dahulu mengeluarkan
fetus secara normal selama ±1 jam untuk melihat apakah induk memilki kemampuan untuk
melakukan perejanan dalam mengeluarkan fetus. Pada proses kelahiran sapi, terlihat tanda
klinis yaitu pada tahap pertama kelahiran yang lama dan tidak progresif sehingga kelahiran
tidak berlanjut pada tahap kedua, terlihat kantong amnion divulva yang masih utuh dan tidak
mengalami perejanan sehingga fetus tidak keluar. Menurut Peters et al (2004), kurangnya
kontraksi uterus dari induk saat partus juga merupakan penyebab terjadinya distokia.
Terkadang ketidakseimbangan hormonal dapat menyebabkan serviks tidak dilatasi
sepenuhnya atau kontraksi uterus tidak cukup kuat . Tanda klinis sapi dapat dilihat pada tabel
1.
Table 1 Tanda Klinis
Gejala Penanganan
Sapi gelisah, menghentakkan Diamati
kaki dan berkeliling
Dilatasi serviks dan kontrasi Diamati
uterus
Kantong amnion keluar Diamati

12
Gejala Penanganan
Kesulitan merejan
Diamati
Ditunggu 1 jam pengeluaran
dilakukan penanganan distokia untuk
fetus tetapi tidak ada tanda-
membantu proses kelahiran
tanda partus

Gambar 8. Kantong amnion yang masih utuh tampak pada vulva

Berdasarkan pemeriksaan fisik, anamnesa, tanda klinis dan hasil inspeksi maka sapi
perah milik PT. Ultra Peternakan Bandung Selatan didiagnosa mengalami distokia. Hal ini
kemudian membuat dokter hewan yang bertugas menganjurkan untuk dilakukan tindakan
untuk membantu proses kelahiran ternak sapi dikarenakan kondisi ternak yang tidak
memungkinkan untuk menjalani kelahiran normal.
Proses pertolongan kelahiran sapi perah yang mengalami distokia di PT. Ultra
Peternakan Bandung Selatan dilakukan dengan cara pemecahan kantong amnion, kemudian
melakukan palpasi vagina menggunakan gloves plastik yang sudah diberi antispetik. Menurut
Phillips (2010) pemeriksaan spesifik yang terdiri dari pemeriksaan obstetrik terhadap saluran
kelamin dan fetus perlu dilakukan sebelum memberi pertolongan yang tepat dalam kasus
distokia. Pemeriksaan saluran kelamin dilakukan untuk mengetahui adanya trauma atau cacat
pada saluran kelahiran yang menyebabkan induk tidak mampu melakukan perejanan dan
pemeriksaan fetus lebih umum dilakukan untuk mengetahui posisinya. Pemeriksaan obstetrik
dilakukan dengan cara vulva ternak hewan dan sekitarnya harus dicuci sampai benar-benar
bersih dengan antiseptik. Ekor harus dipegang satu sisi oleh asisten. Operator harus mencuci
dan melumasi lengannya dengan antiseptik sebelum melakukan pemeriksaan terhadap jalan
lahir dan fetus (Kumar, 2009).
Hasil palpasi menunjukkan tidak ada gangguan saluran reproduksi induk dan posisi
fetus normal yaitu fetus pada presentasi longitudinal anterior, posisi dorsal dan postur kepala
dan kaki-kaki depan terjulur mengarah ke caudal induk. Pertolongan dilakukan dengan
penarikan paksa yaitu pengeluaran fetus dari induk melalui saluran kelahiran dengan
menggunakan kekuatan atau tarikan dari luar. Penarikan paksa dilakukan karena kelemahan
uterus dan fetus tidak menstimulasi perejanan. Tumpuan penarikan dilakukan pada tiga titik,
yaitu kedua kaki depan dan kepala. Sesudah kepala dan kedua kaki depan melewati vulva,
penarikan dilakukan terhadap kedua kaki yaitu pengikatan menggunakan tali pada bagian
pergelangan kaki depan fetus, selanjutnya tali tersebut dikaitkan pada alat calf puller dan alat
direbahkan ke arah panggul dan pada saat sapi merejan dilakukan penarikan secara hati-hati.

13
Calf puller merupakan alat yang didesain dari stainless steel yang sangat kuat dan
praktis dan mempunyai fungsi untuk menarik pedet pada proses kelahiran yang sulit dari
induk. Alat ini dilengkapi dengan tali temali yang diperlukan untuk mengikat kaki atau
kepala dan saat menarik fetus dalam proses kelahiran, penarikan pedet secara ritmis
memungkinkan pedet keluar secara perlahan sehingga induk terhindar dari rasa sakit berlebih
dan meminimalisir sobeknya vulva atau vagina. Manfaat lain alat ini meminimalisir kelahiran
dengan operasi sesar (caesaria section) pada sapi (Anonim1, 2017).

Gambar 9. Alat penarik fetus (anonim2, 2017)


Pedet yang sudah lahir segera dipindahkan, kemudian lendir yang ada di hidung dan
mulut dibersihkan, pada potongan tali pusar pedet dioleskan larutan iodine untuk
menghindari masuknya berbagai infeksi penyakit. Tindakan selanjutnya tubuh pedet diberi
pakan Total Mix Ration (TMR) yaitu pakan yang sudah diolah dan dicampur dengan berbagai
kandungan nutrisi, hal ini bertujuan agar naluri keibuan sapi muncul untuk menjilati anaknya.
Menurut Bojrab et al (2014), jilatan induk pada pedet akan membantu untuk menstimulus
gerak pernafasan dan merangsang peredaran darah.
Terapi yang diberikan pasca penanganan untuk induk sapi perah yang mengalami
distokia di PT Ultra Peternakan Bandung Selatan yaitu pemberian 1 botol (400 ml) calciject
untuk menghindari terjadinya hipokalsemia. Calciject merupakan Cairan injeksi steril untuk
mengatasi kekurangan Calcium dan Magnesium, dimana tiap 400 ml mengandung 11,9 gr
calcium dan 1,85 gr magnesium. Pemberian calciject dilakukan secara subkutan,
menggunakan jarum bersih dan steril. Selain pemberian calciject sapi juga diberi 20 liter air
hangat ditambahkan dengan Mono Propylene Glycol (MPG). Mono Propylene Glycol (MPG)
memiliki fungsi sama seperti glukosa yaitu untuk menyeimbangkan energi dan menambah
asupan energi pada ternak setelah partus. Selain itu diberikan juga antibiotik spektrum luas
(colibact bolus) sebanyak 2 bolus secara intra-uterina. Colibact bolus merupakan kombinasi
antibiotik trimethoprim dan sulfadiazine yang bersifat bakterisidal yang efektif terhadap
bakeri gram positif maupun gram negatif. Pemberian antibiotik berspektrum luas untuk
mencegah terjadinya infeksi bakteri sebagai akibat dari proses kelahiran yang tidak steril.
Pengobatan lainnya yaitu pemberian multivitamin Biosan Tp Inj yang mengandung berbagai
macam ATP dan vitamin diberikan 20 ml secara intramuscular. Hal ini sesuai dengan
referensi menurut ASOHI (2013) bahwa Biosan Tp Inj bisa diberikan pada ternak seperti sapi
untuk menjaga stamina tubuh dan menguatkan otot yang lemah akibat melahirkan sebanyak
20 ml/ekor sebanyak 3 kali sehari dan diberikan dengan interval waktu 2 – 5 hari. Pemberian
Biosan Tp Inj merupakan terapi suportif yang bertujuan untuk peningkatan nafsu makan pada
induk sapi pasca melahirkan karena biasanya sapi yang mengalami distokia tidak ada nafsu
makan, untuk menstimulasi tubuh secara umum terutama pada tonus otot karena kelemahan

14
setelah melahirkan, untuk meningkatkan daya tahan tubuh sapi sehingga memudahkan proses
penyembuhan dan mengurangi adanya infeksi sekunder serta mencegah defisiensi vitamin.
Selain pemberian treatment pasca penanganan untuk induk sapi perah yang mengalami
distokia di PT Ultra Peternakan Bandung Selatan dilakukan juga perbaikan manajemen dalam
pemberian pakan. Pemberian pakan pada sapi perah di PT Ultra Peternakan Bandung Selatan
dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari dan pakan untuk sapi laktasi yang
diberikan disebut Total Mix Ration (TMR) yaitu pakan yang sudah dicampur dengan berbagai
bahan seperti hijauan, konsentrat, limbah pertanian, mineral, suplemen, kalsium yang
diperoleh dari kapur mill, silase yang merupakan alternatif teknologi pengawetan pakan yang
bertujuan untuk mempertahankan nilai nutrisi pakan serta urea untuk meningkatkan kualitas
dan merubah struktur serat kasar menjadi bentuk yang mudah dicerna oleh rumen. Menurut
Setiyono (2007), bahan pakan untuk sapi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu hijauan dan
pakan tambahan (konsentrat). Untuk mendapatkan hasil produksi yang baik maka bahan
pakan untuk sapi yaitu hijauan dan pakan tambahan (konsentrat) harus diberikan, karena
diharapkan dari kedua macam bahan pakan ini kebutuhan protein dapat terpenuhi. Sapi yang
sedang menyusui (laktasi) memerlukan makanan tambahan sebesar 25% hijauan dan
konsentrat dalam ransumnya. Selain makanan, sapi harus diberi air minum sebanyak 10%
dari berat badan perhari. Campuran Total Mix Ration (TMR) untuk sapi perah laktasi di PT
Ultra Peternakan Bandung Selatan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Table 2 Pakan Total Mix Ration (TMR) untuk sapi laktasi (data PT. UPBS)

Bahan Kg Persentase
Hijauan (Rumput Gajah) 5 11.98 %
Konsentrat 13.08 31.36 %
Silase Jabon 18 43.14 %
Suplemen (Molases) 2.2 5,27 %
Rumput jerami 0.2 0.48 %
Urea 0.04 0.10 %
Air 3 7,19 %
Kapur mill 0.1 0,12 %

Table 3 Kandungan konsentrat yang dicampurkan pada pakan sapi laktasi di PT.UPBS
( data PT.UPBS)
Konsentrat Kg
Rumput laut 65
Ground wheat 1305
DDGS 7325
Mix wheat 3950
Copra 1720
SBM 895
Biscuit 3075
M.tox 36
Levucel 0,6
Highfive 10
Selplex 2
Cupri 6

15
Setelah penanganan distokia, dilakukan pengamatan terhadap perkembangan kondisi
sapi selama 3 hari. Pengamatan terhadap perkembangan kondisi sapi dapat dilihat pada Tabel
4.
Table 4. Perkembangan kondisi sapi perah di PT Ultra Peternakan Bandung
Selatan
Hari ke- Makan Minum Defekasi Urinasi Kondisi sapi

1 ++ ++ ++ ++ Kondisi baik, tidak terlihat


adanya plasenta mengggantung
pada vulva dan sapi juga tidak
mengalami hipokalsemia

2 ++ ++ ++ ++ Keadaan sapi membaik

3 ++ ++ ++ ++ Keadaan sapi membaik, makan


dengan lahap, tidak ada masalah

Keterangan: Sedikit : (+) , Normal : (++) , Banyak : (+++)

Dilihat dari Tabel 4 perkembangan kondisi sapi selama tiga hari cukup baik dari hari
kehari. Makan, minum, defekasi dan urinasi sapi normal. 3 jam setelah sapi melahirkan
terlihat pengeluaran plasenta dan tidak ada kejadian hipokalsemia. Hipokalsemia yaitu suatu
kejadian kelumpuhan yang terjadi sebelum, sewaktu atau beberapa jam sampai 72 jam setelah
partus. Kejadian hipokalsemia bisa disebabkan karena stres akibat kesulitan saat melahirkan
(distokia). Stres saat melahirkan dapat menyebabkan hormon tirokalsitonin yang mengatur
glukosa usus dalam menyerap mineral kalsium dari pakan menurun dan mempengaruhi kadar
kalsium dalam darah. Bila hormon tirokalsitonin menurun dapat diikuti menurunnya kadar
kalsium dalam darah. Sapi Frisian Holstain salah satu jenis sapi perah yang paling sering
menderita hipokalsemia. Sapi berumur 4 tahun dan produksi tinggi biasanya lebih rentan
mengalami hipokalsemia, namun pada beberapa daerah ternyata penyakit ini ditemui juga
pada sapi dara yang produksi tinggi dan terjadi ditengah-tengah laktasi (Achjadi, 2003).

16
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Distokia merupakan suatu kondisi dimana pada stadium pertama kelahiran yaitu proses
dilatasi serviks dan pada stadium kedua kelahiran yaitu pengeluaran fetus terjadi lebih lama
dan kesulitan sehingga tidak mungkin bagi induk untuk mengeluarkan fetus sendiri.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, tanda klinis dan hasil inspeksi maka sapi perah
milik PT. Ultra Peternakan Bandung Selatan didiagnosa mengalami distokia. Pada kasus ini
dilakukan penanganan dengan cara tarik paksa menggunakan alat calf puller. Sesaat setelah
melahirkan pedet, induk sapi diberi infus 400 ml calciject secara subkutan, sapi diberi 20 liter
air hangat ditambahkan dengan Mono Propylene Glycol (MPG). Selain itu diberikan juga
antibiotik spektrum luas (colibact bolus) sebanyak 2 bolus secara intra-uterina. Pengobatan
lainnya yaitu pemberian multivitamin Biosan Tp Inj yang mengandung berbagai macam
ATP dan vitamin diberikan 20 ml Injeksikan secara intramuskular. Selain itu dilakukan juga
perbaikan manajemen dalam pemberian pakan. Setelah penanganan distokia, dilakukan
pengamatan terhadap perkembangan kondisi sapi selama 3 hari.
.

5.2 Saran
Sebaiknya lebih memperhatikan kondisi sapi dara (heifer) sebelum dikawinkan seperti
bobot badannya, perkembangan tubuh dan kesehatannya juga harus baik. Perbaikan
manajemen pemeliharan sapi perah yang bunting seperti tidak dikandangkan terus-menerus
perlu diperhatikan agar bisa melatih otot-ototnya tetap kuat untuk persiapan partus.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abera Dessie. 2017. Management of Dystocia Cases in the Cattle: A Review. Journal of
Reproduction and Infertility 8 (1): 01-09, 2017 Ethiopian Institute of Agricultural
Research, Assosa, Ethiopia
Achjadi, K. 2003. Penyakit Gangguan Metabolisme. Handout Kuliah. Bagian Reproduksi
dan Kebidanan. FKH-IPB
Anonim. 2002. Dystocia. http:// people. upei.ca/ lofstedt
/public/chromosome.puzzle/images%20for%20chromosomes/private/vhm321/cases/bo
vine.cases/bov.dystocia.MS.c.html dipublikasikan pada tanggal 7 April 2002.
Anonim. 2010. Calving School Handbook. Beef Cattle Sciences, Oregon State University.
Anonim. 2011. Healthy Heifer: Causes & Effects Of Dystocia.
http://www.cattlenetwork.com/recovered_articles/cn/healthy_heifer_causes__effects_o
f_dystocia_132082323.html. dipublikasikan pada tanggal 18 Oktober 2011
Anonim1. 2012. Colibact Bolus – Kemoteurapetika Bolus. http://duniahewan-
online.com/colibact-bolus-kemoteurapetika-bolus/ diposting pada tanggal 14 Agustus
2012.
Anonim2.2012. Dystocia. http://vetbook.org/wiki/cow/index.php?title=File:Dystocia01.jpg.
diposting pada tanggal 31 Agustus 2012.
Anonim. 2015. How to Deliver a Calf in an Abnormal Presentation/Posture. Veterinary
Disease Information Blog.
Anonim.2016. Breeds of Dairy Cattle. Dairy moos of a3 rd generation Ca dairy farmer.california
Anonim1. 2017. Alat-alat Peternakan dengan Prinsip Fisika Calf Puller.
https://www.scribd.com/document/343071384/calf-puller-docx. Diakses pada tanggal 26
maret 2017.
Anonim2.2017. Vink Stainless Steel Calf Puller. https://www.enasco.com/product/Z49003N.
Diakses pada tanggal 28 Oktober 2017.
Arnott, G., D. Roberts, S.P. Turner, A.B. Lawrence and K.M.D. Rutherford, 2014. The
Importance of the gestation period for welfare of calves:maternal stressors and
difficult births. American Society of Animal Science, 90: 5021-5034
ASOHI. 2013. Indeks obat indonesia. Ed.IX. Gita Pustaka. Indonesia.
Avet. 2014. Getting it right at calving. Irish Farmer Journal.
https://www.farmersjournal.ie/getting-it-right-at-calving-a-vets-perspective-153956.
diposting pada tanggal 30 Januari 2014
Blanchard et al. 2017. Reproduction: Dystocia. Three Hills Farm Bartlow Cambridge UK.
Bojrab, M.J., Waldron, D.R., dan Toombs, J.P. 2014. Current Techniques In Small Animal
Surgery 5th Edition. Tenton New Media, Jackson, WY, USA.

18
Cady, R.A. 2009. Dystocia—Difficult Calving, What It Costs and How to Avoid It.
www.wvu.edu/~agexten/forglvst/Dairy/dirm20.pdf. Diakses pada 15 Januari 2014.
Dasrul,Drh. 2014. Distokia. Bahan ajar Ilmu Kebidanan dan Kemajiran. Fakultas Kedokteran
Hewan. Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
Deutscher Gene H. And Donald B. Hudson.1988. Assisting the Beef Cow at Calving Time.
Historical Materials from University of Nebraska-Lincoln Extension. Paper 322.
Gilbert, Ekman T dan Esteras 0. 2002. Retained Fetal Placenta and Dry Cow Therapy. J. Vet
Mned (10-11): 277-282.
Hall, J.B., 2009. The cow-calf manager. Virgina Cooperative. Extention.
http://www.ext.vt.edu/news/.
Hilton W. Mark and Bethany J. Funnell,. 2016. Management and Prevantion of Dystocia.
Review Article. Veterinary Clinics of North America: Food Animal Practice, Volume
32, Issue 2, July 2016, Pages 511-522
Jackson PG, Cockroft PD. 2002. Clinical Examination of Farm Animals. University of Cambridge,
UK http://www.wanfangdata.com.cn/NSTLHY_NSTL_HY323912.aspx. [13 Agustus 2009].

Jackson PGG. 2004. Handbook of Veterinary Obstetric. Elseiver Saunders Company.


Jackson, P, G. 2013. Handbook Obstetrik Veteriner. Edisi ke-2. Diterjemahkan oleh Aris
Junaidi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Kementerian Pertanian Balai Besar Veteriner Lampung.2013. Calf Puller Sangat Membantu
Kelahiran pada Sapi. Artikel. http://bvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/calf-puller-
sangat-membantu-pertolongan-kelahiran-pada-sapi/ dipublikasikan pada tanggal 27
Oktober 2017.
Kumar, P., 2009. Applied Veterinary Gynacology and Obstetrics. 1sted. IBDC (International
book distributing co.), Pp. 132-140.
Lee Karen. 2016. How to Troubleshoot Difficult Calving.
https://www.progressivedairycanada.com/topics/herd-health/how-to-troubleshoot-
difficult-calvings. dipublikasiakn 29 Januari 2016
Manan D. 2002. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Aceh : Universitas Syah Kuala
Norman Scott. 2014. The Management Of Dystocia In Cattle. Senior Lecturer in Veterinary
Reproduction. Charles Sturt University Wagga Wagga.
https://www.researchgate.net/profile/Scott_Norman/publication/43460590_The_manag
ement_of_dystocia_in_cattle/links/02e7e53421e3c70a22000000/Themanagement-of-
dystocia-in-cattle.pdf. diunduh pada tanggal 18 September 2017.
Peters A.R. and P.J.H. Ball . 2004. Reproduction in Cattle. 3nd edition. published by
Blackwell Publishing Ltd, 9600 Garsington Road, Oxford OX4 2DQ, UK
Phillips, C.J.C., 2010. Principles of cattle production. 2nd ed. Cambridge: CABI., pp: 208-
209.
Purohit, G.N., Solanki, K., Shekhar, C., Yadav, S.P. 2012. Prespectives of Fetal Dystocia in
Cattle and Buffalo. Veterinary Science Development 2012; volume 2;e8

19
Pinterest. 2012. Dairy cow breeds. https://www.pinterest.com/explore/2012/2017/dairy-cow-
breeds diakses pada tanggal 17 Januari 2017.
Ratnawati, D. Pratiwi, W.C., dan Affandhy, L. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan
Reproduksi pada Sapi Potong. Grati (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan.
Roberts, S.J., 2004. Veterinary Obstetrics and genital diseases. 2nd ed. Satish Kumar Jain for
CBS publishers & distributors pvt. Ltd., pp: 237-274.
Rosenberger G. 1979. Clinical Examination of Cattle. Berlin & Hamburg: Verlag Paul
Parley.
Saber Walid. 2017. Dystocia in Cattle.Overview of the disease. Veterinary Medical
Encyclopedia. All Rights Reserved. http://www.veterpedia.net/diseases-of-the-
reproductive-system/1238 cattle/dystocia/overview-of-the-disease/1011-dystocia-in-
cattle-overview-of-the-disease.html. diakses pada tanggal 19 September 2017.
Santosa, U. 2003. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm
23
Setiyono PBWHE, Suryahadi T, Torahmat, dan Syarief R. 2007. Strategi suplementasi
protein ransum sapi potong berbasis jerami dan dedak padi. Jurnal Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi Peternakan 30(3): 207−217.
Toelihere, M.R. 2006. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Cetakan ke- 8.
Univesitas Indonesia Press. Bogor.
Wahab Mohamed. 2011. 5th Year Practical Revision Part 2 Fetal Presentation.Alexandria
University Faculty of Veterinary Medicine Theriogenology Departement.
http://www.slideshare.net/MohamedWahab2/5th-year-practical-revision-fetal
presentations. dipublikasikan pada tanggal 7 juni 2011.
Whittier, W.D., Currin, N.M., Currin, J., Hall, J.B. 2009. Calving emergencies in beef cattle:
identification and prevention. Virginia Cooperation Extension Publication. 400-018.
Youngquist, R.S. and W.R. Threlfall, 2007. Current Therapy in Large Animal
theriogenology.2nded. London: Saunders Elsevier, pp: 310-333.

20
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran Gambar Maldisposisi Fetus Penyebab Distokia

POSISI NORMAL

21
Presentasi : Posterior Longitudinal
Presentasi : Longitudinal anterior
Posisi : Dorso sacral
Posisi : Dorso sacral
Posture : Bilateral Hip Flexio
Posture : Head neck flexion
(Breech Presentation)
posture ventral

22
Posture: Bilateral Hip Flexio
(Breech Presentation)
Presentasi : Longitudinal anterior
Posisi : Dorso sacral
Postur : Head neck flexion posture
dorsal

Presentasi : Ventro transversal presentation


Posisi : Chepalo pubic
Postur : Dorso illiaca sinister/dexter

23
Lampiran Foto Penanganan Kasus

Penarikan fetus yang masih di dalam Penarikan fetus dengan perlahan-lahan


saluran kelahiran dengan mengikuti dimana kaki depan sudah keluar
perejanan dari induk

Penarikan fetus dengan perlahan-lahan dimana kepala dan kaki sudah keluar

24
Kondisi fetus yang sudah keluar Multivitamin dan ATP

Kalsium yang diberikan secara subkutan Air yang ditambahkan MPG sebagai asupan
energi induk pasca melahirkan

25

Anda mungkin juga menyukai