Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KEGIATAN KOASISTENSI MANDIRI (E3)

PENYAKIT DALAM HEWAN KECIL


02 Juli s/d 10 Agustus 2018
ASCITES DAN SUSPECT PARVOVIRUS

OLEH

YOHANES NAILETA KOLI, S.KH


NIM. 1309011040

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2018

1
LEMBAR PENGEESAHAN

LAPORAN KEGIATAN KOASISTENSI MANDIRI (E3)


PENYAKIT DALAM HEWAN KECIL
02 Juli s/d 10 Agustus 2018

Disiapkan dan disusun oleh :

YOHANES NAILETA KOLI, S.KH


NIM. 1309011040

Menyetujui,

Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2

drh. Tarsisius C. Tophianong, M.Sc (drh. Yohanes T.R.M.R.Simarmata, M.Sc)


NIP. 19830118 201012 001 NIP. 19800731 200801 1 008

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Dokter Hewan

(drh. Cynthia Dewi Gaina, M.Trop.V.Sc)


NIP. 19860605 200912 2 005

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberkati penulis dapat menyelesaikan Laporan Koasistensi Penyakit
Dalam Hewan Kecil (PDHK) karena merupakan salah satu bagian koasistensi
yang wajib ditempuh dalam Program Studi Pendidikan Profesi Dokter Hewan
(PPDH). Penyelesaian laporan Koasistensi Penyakit Dalam Hewan Kecil ini tidak
terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah memberikan masukan-masukan
kepada penulis. Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada :
1. Dosen pembimbing I (drh. Tarsisius C. Tophianong, M.Sc) dan pembimbing
II (drh. Yohanes TRMR Simarmata, M.Sc)
2. Teman-teman koasistensi E3 yang dengan setia bersama-sama saling
membantu selama Koasistensi Penyakit Dalam Hewan Kecil
3. Pihak Laboratorium Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur yang telah
membantu dalam pemeriksaan Laboratorium.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari laporan ini,
baik dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya
pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan.

Kupang, Agustus 2018

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Laboratorium Penyakit Dalam Hewan Kecil (PDHK) merupakan salah satu


bidang ilmu kedokteran hewan yang sangat penting pada Program Pendidikan
Profesi Dokter Hewan (PPDH) atau koasistensi Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Nusa Cendana yang merupakan kelanjutan dari Program Pendidikan
Sarjana Kedokteran Hewan. Tujuan mempelajari ilmu tersebut yaitu agar
mahasiswa mampu menyelesaikan kasus penyakit dalam hewan kecil dengan
memberikan kesimpulan atau dapat menarik diagnosa dari sebuah kasus
penyakit.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai seorang dokter hewan dalam
mendiagnosa sebuah penyakit mulai dari anamnesa yang diperoleh dari pemilik,
singnalemen, gejala klinis, melakukan pemeriksan fisik sampai pemeriksaan
laboratorium sehingga dapat ditarik sebuah diagnosa akhir yang tepat. Selain
mampu mendiagnosa penyakit hewan, mahasiswa dituntut untuk mampu
menjelaskan kepada pemilik hewan tentang penyakit yang sedang ditangani,
prognosa dan tindakan penanganan yang dilakukan.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka diwajibkan bagi mahasiswa PPDH
untuk mencari kasus penyakit hewan kecil untuk dapat mempelajari dan
melibatkan diri dalam kasus-kasus penyakit yang ditemukan dilapangan dengan
menghubungkan dasar ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan.

1.2. Gambaran Lokasi Pelaksanaan Koasistensi


Pada koasistensi Penyakit Dalam Hewan Kecil, mahsiswa dituntut untuk
memilki kompetensi dalam mendiagnosa serta dapat melakukan tindakan terapi
dan pengobatan terhadap penyakit pada hewan kecil. Kegiatan koasistensi

4
Penyakit Dalam Hewan Kecil dilakukan di Klinik Hewan Pendidikan Universitas
Nusa Cendana. Klinik ini merupakan klinik hewan pendidikan milik Fakultas
Kedokteran Hewan, UNDANA yang dikepalai oleh drh. Nemay. A.Ndaong, M.Sc.
Klinik Hewan Pendidikan ini sudah dilengkapi denngan peralatan dan
obat-obatan yang cukup memadai untuk dilakukan pelayanan medik veteriner
seperti pemeriksaan klinis, grooming, vaksinasi, pengobatan dan bahkan
tindakan pembedahan hewan kecil. Di klinik ini juga melayani house calling
untuk tindakan pelyanan pada hewan besar.

1.3. Tujuan
1. Agar mahasiswa dapat memahami dan menetapkan diagnosa serta
penanganan secara tepat terhadap penyakit yang ditemukan pada hewan
kecil.
2. Agar mahasiswa dapat memberikan informasi atau Clien Education
kepada pemilik hewan berkaitan dengan pencegahan penyakit pada
hewannya.

1.4. Manfaat
1. Mahasiswa dapat menetapkan diagnosa serta penanganan secara tepat
terhadap penyakit yang ditemukan pada hewan kecil.
2. Mahasiswa dapat memberikan informasi atau Clien Education kepada
pemilik hewan berkaitan dengan pencegahan penyakit pada hewannya.

5
BAB II

KASUS PENYAKIT

KASUS I

ASCITES

A. Ambulator
B. Data pemilik : C. Data Pasien :
1. Nama : Ibu Rose Macam hewan : Anjing
2. Alamat : Airnona, Kota Nama hewan : Duma
Kupang Sinyalemen :
3. No. Telp. : 082146449007  breed : Lokal
4. Dokter Hewan: Drh. Tarsius  Jenis kelamin : Betina
C. Tophianong, M.Sc  umur : 5 tahun
5. Mahasiswa koas :  Warna : Coklat
Yohanes N. Koli, S.KH  Berat badan : 15 kg
Status vaksinasi : belum pernah
vaksinasi
Tanggal pemeriksaan : 13 Juli 2018

Anamnesa
Kasus yang ditangani adalah seekor anjing jantan dengan total populasi
anjing yang dipelihara sebelumnya sebanyak 2 ekor. Dua bulan sebelumnya
anjing mengalami partus sebelum waktunya dan anaknya lahir mati dengan
total 4 ekor. Setelah itu kejadian tersebut, abdomen anjing tampak
membesar (distensi), anjing sempat beri penanganan dan diobati oleh dokter
hewan. Dokter hewan dan pemilik sendiri telah melakukan parasentesis
untuk mengeluarkan cairan abdomen. Tidak ada riwayat pemberian obat

6
anti cacing dan vaksinasi pada anjing. Anjing masih beraktifitas normal dan
nafsu makan pun masih normal.

Status Praesens
Keadaan umum Anjing mengalami kaheksia, BCS 1 (skala 1-5)
Frekuensi nafas 16 kali/menit
Pulsus 148 kali/menit
Temperatur 38 0C
Kulit dan Rambut kusam, tidak rontok, alopecia daerah scapula, lesi pada
rambut radius ulna, lesi pada daerah kaki belakang, adanya ektoparasit
Rhipicephalus sanguineus dan Stenocephalides felis
Selaput mukosa mukosa gusi pucat, cuping hidung kering, CRT 2 detik, selaput
conjungtiva mata pucat.
Kelenjar limfe Limfoglandula superficialis mandibularis bagian kiri lebih besar
dari bagian kanan
Pernapasan Tidak terdengar bunyi ngorok, inspirasi dalam
Peredaran Irama jantung tidak teratur, takikardia
darah
Pencernaan Distensi abdomen, palpasi ginjal – ureter, hewan kesakitan
Kelamin dan Mukosa vagina pucat
perkencingan
Anggota gerak Tremor hilang – timbul.

7
B. Gejala Klinis

a b

c d

Gambar 1. Gejala klinis spesifik Anjing Duma

Keterangan : a. distensi abdomen, BCS 1 b. lesi dan eritrema pada kaki


belakang c. mukosa gusi pucat d. alopecia dan lesi pada bagian scapula.

8
C. Pemeriksaan Laboratorium
USG

Gambar 2. Tampak daerah tanpa ekogenesitas/anechoic(panah biru) dan daerah


hipoechoic-hiperechoic (panah merah). Daerah anechoic menunjukkan
penumpukan cairan ascites yang sampai menyebabkan distensi
abdomen. Daerah hipoechoic-hiperechoic menunjukkan organ-organ
pencernaan yang terdesak oleh cairan ascites.

Cairan Ascites (Combur Test)


pH :8
Berat Jenis : 1,005
Leukosit :-
Nitrit :-
Protein : + 4 (5 gr/dL)
Keton :-
Urobilinogen :-
Bilirubin :-
Eritrosit : + 4 (250 sel/qL)
Hemoglobin :-

9
Hasil pemeriksaan dengan Combur Test menunjukkan cairan ascites bersifat
cairan transudat modifikasi ditunjukkan dari pH basa, berat jenis < 1.017-1.025,
dengan konsentrasi protein >2.5 gr/dl (Mondal et al., 2012). Transudat yang
dimodifikasi mencerminkan kebocoran vaskular transudatif dari vaskulatur
normal atau noninflamasi (peningkatan tekanan hidrostatik kapiler atau
obstruksi limfatik) (Wilard & Tvedten, 2012). Transudat modifikasi dapat terjadi
pada kondisi obstruksi vena hepatica, hipertensi portal intrahepatic dan
neoplasia (Mondal et al., 2012). Terdeteksinya eritrosit di dalam cairan ascites
menurut Mills (2012) adalah bervariasi.
Hematologi

Parameter Hasil Standar Keterangan


Leukosit 12,5 (103/µl) 4-15 (103/µl)
Diff. Count
- Neutrofil 7% (875 sel/µl) 3000 - 11.500 sel/µl Menurun
- Limfosit 91% (11,375 1000 - 5000 sel/µl Meningkat
- Eosinofil sel/µl) 100 - 1200 sel/µl Menurun
- Monosit 1% (12 sel/µl) 0 - 1200 sel/µl
- Basofil 1% (13 sel/µl) Jarang
0%
Eritrosit 3,6 (106/µl) 5,5 - 8,5 (106/µl) Menurun
Hemoglobin 7,8 gr/dl 11 - 19 gr/dl Menurun
HCT 24,2 % 39 - 56 % Menurun
MCV 67,6 fl 62 - 72 fl
MCH 21,6 Pg 20 - 25 Pg
MCHC 32,0 g/dl 30 - 38 g/dl
RDW 12,3 % 11 - 15,5 %
Trombosit (PLT) 136 (103/µl) 117 - 460 (103/µl)
MPV (Platelet) 6,1 fl 7 - 12 fl Menurun

10
Hasil pemeriksaan hematologi dari sampel darah anjing menunjukkan telah
terjadi penurunan jumlah neutrofil (neutropenia), penurunan jumlah eosinofil
(eosinopenia), peningkatan jumlah limfosit (limfositosis), penurunan jumlah
eritrosit, hemoglobin dan hematocrit (anemia) dan juga penurunan jumlah
platelet (trombositopenia). Penurunan jumlah neutrophil dapat dihasilkan dari
penurunan (atau gangguan) produksi sel dalam sumsum tulang atau dari
peningkatan marginasi atau penghancuran sirkulasi neutrofil. Neutropenia
relatif umum pada kucing dan anjing (Nelson & Couto, 2014). Pada anjing dan
kucing dievaluasi di rumah sakit pendidikan (Brown dan Rogers, 2001),
penyakit infeksi (virus leukemia kucing, virus immunodeficiency kucing,
parvovirus) adalah kondisi ko-morbid yang paling umum, terhitung hampir 52%
dari kasus neutropenia. Sepsis atau endotoksemia menyumbang 11% dari kasus,
seperti yang dilakukan neutropenia terkait obat (misal, Kemoterapi,
fenobarbital, antibakteri).
Eosinopenia didefinisikan sebagai penurunan absolut dalam jumlah eosinofil
yang bersirkulasi. Hal ini umumnya dilihat sebagai bagian dari stress leukogram
atau dengan pemberian kortikosteroid eksogen dan biasanya memiliki relevansi
klinis yang kecil (Nelson & Couto, 2014).
Penyakit infeksi kronis sering terjadi sebagai diferensial untuk limfositosis di
anjing. Selain itu, limfositosis telah dikaitkan dengan hypoadrenocorticism pada
anjing dan kucing. Studi bervariasi pada kejadian limfositosis pada anjing
dengan penyakit Addison, mulai dari 5% hingga 10% pasien, dengan jumlah
limfosit tertinggi tercatat menjadi 13.000 sel / lL (Avery & Avery, 2007).
Penurunan jumlah eritrosit, hemoglobin dan hematocrit menunjukkan anjing
mengalami anemia, dengan nilai MCV, MCH dan MCHC normal mengindikasikan
anemia normositik normokromik. Normositik normokromik anemia terlihat
pada anemia nonregeneratif dengan pelepasan sumsum tulang tidak ada atau
sedikit retikulosit makrositik. Kebanyakan sel darah merah dalam darah adalah
normocytic normochromic RBC yang tersisa dari produksi sebelumnya. Anemia

11
yang disebabkan oleh perdarahan atau hemolisis yang merupakan onset baru
(misalnya, 1 sampai 2 hari) mencegah respon sumsum tulang diklasifikasikan
sebagai pra-regeneratif (Wilard & Tvedten, 2012).
Trombositopenia dapat disebabkan oleh kerusakan perifer trombosit, terjadi
akibat mekanisme yang dimediasi kekebalan, terkait dengan obat, dan infeksi;
peningkatan konsumsi trombosit terjadi paling sering pada anjing dan kucing
dengan DIC (Disseminated intravascular coagulation), dan biasanya disebabkan
oleh splenomegaly dan/atau hepatomegali (Nelson & Couto, 2014).

Biokimia Darah

Parameter Hasil Standar Keterangan


Fungsi Hati
SGOT 36 U/L 8,9 - 48,5 U/L
SGPT 75 U/L 8,2 - 57,3 U/L Meningkat
Total Protein 6,03 g/dl 6 - 8 g/dl
Albumin 1,71 g/dl 2,7 - 4,4 g/dl Menurun
FUNGSI GINJAL
Ureum 54 mg/dl 6 - 25 mg/dl Meningkat
Kreatinin 0,6 mg/dl 1,0 - 2,0 Menurun
mg/dl

Hasil pemeriksaan biokimia darah menunjukkan terjadi peningkatan SGPT


dan penurunan Albumin serta terjadi peningkatan ureum dan penurunan
kreatinin. Alanin tranferase (ALT/SGPT) terdapat dalam jumlah besar dalam
sitoplasma hepatosit anjing. Enzim masuk ke dalam darah ketika sel hati
mengalami kerusakan dan bersirkulasi selama beberapa hari (Sodikoff, 2001).
Sedangkan albumin adalah protein serum yang berefek pada tekanan osmotic,
ikatan kalsium dan transport asam lemak dan jenis obat-obatan. Hewan
kelaparan, terkena infestasi parasite, penyakit malabsorbsi kronik, penyakit

12
hepar kronik, dan glomerulonephritis menurunkan level serum albumin
(Sodikoff, 2001).
Peningkatan level produk buangan nitrogen dalam darah disebut azotemia.
Meningkatnya ureum karena penyebab prerenal, renal atau posrenal. Penyakit
jantung, hipoadrenalkortisisme, dehidrasi menjadi penyebab prerenal. Obstruksi
uretra, ruptur katung kemih menjadi penyebab umum posrenal. Penyakit renal
glomerular, tubular atau interstisial meningkatkan level ureum dan
mengindikasikan bahwa 70% dari nefron sudah tidak berfungsi (Sodikoff,
2001). Kreatinin adalah produk nitrogen nonprotein hasil metabolism otot.
Penurunan kreatinin serum merupakan hasil dari kehilangan otot yang
signifikan pada anjing (Wilard & Tvedten, 2012).

D. Diagnosa, Differensial Diagnosa, Prognosa

Diagnosa
Berdasarkan hasil anmnesa, gejala klinis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium maka anjing tersebut didiagnosa ascites yang
disebabkan oleh kerusakan pada hepar (sirosis).

Diagnosa banding
hipertensi portal, hipoalbuminemia, retensi ginjal natrium, gagal
jantung kongestif, malnutrisi (Saravanan et al., 2013).
Prognosa : Infausta

E. Tindakan Pengobatan dan Terapi


a. R/ Furosemide 40 mg tab. No. VIII
s.b.d.d. ¾ tab.
b. Paracentesis
c. Diet : makanan rendah sodium/ garam, makanan tinggi protein.

13
F. Pembahasan
Asites adalah salah satu masalah klinis yang paling sering ditemukan pada
anjing. Ini mengacu pada akumulasi transudat di dalam rongga peritoneum.
Kondisi ini dapat terjadi pada hipertensi portal, hipoalbuminemia dan retensi
ginjal natrium dan air. Asites juga telah dikaitkan dengan kondisi seperti gagal
hati kronis, gagal jantung kongestif, malnutrisi dan ancylostomiasis (Saravanan
et al., 2013).
Peden & Zenoble (1982) menyatakan bahwa pemeriksaan fisik menunjukkan
hewan sering datang dengan keluhan pembesaran/distensi perut dengan
penyebab distensi (gas, cair, organomegali) harus ditentukan. Distensi cairan
dapat terjadi dalam saluran pencernaan atau organ berongga. Palpasi digunakan
untuk mendeteksi obstruksi yang teraba seperti intususepsi. Namun, volume
cairan yang besar dapat membatasi pemeriksaan fisik yang baik.
Pemeriksaan dengan perhatian khusus diberikan untuk auskultasi jantung
karena penyakit jantung merupakan penyebab utama asites. Murmur mungkin
menunjukkan sejumlah masalah dan lokasi murmur mungkin merupakan
petunjuk untuk masalah tertentu. Murmur di sisi kanan, ruang interkostal ketiga
hingga kelima dapat menunjukkan insufisiensi trikuspid karena kardiomiopati
atau fibrosis katup. Pada gagal jantung kongestif, insufisiensi mitral dan
trikuspid dapat diamati (Peden & Zenoble, 1982).
Tingkat protein harus ditentukan dan pemeriksaan spesifik untuk tingkat
albumin harus dilakukan. Hipoalbuminemia jarang merupakan penyebab utama
asites tetapi pasti berkontribusi terhadap kelanjutan masalah. Agar
hipoalbuminemia menyebabkan ascites, kadar albumin harus kurang dari 1,5 g /
dl. Penurunan sintesis hati akan berkontribusi pada hipoalbuminemia tetapi
penyebab yang lebih mungkin adalah perluasan volume plasma dan dilusi
albumin berikutnya (Duncan & Prasse, 1977).
Analisis biokimia serum secara umum terutama ditujukan untuk
menentukan status hati dengan 1) mengukur zat yang diekskresikan atau

14
diproduksi di hati yang normal, 2) mengukur enzim yang berhubungan dengan
fungsi hati yang abnormal, dan 3) mengukur tingkat penghilangan dari pewarna
tertentu (Tennant & Hornbuckle, 1980). Serum glutamic-piruvat transaminase
(SGPT) dan serum glutamic-oxalacetic transaminase (SGOT) adalah enzim
kebocoran yang menunjukkan kerusakan hepatoseluler. SGPT adalah satu-
satunya enzim spesifik untuk kerusakan hati. Sejumlah faktor dapat
menyebabkan kebocoran hepatoseluler termasuk hipoksia, racun, obat-obatan,
hepatitis, perubahan lemak dan degenerasi karena gangguan metabolisme. Lesi
yang menyertai kebocoran enzim dapat berupa perubahan lemak, nekrosis
hepatoselular, fibrosis, atau lesi biokimia. Tingkat signifikansi untuk enzim ini
dapat ditemukan di sebagian besar referensi patologi klinis. Penting untuk
diingat bahwa besarnya peningkatan kadar enzim sebanding dengan kerusakan,
tetapi tidak ada evaluasi terhadap reversibilitas kerusakan yang dapat dibuat
dari tingkat ini. Kegigihan tingkat tinggi dari enzim-enzim ini adalah tanda
prognostik yang buruk, karena waktu paruh adalah 2-4 hari, dan tingkat tinggi
yang persisten berarti kerusakan berkelanjutan. Enzim lain yang dapat
digunakan untuk mendeteksi penyakit hepatoseluler termasuk dehidrogenase
isocitrate, glutamat dehidrogenase, dan arginase (Duncan & Prasse, 1977).
Paracentesis perut dicapai dengan memajukan jarum ke daerah yang paling
terjumbai dari perut sambil mempertahankan sedikit tekanan negatif di jarum
suntik. Ini memastikan bahwa cairan akan ditarik segera setelah jarum
memasuki rongga peritoneum. Kebanyakan cairan ascitic adalah transudate
yang dimodifikasi dengan tingkat protein 2,5-5,0 g / dl. Transudat yang
dimodifikasi terlihat pada banyak penyakit seperti gagal jantung kongestif,
obstruksi vena portal, sirosis, hepatoma, dan neoplasia perut (Scott et al., 1974).
Asites karena masalah jantung disebabkan oleh gagal jantung yang mengarah
ke meningkatnya aliran darah splanchnic dan kemacetan. Penyakit hati dan
fibrosis juga mengarah pada pengumpulan darah splanchnic. Kedua masalah ini
menyebabkan hipertensi portal. Dalam asites- karena hipertensi portal ada

15
gangguan metabolisme cairan dan elektrolit hewan. Dengan protein plasma
hipertensi portal mudah melarikan diri dari kapiler sinusoidal ke ruang
interstisial Disse. Dari sana hanya kapsul hati memisahkan protein dari ruang
perut. Tekanan hidrostatik yang meningkat menyebabkan pergerakan sejumlah
besar cairan dan protein ke dalam rongga perut. Limfatik peritoneum tidak
dapat mengembalikan volume cairan ke sirkulasi normal. Hilangnya cairan ke
dalam rongga perut mengarah ke penurunan volume plasma efektif dan output
jantung. Hal ini menyebabkan penurunan filtrasi glomerulus, yang mengarah
pada pelepasan renin dan konversi angiotensinogen menjadi angiotensin II, dan
sekresi aldosteron oleh kelenjar adrenal. Ginjal menghemat lebih banyak
natrium dan air untuk mencoba dan meningkatkan volume plasma efektif dan
meningkatkan volume plasma total. Hanya 20% dari darah berada di sisi arteri
tekanan tinggi dari sirkulasi dan sebagian besar mekanisme beroperasi pada sisi
tekanan rendah. Peningkatan volume total belum tentu meningkatkan volume
plasma efektif dan mengembalikan sisi arteri ke fungsi normal. Seekor hewan
dengan ascites memiliki sistem peredaran darahnya bekerja dengan kompensasi
maksimum dan setiap gangguan cairan atau elektrolit dapat menyebabkan
kegagalan sirkulasi atau kolaps (Strombeck, 1979).
Asites menjadi komplikasi paling umum dari sirosis dengan hipertensi
portal. Produksi asites terkait dengan ekskresi natrium ginjal yang tidak
adekuat, yang menghasilkan keseimbangan natrium yang positif. Sebuah temuan
khas pada pasien dengan sirosis dan dekompensasi portal adalah vasodilatasi
splanknikus arteri, yang menghasilkan peningkatan aliran darah mesenterika.
Vasodilatasi splanknikus arteri menyebabkan penurunan volume darah yang
efektif, mengaktifkan baro dan reseptor volume, sistem saraf simpatetik, dan
sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan memicu pelepasan vasopresin
nonosmotik. Peningkatan aktivitas saraf simpatik ginjal menyebabkan
peningkatan retensi natrium tubulus dan keseimbangan natrium positif.
Aktivitas saraf simpatik ginjal lebih lanjut ditingkatkan oleh aktivasi refleks

16
hepatorenal sekunder untuk peningkatan tekanan sinusoidal dan / atau
penurunan aliran darah sinusoidal. Peningkatan vasodilatasi di area splanknik
dinetralkan oleh peningkatan aliran darah total, mempertahankan tekanan
darah normal dan aliran darah yang cukup ke semua organ. Namun, vasodilatasi
splanknikus lebih lanjut meningkatkan aktivasi sistem vasokonstriktor dan
menyebabkan underfilling sentral, yang tidak dapat cukup dinetralkan dengan
meningkatkan cardiac output. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah ke
ginjal dan gagal prerenal (Lenz et al., 2015).
Perawatan asites akan tergantung pada penyebab yang mendasari. Jika gagal
jantung adalah penyebab utama pengobatan standar diuretik dapat membantu
menyelesaikan asites ketika fungsi jantung membaik. Paracentesis dan
pengeluaran cairan mungkin bermanfaat, tetapi terjadi hilangnya protein dalam
cairan. Penghilangan sejumlah besar cairan secara tiba-tiba dapat
mengkompromikan hewan. Asites asal hepar membutuhkan diagnosis dan
pengobatan yang paling pasti agar dapat diselesaikan secara adekuat. Jika
hepatitis kronis aktif didiagnosis, pengobatan dilakukan untuk menghilangkan
peradangan, memperbaiki gangguan nutrisi, menyelesaikan fibrosis dan
komplikasi. Asites sendiri biasanya dikelola dengan diuretik dan diet rendah
sodium. Loop diuretik seperti furosemide adalah pilihan diuretik kecuali sudah
ada ketidakseimbangan elektrolit (Peden & Zenoble, 1982).

Terapi:
a. R/ Furosemide 40 mg tab. No. VIII
s.b.d.d. ¾ tab.
Merupakan golongan diuretik umum digunakan di banyak spesies untuk
pengobatan kardiomiopati kongestif, edema paru, edema ambing, nefropati
hypercalcuric, uremia, sebagai terapi tambahan pada hiperkalemia & kadang-
kadang, sebagai antihipertensi agen. Kontraindikasi terjadi pada pasien dengan
anuria, hipersensitivitas, atau dehidrasi elektrolit derajat berat.

17
Furosemide digunakan untuk aktivitas diuretik dalam semua spesies. Hal ini
digunakan pada hewan kecil untuk pengobatan kardiomiopati kongestif, edema
paru, nefropati hypercalcuric, uremia, sebagai terapi tambahan pada
hiperkalemia dan sesekali, sebagai agen antihipertensi.
Furosemide mengurangi penyerapan elektrolit pada bagian menaik lengkung
Henle, menurunkan reabsorpsi sodium dan klorida dan meningkatkan ekskresi
kalium di tubulus ginjal distal, dan langsung transportasi elektrolit efek dalam
tubulus proksimal. Furosemide meningkatkan ekskresi ginjal air, natrium,
kalium, klorida, kalsium, magnesium, hidrogen, amonium, dan bikarbonat. Pada
anjing, ekskresi kalium dipengaruhi lebih sedikit dibandingkan adalah natrium,
hiponatremia mungkin lebih menjadi perhatian daripada hipokalemia. Hal ini
menyebabkan beberapa dilatasi vena pada ginjal dan meningkatkan tingkat
filtrasi glomerulus (GFR). Aliran darah ginjal meningkat dan penurunan
resistensi perifer dapat terjadi. Sementara furosemide meningkatkan sekresi
renin, karena dampaknya pada nefron, kenaikan natrium dan retensi air tidak
terjadi.
Furosemide diserap 60-75% setelah pemberian oral. Efek puncak terjadi
sekitar 1-2 jam setelah dosis oral. Obat ini sekitar 95% terikat pada protein
plasma pada pasien azotemic dan normal. Serum paruh adalah sekitar 2 jam,
tetapi berkepanjangan pada pasien dengan gagal ginjal, uremia, CHF, dan pada
neonatus. Pada anjing dan kucing sebagai diuretik umum: 2,5-5 mg / kg (dosis
yang lebih rendah disarankan untuk kucing) sekali atau dua kali sehari pada
interval 6-8 jam PO, IV atau IM.
Efek samping furosemid yang sering terjadi adalah hipokalemia. Pada sirosis
hati, hipokalemia dapat menyebabkan ensefalopati hepatik. Penggunaan diuretik
juga dapat menyebabkan hiponatremia yang meningkatkan resiko terjadinya
sindrom hepatorenal (Rosner et al., 2006).

18
b. Parasentesis
Parasentesis awal volume-besar dengan cepat memulihkan asites masif. Suatu
penelitian prospektif telah memperlihatkan bahwa parasentesis tunggal 5-L
dapat dilakukan dengan aman tanpa infus koloid post-parasentesis pada pasien
penderita asites masif yang resisten terhadap diuretika (Peltekian et al., 1997).
Namun, parasentesis volume-besar tidak memperbaiki retensi sodium sebagai
masalah yang mendasari pembentukan asites. Parasentesis volume-besar dapat
mengeluarkan cairan secara lebih cepat (beberapa menit) dibandingkan dengan
diuresis (beberapa hari sampai beberapa minggu). Parasentesis tunggal volume-
besar yang diikuti dengan diet dan terapi diuretika merupakan pengobatan yang
tepat untuk penderita asites masif (Gines et al., 1987).

c. Diet : makanan rendah sodium/ garam, makanan tinggi protein.


Energi yang cukup harus dimasukkan untuk meminimalkan katabolisme
protein. Telur, susu, daging tanpa lemak, glukosa, dan vitamin B kompleks
adalah contoh makanan berkualitas tinggi untuk dimasukkan dalam diet ascites
(Peden & Zenoble, 1982).

G. Monitoring

Anjing Duma telah diperiksa di klinik hewan Undana, didiagnosa, dilakukan


pengobatan dan dimonitoring perkembangannya sudah berjalan selama 13 hari
dimulai sejak hari jumat (13 Juli 2018) sampai dengan rabu (25 Juli 2018).
Pasien anjing Duma diberikan furosemide selama 2 hari (sabtu dan minggu 21-
22 Juli 2018) dan tidak ada perkembangan, selain itu diketahui dari pemilik
bahwa mereka sebelumnya juga telah memberikan pengobatan yang sama
dilakukan bersama dokter hewan, dimana mereka telah memberikan pada
pasien, furosemide sebanyak 1 strip (isi 10 tablet) namun tidak ada perubahan.
Kemudian pada hari selasa 24 Juli 2018 dilakukan parasentesis untuk
mengeluarkan cairan ascites. Sebelum dilakukan parasentesis anjing Duma

19
terlihat kesulitan berjalan, terlihat sering duduk dan berbaring akibat distensi
abdomennya. Pengamatan pada hari rabu 25 Juli 2018 menunjukkan abdomen
kembali terisi cairan dan abdomen kembali distensi, tidak ada perubahan pada
kasus.

Tanggal 23 Juli 2018 Tanggal 24 Juli 2018


Hewan tampak lesu, mengalami Dilakukan paracentesis pada anjing
kaheksia, abdomen membesar dan
Duma
distensi, sulit bergerak

Kondisi anjing Duma setelah Tanggal 25 Juli 2018


dilakukan paracentesis Abdomen anjing kembali terisi cairan
dan berdistensi

H. Client Education
a. Client education kepada klien selaku pemilik hewan agar terus memberikan
asupan makanan bernutrisi dan tinggi protein serta rendah garam. Selain itu
tetap memberikan suplemen makanan contohnya Apialis Sirup untuk tetap
menjaga kondisi kesehatan anjing Duma.

20
b. Jika ada hewan peliharaan misalnya anjing sudah menunjukkan gejala sakit
misalnya lemas dan tidak nafsu makan sebaiknya segera menghubungi
dokter hewan untuk dilakukan segera dilakukan pengobatan.

I. Kesimpulan

Berdasarkan hasil anamnesa pemilik, gejala klinis yang ditunjukkan oleh


anjing Duma dan pemeriksaan fisik yang dilakukan serta diagnose laboratorium,
maka diduga anjing Duma mengalami ascites. Setelah dilakukan terapi
pemberian furosemide dan paracentesis, kondisi hewan tidak mengalami
perubahan, dan tetap terjadi ascites.

J. Saran

Disarankan agar tetap memperhatikan kondisi hewannya, mencukupi


kebutuhan nutrisi dan memberikan perawatan yang baik pada hewan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Avery, A. C. & Avery, P. R. 2007. Determining the Significance of Persistent


Lymphocytosis. Vet Clin Small Anim 37 (2007) 267–282

Brown, M.R., & Rogers, K.S. 2001. Neutropenia in dogs and cats: a retrospective
study of 261 cases, J Am Anim Hosp Assoc 37:131

Duncan, J.R. & Prasse, K.W. 1997. Veterinary Laboratory Medicine Clinical
Pathology, ISU Press, Ames, IA.

Gines, P., Arroyo, V., Quintero E, Planas R, Bory F, Cabrera J, et al. 1987.
Comparison of paracentesis and diuretics in the treatment of cirrhotics with
tense ascites. Results of a randomized study. Gastroenterology. 1987
Aug;93(2):234-41.

Honse, C. O., fabiano, B., Alencar, N.,Madeira, M. F., Gremião, I,1 and Schubach.
2013 Disseminated intravascular coagulation in a dog naturally infected by
Leishmania (Leishmania) chagasi from Rio de Janeiro – Brazil. BMC Vet Res.
2013; 9: 43.

Lenz , K., Buder, R., Kapun, L. and Voglmayr, M. 2015. Treatment and
management of ascites and hepatorenal syndrome: an update. Ther Adv
Gastroenterol 2015, Vol. 8(2) 83–100

Mills, J. N. 2012. A REVIEW OF DIAGNOSTIC CYTOLOGY & BODY CAVITY FLUIDS.


Murdoch University, Murdoch, WA

Mondal, D.B., Kumar, M., Saravanan, M., Sharma, K. 2012. Peritoneal Fluid
Analysis in Canine Disease Diagnosis. Journal of Advanced Veterinary
Research Volume 2 (2012) 307-313

Nelson, R. W. & Couto, C. G. 2014. SMALL ANIMAL INTERNAL MEDICINE, FIFTH


EDITION. Mosby, Inc.,St. Louis, Missouri

Peden, W. M & Zenoble, R. D. 1982 "Canine Ascites," Iowa State University


Veterinarian: Vol. 44 : Iss. 1 , Article 3.

Peltekian, K.M, Wong F, Liu PP, Logan AG, Sherman M, Blendis, L. M. 1997.
Cardiovascular, renal, and neurohumoral responses to single large-volume
paracentesis in patients with cirrhosis and diuretic-resistant ascites. Am J
Gastroenterol. 1997 Mar;92(3):394-9.

Rosner, M.H., Gupta, R., Ellison D, Okusa, M.D. 2006. Management of cirrhotic
ascites: Physiological basis of diuretic action. Eur J Intern Med. 2006;17(1):8-
19. doi:10.1016/j.ejim.2005.08.003.

22
Saravanan, M., Sarma, K., Kumar, M., Mahendran, K., dan Mondal, D. B. 2013.
Therapeutic Management of Ascites in Dogs. Indian Vet. J., February 2013, 90
(2) : 110 – 111

Scott, R.C., Wilkins, R.J. and Green, R.W. 1974. Abdominal Paracentesis and
Cystocentesis, Veterinary Clinics of North America, 4:423-417.

Sodikoff, C. H. 2001. Laboratory Profiles Of Small Animal Diseases Third Edition.


Mosby, Inc. St. Louis, Missiouri, USA

Strombeck, D.K. 1979. Introduction to Diseases of the Liver, In: Small Animal
Gastroenterology, Stonegate Publishing, Davis, CA.

Tennant, B.C., & Hornbuckle, W.E. 1980. Diseases of the Liver, In: Veterinary
Gastroenterology, Anderson NV: Lea and Febiger, Philadelpha, PA. 1980.

Wilard, M. D. & Tvedten, H. 2012. SMALL ANIMAL CLINICAL DIAGNOSIS BY


LABORATORY METHODS, FIFTH EDITION. St. Louis, Missouri. USA

23
Kasus 2

Suspect Parvovirus

D. Ambulator

E. Data pemilik : F. Data Pasien :

6. Nama : Bpk. Kosmas Koli Macam hewan : Anjing

7. Alamat : Jl. Thambrin, Nama hewan : Manis

Kupang Sinyalemen :

8. No. Telp. : 082339120203  breed : Lokal

9. Dokter Hewan: Drh. Tarsius  Jenis kelamin : Betina

C. Tophianong, M.Sc  umur : 2 bulan

10. Mahasiswa koas :  Warna : Hitam - putih

Yohanes N. Koli, S.KH  Berat badan : 1,5 kg

Status vaksinasi : belum pernah

vaksinasi

Tanggal pemeriksaan : 4 Agustus 2018

Anamnesa

Kasus yang ditangani adalah seekor anjing betina, dengan riwayat

pemberian obat antihelmintik, dengan keluhan anoreksia selama 2 hari,

lemas, muntah cairan berbuih, dalam populasi terdapat anjing yang

24
seumuran dengan pasien yang telah mati, sebelumnya sakit dengan gejala

muntah dan diare berdarah.

Status Praesens

Keadaan umum Lemas, anoreksia, BCS 2 (skala 1-5)

Frekuensi nafas 48 kali/menit

Pulsus 152 kali/menit

Temperatur 37,9 0C

Kulit dan Rambut kusam, tidak rontok, turgor >4 detik

rambut

Selaput mukosa mukosa gusi pucat, cuping hidung kering, CRT 2 detik, selaput

conjungtiva mata pucat.

Kelenjar limfe Limfoglandula superficialis mandibularis simetris

Pernapasan thoracoabdominal

Peredaran sistol diastole dapat dibedakan

darah

Pencernaan muntah cairan berbuih, frekuensi muntah sering, bau khas

Kelamin dan baik

perkencingan

Anggota gerak pasien diam dan pasif, tidak bergerak, mengalami kelemahan

25
K. Gejala Klinis

a b

Gambar 1. Gejala klinis spesifik Anjing Manis

Keterangan : a. anjing lemas b. muntah cairan, c. diare encer dan berwarna

kuning kecoklatan

L. Pemeriksaan Laboratorium

Hematologi darah :-

Pemeriksaan feses :-

26
Pemeriksaan kulit :-

M. Diagnosa, Differensial Diagnosa, Prognosa

Diagnosa : Suspect Canine Parvovirus (CPV)

Diagnosa banding : Gambaran klinis kasus CPV sering dikelirukan

dengan penyakit lainnya seperti Canine Distemper, infeksi bakteri penyebab

enteritis, infeksi parasit cacing, coccidiosis, atau pankreatitis akut

(Carmichael,1980).

Prognosa : fausta

N. Tindakan Pengobatan dan Terapi :

a. R/ Ringer Laktat Sol. 500 ml No. II

s.i.m.m

b. R/ Biodine inj. 2 ml fls. No. I

S.i.m.m

c. R/ Penstrep LA inj. 0,15 ml fls. No. I

S.i.m.m

d. R/ Guanistrep syr. 60 ml Fls. No. I

s.q.d.d. c. orig II a.c

e. R/ Ranitidine 25 mg/ml vial No. I

27
s.i.m.m.

f. Pemberian pakan lembut (bubur SUN) dalam jumlah kecil.

O. Pembahasan

Berdasarkan hasil anamnesa pemilik, gejala klinis yang ditunjukkan yaitu

hewan tampak lesu, dan mengalami muntah dan diare berdarah, diagnosa yang

dapat diberikan yaitu anak anjing tersebut juga menderita penyakit parvovirus.

Canine parvovirus merupakan penyakit infeksius yang cukup berbahaya dan

sangat menular pada anjing. Canine parvovirus sering menginfeksi pada anjing

muda, dikarenakan anjing muda hanya mengadalkan maternal antibodi yang

tidak mencukupi untuk melawan infeksi parvovirus, dan CPV-2 merupakan virus

yang berkembang biak pada sel yang aktif mengalami pembelahan.

Infeksi Canine Parvovirus (CPV), disebabkan oleh virus canine parvovirus

(CPV). Virus ini termasuk dalam famili Parvoviridae (Matthews, 1979). Diameter

virus CPV berkisar 20 nm, termasuk virus single stranded DNA, dan virionnya

berbentuk partikel ikosahedral serta tidak beramplop, dan perkembangbiakan

virus ini sangat tergantung pada sel inang yang sedang aktif membelah (Mc.

Carthy, 1980).

Taksonomi CPV berdasarkan International Committee on Taxonomy of

Viruses (ICTV) pada tahun 2009 adalah Famili: Parvoviridae; Subfamili:

Parvovirinae; Genus: Parvovirus; Spesies: Canine Parvovirus.

28
Gambar 7. Canine Parvovirus (Brooks, 2001).

Virus ini dapat bertahan di lingkungan selama 6 bulan karena sulit untuk

membunuh virus dari tanah yang sudah terkontaminasi tanpa membunuh

semua vegetasi yang ada (Legendre, 2005). Virus akan lebih tahan lama di

lingkungan pada musim dingin dan sudah resisten terhadap desinfektan (Côté,

2011). Ada dua tipe dari Parvovirus yang menginfeksi anjing, yaitu Canine

Parvovirus-1 (CPV-1) dan Canine Parvovirus-2 (CPV-2). Canine Parvovirus-1

dikenal sebagai “minute virus of canine”, yang bersifat nonpatogen namun

terkadang dapat menyebabkan penyakit pada anak anjing (Nelson & Couto,

1998). Canine Parvovirus-2 menyebabkan gastroenteritis hemoragi yang

parah pada anjing karena hanya bereplikasi pada anjing.

Selama beberapa tahun, CPV-2 menunjukkan laju mutasi yang tinggi sehingga

muncul varian CPV-2a dan CPV-2b serta dapat memperluas range inangnya

ke kucing (Battilani et al.,2007). Anjing ras Doberman Pinschers, Rottweilers,

Labrador Retrievers, American Ctaffordshire Terriers, German Shepherd, dan

29
Alaskan Malamute lebih rentan terinfeksi CPV dan menunjukkan gejala yang

lebih parah daripada ras lainnya (Legendre, 2005; Steiner, 2008). Sedangkan ras

Toy Poodle dan Cocker Spaniels lebih tahan terhadap infeksi CPV (Côté,

2011). Faktor resiko terinfeksi Parvo menurut Tilley & Smith (1997) adalah

anjing di bawah umur 3 bulan, copatogen (parasit, virus, dan bakteri), CPV-2 yang

diikuti Canine coronavirus, dan kepadatan serta sanitasi yang buruk sehingga

menurunkan keberhasilan vaksinasi.

Canine Parvovirus adalah virus yang mudah menyebar yang menyebabkan

gastroenteritis dan miokarditis pada anjing. Karakteristik infeksinya bersifat

akut sehingga gejala akan muncul dalam waktu yang singkat setelah virus masuk

(Zeng et al.,2008). Virus ini umum ditemukan di lingkungan sehingga sebagian

besar anjing dewasa sudah memperoleh kekebalan melalui vaksinasi atau

infeksi sebelumnya. Infeksi pada anjing melalui jaringan limfoid oronasal dan

menebar melalui sistem limfoid ke organ lainnya yang pembelahan selnya cepat,

seperti kripta epitel usus dan sumsum tulang (Steiner, 2008). Kerusakan

jaringan pada usus menyebabkan hilangnya cairan tubuh serta kerusakan sel

epitel usus memungkinkan bakteri masuk ke tubuh melalui aliran darah

(Legendre, 2005). Kerusakan struktur permukaan mukosa usus akan

berdampak pada penurunan laju absorpsi yang akan menuju pada disfungsi usus

(Steiner, 2008).

30
Virus ini dapat menyebabkan kerusakan pada sumsum tulang,

leukopenia, neutropenia, dan limfopenia. Virus memiliki daya tarik terhadap

sel yang aktif bermitosis walaupun belum diketahui secara pasti bahwa

replikasi virus sebagai penyebab reduksi dan membunuh sel-sel sumsum tulang

atau efek lainnya (Weiss & Wardrop, 2010). Disfungsi kekebalan tubuh sebagai

dampak rusaknya sumsum tulang dan sel darah putih dapat menyebabkan

kematian selain akibat gejala klinis yang timbul (Legendre, 2005).

Parvo yang menginfeksi saluran pencernaan menyebabkan muntah, diare,

demam, dan penurunan kemampuan untuk melawan infeksi terutama pada

anak anjing yang terinfeksi parah. Anak anjing umumnya terinfeksi akibat

tanah yang terkontaminasi CPV dan gejala akan terlihat antara 4 hingga 14 hari

dari terinfeksi. Gejala yang paling awal terlihat adalah depresi, menurunnya

nafsu makan, dan demam lalu diikuti dengan muntah dan diare berdarah pada 1

atau 2 hari kemudian (Legendre, 2005). Darah yang terdapat pada feses

seringkali berwarna gelap atau melena. Gejala demam berhubungan erat

dengan infeksi sekunder bakteri sebagai akibat terjadinya leukopenia dan

menurunnya pertahanan usus (Steiner, 2008).

Semua gejala yang timbul akan cepat menyebabkan dehidrasi dan kematian

pada infeksi yang parah. Anak anjing umur 6 hingga 8 minggu memiliki

tingkat mortalitas yang tinggi jika dibandingkan dengan anjing dewasa

karena tingkat kekebalannya berbeda (Legendre, 2005). Miokarditis dapat

31
teramati pada anak anjing yang sudah terinfeksi selama di dalam uterus induk

hingga 8 minggu setelah lahir (Steiner, 2008).

Anamnesa pemilik, sejarah penyakit, gejala klinis yang teramati, dan

pemeriksaan fisik diperlukan untuk menetapkan diagnosa tetapi alat bantu

diagnosa juga dapat digunakan. Alat bantu tersebut antara lain CPV antigen

test kit, pemeriksaan darah (complete blood count), ELISA, dan PCR. Untuk uji

antigen digunakan feses atau serum anjing suspect untuk mendeteksi virus

dan memperoleh hasil yang cepat. Pemeriksaan CBC dilakukan jika anjing

depresi dan dehidrasi, infeksi CPV akan memberikan gambaran leukopenia

(Côté, 2011). Uji feses menggunakan ELISA untuk menunjukkan saat virus

shedding, namun bisa menunjukkan hasil positif palsu jika anjing divaksinasi

menggunakan vaksin hidup yang dilemahkan. Sedangkan, PCR hanya digunakan

untuk membedakan antara infeksi CPV dengan vaksin karena akan mendeteksi

DNA virus pada feses (Steiner, 2008).

Terapi yang diberikan pada Manis berupa:

 Infus Ringer Lactat

Terapi yang dilakukan saat ini untuk menjaga keseimbangan cairan dan

elektrolit dalam tubuh anjing (Prittie, 2004), yang mengalami dehidrasi sebagai

akibat kerusakan epitel saluran pencernaan dan berdampak diare yang berlebih.

32
Terapi cairan yang digunakan yaitu ringer lactate. Virus parvo juga menyerang

sumsum tulang dan sistem limfoid di seluruh tubuh, sehingga anjing lebih rentan

terhadap infeksi sekunder.

 Antibiotik Penstrep LA

Terapi dilakukan untuk mencegah infeksi sekunder. Infeksi sekunder yang

terjadi pada anjing berasal dari flora normal yang ada dalam usus anjing. Pada

umumnya bakteri flora yang dominan dan normal ada dalam usus anjing adalah

bakteri Gram negatif. Bakteri ini jika masuk ke peredaran darah akan

mengeluarkan endotoksin. Endotoksin berperan penting menarik sitokin ke

peredaran darah. Berbagai sitokin dalam darah akan menginduksi respon

inflamasi sistemik. Pada kasus ini terapi antibiotik yang diberikan yaitu

Penstrep LA injeksi. Dosis pemberiannya yaitu 0.15 ml secara intra muscular,

yang sering digunakan untuk mencegah infeksi sekunder dari bakteri, aktivitas

spectrum luas. Antibiotik betalaktam yang menghambat pembentukan dinding

sel bakteri.

 Biodin

Dalam 50 ml biodin mengandung ATP 0.100g, Mg aspartate 1.500 g, K

aspartate 1.000g, Na. Selenite 0.100 g, Vitamin B 12 0.050 g dan Excipient qs 100

ml. ATP membebaskan energi pada waktu peruraiannya dan memungkinkan

pembentukan phosphoric acid ester yang dapat dassimilasi. Aspartate terutama

mengambil bagian dalam rantai sementara (dikenal dengan nama rantai

33
martius) yang mengambil fungsi dari siklus krebs apabila terganggu. Aktivitas

selenite berfungsi pada proses metabolisme sel, Vitamin B 12 penting untuk

pembentukan sel darah merah. Campuran dari berbagai kelompok faktor

tersebut di atas ini dalam perbandingan yang baik memungkinkan rekonstitusi

dari cadangan energi dan berlangsungnya proses metabolisme yang baik.

 Ranitidine

Ranitidine adalah suatu antagonis histamin yang bekerja secara kompetitif

dan bersifat reversible pada reseptor histamine H2 di sel-sel parietal dan

reseptor histamine H2 di sel-sel gaster (lambung), tetapi tidak mempunyai efek

sebagai antikolinergik. Ranitidine bekerja dengan menghambat sekresi asam

lambung baik pada kondisi basal maupun pada malam hari (nocturnal), dengan

jalan secara kompetitif menghambat aktifitas histamine yang menuju ke

reseptor H2 di sel-sel parietal.

Indikasi digunakan ranitidine yaitu sebagai pencegahan dan pengobatan

ulkus duodenum, khususnya diindikasikan untuk pengobatan jangka pendek

pada ulkus duodenum akut maupun ulkus gaster ringan yang sedang aktif,

pengobatan pada perdarahan lambung dan intestinal yang disebabkan ulkus

gaster, ulkus doudenum dan gastritis haemorrhagic.

 Guanistrep

Pemberian Guanistrep bertujuan untuk pengobatan simptomatik pada diare,

karena pencernaan yang tidak normal, dan diare karena penyebab lain yang

tidak diketahui secara pasti atau mencegah infeksi sekunder. Guanistrep

34
mengandung kaolin dan pektin. Kaolin adalah suatu absorben yang menyerap

toksin baik yang berupa gas atau bahan beracun lainnya yang merangsang dari

saluran usus, selanjutnya membentuk lapisan pelindung pada dinding usus.

Sedangkan Pektin sebagai bahan yang berfungsi untuk menghilangkan hasil

pertumbuhan bakteri yang bersifat racun, karena kemampuannya membentuk

asam galakturonat dari bakteri maka bisa berefek mematikan bakteri yang

merugikan.

Selain terapi berupa obat-obatan, diet makanan berupa bubur SUN beras

merah yang bertekstur lembut namun padat juga diberikan guna menjaga

kondisi hewan, terutama usus.

P. Monitoring

Pasien ditemukan lemas dan muntah diare, didiagnosa, dilakukan

pengobatan dan didimonitoring perkembangannya sudah berjalan selama 5 hari

dimulai sejak hari sabtu (4 Agustus 2018) sampai dengan kamis (9 Agustus

2018). Selama selang waktu tersebut pasien terus dikontrol keadaan cairan

infus dan juga client education kepada klien selaku pemilik hewan agar terus

memberikan asupan makanan berupa bubur SUN beras merah yang diberikan

dengan frekuensi yang sedikit namun sering. Adapun perubahan yang dialami

oleh pasien tidak muntah lagi dan sudah tidak diare berdarah lagi, nafsu makan

kembali. Pengobatan masih tetap dilakukan sampai kondisi anjing pulih.

35
Tanggal 05/08/2018 Tanggal 07/08/2018 Tanggal 09/08/2018

Hewan lemas, tidak nafsu Frekuensi muntah - diare Hewan tidak lagi muntah-

makan, muntah dan diare menurun, tidak nafsu makan diare, nafsu makan kembali

Q. Client Education

c. Client education kepada klien selaku pemilik hewan agar terus memberikan

asupan makanan berupa bubur SUN beras merah yang diberikan dengan

frekuensi yang sedikit namun sering.

d. Terhadap anjing yang sehat dilakukan vaksinasi secara teratur menggunakan

vaksin aktif atau inaktif. Vaksinasi pertama dilakukan pada umur 6-8

minggu, vaksinasi kedua pada umur 12 minggu dan diulang setiap tahun.

e. Memperhatikan asupan nutrisi yang diberikan kepada anjing.

f. Jika anjing sudah menunjukkan gejala sakit sebaiknya segera menghubungi

dokter hewan untuk dilakukan pengobatan lebih dini.

36
R. Kesimpulan

Berdasarkan hasil anamnesa pemilik, gejala klinis yang ditunjukkan oleh

anjing Manis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, maka diduga anjing Manis

terserang penyakit Canine Parvovirus. Setelah dilakukan terapi, kondisi hewan

sudah mulai membaik dari sebelumnya, dimana tidak muntah lagi dan sudah

tidak diare berdarah lagi, nafsu makan kembali. Terapi masih harus tetap

dilakukan sampai kondisi hewan pulih kembali.

S. Saran

Disarankan agar tetap memperhatikan kondisi hewannya, karena kejadian

ini bisa berlangsung cepat dan jika terlambat ditangani maka akan sangat fatal.

37
DAFTAR PUSTAKA

Battilani M, L Gallina, F Vaccari, and L Morganti. 2007. Co-infection with multiple


variants of canine parvovirus type 2 (CPV-2). Veterinary
Research Communications 2007:31(Suppl. 1):209-212.

Brooks WC. 2001. Basic virology in general.


http://www.veterinarypartner.com/
Content.plx?P=A&C=189&A=578&SourceID.

Carmichael, L.E., J.C. Joubert and R.V.H. Pollock. 1980. Hemaglutination by


canine parvovirus: serologic studies and diagnostic application. Am. J. Vet.
Res. 40: 784 - 791.

Côté E, editor. 2011. Clinical Veterinary Advisor: Dogs and Cats 2nd Edition. USA:
Mosby, Inc.

Legendre AM. 2005. Ettinger and Feldman Textbook of Veterinary Internal


Medicine. London: Elsevier Inc.

Matthews, R.E.F. 1979. Classification and nomenclature of viruses. 3rd report of


the International Committee on Taxonomy of viruses. Ed. S. Karger. Basel,
London. Pp. 189–190.

MC. Carthy, G. 1980. Canine parvovirus infection: A review. Irish Vet. J. 34


(2): 15−19.

Nelson RW and Couto CG. 1998. Small Animal Internal Medicine Second Edition.
Philadelphia: Mosby Aharcourt Health Sciences Company.

Prittie J. 2004. Canine parvoviral enteritis: A review of diagnosis, management


and prevention. J Vet Emerg Crit Care. 14: Hal.167-176.

Steiner JM, editor. 2008. Small Animal Gastroenterology. Hannover: Schlütersche.

Tilley LP and Smith FWK. 1997. The Five Minute Veterinary Consult Canine and
Feline. Baltimore: Williams & Wilkins.

Weiss DJ and KJ Wardrop, editor. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology Sixth


Edition. Iowa: Blackwell Publishing Ltd.

Zeng F, Waisess Y, Yongjun L, Zhaorong L, Junyi L, Fuan L, Hailong Z, Hongjie Z,


Chen Z, and Xihong L. 2008. Expression, purification, and characterization of
VP2 capsid protein of canine parvovirus in Escherichia coli. World J
Microbiol Biotechnol 2008:24:457-463.

38

Anda mungkin juga menyukai