Anda di halaman 1dari 25

PRESENTASI KASUS

ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

DERMATITIS ATOPIK

Pembimbing:
dr. Thianti Sylviningrum, M.Pd, Ked, M.Sc, Sp.KK

Disusun oleh:
Frida Fauziyah G4A018045

SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2019
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
DERMATITIS ATOPIK

Oleh:
Frida Fauziyah
G4A018045

Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu tugas di
bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto.

Purwokerto, Juli 2019


Pembimbing:

dr. Thianti Sylviningrum, M.Pd, Ked, M.Sc, Sp.KK

NIP. 1979019 2005 012004


I. LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : An. KNA
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 10 bulan
Pekerjaan :-
Pendidikan Terakhir :-
Status Pernikahan : Belum menikah
Alamat : Sokaraja, Purwokerto
Agama : Islam
Tanggal Periksa : 18 Juli 2019

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Bercak merah pada pipi kanan dan kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien diantar ibu pasien datang ke Puskesmas I Cilongok pada hari
Kamis, 18 Juli 2019 dengan keluhan bercak-bercak kemerahan pada pipi
kanan dan pipi kiri sejak 1 minggu yang lalu. Menurut ibu pasien bercak
kemerahan awalnya berlokasi di pipi kiri, berukuran kecil seperti gigitan
nyamuk. Ibu pasien mengamati bahwa bercak kemerahan tersebut
semakin membesar dan pasien sering menggarukkan tangannya ke
bercak tersebut. Menurut ibu pasien, bercak kemerahan semakin
membesar, dan kemudian bercak kemerahan juga muncul di pipi kanan.
Ibu pasien mengaku sudah mengoleskan salep yang dibeli di apotek pada
pasien namun ibu pasien lupa nama salep yang sudah diberikan. Menurut
ibu pasien, bercak pada pipi pasien sudah membaik sudah tidak terlalu
merah dibandingkan 1 minggu yang lalu.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal
b. Riwayat alergi obat (antibiotik, dan lain-lain) disangkal
c. Riwayat alergi makanan disangkal

1
d. Riwayat penyakit diabetes mellitus (kencing manis) disangkal
e. Riwayat hipertensi (darah tinggi/tensi tinggi) disangkal
f. Riwayat penyakit asma disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan yang sama dengan pasien disangkal
b. Riwayat alergi obat dan makanan diakui, bahwa ibu pasien memiliki
alergi terhadap telur
c. Riwayat penyakit asma disangkal
d. Riwayat penyakit diabetes mellitus disangkal
e. Riwayat hipertensi disangkal
5. Riwayat Pengobatan
Ibu pasien mengaku sudah mengoleskan salep yang dibeli di apotek
pada pasien namun ibu pasien lupa nama salep yang sudah diberikan.
6. Sosial Ekonomi
Pasien lahir dari ibu G1P0A0, lahir secara normal pada usia
kehamilan kurang lebih 9 bulan, ditolong di RSUD Ajibarang. Sejak
pasien berusia 7 bulan pasien diberikan makanan pendamping ASI
berupa nasi tim. Sekarang pasien mengkonsumsi ASI, nasi tim yang
berisi wortel atau tahu, ibu pasien mengaku tidak mencampurkan lauk
lainnya ke dalam nasi tim. Pasien tinggal satu rumah dengan 6 orang
anggota keluarga lainnya yaitu kakek, nenek, ibu, tante dan dua sepupu.
Ibu pasien tidak bekerja dan mengurus anak di rumah. Ibu pasien
mengaku bahwa pasien biasanya main di dalam rumah, seperti bermain
bola dan jarang bermain di pekarangan. Selain itu di dalam rumah tidak
terdapat hewan peliharaan.

C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
1. Keadaan umum : Tampak aktif
2. Kesadaran : Compos mentis/E4M6V5
3. Tanda Vital : Tekanan darah : tidak dilakukan
Nadi : 121x/menit

2
Laju pernapasan : 36x/menit
Suhu : 36,8○C
4. Antropometri : Berat Badan : 9,2 kg
Tinggi Badan : 58 cm
WAZ : 0,24
HAZ :-1,2
WHZ : 1,12
Status gizi baik
5. Status generalis
Kepala : Mesocephal, rambut hitam, distribusi merata,
tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Hidung : Simetris, deviasi septum -, discharge -/-
Telinga : Simetris, discharge -/-
Mulut : Mukosa bibir dan bucal basah, sianosis -
Tenggorok : Tonsil T1-T1, hiperemis -/-
Leher : Deviasi trakhea -, pembesaran KGB cervical -
Thorax : Simetris
Jantung : Ictus cordis tampak, tidak kuat angkat, tidak
teraba thrill
Batas jantung
S1>S2, murmur (-), gallop (-)
Paru : Simetris, retraksi (-), vocal fremitus (+/+)
Perkusi sonor (+/+)
SD vesikuler +/+, Suara tambahan RBK -/-,
RBH -/-, Wheezing -/-
Abdomen : Cembung, distensi (-), supel, timpani
Esktremitas : Akral hangat +/+/+/+, edema -/-/-/-, sianosis -/-
/-/-
Status dermatologis :
Efloresensi : makula hipopigmentasi dengan tepi eritem pada regio
buccal dextra et sinistra

3
Gambar 1. Efloresensi pada regio buccal sinistra

D. Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.

E. Resume
Pasien diantar ibu pasien datang ke Puskesmas I Cilongok pada hari
Kamis, 18 Juli 2019 dengan keluhan bercak-bercak kemerahan pada pipi
kanan dan pipi kiri sejak 1 minggu yang lalu. Menurut ibu pasien bercak
kemerahan awalnya berlokasi di pipi kiri, berukuran kecil seperti gigitan
nyamuk. Ibu pasien mengamati bahwa bercak kemerahan tersebut semakin
membesar dan pasien sering menggarukkan tangannya ke bercak tersebut.
Menurut ibu pasien, bercak kemerahan semakin membesar, dan kemudian
bercak kemerahan juga muncul di pipi kanan. Ibu pasien mengaku sudah
mengoleskan salep yang dibeli di apotek pada pasien namun ibu pasien lupa
nama salep yang sudah diberikan. Menurut ibu pasien, bercak pada pipi
pasien sudah membaik sudah tidak terlalu merah dibandingkan 1 minggu
yang lalu. Riwayat alergi makanan, obat pada pasien disangkal. Ibu pasien
memiliki alergi terhadap telur.

4
Pasien lahir dari ibu G1P0A0, lahir secara normal pada usia kehamilan
kurang lebih 9 bulan, ditolong di RSUD Ajibarang. Sejak pasien berusia 7
bulan pasien diberikan makanan pendamping ASI berupa nasi tim. Sekarang
pasien mengkonsumsi ASI, nasi tim yang berisi wortel atau tahu, ibu pasien
mengaku tidak mencampurkan lauk lainnya ke dalam nasi tim. Pasien tinggal
satu rumah dengan 6 orang anggota keluarga lainnya yaitu kakek, nenek, ibu,
tante dan dua sepupu. Ibu pasien tidak bekerja dan mengurus anak di rumah.
Ibu pasien mengaku bahwa pasien biasanya main di dalam rumah, seperti
bermain bola dan jarang bermain di pekarangan. Selain itu di dalam rumah
tidak terdapat hewan peliharaan.
Pada pemeriksaan didapatkan makula hipopigmentasi dengan tepi eritem
pada regio buccal dextra et sinistra.
F. Diagnosis Kerja
Dermatitis atopik
G. Diagnosis Banding
1. Dermatitis numularis
2. Pityriasis versicolor
H. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Salep hidrokortison 1%
2. Edukasi
a. Menjelaskan tentang dermatitis atopik (penyebab, faktor risiko, tanda
dan gejala, komplikasi, serta prognosis).
b. Menjelaskan bahwa dermatitis merupakan suatu penyakit
multifaktorial yang pencetusnya berbeda antar manusia, dan orang tua
pasien perlu untuk
c. Mandi menggunakan sabun yang mengandung pelembab, dan cegah
penggunaan sabut yang memiliki anti septik
d. Oleskan pelembab setelah mandi pada seluruh tubuh kecuali kulit
kepala
e. Menghindari faktor pencetus alergen yang spesifik dengan pasien.

5
I. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam

6
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,
sering berhubungan dengan peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi
keluarga atau penderita (DA, rhinitis alergi, dan atau asma bronchial)
(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).
B. Etiologi
Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga
disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (multifaktorial).
Faktor intrinsik berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan biokimia
kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan disregulasi/
ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi
bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan,
mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma (Fauzi N., dkk., 2009).
Faktor psikologis dan psikosomatis dapat menjadi faktor pencetus (Mansjoer
A.,dkk., 2001).
C. Patogenesis
Berbagai faktor turut berperan pada patogenesis DA, antara lain faktor
genetik terkait dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik,
dan faktor lingkungan (Soebaryo R.W., 2009).
a. Genetik
Pengaruh gen maternal sangat kuat. Studi menjelaskan terdapat
peran kromosom 5q31-33, kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and
17q25, ada pula yang melibatkan gen yang independen dari mekanisme
alergi. Pada umumnya dermatitis atopik berjalan bersama penyakit atopi
lainnya, seperti asma dan rhinitis. Risiko seorang kembar monosigotik
yang saudara kembarnya menderita DA adalah 86% (Judarwanto W.,
2009).
Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi
keluarga akan mengalami DA pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila
salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan

7
mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79%
bila kedua orangtua menderita atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi
bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi bila DA
yang dialami berlanjut hingga masa dewasa maka risiko untuk
mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.
b. Sawar kulit
Hilangnya ceramide dikulit yang berfungsi sebagai molekul utama
pengikat air diruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap sebagai
penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi ph kulit dapat
menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar
mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss, kulit akan
semakin kering dan merupakan port d’entry untuk terjadinya penetrasi
alergen, iritan, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien DA mensekresi
ceramide sehingga menyebabkan kulit makin kering (Soebaryo R.W.,
2009).
Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+
yang diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari darah
perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13, sehingga
dengan kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan terjadi induksi
pada produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-4 dan IL-13,
sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-CSF, IL-12,
dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil (Judarwanto W., 2009).
Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah CD45RO+. Sel T ini
menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk mengenali dan
menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di pembuluh darah perifer
pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel T dengan
petanda CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+, CD40L+,
HLADR+). Sel yang teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan Fas ligand
yang menjadi penyebab apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan
apoptosis karena mereka diproteksi oleh sitokin dan protein extracellular
matrix (ECM). Sel-sel T tersebut mensekresi IFN g yang melakukan
upregulation Fas pada keratinocytes dan menjadikannya peka terhadap

8
proses apoptosis di kulit. Apoptosis keratinosit diinduksi oleh Fas ligand
yang diekspresi di permukaan sel-sel T atau yang berada di
microenvironment (Judarwanto W., 2009).
c. Lingkungan
Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan,
eksaserbasi pada DA dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara
lain jamur, bakteri dan virus, juga pajanan tungau debu rumah dan
binatang peliharaan. Hal tersebut mendukung teori Hygiene Hypothesis
(Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009).
Hipotesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi sistem imun
oleh pajanan antigen mikroba dinegara barat mengakibatkan
meningkatnya kerentanan terhadap penyakit atopik (Sugito T.L., 2009).
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum
semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan
rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang
disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang
selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk
diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah
menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi
menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan
secara imunologik dan nonimunologik (Judarwanto W., 2009).
d. Imunopatogenesis DA
Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan
menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan
produksi sel T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis.
Sel ini mempunyai kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri
tidak dapat menyebabkan lesi ekzematosa. kemungkinan zat tersebut
menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan karena gatal
menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik kapasitas
untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik.
Demikian pula defisiensi sel T penekan (suppressor). Defisiensi sel ini
menyebabkan produksi berlebih igE (Mansjoer A.,dkk., 2001).

9
e. Antigen Presenting Cells
Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang
mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE
lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk
mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori
Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di
dalam sirkulasi (Judarwanto W., 2009).
f. Faktor non imunologis
Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara
lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kulit
yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun,
sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan
mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal (Judarwanto W.,
2009).
g. Autoalergen
Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung antibody
IgE terhadap protein manusia.Autoalergen tersebut merupakan protein
intraseluler,yang dapat dikeluarkan karena kerusakan keratinosit akibat
garukan dan dapat memicu respon IgE atau sel T. pada dermatitis atopik
berat, inflamasi tersebut dapat dipertahankan oleh adanya antigen
endogen manusia sehingga dermatitis atopik dapat digolongkan sebagai
penyakit terkait dengan alergi dan autoimunitas (Soebaryo R.W., 2009).

10
Gambar 1. Mekanisme Alergi (Endaryanto E., & Harsono A., 2010).
Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan pertama alergen
menimbulkan aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2 (TH2) dan sintesis
IgE, yang dikenal sebagai sensitisasi alergi. Paparan allergen selanjutnya
akan menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan aktivasi serta pelepasan
mediator-mediator, yang dapat menimbulkan early (acute) allergic responses
(EARs) dan late allergic responses (LARs). Pada EAR, dalam beberapa
menit 3 kontak dengan alergen, sel mast yang tersensitisasi IgE mengalami
degranulasi, melepaskan mediator pre-formed dan mediator newly
synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator tersebut meliputi
histamin, leukotrien dan sitokin yang meningkatkan permeabilitas vaskuler,
kontraksi otot polos dan produksi mukus. Kemokin yang dilepas sel mast
dan sel-sel lain merekrut sel-sel inflamasi yang menyebabkan LAR, yang
ditandai dengan influks eosinofil dan sel-sel TH2. Pelepasan eosinofil
menimbulkan pelepasan mediator pro-inflamasi, termasuk leukotrien-
leukotrien dan protein-protein basic (cationic proteins, eosinophil
peroxidase, major basic protein and eosinophil-derived neurotoxin), dan
mereka merupakan sumber dari interleukin-3 (IL-3), IL-5, IL-13 dan
granulocyte/macrophage colony-stimulating factor. Neuropeptides juga
berkonstribusi pada patofisiologi simptom alergi (Endaryanto E., & Harsono
A., 2010).

11
Gambar 2: Patogenesis DA (Judarwanto W., 2009).

D. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase
perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi hingga dewasa. Pada setiap
anak didapatkan tingkat keparahan yang berbeda, tetapi secara umum mereka
mengalami pola distribusi lesi yang serupa (Zulkarnain I., 2009).
Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid
diepidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat.
Penderita DA cenderung tipe astenik, dengan intelegensia diatas rata-
rata,sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan
(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).
1. Bentuk infantil ( 0 - 2 tahun).
Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kelahiran,
biasanya bersifat akut, sub akut, rekuren, simetris dikedua pipi
(Zulkarnain I., 2009). Karena letaknya didaerah pipi yang berkontak
dengan payudara, sering disebut eksema susu. Terdapat eritem berbatas
tegas, dapat disertai papul-papul dan vesikel-vesikel miliar, yang menjadi
erosif, eksudatif, dan berkrusta. Tempat predileksi dikedua pipi,
ekstremitas bagian fleksor, dan ekstensor (Mansjoer A.,dkk., 2001).

12
Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah,
susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA infantil
eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi.
Lesi dapat meluas generalisata bahkan walaupun jarang, dapat terjadi
eritroderma. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. (Sularsito
S.A., & Djuanda A., 2005).
2. Bentuk anak (2 - 12 tahun)
Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian merupakan
kelanjutan fase bayi. Pada kondisi kronis tampak lesi hiperkeratosis,
hiperpigmentasi, dan likenifikasi. Akibat adanya gatal dan garukan, akan
tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut starch marks. Tempat
predileksi tengkuk, fleksor kubital, dan fleksor popliteal. Sangat jarang
diwajah (Mansjoer A.,dkk., 2001). lesi DA pada anak juga bisa terjadi
dipaha dan bokong (Zulkarnain I., 2009).
Eksim pada kelompok ini sering terjadi pada daerah ekstensor(luar)
daerah persendian, (sendi pergelangan tangan, siku, dan lutut), pada
daerah genital juga dapat terjadi (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).
3. Bentuk dewasa (> 12 tahun)
Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase
akhir anak-anak (Zulkarnain I., 2009). Lesi selalu kering dan dapat
disertai likenifikasi dan hiperpigmentasi. Tempat predileksi tengkuk
serta daerah fleksor kubital dan fleksor popliteal.
Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-
gatal terutama jika berkeringat. Berbagai kelainan yang dapat
menyertainya ialah xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis Palmaris et
plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris (berupa papul-papul
miliar, ditengahnya terdapat lekukan), dll. (Mansjoer A.,dkk., 2001).
Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh
apabila mengalami stress, mungkin karena stress menurunkan ambang
rangsang gatal. DA remaja cenderung berlangsung lama kemudian
menurun dan membaik (sembuh) satelah usia 30 tahun, jarang sampai

13
usia pertengahan, hanya sebagian kecil berlangsung sampai tua
(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).
E. Stigmata pada dermatitis atopik
Terdapat beberapa gambaran klinis dan stigmata yang terjadi pada DA, yaitu:
1. White dermatographism
Goresan pada kulit penderita DA akan menyebabkan kemerahan dalam
waktu 10-15 detik diikuti dengan vasokonstriksi yang menyebabkan garis
berwarna putih dalam waktu 10-15 menit berikutnya.
2. Reaksi vaskular paradoksal
Adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita DA. Apabila
ekstremitas penderita DA mendapat pajanan hawa dingin, akan terjadi
percepatan pendinginan dan perlambatan pemanasan dibandingkan
dengan orang normal (Judarwanto W., 2009). hal ini diduga karena
adanya pelebaran kapiler dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
yang mengakibatkan terjadinya edema dan warna pucat dijaringan
sekelilinnya (Zulkarnain I., 2009).
3. Lipatan telapak tangan (palmar hiperlinearlity of Palms or soles)
Pada kondisi kronis terdapat pertambahan mencolok lipatan pada
telapak tangan meskipun hal tersebut bukan merupakan tanda khas untuk
DA. (Judarwanto W., 2009). Pada umumnya pasien DA sejak lahir
memiliki banyak garis palmar yang lebih dalam dan lebih nyata, menetap
sepanjang hidup. (Zulkarnain I., 2009).
4. Garis Morgan atau Dennie
Kelainan ini berupa cekungan yang menyolok dan simetris, namun
dapat ditemukan satu atau dua cekungan dibawah kelopak mata bagian
bawah.keadaan ini pada saat lahir atau segera sesudah itu dan bertahan
sepanjang hidup, Nampak seperti edema dari kelopak mata bawah namun
bukan merupakan atonogmomik DA (Zulkarnain I., 2009).
5. Sindrom ‘buffed-nail’
Kuku terlihat mengkilat karena selalu menggaruk akibat rasa sangat
gatal.
6. ‘Allergic shiner’

14
Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan
garukan berulang jaringan di bawah mata dengan akibat perangsangan
melanosit dan peningkatan timbunan melanin.
7. Hiperpigmentasi
Terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus menerus.
8. Kulit kering
Kulit penderita DA umumnya kering, bersisik, pecah-pecah, dan
berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis pilaris. Jumlah
kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi pengurangan pembentukan
sebum, sel pengeluaran air dan xerosis, terutama pada musim panas.
9. Delayed blanch
Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya
keringat dan eritema. Pada penderita atopi akan terjadi eritema ringan
dengan delayed blanch. Hal ini disebabkan oleh vasokonstriksi atau
peningkatan permeabilitas kapiler.
10. Keringat berlebihan
Penderita DA cenderung berkeringat banyak sehingga pruritus
bertambah.
11. Gatal dan garukan berlebihan
Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang normal
menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan pada penderita DA
gatal dapat bertahan selama 45 menit.
12. Variasi musim
Mekanisme terjadinya eksaserbasi sesuai dengan perubahan musim
belum difahami secara menyeluruh. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa kelembaban nisbi tinggi musim baik pada kekeringan kulit
penderita DA. Pada daerah dengan kelembaban nisbi tinggi musim panas
berpengaruh buruk, sedangkan lingkungan sejuk dan kering akan
berpengaruh baik pada kulit penderita DA (Judarwanto W., 2009).
F. DIAGNOSA
Perlakuan khusus diperlukan untuk penderita DA Berat. Penentuan
gradasi berat-ringannya DA dapat mempergunakan kriteria Rajka dan Rajka
sebagaimana tabel berikut :

15
I. Luasnya lesi kulit
fase anak / dewasa
< 9% luas tubuh =1
9-36% luas tubuh =2
> 36 % luas tubuh =3
fase infantile
< 18% luas tubuh =1
18-54% luas tubuh =2
> 54% luas tubuh =3
II. Perjalanan penyakit
remisi > 3 bulan/ tahun =1
remisi < 3 bulan/ tahun =2
Kambuhan /terus mkenerus = 3
III. Intensitas penyakit
gatal ringan, kadang mengganggu tidur malam hari = + 1
gatal sedang, sering mengganggu tidur ( tidak terus-menerus) = + 2
gatal hebat, gangguan tidur sepanjang malam(terus-menerus) = + 3
Penilaian skor (Zulkarnain I., 2009):
3-4 : ringan
4.5-7.5 : sedang
8-9 : berat
G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding bentuk infantil ialah dermatitis seboroik, pada bentuk
anak dan dewasa ialah neurodermatitis (Mansjoer A.,dkk., 2001). Diagnosis
banding lainnya berupa dermatitis kontak alergi, dermatophytosis atau
dermatophytids, sindrom defisiensi imun, sindrom Wiskott-Aldrich, sindrom
Hyper-IgE, penyakit neoplastik, Langerhans’cell histiocytosis, penyakit
Hodgkin, dermatitis dumularis, dermatitis seboroik.
H. Terapi
Pengobatan pada bayi dan anak dengan DA harus secara individual dan
didasarkan pada keparahan penyakit. Sebaiknya penatalaksanaan ditekankan
pada kontrol jangka waktu lama (Long-Term Control) bukan hanya untuk
mengatasi kekambuhan.Protab pelayanan profesi untuk pengobatan DA di

16
SMF kulit & kelamin RSUD dr.Moewardi Surakarta bertujuan untuk
menghilangkan ujud kelainan kulit dan rasa gatal, mengobati lesi kulit,
mencari factor pencetus dan mengurangi kekambuhan.secara konvensional
pengobatan DA kronik pada prinsipnya adalah menghindari bahan iritan,
mengeliminasi allergen yang telah terbukti, menghilangkan pengeringan kulit
(hidrasi), pemberian pelembab kulit (moisturizing), kortikostreroid topikal,
pemberian antibiotik, pemberian antihistamin, mengurangi stress, dan
memberikan edukasi pada penderita maupun keluarga. (Kariossentono H.,
2006).
1. Edukasi:
Menjelaskan bahwa DA merupakan penyakit yang penyebabnya
multifaktorial, cara perawatan kulit yang benar untuk mencegah
bertambahnya kerusakan sawar kulit dan memperbaiki sawar kulit serta
penting juga untuk mencari faktor pencetus serta menghindari atau
menghilangkannya (Sugito T.L., 2009).
a. Mandi dan emolien
Jangan mandi dengan air terlalu panas, karena dapat menambah
rasa gatal, jangan memakai handuk dengan menggosok pada kulit
melainkan menepuk-nepuknya, hindari sabun/ pembersih kulit yang
mengandung antiseptik, karena dapat mempermudah resistensi,
kecuali bila ada infeksi sekunder.
Penggunaan emolien/ pelembab yang adekuat secara teratur
sangat penting untuk mengatasi kekeringan kulit dan memperbaiki
integritas sawar kulit. Bentuk salap dan krim memberi sawar lebih
baik dari pada lotion.
b. Mengatasi gatal
Gatal dapat diatasi dengan pemberian emolien, kompres basah,
anti inflamasi topikal (kortikosteroid, inhibitor kalsineurin), dan
antihistamin oral (Sugito T.L., 2009).
Kompres basah bermanfaat dalam menangani eksema yang
berat, sedangkan pembalut yang mengandung obat misalnya pasta
zinc dn iktamol atau zinc oksida dan ter batubara, yang dipakai

17
diatas steroid topical bermanfaat untuk mengobati eksema pada
ekstremitas (Graham B.R., 2005).
Kortikosteroid topikal dalam jangka waktu lama dapat
menyebabkan efek samping lokal (atrofi, striae, hipertrikosis,
hipopigmentasi, teleangiektasis, dsb). Maupun sistemik (supresi
aksis hipothalamus- pituitasi- adrenal, gangguan pertumbuhan,
sindrom Chusing).
Beberapa faktor perlu dipertimbangkan yakni vehikulum,
potensi kortikosteroid, usia pasien, letak lesi, derajat dan luas lesi
serta cara pemakaian. Prinsip penggunaannya adalah:
1) Gunakan potensi terendah yang dapat mengatasi radang, dapat
dinaikkan bila perlu. Hindari pemakaian dalam jangka waktu
lama
2) Hindari potensi kuat untuk daerah kulit dengan permeabilitas
tinggi (muka, interginosa, bayi).
3) Potensi kuat diginakan bila gatal sangat berat dan atau
peradangan/ likenifikasi berat.
4) Gunakan potensi kuat hanya dalam jangka waktu pendek (≤ 2
minggu untuk potensi kelas 1). Bila lesi awal sudah teratasi
ganti dengan potensi lebih rendah/ dengan antiinflamasi
nonsteroid untuk terapi pemeliharaan
5) Inhibitor kalsineurin topikal
Obat ini dapat mengatasi kekurangan/ kerugian menggunakan
kortikosteroid topikal, bekerja dengan menghambat transkripsi
sistem inflamasi dalam sel T yang teraktifasi dan sel radang
lainnya sehingga mencegah pelepasan sitokin oleh sel T helper,
serta meghambat proliferasi sel T. Terdapat dua macam yaitu
salap takrolimus 0.03% (untuk usia 2-12 tahun) dan 0.1% (untuk
usia 3 tahun keatas)
c. Mengindari faktor pencetus / presdiposisi
Bila eksudasi berat atau stadium akut beri kompres terbuka. Bila
dingin dapat diberikan krim kortikosteroid ringan sedang. Pada lesi

18
kronis dan likenifikasi dapat diberikan salep kortikosteroid kuat
(Mansjoer A.,dkk., 2001). Penderita DA yang disertai infeksi harus
diberikan kombinasi antibiotika terhadap kuman stafilokokus dan
steroid topikal (Fauzi N., Sawitri, Pohan S.S., 2009).
I. Komplikasi
a. Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi lain di
kemudian hari. Penderita DA mempunyai kecenderungan untuk mudah
mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses,
vaksinia. Molluscum contagiosum dan herpes).
b. Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan
disebut eksema herpetikum atau eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum
ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian vaksin
varisela, baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex
terjadi akibat tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel
pada daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian
terjadi penyebaran ke daerah kulit normal.
c. Penderita DA, mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloni
Staphylococcus aureus (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

19
III. PEMBAHASAN

Pasien diantar ibu pasien datang ke Puskesmas I Cilongok pada hari Kamis,
18 Juli 2019 dengan keluhan bercak-bercak kemerahan pada pipi kanan dan pipi
kiri sejak 1 minggu yang lalu. Menurut ibu pasien bercak kemerahan awalnya
berlokasi di pipi kiri, berukuran kecil seperti gigitan nyamuk. Ibu pasien
mengamati bahwa bercak kemerahan tersebut semakin membesar dan pasien
sering menggarukkan tangannya ke bercak tersebut. Menurut ibu pasien, bercak
kemerahan semakin membesar, dan kemudian bercak kemerahan juga muncul di
pipi kanan. Ibu pasien mengaku sudah mengoleskan salep yang dibeli di apotek
pada pasien namun ibu pasien lupa nama salep yang sudah diberikan. Menurut ibu
pasien, bercak pada pipi pasien sudah membaik sudah tidak terlalu merah
dibandingkan 1 minggu yang lalu. Riwayat alergi makanan, obat pada pasien
disangkal. Ibu pasien memiliki alergi terhadap telur.
Pasien lahir dari ibu G1P0A0, lahir secara normal pada usia kehamilan
kurang lebih 9 bulan, ditolong di RSUD Ajibarang. Sejak pasien berusia 7 bulan
pasien diberikan makanan pendamping ASI berupa nasi tim. Sekarang pasien
mengkonsumsi ASI, nasi tim yang berisi wortel atau tahu, ibu pasien mengaku
tidak mencampurkan lauk lainnya ke dalam nasi tim. Pasien tinggal satu rumah
dengan 6 orang anggota keluarga lainnya yaitu kakek, nenek, ibu, tante dan dua
sepupu. Ibu pasien tidak bekerja dan mengurus anak di rumah. Ibu pasien
mengaku bahwa pasien biasanya main di dalam rumah, seperti bermain bola dan
jarang bermain di pekarangan. Selain itu di dalam rumah tidak terdapat hewan
peliharaan.

20
IV. KESIMPULAN

1. Pasien seorang bayi berusia 10 bulan dengan keluhan bercak kemerahan dan
gatal pada pipi kanan dan kiki. Pasien sudah diberikan obat salep sehingga
bercak sudah tidak semerah 1 minggu yang lalu. Didapatkan ujud kelainan
kulit berupa makula hipopigmentasi dengan tepi eritem multipel pada regio
buccal dextra et sinistra.
2. Dermatitis atopik adalah peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal
yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering
berhubungan dengan peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi keluarga
atau penderita
3. Faktor intrinsik dari dermatitis atopik berupa predisposisi genetik, kelainan
fisiologi dan biokimia kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan
disregulasi/ ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor
ekstrinsik meliputi bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen hirup,
makanan, mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma
4. Diagnosis banding adalah prurigo, pedikulosis corporis, dermatitis.
5. Terapi pada pasien skabies dapat diberikan obat topikal, yaitu belerang endap
(sulfur presipitatum), Emulsi benzyl-benzoas (20-25%), Gama Benzena Heksa
Klorida, Krotamiton 10% dan Permetrin 5% dalam krim. Di Indonesi yang
sering digunakan adalah belerang.

21
DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin MD. 2003. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Ed 1. Makassar:


Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin. 5-10.

Bergström, FC., Simone R., Masego J., Pobert NP., Ashley MB., David JK., et al.
2009. Scabies Mite Inactivated Serine Protease Paralog Inhibit the Human
Complement System. Journal Immunology. 182 (12): 17

Burns, DA. 2010. Diseases Caused by Arthropods and Other Noxious Animals.
Hal 37 – 47. Dalam: Tony B, Stephen B, Neil C, Christopher G (Eds) .Rooks
Textbook of Dermatology 8th edition. USA: Blackwell publishing.

Chosidow, O. 2006.Skabies.New England J Med. 354: 1718-1727.

Djuanda, A. 2011.Dermatitis.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi 6. Jakarta:


Balai Penerbit FKUI. 129-153.

Golant, AK dan Jacob OL. 2012. Scabies: A Review of Diagnosis and


Management Based on Mite Biology. Pediatrics in Reviews. 33 (1): 1-10

Handoko, R.P. 2010. Skabies.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.EdisiVI. Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta:114-116.

Harahap, M. 2000. Skabies.Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates. 1-9-113.

Hicks, M.I., Elston, D.M. 2009.Skabies.Dermatoogic Therapy. 22: 279-292.

Karthikeyan K. 2005. Treatment of Scabies: Newer Perspectives. Postgraduate


Medical Journal. (951) 7-11
Kong, HH. 2011. Skin Microbiome Genomic-Based Insight into the Diversiti and
Role of the Skin Microbes. Trends Molecular Medicine. 17: 320-328
Leung, V dan Miller, M. 2011. Detection of Scabies: A Systematic Review of
Diagnostic Methods. Canadian Journal Infectious Disease Medical
Microbioly. 22 (4): 143 – 146

Marks, J.G and Miller J.J. 2006. Principles of Dermatology.Dermatology In


General Medicine. 2029-2031.

Mika, A., Simon LR., Frida CM., Charlene W., Pearl MS., et al. 2012. Novel
Scabies Mite Serpins Inhibit the Three Pathways of the Human Complement
System. Plos One. 7 (7): 1- 5

Morgan, MS., Larry GA., Michael PM. 2013. Sarcoptes scabiei Mites Modulate
Gene Expression in Human Skin Equivalents. PLOS One. 8 (8): 1-10

22
Mounset, KE., Hugh CM., Helle BO., Cielo P., Deborah CH., Bart JC., et al.
2015. Prospective Study in a Porcine Model Of Sarcoptes Scabiei Indicates
the Association of Th2 and Th17 Pathways with the Clinical Severity of
Scabies. PLOS Neglected Tropical Disease 9 (3): 1 – 14

Murtiastutik, D. 2009. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual.Yogyakarta: Erlangga.

Siregar, R.S. 2004. Prurigo.Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit.Edisi 2.


Jakarta: EGC. 272-275.

Stone, S.P., Jonathan N.G., Rocky E.B. 2008. Fitzpatrick,sDermatology in


General Medicine. New York: McGraw-Hill. 2030-31.

Swe, PM., Martha Z., Andrew K., Lutz K., Katja F. 2014. Scabies Mites Alter the
Skin Microbiome and Promote Growth of Opportunistic Pathogens in a
Porcine Model. PLOS Neglected Tropical Disease. 8 (8): 2-6.

Walton, S.F., Currie, B.J. 2007. Problems In Diagnosing Skabies, A Global


Disease In Human And Animal Ppulations.Clin Microbiol Rev. 268-279.

Walton, SF dan Bart JC. 2007. Problems in Diagnosing Scabies, a Global Disease
in Human and Animal Populations. Clinical Microbiology Review. 20 (2):
268-279

Wiryadi, B.E., 2010. Mikrobiologi Kulit. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi
2, FKUI.

23

Anda mungkin juga menyukai