Anda di halaman 1dari 10

A.

Gambaran Radiologi
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi ialah foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
kasus dimana pada pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak
diperlukan lagi. Pada beberapa kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan
foto toraks bila (PDPI, 2006):
1. Curiga adanya komplikasi (misal: efusi pleura, pneumotoraks).
2. Hemoptisis berulang atau berat.
3. Didapatkan hanya 1 spesimen BTA +.
Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform). Interpretasi hasil foto toraks yang
diduga TB aktif (PDPI, 2006):
1. Bayangan berawan atau nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
dan segmen superior lobus bawah paru.
2. Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau
nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologi yang diduga lesi TB inaktif :
1. Fibrotik, terutama pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas dan
atau segmen superior lobus bawah.
2. Kalsifikasi atau fibrotik
3. Kompleks ranke
4. Fibrotoraks atau fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura
Luluh paru (Destroyed Lung)
1. Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambarannya terdiri dari
atelectasis, multikaviti, dan fibrosis parenkim paru
2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti
proses penyakit.
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesi (2006), luas lesi yang tampak
pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sebagai
berikut (terutama pada kasus BTA dahak negatif):
1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari
vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak
dijumpai kaviti
2. Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.

B. Patogenesis Tuberkulosis
1. Tuberkulosis Primer
Paru merupakan port d’entry lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet
nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini
akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag
alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian
kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut.
Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer
GOHN atau afek primer (Hood, 2008).
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya
inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis)
yang terkena (PDPI, 2006). Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan
terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang atau limfangitis (Hood,
2008).
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu
dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut,
kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup
untuk merangsang respons imunitas seluler (Hood, 2008). Sensitivitas
terbentuknya kompleks primer infeksi TB ditandai oleh terbentuknya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons
positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih
negatif . Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh
terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem
imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat
tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman
TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan (PDPI,
2006; Hood, 2008).
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru
biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau
kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkejuan dan enkapsulasi.
Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi,
tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di
jaringan paru (PDPI, 2006).
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, TB
juga dapat melakukan penyebaran melalui hematogen. Kuman TB masuk
ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik (Hood, 2008).
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam
bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread).
Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis (Hood, 2008). Kuman TB kemudian akan
mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang terkena adalah
organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal,
dan paru, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Kuman TB akan
bereplikasi dan membentuk koloni, sebelum terbentuk imunitas seluler
yang akan membatasi pertumbuhannya. Setelah terbentuk koloni dan
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk
dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit,
tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apeks
paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bila daya tahan tubuh pejamu
menurun, fokus TB mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di
organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain (PDPI, 2006;
Hood, 2008).
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread).
Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah
menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB
yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host)
dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita (Hood, 2008).
Gambar. Skema Patogenesis Infeksi Primer TB Paru (Sumber: Persatuan
Dokter Paru Indonesi, 2006)

2. Tuberkulosis Post Primer


Dari tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian
tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis
post primer mempunyai nama lain yaitu tuberkulosis bentuk dewasa,
localized tuberculosis, dan tuberkulosis menahun. Tuberkulosis post-
primer dimulai dengan fokus infeksi, yang umumnya terletak di segmen
apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya
berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan
mengikuti salah satu jalan sebagai berikut (PDPI, 2006):
a. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan
cacat
Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi
pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang
tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju
dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
b. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan
kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju
keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi :
i. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang
disebutkan di atas.
ii. Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh,
tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi
kaviti lagi.
iii. Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau
kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya
mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus
dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped)

Gambar. Skema Patogenesis Infeksi TB Paru Post Primer (Sumber:


Persatuan Dokter Paru Indonesia)
C. Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan
dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Mikobakteri
merupakan kuman tahan asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain
karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat sekali timbul resistensi bila terpajan
dengan satu obat. Umumnya antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman
yang cepat membelah dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah.
Sifat lambat membelah yang dimiliki mikobakteri merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan perkembangan penemuan obat antimikobakteri baru jauh
lebih sulit dan lambat dibandingkan antibakteri lain (Depkes, 2008): Jenis obat
utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH, Rifampisin, Streptomisin,
Etambutol. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin, Amikasin,
Kuinolon.
Dosis OAT lini 1 yang diberikan adalah sebagai berikut (PDPI, 2006):
1. Rifampisin, 10 mg/kgBB, maksimal 600mg 2-3x/minggu
BB > 60 kg: 600 mg
BB 40-60 kg: 450 mg
BB < 40 kg: 300 mg
Dosis intermiten 600 mg/kali.
2. Isoniazid, 5 mg/kgBB, maksimal 300mg, 10 mg/kgBB 3xseminggu, 15
mg/kgBB 2xsemingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. lntermiten : 600
mg/kali
3. Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kgBB, fase lanjutan 35 mg/kgBB 3x
seminggu, 50 mg/kgBB 2x semingggu atau :
BB > 60 kg: 1500 mg
BB 40-60 kg: 1 000 mg
BB < 40 kg: 750 mg
4. Etambutol : fase intensif 20mg/kgBB, fase lanjutan 15 mg/kgBB, 30mg/kg
BB 3x seminggu, 45 mg/kg BB 2x seminggu atau :
BB >60 kg: 1500 mg
BB 40 -60 kg: 1000 mg
BB <40 kg: 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali
5. Streptomisin:15mg/kgBB atau
BB >60 kg: 1000mg
BB 40 - 60 kg: 750 mg
BB < 40 kg: sesuai BB
Pengobatan TB paru pada orang dewasa di bagi dalam beberapa
kategori yaitu (PDPI, 2006):
1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol
setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan
rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada:
a. Penderita baru TBC paru BTA positif.
b. Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.
2. Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3
Diberikan kepada :
a. Penderita kambuh.
b. Penderita gagal terapi.
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.
3. Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Diberikan kepada penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif
(PDPI, 2006).
4. Kategori 4: RHZES
Diberikan pada kasus TB kronik
Tabel. Efek Samping Obat
Efek Samping Penyebab Penanganan
Tidak nafsu makan, mual, Rifampisin Obat diminum sebelum
sakit perut tidur
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin atau
allopurinol
Kesemutan sampai Isoniazid Beri vitamin B6
dengan rasa terbakar di (Piridoksin) 100mg per
kaki hari
Warna kemerahan pada Rifampisin Beri penjelasan tidak
urin perlu cemas akan efek
samping
(Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006)

Daftar Pustaka
Hood, A dan M. Abdul. 2008. Bab 2 Infeksi: Tuberkulosis Paru. Dasardasar Ilmu
Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press, hal.73-1098.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta. Hal 8-14
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis - Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Di Indonesia. Available at:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/TB/TB.html. Diakses 5 Mei 2019
Bowman, Jeffrey, Glenn. 2010. Pneumothorax, tension, and traumatic. Available
at: http://emedicine.medscape.com/article/827551. Diakses 5 Mei 2019.
Currie G, Alluri R, Christie GL, Legge JS. 2007. Pneumothorax: an update.
Postgrad Med J. Vol.83 : 46
Light RW, Lee YCG. 2005. Pneumothorax, chylothorax, hemothorax and
fibrothorax. In: Mason RJ, Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA, editors.
Murray and Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine (4th ed).
Pennsylvania: Saunders
Malueka, RG. 2007. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press

Anda mungkin juga menyukai