Anda di halaman 1dari 27

PRESENTASI KASUS

ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

DERMATITIS ATOPIK

Pembimbing:
dr. Thianti Sylviningrum, M.Pd, Ked, M.Sc, Sp.KK

Disusun Oleh
Rahmawati
G4A018072

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN
KSM ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2019
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
“DERMATITIS ATOPIK”

Disusun Oleh:

Rahmawati G4A018072

Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu tugas di
bagian Ilmu Kesehatan Kulit Kelamin RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto

Purwokerto, Agustus 2019

Pembimbing

dr. Thianti Sylvianingrum, M.Pd, Ked, M.Sc, Sp. KK


NIP. 1979019 2005 012004

ii
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas berkah dan
bimbingan-Nya, presentasi kasus dengan judul “Dermatitis Atopik” ini dapat
diselesaikan.
Presentasi kasus ini merupakan salah satu tugas di KSM Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk perbaikan penulisan di masa yang akan datang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Thianti Sylviningrum, M.Pd, Ked, M.Sc, Sp.KK selaku dokter pembimbing
2. Dokter-dokter spesialis kulit kelamis RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto
Semoga presentasi kasus ini dapat membrikan manfaat bagi seluruh pihak yang
ada di dalam maupun di luar lingkungan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto

Purwokerto, Agustus 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI
I. LAPORAN KASUS ......................................................................................1
A. Identitas Pasien.......................................................................................1
B. Anamnesis ..............................................................................................1
C. Pemeriksaan Fisik ..................................................................................2
D. Resume ...................................................................................................4
E. Diagnosis Banding .................................................................................5
F. Diagnosis Kerja ......................................................................................5
G. Usul Pemeriksaan Penunjang .................................................................5
H. Penatalaksanaan .....................................................................................5
I. Prognosis ................................................................................................5
II. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................6
A. Definisi ...................................................................................................6
B. Etiologi ...................................................................................................6
C. Epidemiologi ..........................................................................................6
D. Patogenesis .............................................................................................6
E. Manifestasi Klinis ..................................................................................11
F. Stigmata pada Dermatitis Atopik ...........................................................13
G. Penegakan Diagnosis .............................................................................14
H. Diagnosis Banding .................................................................................15
I. Terapi .....................................................................................................17
J. Komplikasi .............................................................................................19
III. PEMBAHASAN ..........................................................................................20
IV. KESIMPULAN ............................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................22

iv
I. LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : An. A M
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 9 bulan
Pekerjaan :-
Status Pernikahan : Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat : RT 5 RW 4, Cilongok
Tanggal Pemeriksaan : 21 Agustus 2019
Metode Pemeriksaan : Alloanamnesa
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Bercak merah pada pipi kanan
2. Keluhan Tambahan : -
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien diantar ibu pasien datang ke Puskesmas I Cilongok pada hari
Kamis, 18 Juli 2019 dengan keluhan bercak-bercak kemerahan pada pipi
kanan dan sejak 3 minggu yang lalu. Menurut ibu pasien bercak kemerahan
awalnya berukuran kecil berdiameter kurang dari setengah sentimeter. Ibu
pasien mengamati bahwa bercak kemerahan tersebut semakin lama
semakin membesar dan pasien sering menggarukkan tangannya ke bercak
tersebut. Ibu pasien mengaku sudah mengoleskan salep hidrokortison yang
dibeli di apotek pada pasien sejak 1 minggu yang lalu dan bercak sudah
membaik, sudah tidak terlalu merah dibanding 1 minggu yang lalu.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat penyakit serupa (-).
b. Riwayat alergi obat (-)
c. Riwayat alergi makanan (-)
d. Riwayat asma (-)
e. Riwayat batuk pilek (+)
Pasien sering mengalami batuk pilek sejak usia 7 bulan dan berulang

1
2

5. Riwayat Penyakit dalam Keluarga


a. Riwayat penyakit serupa (-)
b. Riwayat asma (-)
c. Riwayat batuk pilek (+)
Ibu pasien memiliki riwayat sering pilek saat pagi hari dan saat udara
dingin.
d. Riwayat alergi obat (-)
e. Riwayat alergi makanan (-)
6. Riwayat Pengobatan
Ibu pasien mengaku sudah memberikan obat salep hidrokortison yang
dibeli di apotek pada pasien sejak 1 minggu yang lalu dan bercak
membaik.
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien lahir dari ibu G1P0A0, lahir secara normal pada usia
kehamilan kurang lebih 9 bulan, ditolong di Puskesmas Cilongok. Sejak
pasien berusia 6 bulan pasien diberikan makanan pendamping ASI berupa
nasi tim, wortel dan kangkung yang dihaluskan, tempe dan tahu yang
dilumatkan. Sekarang pasien mengkonsumsi ASI, nasi tim yang berisi
wortel yang dihaluskan dan tempe yang dilumatkan. Ibu pasien mengaku
selama pasien memiliki bercak kemerahan, pasien tidak pernah diberikan
makanan ikan laut dan telur. Pasien sudah mulai makan biskuit sejak usia
8 bulan.
Pasien tinggal satu rumah dengan 4 orang anggota keluarga lainnya
yaitu kakek, nenek, ibu, dan ayah. Ibu pasien tidak bekerja dan mengurus
anak di rumah. Ibu pasien mengaku bahwa pasien biasanya main di dalam
rumah, seperti bermain bola dan jarang bermain di pekarangan. Selain itu
di dalam rumah tidak terdapat hewan peliharaan.

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Antropometri
BB : 7,4 kg
3

TB : 68 cm
WAZ : -1,2
HAZ : -2,4
WHZ : -0,5
Kesan : Status gizi baik

Tanda vital
Nadi : 120 kali / menit
Pernafasan : 22 kali / menit
Suhu : 36,7 °C

Status Generalis
a. Kepala : Mesosefal (LK: 45 cm, N: 42-48 cm)
b. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
c. Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-)
d. Telinga : Deformitas (-/-), sekret (-/-)
e. Mulut : Pucat (-)
f. Tenggorokan : T1/T1 tenang, tidak hiperemis
g. Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening
h. Thorax : Simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru : SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)
i. Abdomen : Supel, datar, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)
j. Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/-/-/-), sianosis (-/-/-/-)

Status Dermatologis
a. Lokasi
Regio Buccal Dextra
b. Efloresensi
Makula hipopigmentasi dengan tepi eritem
4

Gambar 1.1 Efloresensi Lesi Kulit di Regio Buccalis Dextra

D. Resume
Pasien diantar ibu pasien, datang ke Puskesmas I Cilongok pada hari
Rabu, 21 Agustus 2019 dengan keluhan bercak-bercak kemerahan pada pipi
kanan sejak 3 minggu yang lalu. Menurut ibu pasien bercak kemerahan
awalnya berukuran kecil, berdiameter kurang dari setengah sentimeter. Ibu
pasien mengamati bahwa bercak kemerahan tersebut semakin lama semakin
membesar dan pasien sering menggarukkan tangannya ke bercak tersebut. Ibu
pasien mengaku sudah mengoleskan salep hidrokortison yang dibeli di apotek
pada pasien sejak 1 minggu yang lalu dan bercak sudah membaik, sudah tidak
terlalu merah dibanding 1 minggu yang lalu. Riwayat alergi makanan dan
alergi obat pada pasien disangkal. Pasien memiliki riwayat sering mengalami
batuk pilek sejak usia 7 bulan dan sering berulang. Riwayat penyakit pada
keluarga, ibu pasien memiliki riwayat sering pilek saat pagi hari dan saat udara
dingin.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik dan
pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Pemeriksaan status lokalis
didapatkan efloresensi makula hipopigmentasi dengan tepi eritem di region
buccalis dextra.
5

E. Diagnosis Banding
1. Dermatitis Atopik
2. Dermatitis Numularis
3. Dermatitis Seboroik
4. Pitiriasis versicolor
F. Diagnosis Kerja
Dermatitis Atopik Infantil

G. Usul Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan kadar IgE serum

H. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Salep hidrokortison 1%
2. Edukasi
a. Menjelaskan tentang dermatitis atopik (penyebab, faktor risiko, tanda dan
gejala, komplikasi, serta prognosis).
b. Menjelaskan bahwa dermatitis merupakan suatu penyakit multifaktorial
yang pencetusnya berbeda antar manusia, dan orang tua pasien perlu
mengetahuinya
c. Mandi menggunakan sabun yang mengandung pelembab, dan cegah
penggunaan sabun yang memiliki anti septik
d. Oleskan pelembab setelah mandi pada seluruh tubuh kecuali kulit kepala
e. Menghindari faktor pencetus alergen yang spesifik dengan pasien.

I. Prognosis
1. Quo ad vitam : Ad bonam
2. Quo ad functionam : Ad bonam
3. Quo ad sanationam : Ad bonam
4. Quo ad komestikum : Ad bonam
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,
sering berhubungan dengan peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi
keluarga atau penderita (DA, rhinitis alergi, dan atau asma bronchial) (Sularsito
dan Djuanda, 2011).

B. Etiologi
Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga disebabkan
oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (multifaktorial). Faktor intrinsik
berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan biokimia kulit, disfungsi
imunologis, interaksi psikosomatik dan disregulasi/ ketidakseimbangan sistem
saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi bahan yang bersifat iritan
dan kontaktan, alergen hirup, makanan, mikroorganisme, perubahan
temperatur, dan trauma (Fauzi N., dkk., 2009). Faktor psikologis dan
psikosomatis dapat menjadi faktor pencetus (Mansjoer A.,dkk., 2001).

C. Epidemiologi
DA merupakan masalah kesehatan masyarakat dunia, dengan prevalensi pada
anak sebesar 10-20% dan pada dewasa sekitar 1-3% (Yeuang et al., 2012).
Sebesar 50% kasus DA muncul pada tahun pertama kehidupan (James et al.,
2012). Prevalensi DA di Asia Tenggara bervariasi antar negara dari 1,1% pada
usia 13-14 tahun di Indonesia sampai 17,9% pada usia 12 tahun di Singapura
(Rubel et al., 2013).

D. Patogenesis
Berbagai faktor turut berperan pada patogenesis DA, antara lain faktor
genetik terkait dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik,
dan faktor lingkungan (Rubel et al., 2013).
a. Genetik
Pengaruh gen maternal sangat kuat. Studi menjelaskan terdapat peran
kromosom 5q31-33, kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25,
ada pula yang melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi.

6
7

Pada umumnya dermatitis atopik berjalan bersama penyakit atopi


lainnya, seperti asma dan rhinitis. Risiko seorang kembar monosigotik
yang saudara kembarnya menderita DA adalah 86%. Lebih dari
seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi keluarga akan
mengalami DA pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila salah satu
orang tua menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan
mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79%
bila kedua orangtua menderita atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi bila
ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi bila DA yang
dialami berlanjut hingga masa dewasa maka risiko untuk mewariskan
kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.
b. Sawar Kulit
Hilangnya ceramide dikulit yang berfungsi sebagai molekul utama
pengikat air diruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap sebagai
penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi ph kulit dapat menyebabkan
kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar mengakibatkan
peningkatan transepidermal water loss, kulit akan semakin kering dan
merupakan port d’entry untuk terjadinya penetrasi alergen, iritan, bakteri
dan virus. Bakteri pada pasien DA mensekresi ceramide sehingga
menyebabkan kulit makin kering (Rubel et al., 2013).
Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+
yang diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari darah
perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13, sehingga dengan
kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan terjadi induksi pada
produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-4 dan IL-13, sedangkan
lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-CSF, IL-12, dan IFN-g serta
infiltrasi makrofag dan eosinofil (Judarwanto W., 2009).
Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah CD45RO+. Sel T ini
menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk mengenali dan
menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di pembuluh darah perifer
pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel T dengan
petanda CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+, CD40L+,
HLADR+). Sel yang teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan Fas ligand
8

yang menjadi penyebab apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan


apoptosis karena mereka diproteksi oleh sitokin dan protein extracellular
matrix (ECM). Sel-sel T tersebut mensekresi IFN g yang melakukan
upregulation Fas pada keratinosit dan menjadikannya peka terhadap proses
apoptosis di kulit. Apoptosis keratinosit diinduksi oleh Fas ligand yang
diekspresi di permukaan sel-sel T atau yang berada di microenvironment
(Judarwanto, 2009).
c. Lingkungan
Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan, eksaserbasi
pada DA dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara lain jamur,
bakteri dan virus, juga pajanan tungau debu rumah dan binatang peliharaan.
Hal tersebut mendukung teori Hygiene Hypothesis (Roesyanto I.D., &
Mahadi., 2009). Hipotesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi
sistem imun oleh pajanan antigen mikroba dinegara barat mengakibatkan
meningkatnya kerentanan terhadap penyakit atopik (Sugito, 2009).
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum
semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan rasa
nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang disalurkan
lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya
diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk diartikan. Rangsangan
yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah menyebabkan rasa gatal,
sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri.
Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan secara imunologik dan
nonimunologik (Judarwanto, 2009).
d. Imunopatogenesis DA
Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan
menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan
produksi sel T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis. Sel
ini mempunyai kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri tidak
dapat menyebabkan lesi ekzematosa. kemungkinan zat tersebut
menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan karena gatal
menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik kapasitas
untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik.
9

Demikian pula defisiensi sel T penekan (suppressor). Defisiensi sel ini


menyebabkan produksi berlebih igE (Mansjoer et al, 2001).
e. Antigen Presenting Cells
Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai
afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor
FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk mempresentasikan alergen
ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga
berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi (Judarwanto,
2009).
f. Faktor non imunologis
Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain
adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kulit yang
kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga
dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan
termal akan mengakibatkan rasa gatal (Judarwanto W., 2009).
g. Autoalergen
Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung antibody IgE
terhadap protein manusia. Autoalergen tersebut merupakan protein
intraseluler,yang dapat dikeluarkan karena kerusakan keratinosit akibat
garukan dan dapat memicu respon IgE atau sel T. pada dermatitis atopik
berat, inflamasi tersebut dapat dipertahankan oleh adanya antigen endogen
manusia sehingga dermatitis atopik dapat digolongkan sebagai penyakit
terkait dengan alergi dan autoimunitas (Rubel et al., 2013).

Gambar 2.1. Mekanisme Alergi (Endaryanto E., & Harsono A., 2010).
10

Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan pertama alergen


menimbulkan aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2 (TH2) dan sintesis IgE, yang
dikenal sebagai sensitisasi alergi. Paparan allergen selanjutnya akan menimbulkan
penarikan sel-sel inflamasi dan aktivasi serta pelepasan mediator-mediator, yang dapat
menimbulkan early (acute) allergic responses (EARs) dan late allergic responses
(LARs). Pada EAR, dalam beberapa menit 3 kontak dengan alergen, sel mast yang
tersensitisasi IgE mengalami degranulasi, melepaskan mediator pre-formed dan
mediator newly synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator tersebut meliputi
histamin, leukotrien dan sitokin yang meningkatkan permeabilitas vaskuler, kontraksi
otot polos dan produksi mukus. Kemokin yang dilepas sel mast dan sel-sel lain
merekrut sel-sel inflamasi yang menyebabkan LAR, yang ditandai dengan influks
eosinofil dan sel-sel TH2. Pelepasan eosinofil menimbulkan pelepasan mediator pro-
inflamasi, termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein basic (cationic proteins,
eosinophil peroxidase, major basic protein and eosinophil-derived neurotoxin), dan
mereka merupakan sumber dari interleukin-3 (IL-3), IL-5, IL-13 dan
granulocyte/macrophage colony-stimulating factor. Neuropeptides juga berkonstribusi
pada patofisiologi simptom alergi (Endaryanto E., & Harsono A., 2010).

Gambar 2: Patogenesis DA (Judarwanto W., 2009).


11

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase
perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi hingga dewasa. Pada setiap
anak didapatkan tingkat keparahan yang berbeda, tetapi secara umum mereka
mengalami pola distribusi lesi yang serupa (Zulkarnain I., 2009). Kulit
penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid diepidermis berkurang
dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Penderita DA cenderung tipe
astenik, dengan intelegensia diatas rata-rata,sering merasa cemas, egois,
frustasi, agresif, atau merasa tertekan (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2011).
1. Bentuk infantil ( 0 - 2 tahun).
Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kelahiran,
biasanya bersifat akut, sub akut, rekuren, simetris dikedua pipi (Zulkarnain
I., 2009). Karena letaknya didaerah pipi yang berkontak dengan payudara,
sering disebut eksema susu. Terdapat eritem berbatas tegas, dapat disertai
papul-papul dan vesikel-vesikel miliar, yang menjadi erosif, eksudatif, dan
berkrusta. Tempat predileksi dikedua pipi, ekstremitas bagian fleksor, dan
ekstensor (Mansjoer A.,dkk., 2001).
Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah,
susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA infantil
eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi. Lesi
dapat meluas generalisata bahkan walaupun jarang, dapat terjadi
eritroderma. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. (Sularsito
S.A., & Djuanda A., 2011).
2. Bentuk anak (2 - 12 tahun)
Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian merupakan
kelanjutan fase bayi. Pada kondisi kronis tampak lesi hiperkeratosis,
hiperpigmentasi, dan likenifikasi. Akibat adanya gatal dan garukan, akan
tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut starch marks. Tempat
predileksi tengkuk, fleksor kubital, dan fleksor popliteal. Sangat jarang
diwajah (Mansjoer A.,dkk., 2001). lesi DA pada anak juga bisa terjadi
dipaha dan bokong (Zulkarnain I., 2009). Eksim pada kelompok ini sering
terjadi pada daerah ekstensor (luar) daerah persendian, (sendi pergelangan
12

tangan, siku, dan lutut), pada daerah genital juga dapat terjadi (Simpson
E.L., & Hanifin J.M., 2005).
3. Bentuk dewasa (> 12 tahun)
Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase
akhir anak-anak (Zulkarnain I., 2009). Lesi selalu kering dan dapat disertai
likenifikasi dan hiperpigmentasi. Tempat predileksi tengkuk serta daerah
fleksor kubital dan fleksor popliteal.
Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-
gatal terutama jika berkeringat. Berbagai kelainan yang dapat
menyertainya ialah xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis Palmaris et
plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris (berupa papul-papul
miliar, ditengahnya terdapat lekukan), dll. (Mansjoer A.,dkk., 2001).
Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh
apabila mengalami stress, mungkin karena stress menurunkan ambang
rangsang gatal. DA remaja cenderung berlangsung lama kemudian
menurun dan membaik (sembuh) satelah usia 30 tahun, jarang sampai usia
pertengahan, hanya sebagian kecil berlangsung sampai tua (Sularsito S.A.,
& Djuanda A., 2011).

F. Stigmata pada Dermatitis Atopik


Terdapat beberapa gambaran klinis dan stigmata yang terjadi pada DA, yaitu:
1. White dermatographism
Goresan pada kulit penderita DA akan menyebabkan kemerahan dalam
waktu 10-15 detik diikuti dengan vasokonstriksi yang menyebabkan garis
berwarna putih dalam waktu 10-15 menit berikutnya.
2. Reaksi vaskular paradoksal
Adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita DA. Apabila ekstremitas
penderita DA mendapat pajanan hawa dingin, akan terjadi percepatan
pendinginan dan perlambatan pemanasan dibandingkan dengan orang
normal (Judarwanto W., 2009). hal ini diduga karena adanya pelebaran
kapiler dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang
mengakibatkan terjadinya edema dan warna pucat dijaringan sekelilinnya
(Zulkarnain I., 2009).
13

3. Lipatan telapak tangan (palmar hiperlinearlity of Palms or soles)


Pada kondisi kronis terdapat pertambahan mencolok lipatan pada telapak
tangan meskipun hal tersebut bukan merupakan tanda khas untuk DA.
(Judarwanto W., 2009). Pada umumnya pasien DA sejak lahir memiliki
banyak garis palmar yang lebih dalam dan lebih nyata, menetap sepanjang
hidup. (Zulkarnain I., 2009).
4. Garis Morgan atau Dennie
Kelainan ini berupa cekungan yang menyolok dan simetris, namun dapat
ditemukan satu atau dua cekungan dibawah kelopak mata bagian
bawah.keadaan ini pada saat lahir atau segera sesudah itu dan bertahan
sepanjang hidup, Nampak seperti edema dari kelopak mata bawah namun
bukan merupakan atonogmomik DA (Zulkarnain I., 2009).
5. Sindrom ‘buffed-nail’
Kuku terlihat mengkilat karena selalu menggaruk akibat rasa sangat gatal.
6. ‘Allergic shiner’
Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan garukan
berulang jaringan di bawah mata dengan akibat perangsangan melanosit dan
peningkatan timbunan melanin.
7. Hiperpigmentasi
Terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus menerus.
8. Kulit kering
Kulit penderita DA umumnya kering, bersisik, pecah-pecah, dan berpapul
folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis pilaris. Jumlah kelenjar
sebasea berkurang sehingga terjadi pengurangan pembentukan sebum, sel
pengeluaran air dan xerosis, terutama pada musim panas.
9. Delayed blanch
Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya keringat
dan eritema. Pada penderita atopi akan terjadi eritema ringan dengan
delayed blanch. Hal ini disebabkan oleh vasokonstriksi atau peningkatan
permeabilitas kapiler.
10. Keringat berlebihan
Penderita DA cenderung berkeringat banyak sehingga pruritus bertambah.
14

11. Gatal dan garukan berlebihan


Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang normal
menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan pada penderita DA gatal
dapat bertahan selama 45 menit.
12. Variasi musim
Mekanisme terjadinya eksaserbasi sesuai dengan perubahan musim belum
difahami secara menyeluruh. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
kelembaban nisbi tinggi musim baik pada kekeringan kulit penderita DA.
Pada daerah dengan kelembaban nisbi tinggi musim panas berpengaruh
buruk, sedangkan lingkungan sejuk dan kering akan berpengaruh baik pada
kulit penderita DA (Judarwanto, 2009).

G. Penegakan Diagnosis
Perlakuan khusus diperlukan untuk penderita DA Berat. Penentuan gradasi berat-
ringannya DA dapat mempergunakan kriteria Rajka dan Rajka sebagaimana tabel
berikut :
1. Luasnya lesi kulit
Fase anak / dewasa
< 9% luas tubuh = 1
9-36% luas tubuh = 2
> 36 % luas tubuh = 3
Fase infantile
< 18% luas tubuh = 1
18-54% luas tubuh = 2
> 54% luas tubuh = 3
2. Perjalanan penyakit
Remisi > 3 bulan/ tahun = 1
Remisi < 3 bulan/ tahun = 2
Kambuhan /terus mkenerus = 3
3. Intensitas penyakit
Gatal ringan, kadang mengganggu tidur malam hari = + 1
Gatal sedang, sering mengganggu tidur ( tidak terus-menerus) = + 2
15

Gatal hebat, gangguan tidur sepanjang malam(terus-menerus) = + 3

H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding bentuk infantil ialah dermatitis seboroik, pada bentuk anak
dan dewasa ialah neurodermatitis (Mansjoer A.,dkk., 2001). Diagnosis banding
lainnya berupa dermatitis kontak alergi, dermatophytosis atau dermatophytids,
sindrom defisiensi imun, sindrom Wiskott-Aldrich, sindrom Hyper-IgE,
penyakit neoplastik, Langerhans’cell histiocytosis, penyakit Hodgkin,
dermatitis numularis, dermatitis seboroik.
1. Dermatitis Numularis
Dermatitis numularis adalah dermatitis yang lesinya berbentuk mata
uang atau agak lonjong, berbatas tegas dengan efloresensi berupa
papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga basah. Penyakit ini terjadi
pada orang dewasa, lebig sering pada pria dibanding wanita. Penderita
dermatitis numularis umumnya mengeluh sangat gatal dan disertai nyeri,
perjalanan penyakit ini diawali dengan eritema berbentuk lingkaran,
selanjutnya melebar sebesar uang logam yang dikeliling oleh papul dan
vesikel. Pada lesi akut berupa vesikel dan papulovesikel, kemudian
membesar dengan berkonfluensi atau meluas kesamping, membentuk satu
lesi karakteristik seperti uang logam, eritema, sedikit edematosa, berbatas
tegas, lambat laun akan pecah terjadi eksudasi kemudian mengering
menjadi krusta kekuningan. Pada penyakit ini penyembuhan dimulai dari
tengah sehingga terkesan penyerupai lesi dermatomikosis, lesi yang sama
berupa likenifikasi dan skuama. Jumla lesi pada dermatitis numularis dapat
satu, dapat pula banyak dan tersebar, bilateral atau simetri dengan ukuran
dari numular sampai plakat. Tempat predileksi penyakit ini tungkai bawah,
badan, tangan termasuk punggung tangan. Pada pemeriksaan
histopatologi, ditemukan spongiosis vesikel intradermal, serbukan sel
radang limfosit dan makrofag disekitar pembuluh darah. Perbedaaanya
pada tine lesi berupa pinggir aktif, bagian tengah agak menyembuh, hifa
positif dari pemeriksaan sediaan langsung (Wolff et al., 2007; Djuanda,
2011).
16

Gambar 2.2 Dermatitis Numularis


2. Granuloma Anulare
Granuloma anulare adalah kelainan kulit yang khas dengan bentuk makula
yang bundar, yang paling banyak mengenai anak-anak. Biasanya
disebabkan karena sinar matahari, gigitan serangga, dan pukulan keras.
Makanan yang banyak mengandung protein seperti daging, telur, dan ikan
sering juga menjadi faktor pencetus. Granuloma anulare biasa memiliki
efloresensi makula eritematosa berbentuk numular, bundar, dengan bagian
tengah atrofi (Siregar, 2004).

Gambar 2.3 Granuloma Anulare


17

I. Terapi
Pengobatan pada bayi dan anak dengan DA harus secara individual dan didasarkan
pada keparahan penyakit. Sebaiknya penatalaksanaan ditekankan pada kontrol
jangka waktu lama (Long-Term Control) bukan hanya untuk mengatasi
kekambuhan.Protab pelayanan profesi untuk pengobatan DA di SMF kulit &
kelamin RSUD dr.Moewardi Surakarta bertujuan untuk menghilangkan ujud
kelainan kulit dan rasa gatal, mengobati lesi kulit, mencari factor pencetus dan
mengurangi kekambuhan.secara konvensional pengobatan DA kronik pada
prinsipnya adalah menghindari bahan iritan, mengeliminasi allergen yang telah
terbukti, menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi), pemberian pelembab kulit
(moisturizing), kortikostreroid topikal, pemberian antibiotik, pemberian
antihistamin, mengurangi stress, dan memberikan edukasi pada penderita maupun
keluarga. (Kariossentono H., 2006).
1. Edukasi:
Menjelaskan bahwa DA merupakan penyakit yang penyebabnya
multifaktorial, cara perawatan kulit yang benar untuk mencegah
bertambahnya kerusakan sawar kulit dan memperbaiki sawar kulit serta
penting juga untuk mencari faktor pencetus serta menghindari atau
menghilangkannya (Sugito T.L., 2009).
a. Mandi dan emolien
Jangan mandi dengan air terlalu panas, karena dapat menambah rasa
gatal, jangan memakai handuk dengan menggosok pada kulit
melainkan menepuk-nepuknya, hindari sabun/ pembersih kulit yang
mengandung antiseptik, karena dapat mempermudah resistensi,
kecuali bila ada infeksi sekunder. Penggunaan emolien/ pelembab
yang adekuat secara teratur sangat penting untuk mengatasi
kekeringan kulit dan memperbaiki integritas sawar kulit. Bentuk salap
dan krim memberi sawar lebih baik dari pada lotion.
b. Mengatasi gatal
Gatal dapat diatasi dengan pemberian emolien, kompres basah,
anti inflamasi topikal (kortikosteroid, inhibitor kalsineurin), dan
antihistamin oral (Sugito T.L., 2009). Kompres basah bermanfaat
dalam menangani eksema yang berat, sedangkan pembalut yang
18

mengandung obat misalnya pasta zinc dn iktamol atau zinc oksida dan
ter batubara, yang dipakai diatas steroid topical bermanfaat untuk
mengobati eksema pada ekstremitas (Graham B.R., 2005).
Kortikosteroid topikal dalam jangka waktu lama dapat
menyebabkan efek samping lokal (atrofi, striae, hipertrikosis,
hipopigmentasi, teleangiektasis, dsb). Maupun sistemik (supresi aksis
hipothalamus- pituitasi- adrenal, gangguan pertumbuhan, sindrom
Chusing). Beberapa faktor perlu dipertimbangkan yakni vehikulum,
potensi kortikosteroid, usia pasien, letak lesi, derajat dan luas lesi serta
cara pemakaian. Prinsip penggunaannya adalah:
1) Gunakan potensi terendah yang dapat mengatasi radang, dapat
dinaikkan bila perlu. Hindari pemakaian dalam jangka waktu lama
2) Hindari potensi kuat untuk daerah kulit dengan permeabilitas tinggi
(muka, interginosa, bayi).
3) Potensi kuat diginakan bila gatal sangat berat dan atau peradangan/
likenifikasi berat.
4) Gunakan potensi kuat hanya dalam jangka waktu pendek (≤ 2
minggu untuk potensi kelas 1). Bila lesi awal sudah teratasi ganti
dengan potensi lebih rendah/ dengan antiinflamasi nonsteroid untuk
terapi pemeliharaan
5) Inhibitor kalsineurin topikal
Obat ini dapat mengatasi kekurangan/ kerugian menggunakan
kortikosteroid topikal, bekerja dengan menghambat transkripsi
sistem inflamasi dalam sel T yang teraktifasi dan sel radang lainnya
sehingga mencegah pelepasan sitokin oleh sel T helper, serta
meghambat proliferasi sel T. Terdapat dua macam yaitu salap
takrolimus 0.03% (untuk usia 2-12 tahun) dan 0.1% (untuk usia 3
tahun keatas)
c. Mengindari faktor pencetus / presdiposisi
Bila eksudasi berat atau stadium akut beri kompres terbuka. Bila
dingin dapat diberikan krim kortikosteroid ringan sedang. Pada lesi
kronis dan likenifikasi dapat diberikan salep kortikosteroid kuat
(Mansjoer A.,dkk., 2001). Penderita DA yang disertai infeksi harus
19

diberikan kombinasi antibiotika terhadap kuman stafilokokus dan steroid


topikal (Fauzi N., Sawitri, Pohan S.S., 2009).

J. Komplikasi
1. Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi lain di kemudian
hari. Penderita DA mempunyai kecenderungan untuk mudah mendapat infeksi
virus maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses, vaksinia. Molluscum
contagiosum dan herpes).
2. Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan
disebut eksema herpetikum atau eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum ini
sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian vaksin varisela, baik
pada keluarga maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi akibat tertular
oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada daerah dermatitis,
mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi penyebaran ke daerah
kulit normal.
3. Penderita DA, mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloni
Staphylococcus aureus (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2011).
III. PEMBAHASAN
Pasien diantar ibu pasien datang ke Puskesmas I Cilongok pada hari Kamis, 18
Juli 2019 dengan keluhan bercak-bercak kemerahan pada pipi kanan dan pipi kiri sejak
1 minggu yang lalu. Menurut ibu pasien bercak kemerahan awalnya berlokasi di pipi
kiri, berukuran kecil seperti gigitan nyamuk. Ibu pasien mengamati bahwa bercak
kemerahan tersebut semakin membesar dan pasien sering menggarukkan tangannya ke
bercak tersebut. Menurut ibu pasien, bercak kemerahan semakin membesar, dan
kemudian bercak kemerahan juga muncul di pipi kanan. Ibu pasien mengaku sudah
mengoleskan salep yang dibeli di apotek pada pasien namun ibu pasien lupa nama salep
yang sudah diberikan. Menurut ibu pasien, bercak pada pipi pasien sudah membaik
sudah tidak terlalu merah dibandingkan 1 minggu yang lalu. Pasien lahir dari ibu
G1P0A0, lahir secara normal pada usia kehamilan kurang lebih 9 bulan, ditolong di
Puskesmas Cilongok. Sejak pasien berusia 6 bulan pasien diberikan makanan
pendamping ASI berupa nasi tim, wortel dan kangkung yang dihaluskan, tempe dan
tahu yang dilumatkan. Sekarang pasien mengkonsumsi ASI, nasi tim yang berisi
wortel yang dihaluskan dan tempe yang dilumatkan. Ibu pasien mengaku selama
pasien memiliki bercak kemerahan, pasien tidak pernah diberikan makanan ikan
laut dan telur. Pasien sudah mulai makan biskuit sejak usia 8 bulan.
Pasien tinggal satu rumah dengan 4 orang anggota keluarga lainnya yaitu
kakek, nenek, ibu, dan ayah. Ibu pasien tidak bekerja dan mengurus anak di rumah.
Ibu pasien mengaku bahwa pasien biasanya main di dalam rumah, seperti bermain
bola dan jarang bermain di pekarangan. Selain itu di dalam rumah tidak terdapat
hewan peliharaan.

20
IV. KESIMPULAN
A. Pasien seorang bayi berusia 10 bulan dengan keluhan bercak kemerahan dan gatal
pada pipi kanan dan kiki. Pasien sudah diberikan obat salep sehingga bercak sudah
tidak semerah 1 minggu yang lalu. Didapatkan ujud kelainan kulit berupa makula
hipopigmentasi dengan tepi eritem multipel pada regio buccal dextra et sinistra.
B. Dermatitis atopik adalah peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal yang
umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan
dengan peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi keluarga atau penderita
C. Faktor intrinsik dari dermatitis atopik berupa predisposisi genetik, kelainan
fisiologi dan biokimia kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan
disregulasi/ ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik
meliputi bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan,
mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma
D. Diagnosis banding adalah dermatitis numularis, dermatitis seboroik, pitiriasis
versikolor dan dermatitik kontak alergi.

21
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin MD. 2003. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Ed 1. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanudin. 5-10.
Bergström, FC., Simone R., Masego J., Pobert NP., Ashley MB., David JK., et al.
2009. Scabies Mite Inactivated Serine Protease Paralog Inhibit the Human
Complement System. Journal Immunology. 182 (12): 17
Burns, DA. 2010. Diseases Caused by Arthropods and Other Noxious Animals. Hal
37 – 47. Dalam: Tony B, Stephen B, Neil C, Christopher G (Eds) .Rooks
Textbook of Dermatology 8th edition. USA: Blackwell publishing.
Chosidow, O. 2006.Skabies.New England J Med. 354: 1718-1727.
Djuanda, A. 2011.Dermatitis.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi 6. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 129-153.
Golant, AK dan Jacob OL. 2012. Scabies: A Review of Diagnosis and Management
Based on Mite Biology. Pediatrics in Reviews. 33 (1): 1-10
Handoko, R.P. 2010. Skabies.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.EdisiVI. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta:114-116.
Harahap, M. 2000. Skabies.Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates. 1-9-113.
Hicks, M.I., Elston, D.M. 2009.Skabies.Dermatoogic Therapy. 22: 279-292.
James WD, Berger TG, Elston DM. 2011. Atopic dermatitis, eczema, and non
infectious immuodeficiencies disorder. In: Gabbedy R, Pinczewski S, editors.
Andrews’ disease of the skin. 11th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier
Karthikeyan K. 2005. Treatment of Scabies: Newer Perspectives. Postgraduate
Medical Journal. (951) 7-11
Kong, HH. 2011. Skin Microbiome Genomic-Based Insight into the Diversiti and
Role of the Skin Microbes. Trends Molecular Medicine. 17: 320-328
Leung, V dan Miller, M. 2011. Detection of Scabies: A Systematic Review of
Diagnostic Methods. Canadian Journal Infectious Disease Medical
Microbioly. 22 (4): 143 – 146
Marks, J.G and Miller J.J. 2006. Principles of Dermatology.Dermatology In
General Medicine. 2029-2031.
Mika, A., Simon LR., Frida CM., Charlene W., Pearl MS., et al. 2012. Novel
Scabies Mite Serpins Inhibit the Three Pathways of the Human Complement
System. Plos One. 7 (7): 1- 5
Morgan, MS., Larry GA., Michael PM. 2013. Sarcoptes scabiei Mites Modulate
Gene Expression in Human Skin Equivalents. PLOS One. 8 (8): 1-10 23
Mounset, KE., Hugh CM., Helle BO., Cielo P., Deborah CH., Bart JC., et al. 2015.
Prospective Study in a Porcine Model Of Sarcoptes Scabiei Indicates the

22
23

Association of Th2 and Th17 Pathways with the Clinical Severity of Scabies.
PLOS Neglected Tropical Disease 9 (3): 1 – 14
Murtiastutik, D. 2009. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual.Yogyakarta: Erlangga.
Rubel D, Thirumoorty T, Soebaryo RW, Weng SC, Gabriel TM, Villafuerte LL, et
al. 2013. Consensus guidelines for the management of atopic dermatitis: an
asia-pacific perspective. Journal of Dermatol, vol. 40:160-71
Siregar, R.S. 2004. Prurigo.Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit.Edisi 2. Jakarta:
EGC. 272-275.
Stone, S.P., Jonathan N.G., Rocky E.B. 2008. Fitzpatrick,sDermatology in General
Medicine. New York: McGraw-Hill. 2030-31.
Swe, PM., Martha Z., Andrew K., Lutz K., Katja F. 2014. Scabies Mites Alter the
Skin Microbiome and Promote Growth of Opportunistic Pathogens in a
Porcine Model. PLOS Neglected Tropical Disease. 8 (8): 2-6.
Walton, S.F., Currie, B.J. 2007. Problems In Diagnosing Skabies, A Global Disease
In Human And Animal Ppulations.Clin Microbiol Rev. 268-279.
Walton, SF dan Bart JC. 2007. Problems in Diagnosing Scabies, a Global Disease
in Human and Animal Populations. Clinical Microbiology Review. 20 (2):
268-279
Wiryadi, B.E., 2010. Mikrobiologi Kulit. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi
2, FKUI
Yeung DYM, Tharp M, Boguniewicz M. 2012. Atopic dermatitis. In: Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s
dermatology in general medicine. 8thed. New York: Mc Graw Hill.

Anda mungkin juga menyukai