Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN JURNAL PENYAKIT DALAM

DIABETES INSIPIDUS

KELOMPOK E2
INTAN MARIA PARAMITA, SKH
KARTINI IZREEN KURNIA, SKH
CITRA AYU LESTARI, SKH
DELIN NOFIFTA, SKH
KAREN JAP KER LI, SKH
ELMA NEFIA, SKH
M. ABHI PURNOMOSIDI, SKH
FIRDAUZI AKBAR WICAKSONO, SKH

BAGIAN PENYAKIT DALAM


PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

PENDAHULUAN
Diabetes insipidus (DI) atau water diabetes adalah penyakit yang ditandai
dengan gejala polidipsi dan poliuria. Diabetes insipidus merupakan kerusakan
metabolisme dimana ginjal tidak dapat mereabsorbsi air secara normal, sehingga
anjing atau kucing mengeluarkan urin yang sangat encer. Gejala lain yang
mengikuti yaitu dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, penurunan berat badan,
kondisi bulu yang buruk, disorientasi, kehilangan koordinasi, dan pada kasus yang
berat dapat menyebabkan pingsan, seizure, tremor, dan kolaps. Terdapat dua jenis
diabetes insipidus, yaitu diabetes insipidus sentral (CDI) atau neurogenik dan
diabetes insipidus nefrogenik (Bankira et al. 2001).
Diabetes neurogenik atau diabetes sentral merupakan penyakit yang
menunjukkan gejala poliuri dan polidipsi tetapi sumber masalahnya tidak berasal
dari ginjal melainkan dari syaraf pusat, yaitu akibat salah satu bagian otak kurang
aktif dalam memproduksi hormon vasopressin atau ADH (Anti diuretik hormon).
Vasopressin atau anti diuretik hormon adalah hormon yang disekresikan melalui
neurohipofise. Hormon vasopressin berfungsi untuk mempertahankan
keseimbangan darah terutama merespon peningkatan osmolalitas plasma atau
penurunan volume darah yang besar. Hormon ini berperan penting dalam menjaga
air dalam tubuh dengan cara meningkatkan permeabilitas duktus terhadap air dan
menstimulasi pengeluaran urea di ginjal yang akan meningkatkan jumlah
reabsorbsi air di medula renal. Anti diuretik hormon akan memberikan sinyal ke
ginjal untuk meningkatkan reabsorpsi air, sehingga konsentrasi urin menjadi
normal (Bankira et al. 2001).
Hypothalamus memiliki fungsi untuk menghasilkan ADH dan pituitari
berfungsi untuk menyimpannya. Jika salah satu tidak bekerja maka, tubuh akan
kekurangan ADH. Hewan yang menderita CDI tidak dapat memproduksi cukup
ADH untuk memberikan sinyal kepada ginjal untuk bekerja. Diabetes insipidus
sentral dapat disebabkan oleh trauma, infeksi bakteri atau virus, kongenital,
pituitary cyst atau tumor, dan beberapa faktor lain (Kooistra 2013).
Diabetes insipidus nefrogenik dapat diamati dari kurang sensitifnya nefron
bagian distal terhadap ADH atau vasopressin. Pada kasus ini, ADH diproduksi
dengan baik namun ginjal tidak menanggapi hormon sebagaimana mestinya. Hal
tersebut dapat terjadi karena adanya gangguan ADH untuk menempel ke reseptor,
sehingga efeknya sama dengan kekurangan ADH. Hal ini menyebabkan ginjal
mengalami penurunan kemampuan dalam menkosentrasikan urin serta
menghasilkan jumlah urin yang banyak dalam keadaan hipotonis (50-100
mosmol/kg air) yang akan menyebabkan dehidrasi parah hingga
ketidakseimbangan elektrolit dalam darah. Poliuri dan polidipsi masih menjadi
gejala khusus dari penyakit ini. Keadaan dehidrasi akibat gejala penyakit ini akan
mengakibatkan demam tinggi yang intermiten terutama pada hewan muda
(Knoers dan Monnens 1992).
Diagnosa penyakit diabetes insipidus melibatkan serangkaian tes. Tes yang
dapat dilakukan yaitu tes darah, urine, dan kultur urin. Tes ini digunakan untuk
mempertegas diagnosa DI dari penyakit diabetes melitus, cushing, pyometra,
hipotiroidisme di kucing, dan masalah ginjal, kandung kemih, atau hati. Tes lain
yang dapat dilakukan adalah mengukur kadar hormon hipofisis, MRI atau CT

scan untuk memeriksa masa pada kelenjar pituitari, USG bagian abdomen, serta
water deprivation test untuk melihat apakah hewan dapat memproduksi urine
yang pekat dengan intek air yang rendah. Kadang kadang dokter hewan juga
melakukan tes stimulasi desmopresin. Desmopresin merupakan obat yang
digunakan untuk mengobati DI. Respon positif hewan terhadap obat menjadi
indikator yang baik untuk mendiagnosa DI pada hewan (Kooistra 2013).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kasus Diabetes Insipidus Sentral atau Neurogenik pada Anjing
Salah satu kasus diabetes insipidus sentral yang pernah terjadi dilaporkan
dalam Meij et al. (2012). Seekor anjing jantan german longhaired pointer
menderita diabetes insipidus. Selama seminggu anjing ini minum lima kali lebih
banyak dari biasanya. Di minggu kedua, anjing menjadi depresi dan tidak tahan
terlalu lama bila diajak bermain. Hasil pengujian urin, ditemukan BJ 1.006.
Ginjal, hati, pankreas dan serum biokimia darah dalam rentang normal. Hasil
USG menunjukkan kelenjar adrenal kanan dan kiri yang normal. Anjing diobati
dengan pemberian desmopresin 8g setiap 12 jam ke dalam saccus conjunctiva.
Desmopresin adalah analog arginine vasopressin (AVP) yang digunakan sebagai
pengobatan untuk central diabetes insipidus. Desmopresin akan menjaga
keseimbangan air dan pengeluaran urin (Arima et al. 2013).
Pemberian desmopressin membuat siklus urinasi dan minum anjing
menjadi normal kembali. Setelah dilakukan treatment ini dapat disimpulkan
bahwa penyakit yang dialami adalah diabetes insipidus sentral. Setelah diketahui
sumber masalahnya di syaraf pusat, maka dilakukan CT scan. Hasil CT scan
menunjukkan adanya masa heterogen di daerah pituitari dengan tinggi 12,3 mm,
lebar 17,5 mm dan panjang 15.0 mm, mirip dengan masa tumor di pituitari. Rasio
pituitari dan otak adalah 0.75 yang menunjukkan adanya pembesaran pituitari
(rentang normal kurang dari 0.31). CT scan abdominal menunjukkan keadaan
adrenal yang normal. Konsentrasi TSH, Thyroxine, GH dan insulin-like growth
factor-1 dalam plasma menurun mengindikasikan adanya hipopituitari,
hipotiroidism sekunder, dan hiposomatotropism.
Plasma ACTH meningkat, dan plasma -melanocyte-stimulating hormone
(MSH) berada dalam range normal. Untuk menghilangkan masa ini dilakukan
bedah transphenoidal hipophisectomi. Masa yang diambil difiksasi dalam 10%
buffer netral formalin. Masa yang diambil lalu dilakukan biopsi untuk dilihat
tumor jenis apa yang menjadi masa penekan hipotalamus sehingga ADH tidak
mampu dihasilkan secara sempurna. Setelah dibedah, anjing tidak segera sadar,
dan tidak merespon stimuli dari luar kecuali stimuli yang sangat keras. Semua
indikator tubuh seperti respirasi, gas darah dan konsentrasi sodium potasium
dalam rentang normal. Diduga terdapat odema di otak imbas dari pengambilan
masa pituitari tadi. Anjing lalu diinfus dengan manitol (0.5 g/kg) namun tidak
menunjukkan perubahan yang berarti. Setelah tiga hari, owner meminta anjing
untuk ditidurkan, namun owner tidak memperbolehkan dinekropsi.
Saat diamati, hasil biopsi menunjukkan hanya ada peradangan pada
hipofisa (hipofisitis) tanpa disertai satupun kejadian pituitari adenoma. Hipofisitis

ditandai dengan banyaknya infiltrasi limfosit di adenohipofise yang biasanya


berisi sel sel neuroendokrin yang menghasilkan GH, ACTH atau -MSH. Setelah
diidentifikasi, limfosit ditemukan sebagai sel T. Hasil ini merujuk pada diagnosa
limfositik hipofisitis.
Kasus Diabetes Insipidus Sentral pada kucing
Menurut laporan Medeiros et al. 2014 seekor kucing jantan domestik
berumur 2 tahun dengan pertumbuhan yang baik menunjukkan gejala poliuria dan
polidipsia (PU/PD) yang muncul setelah diduga menelan duri yang menempel di
tubuhnya saat berada diluar rumah. Pemeriksaan fisik menunjukkkan hewan aktif,
gizi baik, dehidrasi ringan dan pengisian vesica urinaria dengan cepat dan
poliuria. Pemeriksaan penunjang dilakukan; USG bagian abdomen, hitungan
darah, urine, serum urea (57 mg/dL), kreatinin (1,8 mg/dL), glukosa (76 mg/dL),
kortisol (1,87 mcg/dL), jumlah T3 (0,44 ng/mL) dan vasopressin (5,2 pg/mL),
berada dalam referensi nilai-nilai normal, kecuali untuk bobot jenis urin (1,004)
dan jumlah T4 (1,17 mcg / dL) yang berada di bawah standar.
Menghadapi dehidrasi yang berhubungan dengan hyposthenuria, maka
tidak dilakukan water deprivation test dan tes terhadap respon ADH dilakukan.
Pada rekam data di awal, diperkirakan dehidrasi dan bobot jenis urin adalah 6%
dan 1,004. Hal ini diikuti oleh pengosongan dari vesika urinaria dan tes respon
vasopressin, yang terdiri dari administrasi intranasal 10 ug desmopressin dengan
pengukuran sistematis, setiap 30 menit, selama dua setengah jam.
Bobot jenis urin meningkat secara bertahap sampai dengan nilai standar
dan volume urin menurun secara konsisten dari waktu ke waktu (Gambar 1).
Berdasarkan pemeriksaan penunjang ini, diagnosa mengarah ke CDI dan terapi
pengobatan dengan administrasi intranasal 10 g desmopresin setiap 24 jam
dianjurkan.

Gambar 1. Volume dan bobot jenis urine setelah response desmopresin intranasal
pada kucing yang didiagnosa dengan CDI. Penurunan hyposthenuria dan
peningkatan bobot jenis urin dari waktu ke waktu dapat diukur setiap 30 menit

selama 150 menit (T1, T2, T3, T4 dan T5). Panah hitam- nilai dasar, penerapan 10
g desmopresin (T0).
Menurut literatur, administrasi desmopresin adalah metode yang baik
sebagai sarana diagnosa dan pengobatan, dapat mengurangi volume urin hingga
lebih dari 50% pada pasien dengan hyposthenuria 1-2 jam setelah pemberian. Ini
juga menunjukkan pentingnya metode ini dalam meyakinkan diagnosa dari
diferensial diagnosa CDI dan NDI. Penggunaan desmopresin rute intranasal
subkutan terbukti lebih baik untuk hewan spesies ini karena mengurangi
ketidaknyamanan, aplikasi yang baik dan respon klinis yang sangat baik dapat
diamati. Prognosis CDI bahkan tanpa pengobatan adalah baik, asalkan air minum
selalu tersedia. Namun, dalam kasus ini hewan menunjukkan gejala dehidrasi
serta perubahan perilaku disebabkan oleh stres. Sebaiknya hewan diobati daripada
resiko dehidrasi parah terjadi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa water
deprivation test dan tes respon terhadap vasopresin/desmopresin sangat penting
dalam mendiagnosa secara definitif CDI dan NDI.
Diabetes Insipidus Nefrogenik
Menurut laporan Etish et al. 2014, kasus diabetes insipidus nefrogenik
pernah dilaporkan pada anjing Cairm Terrier jantan berumur 5 tahun yang telah
dikastrasi dengan gejala klinis poliuria dan polidipsia. Anjing tidak memiliki
riwayat perjalanan ke luar dari tempat asal Pennsylvania dan telah divaksinasi
sesuai rekomendasi American Animal Hospital Association, namun belum
dilakukan vaksinasi terhadap leptospira.
Hasil hitung darah lengkap/ Complete Blood Count (CBC) dan panel
serum biokimia menunjukkan adanya kelainan signifikan yaitu trombositopenia
ringan (Tabel 1). Hasil pemeriksaan fisik mengungkapkan terjadi dehidrasi ringan
tanpa kelainan lainnya. Pemeriksaan elektrolit dilakukan dengan hasil
hipokalemia ringan (Tabel 1). Hasil USG abdomen menunjukkan terjadi
penebalan ringan dinding lambung dan terdapat masa hiperecoid menyebar dari
usus kecil. Pasien diberikan perawatan suportif untuk gastroenteritis non-spesifik
dengan dolasetronb (0,5 mg / kg intravena [IV] q 24 h), famotidinec (0,5 mg / kg
IV q 24 h), metronidazoled (10 mg / kg IV q 12 h) , mirtazapinee (7,5 mg per os
[PO] q 24 h), dan IV laktat solusi Ringer pada tingkat 4 ml/ kg. Kemudian anjing
diberikan kepada pemilik pada hari ke lima dalam kondisi sudah tidak muntah dan
nafsu makan meningkat. Pengobatan dilanjutkan di rumah dengan citratef
maropitant (2,4 mg / kg PO q 24 h 4 hari), metronidazoleg (12,5 mg / kg PO q
12 h 14 hari), famotidineh (0,5 mg / kg PO q 24 h 7 hari ), mirtazapine (0,75
mg / kg PO q 24 h yang diperlukan untuk gejala tidak nafsu makan).
Table 1. Temuan CBC dan Biokimia
Hari
ke- 1
Albumin (g/L)

32

Reference
range for day
1
23-40

Reference range
Hari Hari ke- Hari ke- Hari kefor days 4, 24,
ke- 4
24
29
31
29, 31
33

27-44

Hari
ke- 1

Reference
range for day
1

Reference range
Hari Hari ke- Hari ke- Hari kefor days 4, 24,
ke- 4
24
29
31
29, 31

Alkaline
phosphatase (U/L)

166

23-212

173

133

5-131

Alanine
aminotransferase
(U/L)

29

10-100

55

27

12-118

Blood urea
nitrogen (mmol/L)

2.5

2.5-9.6

2.86

19.6

23.6

2.1-11

Creatinine
(mol/L)

106.1

44.2-159.1

79.6

406.6

627.6

44.2-141.4

Glucose (mmol/L)

5.2

4.1-7.9

Cholesterol
(mmol/L)

7.9

Globulin (g/L)

6.2

3.9-7.7

2.9-8.3

8. 9

2.4-8.4

42

25-45

40

16-36

Total bilirubin
(mol/L)

5.1

0-15.4

3.4

1.7-5.1

Phosphorous
(mmol/L)

1.3

0.8-2.2

0.7

Potassium
(mmol/L)

3.9

3.5-5.8

3.2

3.2

3.1

3.6-5.5

Sodium (mmol/L)

147

144-160

148

142

139

139-154

Chloride (mmol/L) 111

109-122

99

100

99

102-120

Hematocrit
0.47
(Proportion of 1.0)

0.37-0.55

0.41

0.36-0.60

White blood cells


( 109/L)

6.84

5.5-16.9

14.2

4.0-15.5

Neutrophils (
109/L)

5.96

2-12

10.79

2.06-10.6

0-0.3

Bands ( 109/L)

6.6

2.8

0.8-2.2

Eosinophils (
109/L)

0.05

0.1-1.49

0.142

0-1.200

Lymphocytes (
109/L)

0.34

0.5-4.9

2.27

0.69-4.50

Platelets ( 109/L)

139

175-500

160

170-400

Pada hari ke-24 , anjing direkomendasikan VSEC untuk dievaluasi ulang


setelah pemilik melaporkan terjadi peningkatan intensitas minum (polidipsi) dan
urinasi yang tidak normal di rumah sejak hari 18 tanpa hematuria dan stranguria.
Tidak ada tanda-tanda gangguan pencernaan dan nafsu makan anjing tetap baik
dan tidak ada hal yang aneh pada pemeriksaan fisik. Hasil CBC menunjukkan

trombositopenia ringan persisten. Hasil serum biokimia menunjukkan peningkatan


ringan pada alkaline phosphatase , kolesterol dan globulin , hipokalemia ringan ,
dan kelainan non - spesifik lainnya seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Hasil
Berat Jenis urin menunjukkan hasil hyposthenuria dengan terdapat sedikit
endapan protein pada urin. Kultur urin dilakukan untuk menyingkirkan diagnosa
infeksi saluran kemih.
Table 2. Hasil Urinalisis
Day 24

Day 26

Day 28

Day 29

Normal reference range

Urine specific
gravity

1.002

1.006

1.004

1.006

1.015-1.050

pH

7.0

6.0

5.5-7.0

Protein

Trace

Negative

Negative

Glucose

Negative

Negative

Negative

Ketone

Negative

Negative

Negative

Bilirubin

Negative

Negative

Negative to 1+

Blood

Negative

3+

Negative

WBC

Negative

2-3

0-3/HPFa

RBCS

Negative

0-1

0-3/HPF

Casts

None

None

Crystals

None

None

Bacteria

None

None

None

Transitional cells

None

0-3

0-1/HPF

Squamous cells

None

0-1

0-3/HPF

HPF=High power field.

Mengingat sejarah, ditandai hyposthenuria, dan tidak adanya azotemia dan


hiperglikemia, psikogenik (primer) polidipsia, polidipsia sekunder untuk penyakit
gastrointestinal, dan diabetes insipidus berada pada diferensial diagnosis utama.
Berdasarkan pada hyposthenuria dan terjadinya pengenceran urin aktif
menunjukkan bahwa anjing tersebut mengalami insufisiensi ginjal. Pemilik
diminta untuk mengumpulkan serangkaian sampel urin anjing dirumah. Selama 1
minggu berikutnya dievaluasi apakah anjing tersebut mengalami polidipsia
psikogenik.
Anjing dievaluasi kembali pada hari ke-29. Poliuria terus terjadi dan
anjing tersebut dalam keadaan lemas, tidak nafsu makan, dan muntah terusmenerus, dan rasa haus mulai berkurang secara signifikan selama 5 hari terakhir.
Pada pemeriksaan fisik, selaput lendir pucat dan penurunan turgor kulit;
berdasarkan temuan ini dan penurunan berat badan dari 9,5 kg menjadi 8,6 kg,
anjing itu diperkirakan 10% dehidrasi. Berat jenis urin adalah 1,006 pada
urinalisis dengan 2+ protein dan 3+ darah (Tabel 2). USG abdomen menunjukkan
adanya renomegali bilateral (ginjal kiri berukuran 5,8 cm dalam dimensi
craniocaudal lebih besar dibandingkan ukuran ginjal kiri pada hari ke-4 yaitu 5,3

cm; dan ginjal kanan berukuran lebih besar yaitu 6,1 cm dibandingkan pada
ukuran hari ke-4 yaitu 4,8 cm). Ginjal berbentuk bulat, penampilan bengkak
dengan peningkatan echogenicity dari medulla tersebut. Hati juga agak membesar
dan difus hypoechoic. Perubahan ultrasonografi untuk saluran pencernaan
meningkat dibandingkan dengan hari ke- 4. Selanjutnya serum dilakukan uji
aglutinasi mikroskopis (MAT) terhadap serogrup leptospiral.
Pasien dirawat di rumah sakit, dan pengobatan dengan Ringer Laktat
dengan rute IV, ampicillin (20 mg / kg IV q 8 jam), doxycycline (10 mg / kg IV q
24 jam), dolasetron (0,5 mg / kg IV q 24 jam ), dan famotidine (0,5 mg / kg IV q
24 jam). Kateter urin dipasangkan untuk mengukur output urin dan untuk
melindungi staf rumah sakit dan klien terhadap paparan leptospira yang berpotensi
menular dalam urin. Pada hari 31, output urin mulai menurun (dari 3,1 ml / kg /
jam pada hari 30 menjadi 1,8 ml / kg / jam pada hari 31) dan menjadi hipertensi
(200 mmHg sistolik diukur dengan doppler noninvasif). Azotemia semakin
memburuk dapat dilihat pada tabel 1. Output urine tidak meningkat setelah bolus
furosemidel (1 mg / kg IV) dan mannitol (0,5 g / kg IV dua kali). Akhirnya
pemilik memilih untuk melakukan eutanasia pada anjingnya. Hasil MAT diterima
setelah anjing dieutanasia dan menunjukkan titer yang tinggi terhadap beberapa
serovar (Tabel 3). Mengingat tanda-tanda klinis dan tidak adanya vaksinasi
terhadap leptospirosis, MAT yang meningkat nyata dalam hal ini dianggap dapat
mengkonfirmasi diagnosis leptospirosis.
Table 3 Hasil Uji Microscopic agglutination
Leptospirosis species and serovar
Titer value
L. interrrogans serovar Pomona

Positive 1:3200

L. interrrogans serovar Icterohaemorrhagia

Negative </=1:50

L. interrrogans serovar Canicola

Negative </=1:50

L. kirschneri serovar Grippotyphosa

Positive >1:6400

L. interrrogans serovar Hardjo

Negative </=1:50

L. interrrogans serovar Autumnalis

Positive 1:6400

L. interrrogans serovar Bratislava

Positive 1:3200

Perkembangan leptospirosis dalam hal ini tidak mengikuti pola khas yang
diharapkan pada penyakit ini. Poliuria awal dan polidipsia didampingi
hyposthenuria dan parameter biokimia yang masih dalam rentang batas normal.
Meskipun leptospirosis telah dilaporkan menyebabkan isosthenuria atau
hyposthenuria tanpa azotemia, penulis dari studi sebelumnya tidak melaporkan
apakah kasus ini berkembang ke tanda-tanda yang lebih parah yaitu cedera ginjal.
Biasanya, insufisiensi ginjal dianggap kurang jika berat jenis urin kurang dari
1,006. Namun, urine hyposthenuria dapat terjadi pada gagal ginjal tetapi dapat
menunjukkan adanya proses penyakit lain yang mengarah ke hyposthenuria dalam hal ini ini mungkin kehadiran leptospira dalam tubulus ginjal.
Penyebab poliuria dan polidipsia dapat dikategorikan sebagai polidipsia
primer, diuresis osmotik, diabetes insipidus sentral (CDI), kongenital NDI atau

NDI dapatan. NDI dapatan dapat disebabkan oleh berbagai kondisi seperti
hypoadrenocorticism, hyperadrenocorticism, pyometra, pielonefritis dan
hiperkalsemia yang dapat mengganggu kemampuan kontraksi kantung kemih.
Pada pasien ini, tidak ada bukti dari diuresis osmotik; CDI dianggap tidak
mungkin karena natrium serum normal dalam menghadapi dehidrasi yang
signifikan. Penulis mempertimbangkan polidipsia awal dalam hal ini konsisten
dengan diagnosa diabetes insipidus nefrogenik karena penurunan respon dari
saluran pengumpul untuk vasopressin pada penderita. Meskipun anjing ini
mungkin menanggapi pengobatan lebih agresif, seperti terapi cairan terus dipandu
dengan pengukuran tekanan vena sentral atau melakukan dialisis, pemilik tetap
memilih untuk euthanasia dan menolak pemeriksaan post-mortem. Meskipun
pemeriksaan post-mortem tidak dilakukan, titer MAT menunjukkan nilai yang
tinggi terhadap beberapa serogrup leptospiral pada pasien yang tidak divaksinasi
mengindikasikan adanya infeksi akut terhadap leptospira. Selain itu, pasien ini
memiliki trombositopenia ringan terus-menerus, yang meningkatkan kecurigaan
untuk diagnosis leptospirosis pada pasien azotemia.
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis. Leptospira telah terbukti terdapat
pada urin tikus yang belum dilakukan pengobatan yang tepat dalam dua sampai
tiga hari pertama. Telah direkomendasikan bahwa tindakan pencegahan yang tepat
harus diambil dalam semua anjing dengan gangguan gagal ginjal akut sampai
terbukti tidak terinfeksi leptospirosis. Meskipun ada kemungkinan bahwa tandatanda klinis awal gastritis dan anoreksia pada pasien ini disebabkan oleh penyakit
yang tidak berhubungan, mereka mungkin telah menderita leptospirosis awal.
Jumlah leptospira tertinggi yang dapat ditemukan pada penderita leptospirosis
adalah pada hari ke 7-10 setelah terlihat gejala klinis polidipsia dan poliuri.
KESIMPULAN
Diabetes insipidus atau water diabetes adalah penyakit yang ditandai
dengan gejala polidipsi dan poliuria. Terdapat dua jenis diabetes insipidus, yaitu
diabetes insipidus sentral (CDI) atau neurogenik dan diabetes insipidus
nefrogenik.
Water
deprivation
test
dan
tes
respon
terhadap
vasopresin/desmopresin sangat penting dalam mendiagnosa secara definitif CDI
dan NDI. Diagnosa penyakit Diabetes insipidus melibatkan serangkaian tes yaitu
tes darah, urine, dan kultur urin. Sementara Desmopresin merupakan obat yang
dapat digunakan untuk mengobati Diabetes Insipidus.

DAFTAR PUSTAKA
Arima H, Oiso Y, Juul KV, Nrgaard JP. 2013. Efficacy and safety of
desmopressin orally disintegrating tablet in patients with central diabetes
insipidus: results of a multicenter open-label dose-titration study.
Endocrine Journal. 60(9):1085-1094.

Bankira L, Bardouxa P, Ahloulay M. 2001. Vasopressin and diabetes mellitus.


Nephron. 87:8-18. doi:10.1159/000045879.
Etish JL, Chapman PS, Klag AR. 2014. Acquired nephrogenic diabetes insipidus
in a dog with leptospirosis. Irish Veterinary Journal. 67:7
Knoers N, Monnens LAH. 1992. Nephrogenic diabetes insipidus: clinical
symptoms, pathogenesis, genetics and treatment. Pediatr Nephroi. 6:476482.
Kooistra HS. 2014. The diagnostic approach to polyuria in the dog. Prosiding of
the European Veterinary Conference Voorjaarsdagen. European Veterinary
Conference; 2013 April 17-19; Amsterdam, Netherlands.
Medeiros GD, Cameiro LKDS, Alves RDS, Mendes ADS, NetoRDN, Isidro P.
2014. Central diabetes insipidus in cats. Acta Scientiae Veterinariae. 2:1-4.
Meij BP, Voorhout G, Gerritsen RJ, x GCMG, Ijzer J. 2012. Lymphocytic
hypophysitis in a dog with diabetes insipidus. Journal of Comparative
Pathology. 147:503-507.

Anda mungkin juga menyukai