Anda di halaman 1dari 6

HIPOKALSEMIA DAN HIPOMAGNESEMIA

Hipokalsemia

Hipokalsemia adalah gangguan metabolism yang sering terjadi pada sapi


dengan produksi susu tinggi. Kejadian ini berhubungan dengan onset laktasi yang
cepat dan terjadi dalam 72 jam setelah melahirkan serta terjadi sebelum serta pada
saat melahirkan. Hipokalsemia ini juga diiringi dengan kelemahan muscular,
gangguan sirkulasi dan keadaan depresi.

Penyebab utama terjadinya hipokalsemia adalah tingginya kadar


potassium atau kalsium pada saat masa kering kandang. Pembatasan kadar
kalsium pada saat kering kandang selama 3-4 minggu sebelum perkawinan
sebanyak kueang dari 50 gram/sapi/hari (dosis yang disarankan 30gram/hari)
sementara kadar magnesium harus diatas 40 gram/hari. Hal ini membuktikan
bahwa rumput tidak bisa memenuhi kebutuhan ini, sehingga diperlukan asupan
tambahan seperti suplemen. Untuk mengurangi resiko terjadinya hipokalsemia
pada sapi dapat dilakukan dengan memberikan tambahan 150g kalsium klorida
per hari sebelum sapi melahirkan.

Menurut Champness dan Hamilton (2009) gejala awal hipokalsemia yang ditemui
yaitu :

 Sapi masih berbaring


 Nafsu makan menuurun
 Kurang peka terhadap lingkungan
 Tremor pada otot
 Suhu tubuh rendah
 Kaki belakang lemah dan dapat juga terjadi penimbunan gas di dalam
rumen
 Sering terjadi pada sapi setelah melahirkan

Gambaran klinis hipokalsemia yang dapat diamati tergantung pada tingkat dan
kecepatan penurunan kadar kalsium di dalam darah. Ada 3 stadium gambaran
klinis yaitu :

1. Stadium prodomal (stadium 1) serum Ca 6,5-8,0 mg/d. pada stadium


ini penderita menjadi gelisah dengan ekspresi muka yang bringas.
Nafsu makan dan pengeluaran kemih serta tinja terhenti. Meskipun ada
usaha untuk buang air besar namun usaha tersebut tidak akan berhasil.
Sapi mudah mengalami rangsangan dari luar dan bersifat hipersensitif.
Otot otot kepala maupun kaki tampak tremor.
Jika hipokalsemia dibarengi dengan penurunan kadar magnesium yang
cukup berat akan terlihat stadium tetanik yang panjang. Waktu berdiri
hewan tampak kaku, tonus otot otot alat gerak meningkat, dan bila
bergerak tampak inkoordinasi. Penderita melangkah dengan berat,
hingga terlihat hati hati dan bila dipaksa akan jatuh. Bila telah terjatuh
usaha untuk bangun dilakukan dengan susah payah dan mungkin tidak
berhasil.
2. Stadium berbaring / recumbent (stadium 2) serum Ca 4,0-6,0 mg/d.
pada stadium ini sapi penderita dilaporkan sudah tidak mampu untuk
berdiri, berbaring pada sternumnya dengan kepala yang mengarah ke
belakang, sehingga dari belakang seperti membentuk huruf S. karena
dehidrasi kulit tampak kering, Nampak lesu, pupil mata normal dan
membesar, dan tanggapan terhadap rangsangan sinar jadi lambat atau
hilang sama sekali. Tanggapan terhadap rangsangan rasa sakit juga
berkurang, otot otot jadi kendor, spinter ani mengalami relaksasi,
sedangkan nafsu makan pun hilang dan penderita semakin tambah lesu
reflek anal menghilang, dengan rectumnya berisi tinja kering atau
setengah kering. Pada awal stadium ini penderita masih mau makan
dan masih mengalami proses ruminasi, meskipun intensitasnya
berkurang, tetapi masih dapat terlihat. Pada tingkat selanjutnya
ruminasi hilang dan nafsu makan pun hilang dan penderita semakin
bertmbah lesu. Gangguan sirkulasi yang mengikuti akan terlihat
sebagai pulsus yang frekuen dan lemah, rabaan pada alat gerak terasa
dingin dan suhu rektal bersifat subnormal.
3. Stadium koma (stadium 3) penderita Nampak sangat lemah, tidak
mampu bangun dan berbaring pada salah satu sisi (lateral
recumbency). Kelemahan otot otot rumen akan segera diikuti denga n
kembung rumen. Gangguan sirkulasi sangan mencolok, pulsus menjadi
lemah dan suhu tubuh turun dibawah normal. Pupil melebar dan reflek
terhadap sinar menghilang. Stadium koma kebanyakan diakhiri dengan
kematian, meskipun pengobatan konvensional telah dilakukan.

Facktor – factor predisposisi yang mempengaruhi terjadinya hipokalsemia


antara lain :

 Tingkat produksi susu. Sapi sapi dengan produksi susu tinggi lebih
rentan terhadap hipokalsemia. Peningkatan produksi susu akan
menyebabkan meningkatnya metabolism kalsium dang
meningkatkan kalsium ke air susu, bila terjadi kegagalan
homeostatis kalsium maka dapat menyebabkan hipokalsemia.
 Umur sapi. Bertambahnya umur pada seekor sapi akan
menurunkan tingkat metabolism umum. Kapasitas penyerapan
kalsium mengalami penurunan, cadangan kalsiumnya berkurang
sehingga sapi sapi tua beresiko tinggi terhadap hipokalsemia
 Asupan (intake) diet Ca sebelum kelahiran. Asupan Ca tidak boleh
berlebihan selama periode kering kandang karena intake Ca yang
berlebihan dapat merangsang C-thyroid untuk mensekresi
kalsitonin. Kalsitonin akan aktif karena sapi terlalu banyak
mengkonsumsi Ca. oleh karena itu diet Ca tinggi merupakan
penyebab utama terpengaruhnya metabolism mineral oleh
kalsitonin
 Ransum pakan. Pakan sapi terdiri dari hijauan san konsentrat dan
harus seimbang Ca:P = 1:1.

Hipomagnesemia

Hipomagnesemia (tetani hypomagnesemic/grass tetany) adalah penyakit


metabolisme pada hewan karena konsentrasi magnesium serum dibawah normal.
Kadar magnesium serum normal 1,5 sampai 2,5 mEq/L (atau 1,8–3,0 mg/dl; SI
0,75 – 1,25mmol/L).

Hipomagnesemia sering terjadi pada sapi dewasa terutama sapi dengan


produksi susu tinggi. Ditinjau dari bangsa sapi, bangsa Jersey paling sering
menderita penyakit ini disusul kemudian sapi Holstain Frisian dan bangsa sapi
yang lain. Penyakit tersebut cenderung dialami sapi dan domba bunting atau
laktasi, akibat kebutuhan magnesium yang meningkat selama periode tersebut.
Hipomagnesemia juga sering terjadi pada peternakan yang digembalakan pada
padang rumput muda. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat rumput pada
padang penggembalaan tidak mendapat tambahan mineral yang seimbang.

Penyakit ini banyak dilaporkan di negara-negara dengan empat musim


seperti Eropa, Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru. Di beberapa negara
dengan peternakan sapi perah yang maju, kejadian penyakit mencapai 3-10% dan
kadang-kadang di dalam satu peternakan dapat berupa wabah dengan angka
kejadian mencapai 90%. Hal ini karena dalam satu peternakan digunakan pakan
yang sama.

Gejala klinis hewan yang menderita hipomagnesemia akan mengalami gejala


seperti berikut :

 Terlihat gugup (gelisah/depresi) dan agresif serta terjadi perubahan


tempramen
 Kedut otot atau sempoyongan, ambruk, mengalami konvulsi, koma, dan
bahkan mati
 Penurunan produksi susu
 Penurunan kondisi kesehatan
 Sering terjadi pada masa kering kandang (subklinis hipomagnesia)

Gejala-gejala klinis yang ditunjukkan berdurasi sangat singkat, sehingga


hewan sering ditemukan telah dalam keadaan mati (McCoy, Maurice, 2014). Pada
sistem kardiovaskular, terjadi kerentanan peningkatan arithmiasis yang terkait
dengan penggunaan digoxin, peningkatan kejadian fibrilasi atrium. Pada
neuromuskular, hipomagnesemia mengakibatkan seizure/koma, tetani, kelemahan,
ataxia, dyspenia (kelemahan mempengaruhi otot-otot pernapasan), disfagia,
depresi, serta hiperrelexia (gejala sekunder terhadap hipokalsemia). Selain itu,
kasus ini dapat menyebabkan ileus edinamik (mual, anoreksia, dan emesis), serta
pada sistem sirkulasi dapat menyebabkan hemolisis, anemia, dan agregasi
trombosit (Newman, Chick. 2012).
Hipomagnesemia dalam beberapa kasus bersifat subklinis. Hipomagnesemia
subklinis umum terjadi pada kuda dalam keadaan kritis dan pada hewan kecil
dapat meningkatkan keparahan pada sindrom respon inflamasi sistemik,
memperburuk respon sistemik terhadap endotoksin, dan menyebabkan ileus,
aritmia, jantung, hipokalemia refrakter, dan hipokalsemia. Meskipun diet untuk
kuda dan hewan kecil jarang ditemukan kekurangan Mg. Hipomagnesemia akut
subklinis sangat umum terjadi pada hewan yang sakit kritis.

Penurunan konsentrasi Mg plasma disebabkan antara lain oleh:

a. asupan magnesium dalam makanan yang tidak memenuhi persyaratan


normal (3 mg/kg berat badan) dan menyusui (120 mg/kg susu)
b. penurunan penyerapan Mg dari rumen (kelainan pencernaan) bisa
karena kadar kalium dan nitrogen yang tinggi sedangkan natrium dan
fosfor rendah pada pakan. Tanah secara alami tinggi kalium apalagi
bagian yang dipupuk dengan kalium serta nitrogen
c. pengeluaran Mg yang berlebihan oleh ginjal, vomit, dan diare terus
menerus dalam waktu lama. Kadar aldosteron, hormon antidiuretic, atau
hormon tiroid yang tinggi dapat menyebabkan pembuangan Mg yang
berlebihan oleh ginjal. Penggunaan diuretik, obat anti jamur
amphotericin B atau obat anti kanker cisplatin juga dapat menyebabkan
hipomagnesemia
d. konsentrasi serum Mg rendah akibat diubahnya Mg dalam homeostatis,
redistribusi seluler atau third-space, gastrointestinal kehilangan Mg,
atau diuresis sekunder terhadap terapi cairan agresif dengan cairan IV
yang diberikan suplemen dengan Mg
e. adanya retensi PTH (parathormon) dan penghambatan sekresi PTH
serta fosfat yang rendah atau normal
f. sering dipicu oleh stres, seperti terjadi penurunan nafsu makan,
penurunan Mg secara signifikan dalam diet, cuaca dingin, dan
transportasi. Magnesium mengubah metabolisme kalsium dan mampu
meningkatkan resiko milk fever pada sapi yang baru saja dipisah dan
berada pada padang rumput terutama di musim semi dan musim gugur.

Pengobatan
Prinsip pengobatan hipomagnesemia memerlukan Mg2+, K+ dan mungkin
juga PO4. Pengobatan melalui oral dilakukan apabila tidak terdapat gangguan
pencernaan dengan memberikan MgSO4.7H2O sebanyak 2 gram yang setara
dengan 16,3 mEq 3x1. Secara intra muskuler, 2 gram MgSO4 dalam larutan (4ml
larutan 50%) dapat diberikan sampai 4 kali sehari selama 3–5 hari. Secara intra
vena, 1 liter larutan dextrose 5% yang mengandung MgSO4 sebanyak 160 mEq/L
dapat diberikan secara intra vena dalam jangka waktu 2–4 jam. Larutan ini adalah
larutan MgSo4 1% dan di buat dengan menambahkan 20 ml larutan MgSO4 50%
ke dalam 1 liter larutan dextrose 5% dalam air. Menifestasi serius seperti kejang
harus diterapi dengan magnesium sulfat intravena, 1±2 g (4±8 mmol) diberikan
secara lambat selama 15±60 menit. Terapi penggantian cairan atau elektrolit, baik
melalui oral atau intravena, dapat mengembalikan penurunan elektrolit menjadi
normal.

Pencegahan

Pencegahan Hypomagnesemia dilakukan dengan cara pengembalaan yang


terencana atau secara rotasi hingga sapi tidak memperoleh tanaman muda yang
mengandung air secara berlebihan bila perlu suplementasi dengan senyawa
magnesium diberikan secara langsung di padang rumput. Garam blok yang
mengandung garam dapur tetes yang dikeringkan, MgO dan tepung biji kapas
dengan perbandingan 1:1:1:4 yang diberikan secara ad libitum telah digunakan
secara efektif untuk mencegah grass tetani. Senyawa MgCl2 yang diberikan
bersama tetes yang mengndung urea juga dianjurkan diberikan ke dalam akan di
padang gembala.

Anda mungkin juga menyukai