Anda di halaman 1dari 19

Refeeding Syndrome

Oleh :
Rahadiyan Hadinata
15014101034
Masa KKM : 27 Juli – 9 Agustus 2020

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI
RSUP PROF. Dr. R. D. KANDOU
MANADO
2020
 Definisi

Istilah refeeding syndrome pertama kali dikenalkan pada tawanan perang

setelah Perang Dunia kedua. Setelah lama kelaparan dan diberi makan para

tawanan tersebut mengalami gagal jantung.

Refeeding syndrome adalah kumpulan gejala akibat pergeseran cairan dan

elektrolit yang berat akibat pemberian nutrisi awal pada pasien malnutrisi dan

menimbulkan gangguan metabolik.

Prevalensi pasti kejadian refeeding syndrome tidak diketahui. Pada pasien

kanker yang mendapat dukungan nutrisi , kejadian refeeding syndrome dilaporkan

sebesar 25 %. Meskipun pada pasien yang menerima suplementasi parenteral,

hipofosfatemia dapat terjadi 30 -38 % pada yang menerima fosfat dan dapat

meningkat sampai 100% pada pasien yang tidak menerima fosfat.

Pada starvasi atau kelaparan, sekresi insulin berkurang sebagai tanggapan

terhadap asupan karbohidrat yang rendah. Sebagai kompensasi, cadangan lemak

dan protein dikatabolisme untuk menghasilkan energi. Ini mengakibatkan

elektrolit intrasel terkuras, terutama fosfat. Cadangan fosfat intraseluler pada

pasien malnutrisi bisa berkurang walaupun kadar fosfat serum normal. Ketika

mereka mulai makan, pola metabolisme berubah dari lemak ke karbohidrat dan

sekresi insulin meningkat. Ini merangsang ambilan fosfat ke dalam sel, dan bisa

mencetuskan hipofosfatemia mencolok. Fenomena ini biasa terjadi dalam

beberapa hari setelah mulai makan.


Banyak perubahan fisiologis terjadi selama refeeding yang dapat

mengakibatkan morbiditas dan mortalitas pasien meningkat. Deplesi mineral

intraseluler (misalnya, hipofosfatemia, hipomagnesemia, hipokalemia), gangguan

cairan tubuh ("Refeeding edema"), defisiensi vitamin (misalnya, tiamin), aritmia

jantung, gagal napas, dan gagal jantung kongestif adalah yang paling sering

dilaporkan kejadian terkait dengan refeeding.

Mengenali individu yang rentan untuk refeeding syndrome dan

pemahaman tentang mekanisme kompensasi fisiologis sehingga implikasi nutrisi

sangat penting untuk menghindari morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan

fenomena ini.

Pada referat ini akan dibahas mengenai patofisiologi, gambaran klinis,

faktor risiko, pencegahan dan penatalaksanaan nutrisi pada refeeding syndrome.

 Patofisiologi dan Gambaran Klinis pada Refeeding Syndrome

Pada keadaan puasa 24 sampai 72 jam pertama , kadar glukosa darah

mulai menurun. Penurunan konsentrasi insulin sementara meningkatkan kadar

glukagon, mengakibatkan mobilisasi penyimpanan glukosa utama dari glikogen.

Karena kekurangan glukosa-6-fosfatase dan GLUT-2 transporter, glikogen otot

rangka hanya dapat memasok glukosa ke miosit, sedangkan glikogen hati

dipecahkan dan menyediakan glukosa untuk seluruh tubuh. Perubahan awal

membantu dalam memasok glukosa untuk jaringan tergantung glukosa (otak,

medula ginjal, dan sel darah merah). Namun, setelah 72 jam puasa/ kelaparan,

ketika cadangan glikogen hati dan otot rangka sepenuhnya dan sebagian habis,
masing-masing sintesis glukosa terjadi terutama dari pemecahan produk lemak

dan protein . Secara khusus, pelepasan sejumlah besar asam lemak dan gliserol

dari jaringan adiposa dan asam amino dari otot rangka yang diamati. Oksidasi

Asam lemak hepatik menghasilkan pembentukan badan keton (asetoasetat, β-

hidroksibutirat dan aseton) yang dapat dikonversi ke asetil-koenzim A untuk

menghasilkan energi melalui siklus Krebs. Energi dalam bentuk glukosa juga

disintesis dari gliserol endogen, glukoneogenesis asam amino (terutama alanin

dan glutamin), laktat dan piruvat yang dihasilkan oleh glikolisis melalui siklus

Cori. Secara keseluruhan, adaptasi untuk perubahan menjadi sumber energi ini

dapat mengakibatkan hilangnya lemak dalam dan pengecilan otot, serta terjadi

penurunan elektrolit, magnesium, potasium, dan fosfat.

Pada starvasi atau kelaparan, sekresi insulin berkurang sebagai tanggapan

terhadap asupan karbohidrat yang rendah. Sebagai kompensasi, cadangan lemak

dan protein dikatabolisme untuk menghasilkan energi. Sindrom refeeding terjadi

ketika pasien diperkenalkan kembali karbohidrat sebagai sumber energi utama.

Metabolisme glukosa menyebabkan peningkatan penggunaan fosfat, yang

digunakan untuk menghasilkan adenosin trifosfat (ATP) dan 2,3-

diphosphoglycerat. Keadaan ini menyebabkan uptake fosfor seluler meningkat,

sehingga kadar serum fosfor menurun. Hipofosfatemia adalah fenomena dominan

terkait dengan refeeding syndrome. Selain itu, karbohidrat merangsang sekresi

insulin pankreas, mengakibatkan peningkatan uptake glukosa selular dan sintesis

protein. Perubahan ini memicu pergerakan fosfor, kalium, dan magnesium ke

intrasel. Fenomena ini biasa terjadi dalam beberapa hari setelah mulai makan.
Pemberian awal karbohidrat juga dapat mengurangi ekskresi air dan natrium,

sehingga terjadi ekspansi dari kompartemen cairan ekstraseluler dan overload

cairan, edema paru dan / atau dekompensasi jantung. Beberapa gambaran klinis

tambahan juga dapat diamati akibat hipofosfatemia, hipokalemia,

hipomagnesemia, hiperglikemia, dan defisiensi thiamin.

Gambar 1. Patofisiologi Refeeding Syndrom (Stanga et al.2008)

Penting diketahui bahwa gambaran klinis dini dari refeeding syndrome

tidak spesifik dan mungkin tidak dikenali.


a. Gambaran Klinis Akibat Gangguan Distribusi Cairan

Kelainan metabolik, terutama gangguan elektrolit dan cairan, dihasilkan

akibat refeeding syndrome yang dapat mempengaruhi banyak fungsi

tubuh. Intoleransi cairan dapat menyebabkan gagal jantung, dehidrasi

atau cairan yang berlebihan, hipotensi, gagal prerenal, dan kematian

mendadak. Pemberian karbohidrat awal dapat mengurangi ekskresi air dan

natrium, mengakibatkan ekspansi kompartemen cairan ekstraselur

dan peningkatan berat badan, terutama jika asupan natrium meningkat.

Pemberian makanan awal yang didominasi dengan protein atau lemak

dapat mengakibatkan penurunan berat badan dan ekskresi natrium urin,

menyebabkan keseimbangan natrium negatif. Makan protein tinggi juga

dapat mengakibatkan hipernatremia terkait dengan dehidrasi hipertonik,

azotemia, dan asidosis metabolik.

b. Gambaran Klinis Gangguan Metabolisme Glukosa dan Lemak

Konsumsi glukosa dapat menekan glukoneogenesis, sehingga mengurangi

penggunaan asam amino (didominasi alanin) dan mengarah ke

keseimbangan nitrogen positif. Namun, setelah infus glukosa

glukoneogenesis ditekan, maka pemberian lebih lanjut dapat

menyebabkan hiperglikemia. Hal ini pada gilirannya dapat menyebabkan

koma hiperosmolar nonketotic, ketoasidosis dan asidosis metabolik,

diuresis osmotik, dan dehidrasi. Selanjutnya, glukosa dapat dikonversi

menjadi lemak melalui lipogenesis, yang dapat menimbulkan


hipertrigliseridemia, fatty liver dan tes fungsi hati abnormal, peningkatan

respiratory quotient mengakibatkan peningkatan produksi karbon dioksida,

hiperkapnia, dan gagal napas.

c. Defisiensi Tiamin (vitamin B1)

Defisiensi tiamin (vitamin B1) dikaitkan dengan refeeding. Pasien yang

sebelumnya kurang gizi dapat memiliki berbagai defisiensi vitamin,

termasuk tiamin, yang dapat dipulihkan dengan memulai pemberian

makanan.

Tiamin merupakan prekursor metabolit aktif thiamin pyrophosphate (TPP)

yang penting untuk metabolisme dan penggunaan glukosa yang optimal.

Thiamin pyrophosphate (TPP) adalah kofaktor untuk 3 enzim penting,

terutama pyruvate dehydrogenase. Pada defisiensi tiamin, konversi dari

piruvat ke acetyl coenzyme-A (CoA) diblok sehingga terjadi akumulasi

piruvat yang kemudian dikonversi menjadi laktat. Keadaan ini akan

menyebabkan overproduksi laktat yang akan diikuti dengan asidosis

laktat.

Kekurangan tiamin dapat menyebabkan ensefalopati Wernicke

yang terkait dengan gangguan mata, kebingungan, ataksia, dan koma,

atau sindrom Korsakov yang menyebabkan kehilangan memori jangka

pendek. Diperkirakan bahwa pemberian karbohidrat awal menyebabkan

penggunaan tiamin selular meningkat karena merupakan kofaktor untuk

berbagai kegiatan enzimatik, misalnya, transketolase. Pemberian tiamin


pada saat mulai pemberian makanan dapat mengurangi gejala defisiensi

tiamin.

d. Hipofosfatemia

Salah satu gambaran utama dari refeeding syndrome adalah

hipofosfatemia. Cadangan fosfat tubuh antara 500 dan 800 g pada manusia

dewasa. Sekitar 80% adalah dalam kerangka tulang dan 20%

didistribusikan di jaringan lunak dan otot. Fosfat adalah anion intraselular

utama . Asupan fosfat dalam makanan adalah sekitar 1 g/hari dan sekitar

80% diserap di jejunum. Fosfat yang dapat diserap 60-70 % dari diet.

Makanan kaya protein adalah sumber utama asupan fosfat, seperti sereal

dan kacang-kacangan. Biasanya defisiensi fosfat dari makanan tidak biasa,

bahkan, asupan seringkali lebih dari yang dianjurkan. Ekskresi fosfat

terutama melalui ginjal, sekkitar 90 %. Sebagian besar fosfat disaring di

glomerulus ini diserap kembali oleh tubulus proksimal, dan sistem ini

penting untuk kontrol homeostasis fosfat. Kehilangan melalui

gastrointestinal sekitar 10% dari fosfat tubuh. Fosfat penting untuk

fungsi sel dan memiliki banyak fungsi fisiologis. Fosfat berperan sebagai

buffer intraselular yang penting. Fosfat memiliki struktur yang berperan

sebagai komponen dari fosfolipid, nukleoprotein, dan asam nukleat. Selain

itu, fosfat memainkan peran sentral dalam metabolisme seluler termasuk

jalur glikolisis dan fosforilasi oksidatif. Salah satu produk sampingan dari

glikolisis adalah 2,3-diphosphoglycerate, merupakan pengatur dari

disosiasi oksigen hemoglobin, pengiriman oksigen ke jaringan dan


menyumbang sekitar 80% dari fosfat organik dalam eritrosit. Selanjutnya,

fosfat terlibat dalam banyak proses enzimatik. Nukleotida seperti adenosin

trifosfat mengandung fosfat. Fosfat dibutuhkan untuk menghasilkan

adenosin trifosfat (ATP) dari adenosin difosfat (ADP) dan untuk reaksi

fosforilasi penting lainnya. Peran lainnya adalah eksitasi- respon stimulus

dan sistem konduksi saraf.

Konsentrasi fosfor serum normal adalah 2,5 - 4,5 mg/dL,

hipofosfatemia bila kadarnya <2,5mg/dL dan umumnya terjadi pada hari 2

– 4 dari awal pemberian makanan. Hipofosfatemia ringan sampai sedang

(>1,5 mg/dL) kadang tidak dikenali karena sering asimptomatis,

manifestasi klinis biasanya muncul bila terjadi hipofosfatemia berat (<1,5

mg/dL).

Rabdomiolisis adalah salah satu gejala klinis akibat

hipofosfatemia, merupakan gangguan fungsi otot skeletal, termasuk

kelemahan dan miopati. Hipofosfatemia telah dilaporkan merusak

kontraktilitas diafragma dan mungkin membantu menjelaskan kesulitan

dalam mengurangi ketergantungan pasien pada ventilator mekanik.

Kardiomiopati adalah komplikasi lain yang dapat terjadi akibat

hipofosfatemia berat. Dapat terjadi kejang, gangguan kondisi mental, dan

parestesia. Hipofosfatemia Berkepanjangan, tidak terduga, dapat

menyebabkan osteomalasia. Kerusakan tubular ginjal dapat dipercepat

oleh hipofosfatemia, dan nekrosis tubular akut akibat sekunder

rabdomiolisis. Pada hematologi, efek yang disebabkan oleh hipofosfatemia


berat adalah trombositopenia, gangguan proses pembekuan, dan

mengurangi fagositosis dan kemotaksis leukosit.

e. Hipomagnesemia

Magnesium adalah kation divalen terbanyak intraseluler (hanya sekitar 1

% pada cairan ekstrasel) dan penting bagi fungsi optimal. Magnesium sel

adalah logam penting sebagai kofaktor untuk banyak enzim. Di dalam

tubuh, magnesium ditemukan terutama di tulang dan otot. Magnesium

sebagian besar diserap di usus kecil bagian atas. Sebanyak 70% dari

asupan magnesium makanan tidak diserap tetapi dikeluarakan melalui

tinja. Jalur ekskresi utama adalah melalui ginjal.

Konsentrasi magnesium serum normal adalah 1,5 – 2,4 mg/dL.

Refeeding syndrome dikaitkan dengan hipomagnesemia. mekanisme ini

tidak jelas dan mungkin multifaktorial. Status magnesium yang sudah

tidak baik sebelumnya dapat memperburuk tingkat hipomagnesemia.

Analog dengan hipofosfatemia, banyak kasus hipomagnesemia secara

klinis tidak signifikan, tetapi hipomagnesemia berat (biasanya konsentrasi

plasma, <0,50 mg/dL) dapat mengakibatkan komplikasi klinis.

ipomagnesemia berat dapat menyebabkan aritmia jantung. Selain itu

didapatkan rasa tidak nyaman pada abdomen dan anoreksia, gangguan

neuromuskuler seperti tremor, paresthesia, tetani, kejang, iritabilitas,

kebingungan, kelemahan, dan ataksia.

f. Hipokalemia.
Kalium merupakan kation monovalen penting intraselular (98 %

total kalium tubuh), yang berfungsi untuk menjaga potensial aksi sel-

membran. Total kalium tubuh diatur oleh ginjal.

Kadar kalium serum normal adalah 3,5 – 5,0 mEq/L.

Hipokalemia berat dapat didefinisikan sebagai konsentrasi kalium plasma

kurang dari 3,0 mmol/L dan pada titik ini manifestasi komplikasi klinis

dapat terlihat.

Gambaran klinis hipokalemia terdiri dari aritmia jantung,

hipotensi, dan serangan jantung, pada gastrointestinal terdiri dari ileus dan

konstipasi. Disfungsi neuromuskular seperti lemah, lumpus digitalis,

paresthesia, kebingungan, rabdomiolisis, dan depresi pernafasan.

Gambaran lainnya adalah potensiasi toksisitas digitalis, intoleransi

glukosa, dan alkalosis metabolik.

 Faktor Resiko

Identifikasi faktor risiko merupakan hal yang terpenting dalam

penanganan refeeding syndrome. Faktor-faktor risikonya dibagi atas risiko

sedang, tinggi dan sangat tinggi.

a. Risiko sedang.

Pasien yang asupan nutrisinya sangat kurang selama > 5 hari.

b. Risiko tinggi

Bila pasien memiliki satu atau lebih hal berikut:


1) penurunan berat badan yang tidak disengaja > 15% dalam 3-6

bulan terakhir

2) asupan gizi sangat sedikit atau tidak ada selama >10 hari

3) memiliki kadar K+, PO4, atau Mg yang rendah sebelum makan

Atau memiliki 2 atau lebih hal berikut:

1) Indeks massa tubuh (IMT) kurang dari 18.5kg/m2

2) penurunan berat badan yang tidak disengaja > 10 % dalam 3-6

bulan terakhir

3) asupan gizi sangat sedikit atau tidak ada selama >5 hari

4) Riwayat penyalahgunaan obat-obatan, alkohol

5) Riwayat penggunaan insulin, kemoterapi, antasida, dan diuretik.

c. Risiko sangat tinggi

Pasien memiliki hal-hal berikut:

1) IMT <14 kg/m2

2) Asupan yang sangat kurang (diabaikan) selama >15 hari

3) Kadar elektrolit rendah.

Beberapa kelompok pasien yang berisiko untuk mengalami refeeding

syndrome dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


Tabel 1. kelompok pasien yang berisiko untuk mengalami refeeding

syndrome

Sumberr: Stanga et al., 2008

 Pencegahan & Penatalaksanaan


Refeeding syndrome dapat terjadi pada awal pemberian makan baik secara

oral, enteral, ataupun parenteral. Pencegahan adalah kunci keberhasilan

pengelolaan. Tiga faktor yang mendasar adalah; identifikasi awal

individu dengan risiko, pemantauan selama mulai pemberian makanan, dan

pemberian formula yang tepat dengan melibatkan tim dukungan nutrisi.

Langkah pertama dalam pencegahan refeeding syndrome adalah

mengidentifikasi pasien yang berisiko. Anamnesis secara menyeluruh dan

pemeriksaan fisik dapat mengidentifikasi faktor-faktor risiko dan karakteristik

gizi buruk (misalnya muscle wasting, kulit kering, rambut tipis). Penilaian

laboratorium meliputi pemeriksaan serum albumin dan prealbumin kadar.

Serum albumin dengan waktu paruh 2 - 3-minggu sangat sensitif untuk

malnutrisi namun memiliki spesifisitas rendah.Prealbumin digunakan sebagai

indikator dalam memantau efektivitas terapi gizi, memiliki waktu paruh pendek

1,9 hari, adalah indikator yang lebih sensitif untuk penilaian status gizi. Transferin

dengan waktu paruh 1 minggu juga dapat digunakan.

Pasien yang berisiko terkena refeeding syndrome perlu pemantauan

elektrolit, terutama fosfor, magnesium, dan potasium, sebelum makan dan setiap

hari selama 4 sampai 7 hari. Jika terdapat kelainan elektrolit

penggantian peroral lebih disukai jika dapat ditoleransi atau suplemen intravena

dapat digunakan pada pasien yang tidak mampu untuk memperoleh suplemen

oral atau pada pasien yang berisiko tinggi. Penatalaksanaan nutrisi ditunda

sampai elektrolit normal.


Beberapa strategi awal telah diusulkan untuk mencegah terjadinya

refeeding syndrome yaitu mantra klinis “ start low go slow”. Salah satu

rekomendasi konservatif menganjurkan mulai dari 25% dari target pada hari 1

dan ditingkatkan secara bertahap selama beberapa hari. Rekomendasi yang lebih

umum adalah 20 kkal / kg per hari atau 1.000 kkal/hari , pada pasien penderita

gizi buruk, 15 kkal /kg per hari. Tujuan dapat dicapai dalam waktu 5 sampai 7

hari.

Penatalaksanaan refeeding pada pasien dewasa yang berisiko terjadi Refeeding

syndrome :

Rekomendasi Umum
1) Meningkatkan kesadaran semua tenaga kesehatan pentingnya penilaian
pasien berisiko, rencana perawatan interdisipliner, dan pemantauan.
2) Menghargai bahwa risiko dapat terjadi apakah pasien diberi makan
peroral, enteral atau parenteral.
3) Hati-hati mengembalikan volume sirkulasi: pantau denyut nadi dan
keseimbangan cairan.
4) Asupan energi harus ditetapkan hati-hati dan ditingkatkan secara
bertahap selama 4-10 hari.
5) Suplementasi empiris elektrolit dan vitamin dapat
dimulai sebelum pemberian makan dimulai.

Hari 1–3
1) Energi (semua jalur): mulai 10 kkal/kg/hari dan ditingkatkan bertahap
sampai 15 kkal/kg/hari; Karbohidrat 50–60% , lemak 30–40% dan
protein 15–20% .
2) Elektrolit: ukur konsentrasi serum basal, 4–6 jam, dan setiap hari
selama pemberian makanan.
Suplemen propilaksis (kecuali kadar plasma tinggi sebelum pemberian
makanan), pada kebanyakan kasus pemberian awal melalui jalur
intravena. Dosis tergantung berat badan dan konsentrasi elektrolit
plasma, tetapi biasanya diberikan kebutuhan harian:
Fosfat: 0.5–0.8 mmol/kg/hari
Kalium:1–3 mmol/kg/hari
Magnesium 0.3–0.4 mmol/kg/hari
Kadarnnya sebaiknya dipantau lebih sering dan suplemen dapat
ditingkatkan jika perlu.

3) Cairan: restriksi cairan yang cukup untuk mempertahankan fungsi


ginjal, menggantikan defisit atau kehilangan cairan, mencapai balans 0.
Pasien biasanya membutuhkan 20–30 ml/kg/hari.
4) Garam: restriksi sodium sampai <1 mmol/kg/hari. Jika terjadi edema,
lanjutkan restriksi.
5) Mineral dan trace elemen: 100% AKG. Zat besi sebaiknya tidak
disuplementasi pada minggu pertama.
6) Vitamin: 200% AKG, berikan 200–300 mg thiamine i.v. paling kurang
30 menit sebelum makan, dan 200–300 mg perhari i.v. atau peroral
sampai hari ke-3.
7) Monitor setiap hari:
Berat badan (keseimbangan cairan).
Pemeriksaan klinis: edema, tekanan darah, denyut nadi,sistem
kardiovaskuler dan pernapasan
Biokimia: fosfat, magnesium, kalium, nattrium, kalsium, glukosa,
ureum,kreatinin, thiamin
Sebaiknya pemantauan EKG pada kasus yang berat.

Hari 4–6
1) Energi (semua jalur): 15–20 kkal/kg/hari; karbohidrat 50–60%, lemak
30–40% dan protein 15–20% .
2) Elektrolit: Lanjutkan suplementasi, dapat ditingkatkan atau dikurangi
tergantung konsentrasi plasma. Jika diagnosis refeeding syndrome telah
ditegakkan, tujuannya adalah mengembalikan ke kadar normal. Jika:
PO4 2- <0.6 mmol/L, berikan 30–50 mmol fosfat i.v. selama 12 jam
Mg2+ <0.5 mmol/L, berikan 24 mmol MgSO4 i.v. selama 12 jam
K+ <3.5 mmol/L, berikan >20–40 mmol KCl i.v. selama 4 jam.
Lakukan pemeriksaan ulang, jika perlu suplementasi ulang .
3) Mineral dan vitamin: selama 1–3 hari.
4) Cairan: tergantung status hidrasi, perubahan dan kehilangan berat badan.
Pasien biasanya membutuhkan 25–30 ml/kg/hari.
5) Monitor setiap hari: selama 1-3 hari.

Hari 7–10
1) Energi (semua jalur): 20–30 kkal/kg/hari; karbohidrat 50–60%, lemak
30–40% fat, dan protein 15–20% .
2) Elektrolit, mineral and vitamin: sama dengan penanganan di atas. Besi
seharusnya disuplementasi mulai pada hari ke- 7.
3) Cairan : pertahankan keseimbangan cairan 0. Kebutuhan sekitar 30
ml/kg/hari
4) Monitor berat badan dan biokimia 2 kali seminggu
Pemeriksaan klinis: setiap hari

Sumber: Stanga et al., 2008

Penanganan gangguan elektrolit juga dapat mengikuti guideline dibawah ini:

Tabel 2. Guideline untuk penggantian fosfor pada pasien dewasa


Sumber: Mc Cray et al., 2005

Tabel 3. Rekomendasi penggantian magnesium

Sumber: Mc Cray et al., 2005

Tabel 4. Rekomendasi penggantian kalium

Kadar Kalium (mmol/L) Terapi


3,0 – 3,5 Tablet K (12 mmol), 2 kali sehari
≤ 2,9 IV KCL 40 mmol dalam 1 L NaCl 0,9% atau
Dekstrose 5% selama 8 jam. Konsentrasi tidak
> 40 mmol/L perifer. Maksimal kecepatan
adalah 20 mmol/jam kecuali melalui jalur
sentral dengan monitor EKG.
Sumber: Royal United Hospital Bath, 2011

Kebutuhan energi pada pasien yang berisiko sedang diberikan maksimal

50 % dari kebutuhan sampai 2 hari pertama, untuk yang berisiko tinggi diberikan

10 kkal/kg/hari, dan bila berisiko sangat tinggi hanya diberikan 5 kkal/kg/hari.

Kebutuhan energi dapat ditingkatkan bertahap mencapai kebutuhan energi target

sesuai dengan kondisi klinis pasien. Berdasarkan pengalaman klinis, peningkatan

200 – 300 kkal setiap 3 – 4 hari umumnya ditoleransi dengan baik. Jika terjadi

gejala refeeding syndrome yang berat, peningkatan kalori harus lebih lambat dan

penggantian elektrolit dilanjutkan sebelum terjadi komplikasi yang lebih berat.

Jika tidak terdapat gejala refeeding yang signifikan, maka peningkatan pemberian

nutrisi dapat dipercepat.

Anda mungkin juga menyukai