Anda di halaman 1dari 14

Referat Umum Kepada Yth.

Nutrisi dan Penyakit Metabolik

REFEEDING SYNDROME

Penyaji : dr. Diana Sari


NIM : 2007601050003
Hari/Tanggal : Kamis/28 April 2022
Pembimbing : dr. Eka Yunita Amna, Sp.A

PENDAHULUAN

Refeeding syndrome adalah sekelompok gangguan elektrolit dan


metabolisme yang terjadi sebagai akibat dari pemberian nutrisi (oral, enteral, atau
parenteral) pada pasien dengan malnutrisi berat. Sindrom ini pertama kali
dijelaskan pada akhir perang dunia kedua yaitu pada tahun 1940-an dan menjadi
penting selama pengembangan nutrisi buatan. Hal ini ditandai dengan gangguan
elektrolit hipofosfatemia, hipomagnesemia, dan hipokalemia.1
Refeeding syndrome menggambarkan respon fisiologis tubuh terhadap
peningkatan energi (karbohidrat) yang dapat berakibat fatal, dari sumber apa pun
termasuk dekstrosa intravena (misalnya, larutan dekstrosa 5%), makanan oral,
nutrisi enteral atau parenteral setelah mengalami periode kelaparan atau asupan
energi sangat kurang yang mencerminkan perubahan dari katabolisme ke
anabolisme setelah pelepasan insulin. Pada anak yang dirawat di rumah sakit,
refeeding syndrome umumnya terjadi pada pemberian nutrisi yang tidak adekuat
dengan durasi 7-10 hari.2
Insiden refeeding syndrome sangat bervariasi pada berbagai studi, mulai
dari 0% hingga 62%. Data yang dikumpulkan dari 35 penelitian menunjukkan
heterogenitas yang besar. Variasi ini terjadi oleh karena adanya perbedaan dalam

1
definisi dan karakteristik pasien yang digunakan dalam penelitian. Beberapa
penelitian melaporkan tingkat insidensi kurang dari 1% ketika diagnosis refeeding
syndrome menggunakan adanya tanda klinis dan kelainan elektrolit. Di sisi lain,
tingkat insidensi yang tinggi (>50%) ketika diamati pada pasien lanjut usia yang
kekurangan gizi, pasien rawat ICU, atau menggunakan nilai ambang elektrolit
yang kurang ketat untuk diagnosis refeeding syndrome.3
Penelitian insidensi refeeding syndrome pada populasi pediatrik sangat
jarang. Penelitian yang dilakukan oleh Rebecca L dkk 2003, didapatkan insidensi
refeeding syndrome yaitu 15 dari 164 pasien (9%) pada pasien anak sakit yang
mendapatkan nutrisi parenteral.2 Penelitian yang dilakukan oleh Mbethe dan Mda
(2017) terhadap anak gizi buruk usia kurang dari 5 tahun, didapatkan 16 (15%)
dari 104 anak mengalami refeeding syndrome.4
Refeeding syndrome dapat bermanifestasi dalam berbagai tingkat keparahan,
mulai dari penurunan kadar elektrolit yang tidak signifikan secara klinis hingga
penurunan yang berat dan tiba-tiba, yang jika tidak dicegah atau dikoreksi dapat
menyebabkan terjadinya kegagalan organ.5
Penting untuk mengetahui diagnosis dan tatalaksana yang tepat serta
pencegahan terjadinya refeeding syndrome sehingga dapat mencegah morbiditas
dan mortalitas pada pasien.

PEMBAHASAN

1.1. Definisi
Berdasarkan ASPEN (American Society for Parenteral and Enteral
Nutrition), definisi refeeding syndrome adalah penurunan kadar satu atau
kombinasi dari fosfor, kalium, dan/atau magnesium, atau manifestasi dari
defisiensi tiamin, yang terjadi segera (dalam jam atau hari) setelah dimulainya
pemberian nutrisi pada individu yang mengalami kekurangan gizi berat.5
Pada akhir Perang Dunia kedua tahun 1940-an, Schnitker dan Burger
melakukan pengamatan lebih lanjut yang mendapatkan banyak tahanan yang
kelaparan mengalami gejala parah seperti gagal jantung, edema perifer, dan
gangguan neurologis setelah diberikan kembali diet normal. Satu dari lima orang

2
meninggal dalam beberapa hari berikutnya. Pengamatan tersebut merupakan
deskripsi pertama dari refeeding syndrome.6

Cerebral salt wasting Syndrome


(CSW) adalah
kondisi dimana terjadinya
kehilangan sodium
dari ginjal akibat gangguan
intrakranial sedang-
kan fungsi dari ginjal masih
dalam batas normal,
kondisi ini menyebabkan
terjadinya hiponatre-
mia dan penurunan volume
cairan ekstraselu-
ler
1.2. Epidemiologi
Penelitian insidensi refeeding syndrome pada populasi pediatrik sangat
jarang. Hanya terdapat satu penelitian insidensi refeeding syndrome pada pasien
sakit kritis yang dirawat di PICU. Penelitian yang dilakukan oleh Rebecca L dkk
2003, didapatkan insidensi refeeding syndrome yaitu 15 dari 164 pasien (9%)
pada pasien anak sakit yang mendapatkan nutrisi parenteral. Penelitian tersebut
melaporkan adanya insidensi perubahan elektrolit dalam 72 jam setelah inisiasi
pemberian dukungan nutrisi pada seluruh populasi sebesar 27% walaupun sudah

3
disertai dengan kewaspadaan dalam pemberian nutrisi.2 Penelitian yang dilakukan
oleh Mbethe dan Mda (2017) terhadap anak gizi buruk usia kurang dari 5 tahun,
didapatkan 16 (15%) dari 104 anak mengalami refeeding syndrome.4

1.3. Etiologi
Berbagai kondisi dapat menyebabkan pasien berisiko mengalami refeeding
syndrome. Tabel 1 di bawah ini merupakan kondisi yang berpotensi mengalami
refeeding syndrome.

Tabel 1. Kondisi Klinis dan Penyakit yang Berhubungan dengan Risiko


Terjadinya Refeeding Syndrome5
Acquired Immunodeficiency syndrome
Chronic alcohol atau drug use disorder
Disfagia dan dismotilitas esofagus (seperti esofagitis eosinofilik, akalasia,
dismotilitas gaster)
Gangguan makan (seperti anoreksia nervosa)
Kelangkaan makanan dan tunawisma
Failure to thrive, termasuk kekerasan fisik dan pelecehan seksual serta kasus
penelantaran (terutama anak-anak)
Hyperemesis gravidarum atau muntah berkepanjangan
Stresor berat atau pembedahan tanpa dukungan nutrisi untuk jangka waktu lama
Status malabsorbsi (seperti short bowel syndrome, Chrohn`s disease, fibrosis kistik,
stenosis pilorus, maldigesti, insufisiensi pankreas)
Kanker
Advanced neurologic impairment atau ketidakmampuan berkomunikasi
Paska pembedahan bariatrik
Pasien post operasi dengan komplikasi
Puasa yang lama (seperti individu dengan mogok makan, anoreksia nervosa)
Pengungsi
Malnutrisi protein
Stratifikasi faktor risiko terjadinya refeeding syndrome pada anak dapat
dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Identifikasi Risiko Refeeding Syndrome pada Pasien Pediatri5

4
1.4. Patofisiologi
Pada kondisi kekurangan nutrisi dalam jangka waktu yang lama,
kelangsungan hidup bergantung pada kemampuan dalam menggunakan cadangan
energi yang tersedia secara efisien. Saat kelaparan terjadi lebih lama, cadangan
energi, vitamin, dan elektrolit intraselular akan habis. Penurunan kadar elektrolit
akan diperberat oleh kondisi seperti diare, muntah, dan penggunaan diuretik,5
Refeeding syndrome merupakan respon tubuh yang terjadi terhadap
perubahan pola hormonal yang cepat dan pada jalur metabolisme. Selama periode
kelaparan, tingkat metabolisme basal berkurang sebesar 20-25%, dan terjadi
konservasi peralihan metabolik dari penggunaan glukosa sebagai energi utama
ke lemak dan protein dan terjadi penurunan glukoneogenesis. Selama periode
kelaparan, terjadi mekanisme homeostasis dalam mempertahankan konsentrasi
serum elektrolit seperti magnesium, kalium dan fosfor dengan menggunakan
simpanan ion intraseluler, serta mengurangi ekskresi elektrolit ginjal.2,7
Kelaparan menyebabkan kadar glukosa berkurang, penurunan kadar
insulin, dan peningkatan glukagon menghasilkan proses glikogenolisis yang tinggi
untuk menghasilkan energi dari sumber karbohidrat. Kepalaran yang
berkepanjangan menyebabkan kadar glikogen berkurang yang terjadi dalam 6 jam

5
sampai 3 hari, kemudian tubuh beralih menggunakan lemak dan otot untuk
menghasilkan energi.8,9
Pada refeeding, terjadi peningkatan jumlah karbohidrat, kadar hormon
glukagon menurun dengan cepat dengan glikemia dan pelepasan hormon insulin
anabolik. Peningkatan kadar insulin mendorong tingginya penggunaan fosfat dan
kalium intraseluler (misalnya, fosforilasi glukosa sebagai akibat dari glikolisis)
dan juga menstimulasi Na-K-ATP-ase yang merupakan transpor aktif glukosa,
kalium dan fosfor ke dalam sel. Fosfat juga diperlukan untuk fosforilasi glukosa
karena stimulasi glikolisis.2,9
Fosfat merupakan komponen penting dari ATP. Kondisi malnutrisi dapat
menyebabkan berkurangnya fosfat yang menyebabkan peningkatan risiko gagal
napas. Malnutrisi juga mengakibatkan terjadinya defisiensi tiamin. Kebutuhan
tiamin meningkat secara signifikan selama transisi dari periode kelaparan ke
reintroduksi nutrisi, karena terlibat (co-factor) untuk jalur metabolisme yang
bergantung pada glukosa. Proses metabolisme yang terjadi bersamaan ini
mengakibatkan penurunan tajam kadar elektrolit serum. Refeeding syndrome
terjadi sebagai akibat dari defisit mineral serum ini di samping terjadi perubahan
cepat tingkat metabolisme basal. Hiperinsulinemia menyebabkan kelebihan cairan
yang timbul akibat penurunan ekskresi natrium dan air ginjal yang dapat
menyebabkan edema paru dan gagal jantung kongestif.2,7 Hal ini dapat dilihat pda
Gambar 2.

6
Gambar 2. Patofisiologi Refeeding Syndrome2

a. Hipofosfatemia
Fosfat merupakan komponen esensial dalam DNA dan RNA, membran
sel, molekul sinyal, 2,3-difosfogliserat dalam eritrosit, dan pembentukan mineral
dalam tulang. Fosforilasi dan defosforilasi dalam sejumlah aktivitas kinase, fosfat
memiliki peranan penting dalam regulasi fungsi protein dan metabolisme
karbohidrat. Ginjal merupakan regulator utama dalam homeostasis fosfat, secara
normal 80-90% fosfat direabsorbsi dan sisanya dieksresikan dalam urin.10
Tubuh mengalami kekurangan forfat pada keadaan refeeding syndrome.
Lonjakan insulin menyebabkan peningkatan uptake dan penggunaan fosfat intra
sel. Perubahan ini menyebabkan defisit fosfat baik intrasel maupun ekstra sel.
Penurunan kadar fosfat dapat memicu disfungsi proses selular. Hal ini dapat
terjadi dalam 4 hari setelah reintroduksi makanan.11,12
Hipofosfatemia terjadi ketika konsentrasi fosfat 1,0-1,5 mg/dL (0,3-0,5
mmol/L) dapat menyebabkan gangguan fungsi neuromuskular dengan parestesia,
kejang, kram atau gangguan fungsi muskuloskeletal termasuk kelemahan dan
gangguan kontraktilitas otot. Keterlibatan fungsi otot ventilasi dapat
menyebabkan hipoventilasi dan akhirnya terjadi gagal napas. Rhabdomyolisis
terjadi akibat hipofosfatemia berat. Defisiensi fosfat juga dapat menyebabkan

7
gagal jantung, disritmia, trombositopenia, gangguan pembekuan darah dan
defisiensi fungsi leukosit.7,13,14
b. Hipokalemia
Kalium merupakan kation utama intraselular, yang berkurang saat terjadi
malnutrisi, namun kadar kalium serum tetap normal. Saat refeeding, terjadi
perubahan keadaan anabolik sebagai akibat dari sekresi insulin. Kalium beralih
masuk ke dalam sel dan mengakibatkan hipokalemia berat. Hipokalemia berat
dengan konsentrasi kalium serum 2,5 mEq/L (2,5 mmol/L) menyebabkan
gangguan elektrik potensial membran, yang mengakibatkan terjadinya aritmia dan
henti jantung, serta kelumpuhan, gangguan pernapasan, rhabdomiolisis, nekrosis
otot, dan perubahan kontraksi miokardium dan konduksi jantung.7,9

c. Hipomagnesemia
Magnesium merupakan kation utama intraselular lainnya, dan juga co-
factor penting dalam reaksi enzimatik, termasuk dalam produksi ATP dan
fosforilasi oksidatif. Magnesium merupakan bahan utama dalam struktur DNA,
RNA, ribosom, dan potensial membran. Hipomagnesemia sedang sampai berat
didefinisikan sebagai konsentrasi magnesium serum 1,0 mg/dL (0,5 mmol/L)
yang dapat menyebabkan disfungsi jantung dan komplikasi neuromuskular,
perubahan elektrokardiografi, dan kejang.7,11

d. Defisiensi Vitamin
Kekurangan vitamin dapat terjadi pada keadaan intake yang tidak adekuat.
Defisiensi tiamin merupakan komplikasi yang penting pada refeeding. Tiamin
adalah koenzim penting dalam metabolisme karbohidrat. Defisiensi tiamin
mempengaruhi metabolisme glukosa melalui reaksi piruvat dehidrogenase dan
mempengaruhi siklus Krebs dan sintesis ATP. Defisiensi tiamin menyebabkan
gangguan fungsi tubulus renal sehingga terjadi penurunan reabsorbsi elektrolit.
Tiamin memiliki peranan penting dalam mencegah terjadinya stress oksidatif.
Kombinasi ATP yang tidak mencukupi pada defisiensi tiamin dengan efek toksik
oksigen reaktif dapat menyebabkan nekrosis tubular akut melalui ischemia-
reperfusion injury.7,15

8
Manifestasi defisiensi tiamin dapat menyebabkan ensefalopati Wernicks
(yang ditandai dengan perubahan status mental, abnormalitas okular, keadaan
bingung, ataksia, hipotermia, dan koma) atau sindrom Korsakoffs (konfabulasi,
amnesia retrograde dan anterograde).7,16

1.5. Manifestasi Klinis


Refeeding syndrome dapat bermanifestasi dalam berbagai tingkat
keparahan, mulai dari penurunan kadar elektrolit yang tidak signifikan secara
klinis hingga penurunan yang berat dan tiba-tiba, yang jika tidak dicegah atau
dikoreksi dapat menyebabkan terjadinya kegagalan organ.5
Manifestasi klinis refeeding syndrome bervariasi diantaranya meliputi:2
- Kelainan elektrolit (hipokalemia, hipomagnesemia, hipofosfatemia, dan retensi
natrium) dan defisiensi tiamin
- Hiperglikemia
- Jantung: aritmia dan gagal jantung
- Pernapasan: gagal napas, kegagalan otot interkostal dan diafragma, kegagalan
weaning dari ventilator
- Hematologi: anemia
- Imunologi: disfungsi imun
- Neurologis: Wernicke`s encephalopathy
- Muskuloskeletal: kelemahan otot dan rhabdomiolisis
Manifestasi klinis refeeding syndrome secara lengkap dapat dilihat pada
Tabel 1.

1.6. Diagnosis
Berdasarkan ASPEN, kriteria diagnostik refeeding syndrome yaitu
terjadinya penurunan kadar elektrolit 1, 2, atau 3 dari kadar fosfat, kalium, dan
atau magnesium dan/atau terjadi disfungsi organ sebagai akibat penurunan kadar
elektrolit tersebut atau disebabkan oleh defisiensi tiamin5:
 Refeeding syndrome ringan: terjadi penurunan kadar elektrolit 10-20%
 Refeeding syndrome sedang: terjadi penurunan kadar elektrolit 20-30%

9
 Refeeding syndrome berat: terjadi penurunan kadar elektrolit >30%
dan/atau terjadi disfungsi organ sebagai akibat penurunan kadar elektrolit
tersebut atau disebabkan oleh defisiensi tiamin
Kejadian tersebut di atas terjadi dalam waktu 5 hari setelah dimulainya
kembali pemberian nutrisi atau secara signifikan terjadi peningkatan ketersediaan
energi.5

Tabel 1. Manifestasi Klinis Refeeding Syndrome5

1.7. Tatalaksana
Berdasarkan ASPEN, manajemen dan strategi terapi refeeding syndrome
pada pasien anak tidak terkait usia, merekomendasikan pemberian kalori sebesar
40-50%, dengan glucose infusion rate (gir) dimulai dari 4-6 mg/kg/menit (5,8-8,6
gr/kg/hari) dan dinaikkan 1-2 mg/kg/menit per hari dengan glucose infusion rate
maksimum 14–18 mg/kg/menit (20,1–25,9 gr/kg/hari). Pemberian gir ini secara
signifikan lebih tinggi daripada yang direkomendasikan untuk anak-anak sakit
kritis. European Society of Pediatric and Neonatal Intensive Care (ESPNIC) dan
European Society for Pediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition
(ESPGHAN) merekomendasikan untuk anak sakit kritis, asupan energi tidak
boleh melebihi resting energy expenditure (REE) selama fase akut sakit kritis.2

10
ASPEN tidak merekomendasikan restriksi baik cairan, natrium dan juga
protein pada anak dengan refeeding syndrome. Pemeriksaan kadar elektrolit harus
diperiksakan sebelum memulai inisiasi nutrisi, dan dimonitoring dengan
melakukan pemeriksaan setiap 12 jam dalam 3 hari pertama pada pasien yang
berisiko tinggi. Kadar elektrolit yang rendah harus dilakukan koreksi terlebih
dahulu sesuai dengan standar. Jika didapatkan kadar elektrolit yang sulit untuk
dikoreksi atau didapatkan kadar elektrolit yang turun secara tiba-tiba selama
inisisasi nutrisi, maka dilakukan penurunan kalori hingga 50% selama 1-2 hari.
Rekomendasi dapat berubah berdasarkan penilaian praktisi dan manifestasi klinis.
Penghentian pemberian asupan nutrisi dapat dipertimbangkan ketika didapatkan
kadar elektrolit sangat rendah dan/atau mengancam jiwa atau menurun drastis.5
World Health Organization (WHO) merekomendasikan tatalaksana
pemberian nutrisi pada keadaan malnutrisi akut berat (gizi buruk) mengikuti
prinsip yang sama dengan yang direkomendasikan oleh Critical Care Societies,
yang merekomendasikan pemberian nutrisi secara hati-hati, dengan peningkatan
bertahap dalam beberapa hari. Tingkat mortalitas dan morbiditas dilaporkan
berkurang dengan pemberian asupan nutrisi rendah kalori dan protein selama fase
akut. Selama fase akut sakit kritis direkomendasikan pemberian kalori tidak
melebihi REE dan asupan protein tidak melebihi 1,5 gr/kg/hari.2
Sebelum memulai pemberian asupan nutrisi, harus dilakukan penilaian
status nutrisi, dan dilakukan pemantauan dan koreksi elektrolit, terutama
kalium, fosfor dan magnesium, bersama dengan suplementasi multivitamin dan
tiamin. Untuk anak-anak dengan kadar elektrolit serum yang sulit dikoreksi atau
turun drastis, dan tidak ada penyebab lain yang dapat dikaitkan, diperlukan
pengurangan kalori (termasuk cairan yang mengandung dekstrosa) hingga 50%
selama 24-48 jam.5
Pada anak-anak yang berisiko tinggi mengalami refeeding syndrome,
dapat diberikan tiamin tambahan dengan dosis yang direkomendasikan 2 mg/kg
dengan dosis maksimal 100-200 mg/hari yang diberikan selama 5-7 hari. 2 Injeksi
multivitamin dapat diberikan bersamaan dengan nutrisi parenteral jika tidak
didapatkan kontraindikasi.5

11
Untuk mencegah kelebihan cairan, harus dilakukan monitoring pemberian
cairan secara hati-hati terutama pada hari pertama. Monitoring harian terhadap
kadar elektrolit, berat badan, dan evaluasi klinis harus dilakukan selama minggu
pertama, dengan tujuan untuk diagnosis dini dan tatalaksana refeeding syndrome.1
Monitoring tanda-tanda vital dilakukan setiap 4 jam dalam 24 jam pertama
setelah inisiasi nutrisi pada pasien yang berisiko. Monitoring berat badan
dilakukan setiap hari bersamaan dengan pemantauan input dan output cairan.5

1.8. Prognosis
Pasien refeeding syndrome yang mengalami hipofosfatemia berat memiliki
tingkat mortalitas sebesar 18,2% dibandingkan dengan 4,6% terhadap mereka
yang tidak mengalami hipofosfatemia.17

1.9 Pencegahan
Pencegahan terjadinya refeeding syndrome harus menjadi tujuan utama
ketika reintroduksi nutrisi pada pasien cachectic atau kekurangan gizi berat.
Pertama, harus dilakukan identifikasi pasien yang berisiko mengalami RS saat
memulai dukungan nutrisi dengan hati-hati dan menghindari pemberian nutrisi
yang berlebihan. Semua yang kekurangan gizi berisiko mengalami refeeding
syndrome, namun tidak semua pasien yang berisiko akan mengalami refeeding
syndrome. Prinsip memulai pemberian nutrisi yaitu "start low and go slow” yaitu
memulai dengan kalori rendah dan tingkatkan secara lambat adalah aturan utama,
dan pada hari pertama asupan kalori yang sangat rendah harus diberikan (bahkan
hanya 25% dari perkiraan kebutuhan kalori), kemudian ditingkatkan dalam 3-5
hari berikutnya. Selain itu harus dilakukan monitoring elektrolit secara ketat. 1,14
Refeeding syndrome tidak diketahui oleh banyak dokter dan ahli bedah
yang merawat pasien dengan malnutrisi. Dokter spesialis gizi dapat mengedukasi
profesional kesehatan lainnya dalam upaya pencegahan, diagnosis, dan
tatalaksana refeeding syndrome.1

12
PENUTUP
Refeeding syndrome adalah penurunan kadar satu atau kombinasi dari
fosfor, kalium, dan/atau magnesium, atau manifestasi dari defisiensi tiamin, yang
terjadi segera (dalam jam atau hari) setelah dimulainya pemberian kalori pada
individu yang mengalami periode kekurangan gizi berat. Beberapa kondisi dapat
berisiko terjadinya refeeding syndrome yaitu anoreksia nervosa, disfagia,
sindrome malabsorbsi, kanker, depresi, hiperemesis. Refeeding syndrome terjadi
perubahan dari katabolisme menuju anabolisme, terjadi konservasi peralihan
metabolik dari penggunaan glukosa sebagai energi utama ke lemak dan protein.
Manifestasi klinis refeeding syndrome bervariasi mulai dari penurunan kadar
elektrolit yang tidak signifikan secara klinis hingga penurunan yang berat dan
tiba-tiba, yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan organ. ASPEN
merekomendasikan manajemen refeeding syndrome pada pasien anak dengan
pemberian kalori sebesar 40-50%, dengan glucose infusion rate dimulai dari 4-6
mg/kg/menit. Pada anak sakit kritis fase akut direkomendasikan pemberian kalori
tidak melebihi REE dan asupan protein tidak melebihi 1,5 gr/kg/hari. Prinsip
memulai pemberian nutrisi adalah "start low and go slow”.

DAFTAR PUSTAKA

1. Martínez JJA, Moreno IH, Romero FB, Lopez AH. Etiology and
Complications of Refeeding Syndrome in the ICU. In: Diet and Nutrition in
Critical Care. Spain: Springer Science+Business Media; 2015. p. 1065–77.
2. Marino L V., Chaparro CJ, Moullet C. Refeeding syndrome and other
related issues in the paediatric intensive care unit. Pediatr Med.
2020;3(1):1–11.
3. Cioffi I, Ponzo V, Pellegrini M, Evangelista A, Bioletto F, Ciccone G, et al.
The incidence of the refeeding syndrome. A systematic review and meta-
analyses of literature. Clin Nutr. 2021;40(6):3688–701.
4. Mbethe AP, Mda S. Incidence of Refeeding Syndrome and Its Associated
Factors in South African Children Hospitalized with Severe Acute
Malnutrition. 2017;27(3).
5. da Silva JSV, Seres DS, Sabino K, Adams SC, Berdahl GJ, Citty SW, et al.
ASPEN Consensus Recommendations for Refeeding Syndrome. Nutr Clin
Pract. 2020;35(2):178–95.

13
6. Reber E, Friedli N, Vasiloglou MF, Schuetz P, Stanga Z. Management of
refeeding syndrome in medical inpatients. J Clin Med. 2019;8(12).
7. Omar M, Nouh F, Younis M, Areej N, Ahmed D, Mohamed A, et al.
Refeeding Syndrome. J fur Gastroenterol und Hepatol Erkrankungen.
2017;3(11):307–12.
8. Silva A De, Nightingale JMD. Refeeding syndrome : physiological
background and practical management. 2019;1–6.
9. Boland K, Solanki D, Hanlon CO. Prevention and Treatment of Refeeding
Syndrome in the Acute Care Setting. Irish Soc Clin Nutr Metab. 2013;
(1):31.
10. Reintam Blaser A, Gunst J, Ichai C, Casaer MP, Benstoem C, Besch G, et
al. Hypophosphatemia in Critically Ill Adults and Children – A Systematic
Review. Clin Nutr. 2020;40(4):1–11.
11. Mehanna HM, Moledina J, Travis J. Refeeding syndrome: What it is, and
how to prevent and treat it. Bmj. 2008;336(7659):1495–8.
12. Hearing SD. Refeeding Syndrome. BMJ. 2004;328(April):908–9.
13. Sobotka L. e-SPEN , the European e-Journal of Clinical Nutrition and
Metabolism Basics in Clinical Nutrition : Refeeding syndrome. E Spen Eur
E J Clin Nutr Metab [Internet]. 2010;5(3):e146–7. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.eclnm.2009.06.012
14. Nunes G, Brito M, Santos CA, Fonseca J. Refeeding syndrome in the
gastroenterology practice: How concerned should we be? Eur J
Gastroenterol Hepatol. 2018;30(11):1270–6.
15. Maiorana A, Vergine G, Coletti V, Luciani M, Rizzo C, Emma F, et al.
Acute Thiamine Deficiency and Refeeding Syndrome: Similar Findings but
Different Pathogenesis. Nutrition [Internet]. 2014;30(7–8):948–52.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.nut.2014.02.019
16. Hershkowitz E, Reshef A, Munich O, Yosefi B, Markel A. Thiamine
deficiency in self-induced refeeding syndrome, an undetected and
potentially lethal condition. Case Rep Med. 2014;2014.
17. Pulcini CD, Zettle S, Srinath A. Refeeding syndrome. J Intern Med Taiwan.
2016;37(12):516–23.

14

Anda mungkin juga menyukai