Anda di halaman 1dari 15

REFERAT BEDAH

Nutrisi

Disusun oleh :
M.Arief Rachman A.P 1102011147
Danu ajimantara

Pembimbing :
Dr. Dik Adi Nugraha, Sp. B

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD SOREANG
2016

1
A. STATUS GIZI
1. Definisi
Status gizi berarti sebagai keadaan fisik seseorang atau sekelompok orang yang
ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu. Status
gizi merupakan suatu rangkaian interval dari pasien dengan nutrisi yang baik sampai
pasien kakexia.
Gizi adalah suatu proses menggunakan makanan yang dikonsumsi melalui
proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-
zat yang tidak digunakan untuk menghasilkan energi, mempertahankan kehidupan dan
fungsi organ-organ. Jadi,status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi
dan penggunaan zat gizi.
Pada umumnya, penderita yang akan dibedah akan berpuasa untuk waktu tertentu
sesuai dengan penyakit dan pembedahannya. Akan tetapi, tidak jarang juga penderita
datang dalam keadaan gizi yang kurang baik, misalnya yang terjadi pada penderita
penyakit saluran cerna, keganasan, infeksi kronik, dan trauma berat. Pasien malnutrisi
yang parah akan mudah menjadikan terjadinya infeksi, kebocoran anastomosis luka,
dan komplikasi lainnya.

2. Pengukuran Status Gizi


Pengukuran status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan keadaan
gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif
maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku yang telah tersedia.
Data objektif dapat diperoleh dari data pemeriksaan laboratorium perorangan, serta
sumber lain yang dapat diukur oleh anggota tim penilai. Komponen penilaian status
gizi meliputi survei asupan makanan, pemeriksaan biokimia, pemeriksaan klinis, serta
pemeriksaan antropometris.
Survei asupan makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak
langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Survei ini dapat
mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat gizi.
Pemeriksaan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara
laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang
digunakan antara lain: darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati
dan otot. Uji biokimiawi yang penting ialah pemeriksaan kadar hemoglobin,
pemeriksaan apusan darah untuk malaria, pemeriksaan protein. Ada dua jenis protein,
viseral dan somatik, yang layak dijadikan parameter penentu status gizi. Pemeriksaan
tinja cukup hanya pemeriksaan occult blood dan telur cacing saja.
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi
seseorang. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang
dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel
(supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral atau pada
organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Pemeriksaan
klinis meliputi pemeriksaan fisik secara menyeluruh, termasuk riwayat kesehatan.
Riwayat kesehatan yang perlu ditanyakan adalah kemampuan mengunyah dan
menelan, keadaan nafsu makan, makanan yang digemari dan yang dihindari, serta
masalah saluran pencernaan.
Pemeriksaan antropometris secara umum artinya penilaian ukuran tubuh
manusia. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan
asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik
dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. Penilaian
antropometris yang penting dilakukan ialah penimbangan berat dan pengukuran tinggi
badan, lingkar lengan, dan lipatan kulit triseps.

3. Malnutrisi
Malnutrisi adalah kekurangan gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan,
perkembangan, dan kebutuhan energi tubuh. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
mendefinisikan malnutrisi sebagai “ketidakseimbangan seluler antara pasokan nutrisi
dan energi dan kebutuhan tubuh terhadap mereka untuk menjamin pertumbuhan,
pemeliharaan, dan fungsi tertentu.” Malnutrisi dapat disebabkan oleh diet yang tidak
seimbang atau tidak memadai, atau kondisi medis yang mempengaruhi pencernaan
makanan atau penyerapan nutrisi dari makanan
Malnutrisi berat mempengaruhi morbiditas karena terganggunya penyembuhan
luka dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Namun, malnutrisi protein-
kalori yang ringan tidak banyak memengaruhi hasil operasi. Berbeda dengan
malnutrisi akibat kelaparan, pada penderita bedah terdapat beberapa faktor lain yang
menyebabkan malnutrisi. Dua faktor utama adalah kurangnya asupan makanan dan
proses radang yang mengakibatkan katabolisme meningkat dan anabolisme menurun.
Keadaan ini dapat langsung tampak pada penurunan kadar serum albumin dan
hipotrofi otot.
Asupan nutrisi yang faali adalah melalui makanan dan minuman. Ini dapat
berupa diet yang dapat diberikan secara oral, melalui sonde hidung, atau secara
intravena. Diet juga dibedakan atas diet biasa dan diet khusus, misalnya pada penderita
diabetes. Penderita kolelitiasis juga memerlukan diet khusus yang kurang
mengandung lemak. Contoh lain adalah diet tinggi serat untuk penderita obstipasi dan
diet rendah kalori untuk penderita obesitas. Diet khusus kalori dan protein telur tinggi
dibutuhkan oleh penderita malnutrisi kronik yang mampu makan secara normal.
Makanan biasa yang dicairkan diberikan kepada penderita dengan obstruksi
esofagus atau pada orang yang tidak dapat mengunyah, seperti pada patah tulang
rahang. Kadang penderita begitu lemah dan mengalami anoreksia, atau terdapat
gangguan mekanik dan obstruksi saluran cerna yang mengakibatkan proses faali itu
tidak dapat berlangsung. Fungsi saluran cerna bisa sangat terganggu sehingga proses
pencernaan dan penyerapan sedemikian terganggu dan kebutuhan nutrisinya tidak
terpenuhi. Keadaan ini disebut kegagalan intestinal. Keadaan ini terdapat pada
sindrom usus pendek akibat reseksi sebagian besar ileum dan yeyunum, fistel usus,
gangguan motilitas usus misalnya pada paralisis usus dan pada peradangan usus yang
luas. Pada kasus khusus dan sulit ini diperlukan tambahan nutrisi secara enteral atau
parenteral.

B. Perubahan Pada Pasien Bedah


1. Perubahan Fisiologis Pada Pasien Bedah
Permeabiltas usus meningkat 2x sampai 4x pada periode segera pascaoperasi,
dan normalnya berlangsung selama 5 hari. Berkurangnya nutrisi berhubungan dengan
peningkatan permeabilitas dan menurunnya tinggi dari villus. Meningkatnya
permeabilitas usus mengindikasikan kegagalan dari fungsi barrier usus untuk
mengeluarkan bakteri dan toksin endogen. Hal ini menjadi salah satu agen penyebab
dalam systemic inflammatory response syndrome, sepsis dan gagal organ multipel.

2. Perubahan Metabolik Pada Pasien Bedah

Penderita dengan penyakit kritis, baik yang diakibatkan oleh trauma,


pembedahan, sepsis, luka bakar maupun radio/kemoterapi, akan mengalami perubahan
metabolisme dasar yang disebut stres metabolik. Dalam keadaan demikian, sisa
glukosa dan makanan akan habis dalam 2-4 jam. Setelah itu tubuh mulai menguraikan
glikogen yang disimpan dalam hati dan otot. Cadangan glikogen ini hanya cukup
untuk beberapa jam. Pada keadaan normal cadangan ini dipergunakan untuk mengisi
sela waktu antara makan. Setelah glikogen habis, tubuh menggantikan cadangan
lemak, dari lemak hanya didapat sedikit glukosa. Penggunaan cadangan glukosa untuk
mengurangi glukoneogenesis yang berasal dari protein, disebut “nitrogen sparing”.
Semakin ringan cedera, responnya akan semakin tumpul dan cepat hilang,
sedangkan semakin besar luka yang didapat, maka respon yang muncul akan semakin
lama dan parah khususnya jika komplikasinya muncul. Respon tersebut akan
meningkatkan tingkat metabolisme, sekresi glukokortikoid dan katekolamin, produksi
sitokin proinflamasi, dan retensi cairan. Retensi cairan dan output urin yang rendah
disebabkan bertambahnya sekresi vasopresin dan mineralokortikoid sebagaimana
meningkatnya edema usus disebabkan meningkatnya permeabilitas. Pemulihan
pascaoperasi tanpa komplikasi mempunyai hasil diuresis cairan ini pada hari ketiga
dan keempat pascaoperasi sejalan dengan menurunnya respon endokrin.
Hiperglikemia terjadi disebabkan oleh supresi katekolamin dari sekresi insulin oleh
pankreas (efek sentral) dan inhibisi uptake glukosa oleh jaringan perifer dalam
responnya terhadap kadar sirkulasi insulin (efek perifer).
Setiap respon tersebut memiliki manfaat yang khusus seperti retensi garam dan
air yaitu untuk menjaga volume darah, meningkatnya produksi glukosa hepar yaitu
untuk menyediakan "tenaga" yang cukup, dan mobilisasi dari asam amino untuk
glukoneogenesis, produksi protein hepar, proliferasi fibroblas, dan regulasi imunologi.
Katekolamin menstimulasi glikogenolisis dan glukoneogenesis hepar. Kortisol
merangsang glikogenolisis, glukoneogenesis, dan proteolisis protein dan efek
potensial katekolamin pada hepar.
Kelaparan mengurangi pengeluaran energi dan meningkatkan lipogenesis dan
produksi keton bodies. Stress meningkatkan pengeluaran energi, mempercepat
produksi protein hepar, merangsang respon protein fase akut, dan mempercepat
proteolisis tanpa produksi keton bodies. Asam lemak, keton bodies, dan gliserol
merupakan substrat energi utama dalam kelaparan dan terjadi pada 95% kebutuhan
awal. Dalam keadaan stres, asam amino merupakan sumber yang penting dari produksi
glukosa melalui glukoneogenesis hepar. Protein menyediakan 15-20% energi, padahal
lemak menyediakan energi sampai 80-85%.
Respon metabolik biasanya meningkat sekitar 10% pasca operasi. Jika dukungan
gizi yang memadai tidak ada pada tahap ini akan terjadi proteolisis dari otot rangka
yang berlebihan dan terjadi depresi metabolisme yang lebih lanjut. Sitokin, termasuk
Tumor Necrotizing Factor (TNF) dan interleukin (IL-1 dan IL-6) memiliki peran
penting dalam menentukan perubahan metabolik jangka panjang.

3. Kebutuhan Nutrisi
Tujuan utama dari nutrisi suportif adalah untuk memenuhi kebutuhan energi
untuk proses metabolisme, pemeliharaan suhu basal, dan perbaikan jaringan.
Kegagalan untuk menyediakan sumber energi non protein yang memadai akan
menyebabkan penggunaan cadangan jaringan tubuh.
Untuk menentukan kebutuhan kalori harus diketahui metabolisme basal,
sedangkan untuk menentukan basal energy expenditure (BEE) ini digunakan suatu
rumus Harris-Benedict.
Rumus :
BEE (Laki-laki) = 66,47 + 13,75 (Berat badan/Kg) + 5,0 (Tinggi Badan/Cm) - 6,76
(Usia/tahun) Kkal/hari
BEE (Perempuan) = 655,1 + 9,56 (Berat badan/Kg) + 1,85 (Tinggi badan/Cm) - 4,68
(Usia/tahun) Kkal/hari
Persamaan ini, disesuaikan dengan jenis stres bedah, yang cocok untuk
memperkirakan kebutuhan energi pada lebih dari 80% pasien rawat inap. Pada trauma
atau sepsis, kebutuhan substrat energi meningkat, memerlukan kalori yang lebih besar
melebihi pengeluaran energi nonprotein yang dihitung (Tabel 2.1). Kebutuhan
tambahan kalori nonprotein ini diberikan setelah luka biasanya 1,2-2,0 kali lebih besar
daripada resting energy expenditure (REE) yang dihitung, tergantung pada jenis
cedera.
Pasien kritis sedang berada didalam stres sistemik. Keadaan ini ditandai dengan
adanya pergeseran ekstensif dari posisi metabolik basal yang normal kekeadaan
hipermetabolik atau “Increased resting energy” (REE). Respons hipermetabolik ini
meningkatkan kebutuhan enersi, mempercepat proteolisis diseluruh badan,
katabolisme, lipolisis, peningkatan cardiac out put, peningkatan komsumsi oksigen,
temperatur badan dan penurunan resistensi perifer vaskuler.
Untuk mengoreksi katabolisme yang tinggi seperti yang terjadi pascatrauma,
pascabedah, pada infeksi atau sepsis, harus ditambahkan 50% atau lebih dari BEE,
tetapi jangan melebihi 150% BEE.

Kondisi Kkal/kg Perhitungan Gram Protein/kg Kalori


per day di atas BEE per day non
protein:
Nitrogen
Normal/moderate malnutrition 25–30 1.1 1 150:1
Mild stress 25–30 1.2 1.2 150:1

Moderate stress 30 1.4 1.5 120:1


Severe stress 30–35 1.6 2 90–120:1
Burns 35–40 2 2.5 90–100:1
Tabel 2.1 Penyesuaian kalori di atas Pengeluaran Energi Basal (BEE) pada kondisi
hipermetabolik.

Tujuan kedua dari nutrisi suportif adalah untuk memenuhi kebutuhan substrat
untuk sintesis protein. Kalori nonprotein yang sesuai: rasio nitrogen 150:1 (misalnya,
1 g N = 6,25 g protein), harus dipertahankan, yang merupakan kebutuhan kalori basal
yang diberikan untuk mencegah penggunaan protein sebagai sumber energi. Dengan
tidak adanya disfungsi ginjal atau gangguan hati yang berat dapat dugunakan rejimen
gizi standar, sekitar 0,25-0,35 g nitrogen per kilogram berat badan harus disediakan
setiap hari.(1)
Karbohidrat sebagai sumber kalori diberikan tidak lebih dari 6 g/kgBB/hari, bila
berlebihan, terjadi hipermetabolisme. Oleh karena pembatasan penggunaan
karbohidrat, lemak digunakan juga sebagai sumber kalori, sekaligus sebagai sumber
asam lemak esensial.
Penderita dengan katabolisme berat, seperti trauma ganda dan luka bakar,
memerlukan nutrisi tinggi protein dan asam amino untuk mengatasi keseimbangan
nitrogen yang negatif. Umumnya diperlukan 1,2-1,5 g protein/kgBB/hari.
Elektrolit dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan elektrolit dan asam basa,
juga untuk metabolisme sel. Unsur Na+, K+, Mg+, Ca+, P+, Cl- sama pentingnya seperti
protein dan kalori dalam proses penggantian sel yang rusak. Vitamin juga esensial
untuk proses metabolisme. Dosis tinggi vitamin tertentu, seperti vitamin C atau
vitamin E, memainkan peranan penting dalam pertahanan tubuh sebagai antioksidan.

C. Rute Pemberian Nutrisi Suportif


1. Nutrisi Enteral
Nutrisi enteral memberi hasil lebih baik karena prosesnya berlangsung faal.
Nutrisi enteral lebih disukai daripada nutrisi parenteral atas dasar kurangnya biaya
yang harus dikeluarkan dan risiko yang terdapat jika diberikan secara intravena.
Pemberian nutrisi secara enteral telah menghasilkan beberapa manfaat klinis yang
spesifik, termasuk mengurangi kejadian komplikasi infeksi pasca operasi dan
peningkatan respon penyembuhan luka. Nutrisi enteral dapat memiliki efek
menguntungkan lain, termasuk mengubah eksposur antigen dan mempengaruhi
oksigenasi dari mukosa usus.
Pengobatan konvensional setelah reseksi usus biasanya diperlukan puasa dengan
pemberian cairan intravena sampai terjadinya flatus, terutama karena kekhawatiran
terjadinya ileus pasca operasi. Namun demikian, motilitas usus pulih 6-8 jam setelah
trauma bedah dan absoprsi tetap ada bahkan ketika tidak adanya gerak peristaltik
normal. Sejak itu telah menunjukkan bahwa pemberian makan enteral pascaoperasi
pada pasien yang menjalani reseksi gastrointestinal aman dan dapat ditoleransi dengan
baik bahkan ketika dimulai dalam waktu 12 jam dari operasi.
Pilihan diet cairan encer untuk diet pertama pascaoperasi berdasarkan teori
bahwa cairan encer lebih mudah ditoleransi daripada cairan yang kental atau makanan
padat pada periode dini pascaoperasi. Alasan lainnya yaitu cairan encer menyediakan
rehidrasi oral dan meminimalkan sekresi pankreas dan gastrointestinal dibandingkan
makanan biasa.
Rekomendasi nutrisi enteral dini untuk pasien bedah dengan malnutrisi sedang
(albumin = 2,9-3,5 g / dL), pemberian nutrisi enteral diukur berdasarkan pengeluaran
energi dari pemulihan pasien, atau jika timbul komplikasi yang dapat mengubah
rencana pemulihan (misalnya, kebocoran anastomotic, operasi kembali, sepsis, atau
kegagalan untuk disapih saat menggunakan ventilator). Keadaan klinis lain yang
memperkuat nutrisi suportif enteral dapat digunakan pada penurunan neurologis
permanen, disfungsi orofaringeal, short bowel syndrome, dan pasien transplantasi
sumsum tulang.
Diet dasar (elemental diet) terdiri atas campuran asam amino,glukosa, dan
trigliserida yang hampir tidak usah dicerna dan langsung diserap. Diet itu juga dapat
diberikan melalui pipa lambung halus pada penderita sindrom usus pendek, fistel usus,
atau penderita radang usus yang parah seperti kolitis ulserosa atau penyakit Crohn.
Terdapat beberapa teknik yang tersedia untuk akses enteral. Saat ini digunakan
metode dan indikasi pilihan dirangkum dalam tabel 2.2.
Pilihan Akses Komentar
Nasogastric Tube Penggunaan jangka pendek; risiko aspirasi; trauma
nasofaring; sering menyangkut.
Nasoduodenal/nasojejunal Penggunaan jangka pendek; risiko aspirasi rendah pada
jejunum; adanya tantangan dalam menempatkannya (bantuan
radiografi sering diperlukan)
Tabel 2.2 Beberapa pilihan untuk akses pemberian makan secara enteral.

2. Nutrisi Parenteral
Nutrisi parenteral hanya diberikan bila nutrisi enteral tak dapat dilakukan,
misalnya karena kelainan gastrointestinal sehingga fungsi digesti dan absorbsi
terganggu.
Nutrisi Cara Pemberian Contoh Indikasi
Makanan cair Oral Obstruksi esophagus, patah tulang rahang
Diet khusus Oral Diabetes, kolelitiasis, obstipasi, obesitas
Tinggi kalori protein Oral/Parenteral Malnutrisi kronis
Lengkap cair Oral/enteral Malnutrisi, respirasi buatan, koma yang
lama, perawatan intensif
Diet dasar Oral/Parenteral Penerbangan ruang angkasa, fistel usus,
ileus, morbus Crohn, colitis
Parenteral total Parenteral Fistel, short bowel syndrome, kolitis
Tabel 2.3 Diet dan nutrisi khusus.
Nutrisi parenteral total terdiri atas nutrisi intravena yang mengandung semua
nutrien yang diperlukan. Nutrisi ini dipakai pada penderita dengan ileus lama atau
fistel usus. Nutrisi parenteral total ini melalui vena sentral, sebaiknya ujung kateter
berada di vena kava superior.
Di bawah ini merupakan situasi di mana nutrisi parenteral telah digunakan dalam
upaya untuk mencapai tujuannya:
1. Bayi baru lahir dengan anomali pencernaan gastrointestinal, seperti fistula
trakeoesofagus, gastroschisis, omphalocele atau atresia usus besar.
2. Bayi yang gagal berkembang karena kekurangan pencernaan disebabkan dengan
short bowel syndrome, malabsorpsi, defisiensi enzim, ileus mekonium, atau diare
idiopatik.
3. Pasien dewasa dengan short bowel syndrome sekunder disebabkan reseksi usus
halus yang luas (<100 cm tanpa usus atau katup ileocecal, atau <50 cm dengan
katup ileocecal utuh dan usus besar).
4. Enteroenteric, enterocolic, enterovesical, atau fistula enterocutaneous dengan
output yang tinggi (> 500 mL/hari).
5. Pasien operasi dengan ileus paralitik berkepanjangan setelah operasi besar (> 7 -
10 hari), luka multipel, trauma tumpul atau perut terbuka, atau pasien dengan
refleks ileus yang rumit dengan berbagai penyakit medis.
6. Pasien dengan panjang usus normal, tetapi terdapat malabsorpsi sekunder
meliputi sariawan, hypoproteinemia, insufisiensi enzim atau pankreas, enteritis
regional, atau kolitis ulserativa.
7. Dewasa pasien dengan gangguan pencernaan fungsional seperti esofageal
diskinesia setelah kecelakaan serebrovaskular, diare idiopatik, muntah
psikogenik, atau anorexia nervosa.
8. Pasien dengan kolitis granulomatosa, kolitis ulseratif, dan enteritis TB, di mana
bagian-bagian utama dari mukosa absorptif terserang penyakit.
9. Pasien dengan keganasan, dengan atau tanpa cachexia, di antaranya gizi buruk
mungkin membahayakan keberhasilan cara pemberian pilihan terapeutik.
10. Gagal untuk mencoba memberikan kalori yang memadai dengan tabung enteral
atau terdapat sisa residu yang tinggi.
11. Pasien sakit kritis yang hipermetabolik selama lebih dari 5 hari.

Kondisi kontraindikasi diberikannya nutrisi parenteral meliputi:


1. Kurangnya tujuan khusus dari manajemen pasien, atau pada kasus yang bukan
untuk memperpanjang hidup yang bermakna.
2. Periode ketidakstabilan hemodinamik atau kekacauan metabolis yang parah
(misalnya, hiperglikemia berat, azotemia, ensefalopati, hyperosmolality, dan
gangguan cairan elektrolit) membutuhkan kontrol atau koreksi terlebih dahulu
sebelum mencoba pemberian infus yang hipertonik.
3. Pasien layak untuk makan melalui saluran pencernaan, pada sebagian besar
kasus, ini adalah jalan terbaik yang digunakan untuk memberikan gizi.
4. Pasien dengan status gizi yang baik.
5. Bayi dengan usus halus kurang dari 8 cm, ketika bayi tidak mampu beradaptasi
meskipun dengan pemberian gizi parenteral.
6. Pasien yang dengan cara berfikir yang ireversibel atau tidak manusiawi.

3. Rute Nutrisi Enteral Banding Parenteral


Setiap rute pemberian nutrisi suportif berhubungan dengan komplikasi yang
berbeda-beda. Umumnya, komplikasi yang terkait dengan nutrisi parenteral
berhubungan dengan morbiditas yang lebih besar daripada nutrisi enteral karena sifat
invasif dari cara pemberiannya. Rute cara pemberian juga memiliki efek pada fungsi
organ, terutama saluran usus. Substrat makanan yang diberikan oleh rute enteral lebih
baik dimanfaatkan oleh usus daripada diberikan pemberian nutrisi secara parenteral.
Jadi, pertama-tama harus diusahakan agar pasien bisa makan melalui mulut
dalam bentuk makanan lunak atau makanan cair. Bila ini tidak berhasil, nutrisi enteral
dapat diberikan melalui pipa lambung melalui hidung (nasogastric tube), atau bila
perlu, sonde dapat dimasukkan lebih dalam lagi sampai ke duodenum, bahkan bagian
proksimal yeyunum. Nutrisi parenteral dapat diberikan sebagai tambahan bila nutrisi
enteral tidak memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
Komplikasi nutrisi enteral, antara lain aspirasi, muntah, diare, sedangkan
komplikasi nutrisi parenteral serupa dengan masalah kateter vena, seperti salah letak,
menembus vena, atau tersumbat. Penyulit lain ialah tromboflebitis, infeksi dan sepsis
umum, serta gangguan metabolic yang bisa terjadi karena pemberian cairan terlalu
cepat.

4. Nutrisi Perioperatif
Dalam percobaan gizi perioperatif, hampir semua percobaan dengan hasil negatif
atau efek negatif dari gizi terjadi pada sebagian besar pasien dengan gizi yang baik.
Namun, percobaan yang menyertakan sejumlah besar pasien malnutrisi menunjukkan
manfaat yang signifikan dengan nutrisi perioperatif. Orang bisa menyimpulkan bahwa
pasien dengan gizi yang baik-yang teridentifikasi setelah anamnesis riwayat dan
pemeriksaan fisik-tidak mungkin untuk mendapatkan manfaat preoperatif baik
menggunakan nutrisi parenteral meupun makanan enteral. Namun, jika pasien
memiliki defisiensi gizi yang sudah ada sebelumnya, terdapat data-data yang
mendukung penggunaan nutrisi suportif di awal sebelum operasi dan/atau periode
pasca operasi.

5. Monitoring Terapi Nutrisi Suportif


Status cairan harus dievaluasi setiap hari pada pasien sakit kritis. Formulasi
nutrisi parenteral harus terkonsentrasi dan natrium harus dikurangi saat berat badan
pasien tiba-tiba meningkat 1-2 kg dalam 24 jam. Laboratorium untuk pengukuran
glukosa, natrium, kalium, statusasam-basa, dan fungsi ginjal harus dilakukan setiap
hari, sedangkan pengukuran untuk kalsium, fosfor, dan magnesium harus dilakukan
setidaknya tiga kali seminggu. Konsentrasi trigliserida, tes fungsi hati, hitung darah
lengkap dengan diferensial, waktu prothrombin, dan waktu tromboplastin harus dinilai
mingguan selama fase akut cedera pada populasi pasien ini.
Konsentrasi protein serum dapat digunakan sebagai ukuran status gizi karena
kenaikan konsentrasi protein tertentu dapat mencerminkan terjadinya anabolisme
protein. Konsentrasi serum albumin merupakan penanda protein yang paling umum
digunakan untuk menilai status gizi. Namun, albumin merupakan penanda yang buruk
untuk menilai status gizi pada pasien sakit kritis karena konsentrasinya cepat menurun
jika terjadi stres atau luka akibat redistribusi dari ruang intravaskuler ke ruang
interstisial, dan karena waktu paruh hidupnya yang panjang (<21 hari). Serum protein
lain, seperti prealbumin dan TFN, lebih sensitif terhadap pemberian nutrisi suportif
karena waktu paruh hidupnya yang lebih pendek yaitu 2 dan 7 hari, masing-masing.
Penilaian kombinasi dengan C Reactive Protein (CRP) dapat dipertimbangkan karena
protein ini merupakan protein serum jangka pendek. CRP diakui sebagai protein fase
akut yang positif, dan sintesisnya meningkat selama inflamasi dan stres. Jika terjadi
peningkatan konsentrasi CRP dan serum prealbumin tiba-tiba menurun, ini mungkin
menandakan adanya suatu kondisi inflamasi yang mendasari daripada terjadinya
penurunan status gizi. Namun, gabungan prealbumin rendah dan konsentrasi CRP
dapat mencerminkan kalori atau protein yang tersedia tidak memadai.

DAFTAR PUSTAKA

1. F. Charles B., Dana K. Anderson, Timothy R. Billiar, David L. Dunn, John G.


hunter, Raphael E. Pollock. Chapter 1. Systemic Response to Injury and Metabolic
SupportIn: E Book Schwartz's Principles Of Surgery. United States: The McGraw-
Hill Companies. 2007.
2. I Dewa Nyoman S dan Bachyar Bakri. Penilaian Status Gizi, Jakarta: Buku
Kedokteran EGC. 2002.
3. Josef E. Fischer, Justin A. Maykel, and Nicholas E. Tawa JR. Chapter 7 - Metabolism
in Surgical Patients In: Sabiston Textbook of Surgery, 17th edition. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2004.
4. Kate Willcutts and Kelly O'Donnell. Surgical Diets In: Clinical Nutrition In Surgical
Patient. Canada: Jones and Bartlett Publishers. 2008.
5. Kenneth A. Kudsk, Gordon S. Sacks. Nutrition in the Care of the Patient with
Surgery, Trauma, and SepsisIn: Modern Nutrition in Health and Disease, 10th
Edition. New York: Lippincott Williams & Wilkins. 2006.
6. Soekirman. Ilmu Gizi dan Aplikasinya, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
2000.
7. Widjseno-Gardjito. Persiapan Prabedah In: Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2.
Jakarta:EGC. 2005.

Anda mungkin juga menyukai