Anda di halaman 1dari 18

ANALISIS JURNAL

KEPERAWATAN ANAK

DISUSUN OLEH:

DWI MERLINA
21220016

Dosen Pembimbing :Yuniza, M.Kep

INSTITUTE KESEHATAN DAN TEKNOLOGI


MUHAMMADIYAH PALEMBANG
PROGRAM PROFESI NERS
TAHUN 2020-2021
BAB I
PENDAHULUAN

1. Pengertian
Malnutrisi (gizi buruk) adalah suatu istilah umum yang merujuk
pada kondisi medis yang disebabkan oleh diet yang tak tepat atau tak
cukup. Walaupun seringkali disamakan dengan kurang gizi yang
disebabkan oleh kurangnya konsumsi, buruknya absorpsi, atau kehilangan
besar nutrisi atau gizi, istilah ini sebenarnya juga mencakup kelebihan gizi
(overnutrition) yang disebabkan oleh makan berlebihan atau masuknya
nutrien spesifik secara berlebihan ke dalam tubuh. Seorang akan
mengalami malnutrisi jika tidak mengkonsumsi jumlah atau kualitas
nutrien yang mencukupi untuk diet sehat selama suatu jangka waktu yang
cukup lama. Malnutrisi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan
kelaparan, penyakit, dan infeksi. (Potter & Perry, 2006)

2. Etiologi
1. Penyebab langsung
 Kurangnya asupan makanan: Kurangnya asupan makanan sendiri
dapat disebabkan oleh kurangnya jumlah makanan yang diberikan,
kurangnya kualitas makanan yang diberikan dan cara pemberian
makanan yang salah.
 Adanya penyakit: Terutama penyakit infeksi, mempengaruhi
jumlah asupan makanan dan penggunaan nutrien oleh tubuh.
2. Penyebab tidak langsung
 Kemiskinan keluarga
 Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua yang rendah
 Sanitasi lingkungan yang buruk
 Pelayanan kesehatan yang kurang memadai
Selain itu ada beberapa penyebab dari gizi buruk seperti :

2
 Balita tidak mendapat makanan pendanping ASI (MP-ASI) pada
umur 6 bulan atau lebih
 Balita tidakmendapat ASI ekslusif (ASI saja) atau sudah mendapat
makanan selain ASI sebelum umur 6 bulan
 Balita tidakmendapat makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada
umur 6 bulan atau lebih
 MP-ASI kurang dan tidak bergizi
 Setelah umur 6 bulan balita jarang disusui
 Balita menderita sakit dalam waktu lama,seperti diare,campak,
TBC, batukpilek
 Kebersihan diri kurang dan lingkungan kotor. (Shwartz, William
M.2005)

3. Manifestasi Klinik
a. Secara umum anak tampak sembab, letargik, cengeng, dan mudah
terangsang. Pada tahap lanjut anak menjadi apatik, sopor atau koma.
b. Gejala terpenting adalah pertumbuhan yang terhambat, berat dan tinggi
badan lebih rendah dibandingkan dengan BB baku. Penurunana BB ini
tidak mencolok atau mungkin tersamar bila dijumpai edema anasarka.
c. Sebagian besar kasus menunjukkan adanya edema, baik derajat ringan
maupun berat. Edema ini muncul dini, pertama kali terjadi pada alat
dalam, kemudian muka, lengan, tungkai, rongga tubuh, dan pada
stadium lanjut mungkin edema anasarka.
d. Jaringan otot mengecil dengan tonusnya yang menurun, jaringan
subkutan tipis dan lembek.
e. Kelainan gastrointestinal yang mencolok adalah anoreksia dan diare.
Diare terdapat pada sebagian besar penderita, yang selain
infeksipenyebabnya mungkin karena gangguan fungsi hati, pankreas,
atau usus (atrofi). Intoleransi laktosa juga bisa terjadi.
f. Rambut berwarna pirang, berstruktur kasar dan kaku, serta mudah
dicabut. Pada tahap lanjut, terlihat lebih kusam, jarang, kering, halus,

3
dan berwarna pucat atau putih, juga dikenal signo de bandero. (Potter
& Perry, 2006)

4. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium: kadar gula darah, darah tepi lengkap, feses
lengkap, elektrolit serum, protein serum (albumin, globulin), feritin.
Pada pemeriksaan laboratorium, anemia selalu ditemukan terutama
jenis normositik normokrom karena adanya gangguan sistem
eritropoesis akibat hipoplasia kronis sumsum tulang di samping karena
asupan zat besi yang kurang dalam makanan, kerusakan hati dan
gangguan absorbsi. Selain itu dapat ditemukan kadar albumin serum
yang menurun
b. Pemeriksaan radiologi (dada, AP dan lateral) juga perlu dilakukan
untuk menemukan adanya kelainan pada paru.
c.   Tes mantoux
d. EKG

5. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada KKP adalah pemberian diet tinggi kalori
dan tinggi protein, serta mencegah kekambuhan. Pada KKP tanpa
komplikasi dapat berobat jalan asal diberi penyuluhan mengenai pemberian
makanan yang baik, sedangkan penderita yang mengalami komplikasi serta
dehidrasi, syok, asidosis, dan lain-lain perlu mendapat perawatan dirumah
sakit.
Penatalaksanaan KKP yang dirawat di RS dibagi dalam beberapa
tahap. Tahap awal yaitu 24-48 jam pertama merupakan masa kritis, yaitu
tindakan untuk menyelamatkan jiwa, antara lain mengoreksi keadaan
dehidrasi atau asidosis dengan pemberian cairan intravena. Cairan yang
diberikan ialah larutan darrow-glucosa atau ringer lactate dextrose 5%.
Cairan diberikan sebanyak 200ml/kgBB/hari. Mula-mula diberikan
60ml/kgBB pada 4-8 jam pertama. Kemudian 140 ml sisanya diberikan

4
dalam 16-20 jam berikutnya. Tahap kedua yaitu penyesuaian. Sebagian
besar penderita tidak memerlukan koreksi cairan dan elektrolit sehingga
dapat langsung dimulai dengan penyesuaian terhadap pemberian makanan
(IDAI, 2004).
Antibiotik perlu diberikan karena penderita marasmus sering disertai
infeksi. Pilihan obat yang dipakai ialah procain penicillin atau gabungan
penicillin dan streptomycin. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai
berikut:
1. Kemungkinan hipoglikemia dilakukan pemeriksaan dengan dextrostix.
Bila kadar gula darah kurang dari 40% diberikan terapi 1-2 ml glukosa
40%/kgBB/IV.
2. Hiptermia diatasi dengan penggunaan selimut atau tidur dengan ibunya.
Dapat diberikan botol panas atau pemberian makanan sering tiap 2
jam.pemantauan penderita dapat dilakukan dengan cara penimbangan
berat badan, pengkuran tinggi badan, serta tebal lemak subkutan. Pada
minggu-minggu pertama sering belum dijumpai pertambahan berat
badan. Setelah tercapai penyesuaian barulah dijumpai penambahan
berat badan.
Penderita boleh dipulangkan bila terjadi kenaikan sampai kira-kira 90%
BB normal menurut umurnya, bila nafsu makan telah kembali dan
penyakit infeksi telah teratasi. Penderita yang telah kembali nafsu
makannya dibiasakan untuk mendapat makanan biasa seperti yang
dimakan sehari-hari.
6. Patofisiologi dan Patway
Kondisi KKP akan memberikan pengaruh terhadap banyak sistem
organ. Diet protein diperlukan untuk membentuk asam amino yang
disintesis memiliki berbagai fungsi fisiologis untuk tubuh. Energy yang
esensial untuk keperluan biomekanis da fungsi mekanis yang terdapat
pada mikronutrient diperlukan pada banyak fungsi metabolic di dalam
tubuh sebagai komponen dan kofaktor dari proses enzim.
Gangguan pekembangan, gangguan kognitif, atau gangguan
psikologi, serta perubahan respon imum merupakan faktor signifikan yang

5
menyebabkan terjadinya KKP. Perubahan respon imun berhubungan
dengan individu yang menderita AIDS dan keganasan. Penurunan
hipersensitivitas, penurunan kadar T limfosit, gangguan respon limfosit,
gangguan fagositosis, penurunan komplemen dan sitokrit merupakan
respon yang terjadi pada penurunan imunitas. Perubahan fungsi imun ini
memberikan predisposisi terjadinya penyakit berat dan kronis, terutama
pada diare akibat infeksi menyebabkan gangguan nutrisi. (shashidhar,
2009).
Pada beberapa studi, anak dengan KKP menggambarkan banyak
perubahan pada perkembangan otak seperti lambatnya pertumbuhan besar
otak, berat otak yang kurang, penipisan kortek serebri, pernurunan jumlah
neuron, insufisiensi mielen, dan perubahan dendrite pada sum-sum tulang
belakang (benitez, 1999). Perubahan patologis lainnya adalah degenerasi
lemak pada hati dan jantung, atrofi pada usus halus, dan penurunan
volume intravaskuler yang memberikan resiko hiperaldosteronisme
(shashidhar, 2009).
Rambut mudah rontok dikarenakan kekurangan perotein, vitamin
A, vitamin C, dan vitamin E karena keempat elemen ini merupakan nutrisi
yang penting bagi rambut. Pasien juga mengalami rabun senja. Rabun
senja terjadi Karena defisiensi Vitamin A dan protein. Pada retina, terdapat
sel batang dan sel kerucut. Sel batang berfungsi membedakan cahaya
terang dan gelap. Sel batan atau rodopsin ini terbentuk dari vitamin A dan
suatu protein. Pada retina, terdapat sel batang dan sel kerucut. Sel batang
berfungsi membedakan cahaya terang dan gelap. Sel batang atau rodopsin
ini terbentuk dari vitamin A dan suatu protein. Jika cahaya terang
mengenai sel rodopsin, makasel tersebut akan terurai. Sel tersebut.
Mengumpulkan lagi pada cahaya gelap. Inilah yang disebut Adaptasi
rodopsin.adaptasi in butuh waktu. Jadi, rabun senja kecil terjadi karena
kegagalan atau kemunduran adaptasi rodopsin (Abayomi, 2004).
Turgor atau elastisitas kulit jelek Karena sel kekurangan air
(dehidrasi). Refleks patella negarif terjadi Karena kekurangan aktin

6
myosin pada tendo patella dan degenerasi saraf motorik akibat dari
kekurangan protein, Cu, dan Mg seperti pada gangguan neurotransmitter.
Pada anak kwashiorkor didapatkan gejala khas yaitu pitting edema.
Pitting edema adalah edema yang jika di tekan, sulit kembali seperti
semula. Pitting edema disebabkan oleh kurangnya protein sehingga
tekanan onkotik intravascular menurun. Jika hal ini terjadi, maka terjadi
ekstravasasi plasma ke intertisial. Plasma masuk ke intertisial, tidak ke
intrasel, karena pada penderita kwashiorkor tidak ada kompensasi dari
ginjal untuk reabsorpsi natrium. Padahal natrium berfungsi menjaga
keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita kwashiorkor, selain defisiensi
protein juga defisiensi malnutrien. Ketika ditekan, maka plasma pada
intertisial lari ke daerah sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membrane
sel. Untuk kembalinya membutuhkan waktu yang lama karena posisi sel
yang rapat. Edema biasanya terjadi pada ekstremitas bawah karena
pengaruh gaya gravitasi, tekanan hidrostatik dan onkotik (Muller, 2005).

7
Kondisi KKP memberikan berbagai masalah keperawatan.

7. Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian

8
1. Anamnesa
a. Identitas: paling sering terjadi pada anak-anak laki-laki maupun
perempuan.
b. Keluhan utama: Kelelahan dan kekurangan energy, pusing, sistem
kekebalan tubuh yang rendah (yang mengakibatkan tubuh kesulitan
untuk melawan infeksi), kulit yang kering dan bersisik, gusi
bengkak dan berdarah, gigi yang membusuk, sulit untuk
berkonsentrasi dan mempunyai reaksi yang lambat, berat badan
kurang, pertumbuhan yang lambat, kelemahan pada otot, perut
kembung, tulang yang mudah patah, tertdapat masalah pada fungsi
organ tubuh.
c. Riwayat penyakit sekarang: Kelelahan dan kekurangan energy,
pusing, sistem kekebalan tubuh yang rendah (yang mengakibatkan
tubuh kesulitan untuk melawan infeksi), kulit yang kering dan
bersisik, gusi bengkak dan berdarah, gigi yang membusuk, sulit
untuk berkonsentrasi dan mempunyai reaksi yang lambat, berat
badan kurang, pertumbuhan yang lambat, kelemahan pada otot,
perut kembung, tulang yang mudah patah, terdapat masalah pada
fungsi organ tubuh.
d. Riwayat penyakit dahulu:
 Penyebab langsung: Kurangnya asupan makanan, adanya
penyakit.
 Penyebab tidak langsung: Kurangnya ketahanan pangan
keluarga (keluarga untuk menghasilkan atau mendapatkan
makanan), kualitas perawatan ibu dan anak, buruknya
pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan yang kurang.
e. Riwayat keluarga: mengidentifikasi komposisi keluarga,
lingkungan rumah dan komunitas, pendidikan dan pekerjaan
anggota keluarga, fungsi dan hubungan anggota keluarga, kultur
dan kepercayaan, perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan,
persepsi keluarga tetang penyakit pasien (abayomi, 2004)
f.   Pola ADL:

9
 Nutrisi: mengeluh sering buang air besar, melaporkan
penurunan berat badan terus-menerus meskipun meningkatkan
asupan nutrisi oral, mual, muntah, riwayat kekurangan protein
dan kalori relative lama.
   Eliminasi: mengeluh sering buang air besar,
melaporkan sering diare.
 Aktivitas: kelelahan, kelemahan otot, merasa pusing atau
lemah ketika berdiri.
   Hygiene: kurang kebersihan diri.
2. Pengkajian Fisik
Pengkajian secara umum dilakukan dengan metode head to too
yang meliputi: keadaan umum dan status kesadaran, tanda-tanda vital,
area kepala dan wajah, dada, abdomen, ekstremitas dan genito-urinaria.
Fokus pengkajian pada anak dengan Marasmus-Kwashiorkor
adalah pengukuran antropometri (berat badan, tinggi badan, lingkaran
lengan atas dan tebal lipatan kulit). Tanda dan gejala yang mungkin
didapatkan adalah:
 Penurunan ukuran antropometri
 Perubahan rambut (defigmentasi, kusam, kering, halus, jarang dan
mudah dicabut)
 Gambaran wajah seperti orang tua (kehilangan lemak pipi), edema
palpebra
 Tanda-tanda gangguan sistem pernapasan (batuk, sesak, ronchi,
retraksi otot intercostal)
 Perut tampak buncit, hati teraba membesar, bising usus dapat
meningkat bila terjadi diare.
 Edema tungkai
 Kulit kering, hiperpigmentasi, bersisik dan adanya crazy pavement
dermatosis terutama pada bagian tubuh yang sering tertekan
(bokong, fosa popliteal, lulut, ruas jari kaki, paha dan lipat paha).
 Inspeksi

10
 Lihat keadaan klien apakah kurus, ada edema pada muka atau
kaki
 Lihat warna rambut, kering dan mudah dicabut
 Mata cekung dan pucat
 Pada marasmus terlihat pergerakan usus
 Auskultasi
 dengar denyut jantung apakah terdengar bunyi S1, S2, S3 serta
S4
 bagaimana dengan tekanan darahnya
 dengarkan juga bunyi peristaltik usus
 bunyi paru – paru terutama weezing dan ronchi
 Perkusi
 perut apakah terdengar adanya shitting duilnees
 bagaimana bunyinya pada waktu melakukan perkusi
 Palpasi
 hati : bagaimana konsistensinya, kenyal, licin dan tajam pada
permukaannya. Berapa besarnya dan apakah ada nyeri tekan
 pada marasmus usus terasa dengan jelas
 limpa : apakah terjadi pembesaran limpa
 tungkai : apakah ada pembesaran pada tungkai
B. Diagnosa keperawatan
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d asupan yang tidak
adekuat, anoreksia dan diare.
2. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b/d asupan kalori dan
protein yang tidak adekuat.
3. Kerusakan integritas kulit b/d perubahan status cairan ditandai dengan
kerusakan lapisan kulit, gangguan permukaan kulit.
4. Resiko infeksi b/d daya tahan tubuh menurun
5. Kurang pengetahuan b/d kurang informasi tentang kondisi, prognosi
dan kebutuhan nutrisi

11
BAB II
PEMBAHASAN

1. KASUS
Pasien An.K, seorang balita berusia 14 bulan, berdomisili di Kelurahan
Talang, diantar oleh ibu kandungnya untuk mengontrol tumbuh kembang
dengan keluhan berat badan dan tinggi badan pasien yang tidak sesuai
usianya sehingga masuk dalam kategori gizi kurang dan stunting. Selama
kehamilan pasien, ibu tidak pernah mengkonsumsi tablet tambah darah dan
kenaikan BB ibu hanya 7kg. Pasien lahir dengan berat badan 2,7 kg, panjang
badan 48 cm, lahir cukup bulan langsung menangis secara pervaginam tanpa
ada penyulit. Persalinan dibantu oleh bidan. Ibu pasien mengaku pasien
segera diberikan ASI setelah lahir atau Inisiasi Menyusui Dini (IMD), namun
pasien tidak mendapatkan ASI ekslusif karena pada usia 2 bulan sudah
diberikan susu formula. Pada usia 5 bulan pasien sudah diberikan MPASI
lunak dengan kombinasi nasi dan sayuran. MPASI diberikan tiga kali sehari,
namun pasien biasanya hanya memakan setengah piring. Ibu pasien
mengaku pasien sangat jarang memakan daging karena keterbatasan biaya.
Pasien berhenti mendapatkan ASI pada usia 7 bulan karena ibu pasien hamil
dan mengalami preeklamsia berat. Saat ini, pasien makan tiga kali sehari
dengan kombinasi seperempat piring nasi, seperempat piring sayuran, dan
sumber protein dari setengah butir telur. Setiap hari pasien jajan

12
sembarangan, mengkonsumsi makanan berpenyedap, berpengawet, dan
minum minuman dengan pemanis buatan. Pada pemeriksaan status generalis
didapatkan rambut coklat kehitaman tidak mudah dicabut. Tidak tampak
adanya tulang rusuk menonjol, abdomen datar, tidak didapatkan
organomegali ataupun ascites, pasien tidak nampak tua, kulit keriput, dan
edema. Bentuk keluarga pasien adalah keluarga nuclear yang terdiri ayah,
ibu, dua orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Terdapat
gangguan pada fungsi ekonomi keluarga, karena sumber penghasilan
keluarga ini hanya berasal berasal dari ayah sebesar Rp. 1.500.000 per bulan.
Ibu pasien mengatakan jika perkembangan anaknya cukup baik dan sesuai
bulan. Pasien tidak pernah memiliki riwayat penyakit bawaan dan infeksi
sebelumnya. Kakak kedua dan ketiga pasien mengalami keluhan serupa
dengan pasien dan masuk dalam katagori Bawah Garis Merah (BGM). Setiap
hari pasien sering bermain di tempat kotor, tidak mencuci tangan, dan jarang
mengunting kuku.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan penampilan sesuai usia, tampak sakit
ringan, nadi 94 x/menit, frekuensi nafas 20 x/menit, suhu 36,40C, berat
badan 8 kg, panjang badan 72 cm, dan IMT 15.4.

2. PERTANYAAN KLINIS
Bagaimana penatalaksanaan gizi buruk dan stunting pada balita usia 14 bulan?

3. PICO
P : Pasien adalah seorang balita berusia 14 bulan dengan BB 8 kg, PB 72
cm, dan IMT 15.4.
I : penatalaksanaan
C : peran keluarga untuk mencapai tujuan terapi yang maksimal.
O : pendekatan keluarga

4. SEARCHING LITERATURE ( JOURNAL )


Setelah dilakukan Searching Literature ( Journal ) di google scholar,
didapatkan 298 journal yang terkait dan dipilih jurnal dengan judul

13
“Penatalaksanaan Gizi Buruk dan Stunting pada Balita Usia 14 Bulan

dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga “


Dengan alasan :
a. Jurnal tersebut sesuai dengan kasus
b. Jurnal tersebut up to date

5. VIA
Validity:
a) Desain : metode survey food recall 1 x 24 jam
b) Sampel : 1 (Pasien adalah seorang balita berusia 14 bulan dengan BB 8 kg,
PB 72 cm, dan IMT 15.4)

c) Kriteria inklusi dan ekslusi:


Kriteria inklusi: Pasien adalah seorang balita dengan BB <8,1 kg
Randomisasi : -

1) Importance dalam hasil


a. Karakteristik subjek:
Karakteristik subjek dalam penelitian ini meliputi usia dan berat badan
responden.
b. Beda proporsi :
-
c. Beda mean :
Diagnostik holistik awal pada pasien terdiri dari empat aspek. Aspek
personal yaitu alasan kedatangan: berat badan dan tinggi badan tidak
sesuai usia dan pertumbuhan; kekhawatiran: penyakit menimbulkan
kecacatan di kemudian hari; harapan: kondisi kesehatan membaik dan
dapat mengkonsumsi asupan bergizi seimbang. Aspek klinis awal yaitu
Stunting menurut indikator PB/U (ICD10- E45) dan Gizi Kurang
menurut indikator BB/U (ICD10- E44.1). Aspek ketiga, risiko internal
yaitu kebiasaan mengkonsumsi makanan yang tidak sesuai anjuran gizi
seimbang, tidak mencuci tangan, tidak mengunting kuku, dan bermain di

14
tempat kotor. Aspek keempat, resiko eksternal yaitu kurangnya ekonomi
keluarga dan lingkungan padat penduduk, kurangnya dukungan dari
suami pada ibu pasien serta pengetahuan ibu yang kurang mengenai pola
asuh anak, tumbuh kembang anak sesuai umur, kebutuhan gizi anak,
manajemen malnutrisi, pemberian ASI dan MPASI, suplementasi dan
fortifikasi makanan, pencegahan infeksi, dan prilaku mencuci tangan
dengan sabun. Berdasarkan diagnosis holistik awal tersebut diketahui
derajat fungsional 1 yaitu dapat melakukan pekerjaan seperti sebelum
sakit.
d. Nilai p value :
Tidak ada p value
2) Applicability
a. Dalam diskusi :
Masalah kesehatan yang dibahas dalam kasus ini adalah seorang balita
berusia 14 bulan yang datang ke Puskesmas Pasar Ambon untuk
mengontrol tumbuh kembang dengan keluhan berat badan dan tinggi
badan yang tidak sesuai dengan usianya. Berdasarkan data hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan kepada pasien, dapat
disimpulkan bahwa pasien An.K didiagnosis gizi kurang menurut
indikator BB/U dan stunting menurut indikator PB/U.
Diagnosis klinis gizi kurang dan stunting An. K dinilai dari hasil
pengukuran antropometri berupa BB dan PB/TB setiap bulan di
Posyandu. Penilaian status gizi dipantau secara rutin melalui Standar
Deviasi (SD) atau disebut juga Z-Score. Z-score merupakan nilai
simpangan hasil pemeriksaan antropometri dari standar normal kelompok
balita berdasarkan usianya menurut baku pertumbuhan yang ditetapkan
WHO.

b. Karakteristik klien : Pasien adalah seorang balita berusia 14 bulan


dengan BB 8 kg, PB 72 cm, dan IMT 15.4
c. Fasilitas biaya :Tidak dicantumkan jumlah biaya yang
digunakan

15
1. Diskusi (membandingkan jurnal dan kasus)
Berdasarkan jurnal yang berjudul “Penatalaksanaan Gizi Buruk dan
Stunting pada Balita Usia 14 Bulan dengan Pendekatan Kedokteran
Keluarga “ . Dalam penelitian ini didapatkan faktor internal yaitu kebiasaan
mengkonsumsi makanan yang tidak sesuai anjuran gizi seimbang, kebiasaan
tidak mencuci tangan, tidak menggunting kuku, dan bermain di tempat kotor.
Faktor resiko eksternal berupa penghasilan orangtua pasien yang kurang,
lingkungan yang padat penduduk dan kurang bersih, serta kurangnya
pengetahuan ibu mengenai penyakit pasien serta pola asuh anak, tumbuh
kembang anak sesuai umur, kebutuhan gizi anak, pemberian ASI dan MPASI,
suplementasi dan fortifikasi makanan, pencegahan infeksi, dan prilaku mencuci
tangan dengan sabun.
Telah dilakukan penatalaksanaan secara holistik, komprehensif, patient centered,
family focus dan community oriented. Pada pasien didapatkan perubahan perilaku
yang terlihat setelah diberikan intevensi, pasien memperbaiki pola hidupnya
menjadi lebih sehat

16
BAB III
KESIMPULAN
Pada kasus ini didapatkan faktor internal yaitu kebiasaan mengkonsumsi
makanan yang tidak sesuai anjuran gizi seimbang, kebiasaan tidak mencuci
tangan, tidak menggunting kuku, dan bermain di tempat kotor. Faktor resiko
eksternal berupa penghasilan orangtua pasien yang kurang, lingkungan yang
padat penduduk dan kurang bersih, serta kurangnya pengetahuan ibu mengenai
penyakit pasien serta pola asuh anak, tumbuh kembang anak sesuai umur,
kebutuhan gizi anak, pemberian ASI dan MPASI, suplementasi dan fortifikasi
makanan, pencegahan infeksi, dan prilaku mencuci tangan dengan sabun.
Telah dilakukan penatalaksanaan secara holistik, komprehensif, patient
centered, family focus dan community oriented. Pada pasien didapatkan
perubahan perilaku yang terlihat setelah diberikan intevensi, pasien memperbaiki
pola hidupnya menjadi lebih sehat

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Gizi seimbang menuju hidup


sehat bagi balita. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2014.
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi balita pendek.
Jakarta: Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI;
2016.
3. World Health Organization. Reducing stunting in children. Geneva:
WHO; 2018.
4. Riskesdas. Riset kesehatan dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2018.
5. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). 100
kabupaten/kota prioritas untuk intervensi anak kerdil (stunting). Jakarta:
Sekretariat Wakil Presiden RI; 2017.
6. Mucha. N. Implementing nutrition censitive development: reaching
consensus briefing paper. 2012. Akses dari
www.bread.org/institute/papers /nutrition-sensitive-interventions.pdf

18

Anda mungkin juga menyukai