Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

GIZI BURUK
DIRUANG TULIP II A (ANAK) RSUD ULIN BANJARMASIN

Disusun Oleh :

Deni Sri Endang,S.Kep


NIM. 16310449

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)


CAHAYA BANGSA BANJARMASIN
PROGRAM PROFESI NERS
TAHUN 2016
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Deni Sri Endang, S.Kep

NIM :16310449

Ruang : Tulip II A (Anak)

Judul : Laporan Pendahuluan Gizi Buruk

Mengesahkan

Clinical Teacher Clinical Instruktur

Ria Anggara Hamba, Ns. M.Mkes


LAPORAN PENDAHULUAN

1. Definisi Penyakit
Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan
nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata.
Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Status  gizi  buruk 
dibagi  menjadi  tiga  bagian, yakni  gizi  buruk  karena  kekurangan  protein  (disebut 
kwashiorkor), karena kekurangan  karbohidrat  atau  kalori  (disebut  marasmus),  dan 
kekurangan  kedua-duanya.  Gizi  buruk  ini  biasanya  terjadi  pada  anak  balita 
(bawah  lima  tahun)  dan ditampakkan  oleh  membusungnya  perut  (busung  lapar).
Zat  gizi  yang  dimaksud  bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Gizi buruk
(severe malnutrition) adalah suatu istilah  teknis  yang  umumnya  dipakai  oleh 
kalangan  gizi,  kesehatan  dan  kedokteran. Gizi  buruk  adalah  bentuk  terparah 
dari  proses  terjadinya  kekurangan  gizi  menahun (Nency, 2005).
Anak  balita  (bawah  lima  tahun)  sehat  atau  kurang  gizi  dapat  diketahui 
dari pertambahan  berat  badannya  tiap  bulan  sampai  usia  minimal  2  tahun 
(baduta). Apabila  pertambahan  berat  badan  sesuai  dengan  pertambahan  umur 
menurut  suatu  standar  organisasi  kesehatan  dunia,  dia  bergizi  baik.  Kalau 
sedikit  dibawah  standar disebut bergizi kurang  yang bersifat kronis. Apabila jauh
dibawah standar dikatakan bergizi buruk. Jadi istilah gizi buruk adalah salah satu
bentuk kekurangan gizi tingkat  berat atau akut (Pardede, J, 2006).

2. Etiologi

Banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk. Menurut UNICEF
ada dua penyebab langsung terjadinya gizi buruk, yaitu :

a. Kurangnya asupan gizi dari makanan. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah
makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang
dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu kemiskinan.
b. Akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi. Hal ini disebabkan oleh
rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat
makanan secara baik.
Faktor lain yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk yaitu:

a. Faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat


b. Perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh anak
c. Pengelolaan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai.

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada 3 faktor penyebab gizi buruk
pada balita, yaitu:

a. Keluarga miskin
b. Ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak
c. Faktor penyakit bawaan pada anak, seperti: jantung, TBC, HIV/AIDS, saluran
pernapasan dan diare.

3. Klasifikasi Gizi Buruk


Terdapat  3  tipe  gizi  buruk  adalah  marasmus,  kwashiorkor,  dan  marasmus-
kwashiorkor.  Perbedaan  tipe  tersebut  didasarkan  pada  ciri-ciri  atau  tanda  klinis 
dari masing-masing tipe yang berbeda-beda. 
a. Marasmus
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang
timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot
di bawah  kulit  (kelihatan  tulang  di  bawah  kulit),  rambut  mudah  patah  dan 
kemerahan, gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati
dan sebagainya. Anak  tampak  sering  rewel  dan  banyak  menangis  meskipun 
setelah  makan,  karena masih merasa lapar.
Berikut adalah gejala pada marasmus adalah (Depkes RI, 2000) :
1) Anak  tampak  sangat  kurus  karena  hilangnya  sebagian  besar  lemak  dan 
otot-ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit
2) Wajah seperti orang tua
3) Iga gambang dan perut cekung
4) Otot paha mengendor (baggy pant)
5) Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar
b. Kwashiorkor
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana
dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun
dibagian tubuh  lainnya  terutama  dipantatnya  terlihat  adanya  atrofi.  Tampak 
sangat  kurus  dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh  tubuh
1) Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
2) Rambut  tipis  kemerahan  seperti  warna  rambut  jagung  dan  mudah 
dicabut,  pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala
kusam. 
3) Wajah membulat dan sembab
4) Pandangan mata anak sayu
5) Pembesaran  hati,  hati  yang  membesar  dengan  mudah  dapat  diraba  dan 
terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.
6) Kelainan  kulit  berupa  bercak  merah  muda  yang  meluas  dan  berubah 
menjadi coklat kehitaman dan terkelupas

c.  Marasmik-Kwashiorkor
Adapun marasmic-kwashiorkor memiliki ciri gabungan dari beberapa gejala klinis
kwashiorkor dan marasmus disertai edema yang tidak mencolok.

4. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala gizi buruk pada umumnya adalah:
a. Kelelahan dan kekurangan energy
b. Pusing
c. System kekebalan tubuh yang rendah
d. Kulit kering dan bersisik
e. Gusi mudah berdarah
f. Sulit untuk berkonsentrasi dan mempunyai reaksi yang lambat
g. Berat badan kurang
h. Pertumbuhan yang lambat
i. Kelemahan otot
j. Perut kembung
k. Tulang mudah patah
l. Terdapat masalah pada fungsi organ tubuh
5. Patofisiologi
Patofisiologi  gizi  buruk  pada  balita  adalah  anak  sulit  makan  atau 
anorexia bisa terjadi karena penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik seperti suasana
makan, pengaturan makanan dan lingkungan. Rambut mudah rontok dikarenakan
kekurangan protein, vitamin A, vitamin C dan vitamin E. Karena keempat elemen ini
merupakan nutrisi  yang  penting  bagi  rambut.  Pasien  juga  mengalami  rabun 
senja.  Rabun  senja terjadi  karena  defisiensi  vitamin  A  dan  protein.  Pada  retina 
ada  sel  batang  dan  sel kerucut.  Sel  batang  lebih  hanya  bisa  membedakan 
cahaya  terang  dan  gelap.  Sel batang  atau  rodopsin  ini  terbentuk  dari  vitamin  A 
dan  suatu  protein.  Jika  cahaya terang  mengenai  sel  rodopsin,  maka  sel  tersebut 
akan  terurai.  Sel  tersebut  akan mengumpul  lagi  pada  cahaya  yang  gelap.  Inilah 
yang  disebut  adaptasi  rodopsin. Adaptasi ini butuh waktu. Jadi, rabun senja terjadi
karena kegagalan atau kemunduran adaptasi rodopsin.
Turgor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Reflek
patella  negatif  terjadi  karena  kekurangan  aktin  myosin  pada  tendon  patella  dan
degenerasi saraf motorik akibat dari kekurangn protein, Cu dan Mg seperti gangguan
neurotransmitter.  Sedangkan,  hepatomegali  terjadi  karena  kekurangan  protein. 
Jika terjadi kekurangan protein, maka terjadi penurunan pembentukan lipoprotein. Hal
ini membuat penurunan HDL dan LDL. Karena penurunan HDL dan LDL, maka
lemak yang  ada  di  hepar  sulit  ditransport  ke  jaringan-jaringan,  pada  akhirnya 
penumpukan lemak di hepar.
Tanda  khas  pada  penderita  kwashiorkor  adalah  pitting  edema.  Pitting 
edema adalah  edema  yang  jika  ditekan,  sulit  kembali  seperti  semula.  Pitting 
edema disebabkan oleh kurangnya protein, sehingga tekanan onkotik intravaskular
menurun. Jika hal ini terjadi, maka terjadi ekstravasasi plasma ke intertisial. Plasma
masuk ke intertisial,  tidak  ke  intrasel,  karena  pada  penderita  kwashiorkor  tidak 
ada kompensansi  dari  ginjal  untuk  reabsorpsi  natrium.  Padahal  natrium  berfungsi
menjaga  keseimbangan  cairan  tubuh.  Pada  penderita  kwashiorkor,  selain 
defisiensi protein juga defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka plasma pada
intertisial lari ke daerah sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran sel dan
mengembalikannya membutuhkan waktu yang lama karena posisi sel yang rapat.
Edema biasanya terjadi  pada  ekstremitas  bawah  karena  pengaruh  gaya  gravitasi, 
tekanan  hidrostatik  dan onkotik (Sadewa, 2008).
Pathway

6. Faktor Predisposisi dan Presipitasi


Menurut Nelson (2007), penyebab utama gizi buruk adalah kurang kalori 
protein  yang  dapat  terjadi  karena  :  diet  yang  tidak  cukup,  kebiasaan  makan
yang tidak tepat seperti hubungan orang tua dengan anak terganggu, karena kelainan
metabolik  atau  malformasi  kongenital.  Keadaan  ini  merupakan  hasil  akhir  dari
interaksi  antara  kekurangan  makanan  dan  penyakit  infeksi.  Selain  faktor 
lingkungan ada  beberapa  faktor  lain  pada  diri  anak  sendiri  yang  dibawa  sejak 
lahir,  diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus. Secara garis besar sebab-
sebab marasmus adalah sebagai berikut :
1) Masukan  makanan  yang  kurang  :  marasmus  terjadi  akibat  masukan  kalori 
yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan
akibat dari ketidaktahuan  orang  tua  si  anak,  misalnya  pemakaian  secara  luas 
susu  kaleng yang terlalu encer.
2) Infeksi  yang  berat  dan  lama  menyebabkan  marasmus,  terutama  infeksi 
enteral misalnya  infantil  gastroenteritis,  bronkhopneumonia,  pielonephiritis 
dan  sifilis kongenital.
3) Kelainan  struktur  bawaan  misalnya  :  penyakit  jantung  bawaan,  penyakit
Hirschpurng,  deformitas  palatum,  palatoschizis,  mocrognathia,  stenosis 
pilorus. Hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas
4) Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut pemberian
ASI kurang akibat reflek mengisap yang kurang kuat
5) Pemberian  ASI  yang  terlalu  lama  tanpa  pemberian  makanan  tambahan  yang
cukup
6) Gangguan  metabolik,  misalnya  renal  asidosis,  idiopathic  hypercalcemia,
galactosemia, lactose intolerance
7) Tumor  hypothalamus,  kejadian  ini  jarang  dijumpai  dan  baru  ditegakkan  bila
penyebab maramus yang lain disingkirkan
8) Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan yang
kurang akan menimbulkan marasmus
9) Urbanisasi  mempengaruhi  dan  merupakan  predisposisi,  meningkatnya  arus 
urbanisasi  diikuti  pula  perubahan  kebiasaan penyapihan  dini  dan  kemudian 
diikuti  dengan  pemberian  susu  manis  dan  susu yang terlalu encer akibat dari
tidak mampu membeli susu, dan bila disertai infeksi berulang terutama
gastroenteritis akan menyebabkan anak jatuh dalam gizi buruk

7. Pemeriksaan Penunjang
Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut
pandang  gizi,  maka  antropometri  gizi  berhubungan  dengan  berbagai  macam
pengukuran  dimensi  tubuh  dan  komposisi  tubuh  dari  berbagai  tingkat  umur dan
tingkat gizi (Supariasa, 2002). Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan 
adalah  berat  badan  menurut  umur  (BB/U),  tinggi  badan  menurut umur (TB/U),
dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).
a) Indeks berat badan menurut umur (BB/U), merupakan pengukuran antropometri
yang sering digunakan sebagai indikator dalam  keadaan  normal,  dimana 
keadaan  kesehatan  dan  keseimbangan  antara  intake dan kebutuhan gizi
terjamin. Berat badan memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot  dan 
lemak).  Massa  tubuh  sangat  sensitif  terhadap  perubahan  keadaan  yang
mendadak,  misalnya  terserang  infeksi,  kurang  nafsu  makan  dan  menurunnya 
jumlah makanan  yang  dikonsumsi.  BB/U  lebih  menggambarkan  status  gizi 
sekarang.  Berat badan  yang  bersifat  labil,  menyebabkan  indeks  ini  lebih 
menggambarkan  status  gizi seseorang saat ini (Current Nutritional Status) 
b) Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) , Indeks TB/U  disamping memberikan
gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status
ekonomi (Beaton dan Bengoa (1973) dalam.
c) Indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), Berat  badan  memiliki 
hubungan  yang  linear  dengan  tinggi  badan.  Dalam keadaan normal,
perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan
kecepatan tertentu (Supariasa,dkk 2002).
d) Melakukan pemeriksaan darah untuk melihat ketidaknormalan Melakukan
pemeriksaan X-Ray untuk memeriksa apakah ada kelainan pada tulang dan organ
tubuh lain Memeriksa penyakit atau kondisi lain yang dapat menyebabkan
terjadinya gizi buruk.

8. Penatalaksanaan
a. Medis
Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan adalah :
1) Glukosa  biasanya  secara  intravena  diberikan  bila  terdapat  tanda-tanda
hipoglikemia.
2) KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.
3) Mg,  berupa  MgSO4  50%,  diberikan  secara  intra  muskuler  bila  terdapat
hipomagnesimia. 
4) Vitamin B dan vitamin  C dapat diberikan secara suntikan per-oral.  Zat besi (Fe)
dan  asam  folat  diberikan  bila  terdapat  anemia  yang  biasanya  menyertai 
KKP berat.
5) Vitamin  A  diberikan  sebagai  pencegahan  sebanyak  200.000  SI  peroral  atau
100.000 SI secara intra muskuler. Bila terdapat xeroftalmia, vitamin A diberikan
dengan dosis total 50.000 SI/kg berat badan dan dosis maksimal 400.000 SI.

b. Keperawatan
1.    Tahap Penyesuaian
Tujuannya  adalah  menyesuaikan  kemampuan  pasien  menerima 
makanan hingga  ia  mampu  menerima  diet  tinggi  energi  dan  tingi  protein 
(TETP).  Tahap penyesuaian  ini  dapat  berlangsung  singkat,  adalah  selama 
1-2  minggu  atau  lebih lama, bergantung pada kemampuan pasien untuk 
menerima dan mencerna makanan. Jika  berat  badan  pasien  kurang  dari  7 
kg,  makanan  yang  diberikan  berupa  makanan bayi. Makanan utama adalah
formula yang dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-5%  glukosa 
+2%  tepung.  Secara  berangsur  ditambahkan  makanan  lumat  dan makanan
lembek. Bila ada, berikan ASI. Jika  berat  badan  pasien  7  kg  atau  lebih, 
makanan  diberikan  seperti  makanan untuk  anak  di  atas  1  tahun. 
Pemberian  makanan  dimulai  dengan  makanan  cair, kemudian makanan
lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.  Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.
b.  Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.
c. Sumber  protein  utama  adalah  susu  yang  diberikan  secara  bertahap 
dengan keenceran  1/3,  2/3,  dan  3/3,  masing-masing  tahap  selama  2-3 
hari.  Untuk meningkatkan energi ditambahkan 5% glukosa, dan
d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap
2-3 jam. Bila  konsumsi  per-oral  tidak  mencukupi,  perlu  diberi  tambahan 
makanan lewat pipa (per-sonde) (RSCM, 2003).

2.      Tahap Penyembuhan


Bila  nafsu  makan  dan  toleransi  terhadap  makanan  bertambah  baik, 
secara berangsur, tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga
konsumsi mencapai 150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram
protein/kg berat badan sehari.
3.      Tahap Lanjutan
Sebelum  pasien  dipulangkan,  hendaknya  ia  sudah  dibiasakan 
memperoleh makanan  biasa  yang  bukan  merupakan  diet  TETP.  Kepada 
orang  tua  hendaknya diberikan  penyuluhan  kesehatan  dan  gizi, 
khususnya  tentang  mengatur  makanan, memilih bahan makanan, dan
mengolahnya sesuai dengan kemampuan daya belinya.

9. Masalah Keperawatan dan Data yang Perli di Kaji


a. Pengkajian
1) Anamnesis
a) Riwayat yang perlu ditanyakan pada ibu dalam anamesis untuk
menegakkan mencari etiologi dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
terjadinya gizi buruk:
b) Riwayat persalinan sebelumnya
c) Paritas, jarak kelahiran sebelumnya
d) Kenaikan berat badan selama hamil
e) Aktivitas
f) Penyakit yang diderita selama hamil
g) Obat-obatan yang diminum selama hamil
2) Pemberian nutrisi pada bayi
3) Kenaikan berat badan bayi dan tinggi badan
4) Pemeriksaan Fisik
5) Tanda-tanda anatomis
a) Berat badan kurang dari 2500 gram
b) Panjang badan kurang dari 45 cm
c) Lingkar kepala kurang dari 33 cm
d) Lingkar dada kurang dari 30 cm
e) Kulit keriput, tipis, penuh lanugo pada dahi, pelipis, telinga dan lengan,
lemak jaringan sedikit (tipis)
Tanda fisiologis
a) Gerakan bayi pasif dan tangis hanya merintih, walaupun lapar bayi tidak
menangis, bayi lebih banyak tidur dan lebih malas.
b) Suhu tubuh mudah untuk menjadi hipotermi.
Penyebabnya adalah :
 Pusat pengatur panas belum berfungsi dengan sempurna.
 Kurangnya lemak pada jaringan subcutan akibatnya mempercepat
terjadinya perubahan suhu.
 Kurangnya mobilisasi sehingga produksi panas berkurang.

10. Diagnosa Keperawatan


a. Pemenuhan nutrisi kurang daari kebuituhan tubuh b.d intake nutrisi tidak adekuat.
b. Kerusakan integritas kulit b.d perubahan nutrisi, dehidrasi.
c. Kurang pengetahuan b.d kurang informasi tentang kondisi, prognosi dan
kebutuhan nutrisi
d. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b/d asupan kalori dan protein yang
tidak adekuat.
e. Resiko infeksi b/d Ketidaktahuan keluarga mengenal masalah kesehatan

11. Rencana Tindakan Keperawatan


a. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebuituhan tubuh b.d intake nutrisi tidak
adekuat.
Tujuan: nutrisi klien terpenuhi dalam 2 minggu
Kriteria hasil :
1) Klien tidak muntah lagi
2) Nafsu makan kembali normal
3) Edema Berkurang /Hilang
4) BB sesuai dengan umur (berat badan ideal 10 kg tanpa edema)
Rencana:
1) Jelaskan kepada keluarga tentang penyebab malnutrisi, kebutuhan nutrisi
pemulihan, susunan menu dan pengolahan makanan sehat seimbang,
tunjukkan contoh jenis sumber makanan ekonomis sesuai status sosial
ekonomi klien.
R/ Meningkatkan pemahaman keluarga tentang penyebab dan kebutuhan
nutrisi untuk pemulihan klien sehingga dapat meneruskan upaya terapi dietik
yang telah diberikan selama hospitalisasi.
2) Tunjukkan cara pemberian makanan per sonde, beri kesempatan keluarga
untuk melakukannya sendiri.
R/ Meningkatkan partisipasi keluarga dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi
klien, mempertegas peran keluarga dalam upaya pemulihan status nutrisi
klien.
3) Laksanakan pemberian roborans sesuai program terapi.
R/ Roborans meningkatkan nafsu makan, proses absorbsi dan memenuhi
defisit yang menyertai keadaan malnutrisi.
4) Timbang berat badan, ukur lingkar lengan atas dan tebal lipatan kulit setiap
pagi.
R/ Menilai perkembangan masalah klien.

b. Kerusakan integritas kulit b.d perubahan nutrisi, dehidrasi.


Tujuan: Integritas kulit kembali normal.
Kriteria hasil:
1) Gatal hilang/berkurang.
2) Kulit kembali halus, kenyal dan utuh.
Rencana:
1) Anjurkan pada keluarga tentang pentingnya merubah posisi sesering mungkin.
2) Anjurkan keluarga lebih sering mengganti pakaian anak bila basah atau kotor
dan kulit anak tetap kering.
3) Kolaborasi dengan dokter untuk pengobatan lebih lanjut.

c. Kurang pengetahuan b.d kurang informasi tentang kondisi, prognosi dan


kebutuhan nutrisi
Tujuan: Pengetahuan keluarga bertambah.
Kriteria hasil:
1) Keluarga mengerti dan memahami isi penyuluhan.
2) Dapat mengulangi isi penyuluhan.
3) Mampu menerapkan isi penyuluhan di rumah sakit dan nanti sampai di rumah.
Rencana:
1) Tentukan tingkat pengetahuan dan kesiapan untuk belajar.
2) Jelaskan tentang:
 Nama penyakit anak.
 Penyebab penyakit.
 Akibat yang ditimbulkan.
 Pengobatan yang dilakukan.
3) Jelaskan tentang:
 Pengertian nutrisi dan pentingnya.
 Pola makan yang betul untuk anak sesuai umurnya.
 Bahan makanan yang banyak mengandung vitamin terutama banyak
mengandung protein.
4) Beri kesempatan keluarga untuk mengulangi isi penyuluhan.
5) Anjurkan keluarga untuk membawa anak kontrol di poli gizi setelah pulang
dari rumah sakit.

d. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b/d asupan kalori dan protein yang
tidak adekuat.
Tujuan : Klien akan mencapai pertumbuhan dan perkembangan sesuai standar
usia.
Kriteria Hasil:
1) Pertumbuhan fisik (ukuran antropometrik) sesuai standar usia.
2) Perkembangan motorik, bahasa/ kognitif dan personal/sosial sesuai standar
usia.
Rencana:
1) Ajarkan kepada orang tua tentang standar pertumbuhan fisik dan tugas-tugas
perkembangan sesuai usia anak.
R/  Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang keterlambatan pertumbuhan
dan perkembangan anak.
2) Lakukan pemberian makanan/ minuman sesuai program terapi diet pemulihan.
R/ Diet khusus untuk pemulihan malnutrisi diprogramkan secara bertahap
sesuai dengan kebutuhan anak dan kemampuan toleransi sistem pencernaan.
3) Lakukan pengukuran antropo-metrik secara berkala.
R/  Menilai perkembangan masalah klien.
4) Lakukan stimulasi tingkat perkembangan sesuai dengan usia klien.
R/ Stimulasi diperlukan untuk mengejar keterlambatan perkembangan anak
dalam aspek motorik, bahasa dan personal/sosial.
5) Lakukan rujukan ke lembaga pendukung stimulasi pertumbuhan dan
perkembangan (Puskesmas/Posyandu)
R/ Mempertahankan kesinambungan program stimulasi pertumbuhan dan
perkembangan anak dengan memberdayakan sistem pendukung yang ada.

e. Resiko infeksi b/d Ketidaktahuan keluarga mengenal masalah kesehatan


Tujuan : Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
Kriteria hasil :
1) Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
2) Jumlah leukosit dalam batas normal
3) Menunjukkan perilaku hidup sehat
Rencana :
1) Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
2) Pertahankan teknik isolasi
3) Batasi pengunjung bila perlu
4) Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan
setelah berkunjung meninggalkan pasien
5) Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
6) Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawtan
7) Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
8) Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
9) Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk
umum
10) Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
11) Tingktkan intake nutrisi
12) Berikan terapi antibiotik bila perlu
DAFTAR PUSTAKA

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC

Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI.

Doengoes, E, Marylinn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Vol. 3. Jakarta: EGC.

Behrman, R. E. 1999. Ilmu Kesehatan Anak: Nelson, Edisi 15, vol 1. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai