PENDAHULUAN
Usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat.
Oleh karena itu, kelompok usia balita perlu mendapat perhatian, karena merupakan kelompok
yang rawan terhadap kekurangan gizi.1
Keadaan gizi masyarakat Indonesia pada saat ini masih belum menggembirakan.
Berbagai masalah gizi seperti gizi kurang dan gizi buruk, kurang vitamin A, anemia defisiensi
besi, gangguan akibat kurang Yodium dan gizi lebih (obesitas) masih banyak tersebar di kota
dan desa di seluruh tanah air.2
Untuk mengatasi masalah gizi tersebut, Departemen Kesehatan telah menetapkan
sasaran prioritas pembangunan kesehatan tahun 2005-2009 dan salah satunya adalah Keluarga
Sadar Gizi. Keluarga Sadar Gizi merupakan keluarga yang mampu mengenal, mencegah dan
mengatasi masalah gizi di tingkat keluarga/rumah tangga melalui perilaku menimbang berat
badan secara teratur, memberikan hanya ASI saja kepada bayi 0-6 bulan, makan beraneka
ragam, memasak menggunakan garam beryodium, dan mengkonsumsi suplemen zat gizi
mikro sesuai anjuran.2
Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs)
yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa tahun 2015 setiap
negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Dua
dari lima indikator sebagai penjabaran tujuan pertama MDGs adalah menurunnya prevalensi
gizi kurang pada anak balita (indikator keempat) dan menurunnya jumlah penduduk dengan
defisit energi (indikator kelima).3
Berdasarkan data dari Direktorat Bina Gizi Kementrian Kesehatan diketahui sampai
tahun 2011 ada sekitar 1 juta anak di Indonesia yang mengalami gizi buruk. Pada tahun 2010,
tercatat jumlah balita gizi buruk di Indonesia sebanyak 43.616 balita atau sebesar ini lebih
kecil 4,9%. Angka ini lebih kecil jika dibandingkan tahun 2009 dengan jumlah balita gizi
buruk sebanyak 56.941 balita. Namun, angka penderita gizi buruk pada tahun 2010 ini masih
lebih tinggi dibandingkan tahun 2008 yang berjumlah 41.290 balita.4
Di Papua sendiri, Pada tahun 2013, sebanyak 8 persen balita yang mengalami wasting
(kurus) atau turun sebesar 3,7 persen dari tahun 2012 yang berada pada tingkat 11,7 persen.
Namun, prevalensi ini masih menunjukkan masalah kesehatan masyarakat pada tingkat buruk
berdasarkan klasifikasi WHO, dimana Papua masih dalah tingkat kurang. Sebanyak enam
kabupaten/kota sudah tergolong dalam klasifikasi baik dimana memiliki prevalensi kurang
dari 5 persen, 23 kabupaten/kota berada pada tingkat kurang dan 9 kabupaten pada tingkat
buruk.5
Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut antara lain adalah tingkat
kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan sesuai dengan kebutuhan anggota keluarga,
pengetahuan dan perilaku keluarga dalam meilih, mengolah, dan membagi makanan di tingkat
rumah tangga, ketersediaan air bersih dan fasilitas sanitasi dasar serta ketersediaan dan
aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat yang berkualitas.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut
umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight (Kemenkes RI, 2011),
sedangkan menurut Depkes RI 2008, keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak
berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan
tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.1
2.2 Epidemiologi
Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah
Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Susenas menunjukkan bahwa
jumlah balita yang BB/U <-3SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningkat dari
6,3% menjadi 7,2% tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6 % pada tahun 1995. Upaya
pemerintahan tara lain melalui Pemberian Makanan Tambahan dalam Jaring Pengaman
Sosial (JPS) dan peningkatan pelayanan gizi melalui pelatihan-pelatihan Tatalaksana Gizi
Buruk kepada tenaga kesehatan, berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1 %
pada tahun 1998; 8,1% tahun 1999 dan 6,3 % tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi
peningkatan kembali menjadi 8% dan pada tahun 2003 menjadi 8,15 %. Kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa anak gizi buruk dengan gejala klinis (marasmus,
kwashiorkor, marasmus-kwashiorkor) umumnya disertai dengan penyakit infeksi seperti
diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Tuberkulosis (TB) serta penyakit infeksi
lainnya. Data dari WHO menunjukkan bahwa 54 % angka kesakitan pada balita
disebabkan karena gizi buruk, 19 % diare, 19% ISPA, 18% perinatal, 7% campak, 5%
malaria dan 32 % penyebab lain.4
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal ini
dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita dari 5,4%
pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Meskipun terjadi penurunan, tetapi
jumlah nominal anak gizi buruk masih relatif besar.5
2.3 Klasifikasi Gizi Buruk
2.3.1 Marasmus
Gambaran klinik marasmus berasal dari masukan kalori yang tidak cukup
karena diet yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat seperti
mereka yang hubungan orangtua-anak terganggu, atau karena kelainan metabolic
atau malformasi congenital. Gangguan berat setiap system tubuh dapat
mengakibatkan malnutrisi.6
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang
timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di
bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan,
gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan
sebagainya. Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah
makan, karena masih merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus adalah :
a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-
ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit
b. Wajah seperti orang tua
c. Iga gambang dan perut cekung
d. Otot paha mengendor (baggy pant)
e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar
\
2.3.2 Kwashiorkor
2.3.3 Marasmik-Kwashiorkor
Menurut Hasaroh, (2010) masalah gizi pada balita dipengaruhi oleh berbagai
faktor, baik faktor penyebab langsung maupun faktor penyebab tidak langsung. Menurut
Depkes RI (1997) dalam Mastari (2009), faktor penyebab langsung timbulnya masalah gizi
pada balita adalah penyakit infeksi serta kesesuaian pola konsumsi makanan dengan
kebutuhan anak, sedangkan faktor penyebab tidak langsung merupakan faktor
sepertitingkat sosial ekonomi, pengetahuan ibu tentang kesehatan, ketersediaan pangan
ditingkat keluarga, pola konsumsi, serta akses ke fasilitas pelayanan. Selain itu,
pemeliharaan kesehatan juga memegang peranan penting. Di bawah ini dijelaskan
beberapa faktor penyebab tidak langsung masalah gizibalita, yaitu:
a. Tingkat Pendapatan Keluarga.
Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang disediakan untuk
konsumsi balita serta kuantitas ketersediaannya. Pengaruh peningkatan penghasilan
terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga lain yang mengadakan interaksi
dengan status gizi yang berlawanan hampir universal. Selain itu diupayakan
menanamkan pengertian kepada para orang tua dalam hal memberikan makanan anak
dengan cara yang tepat dan dalam kondisi yang higienis.
2.5 Diagnosis
Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri dan
pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda tergantung dari derajat
dan lamanya deplesi protein dan energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh
karena adanya kekurangan vitamin dan mineral yang menyertainya. Gejala klinis gizi
buruk ringan dan sedang tidak terlalu jelas, yang ditemukan hanya pertumbuhan yang
kurang seperti berat badan yang kurang dibandingkan dengan anak yang sehat.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran
antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila :
BB/TB kurang dari -3SD (marasmus)
Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh(kwashiorkor : BB/TB > -3SD
atau marasmik-kwashiorkor : BB/TB < -3SD.
Jika BB/TB ata BB/PB tidak dapat diukur dapat digunakan tanda klinis berupa anak
tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak bawah
kulit terutama pada kedua bahu lengan pantat dan paha tulang iga terlihat jelas dengan atau
tanpa adanya edema.
Pada setiap anak gizi buruk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis
terdiri dari anamnesia awal dan lanjutan.
Anamnesis awal (untuk kedaruratan) :7
Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan diare
(encer/darah/lender)
Kapan terakhir berkemih
Sejak kapan kaki dan tangan teraba dingin
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi dan/atau
syok, serta harus diatasi segera.
Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya,
dilakukan setelah kedaruratan tertangani)7
Diet (pola makan)/ kebiasaan makan sebelum sakit
Riwayat pemberian ASI
Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir
Hilangnya nafsu makan
Kontak dengan campak atau tuberculosis paru
Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
Batuk kronik
Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
Berat badan lahir
Riwayat tumbuh kembang
Riwayat imunisasi
Apakah ditimbang setiap bulan
Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang social anak)
Diketahui atau tersangka infeksi HIV .
Pemeriksaan Fisik7
Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki.
Tentukan status gizi dengan menggunakn BB/TB-PB
Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk
Tanda syok (akral dingin, CRT lambat, nadi lemah dan cepat), kesadaran menurun
Demam (suhu aksilar ≥ 37,5 C) atau hipotermi (suhu aksilar <35,5 C)
Frekuensi dan tipe pernafasan : pneumonia atau gagal jantung
Sangat pucat
Pembesaran hati dan ikterus
Adakah perut kembung, bising usus melemah atau meningkat, tanda asites
Tanda defisiensi vitamin A (bercak bitot, ulkus kornea, keratomalasia)
Ulkus pada mulut
Fokus infeksi : THT, paru, kulit
Lesi kulit pada kwashiorkor
Tampilan tinja
Tanda dan gejala infeksi HIV
2.6 Alur dan Penatalaksanaan Gizi Buruk7
Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase stabilisasi, fase
transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah mana yang
cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita kwashiorkor,
marasmus maupun marasmik-kwarshiorkor.
1. Tahap Penyesuaian
Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan hingga ia
mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein (TETP). Tahap penyesuaian ini dapat
berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih lama, bergantung pada
kemampuan pasien untuk menerima dan mencerna makanan. Jika berat badan pasien
kurang dari 7 kg, makanan yang diberikan berupa makanan bayi. Makanan utama adalah
formula yang dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa +2% tepung.
Secara berangsur ditambahkan makanan lumat dan makanan lembek. Bila ada, berikan
ASI.
Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti makanan untuk
anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan makanan cair, kemudian
makanan lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.
b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.
c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan keenceran
1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk meningkatkan energi
ditambahkan 5% glukosa, dan
d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap 2-3 jam.
Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan lewat pipa
(per-sonde)
2. Tahap Penyembuhan
Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara berangsur,
tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi mencapai 150-200
kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan sehari.
3. Tahap Lanjutan
Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh makanan
biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang tua hendaknya diberikan
penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang mengatur makanan, memilih bahan
makanan, dan mengolahnya sesuai dengan kemampuan daya belinya.
Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan adalah :
a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoglikemia.
b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.
c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat
hipomagnesimia.
d. Vitamin A diberikan sebagai pencegahan sebanyak 200.000 SI peroral atau 100.000
SI secara intra muskuler. Bila terdapat xeroftalmia, vitamin A diberikan dengan
dosis total 50.000 SI/kg berat badan dan dosis maksimal 400.000 SI.
e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zat besi (Fe) dan
asam folat diberikan bila terdapat anemia yang biasanya menyertai KKP berat.
3.1 Identitas
Nama : An. Q
Umur : 4 bulan 28 hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
BB : 5400 gram
PB : 63 cm
LILA : 11 cm
Alamat : Brondong
Agama : Islam
Pendidikan orang tua : ♂ SMA/ ♀ SMA
Pekerjaan orang tua : ♂ Buruh/ ♀ IRT
Suku bangsa : Jawa
Tgl MRS : 14 November 2019
No. DM : 30 34 74
3.2 Anamnesis
I. Keluhan Utama (Heteroanamnesis)
Kulit mengelupas sejak 4 hari SMRS
3.8 Resume
Pasien datang ke IGD rujukan RS Suyudi dengan keluhan kulit mengelupas sejak
4 hari SMRS. Keluhan tersebut baru pertama kali dialami pasien. Batuk + sudah 1 minggu
SMRS tetapi jarang, sesak (-), batuk darah (-), pilek (-), demam (+) 1 minggu hilang
timbul. Selain itu, ibu merasa berat badan pasien tidak naik bahkan dirasakan menurun.
Berat badan lahir pasien adalah 3.500 gram, dilahirkan dengan persalinan spontan dan
ditolong oleh bidan, ibu mengaku pasien lahir langsung menangis. ASI diberikan hanya
sampai usia 1 minggu dengan alasan ASI tidak cukup untuk bayi dan diberikan susu
formula. Karna faktor ekonomi keluarga, susu formula disambung dengan air gula,
terkadang hanya air gula yang diberikan kepada bayi sejak usia 1 bulan. Imunisasi yang
diberikan kepada bayi Hepatitis 0 dan terakhir ke Puskesmas imunisasi BCG, setelah itu
tidak pernah memeriksakan bayi lagi dan tidak pernah ikut Posyandu dengan alasan tidak
sempat karena sibuk mengurus anak. BAK lancar dan BAB normal. Riwayat penyakit
penyakit keluarganya, kakak pasien berusia 4 tahun dengan gizi kurang dan gangguan
bicara. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, frekuensi respirasi
32x/menit, konjungtiva anemis, rhonki pada lapang paru kanan dan kiri, pitting edema
pada kedua ekstremitas bawah. Pada foto rontgen thoraks posisi PA didapatkan gambaran
infiltrat di kedua lapang paru yang merupakan gambaran radiologi yang dicurigai sebagai
bronkopneumonia.
3.9 Diagnosis kerja
- Sepsis
- Gizi buruk tipe marasmus kwarsiorkor
- Anemia
- Hipoalbumin
- Bronkopnumonia
- GEA
3.10 Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Mengapa pada kasus ini didiagnosis Gizi buruk tipe Marasmus Kwarsiorkor?
Pasien ini didiagnosis gizi buruk berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pengukuran antropometri, dan pemeriksaan penunjang.
Pasien datang ke IGD rujukan RS Suyudi dengan keluhan kulit mengelupas sejak
4 hari SMRS. Keluhan tersebut baru pertama kali dialami pasien. Batuk + sudah 1 minggu
SMRS tetapi jarang, sesak (-), batuk darah (-), pilek (-), demam (+) 1 minggu hilang
timbul. Selain itu, ibu merasa berat badan pasien tidak naik bahkan dirasakan menurun.
Berat badan lahir pasien adalah 3.500 gram, dilahirkan dengan persalinan spontan dan
ditolong oleh bidan, ibu mengaku pasien lahir langsung menangis. ASI diberikan hanya
sampai usia 1 minggu dengan alasan ASI tidak cukup untuk bayi dan diberikan susu
formula. Karna faktor ekonomi keluarga, susu formula disambung dengan air gula,
terkadang hanya air gula yang diberikan kepada bayi sejak usia 1 bulan. Imunisasi yang
diberikan kepada bayi Hepatitis 0 dan terakhir ke Puskesmas imunisasi BCG, setelah itu
tidak pernah memeriksakan bayi lagi dan tidak pernah ikut Posyandu dengan alasan tidak
sempat karena sibuk mengurus anak. BAK lancar dan BAB normal. Riwayat penyakit
penyakit keluarganya, kakak pasien berusia 4 tahun dengan gizi kurang dan gangguan
bicara. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, frekuensi respirasi
32x/menit, konjungtiva anemis, rhonki pada lapang paru kanan dan kiri, pitting edema
pada kedua ekstremitas bawah. Pada foto rontgen thoraks posisi PA didapatkan gambaran
infiltrat di kedua lapang paru yang merupakan gambaran radiologi yang dicurigai sebagai
bronkopneumonia. Sehingga semua anamnesis yang dilakukan dan data yang diperoleh
telah sesuai dengan teori yang mengarahkan pasien pada kriteria dari penderita gizi
buruk.
Untuk memastikannya, dilakukan pengukuran antropometri berdasarkan indeks
BB/PB dan didapatkan hasil < -3SD, sedangkan dengan menggunakan indeks BB/usia < -
3SD dan PB/Usia didapatkan hasil <-2SD sehingga status gizi pasien dikategorikan
sebagai gizi buruk. Dari pemeriksaan fisik dapat terlihat keadaan umum pasien tampak
sangat kurus (visible severe wasting), sangat pucat dengan conjungtiva anemis, frekuensi
nafas yang cepat, kulit tampak kering dan mengelupas pada hampir seluruh tubuh dan
adanya edema pada punggung kaki sehingga ini sangat mendukung diagnose gizi buruk
pada pasien. Sesuai teori pasien diklasifikasikan dengan gizi buruk tipe marasmus
kwarsiorkor karena memiliki gambaran klinis dari kedua tipe gizi buruk tersebut seperti
Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-ototnya,
tinggal tulang terbungkus kulit, wajah seperti orang tua, flaky paint dermatrosis
dermatitis, rewel, serta edema pada tungkai.
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan pasien menderita anemia, hipoalbumin,
sepsis dan pada foto thoraks didapatkan bronkopneumonia sehingga dari anamnesis,
pengukuran antropometri, pemeriksaan fisik dan penunjang pemeriksaan penunjang dapat
disiimpulkan pasien inimenderita gizi buruk tipe marasmus kwarsiorkor dengan anemia,
sepsis, hipoalbumin dan bronkopneumonia.
.
4.2 Apa Faktor Resiko gizi buruk pada kasus ini?
Berdasarkan teori, faktor resiko gizi buruk antara lain faktor penyebab langsung
maupun faktor penyebab tidak langsung. Faktor penyebab langsung timbulnya masalah
gizi adalah penyakit infeksi serta kesesuaian pola konsumsi makanan dengan kebutuhan
anak, sedangkan faktor penyebab tidak langsung merupakan faktor seperti tingkat sosial
ekonomi, pengetahuan ibu tentang kesehatan, ketersediaan pangan ditingkat keluarga,
pola konsumsi, serta akses ke fasilitas pelayanan. Selain itu, pemeliharaan kesehatan juga
memegang peranan penting.
Pada pasien ini yang termasuk factor penyebab langsung kesesuaian pola konsumsi
makanan dengan kebutuhan anak memang tidak terpenuhi pada pasien ini karena ibu
mengaku jika ASI tidak lancer dan tidak cukup untuk anaknya sehingga sejak usia pasien
1 minggu pasien sudah mengkonsumsi susu kemasan sehingga komponen yang
dikonsumsi tidak sebagus ASI, dan karena faktor ekonomi sejak usia 1 bulan pasien
hanya diberikan air gula.
Sedangkan faktor penyebab tidak langsung pada pasien ini adalah tingkat social
ekonomi dan pengetahuan ibu tentang kesehatan. Berdasarkan teori tingkat penghasilan
ikut menentukan jenis pangan apa yang disediakan untuk konsumsi satu keluarga serta
kuantitas ketersediaannya. Selain itu, Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan
seseorang mampu menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi. Semakin banyak
pengetahuan gizi seseorang,maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah
makanan yang diperolehnya untuk dikonsumsi. Pengetahuan gizi yang dimaksud disini
termasuk pengetahuan tentang penilaian status gizi. Dengan demikian ibu bisa lebih bijak
menanggapi tentang masalah yang berkaitan dengan gangguan status gizi bayi dan balita.
Pengetahuan juga dipengaruhi dari pendidikan ibu. Pendidikan ibu merupakan faktor
yang sangat penting. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan
tingkat pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, kebersihan pemeriksaan kehamilan
dan pasca persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan dan gizi anak-anak dan
keluarganya. Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang
menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini bisa dijadikan
landasan untuk membedakan metode penyuluhan yang tepat. Dari kepentingan gizi
keluarga, pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah
gizi di dalam keluarga dan bias mengambil tindakan secepatnya. Bila dihubungkan pada
kasus ini, diketahui bahwa factor tidak langsung sangat mempengaruhi status gizi pasien.
Karena berdasarkan tingkat ekonomi bapak dari pasien bekerja sebagai tukang ojek
dengan gaji yang tidak menentu sehingga sesuai dengan teori sangat mempengaruhi
ketersediaan jenis pangan apa yang disediakan untuk konsumsi satu keluarga serta
kuantitas ketersediaannya. Selain itu, berdasarkan tingkat pendidikan kedua orang tua
berpendidikan terakhir SMA, ini sangat mempengaruhi pengetahuan akan menanggapi
masalah yang ada dalam kasus ini masalah gizi anak yang buruk. Dapat dilihat bahwa ibu
sudah mengetahui bahwa berat badan anak tidak naik disertai dengan kondisi anak yang
menderita batuk dan demam yang hilang timbul, dan kulit kering kecoklatan dan
menglupas tetapi ibu tidak merespon keadaan tersebut dengan mencari pertolongan
dipelayanan kesehatan ibu hanya merawat anak seperti biasa hingga keadaan anak
dirasakan semakin parah hingga anak tampak lemah.
Sehingga dapat disimpulkan baik faktor langsung maupun tidak langsung sangat
mempengaruhi satus gizi pasien.
Sehingga pada pasien ini kebutuhan energi 320-400 kkal/hari, protein 4-6gram/hari,
cairan 520 ml/hari. Kandungan dari F75 adalah:
,
Berdasarkan teori, pemberian F75 pada pasien dengan berat badan 4 kg dan
pemberian tiap 3 jam adalah 65 cc tetapi pada pasien diberikan 75cc sehingga total
cairan yang masuk/ hari berlebih yang seharusnya dibutuhkan 520ml/hari tetapi diberikan
598ml/hari. Karena tiap 1000ml F75 mengandung 750 kkal maka 598ml F75
mengandung 448 kkal jumlah energy ini sudah melebihi kebutuhan energi pasien.
Pada rencana V, fase transisi (hari 3-7) dilakukan untuk memperbaiki
keseimbangan elektrolit, mengatasi infeksi, dan untuk memberikan makan dilakukan
dengan pemberian asam folat, vitamin A, antibiotic dan antifungal.
Asam folat pada pasien ini diberikan 1 mg/hari, diberikan asam folat dapat
meningkatkan produksi sel darah merah.dan vitamin A diberikan sesuai dengan teori
diberikan 100.000 SI selama 2 hari. Untuk antibiotic pasien ini diberikan ampisilin
injeksi 4x100mg berbeda dengan cara dosis pada teori yaitu 50mg/kgBB sehingga
seharusnya diberikan 4x200mg. Antijamur diberikan karena pada pemeriksaan fisik
ditemukan oral trush. Pada pasien ini pemberian F75 tidak dilanjutkan ke F100 karena
pasien belum dapat menghabiskan F75 tiap 3 jam. Selain itu, pada pasien ini tidak
dilakukan pemeriksaan elektrolit, sehingga tidak dapat diketahui nilai elektrolit apakah
seimbang atau tidak dan akhirnya pada pasien ini di fase transisi tidak dilakukan
perbaikan keseimbangan elektrolit.
Selain itu, dilakukan juga penatalaksanaan pada penyulit yaitu anemia, TB paru dan
profilaksis HIV.
Berdasarkan kriteria di atas, pada pasien ini tidak tergolong anemia berat karena
pasien masuk dengan Hb 7, 1 g/dl diberikan terapi transfusi 50 cc dalam 2 serial dan Hb
post transfuse semakin menurun menjadi 6,5 g/dl setelah itu tidak dilanjutkan pemberian
darah.
BAB V
KESIMPULAN
1. Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut umur
(BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight. Keadaan kurang gizi
tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-
3 SD dan atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-
kwashiorkor.
2. Faktor resiko gizi buruk antara lain faktor penyebab langsung maupun faktor penyebab
tidak langsung. Faktor penyebab langsung adalah penyakit infeksi serta kesesuaian pola
konsumsi makanan dengan kebutuhan anak, sedangkan faktor penyebab tidak langsung
merupakan faktor seperti tingkat sosial ekonomi, pengetahuan ibu tentang kesehatan.
3. Penatalaksanaan gizi buruk disesuaikan dengan kondisi pasien apakah terdapat syok,
renjatan, muntah, diare, dehidrasi atau tidak, dan dilakukan dalam 4 fase yaitu fase
stabilisasi, transisi, rehabilitasi dan fase lanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta : Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan
Anak.
2. Depkes RI. 2007. Pedoman Pendampingan Keluarga Menuju Kadarzi. Jakarta : Dirjen
Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
3. Yayasan pemantau Hak anak. 2015. Tujuan, Target, dan Indikator MDG’s. Childrens
Human Rights Foundation.
4. Depkes RI, 2010. Laporan Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
6. Berhman dkk. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 1. Jakarta : EGC.
7. Depkes RI. 2007. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jakarta : Dirjen Bina
Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
9. WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta : Tim
Adaptasi Indonesia-WHO Indonesia.
10. Kemenkes RI. 2014. Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak. Jakarta: Tim
Kemenkes-WHO.