Anda di halaman 1dari 16

1) Definisi Malnutrisi

Nutrition atau disebut dengan istilah nutrisi atau gizi,

merupakan

keseluruhan proses dimana organisme hidup mendapatkan dan menggunakan


bahan-bahan yang diperlukan untuk kelangsungan hidup organisme tersebut,
pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh yang aus (Kamus Keperawatan).
Nutrisi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu
energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses
kehidupan (Soenarjo, 2000).
Malnutrisi adalah keadaan terang gizi yang disebabkan oleh rendahnya
konsumsi energi dan protein dalam keadaan sehari-hari sehingga tidak memenuhi
dalam angka kecukupan gizi. (Depkes RI, 1999). Malnutrisi adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan keadaan kurang nutrisi, terutama energi dan
protein. Malnutrisi energi protein (MEP) merupakan keadaan tidak cukupnya
masukan protein dan kalori yang dibutuhkan oleh tubuh atau dikenal dengan nama
marasmus dan kwashiorkor. Kwashiorkor disebabkan oleh kekurangan protein baik
dari segi kualitas maupun segi kuantitas, sedangkan marasmus disebabkan oleh
kekurangan kalori dan protein.
Malnutrisi adalah defisiensi gizi yang biasa terjadi pada anak mendapatkan
masukan makanan yang cukup bergizi dalam waktu yang lama. Malnutrisi berarti
kurang kalori dan protein (KKP). Spektrum derajad KKP luas, mulai dari ringan,
sedang sampai berat. KKP yang berat dibedakan menjadi kwashiorkor, marasmus
dan marasmic kwashiorkor (Ngastiyah, 1997).
Malnutrisi adalah keadaan dimana tubuh tidak mendapat asupan gizi yang
cukup,

malnutrisi

dapat

juga

disebut

keadaan

yang

disebabkan

oleh

ketidakseimbangan di antara pengambilan makanan dengan kebutuhan gizi untuk


mempertahankan kesehatan. Ini bisa terjadi karena asupan makanan terlalu sedikit
ataupun pengambilan makanan yang tidak seimbang. Selain itu, kekurangan gizi
dalam tubuh juga berakibat terjadinya malabsorbsi makanan atau kegagalan
metabolic (Oxford Medical Dictionary, 2007).
2) KlasifikasiMalnutrisi
Malnutrisi berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
a) Marasmus
Marasmus adalah bentuk malnutrisi kalori protein yang terutama akibat
kekurangan kalori yang berat dan kronis terutama terjadi selama tahun
pertama kehidupan dan mengurusnya lemak bawah kulit dan otot. Marasmus
merupakan salah satu bentuk gizi buruk/malnutrisi yang paling sering
ditemukan pada balita. Hal ini merupakan hasil akhir dari tingkat keparahan

gizi buruk. Gejala marasmus antara lain anak tampak kurus, rambut tipis dan
jarang, kulit keriput yang disebabkan karena lemak dibawah kulit yang
berkurang, muka seperti orang tua (berkerut), balita cengeng dan rewel
meskipun setelah makan, bokong baggy pant, dan iga gambang.
Pada patologi marasmus awalnya pertumbuhan yang kurang dan atrofi
otot serta menghilangnya lemak dibawah kulit merupakan proses fisiologis.
Tubuh membutuhkan energi yang dapat dipenuhi oleh asupan makanan untuk
kelangsungan hidup jaringan. Untuk memenuhi kebutuhan energi cadangan
protein juga digunakan. Penghancuran jaringan pada defisiensi kalori tidak
hanya untuk memenuhi kebutuhan energi tetapi juga untuk sintesis glukosa.
b) Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah suatu bentuk malnutrisi protein yang berat
disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi dan asupan
protein yang inadekuat. Hal ini seperti marasmus, kwashiorkor juga
merupakan hasil akhir dari tingkat keparahan gizi buruk. Tanda khas
kwashiorkor antara lain pertumbuhan terganggu, perubahan mental, pada
sebagian besar penderita ditemukan oedema baik ringan maupun berat, gejala
gastrointestinal, rambut kepala mudah dicabut, kulit penderita biasanya kering
dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih mendalam dan lebar, sering
ditemukan hiperpigmentasi dan persikan kulit, pembesaran hati, anemia
ringan, pada biopsi hati ditemukan perlemakan.
Gangguan metabolik dan perubahan

sel

dapat

menyebabkan

perlemakan hati dan oedema. Pada penderita defisiensi protein tidak terjadi
proses katabolisme jaringan yang sangat berlebihan karena persediaan energi
dapat dipenuhi dengan jumlah kalori yang cukup dalam asupan makanan.
Kekurangan protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan asam amino
esensial yang dibutuhkan untuk sintesis. Asupan makanan yang terdapat
cukup karbohidrat menyebabkan produksi insulin meningkat dan sebagian
asam amino dari dalam serum yang jumlahnya sudah kurang akan disalurkan
ke otot. Kurangnya pembentukan albumin oleh hepar disebabkan oleh
berkurangnya asam amino dalam serum yang kemudian menimbulkan
oedema.
c) Marasmic-Kwashiorkor
Marasmic-kwashiorkor adalah gejala klinisnya merupakan campuran
dari beberapa gejala klinis antara kwashiorkor dan marasmus dengan berat
badan menurut umur < 60% baku median WHO-NCHS yang disertai oedema
yang tidak mencolok.

3) Epidemiologi Malnutrisi
Malnutrisi dalam bentuk apapun meningkatkan risiko terkena berbagai
penyakit dan kematian. Malnutrisi energi-protein, misalnya, merupakan sebuah
peran utama dari semua kematian anak di bawah usia 5 tahun setiap tahunnya di
negara-negara berkembang (WHO, 2001).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, sebanyak 13,0%
berstatus gizi kurang, diantaranya 4,9% berstatus gizi buruk.Menurut WHO lebih
dari 50% kematian bayi dan anak terkait dengan gizi kurang dan gizi buruk, oleh
karena itu masalah gizi perlu ditangani secara cepat dan tepat.(Kemenkes RI,
2011)
The United Nations Childrens Fund (UNICEF) pada tanggal 12 September
2008, menyatakan malnutrisi sebagai penyebab lebih dari 1/3 dari 9,2 juta
kematian pada anak-anak di bawah usia 5 tahun di dunia.World Food Programme
(WFP) memperkirakan 13 juta anak di Indonesia menderita malnutrisi. Ada
beberapa wilayah di Indonesia, yang sekitar 50% bayi dan anak-anak mempunyai
berat badan rendah. Survei yang dipublikasi oleh Church World Service (CWS),
pada suatu studi kasus di 4 daerah wilayah Timor Barat (Kupang, Timur Tengah
Selatan (TTS), Timur Tengah Utara (TTU), dan Belu) menunjukkan sekitar 50% dari
bayi dan anak-anak adalah underweight sedang dan/atau underweight berat.
Bersama dengan Helen Keller International dan UNICEF, CWS West Timor survei
menyimpulkan 13,1% dari seluruh anak di bawah usia 5 tahun menderita malnutrisi
akut, sedangkan 61,1% dari bayi baru lahir sampai umur 59 bulan menderita
malnutrisi kronik.(CWS, 2008)
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Hasil
Susenas menunjukkan adanya penurunan prevalensi balita gizi buruk yaitu dari
10,1% pada tahun 1998 menjadi 8,1% pada tahun 1999 dan menjadi 6,3% pada
tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan kembali prevalensi gizi
buruk dari 8,0% menjadi 8,3% pada tahun 2003 dan kembali meningkat menjadi
8,8% pada tahun 2005.(Krisnansari, 2010)
4) Faktor Resiko Malnutrisi
a) Masukan yang tidak adekuat
ketidakmampuan (kemiskinan) menyebabkan anoreksia, prosedur di RS
kurang memuaskan dan tekanan psikologis
b) Meningkatnya kebutuhan energi
Karena infeksi, demam, trauma neoplasma, hipertiroid dan distres pada
jantung dan pernafasan

c) Meningkatnya energi yang terbuang


Karena muntah, diare dan sindrome mal-absorbsi.
Etiologi Malnutrisi
a) Penyebab malnutrisi secara umum
Intake makanan kurang dan atau adanya penyakit sistemik. Keadaan ini
menyebabkan kebutuhan meningkat atau kehilangan nutrien meningkat,
gangguan absorbsi atau digesti. Intake yang kurang sering dijumpai pada
kemiskinan, ketidaktahuan dan sedang menderita penyakit.
Kekurangan protein dengan relatif kelebihan energi akan menyebabkan
kwashiorkor primer, sedangkan kekurangan keduanya protein dan energi
dalam waktu yang cukup lama akan menyebab kan marasmus.
Malnutrisi pada bayi sering terjadi di daerah dengan makanan tidak
cukup. Kebiasaan makan yang tidak tepat seperti mereka yang hubungan
orang tua-anak terganggu dan anak dari keluarga sosial ekonomi rendah, atau
karena kelainan metabolik atau malformasi congenital. Gangguan berat pada
sistem tubuh dapat mengakibatkan malnutrisi.
Intake protein terganggu bisa disebabkan oleh keadaan diare kronik,
kehilangan protein abnormal pada proteinuria (nefrosis), infeksi, perdarahan
atau luka bakar, dan gagal mensintesis protein seperti pada penyakit hati kronik
(Tarwoto, 2003).
b) Malnutrisi primer adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh asupan
protein maupun energy yang tidak adekuat
c) Malnutrisi sekunder adalah malnutrisi yang terjadi karena kebutuhan yang
meningkat, menurunnya absorbs, dan/atau peningkatan kehilangan protein
maupun energy dari tubuh (Kleigmen et al, 2007)
d) Penyebab langsung : kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang
dikonsumsi, penderita penyakit infeksi, cacat bawaan dan menderita penyakit
kanker. Anak yang mendapat makanan cukup baik tetapi sering diserang atau
demam akhirnya menderita kurang gizi.
e) Penyebab tidak langsung : ketersediaan Pangan rumah tangga, perilaku,
pelayanan kesehatan. Sedangkan faktor-faktor lain selain faktor kesehatan,
tetapi juga merupakan masalah utama gizi buruk adalah kemiskinan,
pendidikan rendah, ketersediaan pangan dan kesempatan kerja. Oleh karena
itu untuk mengatasi gizi buruk dibutuhkan kerjasama lintas sektor Ketahanan
pangan adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan

seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik maupun gizinya
(Dinkes SU, 2006).
f) Penyebab malnutrisimenurut Iskandar, 2002 :
- Faktor diit
Diit yang cukup mengandung energi tetapi kurang portein akan
menyebabkan anak menderita kwasiorkor sedangkan diit kurang energi
walaupun zat-zat gizi esensialnya seimbang akan menyebabkan penderita
menjadi marasmus.
-

Faktor sosial
Pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang
sudah turun temurun adakalanya didasarkan pada keagamaan, makanan,
sulit diubah, tetapi jika pantangan tersebut kebiasaan maka dengan
pendidikan gizi dan dilakukan secara terus menerus maka dengan
pendidikan gizi dan dilakukan secara terus menerus dapat diatasi faktor
sosial lain. Perceraian pada pola dengan penghasilan kecil, pada ibu yang
bekerja tetap setelah melahirkan.

Faktor Keadaan Penduduk


Dalam World Food Conference di Roma dikemukakan bahwa
kepadatan jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan
tambahnya

persediaan

bahan

makanan

setempat

yang

memadai

merupakan sebab utama krisis pangan. Ms. Lorent memperkirakan bahwa


marasmus terdapat dalam jumlah yang banyak jika suatu daerah terlalu
padat daerahnya dengan hygiene yang buruk.
-

Faktor infeksi
Infeksi apapun dapat memperburuk keadaan gizi, malnutrisi
walaupun masih ringan mempunyai pengaruh negatif pada daya tahan
tubuh terhadap infeksi.

Faktor kemiskinan
Kemiskinan menjadi faktor yang menghambat masyarakat untuk
memperoleh makanan yang bernutrisi. Malnutrisi merupakan problem bagi
golongan bawah masyarakat yang serng dijumpai.

Pendapatan yang rendah


Ketidakmampuan untuk membeli makanan yang cermat untuk
meningkatkan pengonsumsian makanan yang bergizi dan bernutrisi.

Penyakit saluran pencernaan

Dapat menghambat makanan untuk masuk kedalam tubuh,


sehingga tubuh tidak mendapatkan energi serta kalori dan protein juga
tidak diperoleh. Seperti sakit gigi, ulkus.
-

Faktor Lingkungan
Lingkungan

yang

kumuh

mempengaruhi

bagaimana

tingkat

kebersihan terhadap makanan yang dikonsumsi. Malnutrisi erat kaitannya


dengan kemiskinan
Faktor pencetus timbulnya penyakit tersebut, anatara lain :
a) Faktor Diet
Diet yang mengandung cukup energi tetapi kurang protein menyebabkan anak
menderita kwarsiorkor, sedangkan diet kurang energy walaupun zat-zat gizi
esensialnya seimbang akan menyebabkan anakmennderita marrasmus
b) Faktor Sosial
-

Keagamaan meruapakan faktor yang sulit diubah.


Tradisi turun-temurun, masih bisa diatasi dengan (pendidikan gizi dan

terus menerus)
Perceraian pada wanita yang mempunyai banyak anak dan suami

merupakan pencari nafkah tunggal.


Para pria dengan penghasilan kecil mempunyai banyak istri dan anak,

sehingga tidak dapat memberi cukup makan anggota keluarganya


Para ibu mencari nafkah tambahan pada waktu-waktu tertentu, anak-anak
terpaksa ditinggal dirumah sehingga jatuh sakit dan mereka tidak

mendapat perhatian semestinya.


Para ibu setelah melahirkan kembali kepekerjaan tetap sehingga harus
meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore.

c) Kepadatan Penduduk
Meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan
bertambahnya persediaan makanan setempat yang memadai merupakan
sebab utama krisis pangan. Sedangkan kemiskinan penduduk merupakan
akibat selanjutnya.
d) Infeksi
Infeksi akan memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi walaupun masih ringan
mempunyai pengaruh negative pada daya tahan tubuh terhadap infeksi
e) Kemiskinan

Dengan penghasilan yang rendah, ditambahi timbulnya banyak penyakit


infeksi karena kepadatan tempat tinggal akan lebih mempercepat timbulnya
KEP.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Status Gizi Seseorang
a) Faktor Lingkungan
Lingkungan yang buruk seperti air minum yang tidak bersih, tidak adanya
saluran penampungan air limbah, tidak menggunakan kloset yang baik, juga
kepadatan penduduk yang tinggi dapat menyebabkan penyebaran kuman
patogen.
Lingkungan yang mempunyai iklim tertentu berhubungan dengan jenis
tumbuhan yang dapat hidup sehingga berhubungan dengan produksi tanaman.
b) Faktor Ekonomi
Di banyak negara yang secara ekonomis kurang berkembang, sebagian besar
penduduknya berukuran lebih pendek karena gizi yang tidak mencukupi dan
pada umunya masyarakat yang berpenghasilan rendah mempunyai ukuran
badan yang lebih kecil. Masalah gizi di negara-negara miskin yang
berhubungan dengan pangan adalah mengenai kuantitas dan kualitas.
Kuantitas menunjukkan penyediaan pangan yang tidak mencukupi kebutuhan
energi bagi tubuh. Kualitas berhubungan dengan kebutuhan tubuh akan zat gizi
khusus

yang

diperlukan

untuk

petumbuhan,

perbaikan

jaringan,

dan

pemeliharaan tubuh dengan segala fungsinya.


c) Faktor Sosial-Budaya
Indikator masalah gizi dari sudut pandang sosial-budaya antara lain stabilitas
keluarga dengan ukuran frekuensi nikah-cerai-rujuk, anak-anak yang dilahirkan
di lingkungan keluarga yang tidak stabil akan sangat rentan terhadap penyakit
gizi kurang. Juga indikator demografi yang meliputi susunan dan pola kegiatan
penduduk, seperti peningkatan jumlah penduduk, tingkat urbanisasi, jumlah
anggota keluarga, serta jarak kelahiran. Tingkat pendidikan juga termasuk
dalam faktor ini. Tingkat pendidikan berhubungan dengan status gizi karena
dengan meningkatnya pendidikan seseorang, kemungkinan akan meningkatkan
d)

pendapatan sehingga dapat meningkatkan daya beli makanan.


Faktor Biologis/Keturunan
Sifat yang diwariskan memegang kunci bagi ukuran akhir yang dapat dicapai
oleh anak. Keadaan gizi sebagian besar menentukan kesanggupan untuk
mencapai ukuran yang ditentukan oleh pewarisan sifat tersebut. Di negaranegara berkembang memperlihatkan perbaikan gizi pada tahun-tahun terakhir
mengakibatkan perubahan tinggi badan yang jelas.

e)

Faktor Religi
Religi atau kepercayaan juga berperan dalam status gizi masyarakat,
contohnya seperti tabu mengonsumsi makanan tertentu oleh kelompok umur
tertentu yang sebenarnya makanan tersebut justru bergizi dan dibutuhkan oleh
kelompok umur tersebut. Seperti ibu hamil yang tabu mengonsumsi ikan.

5) PatofisiologiMalnutrisi(Terlampir)
6) Manifestasi Klinis Malnutrisi
a) Marsamus
Manifestasi klinis pada marasmus pada awalnya akan mengalami
kegagalan dalam menaikkan berat badan, disertai dengan adanya penurunan
berat badan sampai berakibat kurus, dengan kehilangan turgor kulit sehingga
menjadi berkerut dan longgar karena lemak subkutan hilang. Karena lemak
terakhir hilang dari bantalan penghisap pipi, muka bayi dapat tetap tampak
relatif normal selama beberapa waktu sebelum menjadi menyusut dan
berkeriput. Abdomen dapat kembung atau datar, dan gambaran usus dapat
dengan mudah terlihat. Terjadi atrofi otot, dengan akibat hipotoni.
Suhu biasanya subnormal, nadi mungkin lambat,

dan

angka

metabolisme basal cenderung menurun. Mula-mula bayi mungkin akan rewel,


tetapi kemudian menjadi lesu, dan nafsu makan hilang. Biasanya konstipasi,
tetapi dapat muncul apa yang disebut diare tipe kelaparan, dengan buang air
besar sering, tinja berisi mukus dan sedikit (Behrman, R, 1999).
Marasmus lebih ditandai dengan kekurusan hebat dari pada edema.
Kulit berlipat-lipat (keriput) dan rambut kepala terlepas (rontok). Albumin serum
albumin biasanya alam batas normal, tetapi sering terjadi hipokalsemia dan
hipotenimia (Underwood J.C.E, 1999)
b) Kwashiorkor
Bukti klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi latergi,
apatis atau iritbilitas. Bila dibiarkan terus berlanjut akan mengakibatkan
gangguan pertumbuhan, kurang stamina, kehilangan jaringan muskuler,
bertambah kerentaan terhadap infeksi, dan odem. Imunodefisiensi sekunder
merupakan salah satu dari manifestasi yang paling serius dan konstan.
Misalnya campak, penyakit yang relatif benigna pada anak gizi baik, dapat
memburuk dapat memburuk dan mematikan pada anak malnutrisi. Pada anak
terjadi anoreksia, kekenduran jaringan subkutan dan kehilangan tonus otot. Hati
membesar dapat terjadi awal atau lambat. Sering ada infiltrasi lemak. Udem
biasanya terjadi awal, penurunan berat badan mungkin ditutupi oleh odem,

yang sering ada dalam organ dalam sebelum dapat dikenali pada muka dan
tungkai. Aliran plasma ginjal, angka infiltrasi glomerulus, dan fungsi tubuler
ginjal menurun. Jantung mungkin akan kecil pada awal stadium penyakit tetapi
biasanya kemudian membesar.
Sering ada dermatitis. Penggelapan kulit tampak pada daerah yang
teriritasi tetapi tidak ada pada daerah yang terpapar sinar matahari, berlawanan
dengan keadaan pada pellagra. Dispigmentasi dapat terjadi pada daerah ini
sesudah desquamasi atau generalisata. Rambut sering jarang dan tipis dan
kehilangan sifat elastisnya. Pada anak yang berambut hitam, dispigmentasi
menghasilkan

coret-coret

merah

atau

abu-abu

pada

warna

rambut

(hipokromotricrichia). Anyaman rambut menjadi kasar pada penyakit kronis.


Infeksi dan infestasi parasit sering ada, sebagaimana halnya anoreksia,
muntah dan diare terus-menerus. Otot menjadi lemah, tipis dan atropi, tetapi
kadang-kadang ada kelebihan lemak subkutan. Perubahan mental, terutama
irritabilitas dan apatis sering ada. Stupor, koma dan meninggal dapat menyertai
(Behrman, R, 1999).
Kwashiorkor ditandai dengan adanya edema yang mungkin sangat
ekstenfis, kulit bersisik dan rambut akan kehilangan warna aslinya. Edema
terjadi karena rendahnya serum albumin, akibat berkurangnya tekanan osmotik
plasma. Hipokalemia dan hiponatremia sering ditemukan. Hati membesar
karena adanya perubahan lemak yang hebat, ini terjadi karena tidak adanya
protein yang menghambat produksi lipoprotein (Underwood J.C.E, 1999)
7) Pemeriksaan Diagnostik Malnutrisi
Pada data laboratorium penurunan albumin serum merupakan perubahan
yang paling khas. Ketonuria sering ada pada stadium awal kekurangan makan
tetapi seringkali menghilang pada stadium akhir. Glukosa darah rendah, tetapi
kurva toleransi glukosa dapat bertipe diabetic. Ekskresi hidroksiprolin urin yang
berhubungan dengan kreatinin dapat turun. Angka asam amino esensial plasma
dapat turun relatif terhadap angka asam amino non-esensial, dan dapat menambah
aminoasiduria.
Defisiensi kalium dan magnesium sering ada. Kadar kolesterol serum
rendah, tetapi kadar ini kembali ke normal sesudah beberapa hari pengobatan.
Angka amilase, esterase, kolinesterase, transaminase, lipase dan alkalin fosfatase
serum turun. Ada penurunan aktivitas enzim pancreas dan santhin oksidase, tetapi
angka ini kembali normal segera sesudah mulai pengobatan. Anemia dapat
normositil, mikrositik, atau makrositik. Tanda-tanda defisiensi vitamin dan mineral

biasanya jelas. Pertumbuhan tulang biasanya terlambat. Sekresi hormon


pertumbuhan mungkin bertambah.
Diagnosa banding kehilangan protein adalah infeksi kronik, penyakit yang
menyebabkan kehilangan protein berlebihan melalui urin atau tinja, dan keadaan
ketidakmampuan metabolik untuk mensintesis protein.
Penilaian/diagnosis status gizi
Tidak ada parameter tunggal untuk diagnosis status gizi; penilaian status
gizi diperoleh melalui evaluasi beberapa indikator antara lain: Riwayat KlinikDietetik; Gambaran klinik dan Fungsi Saluran Cerna; Pengukuran antropometri;
dan komposisi tubuh; pemeriksaan kapasitas fungsional yaitu menilai kekuatan otot
(kapasitas fungsional sudah penurunan sebelum penurunan berat badan);
pemeriksaan biokimia (pengukuran kadar protein viseral).
Dan beberapa pemeriksaan lain fungsi imunologi atau pemeriksaan yang
menggunakan teknologi canggih seperti , Bioelectrical Impedance Analyser (BIA)
indireck calorimetry (IC) &In Vivo Neutron Activation Analysis (IVNAA) merupakan
metoda akurat yang direkomendasikan oleh banyak peneliti untuk diagnosis status
gizi penderita --> mahal & sulit dalam pelaksanaannya
Pengukuran secara antropometri merupakan teknik yang paling sering
dipakai dalam penilaian status gizi berdasarkan parameter komposisi tubuh.
Diantaranya yaitu;
Dengan parameter:
1) Berat Badan dan Tinggi Badan dapat menunjukkan Indeks Massa Tubuh/Body
Mass Index (BMI).
2) Tebal lemak bawah kulit Triceps or subscapular skin fold dapat digunakan untuk
menilai massa lemak.
3) Mid-arm muscle circumference (MAMC) and mid-arm muscle area (MAMA),
dapat digunakan untuk menilai massa otot.
4) Dinegara maju beberapa teknik telah dikembangkan untuk menilai komposisi
tubuh sepert bioelectric impedance, underwater weighing, tomography, totalbody potassium, and ultrasound.
Beberapa parameter biokimia perlu dinilai:
1) Serum albumin, mempunyai waktu paruh yang panjang yaitu 21 hari. Kadar
albumin < 3.5 g/dL menunjukkanpasienmempunyairisikomalnutrisi.

2) Bila Total lymphocyte count, < 1,500 cells per milimeter kubik juga dapat
sebagai indikator mempunyai risiko malnutrisi.
3) Serum transferrin, waktu paruh 7 hari. Pada beberapa pasien mempunyai kadar
transferin < 140 mg/dL, pasien dapat dinyatakan berrisiko malnutrisi.
4) Serum pre-albumin (transthyretin), waktu paruh 3 hari. Dikatakan berrisiko
malnutrisi bila kadarnya <17 mg/dL.
5) Total iron-binding capacity (TIBC) dikatakan normal bila kadarnya antara 250
and 450 mcg/dL.
6) Kadar Kolesterol juga dapat digunakan untuk menilai status gizi, bila kadarnya
< 150 mg/dL, menunjukkan ada peningkatan risiko gangguan status gizi.
Oleh karena tidak ada parameter tunggal untuk Diagnosis status gizi:
Saat ini > 90 % diagnosis malnutrisi dapat ditegakkan melalui anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang dikenal sebagai Subjective Global Assessment (SGA).
Penilaian status gizi secara SGA merupakan cara yang sederhana.
Sepanjang penilai telah terlatih, SGA dapat merupakan diagnosis gizi yang reliable
dan merupakan prediktor akurat untuk menilai adanya peningkatan risiko komplikasi
seperti infeksi dan penymbuhan luka yang terhambat.
Pada SGA akan diperoleh informasi tentang:
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Perubahan berat badan


Perubahan asupan makanan
Gejala-gejala gastrointestinal
Kapasitas fungsional
Hubungan antar penyakit dengan kebutuhan nutrisi.
Pemeriksaan fisik yang difokuskan aspek gizi

8) Tata Laksana Utama Balita Gizi Buruk


Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase
stabilisasi, fase transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil
memilih langkah mana yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan
baik pada penderita kwashiorkor, marasmus maupun marasmik-kwarshiorkor.
a) Tahap Penyesuaian
Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima
makanan hingga ia mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein
(TETP). Tahap penyesuaian ini dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2
minggu atau lebih lama, bergantung pada kemampuan pasien untuk menerima
dan mencerna makanan. Jika berat badan pasien kurang dari 7 kg, makanan

yang diberikan berupa makanan bayi. Makanan utama adalah formula yang
dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa +2% tepung.
Secara berangsur ditambahkan makanan lumat dan makanan lembek. Bila
ada, berikan ASI.
Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti
makanan untuk anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan
makanan cair, kemudian makanan lunak dan makanan biasa, dengan
ketentuan sebagai berikut:
-

Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.

Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.

Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap


dengan keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3
hari. Untuk meningkatkan energi ditambahkan 5% glukosa, dan

Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari
tiap 2-3 jam.

Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan


lewat pipa (per-sonde) (RSCM, 2003).

b) Tahap Penyembuhan
Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik,
secara berangsur, tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga
konsumsi mencapai 150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram
protein/kg berat badan sehari.
c) Tahap Lanjutan
Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan
memperoleh makanan biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang
tua hendaknya diberikan penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang
mengatur makanan, memilih bahan makanan, dan mengolahnya sesuai
dengan kemampuan daya belinya. Suplementasi zat gizi yang mungkin
diperlukan adalah :
-

Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tanda-tanda


hipoglikemia.

KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.

Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat
hipomagnesimia.

Vitamin A diberikan sebagai pencegahan sebanyak 200.000 SI peroral


atau 100.000 SI secara intra muskuler. Bila terdapat xeroftalmia, vitamin A
diberikan dengan dosis total 50.000 SI/kg berat badan dan dosis
maksimal 400.000 SI.

Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zat besi
(Fe) dan asam folat diberikan bila terdapat anemia yang biasanya
menyertai KKP berat.

Terapi cairan dan kolaborasi dengan dietician


Umumnya Pada penderita marasmus, terapi yang digunakan adalah
diit TKTP (tinggi kalori tinggi protein) dengan dosis yang telah dianjurkan dan
diberikan secara bertahap, penyakit penyerta harus diobati dengan baik,
misalnya pemberian antibiotika pada infeksi.
Prinsip Terapi Malnutrisi

Hipoglikemia
a) Segera beri F-75 pertama atau modifikasinya bila penyediaannya
memungkinkan.
b) Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 ml
larutan glukosa atau gula 10% (1 sendok teh munjung gula dalam 50 ml
air) secara oral atau melalui NGT.
c) Lanjutkan pemberian F-75 setiap 23 jam, siang dan malam selama
minimal dua hari.

d) Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal


pemberian F-75.
e) Jika anak tidak sadar (letargis), berikan larutan glukosa 10% secara
intravena (bolus) sebanyak 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/larutan gula
f)

pasir 50 ml dengan NGT.


Beri antibiotik.

Hipotermia
a) Segera beri makan F-75 (jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu).
b) Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup dengan
selimut hangat dan letakkan pemanas (tidak mengarah langsung kepada
anak) atau lampu di dekatnya, atau letakkan anak langsung pada dada
atau perut ibunya (dari kulit ke kulit: metode kanguru). Bila menggunakan
lampu listrik, letakkan lampu pijar 40 W dengan jarak 50 cm dari tubuh
anak.
c) Beri antibiotik sesuai pedoman.
Dehidrasi
a) Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi
berat dengan syok.
b) Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat
disbanding jika melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
- Beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama
- Setelah 2 jam, berikan ReSoMal 510 ml/kgBB/jam berselang-seling
-

dengan F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10 jam.
Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume

tinja yang keluar dan apakah anak muntah.


Catatan: Larutan oralit WHO (WHO-ORS) yang biasa digunakan
mempunyai kadar natrium tinggi dan kadar kalium rendah; cairan

yang lebih tepat adalah ReSoMal.


c) Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam. Jika masih diare,
beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 1 th: 50-100 ml setiap buang
air besar, usia 1 th: 100-200 ml setiap buang air besar.
Memberikan stimulasi untuk tumbuh kembang
-

Ungkapan kasih sayang


Lingkungan yang ceria
Terapi bermain terstruktur selama 1530 menit per hari
Aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat

Keterlibatan ibu sesering mungkin (misalnya menghibur, memberi


makan, memandikan, bermain)

Mempersiapkan untuk tindak lanjut di rumah


Bila telah tercapai BB/TB > -2 SD (setara dengan >80%) dapat
dianggap anak telah sembuh. Anak mungkin masih mempunyai BB/U rendah
karena anak berperawakan pendek. Pola pemberian makan yang baik dan
stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah.
Berikan contoh kepada orang tua:
-

Menu dan cara membuat makanan kaya energi dan padat gizi serta

frekuensi pemberian makan yang sering.


Terapi bermain yang terstruktur

Sarankan:
-

Melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan


Mengikuti program pemberian vitamin A (Februari dan Agustus)

DAFTAR PUSTAKA
Beck, Mary E. 2000. Ilmu Gizi dan Diet Hubungannya dengan Penyakit-penyakit
untuk Perawat dan Dokter. Jakarta : Yayasan Essentia Medico
Behrman, R.1999. Ilmu Nelsehatan Anak Nelson. Jakarta; EGC
CWS

Church

World

Service).

2008.

Malnutrition

in

Indonesia.

Http://www.churchworldservice.org/PDFs/media/CWSIndonesiaMalnutritionFacts.pdf. ( Diakses 27 Februari 2014)


Direktorat Gizi Masyarakat. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB Gizi Buruk.
Jakarta: Depkes RI Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat. 2008; 1 .

Heymsfield SB, et al. Nutritional assessment by anthropometric and biochemical


methods. In: Modern Nutrition in Health and Disease. Philadelphia, PA: Lea &
Febiger; 1994:812-841
Kemenkes RI, 2011. Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk. Jakarta: Direktorat Bina
Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak
Kemenkes RI. 2011. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Bagian 1. Direktorat Bina
Gizi : Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak
Krisnansari, Diah. 2010. Nutrisi Dan Gizi Buruk, Mandala of Health Vol:4 No:1.
Purwokerto Universitas Jenderal Soedirman
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC
Setiadi S, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing. 2009;355 65.
Syarif D, Lestari E, Mexitalia M, Nasar S, penyunting. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan
Penyakit Metabolik jilid 1 cetakan I. Jakarta: IDAI.2011;128 45
Syam Fahrial. Malnutrisi. Dalam: Sudojo A, Bambang S, Alwi I, Simbadibrata M,
Tarwoto, Wartonah. 2003. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika
Underwood J.C.E.1999. Patologi Umum dan Sistematik Vol 1. Jakarta; EGC
Walker, Allan. 2004. Pediatric Gastrointestinal Disease. USA: DC Decker)
WHO.

2001.

Water

Related

http://www.who.int/water_sanitation_health/diseases/malnutrition/en/

Disease.

Anda mungkin juga menyukai