Anda di halaman 1dari 8

KEP merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia.

KEP disebabkan karena defisiensi macro nutrient (zat gizi makro). Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari defisiensi macro nutrient kepada defisiensi micro nutrient, namun beberapa daerah di Indonesia prevalensi KEP masih tinggi (> 30%) sehingga memerlukan penanganan intensif dalam upaya penurunan prevalensi KEP. Apabila masalah tersebut hanya didiamkan akan menjadi indikator menurunnya derajat kesehatan masyarakat, terganggunya pertumbuhan dan perkembangan anak, bahkan menjadi salah satu penyebab kenaikan angka kematian balita (Sihadi, 2000). Defisiensi macro nutrientini diindikasi dapat menurunkan mutu fisik, intelektual, daya tahan tubuh, dan menghambat aktivitas kognitif balita. Berdasarkan penelitian Anton Kristijono (2000), sebesar 60,20 % dari 98 balita KEP adalah perempuan usia 12-23 bulan. Hal ini setidaknya dapat membantu tenaga kesehatan untuk membuat perencanaan terkait program upaya kesehatan masyarakat. Distribusi KEP hampir di setiap wilayah di Indonesia dan Jember menduduki prevalensi tertinggi di Jawa Timur (Yumarlis, 2009). Penyebaran KEP di Indonesia sendiri dimulai dari pulau Lombok, NTT, Bogor, Jawa Tengah, Cilacap, Rembang, dll. Kenyataannya, walaupun masalah gizi ini cenderung meningkat di daerah perkotaan tetapi keadaan status gizi balita yang tinggal di pedesaan masih lebih memprihatinkan dibandingkan yang berada di perkotaan. Mekanisme Terjadinya KEP Interaksi antara faktor-faktor keberadaan zat gizi (faktor penyebab), cadangan zat gizi dalam tubuh, penyakit infeksi, infestasi cacing, aktifitas (faktor penjamu), pantangan, cara pengolahan (faktor lingkungan) sangat penting dipertahankan dalam keadaan seimbang dan optimal. Bila keseimbangan ini tidak terjaga maka akan terjadi perubahan dalam tubuh, yakni terjadinya pemakaian cadangan zat gizi yang tersimpan dalam tubuh. Bila hal ini berlangsung lama maka berangsur-angsur cadangan tubuh akan berkurang dan akhirnya akan habis. Maka untuk keperluan metabolisme dalam mempertahankan metabolisme kehidupan sehari-hari, mulailah terjadi mobilisasi zat-zat gizi yang berasal dari jaringan tubuh. Sebagai akibat hal tersebut, tubuh akan mengalami penyusutan jaringan tubuh, kelainan metabolisme oleh karena kekurangan zat-zat gizi, kelainan fungsional, dan akhirnya kerusakan organ tubuh dengan segala keluhan, gejala-gejala dan tanda-tanda yang

timbul sesuai dengan jenis zat gizi yang menjadi pangkal penyebabnya, bila protein penyebabnya akan terjadi kwasiorkor, bila energi penyebanya akan terjadi marasmus atau keduanya sebagai penyebab akan terjadi marasmus kwasiorkor. Dimulai dengan perubahan yang paling ringan sampai berat, dimulai hanya dengan kekurangan cadangan zat gizi (belum ada perubahan biokemik dan fisiologi), kelainan gizi potensial (sudah ada perubahan biokemik dan fisiologi), kelainan gizi laten (gejala, dan tanda klinis masih terbatas dan belum khas) sampai terjadi kelainan gizi klinik (gejala, dan tanda klinis khas dan jelas).

Faktor-Faktor Penyebab KEP Menurut Arisman (2004), setidaknya ada 4 faktor yang melatarbelakangi KEP, yaitu: masalah sosial, ekonomi, biologi, dan lingkungan. Salah satu masalah sosio ekonomi dan lingkungan yang sangat berpengaruh adalah kemiskinan yang merupakan akar dari ketiadaan pangan pangan tempat tinggal yang tidak bersih dan sehat serta ketidakmampuan menggunakan fasilitas kesehatan. Komponen biologi yang menjadi latar belakang KEP antara

lain malnutrisi ibu, baik sebelum maupun selama hamil, penyakit infeksi, serta diet rendah energi protein. Menurut Soekirman (1999), faktor penyebab KEP dibagi menjadi 2, yakni penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Timbulya KEP tidak hanya karena makanan yang kurang, tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya mudah terserang KEP. Dalam kenyataan keduanya (makanan dan penyakit) secara bersama-sama merupakan penyebab KEP. Selanjutnya adalah penyebab tidak langsung yaitu ketahan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan di keluarga (Household Food Security) adalah kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup, baik jumlah dan mutu gizinya. Pola pengasuhan anak adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian. Dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan sebaik-baiknya, baik secara fisik, mental, dan sosial. Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan. Ketiga faktor ini saling berhubungan. Faktor tidak langsung yang lain adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap air bersih dan pelayanan kesehatan yang baik. Kelainan yang merupakan gabungan antara KEP dan diseratai oleh edema dengan tanda dan gejala khas kwashiorkor dan marasmus adalah marasmik-kwashiorkor. Terjadi kwashiorkor edema dengan atau tanpa lesi kulit, pengecilan otot, dan pengurangan lemak bawah kulit seperti pada marasmus. Jika edema dapat hilang pada awal pengobatan, penampakan penderita akan menyerupai marasmus. Pada marasmik-kwashiorkor ini, marasmus dan kwashiorkor muncul secara bersamaan dan didominasi oleh kekurangan protein yang parah. Dampak KEP KEP dapat mengakibatkan dampak secara luas, ada dua dampak utama dari KEP. Pertama, dampak terhadap kematian anak. Suatu penelitian menunjukkan bahwa jelas terdapat hubungan KEP dengan kematian bayi dan anak, hal tersebut tidak berdiri sendiri melainkan hasil kombinasi dari KEP dan kekurangan zat gizi lainnya, misalnya angka kematian bayi lahir yang tinggi ada hubungannya dengan KRP dan kekurangan yodium. Selain itu dampak kedua utama dari KEP sangatlah berhubungan dengan menurunnya produktivitas kerja. Penelitian di Guatemala menunjukkan sekelompok anak yang

memperoleh makanan tambahan yang kaya energi dan protein menujukkan pertumbuhan badan dan tingkat kecerdasan yang baik dibanding dengan teman-temannya yang tidak mendapatkan makanan tambahan. Beberapa penelitian lain menunjukkan adanya hubungan antara tinggi badan dan produktivitas kerja. Pada anak-anak KEP dapat menghambat pertumbuhan,rentan terhadap penyakit, terutama penyakit infeksi dan mengakibatkan menurunnya tingkat kecerdasan. Anak dengan KEP akan mengalami gangguan bebeapa organ, antara lain adalah: saluran pencernaan, pankreas, hati, ginjal, sistem hematologik, sistem kardiovaskuler, dan sistem pernafasan. Pada kwashiorkor, penderita mengalami edema, kulit jika ditekan akan melekuk, tidak sakit dan lunak,membengkak dan biasanya terjadi di kaki. Edema dapat meluas sampai ke daerah peritenium ekstremitas atas dan muka. Jaringan lemak di bawah kulit masih cukup baik, namun jaringan otot mengecil. Rambut kering, rapuh, kusam, dan mudah dicabut tanpa menimbulkan rasa sakit. Rambut yang berombak berubah menjadi lurus, pigmen rambut menjadi coklat, merah, atau putih kekuningan. Perut penderita kwashiorkor tampak menonjol karena peregangan lambung dan usus yang terpuntir. Hati membesar dengan sudut tumpul dan teraba lunak, disebabkan oleh infiltrasi lemak peristaltik tidak teratur dan frekuensinya rendah. Tonus dan kekuatan otot sangat berkurang. Diagnosis banding harus dibuat untuk menyingkirkan kndisi lain yang dapat menimbulkan edema dan hipoproteinemia serta KEP sekunder yang disebabkan oleh gangguan penyerapan dan metabolisme protein. Infeksi yang serius dan fatal dapat terjadi tanpa disertai demam, takardia, distress pernafasan atau leokositosis yang memadai. Untuk marasmus, jaringan lemak di bawah kulit hampir hilang, otot mengecil, berat badan penderita marasmus biasnya hanya sekitar 60% dari berat badan seharusnya, dari sumber lain disebutkan 30% atau lebih dari 40%. Jika sudah fatal, kulit kering, tipis, tidak lentur, dan mudah berkerut. Penderita kelihatan apatis, meskipun biasanya masih tetap sadar dan menampakkan gurat kecemasan. Tanda-tanda itu didukung dengan lekukan pada pipi dan cekungan di mata yang menjelaskan gambaran wajah seperti orangtua atau bahkan kera. Nafsu makan penderita akan hilang sama sekali. Detak jantung, tekanan darah, dan suhu tubuh menurun, namun takikardi sering terjadi. Hipoglikemia juga sering terjadi dan tidak jarang disertai oleh hipotermia (suhu tubuh 35.50C), organ dalam (visera) biasnya kecil. Dinding perut menegang sementara kelenjar limfe mudah sekali diraba. Namun demikian

diagnosis banding harus diperhatikan untuk membedakan KEP yang parah dengan KEP sekunder yang diakibatkan oleh penyakit, misalnya AIDS dan penyakit beratlainnya. Upaya Penanggulangan Pencegahan dan penanggulangan KEP tidak cukup dari aspek pangan atau makanannya. Upaya penanggulangannya adalah dengan meningkatkan produksi dan persediaan pangan, tetapi yang paling penting adalah mengkaji tingkat ekonomi dan pendidikan keluarga. Upaya yang langsung ke sasaran berupa pelayanan dasar gizi, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan upaya tidak langsung meliputi: jaminan ketahanan pangan, memperluas kesempatan kerja, membangun dan mengembangkan industri kecil dan menengah. KEP disebabkan oleh multifaktor yang saling terkait sinergis secara klinis maupun lingkungan (masyarakat). Pencegahan hendaknya meliputi seluruh faktor secara simultan dan konsisten. Meskipun KEP tidak sepenuhnya dapat diberantas, tanpa harus menunggu, dapat segera dilaksanakan beberapa tindakan untuk mengatasi keadaan : 1. Mengendalikan penyakit-penyakit infeksi, khususnya diare: Sanitasi : personal, lingkungan terutama makanan dan peralatannya. Pendidikan : Dasar, Kesehatan dan Gizi. Program Imunisasi. Pencegahan penyakit yang erat dengan lingkungan, seperti TBC, nyamuk (malaria, DHF),

parasit (cacing). 2. Memperkecil dampak penyakit-penyakit infeksi terutama diare di wilayah yang

sanitasi lingkungannya belum baik. Diarhea merupakan penyakit endemo-epidemik yang menjadi salah satu penyebab bagi malnutrisi. Dehidrasi awal dan re-feeding secepat mungkin merupakan pencegahan untuk menghindari bayi malnutrisi/KEP. 3. Deteksi dini dan manajemen KEP awal/ringan:

Memonitor tumbuh kembang dan status gizi Balita secara kontinyu, misalnya dengan Perhatian khusus untuk faktor risiko tinggi yang akan berpengaruh kelangsungan status

tolok ukur KMS. gizi (antara lain: kemiskinan, ketidak tahuan, adanya penyakit infeksi).

4. -

Memelihara status gizi anak

Dimulai sejak dalam kandungan, ibu hamil dengan gizi yang baik diharapkan akan Setelah lahir segera diberi ASI eksklusif sampai usia 4 atau 6 bulan. Pemberian makanan pendamping ASI (weaning food) bergizi, mulai usia 4 atau 6 bulan Memperpanjang masa menyusui (prolong lactation) selama ibu dan bayi menghendaki.

melahirkan bayi dengan status gizi yang baik pula.

secara bertahap sampai anak dapat menerima menu lengkap keluarga.

Daftar Pustaka Kristijono, Anton. 2000. Karakteristik Balita Kurang Energi Protein (KEP). Aceh : Balai Penelitian Kesehatan Depkes RI Suryadi, Edwin Saputra. 2009. Kejadian Kekurangan Energi Protein. Jakarta : Universitas Indonesia Nestle. 1999. Energi Protein: KEP dan Pencegahannya.

Gangguan Tumbuh Kembang Anak Kurang Energi Protein

Oleh Kardiana Izza Ell Milla NIM 122010101031

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2012

Anda mungkin juga menyukai