Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kurang Energi Protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang
disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari
sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi. Secara klinik KEP disebabkan
dalam bentuk yaitu Kwashiorkor dan Marasmus. Diantara kedua bentuk
tersebut terdapat bentuk antara “Marasmus Kwashiorkor” (Mansjoer, 2000).
Menurut John Biddulp (2000) Kurang Energi Protein (KEP) adalah keadaan
dimana anak tidak dapat tumbuh sebagaimana mestinya karena kekurangan
protein dan energi.
Kurang Energi Protein (KEP) terjadi akibat pasokan gizi yang kurang,
pemasukan yang tidak seimbang dan penyakit. Malnutrisi baik makro
(karbohidrat,protein dan lemak), maupun mikro ( vitamin dan mineral) masih
banyak ditemukan pada anak-anak, ibu hamil menyusui, terutama pada
masyarakat miskin. (Hardiono, 2004)
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada 3 faktor penyebab
Malnutrisi Energi Protein yaitu keluarga miskin, ketidaktahuan orang tua atas
pemberian gizi yang baik bagi anak, factor penyakit bawaan pada anak, seperti:
jantung,TBC,HIV/AIDS,saluran pernafasan dan diare.
Data World Health Organization (WHO) tahun 2002 menyebutkan
bahwa 53% penyebab kematian anak dibawah lima tahun adalah karena gizi
buruk atau kurang. Dan dua pertiga diantaranya berhubungan dengan
pemeberian makanan yang kurang tepat.
Berdasarkan perkembangan masalah gizi, pada tahun 2005 diperkirakan
sekitar 5 juta anak menderita gizi kurang dan 1,5 juta diantaranya menderita
gizi buruk. Dari anak yang menderita gizi buruk tersebut ada 150.000 menderita
gizi buruk tingkat berat yang disebut marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-
kwashiorkor, yang memerlukan perawatan kesehatan yang intensif di
Puskesmas dan Rumah Sakit. Masalah gizi kurang dan gizi buruk terjadi
hamper disemua Kabupaten dan Kota. Sementara berdasarkan laporan dinas
kesehatan provinsi Jawa Tengah selama periode Januari hingga November
2005, sebanyak 12028 anak menderita gizi buruk di kota Jawa Tengah. Apabila
Kurang Energi Protein ini tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan
timbulnya komplikasi terhadap beberapa organ seperti saluran pencernaan,
pancreas, hati, ginjal, system hematologic, system kardiovaskuler, sistem
pernafasan .(Arisman, 2004).

1.2. Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud Malnutrisi
b. Apa yang dimaksud Kekurangan Energi Protein
c. Apa Etiologi KEP (Kekuranagan Energi Protein)
d. Apa saja Factor-faktor yang mempengaruhi KEP (Kekuranagan Energi
Protein)
e. Bagaimana Klasifikasi Status Gizi

1.3. Tujuan
a. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui penyakit apa saja yang timbul
ketika tubuh mengalami Kekurangan Energi Protein (KEP), salah satunya
yaitu Kwasiorkor
b. Tujuan khusus
1. Mampu mengetahui apa itu malnutrisi
2. Memahami apa yang dimaksud dengan Kekurangan Energi Protein
3. Mengetahui Etiologi Kekurangan Energi Protein
4. Mengetahui factor-faktor apa sajakah yang dapat mempengaruhi
Kekurangan Energi Protein
5. Mengetahui Klasifikasi Status Gizi
1.4. Manfaat
Dapat menambaha ilmu pengetahuan berhubungan dengan gizi buruk
dan dapat menerapkannya pada proses asuhan keperawatan.
BAB II

TINJAU PUSTAKA

2.1. Pengertian Malnutrisi


Malnutrisi adalah keadaan dimana tubuh tidak mendapat asupan gizi yang
cukup, malnutrisi dapat juga disebut keadaaan yang disebabkan oleh ketidak
seimbangan di antara pengambilan makanan dengan kebutuhan gizi untuk
mempertahankan kesehatan. Ini bisa terjadi karena asupan makan terlalu sedikit
ataupun pengambilan makanan yang tidak seimbang. Selain itu, kekurangan gizi
dalam tubuh juga berakibat terjadinya malabsorpsi makanan atau kegagalan
metabolik (Oxford medical dictionary, 2007).
Sumber gizi dapat dibagi kepada dua jenis, yaitu makronutrien dan
mikronutrien. Makronurien adalah zat yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah
yang besar untuk memberikan tenaga secara langsung yaitu protein sejumlah 4
kkal, karbohidrat sejumlah 4 kkal dan lemak sejumlah 9 kkal. Mikronutrien
adalah zat yang penting dalam menjaga kesehatan tubuh tetapi hanya diperlukan
dalam jumlah yang sedikit dalam tubuh yaitu vitamin yang terbagi atas vitamin
larut lemak , vitamin tidak larut lemak dan mineral ( Wardlaw et al, 2004).
Malnutrisi merupakan masalah yang menjadi perhatian internasional serta
memiliki berbagai sebab yang saling berkaitan. Penyebab malnutrisi menurut
kerangka konseptual UNICEF dapat dibedakan menjadi penyebab langsung
,penyebab tidak langsung dan penyebab dasar
(http://www.scribd.com/doc/129850206/DEFINISI-MALNUTRISI)

2.2. Pengertian KEP (Kekuranagan Energi Protein)


Kekurangnan Energi Protein (KEP) merupakan keadaan kurang gizi yang
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energy dan protein dalam makanan sehari-
hari atau disebabkan oleh gangguan penyakit tertentu, sehingga tidak memenuhi
angka kecukupan gizi(Depkes RI, 1999). KEP sendiri lebih sering dijumpai pada
anak prasekolah(Sukirman, 1974 dalam Sutanto, 1994).
Sedangkan menurut Jellife (1966) dalam Supariasa, I.D.Nyoman (2002)
dikatakan bahwa KEP merupakan istilah umum yang meliputu malnutrition,
yaitu gizi kurangg dan gizi buruk termasuk marasmus dan kwashiorkor.
Penyebab KEP dapat dibagi kepada dua penyebab yaitu malnutrisi primer
dan malnutrisi sekunder. Malnutrisi primer adalah keadaan kurang gizi yang
disebabkan oleh asupan protein maupun energi yang tidak adekuat. Malnutrisi
sekunder adalah malnutrisi yang terjadi karena kebutuhan yang meningkat,
menurunnya absorpsi dan/atau peningkatan kehilangan protein maupun energi
dari tubuh (Kleigmen et al, 2007).
Parameter keparahan dan klasifikasi KEP dapat diukur dengan
menggunakan indikator antropometri. Indikator berat badan terhadap tinggi
badan (BB/TB) dapat digunakan sebagai petunjuk dalam penentuan status gizi
sekarang dan tinggi badan terhadap usia (TB/U) digunakan sebagai petunjuk
tentang keadaan gizi masa lampau. Departemen Kesehatan RI (2000)
merekomendasikan baku WHO-NCHS untuk digunakan sebagai baku
antropometri di Indonesia. Anak dikatakan menderita KEP apabila berada di
bawah -2 Z-score dari setiap indikator (Arisman, 2010).
Secara klinis, KEP dapat dibagikan kepada tiga tipe yaitu, kwashiorkor,
marasmus, dan marasmik-kwashiorkor. Marasmus terjadi karena pengambilan
energi yang tidak cukup sementara kwashiorkor terjadi terutamanya karena
pengambilan protein yang tidak cukup. Sementara tipe marasmik kwashiorkor
yaitu gabungan diantara gejala marasmus dan kwashiorkor (Kleigmen et al,
2007).
Berikut ini merupakan kebutuhan energy harian:

a. Marasmus
Marasmus terjadi karena pengambilan energi yang tidak cukup. Pada
penderita yang menderita marasmus, pertumbuhannya akan berkurang atau
terhenti, sering berjaga pada waktu malam, mengalami konstipasi atau diare.
Diare pada penderita marasmus akan terlihat berupa bercak hijau tua yang
terdiri dari sedikit lendir dan sedikit tinja.
Gangguan pada kulit adalah tugor kulit akan menghilang dan penderita
terlihat keriput. Apabila gejala bertambah berat lemak pada bagian pipi akan
menghilang dan penderita terlihat seperti wajah seorang tua. Vena
superfisialis akan terlihat jelas, ubun-ubun besar cekung, tulang pipi dan
dagu menonjol dan mata tampak besar dan dalam. Perut tampak membuncit
atau cekung dengan gambaran usus yang jelas dan tampak atropi (Hassan et
al, 2005).

(Dikutip dari: http://www.childclinic.net)


b. Kwashiorkor
Kwashiorkor terjadi terutamanya karena pengambilan protein yang
tidak cukup. Pada penderita yang menderita kwashiorkor, anak akan
mengalami gangguan pertumbuhan, perubahan mental yaitu pada biasanya
penderita cengeng dan pada stadium lanjut menjadi apatis dan sebagian
besar penderita ditemukan edema. Selain itu, pederita akan mengalami gejala
gastrointestinal yaitu anoreksia dan diare. Hal ini mungkin karena gangguan
fungsi hati, pankreas dan usus. Rambut kepala penderita kwashiorkor senang
dicabut tanpa rasa sakit (Hassan et al, 2005).
Pada penderita stadium lanjut, rambut akan terlihat kusam, kering,
halus, jarang dan berwarna putih. Kulit menjadi kering dengan menunjukkan
garis-garis yang lebih mendalam dan lebar. terjadi perubahan kulit yang khas
yaitu crazy pavement dermatosis yang merupakan bercak-bercak putih atau
merah muda dengan tepi hitam dan ditemukan pada bagian tubuh yang
sering mendapat tekanan dan disertai kelembapan. Pada perabaan hati
ditemukan hati membesar, kenyal, permukaan licin, dan pinggiran tajam.
Anemia ringan juga ditemukan dan terjadinya kelainan kimia yaitu kadar
albumin serum yang rendah dan kadar globulin yang normal atau sedikit
meninggi (Hassan et al, 2005).

(Dikutip dari: http://adam.about.com)


2.3. Etiologi KEP (Kekuranagan Energi Protein)
Penyebab langsung dari KEP adalah defesiensi kalori maupun protein
dengan berbagai gejala-gejala. Sedangkan penyebab tidak langsung KEP sangat
banyak, sehingga penyakit ini sering disebut juga dengan kausa multifactorial.
Salah satu penyebabnya adalah keterkaitan dengan waktu pemberian air susu
ibu(ASI) dan makanan tambahan setelah disaoih (Khumaedi, 1989).
Selain itu KEP merupakan penyakit lingkungan karena adanya beberapa
factor yang bersama-sama berinteraksi menjadi penyebab timbulnya penyakit ini,
antara lain yaitu factor diet, factor social, kepadatan penduduk, infeksi,
kemiskinan dan lain-lain. Peran diet menurut konsep klasik terdiri dari dua
konsep. Pertama diet yang mengandung cukup energi, tetapi kurang protein akan
menyebabkan anak menjadi penderita kwashiorkor, sedangkan konsep yang
kedua adalah diet kurang energy walaupun zat gizi (esensial) seimbang akan
menyebabkan marasmus. Peran factor social, seperti pantangan untuk
menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah turun temurun dapat
mempengaruhi terjadinya KEP. Ada pantangan yang berdasarkan agama, tetapi
ada juga pantangan yang berdasarkan tradisi yang sudah turun temurun, tetapi
kalau pantangan tersebut berdasarkan pada agama, maka akan sulit untuk diatasi.
Jika pantangan berdasarkan pada kebiasaan atau tradisi, maka dengan pendidikan
gizi yang baik dan dilakukan dengan hterus-menerus hal ini akan dapat diatasi
(Pudjiadi, 2000).
Menurut Departemen Kesehatan RI (1999) dalam tata buku pedoman
Tata Laksana KEP pada anak di Puskesmas dan di rumah tangga, KEP
berdasarkan gejala klinis ada 3 tipe yaitu KEP ringan, sedang dan berat(gizi
buruk). Untuk KEP ringan dan sedang gejala klinis yang ditemukan hanya anak
tampak kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar dapat
dibedakan sebagai marasmus,kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor.
Salah satu sebab yang mengakibatkan terjadinya marasmus adalah
kehamilan berturut-turut dengan jarak kehamilan yang terlalu dini. Selain itu
marasmus juga disebabkan karena pemberian makanan tambahan yang tidak
terpelihara kebersihannya serta susu buatan yang terlalu encer dan jumlahnya
tidak mencukupi karena keterbatasan biaya, sehingga kandungan protein dan
kalori pada makanan anak menjadi rendah.
Kwashiorkor dapat ditemukan pada anak-anak yang setelah mendapatkan
ASI dalam jangka waktu lama, kemudian disapih dan langsung diberikan makan
seeperti anggota keluarga yang lain. Makanan yang diberikan pada umumnya
rendah protein. Kebiasaan makan yang kurang baik dan diperkuat dengan adanya
tabu anak-anak dilarang makan ikan dan memprioritaskan makanan sumber
protein hewani bagi anggota keluargga laki-laki yang lebih tua dapat
menyebabkan terjadinya kwashiorkor.

Gejala klinis KEP berat/gizi buruk yang dapat ditemukan:

a. Kwashiorkor
1. Adanya edema diseluruh tubuh terutama kaki, tangan atau anggota
badan lain
2. Wajah membulat dan sembab
3. Pandangan mata sayu
4. Rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung.
5. Perubahan status mental: cengeng, rewel
6. Pembesaran hati
7. Otot mengecil
8. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang melurus
9. Diare
10. Anemia
b. Marasmus
1. Tampak sangat kurus
2. Wajah seperti orang tua
3. Cengeng
4. Kulit keriput
5. Perut cekung
6. Tekanan darah, detak jantung dan pernafasan berkurang
c. Marasmus-kwashiorkor
Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan marasmus,disertai dengan edema yang tidak mencolok
(Depkes, 2001)

2.4. Klasifikasi Status Gizi


Standar buku antropometri yang paling banyak digunakan adalah bulu
Harvard dan buku WHO-NCHS. Berdasarkan hasil diskusi pakar dibidang gizi
yang diselenggarakan oleh Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI)
bekerjasama dengan UNICEF Indonesia dan LIPI pada tanggal 17-19 Januari
2000 ditetapkan bahwa penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U dan
BB/TB disepakati penggunaan istilah status gizi dan buku antropometri yang
dipakai dengan menggunakan Z-score dan buku rujukan WHO-NCHS (WNPG
VII, 2000).
Keuntungan penggunaan baku WHO-NCHS adalah dapat terhindar dari
kekeliruan interpretasi karena buku WHO-NCHS sudah dapat membedakan jenis
kelamin dan lebih mempertahankan keadaan masa lampau kelemahannya adalah
apabila umur tidak diketahui dengan pasti maka akan sulit digunakan, kecuali
untuk indeks BB/TB.
Untuk menentukan klasifikasi status gizi digunakan Z-score (simpang
baku) sebagai batas ambang. Kategori dengan klasifikasi status gizi berdasarkan
indeks BB/U, PB/U atau TB/U, dan BB/TB dibagi menjadi 3 golongan dengan
batas ambang sebagai berikut.
Indeks BB/U
a. Gizi lebih, bila Z-score terletak > +2SD
b. Gizi baik, bila Z-score terletak lebih dari sama dengan -2SD s/d +2SD
c. Gizi kurang, bila Z-score terletak lebih dari sama dengan -3SD s/d <-2SD
d. Gizi buruk, bila Z-score terletak < -3SD

Indeks TB/U

a. Normal, bila Z-score terletak lebih dari sama dengan – 2SD


b. Pendek, bila Z-score terletak < -2SD

Indeks BB/TB

a. Gemuk, bila Z-score terletak > +2SD


b. Normal, bila Z-score terletak lebih dari sama dengan -2SD s/d +2SD
c. Kurus, bila Z-Score terletak lebih dari sama dengan -3SD s/d <-2SD
d. Kurus sekali, bila Z-score < -3SD
(sumber: WNPG VII, 2000)

Pertimbangan dalam menetapkan Cut Off Point status gizi didasarkan


pada asumsi resiko kesehatan:

a. Antara -2SD sampai +2SD tidak memiliki atau beresiko paling ringan untuk
menderita masalah kesehatan
b. Antara -2SD sampai -3SD atau antara +2SD sampai +3SD memiliki resiko
cukup tinggi untuk menderita masalah kesehatan
c. Di bawah -3SD atau di atas +2SD memiliki resiko tinggi untuk menderita
masalah kesehatan.
2.5. Factor-faktor yang mempengaruhi KEP (Kekuranagan Energi Protein)
Ada tiga penyebab terjadinya KEP pada balita, yaitu penyebab langsung,
tidak langsung, dan penyebab mendasar. Yang termasuk kedalam penyebab
langsung antara lain ketidakcukupan konsumsi makanan, penyakit infeksi.
Penyebab tidak langsung antara lain adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang
kesehatan, kondisi social ekonomi yang rendah, ketersediaan pangan ditingkat
keluarga tidak mencukupi, besarnya anggota keluarga, pola konsumsi keluarga
yang kurang baik, pola distribusi pangan yang tidak merata, serta fasilitas
pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau. Sedangkan penyebab mendasar yang
paling penting menjadi penyebab KEP adalah rendahnya pengetahuan ibu dan
rendahnya pendidikan ibu.( Depkes RI, 1997)
Menuru Unicef (1998), kurang gizi disebabkan oleh beberapa factor
penyebab yaitu penyebab langsung, tidak langsung, pokok masalah dimasyarakat
dan penyebab dasar. Factor penyebab langsung timbulnya masalah gizi adalah
penyakit infeksi dan asupan makanan yang tidak seimbang. Factor penyebab
tidak langsung adalah tidak cukupnya persediaan pangan dalam rumah tangga,
pola asuhan anak yang tidak memadai, sanitasi/air bersih dan pelayanan
kesehatan dasar kesehatan yang tidak memadai juga rendahnya tingkat
pendidikan, pengetahuan dan keterampilan orang tua. Pokok masalah timbulnya
kurang gizi dimasyarakat adalah kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga,
kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat, pengangguran, inflasi, kurang
pangan dan kemiskinan. Sedangkan yang menjadi akarnya masalah krisis
ekonomi, politik dan social.
Gamabar 2.3

a. Infeksi
Penyebab infeksi sangat erat kaitannya dengan status gizi yang rendah.
Hal ini dapat dijelaskan melalui mekanisme pertahanan tubuh yaitu pada
balita KEP terjadi kekurangan masukan energy dan protein kedalam tubuh
sehingga kemampuan tubuh untuk membentuk protein baru berkurang, hal ini
kemudian menyebabkan pembentukan kekebalan tubuh seluler terganggu,
sehingga tubuh menderita rawan serangan infeksi (Jellife, 1987)
Status gizi anak balita sendiri dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu : jumlah
pangan yang dikonsumsi dan keadaan kesehatan yang bersangkutan.
Kekurangan konsumsi pangan khususnya energy dan protein dalam jangka
waktu tertentu akan menyebabkan berat badan anak yang bersangkutan
menurun sehingga daya tahan tubuh menurun dan mudah terkena penyakit
infeksi( Latinulu, 2000)
Beberapa penyakit infeksi yang sangat erat katannya dengan
kekurangan gizi pada anak salah satunya yaitu diare. Diare yang berat dan
terjadi berulang-ulang akan menyebabkan seorang anak akan menderita KEP
dan hal ini bisa berakibat terhadap tingginya hambatan pertumbuhan,
tingginya morbiditas dan mortalitas KEP dengan diare merupakan hubungan
dua arah yang mengarah pada status gizi yang semakin buruk (Depkes, 2000)
Selain diare, peran ISPA dan demam dalam penurun status gizi cukup
berperan besar. Kekurangan gizi sangat erat kaitannya dengan kurangnya
asupan makan tambahan akan semakin memburuk dengan adanya serangan
penyakit. Selain itu juga disertai oleh turunnya nafsu makan sehingga
konsumsi makanan anak menurun, padahal kebutuhan anak akan zat gizi
sewaktu sakit justru meningkat (Utomo, 1998)

b. Konsumsi Energi dan Protein


Salah satu indicator untuk menunjukkan tingkat kesehatan penduduk
adalah tingkat kecukupan gizi, yang lazim disajikan dalam energy dan protein
(BPS, 2002). Energy dan protein mempunyai fungsi yang sangat luas dan
penting dalam tubuh. Asupan energi yang seimbang sangat diperlukan pada
tahap tumbuh kembang manusia, khususnya balita (Pudjiadi, 2000). Jika
terjadi kekurangan konsumsi energy dalam waktu yang cukup lama maka
akan berakibat pada terjadinya KEP (Sudiarti & Utari, 2007)
Kegunaan utama protein bagi tubuh adalah sebagai zat pembangun
tubuh. Selain itu protein juga digunakan sebagai sember energy bagi tubuh
bila energy yang bersal dari karbihidrat atau lemak tidak mencukupi
(Muchtadi, 1989). Pada anak-anak yang sedang dalam masa prtumbuhan
pembentukan jaringan yang terjadi secara besar-besaran sehingga kebutuhan
tubuh akan protein akan lebih besar dari pada orang dewasa(Pudjiadi, 2000)
Seorang anak balita dikatakan kekurangan apabila tingkat konsumsi
energy dan protein kurang dari 80% AKG(Depkes, 1999). Kecukupan energy
dan protein untuk anak balita perorang perhari menurut kelompok dapat
dilihat pada table berikut ini.
Kecukupan Energi dan Protein yang dianjurkan
Umur Energi (Kkal) Protein (gr)
550 10
0-6 bulan
650 16
7-12 bulan
1000 25
1-3 tahun
1550 39
4-6 tahun

Sumber: Depkes, 2005

c. Pendidikan orang tua


Tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi pertumbuhan
anak balita. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan
melalui cara pemilihan bahan pangan (Hidayat, 1989). Orang yang memiliki
pendidikan yang lebih tinggi akan cenderung memiliki bahan makanan yang
lebih baik dalam kualitas maupun kuantitas. Semakin tinggi pendidikan orang
tua maka semakin baik juga status gizi anaknya (Soekirman,1985).
BAB III

MENGANALISA DARI 7 JURNAL KWASHIORKOR

3.1. Dietandkwashiorkor:aprospective studyfromruralDRCongo


Membahas tentang penanganan atau konsumsi diet dengan kwashiorkor.
Dari jurnal penderita kwashiorkor untuk mengonsumsi makanan yang
mengandung karotenoid (ubi jalar dan papaya). Karotenoid dapat diproduksi oleh
organisme tersebut dari lipid dan molekul-molekul penyusun metabolic organik
dasar. Ada dua kelompok besar karotenoid yaitu xantofil (karotenoid yang
membawa atom oksigen ). Dan karotena (karotenoid yang murni hidrokarbon,
tidak memiliki atom oksigen ) “Wikipedia” . Karena dapat mengurangi resiko
pada anak usia 10-71 bulan mengalami kwashiorkor.
3.2. Antioxidant supplementation for the prevention of kwashiorkor in alawian
children: randomised, double blind, placebo controlled trial
Dari jurnal ini menyatakan bahwa kwashiorkor dikaitkan dengan
peningkatan strees oksidatif dan diet yang tidak memadai pada populasi miskin
didunia. Penipisan antioksidan disebut sebagai penyebab kwashiorkor dan
anjurkan untuk mengonsumsi suplemen dengan ribovlafin, vit E, selenium dan
N-acetylcysteine pada tingkat tiga. Suplemen dengan antioksidan ini dapat
mengurangi demam, batuk atau diare.
3.3. Cranial Magnetic Resonance Imaging Findings in Kwashiorkor
Dari jurnal ini menyatakan bahwa anak-anak yang menderita kwashiorkor
ditemukan atrofi serebra dan dilatasi ventrikel pada otaknya. Sementara
PVWMC hadir hampir setengah dari anak-anak, namun myelination otak proses
normal menunjukan bahwa tidak ada signifikan.
3.4. Antioxidant and Anti-Inflammatory Activities of Kenyan Leafy Green
Vegetables, Wild Fruits, and Medicinal Plants with Potential Relevance for
Kwashiorkor
Diluar aktivitas antioksidan, beberapa obat yang diteliti tanaman dan
sayuran berdaun hijau memiliki anti- potensi inflamasi. Karena ibu tampak
memilih spesies tanaman yang lebih aktif sebagai makanan dan obat-obatan
untuk mereka anak-anak, hasil kami menunjukkan kelayakan budaya Tanaman
ini berpotensi untuk ketahanan pangan lokal dan anak inisiatif kesehatan serta
utilitas ilmiah dan praktis menghubungkan keanekaragaman hayati, etnobotani,
dan farmakologi di Indonesia mencari intervensi yang layak dan berbasis bukti
untuk ditangani Komunitas kesehatan.
3.5. A child with kwashiorkor misdiagnosed as atopic dermatitis Perubahan
penderita kwashiorkor
Dimana rambutnya menjadi tipis, yang rambutnya tadinya gelap menjadi
merah dan akan mengakibatkan pingsan dan akan mengakibatkan kematian,
infeksi dan sepsesif terus menjadi penyebab utamanya kematian pada malnutrisi
akut parah ini penyebabnya meliputi dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit dan
gagal jantung. WHO telah menyatakan kematian juga bisa terjadi karena sindrom
refeeding yang terkait dengan perubahan elektrolot dan metabolik yang parah.
3.6. Potensi Protein Ikan Gabus Dalam Mencegah Kwashiorkor Pada Balita Di
Provinsi Jambi
Di Provinsi Jambi, berdasarkan hasil RISKESDAS 2007 dan 2010,
diketahui bahwa angka kejadian gizi buruk terjadi peningkatan diatas angka
Nasional, sedangkan menurut RISKESDAS 2010 balita yang sangat kurus
banyak terdapat di Provinsi Jambi. Keadaan gizi buruk pada anak yang banyak
terjadi di Provinsi Jambi salah satunya adalah kwashiorkor, yaitu suatu kondisi
seseorang yang kekurangan protein dibawah standar rata-rata kebutuhan normal.
Keadaan kwashiorkor dapat dicegah dengan konsumsi cukup protein.
Berdasarkan angka kecukupan gizi tahun 2004 per orang per hari menurut
KEPMENKES 2005, angka kebutuhan protein untuk balita berdasarkan usia
yaitu : Usia 0 – 6 bulan = 10 gram, Usia 7 – 11 bulan = 16 gram, Usia 1 – 3
Tahun = 25 gram, Usia 4 – 6 Tahun = 39 gram.
Konsumsi bahan pangan yang mengandung cukup protein salah satunya
adalah konsumsi ikan gabus. Dari 100 gram ikan gabus diketahui mengandung
25,2 gram protein. Beberapa penelitian diketahui bahwa ikan gabus memiliki
kandungan albumin yang cukup tinggi. Dimana albumin berfungsi menjaga
tekanan onkotik didalam plasma darah untuk mencegah terjadinya edema.
3.7. The Lymphocytes Number in the Blood of Kwashiorkor Rat Model Induced
by Oral Immunization with 38-kDa Mycobacterium tuberculosis protein
Peneliti sebelumnya menunjukkan bahwa 38-kDa M.tuberculosis rotein
adalah protein perekat pada enterosit tikus dan Pemberiannya secara oral dapat
menyebabkan limfosit T CD4 + dan Limfosit CD8 + T dalam usus dan paru-paru
tikus jumlah limfosit pada darah Tikus kwashiorkor sama seperti tikus normal,
setelah imunisasi dengan 38-kDa M. tuberculosis protein secara lisan. Dengan
demikian, bisa jadi mengatakan bahwa meskipun asupan protein tidak memadai
diberikan pada tikus, 38-kDa adhesin protein M. tuberculosis bisa meningkatkan
sistem kekebalan seluler. Tapi proteinnya cukup Suplemen akan meningkatkan
pematangan kekebalan tubuh sistem secara optimal. Diperlukan penelitian lebih
lanjut menguji pengaruh imunisasi lisan dengan 38-kDa M. TBC protein pada
respon imun humoral di tikus kwashiorkor
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Dari hasil analisa yang kami lakukan bahwa penyakit kwashiorkor di
sebabkan oleh Penipisan antioksidan dan dari jurnal tersebut di jelaskan bahwa
penderitakwashiorkos harus melakukan diet dengan makanan yang mengandung
makana kaya akan antioksidan.
4.2. Saran
Jika memang demikian selain factor makanan kemiskinan juga dapat
menyebabkan hal ini terjadi karena adanya kemiskinan maka masyarakat tidak
dapat memenuhi kebutuhan antioksidanya, atau kebutuhan gizinya.
DATAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai