Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH GIZI DARURAT

KURANG ENERGI & PROTEIN


PADA MASA TANGGAP DARURAT

Disusun Oleh:

Kelompok 6

Bardiatul Azkia 2106676474

Fatma Syukrina 2106676934

Yenny 2106677395

PROGRAM MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


PEMINATAN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Penanganan gizi berperan penting di dalam penanganan bencana dan krisis
kesehatan untuk mempertahankan status gizi masyarakat dan mencegah risiko
kesakitan dan kematian akibat kekurangan gizi, khususnya pada kelompok
rentan. Pada anak dengan gizi buruk misalnya, risiko kematian meningkat secara
signifikan pada situasi bencana akibat terbatasnya layanan kesehatan dan
terbatasnya akses terhadap pangan. Masyarakat umum juga menjadi rentan
terhadap masalah gizi apabila dampak bencana terjadi secara berkepanjangan.
Pencegahan dan penanganan permasalahan gizi yang tidak tepat pada situasi
bencana juga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan
anak, yang berakibat terhadap terganggunya kemampuan kognitif, serta dampak-
dampak sosial ekonomi yang menyertainya (Kemenkes, 2020).
Masalah gizi yang bisa timbul adalah kurang gizi pada bayi dan balita, bayi
tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) karena terpisah dari ibunya dan semakin
memburuknya status gizi kelompok masyarakat, bantuan makanan yang sering
terlambat, tidak berkesinambungan dan terbatasnya ketersediaan pangan lokal
dapat memperburuk kondisi yang ada. Kegiatan penanganan gizi pada tahap
tanggap darurat awal adalah kegiatan pemberian makanan agar pengungsi tidak
lapar dan dapat mempertahankan status gizinya, sementara penanganan
kegiatan gizi pada tahap tanggap darurat lanjut adalah untuk menanggulangi
masalah gizi melalui intervensi sesuai masalah gizi yang ada (Kemenkes, 2012).

1.2.Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Dari Kurang Energi dan Protein?
2. Apa Penyebab Kurang Energi dan Protein?
3. Bagaimana Tanda - Tanda Kurang Energi dan Protein?
4. Bagaimana Dampak Kurang Energi dan Protein?
5. Bagaimana Program/ Kebijakan Penanganan Kurang Energi dan Protein?
1.3.Tujuan
1. Mengetahui Definisi Kurang Energi dan Protein
2. Mengetahui Penyebab Kurang Energi dan Protein
3. Mengetahui Tanda - Tanda Kurang Energi dan Protein
4. Mengetahui Dampak Kurang Energi dan Protein
5. Mengetahui Program/ Kebijakan Penanganan Kurang Energi dan Protein
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Kurang Energi dan Protein


Masalah gizi kurang khususnya kekurangan energi protein (KEP)
masih merupakan masalah kesehatan yang terjadi pada masyarakat di
Indonesia. KEP (Kurang Energi Protein) merupakan kondisi tubuh yang
mengalami kekurangan energi dan protein.
Kekurangan energi protein (KEP) merupakan masalah umum di
seluruh dunia dan terjadi baik di negara berkembang maupun negara industri.
Di negara berkembang, KEP biasanya merupakan akibat dari faktor sosial
ekonomi, politik, atau lingkungan. Sedangkan di negara maju biasanya terjadi
dalam konteks penyakit kronis.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan malnutrisi sebagai
"ketidakseimbangan seluler antara pasokan nutrisi dan energi dan kebutuhan
tubuh untuk memastikan pertumbuhan, pemeliharaan, dan fungsi spesifik."
(Grover Z, 2009). Kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi
yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan
sehari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (Pudjiadi, 2000).
Sedangkan menurut Depkes RI (2003) Keadaan kurang zat gizi tingkat
sedang yang disebabkan oleh rendahnya asupan energi dan protein dalam
waktu cukup lama yang ditandai dengan berat badan menurut umur (BB/U)
yang berada pada <-2 SD sampai >-3 SD tabel baku WHO-NCHS.
Beberapa tipe Kurang Energi Protein (KEP) dapat disebutkan, bahwa
KEP atau gizi buruk pada tingkat ringan atau sedang, belum menunjukkan
gejala sakit. Masih seperti anak-anak lain, masih bermain dan sebagainya,
tetapi bila diamati dengan seksama badannya mulai kurus. Sedangkan bagi
KEP yang tingkat berat yang disertai dengan gejala klinis disebut marasmus
atau kwashiorkor.
Pada dasarnya, KEP dibagi menjadi 3 jenis (Gardjito, 2014):
1. KEP kering (marasmus) : jika seseorang tampak kurus dan mengalami
dehidrasi.
2. KEP basah (kwashiorkor) : jika seseorang tampak bengkak karena
tertahannya cairan.
3. KEP menengah (marasmik-kwashiorkor) : kondisi berada di antara
KEP kering dan KEP basah.

2. Penyebab Kurang Energi dan Protein


Kurang energi protein disebabkan oleh kekurangan makanan yang
merupakan sumber energi dan sumber protein atau kurang dari anjuran AKG
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 AKG 2019

Anak-anak dengan KEP primer umumnya ditemukan di negara


berkembang sebagai akibat dari suplai makanan yang tidak memadai yang
disebabkan oleh faktor sosial ekonomi, politik, dan kadang-kadang juga
karena faktor lingkungan seperti bencana alam. Di samping kemiskinan,
faktor yang menyebabkan terjadinya KEP adalah karena kurangnya
pengetahuan masyarakat pentingnya makanan pendamping ASI.
Marasmus disebabkan oleh kekurangan energi. Marasmus pada
umumnya merupakan penyakit pada bayi (dua belas bulan pertama), sering
disebabkan karena ibu tidak dapat memberikan ASI atau karena terlambat
diberi makanan tambahan. Marasmus merupakan penyakit kelaparan dan
terdapat pada kelompok sosial ekonomi rendah (Gardjito, 2014).
Kwashiorkor merupakan penyakit akibat kekurangan protein.
Kwashiorkor umumnya terjadi pada pasien yang mengalami hipermetabolik
sesaat mengalami cedera hebat atau sepsis berat bila terjadi edema di
seluruh tubuh dan hipoalbuminemia. Kwashiorkor lebih banyak terdapat pada
usia dua hingga tiga tahun yang sering terjadi pada anak yang terlambat
menyapih sehingga komposisi gizi makanan tidak seimbang terutama dalam
hal protein.
Tipe marasmus-kwashiorkor terjadi karena makanan sehari-harinya
tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan normal.
Pada tipe ini terjadi penurunan berat badan dibawah 60 % dari normal.

3. Tanda - Tanda Kurang Energi dan Protein


Menurut Soliman (2000) pasien dengan KEP mengalami penurunan
Body Mass Index (BMI) secara signifikan.
Gejala klinis dari tipe KEP marasmus menurut Depkes RI: tampak
sangat kurus, wajah seperti orang tua, cengeng, rewel, kulit keriput, jaringan
lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy pant/pakai celana
longgar), perut cekung, iga gambang dan sering disertai penyakit infeksi
(umumnya kronis berulang) serta diare kronik atau konstipasi/susah buang
air.
Berat anak dengan marasmus hanya 60% dari berat badan anak
normal seumurnya. Ciri-ciri penderita marasmus antara lain; kepala tampak
lebih besar karena badannya kurus, kaki dan tangan sangat kecil, rusuk-rusuk
lebih tampak, kehilangan lemak di bawah kulit, perut buncit, wajah terlihat
lebih tua dari umurnya, mengalami mencret-mencret serta anemia, hampir
selalu disertai terjadinya infeksi, dan apabila terjadi cedera yang meluas,
dapat berakibat fatal.
Ciri-ciri anak dengan kwashiorkor antara lain; badan kurus, rambut tipis
kemerahan dan mudah rontok, wajah bulat, adanya edema (pembengkakan
karena ada cairan tertahan, yang jika ditekan melekuk, tidak sakit, dan lunak),
perubahan status mental, apatis dan rewel, pembesaran hati, otot mengecil
(hipotropi), penyakit kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan
berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (Crazy pavement
dermatosis) dan sering disertai penyakit infeksi, umumnya akut serta anemia
dan diare.
Sedangkan kondisi marasmik-kwashiorkor ditandai dengan adanya
cairan yang tertahan dan memiliki lebih banyak lemak tubuh jika dibandingkan
dengan marasmus (Gardjito, 2014). Gejala klinis dari tipe marasmus dan
kwashiorkor merupakan gabungan antara marasmus dan kwashiorkor yang
disertai oleh edema, dengan BB/U < 60 % baku Median WHO NCHS.
Gambaran yang utama adalah kwashiorkor edema dengan atau tanpa lesi
kulit, pengecilan otot, dan pengurangan lemak bawah kulit seperti pada
marasmus. Jika edema dapat hilang pada awal pengobatan, penampakan
penderita akan menyerupai marasmus. Gambaran marasmus dan
kwashiorkor muncul secara bersamaan dan didominasi oleh kekurangan
protein yang parah (Arisman, 2004).

4. Dampak Kurang Energi dan Protein


Individu dengan KEP sering menderita kelemahan otot, perubahan
fungsi kekebalan tubuh, penurunan fungsi, dan peningkatan risiko infeksi,
yang dapat menyebabkan peningkatan risiko kematian.
Banyak dampak merugikan yang diakibatkan oleh KEP, antara lain
yaitu merosotnya mutu kehidupan, terganggunya pertumbuhan, gangguan
perkembangan mental anak, serta merupakan salah satu penyebab dari
angka kematian yang tinggi. Anak yang menderita KEP apabila tidak segera
ditangani sangat berisiko tinggi, dan dapat berakhir dengan kematian anak.
Hal ini akan menyebabkan meningkatnya kematian bayi yang merupakan
salah satu indikator derajat kesehatan.
Dampak serius dari kekurangan gizi adalah timbulnya kecacatan,
tingginya angka kecacatan dan terjadinya percepatan kematian. Dilaporkan
bahwa lebih dari separuh kematian anak di negara berkembang disebabkan
oleh KEP. Anak-anak balita yang menderita KEP ringan mempunyai risiko
kematian dua kali lebih tinggi dibandingkan anak normal.
Anak-anak dengan malnutrisi dini mempunyai peluang lebih tinggi
untuk mengalami retardasi pertumbuhan fisik jangka panjang, perkembangan
mental yang sub optimal, dan kematian dini bila dibandingkan dengan anak-
anak yang normal. Malnutrisi juga dapat mengakibatkan retardasi
pertumbuhan fisik yang pada gilirannya berhubungan dengan risiko kematian
yang tinggi. Pada masa pasca natal sampai dua tahun merupakan masa yang
amat kritis karena terjadi pertumbuhan yang amat pesat dan terjadi
diferensiasi fungsi pada semua organ tubuh. Gangguan yang terjadi pada
masa ini akan menyebabkan perubahan yang menetap pada struktur
anatomi, biokimia, dan fungsi organ. Jadi setiap gangguan seperti buruknya
status gizi dapat menghambat beberapa aspek pertumbuhan organ.
Kekurangan gizi juga dapat mempengaruhi bayi secara psikologis,
menyebabkan apatis, depresi, keterlambatan perkembangan, dan menarik diri
dari lingkungan.
KEP menimbulkan efek pada perkembangan mental dan fungsi
kecerdasan. Keadaan kurang gizi pada waktu dalam kandungan dan masa
bayi akan menyebabkan perkembangan intelektual rendah. Fakta
menunjukkan bahwa bayi KEP berat mempunyai ukuran besar otak 15-20%
lebih kecil dibandingkan dengan bayi normal. Apabila terjadi kurang gizi sejak
dalam kandungan, maka defisit volume otak bisa mencapai 50%. Penelitian
menunjukkan anak sekolah yang mempunyai riwayat gizi buruk pada masa
balita, IQ-nya lebih rendah sekitar 13-15 poin dibandingkan dengan yang
normal (Suryadi, 2009).
KEP mempengaruhi kecerdasan melalui kerusakan otak. KEP yang
diderita pada usia muda akan mempengaruhi sistem saraf pusat terutama
kecerdasan mereka karena akan mengurangi sintesis DNA yang
menyebabkan sel otak dalam jumlah yang kurang walaupun besarnya otak
normal. Jika KEP terjadi setelah masa divisi otak berhenti, hambatan sintesis
protein akan menghasilkan sel otak yang normal tetapi dengan ukuran yang
lebih kecil.
Remaja mengalami penambahan massa otot, penambahan jaringan
lemak tubuh, dan perubahan hormon yang dapat mempengaruhi kebutuhan
gizinya. Kebutuhan gizi yang dapat terpenuhi dari asupan makanan yang
cukup berguna untuk menjalankan kegiatan fisik remaja yang sangat
meningkat. Namun, kebutuhan gizi yang tidak terpenuhi dapat
menyebabkan kurangnya energi yang dihasilkan tubuh sehingga terjadi
kekurangan zat gizi. KEP memiliki dampak buruk bagi masa remaja maupun
fase kehidupan selanjutnya. Dampak buruk KEP pada masa remaja adalah
anemia, perkembangan organ yang kurang optimal, pertumbuhan fisik
yang kurang, dan mempengaruhi produktivitas kerjanya. Remaja yang
mengalami KEP hingga fase ibu hamil dapat berpengaruh buruk terhadap
janin, seperti keguguran, bayi lahir mati, kematian neonatal, cacat bawaan,
anemia pada bayi, dan bayi berat lahir rendah, sedangkan saat
persalinan dapat mengakibatkan persalinan sulit dan lama, persalinan
sebelum waktunya, dan pendarahan.
Energi merupakan hasil dari metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein. Fungsi energi adalah sumber tenaga untuk metabolisme, pengaturan
suhu tubuh, pertumbuhan dan kegiatan fisik. Asupan energi didalam tubuh
sangat penting, jika asupan energi yang dibutuhkan tubuh kurang akan
digunakan simpanan cadangan energi yang terdapat di dalam tubuh yang
disimpan dalam otot. Kekurangan asupan energi apabila berlangsung dalam
jangka waktu yang lama akan mengakibatkan menurunnya berat badan dan
kekurangan zat gizi lainnya. Keadaan ini jika berkelanjutan dapat
mengakibatkan menurunnya produktivitas kerja, merosotnya prestasi belajar,
dan kreativitas. Penurunan berat badan yang berlanjut akan menyebabkan
keadaan gizi kurang. Keadaan gizi kurang akan membawa akibat
terhambatnya proses tumbuh kembang anak. Dampaknya pada saat
mencapai usia dewasa, tinggi badannya tidak mencapai ukuran normal dan
kurang tangguh. Selain itu, mudah terkena penyakit infeksi. Protein
merupakan asupan pangan yang penting bagi tubuh, karena protein adalah
fondasi sel pada manusia, yang berfungsi sebagai zat pembangun jaringan
tubuh. Kekurangan asupan protein pada remaja dapat menyebabkan
terganggunya pertumbuhan tubuh remaja. Kebutuhan protein pada santri
berkorelasi lebih dekat dengan pola pertumbuhan, apabila asupan energi
kurang maka asupan protein akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan
energi, sehingga protein tidak cukup tersedia untuk pembentukan jaringan
baru atau untuk memperbaiki jaringan yang rusak. Hal ini dapat
menyebabkan pengurangan laju pertumbuhan dan penurunan massa otot
tubuh (Ardi, 2021).
KEP juga akan menyebabkan timbulnya infeksi dan sebaliknya
penyakit infeksi akan memperburuk kekurangan gizi. Infeksi dalam derajat
apa pun dapat memperburuk keadaan gizi, sedangkan malnutrisi walaupun
masih ringan mempunyai pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap
infeksi. Hal ini akan bertambah buruk bila keduanya terjadi dalam waktu yang
bersamaan. Hubungan antara KEP dengan penyakit infeksi dapat dijelaskan
melalui mekanisme pertahanan tubuh yaitu pada balita yang KEP terjadi
kekurangan masukan energi dan protein ke dalam tubuh sehingga
kemampuan tubuh untuk membentuk protein baru berkurang. Hal ini
kemudian menyebabkan pembentukan kekebalan tubuh seluler terganggu,
sehingga tubuh menderita rawan serangan infeksi (Suryadi, 2009).
Usus halus merupakan organ yang berfungsi dalam penyerapan
nutrisi, ion, dan air. KEP dapat menyebabkan atrofi usus halus. Atrofi mukosa
usus ditandai dengan menurunnya fungsi dan terjadinya perubahan morfologi
dari usus. Perubahan morfologi mukosa usus termasuk penurunan ketinggian
vilus, kedalaman kripta, luas permukaan, dan jumlah sel epitel terjadi karena
penurunan proliferasi sel dan peningkatan apoptosis sel. Proliferasi sel
menurun akibat tidak tersedianya protein yang memadai dan apoptosis akan
meningkat untuk mengurangi penggunaan energi dan menyelamatkan organ
tubuh yang lebih penting. Berkurangnya permukaan absorpsi akan
menyebabkan zat nutrien, ion, dan air tidak dapat diabsorpsi sempurna. Atrofi
usus halus akan menyebabkan kegagalan pencernaan, dan berujung pada
diare, dehidrasi, malabsorbsi, malnutrisi progresif, dan gangguan elektrolit.
Kegagalan pencernaan dapat menyebabkan KEP dan sebaliknya,
sehingga harus segera ditangani untuk mencegah kegagalan pertumbuhan
dan dampak lain pada anak.
Pada kondisi KEP, kurangnya asupan nutrisi energi dan protein akan
menyebabkan tubuh mengorbankan sebagian massa tubuh melalui proses
apoptosis untuk mengurangi pengeluaran energi dan penyelamatan organ
tubuh penting. Usus halus merupakan organ yang terpengaruh secara berat,
morfologi, dan fungsi pada KEP (menjadi atrofi).
Secara fungsional, usus halus memiliki fungsi untuk absorpsi nutrisi.
Absorpsi nutrisi yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab KEP. Atrofi usus
halus dapat menyebabkan kegagalan pencernaan yang berujung pada diare,
dehidrasi, malabsorbsi, malnutrisi progresif, dan gangguan elektrolit.
Perubahan morfologi usus halus akibat atrofi mencakup luas permukaan
absorpsi berkurang, sehingga nutrisi yang dapat diserap juga menurun. Pada
atrofi usus halus, terjadi penurunan aktivitas enzim brush border, penurunan
aktivitas enzim disakaridase berupa laktase, maltase, dan sukrase. KEP
(ditandai dengan penurunan berat badan) dan kegagalan pencernaan
(ditandai atrofi usus halus) akan saling mempengaruhi sebagai suatu
lingkaran berkelanjutan dengan korelasi kuat. salah satu mata rantai lingkaran
ini perlu diputus untuk mencegah morbiditas berkelanjutan (Chelsea dkk,
2017).
KEP adalah umum di antara orang dewasa dengan kondisi medis
kronis, terutama pada pasien dengan penyakit jantung kronis, paru-paru dan
keganasan. Kondisi ini dikaitkan dengan hasil rumah sakit yang lebih buruk
(Ojemolon et al, 2020).
KEP merupakan salah satu bentuk malnutrisi yang paling umum pada
orang dewasa yang lebih tua, yang terjadi ketika asupan protein dan/atau
energi gagal memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh. Ini merusak kemampuan
untuk pulih dari penyakit dan mempengaruhi individu untuk hasil yang
berhubungan dengan penyakit. Selanjutnya, KEP memiliki dampak negatif
yang signifikan terhadap mental dan fisik kesejahteraan orang dewasa yang
lebih tua dalam pengaturan perawatan perumahan. Misalnya, KEP telah
terbukti menurunkan kualitas hidup, meningkatkan risiko depresi, infeksi dan
pengembangan ulkus dekubitus, dan berdampak buruk pada perkembangan
hasil klinis. Bukti yang jelas menunjukkan perlunya peningkatan asupan
protein pada individu yang lebih tua karena peran penting KEP telah terbukti
berperan dalam sarkopenia dan onset dan perkembangan kelemahan. Orang
dewasa yang lebih tua dalam pengaturan perawatan perumahan seringkali
merupakan orang tua yang paling lemah yang paling rentan terhadap
komorbiditas dan perkembangan sarkopenia (Mathewson et al., 2021).

5. Program/ Kebijakan Penanganan Kurang Energi dan Protein


5.1. Intervensi Gizi Makro Dalam Penanggulangan Bencana
A. Fase I Tanggap Darurat Awal
Fase I Tanggap Darurat Awal antara lain ditandai dengan kondisi
sebagai berikut: korban bencana bisa dalam pengungsian atau belum
dalam pengungsian, petugas belum sempat mengidentifikasi korban
secara lengkap, bantuan pangan sudah mulai berdatangan dan adanya
penyelenggaraan dapur umum jika diperlukan. Lamanya fase 1 ini
tergantung dari situasi dan kondisi setempat di daerah bencana yaitu
maksimal sampai 3 hari setelah bencana. Pada fase ini kegiatan yang
dilakukan adalah:
- Memberikan makanan yang bertujuan agar pengungsi tidak lapar
dan dapat mempertahankan status gizinya
- Mengawasi pendistribusian bantuan bahan makanan
- Menganalisis hasil Rapid Health Assessment (RHA)
Pada fase ini, penyelenggaraan makanan bagi korban bencana
mempertimbangkan hasil analisis RHA dan standar ransum. Ransum
adalah bantuan bahan makanan yang memastikan korban bencana
mendapatkan asupan energi, protein dan lemak untuk mempertahankan
kehidupan dan beraktivitas. Ransum dibedakan dalam bentuk kering (dry
ration) dan basah (wet ration). Dalam perhitungan ransum basah
diprioritaskan penggunaan garam beryodium dan minyak goreng yang di
fortifikasi dengan vitamin A. Contoh standar ransum pada Fase I Tahap
Tanggap Darurat Awal dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Contoh Standar Ransum

B. Fase II Tanggap Darurat Awal


Kegiatan terkait penanganan gizi pada fase II, adalah:
1. Menghitung kebutuhan gizi
Berdasarkan analisis hasil Rapid Health Assessment (RHA)
diketahui jumlah pengungsi berdasarkan kelompok umur,
selanjutnya dapat dihitung ransum pengungsi dengan
memperhitungkan setiap orang pengungsi membutuhkan 2.100
kkal, 50 g protein dan 40 g lemak, serta menyusun menu yang
didasarkan pada jenis bahan makanan yang tersedia.
2. Pengelolaan penyelenggaraan makanan di dapur umum yang
meliputi:
- Tempat pengolahan
- Sumber bahan makanan
- Petugas pelaksana
- Penyimpanan bahan makanan basah
- Penyimpanan bahan makanan kering
- Cara mengolah
- Cara distribusi
- Peralatan makan dan pengolahan
- Tempat pembuangan sampah sementara
- Pengawasan penyelenggaraan makanan
- Mendistribusikan makanan siap saji
- Pengawasan bantuan bahan makanan untuk melindungi
korban bencana dari dampak buruk akibat bantuan tersebut
seperti diare, infeksi, keracunan dan lain-lain
C. Fase Tanggap Darurat Lanjut
Tahap tanggap darurat lanjut dilaksanakan setelah tahap tanggap
darurat awal, dalam rangka penanganan masalah gizi sesuai tingkat
kedaruratan. Lamanya tahap tanggap darurat lanjut tergantung dari
situasi dan kondisi setempat di daerah bencana. Pada tahap ini sudah
ada informasi lebih rinci tentang keadaan pengungsi, seperti jumlah
menurut golongan umur dan jenis kelamin, keadaan lingkungan,
keadaan penyakit, dan sebagainya. Kegiatan penanganan gizi pada
tahap ini meliputi:
1. Analisis faktor penyulit berdasarkan hasil Rapid Health
Assessment (RHA)
2. Pengumpulan data antropometri balita (berat badan, panjang
badan/tinggi badan), ibu hamil dan ibu menyusui (Lingkar
Lengan Atas)
3. Menghitung proporsi status gizi balita kurus (BB/TB<-2 SD) dan
jumlah ibu hamil dengan risiko KEK (LILA<23,5 cm).
4. Menganalisis adanya faktor penyulit seperti kejadian diare,
campak, demam berdarah dan lain-lain.
Informasi tentang proporsi status gizi balita selanjutnya
digunakan sebagai dasar untuk melakukan modifikasi atau
perbaikan penanganan gizi sesuai dengan tingkat kedaruratan
yang terjadi. Penentuan jenis kegiatan penanganan gizi
mempertimbangkan pula hasil dari surveilans penyakit. Hasil
analisis data antropometri dan faktor penyulit serta tindak lanjut
atau respon yang direkomendasikan adalah sebagai berikut:
-
Situasi Serius (Serious Situation), jika prevalensi balita kurus 15% tanpa faktor pe
- Situasi Berisiko (Risky Situation), jika prevalensi balita kurus
10-14,9% tanpa faktor penyulit atau 5-9,9% dengan faktor
penyulit. Pada situasi ini kelompok rentan kurang gizi
terutama balita kurus dan ibu hamil risiko KEK diberikan
makanan tambahan (targeted supplementary feeding).
- Situasi Normal, jika prevalensi balita kurus <10% tanpa
faktor penyulit atau <5% dengan faktor penyulit maka
dilakukan penanganan penderita gizi kurang melalui
pelayanan kesehatan rutin.
Apabila ditemukan balita sangat kurus dan atau terdapat tanda
klinis gizi buruk segera dirujuk ke sarana pelayanan kesehatan
untuk mendapat perawatan sesuai Tatalaksana Anak Gizi
Buruk.
5. Melaksanakan pemberian makanan tambahan dan suplemen
gizi.
- Khusus anak yang menderita gizi kurang perlu diberikan
makanan tambahan di samping makanan keluarga, seperti
kudapan/ jajanan, dengan nilai energi 350 kkal dan protein
15 g per hari.
- Melakukan penyuluhan kelompok dan konseling perorangan
dengan materi sesuai dengan kondisi saat itu, misalnya
konseling menyusui dan MP-ASI.
- Memantau perkembangan status gizi balita melalui
surveilans gizi
(Kemenkes, 2012).
D. Pasca Bencana
Kegiatan penanganan gizi pasca bencana pada dasarnya adalah
melaksanakan pemantauan dan evaluasi sebagai bagian dari
surveilans, untuk mengetahui kebutuhan yang diperlukan (need
assessment) dan melaksanakan kegiatan pembinaan gizi sebagai
tindak lanjut atau respon dari informasi yang diperoleh secara
terintegrasi dengan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat (public
health response) untuk meningkatkan dan mempertahankan status
gizi dan kesehatan korban bencana (Kemenkes, 2012).

Gambar 1. Alur Penanganan Gizi Pada Fase Bencana


Gambar 2. Kegiatan Gizi Dalam Penanggulangan Bencana
5.2. Intervensi Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA)
Pada saat bencana, standar emas PMBA, yang dimulai dari
Inisiasi Menyusu Dini dalam satu jam pertama setelah kelahiran,
Pemberian ASI Eksklusif selama enam bulan pertama, dan pemberian
Makanan Pendamping ASI berkualitas dimulai usia 6 bulan, dan terus
memberikan ASI hingga dua tahun atau lebih, sangat penting untuk
melindungi gizi dan kesehatan ibu, bayi dan anak. Tujuan dari
dukungan kepada kelompok tersebut di atas adalah untuk memberikan
perlindungan dari masalah kekurangan gizi dan berbagai penyakit lain
yang mungkin timbul sebagai dampak bencana (Kemenkes, 2020).
Setelah umur 6 bulan, setiap bayi membutuhkan makanan lunak
yang bergizi yang sering disebut Makanan Pendamping ASI (MP-ASI).
MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga.
Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap
baik tekstur maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan
pencernaan bayi/anak. Pada keadaan biasa, MP-ASI disiapkan secara
khusus dan diberikan kepada bayi usia 6-8 bulan (2x makan utama
dan 1x selingan) dan bayi usia 9-23 bulan (3x makan utama dan 2x
selingan). MP-ASI harus bergizi tinggi dan mempunyai tekstur yang
sesuai dengan umur bayi dan baduta. Sementara itu, ASI harus tetap
diberikan secara teratur dan sesering mungkin.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian makanan bayi
dan anak baduta yang dihadapi di lapangan, sebagai berikut:
a. Memahami perasaan ibu terhadap kondisi yang sedang dialami
b. Memberikan prioritas kepada ibu menyusui untuk mendapatkan
distribusi makanan tepat waktu
c. Anjurkan ibu agar tenang dan bangkitkan motivasi ibu untuk
menyusui bayinya
d. Anjurkan ibu agar mengonsumsi makanan bergizi seimbang yang
cukup jumlahnya
e. Memastikan ibu mendapat tambahan makanan dan cairan yang
mencukupi
f. Beri pelayanan dan perawatan kesehatan yang memadai
g. Memberikan perhatian khusus dan dukungan terus menerus pada
ibu untuk mengatasi mitos atau kepercayaan yang salah tentang
menyusui
h. Memberikan penyuluhan kepada tokoh masyarakat, tokoh agama
dan keluarga yang dapat mendukung ibu untuk menyusui
i. Menyediakan tempat-tempat untuk menyusui yang memadai atau
kamar laktasi
j. Mengawasi sumbangan susu formula serta menolak sumbangan
yang tidak memiliki label, kemasan yang rusak, bahasa yang tidak
dipahami pengguna, batas kadaluarsa (minimal 6 bulan sebelum
tanggal kadaluarsa)
k. Jika ibu bayi tidak ada (meninggal), ibu sakit berat, atau ibu tidak
dapat menyusui lagi, maka kepada bayi diberikan alternatif lain
yaitu:
- Mencari kemungkinan donasi ASI dari ibu yang sedang menyusui
- Tidak dianjurkan diberikan makanan lain
- Susu kental manis tidak boleh diberikan pada bayi (<1 tahun)

Apabila bayi terpaksa diberikan susu formula, gunakan cangkir/gelas,


jangan diberikan dengan botol dan dot, karena:
- Bagian dalam botol dan dot sering tertinggal sisa susu bayi.
- Sisa susu bayi menjadi tempat yang subur bagi tumbuhnya
kuman sehingga membuat bayi terkena diare, batuk dan demam
- Bagian dalam botol dan dot sangat sulit sekali dibersihkan

Susu formula tidak dianjurkan diberikan kepada bayi karena:


- Susu formula mudah terkontaminasi
- Pemberian susu formula yang terlalu encer akan membuat bayi
kurang gizi
- Pemberian susu formula yang terlalu kental akan membuat bayi
kegemukan

Sumbangan susu formula harus :


- Diberikan atas persetujuan Kepala Dinas Kesehatan setempat
(sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No:
237/MENKES/SK/IV/ 1997 tentang pemasaran Pengganti Air
Susu Ibu, yang akan diperbaharui menjadi PP)
- Memenuhi standar Codex Alimentarius
- Mempunyai label yang jelas tentang cara penyajian dalam bahasa
yang dimengerti oleh ibu, pengasuh atau keluarga
- Mempunyai masa kadaluarsa sekurang-kurangnya 1 tahun
terhitung sejak tanggal didistribusikan oleh produsen
- Disertai dengan air minum dalam kemasan (AMDK)
(Fahmida dkk, 2019).

Gambar 1. Alur Intervensi PMBA Pada Situasi Bencana

Penanganan gizi anak usia 0-23 bulan mengikuti prinsip Pemberian


Makanan Bayi dan Anak (PMBA) sebagai berikut:
1. Pemberian ASI pada bayi/baduta sangat penting tetap diberikan
pada situasi bencana
2. PMBA merupakan bagian dari penanganan gizi dalam situasi
bencana
3. PMBA dalam situasi bencana harus dilakukan dengan benar
dan tepat waktu
4. Institusi penyelenggara PMBA adalah Pemerintah Daerah yang
dibantu oleh Dinas Kesehatan setempat yang mempunyai
tenaga terlatih penyelenggara PMBA dalam situasi bencana
5. Apabila Dinas Kesehatan setempat belum memiliki atau
keterbatasan tenaga pelaksana PMBA dalam situasi bencana,
dapat meminta bantuan tenaga dari Dinas Kesehatan lainnya
6. PMBA harus diintegrasikan pada pelayanan kesehatan ibu, bayi
dan anak
7. Penyelenggaraan PMBA diawali dengan penilaian cepat untuk
mengidentifikasi keadaan ibu, bayi dan anak termasuk bayi dan
anak piatu
8. Ransum pangan harus mencakup kebutuhan makanan yang
tepat dan aman dalam memenuhi kecukupan gizi bayi dan anak
9. Susu formula, produk susu lainnya, botol dan dot tidak termasuk
dalam pengadaan ransum

Penyusunan kegiatan pokok intervensi PMBA dilakukan berdasarkan analisis


situasi untuk memastikan agar keluaran-keluaran berikut ini dapat tercapai:

- Adanya kebijakan dan mekanisme pengelolaan donasi produk pengganti


ASI, untuk mencegah donasi yang tidak terkontrol;
- Adanya akses terhadap makanan bergizi bagi kelompok bayi dan anak
usia 6 - 23 bulan;
- Tersedianya akses terhadap konseling PMBA dan menyusui;
- Tersedianya akses terhadap Ruang Ramah Ibu dan Anak; dan
- Adanya dukungan dari sektor terkait serta intervensi PMBA yang
terkoordinir.
5.3. Intervensi Pencegahan Dan Penanganan Tatalaksana Gizi Kurang
dan Gizi Buruk
Perencanaan Intervensi Pencegahan Dan Penanganan Gizi Kurang
dan Gizi Buruk dilakukan melalui;
1. Penyusunan kegiatan pokok intervensi Pencegahan dan
Penanganan Gizi Kurang dan Gizi Buruk dilakukan berdasarkan
analisis situasi dengan memastikan agar tatalaksana gizi kurang
dan gizi buruk yang sedang berjalan tetap dilaksanakan pada
situasi bencana.
2. Intervensi juga dilakukan untuk mencegah bertambahnya kasus
balita gizi kurang dan gizi buruk termasuk untuk mencegah
terjadinya kasus gizi buruk pada anak yang
sama atau relapse (kambuh).
3. Penyusunan kegiatan pokok intervensi pencegahan
dan penanganan gizi kurang dan gizi buruk dilakukan
berdasarkan analisis situasi untuk memastikan agar keluaran-
keluaran berikut ini dapat tercapai:
- Terlaksananya pencegahan dan tata laksana balita gizi
kurang dan gizi buruk; dan
- Pelaksanaan intervensi pencegahan dan tatalaksana balita
gizi kurang dan gizi buruk secara terkoordinir serta adanya
dukungan dari program/sektor/klaster terkait.
Gambar 2. Alur penapisan balita gizi kurang/gizi buruk dan jenis layanan yang
diperlukan.

5.4. Intervensi Suplementasi Gizi Makro Melalui Penyediaan Makanan


Tambahan (PMT) Bagi Ibu Hamil dan Balita
Perencanaan Intervensi Suplementasi Gizi Melalui Penyediaan
Makanan Tambahan Bagi Ibu Hamil dan Balita dilakukan melalui;
1. Penyusunan kegiatan pokok intervensi suplementasi gizi dilakukan
berdasarkan analisis situasi untuk mencegah resiko kekurangan
gizi mikro akibat terhentinya pelayanan gizi.
2. Penyusunan kegiatan pokok intervensi suplementasi gizi dilakukan
memastikan agar keluaran-keluaran berikut ini dapat tercapai:
- Tersedianya akses terhadap makanan tambahan Ibu
hamil KEK, Balita kurang gizi serta serta Ibu Hamil, Ibu
Menyusui dan Balita di wilayah terdampak
- Adanya dukungan dari program/sektor terkait suplementasi gizi.

Distribusi PMT berupa makanan pabrikan dilakukan sebagai


salah satu upaya respons cepat untuk menyediakan asupan gizi bagi
Ibu hamil dan balita usia 6-59 bulan. Hal tersebut dilakukan karena
dalam situasi bencana makanan sangat terbatas sementara layanan
dapur umum belum tersedia.

Estimasi Kebutuhan PMT


1. Estimasi kebutuhan MT dilakukan berdasarkan Petunjuk Teknis
Pemberian Makanan Tambahan Berupa Biskuit Bagi Balita Kurus
dan Ibu Hamil Kurang Energi Kronis (KEK).
2. Estimasi kebutuhan dapat dilakukan berdasarkan data pra-
bencana berdasarkan jumlah ibu hamil dan balita 6-59 bulan di
wilayah terdampak ditambah dengan 10% cadangan dari estimasi
kebutuhan. Semakin besar dampak bencana, semakin besar
cadangan yang perlu disiapkan. Estimasi kemudian diperbaharui
setelah kajian dampak bencana dan pendataan pengungsi
tersedia.
3. Pada kondisi darurat, PMT dapat diberikan kepada seluruh
populasi terdampak apabila stok tersedia.

Distribusi PMT Ibu Hamil dan Balita

1. Distribusi PMT Ibu Hamil dan Balita pada tiga hari pertama
kejadian bencana diberikan secara menyeluruh, yaitu kepada
seluruh balita 6-59 bulan dan seluruh Ibu Hamil. Setelah itu,
diharapkan pemenuhan kebutuhan ibu hamil dan baduta dapat
dipenuhi dari olahan pangan lokal melalui dapur umum dan
dapur PMBA.
2. Distribusi PMT Ibu Hamil dan Balita pada sasaran prioritas
dilakukan setelah dapur umum dan dapur PMBA berjalan.
Pemberian PMT diberikan sesuai dengan indikasi status gizi
sasaran yang diperoleh melalui penapisan: Pada Ibu Hamil
Kurang Energi Kronis (LiLA < 23,5 cm) dan pada balita gizi
kurang (Kemenkes, 2020).

5.5. Intervensi Dukungan Gizi Makro bagi Kelompok Rentan Lainnya

Dukungan gizi bagi kelompok rentan yaitu ibu hamil, ibu


menyusui, lansia dan penyandang disabilitas dilakukan dengan
memastikan agar kebutuhan gizi kelompok rentan tersebut dapat
dipenuhi melalui dapur umum yang dilakukan oleh Kemensos/ Dinsos
serta instansi/organisasi lain yang memiliki intervensi dapur umum
pada situasi bencana. Penyusunan kegiatan pokok intervensi
dukungan Gizi bagi kelompok rentan dilakukan berdasarkan analisis
situasi untuk memastikan adanya akses bagi kelompok rentan,
termasuk disabilitas, terhadap asupan gizi yang berkualitas
(Kemenkes, 2020).

1. Orientasi Dan Pendampingan Pemenuhan Gizi Melalui Dapur


Umum.
Dapur umum menyiapkan makanan banyak (bagi lebih dari 50
porsi) untuk memenuhi kebutuhan gizi pengungsi dan kelompok
rentan. Penyelenggaraan dapur umum merupakan tanggung
jawab Kemensos/ Dinsos/ Tagana (Klaster Perlindungan dan
Pengungsian)
2. Memastikan Asupan Gizi Yang Sesuai Bagi Penderita Penyakit
Kronik. Hal ini dikarenakan penderita penyakit kronik memiliki
kebutuhan asupan gizi khusus yang rentan terhadap defisiensi
gizi makro.
BAB III

KESIMPULAN

Kurang Energi Protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang


disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan
sehari-hari atau disebabkan oleh gangguan penyakit tertentu, sehingga tidak
memenuhi angka kecukupan gizi. KEP dibagi menjadi 3 jenis:
● KEP kering (marasmus)
● KEP basah (kwashiorkor)
● KEP menengah (marasmik-kwashiorkor)
Terjadinya KEP disebabkan karena kurangnya asupan yang
merupakan dampak dari faktor sosial ekonomi, politik, dan kadang-kadang
juga karena faktor lingkungan seperti bencana alam. Marasmus disebabkan
oleh kekurangan energi. Kwashiorkor merupakan penyakit akibat kekurangan
protein. Tipe marasmus-kwashiorkor terjadi karena makanan sehari-harinya
tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan normal.
Banyak dampak merugikan yang diakibatkan oleh KEP yaitu
merosotnya mutu kehidupan, terganggunya pertumbuhan, gangguan
perkembangan mental, kecacatan, gangguan fungsi organ, gangguan fungsi
kekebalan tubuh, peningkatan risiko infeksi, penurunan daya pulih terhadap
penyakit, serta peningkatan risiko kematian.
Pemerintah sudah memiliki berbagai program dan kebijakan dalam
penanggulangan kurang energi dan protein dalam situasi bencana,
diantaranya melalui program intervensi pemberian makan bayi dan anak,
intervensi pencegahan dan tatalaksana gizi kurang dan gizi buruk, intervensi
suplementasi melalui pemberian makananan tambahan, serta intervensi zat
gizi bagi kelompok rentan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Grover Z, Ee LC. Protein energy malnutrition. Pediatr Clin North Am. 2009
Oct;56(5):1055-68. doi: 10.1016/j.pcl.2009.07.001. PMID: 19931063.
Pudjiadi, S. 2000. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Edisi Keempat FKUI. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. Kamus KEP. Diakses dari
https://www.kemkes.go.id/ pada 17 Oktober, 2022.
Gardjito, Murdijati. 2014. Pendidikan Konsumsi Pangan. N.p.: Kencana,
2014. ISBN 9786027985667.
PMK. No. 28 Tahun 2019 tentang Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan
Untuk Masyarakat Indonesia.
Arisman, 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan.EGC.Jakarta.
Fahmida, Umi., Grace Wangge., Anak Agung Sagung Indriani., Oka
Roselynne Anggraini., Dini Suciyanti., Ahmad Thohir Hidayat. 2019. Buku Saku
Kedaruratan Gizi Balita Pasca Bencana. Jakarta: Seameo Recfon
Kementerian Kesehatan RI. 2020. Pedoman Pelaksanaan Respon Gizi Pada
Masa Tanggap Darurat. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Kegiatan Gizi Dalam
Penanggulangan Bencana. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI
Sihadi. 1999. Masalah Gizi Buruk Pada Anak Bawah Lima Tahun (Balita).
Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, vol: xxxvi, no:12 h.666-684.
Latinulu, S. 2000. Pemantauan Penggunaan Status Gizi Balita Dan
Perencanaan Program Dari Bawah. Jakarta: Medika, 19 (9).
Karyadi & Tjahyadi. 1971. Keadaan Gizi Kurang Dan Beberapa Aspek
Fungsi Otak. Penelitian Gizi dan Makanan. Jilid I, h.11-23.
Astini, N.S.P. 2001. Kalender Tumbuh Kembang Anak Balita Sebagai Alat
Deteksi Dini Penyimpangan Perkembangan Anak. Majalah Kesehatan
Masyarakat Indonesia, vol: xxviii, no: 11, h.660-663.
Pudjiadi, S. 2000. Ilmu Gizi Klinik Pada Anak. FKM UI, Jakarta.
Jellife, D.B. & Jellife, D.E.F. 1989. Community Nutritional Assesment. Oxford
University, New York.
Husaini, dkk, 1986. Gizi Perkembangan Otak dan Kemampuan Belajar.
Buletin Gizi, 10 (2).
Azwar, A. 2001. Masalah Gizi Kurang Pada Balita Dan Upaya
Penanggulangannya Di Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, vol:
xxviii, noUI.: 11, h.644-648.
Suryadi, E.S. 2009. Kejadian KEP Balita dan Faktor yang berhubungan di
Wilayah Kelurahan Pancoran Mas Depok tahun 2009. Jakarta: FKM UI.
Ojemolon, et al. 2020. Abstract 17231: Adult Protein Energy Malnutrition is
an Independent Risk Factor with Increased Odds of Cardiogenic Shock in Patients
with Infective Endocarditis Who had Valve Replacement. Circulation.
2020;142:A17231.
Mathewson, S.L., et al. Review: Overcoming protein-energy malnutrition in
older adults in the residential care setting: A narrative review of causes and
interventions. Ageing Research Reviews. 2021;70:101401.
Ardi, A.I. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kurang Energi
Kronis (KEK) pada Remaja Putri. Media Gizi Kesmas. 2021;10:320-328.
Chelsia -, Agustina Arundina TT, Ita Armyanti. 2017. Efek Kekurangan
Energi Protein terhadap Berat Badan dan Berat Usus Halus Tikus Sprague-
Dawley. Retrieved from:
https://media.neliti.com/media/publications/399837-efek-kekurangan-energi-
protein-terhadap-f14fc929.pdf

Anda mungkin juga menyukai