Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2020

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

Malnutrisi Energi Protein

Disusun Oleh:
Nurul Ismira Kusumawardani
111 2019 2121

Pembimbing:
dr. Ratna Dewi Artati, Sp.A(K)
 
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Nurul Ismira Kusumawardani

NIM : 111 2019 2121

Judul Kasus : Malnutrisi Energi Protein

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian

Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Mei 2020

Pembimbing

dr. Ratna Dewi Artati, Sp.A(K)

1
BAB I

PENDAHULUAN

Malnutrisi energi protein (MEP) merupakan salah satu dari empat masalah

gizi utama di Indonesia. Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak di bawah umur

5 tahun (balita) serta pada ibu hamil dan menyusui. Malnutrisi energi protein

merupakan salah satu hal yang melatar belakangi terjadinya >50% kematian

balita. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2002, 26%

balita menderita gizi kurang dan gizi buruk, dan 8% balita menderita gizi buruk.

Pada MEP ditemukan berbagai macam keadaan patologis, tergantung pada berat

ringannya kelainan. Pada Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, angka

tersebut turun menjadi 13% balita gizi kurang dan 5,4% gizi buruk.1

Berdasarkan lama dan beratnya kekurangan energi dan protein, MEP

diklasifikasikan menjadi MEP berat derajat ringan-sedang (gizi kurang) dan MEP

derajat berat (gizi buruk). Gizi kurang belum menunjukkan gejala klinis yang

khas, hanya dijumpai gangguan pertumbuhan dan anak tampak kurus. Pada gizi

buruk, disamping gejala klinis didapatkan kelainan biokimia sesuai dengan bentuk

klinis. Pada gizi buruk didapatkan 3 bentuk klinis yaitu kwashiorkor, marasmus,

dan marasmik-kwashiorkor, walaupun demikian dalam penatalaksanaan sama.1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Malnutrisi Energi Protein (MEP) merupakan kekurangan energi

yang mengarah pada defisiensi kronik dari seluruh komponen

macronutrient. Menurut World Health Organization (WHO), malnutrisi

merupakan ketidakseimbangan antara suplai nutrisi dan energi dengan

kebutuhan tubuh untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan fungsi tertentu.

Istilah MEP berlaku untuk sekelompok penyakit yang terdiri atas

marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor. Marasmus dan

kwashiorkor adalah hasil akhir dari tingkat keparahan penderita gizi buruk.

Marasmus ditandai dengan tubuh yang sangat kurus dengan berbagai tanda

ikutannya, sedangkan kwashiorkor ditandai dengan edema. 2,3,6

B. Etiologi

Di seluruh dunia, penyebab paling umum dari gizi buruk adalah

asupan makanan yang tidak memadai. MEP disebabkan oleh masukan

energi dan protein yang sangat kurang dalam makanan sehari-hari dengan

jangka waktu yang cukup lama. Pada anak-anak usia pra sekolah di

negara-negara berkembang, sangat beresiko untuk menderita malnutrisi

karena ketergantungan mereka terhadap orang lain untuk mendapat

makanan, peningkatan kebutuhan energi dan protein, sistem kekebalan

tubuh yang belum matang menyebabkan kerentanan lebih besar terhadap

infeksi, dan paparan kondisi yang tidak higienis.2

3
Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya malnutrisi adalah

faktor kebersihan yang kurang, faktor ekonomi dan faktor budaya. Selain

itu, ketidaktahuan karena tabu, tradisi atau kebiasaan makan makanan

tertentu, cara pengolahan makanan dan penyajian menu makanan di

masyarakat serta pengetahuan ibu juga merupakan salah satu faktor

terjadinya kurang gizi termasuk protein pada balita, karena masih banyak

yang beranggapan bila anaknya sudah merasa kenyang berarti kebutuhan

gizi mereka telah terpenuhi.2,7

C. Epidemiologi

MEP merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia.

Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak di bawah umur 5 tahun (balita)

serta pada ibu hamil dan menyusui. Berdasarkan SUSENAS 2000, 26%

balita menderita gizi kurang dan gizi buruk, dan 8% balita menderita gizi

buruk. Pada PEM ditemukan berbagai macam keadaan patologis,

tergantung pada berat ringannya kelainan. Pada Riskesdas 2007, angka

tersebut turun menjadi 13% balita gizi kurang dan 5,4% gizi buruk.8

Pada tahun 2000, WHO memperkirakan bahwa anak-anak yang

menderita malnutrisi berjumlah sekitar 181.900.000 (32%) di negara

berkembang. Selain itu, sekitar 149.600.000 anak – anak di bawah 5 tahun

menderita malnutrisi, diukur berdasarkan berat badan untuk umur.2

Dari data penelitian dermatologi, didapatkan bahwa PEM lebih

sering terjadi pada orang berkulit hitam dibandingkan dengan orang

berkulit putih.2

4
Menurut suatu penelitian yang dilakukan di salah satu daerah

miskin di Amerika Serikat, 23 – 35% anak – anak dengan umur antara 2 –

6 tahun, memiliki berat badan di bawah persentil 15. Survei lain

menunjukkan 11% anak-anak di daerah miskin memiliki tinggi badan

untuk umur berada di bawah persentil 5. Di Asia Selatan dan Afrika

Timur, setengah dari anak-anak menderita retardasi mental yang

disebabkan oleh PEM.2

Malnutrisi masih merupakan masalah kesehatan utama di negara

sedang berkembang dan melatarbelakangi >50% kematian balita. Sekitar

9% anak di Sub Sahara, dan 15% di Asia Selatan terancam menderita gizi

kurang dan buruk, dan sekitar 2% anak yang tinggal di negara berkembang

terancam menderita severe acute malnutrition (SAM). Di India terdapat

sekitar 2,8% balita sangat kurus. Sementara di negara yang lebih miskin

seperti Malawi, SAM merupakan alasan utama balita dirawat di rumah

sakit.6

D. Patofisiologi

MEP merupakan manifestasi dari kurangnya protein dan energi

dalam makanan sehari-hari yang tidak memenuhi angka kecukupan gizi

(AKG), dan biasanya juga disertai adanya kekurangan dari beberapa

nutrisi lainnya. Disebut malnutrisi primer bila kejadian PEM akibat

kekurangan asupan nutrisi yang pada umumnya didasari oleh masalah

sosial ekonomi, pendidikan serta rendahnya pengetahuan dibidang gizi.

Malnutrisi sekunder bila kondisi masalah nutrisi seperti di atas disebabkan

5
karena adanya penyakit utama, seperti kelainan bawaan, infeksi kronis

ataupun kelainan pencernaan dan metabolik yang mengakibatkan

kebutuhan nutrisi meningkat, penyerapan nutrisi yang turun dan/

meningkatnya kehilangan nutrisi. Makanan yang tidak adekuat akan

menyebabkan mobilisasi berbagai cadangan makanan untuk menghasilkan

kalori demi penyelamatan hidup, dimulai dengan pembakaran cadangan

karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein dengan melalui proses

katabolik. Jika terjadi stres katabolik (infeksi) maka kebutuhan protein

akan meningkat sehingga dapat menyebabkan defisiensi protein yang

relatif kalau kondisi ini terjadi pada saat status gizi masih di atas -3SD

(-2SD,-1SD), maka terjadilah kwashiorkor (malnutrisi akut/

“decompensated malnutrition”). Kalau kondisi kekurangan ini terus dapat

teradaptasi sampai di bawah -3SD maka akan terjadilah marasmik

(malnutrisi kronik/”compensated malnutrition”). Pada kondisi ini, penting

peranan radikal bebas dan anti oksidan. Bila stress katabolik ini terjadi

pada saat status gizi di bawah -3SD, maka akan terjadi marasmik-

kwashiorkor. Dengan demikian pada PEM dapat terjadi gangguan

pertumbuhan atrofi otot, penurunan kadar albumin serum, penurunan

hemoglobin, penurunan sistem kekebalan tubuh, penurunan berbagai

sintesa enzim.8

Kurangnya protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan

berbagai asam amino essensial yang dibutuhkan untuk sintesis albumin,

sehingga terjadi hipoalbuminemia dan edema. Anak dengan marasmus

kwashiorkor juga sering menderita infeksi multipel, seperti tuberkulosis

6
dan gastroenteritis. Infeksi akan mengalihkan penggunaan asam amino ke

sintesis protein fase akut, yang semakin memperparah berkurangnya

sintesis albumin di hepar. Penghancuran jaringan akan semakin lanjut

untuk memenuhi kebutuhan energi, memungkinkan sintesis glukosa dan

metabolit essensial lainnya seperti asam amino. Kurangnya kalori dalam

diet akan meningkatkan kadar kortisol dan menurunkan kadar insulin. Hal

ini akan menyebabkan atrofi otot dan menghilangnya lemak di bawah

kulit. Pada awalnya, kelainan ini merupakan proses fisiologis. Untuk

kelangsungan hidup, jaringan tubuh memerlukan energi yang dapat

dipenuhi oleh makanan yang diberikan, jika hal ini tidak terpenuhi maka

harus didapat dari tubuh sendiri sehingga cadangan protein digunakan juga

untuk memenuhi kebutuhan energi.9,10

E. Klasifikasi

Klasifikasi berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3, yaitu:

a. Marasmus

Marasmus merupakan salah satu bentuk gizi buruk yang paling

sering ditemukan pada balita. Hal ini merupakan hasil akhir dari

tingkat keparahan gizi buruk. Tipe marasmus ditandai dengan gejala

tampak sangat kurus, wajah seperti orang tua, cengeng dan rewel

meskipun setelah makan, kulit keriput yang disebabkan karena

lemak di bawah kulit berkurang, perut cekung, rambut tipis, jarang

dan kusam, tulang iga tampak jelas, pantat kendur dan keriput

(baggy pants) serta iga gambang.11

7
Pada marasmus awalnya pertumbuhan yang kurang dan atrofi

otot serta menghilangnya lemak di bawah kulit merupakan proses

fisiologis. Tubuh membutuhkan energi yang dapat dipenuhi oleh

asupan makanan untuk kelangsungan hidup jaringan. Untuk

memenuhi kebutuhan energi cadangan protein juga digunakan.

Penghancuran jaringan pada defisiensi kalori tidak hanya untuk

memenuhi kebutuhan energi tetapi juga untuk sintesis glukosa.11

Gambar 2.1. Gambaran klinis marasmus

b. Kwashiorkor

Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein yang

berat disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi

namun asupan protein yang inadekuat.11

Seperti halnya marasmus, kwashiorkor juga merupakan hasil

akhir dari tingkat keparahan gizi buruk. Tipe kwashiorkor ditandai

8
dengan gejala tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua

punggung kaki sampai seluruh tubuh, pertumbuhan terganggu,

perubahan status mental, gejala gastrointestinal, rambut tipis

kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa

sakit, rontok, wajah membulat dan sembab, kulit penderita biasanya

kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih mendalam

dan lebar, sering ditemukan hiperpigmentasi dan persisikan kulit,

pembesaran hati serta anemia ringan. Gangguan metabolik dan

perubahan sel dapat menyebabkan perlemakan hati dan oedema.

Pada penderita defisiensi protein tidak terjadi proses katabolisme

jaringan yang sangat berlebihan karena persediaan energi dapat

dipenuhi dengan jumlah kalori yang cukup dalam asupan makanan.

Kekurangan protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan asam

amino esensial yang dibutuhkan untuk sintesis. Asupan makanan

yang terdapat cukup karbohidrat menyebabkan produksi insulin

meningkat dan sebagian asam amino dari dalam serum yang

jumlahnya sudah kurang akan disalurkan ke otot. Kurangnya

pembentukan albumin oleh hepar disebabkan oleh berkurangnya

asam amino dalam serum yang kemudian menimbulkan oedema.11

9
Gambar 2.2. Gambaran klinis kwashiorkor

c. Marasmus-kwashiorkor

Tipe marasmus-kwashiorkor merupakan gabungan beberapa

gejala klinik kwashiorkor dan marasmus dengan Berat Badan (BB)

menurut umur (U) < 60% baku median WHO-NCHS yang disertai

edema yang tidak mencolok.11

F. Diagnosis

Anamnesis

Keluhan yang sering ditemukan adalah pertumbuhan yang kurang,

anak kurus, atau berat badannya kurang. Selain itu ada keluhan anak

kurang/tidak mau makan, sering menderita sakit yang berulang atau

timbulnya bengkak pada kedua kaki, kadang sampai seluruh tubuh.8

Pemeriksaan Fisis

 Untuk neonates – 5 tahun Grow Chart menggunakan WHO

10
Gambar 2.3 Grow Chart WHO untuk Laki-laki

Gambar 2.4 Grow Chart WHO untuk Perempuan

 Untuk anak diatas 5 tahun Grow Chart menggunakan CDC

11
Gambar 2.5 Grow Chart CDC untuk Laki-laki

Gambar 2.6 Grow Chart CDC untuk Perempuan

12
MEP ringan

Sering ditemukan gangguan pertumbuhan :

a. Anak tampak kurus

b. Pertumbuhan linier berkurang atau berhenti

c. Berat badan tidak bertambah, adakalanya bahkan turun

d. Ukuran lingkar lengan atas lebih kecil dari normal

e. Maturasi tulang terhambat

f. Rasio berat badan terhadap tinggi badan normal/menurun

g. Tebal lipatan kulit normal atau berkurang

h. Anemia ringan

i. Aktivitas dan perhatian berkurang jika dibandingkan dengan anak

sehat

MEP Berat

1) Marasmus:

a. Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus

b. Perubahan mental, cengeng

c. Kulit kering, dingin dan mengendor, keriput

d. Lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit berkurang

e. Otot atrofi sehingga kontur tulang terlihat jelas

f. Kadang-kadang terdapat bradikardi

g. Tekanan darah lebih rendah dibandingkan anak sehat yang sebaya

2) Kwashiorkor:

a. Perubahan mental sampai apatis

13
b. Anemia

c. Perubahan warna dan tekstur rambut, mudah dicabut / rontok

d. Gangguan sistem gastrointestinal

e. Pembesaran hati

f. Perubahan kulit (crazy pavement dermatosis)

g. Atrofi otot

h. Edema simetris pada kedua punggung kaki, dapat sampai seluruh

tubuh

3) Marasmik-kwashiorkor:

Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan kwashiorkor secara

bersamaan.

Pemeriksaan penunjang

a. Kadar gula darah, darah tepi lengkap, urin lengkap, feses lengkap,

elektrolit serum, protein serum (albumin, globulin), feritin.

b. Tes mantoux

c. Radiologi (dada, AP dan Lateral)

d. EKG

Kriteria Diagnosis

a. Terlihat sangat kurus

b. Edema nutrisional, simetris

c. BB/TB < -3 SD

d. Lingkar Lengan Atas <11,5 cm

14
G. Tatalaksana

Menurut Depkes RI pada pasien dengan gizi buruk dibagi dalam 4

fase yang harus dilalui yaitu fase stabilisasi (Hari 1-7), fase transisi (Hari 3-

7), fase rehabilitasi (Minggu ke 2–6), fase tindak lanjut (Minggu ke 7–26).

Dimana tindakan pelayanan terdiri dari 10 tindakan pelayanan sbb:4,12

Gambar 2.3. Prinsip Dasar Pengobatan Rutin Marasmus Kwashiorkor

Langkah Ke-1: Pengobatan/Pencegahan Hipoglikemia

Hipoglikemia dan hipotermia biasanya terjadi bersama-sama,

seringkali sebagai tanda adanya infeksi. Periksa kadar gula darah bila ada

15
hipotermia ( suhu aksila <36C/suhu rektal <36C). Pemberian makanan

yang sering penting untuk mencegah kedua kondisi tersebut.4,12

Bila kadar gula darah di bawah 50 mg/dl, berikan:

1. 50 ml “bolus” (pemberian sekaligus) glukosa 10% atau larutan sukrosa

10% (1 sdt gula dalam 5 sdm air) secara oral atau pipa naso-gastrik.

2. Selanjutnya berikan larutan tsb. setiap 30 menit selama 2 jam (setiap

kali berikan ¼ bagian dari jatah untuk 2 jam).

3. Berikan antibiotika (lihat langkah 5).

4. Secepatnya berikan makan setiap 2 jam, siang dan malam (lihat

langkah 6).

Pemantauan:

a. Bila kadar glukosa darah rendah, ulangi pemeriksaan gula darah dengan

darah dari ujung jari atau tumit setelah 2 jam.

b. Sekali diobati, kebanyakan anak akan stabil dalam 30 menit

c. Bila gula darah turun lagi sampai <50 mg/dl, ulangi pemberian 50 ml

(bolus) larutan glukosa 10% atau sukrosa, dan teruskan pemberian

setiap 30 menit sampai stabil.

d. Ulangi pemeriksaan gula darah bila suhu aksila <36C dan/atau

kesadaran menurun.

Pencegahan :

a. Mulai segera pemberian makan setiap 2 jam (langkah 6), sesudah

dehidrasi yang ada dikoreksi.

b. Selalu memberikan makanan sepanjang malam.

16
Catatan :

Bila tidak dapat memeriksa kadar glukosa darah, anggaplah setiap anak

PEM berat/gizi buruk menderita hipoglikemia dan atasi segera dengan

ditatalaksana seperti tersebut di atas.

Langkah Ke-2: Pengobatan / Pencegahan Hipotermia

Bila suhu aksila <36C :

Periksalah suhu rektal dengan menggunakan termometer suhu rendah. Bila

tidak tersedia termometer suhu rendah dan suhu anak sangat rendah pada

pemeriksaan dengan termometer biasa, anggap anak menderita

hipotermia.4,12

Bila suhu rektal <36C :

a. Segera beri makanan cair/formula khusus (mulai dengan rehidrasi bila

perlu)

b. Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai menutup kepala,

letakkan dekat lampu atau pemanas (jangan gunakan botol air panas)

atau peluk anak di dada ibu, selimuti (metode kanguru).

c. Berikan antibiotika (lihat langkah 5).

Pemantauan:

a. Periksa suhu rektal setiap 2 jam sampai suhu mencapai >36,5C, bila

memakai pemanas ukur setiap 30 menit

b. Pastikan anak selalu terbungkus selimut sepanjang waktu, terutama

malam hari

17
c. Raba suhu anak

d. Bila ada hipotermia, periksa kemungkinan hipoglikemia.

Pencegahan:

a. Segera beri makan / formula khusus setiap 2 jam (lihat langkah 6).

b. Sepanjang malam selalu beri makan

c. Selalu diselimuti dan hindari keadaan basah (baju, selimut, alas tempat

tidur)

d. Hindari paparan langsung dengan udara (mandi atau pemeriksaan medis

terlalu lama).

Langkah Ke-3: Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi

Jangan menggunakan “jalur intravena / IV” untuk rehidrasi kecuali

pada keadaan syok/renjatan. Lakukan pemberian cairan infus dengan hati-

hati, tetesan perlahan-lahan untuk menghindari beban sirkulasi dan

jantung.4,12

Cairan rehidrasi oral standar WHO mengandung terlalu banyak

natrium dan kurang kalium untuk digunakan pada penderita PEM

berat/gizi buruk. Sebagai pengganti, berikan larutan garam/elektrolit khusus

yaitu Resomal. Tidaklah mudah untuk memperkirakan status dehidrasi pada

PEM berat/gizi buruk dengan menggunakan tanda-tanda klinis saja. Jadi,

anggap semua anak PEM berat/gizi buruk dengan diare encer mengalami

dehidrasi sehingga harus diberi:4,12

a. Cairan Resomal / pengganti sebanyak 5 ml/KgBB setiap 30 menit

selama 2 jam secara oral atau lewat pipa nasogastrik.

18
b. Selanjutnya beri 5–10 ml/kg/jam untuk 4–10 jam berikutnya; jumlah

tepat yang harus diberikan tergantung berapa banyak anak

menginginkannya dan banyaknya kehilangan cairan melalui tinja dan

muntah.

c. Ganti Resomal/cairan pengganti pada jam ke-6 dan ke-10 dengan

formula khusus sejumlah yang sama bila keadaan rehidrasi

menetap/stabil.

d. Selanjutnya mulai beri formula khusus (langkah 6).

e. Selama pengobatan, pernapasan cepat dan nadi lemah akan membaik

dan anak mulai kencing.

Pemantauan

Lakukan penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap ½-1 jam

selama 2 jam pertama, kemudian setiap jam untuk 6-12 jam selanjutnya

dengan memantau: denyut nadi, pernafasan, frekuensi kencing, frekuensi

diare / muntah.4,12

Adanya air mata, mulut basah, kecekungan mata dan ubun-ubun besar

yang berkurang, perbaikan turgor kulit, merupakan tanda bahwa rehidrasi

telah berlangsung, tetapi pada PEM berat/gizi buruk perubahan ini

seringkali tidak terlihat, walaupun rehidrasi sudah tercapai. Pernafasan dan

denyut nadi yang cepat dan menetap selama rehidrasi menunjukkan adanya

infeksi atau kelebihan cairan. 4,12

Tanda kelebihan cairan: frekuensi pernapasan dan nadi meningkat,

edema dan pembengkakan kelopak mata bertambah. Bila ada tanda-tanda

19
tersebut, hentikan segera pemberian cairan dan nilai kembali setelah 1 jam.
4,12

Pencegahan:

a. Bila diare encer berlanjut:Teruskan pemberian formula khusus (langkah

6)

b. Ganti cairan yang hilang dengan Resomal / pengganti (jumlah + sama)

c. Sebagai pedoman, berikan Resomal/pengganti sebanyak 50-100 ml

setiap kali buang air besar cair

d. Bila masih mendapat ASI, teruskan.

Langkah Ke-4: Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit

Pada semua PEM berat terjadi kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun

kadar Na plasma rendah. Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg)

sering terjadi dan paling sedikit perlu 2 minggu untuk

pemulihan.Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan pada terjadinya

edema (jangan obati edema dengan pemberian diuretikum). 4,12

Berikan :

a. Tambahan Kalium 2-4 mEq/kg BB/hari (= 150-300 mg KCl/kgBB/hari)

b. Tambahkan Mg 0.3-0.6 mEq/kg BB/hari (= 7.5-15 mg MgCl 2

/kgBB/hari)

c. Untuk rehidrasi, berikan cairan rendah natrium (Resomal/pengganti)

d. Siapkan makanan tanpa diberi garam/rendah garam.

Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang

ditambahkan langsung pada makanan. Penambahan 20 ml larutan tersebut

20
pada 1 liter formula, dapat memenuhi kebutuhan K dan Mg. (Lihat

lampiran 6 untuk cara pembuatan larutan). 4,12

Langkah Ke-5: Pengobatan Dan Pencegahan Infeksi

Pada PEM berat / gizi buruk, tanda yang biasanya menunjukkan

adanya infeksi seperti demam seringkali tidak tampak.Karenanya pada

semua PEM berat/gizi buruk beri secara rutin:

a. Antibiotik spektrum luas

b. Ulangi pemberian vaksin setelah keadaan gizi anak menjadi baik. 4,12

Catatan:

Beberapa ahli memberikan metronidazol (7.5 mg/kg, setiap 8 jam

selama 7 hari) sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas guna

mempercepat perbaikan mucosa usus dan mengurangi resiko kerusakan

oksidatif dan infeksi sistemik akibat pertumbuhan bakteri anaerobik dalam

usus halus.

Pilihan antibiotik spektrum luas:

1. Bila tanpa komplikasi: Kotrimoksasol 5 ml suspensi pediatri secara

oral, 2 x/hari selama 5 hari (2,5 ml bila berat badan < 4 Kg),Atau

2. Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada komplikasi

(hipoglikemia: hipotermia, infeksi kulit, saluran nafas atau saluran

kencing), beri :

a. Ampisilin 50 mg/kgBB/i.m./i.v. – setiap 6 jam selama 2 hari,

dilanjutkan dengan Amoksisilin secara oral 15 mg/KgBB setiap 8

21
jam selama 5 hari. Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin

50 mg/kgBB setiap 6 jam secara oral. Dan

b. Gentamicin 7.5 mg /Kg/BB/i.m./i.v. sekali sehari, selama 7 hari.

3. Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis, tambahkan

kloramfenikol 25 mg/kg/BB/i.m./i.v. setiap 6 jam selama 5 hari.

4. Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik

spesifik yang sesuai. Tambahkan obat anti malaria bila pemeriksaan

darah untuk malaria positif.

5. Bila anoreksia menetap setelah 5 hari pengobatan antibiotik, lengkapi

pemberian hingga 10 hari.

6. Bila masih tetap ada, nilai kembali kadaan anak secara lengkap,

termasuk lokasi infeksi, kemungkinan adanya organisme yang resisten

serta apakah vitamin dan mineral telah diberikan dengan benar. 4,12

Langkah Ke-6: Mulai Pemberian Makanan

Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat berhati-hati

karena keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik

berkurang. Pemberian makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat

dan dirancang sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup untuk

memenuhi metabolisme basal. 4,12

Prinsip pemberian nutrisi pada fase ini adalah :

a. Porsi kecil tapi sering dengan formula laktosa rendah dan hipo/iso-

osmolar.

b. Berikan secara oral/nasogastrik

c. Energi : 80 – 100 kal/kgBB/hari

22
d. Protein : 1 – 1.5 g/kgBB/hari

e. Cairan : 130 ml/kgBB/hari (100 ml/kgBB/hari bila terdapat edema)

f. Bila masih mendapat ASI, tetap diberikan tetapi setelah pemberian

formula.

Formula khusus seperti F-WHO 75 yang dianjurkan dan jadwal

pemberian makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai

prinsip tersebut di atas. Berikan formula dengan cangkir/gelas. Bila anak

terlalu lemah, berikan dengan sendok / pipet. 4,12

Pada anak dengan selera makan baik dan tanpa edema, jadwal

pemberian makanan pada fase stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3

hari saja (1 hari untuk setiap tahap). Bila asupan makanan tidak mencapai

dari 80 Kkal/kg BB/hari, berikan sisa formula melalui pipa nasogastrik.

Jangan beri makanan lebih 100 Kkal/kgBB/hari pada fase stabilisasi ini. 4,12

Pantau dan catat: Jumlah yang diberikan dan sisanya, muntah,

frekuensi buang air besar dan konsistensi tinja, BB (harian). Selama fase

stabilisasi, diare secara perlahan berkurang dan BB mulai naik, tetapi pada

penderita dengan edema BB-nya akan menurun dulu bersamaan dengan

menghilangnya edema, baru kemudian BB mulai naik. 4,12

Langkah Ke-7: Fasilitasi Tumbuh Kejar

Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar

agar tercapai masukan makanan yang tinggi dan pertambahan berat badan

50g/minggu. Awal fase rehabilitasi ditandai dengan timbulnya selera

makan, biasanya 1-2 minggu setelah dirawat. Transisi secara perlahan

23
dianjurkan untuk menghindari risiko gagal jantung dan intoleransi saluran

cerna yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah

banyak secara mendadak.4,12

Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-

lahan dari formula khusus awal ke formula khusus lanjutan : 4,12

a. Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g per

100 ml) dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein

2.9 gram per 100 ml) dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi

bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan dengan kandungan

energi dan protein yang sama.

b. Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit

formula tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali

(=200 ml/kgBB/hari).

Pemantauan pada masa transisi: frekuensi nafas, frekuensi denyut

nadi. Bila terjadi peningkatan detak nafas >5x/menit dan denyut nadi

>25x/menit dalam pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume

pemberian formula.Setelah normal kembali, ulangi menaikkan volume

seperti di atas.

Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi:

a. Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering.

b. Energi : 150-220 Kkal/kgBB/hari

c. Protein 4-6 gram/kgBB/hari

24
d. Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula,

karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-

kejar.

Pemantauan setelah periode transisi : kemajuan dinilai berdasarkan

kecepatan pertambahan berat badan : timbang anak setiap pagi sebelum

diberi makan, evaluasi kenaikan BB setiap minggu. Bila kenaikan BB:

a. kurang ( <50 g/minggu ), perlu re-evaluasi menyeluruh : cek apakah

asupan makanan mencapai target atau apakah infeksi telah dapat

diatasi.

b. baik (  50 g/minggu ), lanjutkan pemberian makanan

Langkah Ke-8: Koreksi Defisiensi Mikro Nutrien

Semua PEM berat menderita kekurangan vitamin dan mineral.

Walaupun anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan

preparat besi (Fe), tetapi tunggu sampai anak mau makan dan berat

badannya mulai naik (biasanya setelah minggu ke-2). Pemberian besi

pada masa awal dapat memperburuk keadaan infeksinya. Berikan setiap

hari: 4,12

a. Suplementasi multivitamin

b. Asam folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)

c. Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hari

d. Tembaga (Cu) 0.2 mg/kgBB/hari

e. Bila BB mulai naik : Fe 3 mg/kgBB/hari atau sulfas ferrosus 10

mg/kgBB/hari

25
f. Vitamin A oral pada hari I : umur > 1 tahun : 200.000 SI, 6-12 bulan :

100.000 SI, < 6 bulan : 50.000 SI, kecuali bila dapat dipastikan anak

sudah mendapat suplementasi vitamin A pada 1 bulan terakhir. Bila

ada tanda / gejala defisiensi vitamin A, berikan vitamin dosis terapi.

Langkah Ke-9: Berikan Stimulasi Sensorik Dan Dukungan Emosional

Pada PEM berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan

perilaku, karenanya berikan: 4,12

a. Kasih sayang

b. Lingkungan yang ceria

c. Terapi bermain terstruktur selama 15 – 30 menit/hari

d. Aktifitas fisik segera setelah sembuh

e. Keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb).

Langkah Ke-10: Tindak Lanjut Di Rumah

Bila gejala klinis sudah tidak ada dan BB anak sudah mencapai 80%

BB/U, dapat dikatakan anak sembuh.Pola pemberian makan yang baik dan

stimulasi harus tetap dilanjutkan dirumah setelah penderita

dipulangkan.Peragakan PEMada orangtua tentang pemberian makan yang

sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat dan terapi

bermain terstruktur.4,12

Nasehatkan MEP ada orang tua untuk :

a. Melakukan kunjungan ulang setiap minggu, periksa secara teratur di

Puskesmas

26
b. Pelayanan di Pos Pemulihan Gizi (PPG) untuk memperoleh pemberian

makanan tambahan (PMT)-Pemulihan selama 90 hari. Ikuti nasehat

pemberian makanan (lihat lampiran 5) dan berat badan anak selalu

ditimbang setiap bulan secara teratur di posyandu / puskesmas.

c. pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien

yang padat

d. penerapan terapi bermain dengan kelompok bermain atau Posyandu

e. Pemberian suntikan imunisasi sesuai jadwal

Anjurkan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI atau

100.000 SI ) sesuai umur anak setiap Bulan Februari dan Agustus.

H. Pemantauan :

Kriteria sembuh

BB/TB > - 2 SD

Tumbuh kembang

Memantau status gizi secara rutin dan berkala

Memantau perkembangan psikomotor

Edukasi

Memberikan pengetahuan pada orang tua tentang:

a. Pengetahuan gizi

b. Melatih ketaatan dalam pemberian diet

c. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan

27
Langkah Promotif/Preventif

Malnutrisi energi protein merupakan masalah gizi yang multifaktorial.

Tindakan pencegahan bertujuan untuk mengurangi insidens dan

menurunkan angka kematian. Oleh karena ada beberapa faktor yang

menjadi penyebab timbulnya masalah tersebut, maka untuk mencegahnya

dapat dilakukan beberapa langkah, antara lain:

a. Pola makan: Penyuluhan pada masyarakat mengenai gizi seimbang

(perbandingan jumlah karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan

mineral berdasarkan umur dan berat badan)

b. Pemantauan tumbuh kembang dan penentuan status gizi secara

berkala (sebulan sekali pada tahun pertama)

c. Faktor sosial: Mencari kemungkinan adanya pantangan untuk

menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah berlangsung secara

turun-temurun dan dapat menyebabkan terjadinya PEM.

d. Faktor ekonomi: Dalam World Food Conference di Roma tahun 1974

telah dikemukakan bahwa meningkatnya jumlah penduduk yang cepat

tanpa diimbangi dengan bertambahnya persediaan bahan makanan

setempat yang memadai merupakan sebab utama krisis pangan,

sedangkan kemiskinan penduduk merupakan akibat lanjutannya.

Ditekankan pula perlunya bahan makanan yang bergizi baik di

samping kuantitasnya.

e. Faktor infeksi: Telah lama diketahui adanya interaksi sinergis antara

PEM dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan

status gizi. PEM, walaupun dalam derajat ringan, menurunkan daya

28
tahan tubuh terhadap infeksi.

I. Diagnosis Banding

Adanya edema dan serta ascites pada bentuk kwashiorkor maupun

marasmik-kwashiorkor perlu dibedakan dengan :12

a. Syndrome nefrotik

b. Sirosis hepatis

c. Payah jantung kongestif

d. Pellagra infantil.

J. Prognosis

Prognosis dari penyakit ini baik, jika diatasi secepat mungkin.

Namun, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi antara lain,

adanya infeksi berat, gagal tumbuh serta abnormalitas elektrolit yang berat

dapat memperburuk prognosis, bahkan dapat menyebabkan kematian.2

29
BAB III

KESIMPULAN

Malnutrisi energi protein merupakan suatu keadaan kurang gizi yang

disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-

hari sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) terbagi menjadi

tiga jenis yaitu kwashiorkor, marasmus, dan marasmus-kwashiorkor. Malnutrisi

masih merupakan masalah kesehatan utama di negara sedang berkembang dan

melatarbelakangi >50% kematian balita.

Kriteria diagnosis PEM antara lain ditemukan pertumbuhan yang kurang,

anak kurus, atau berat badannya kurang. Selain itu ada keluhan anak kurang/tidak

mau makan, sering menderita sakit yang berulang atau timbulnya bengkak pada

kedua kaki, kadang sampai seluruh tubuh dimana pada antropometri anak BB/TB

< -3 SD dan LLA < 11,5 cm.

Adapun tatalaksana malnutrisi menurut Depkes RI dibagi dalam 4 fase

yang harus dilalui yaitu fase stabilisasi (Hari 1-7), fase transisi (Hari 3–7 ), fase

rehabilitasi (Minggu ke 2–6), fase tindak lanjut (Minggu ke 7–26).

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Tata Laksana

Anak Gizi Buruk: Buku II. Jakarta: Departemen Kesehatan; 2003

2. Scheinfeld. N.S. Protein-energy malnutrition [online]. 2010, Augustus 24

[cited on 2011, June 24]. Available from : http://emedicine.medscape.com/.

3. Morley J. E. Protein Energy Undernutrition [online]. 2010 June [cited on

2011, June 24].

4. World Health Organization (WHO). 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan

Anak di Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI.

5. Inayah Syaiful. 2011. Protein Energy Malnutrition (PEM). Ilmu Kesehatan

Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar: FK UNHAS

6. Sjarif, Damayanti. Lestari, Endang. Et al. 2014. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik

dan Penyakit Metabolik. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

7. U Dyah. 2011. Kurang Energi Protein. [online]. Available from:

www.kurang-energi-protein-pdf

8. Pudjiadi, Antonius. Hegar, Badriul. Et al. 2009. Pedoman Pelayanan Medis

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

9. Ettinger SJ. Nelson Textbook of Pediatrics.

10. Saunders J, Smith T, Stroud M. 2015. Malnutrition and undernutrition. Med

(UnitedKingdom). 43(2):112-118. doi:10.1016/j.mpmed.2014.11.015.

11. CDC and WFP. 2014. A Manual: Measuring and Interpreting Malnutrition

and Mortality. Rome: World Food Programe.

12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Tata Laksana Anak Gizi

Buruk (buku I dan II).

31

Anda mungkin juga menyukai