Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PATOLOGI MANUSIA
Kekurangan Energi Protein Pada Anak (KEP)
(Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Patologi Manusia)
Dosen Pengampu: Dewi Vimala, SST., MPH

Disusun oleh:

Ajeng Ayu Lestari (P20631222003)

TINGKAT 1A
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
PRODI D-III GIZI (KAMPUS CIREBON)
Jalan Ks. Tubun No. 58 Kejaksan, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon
2022/2023
PEMBAHASAN

1. Kekurangan Energi Protein


Kekurangan Energi Protein (KEP) merupakan keadaan kurang gizi yang disebabkan
oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari atau disebabkan oleh
gangguan penyakit tertentu, sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (Depkes RI, 1999).
Kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya
konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan
gizi (Pudjiani, 2000).
Sedangkan menurut Depkes RI (1999) Kurang Energi Protein (KEP) adalah masalah
gizi kurang akibat konsumsi pangan tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena
gangguan kesehatan. KEP sendiri lebih sering dijumpai pada anak prasekolah (Soekirman,
2000).
Sedangkan menurut Jellife (1966) dalam Supariasa I.D. Nyoman (2002) dikatakan
bahwa KEP merupakan istilah umum yang meliputi malnutrition, yaitu gizi kurang dan gizi
buruk termasuk marasmus dan kwashiorkor.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Kekurangan Energi Protein adalah keadaan kurang gizi
yang dapat disebabkan oleh dua faktor, yiatu konsumsi energi dan protein kurang dan gangguan
kesehatan.
2. Tanda dan Gejala Kekurangan Energi Protein
1. Pada rambut terdapat tanda-tanda kurang bercahaya (lack of clustee), rambut kusam
dan kering, rambut tipis dan jarang (thinnes and aparseness), rambut kurang
kuat/mudah putus (straightness).
2. Tanda-tanda pada wajah diantaranya terjadi penurunan pigmentasi (defuse
depigmentation) yang tersebar berlebih apabila disertai anemia.
3. Wajah seperti bulan (moon face), wajah menonjol keluar, lipatan nasolabial.
Pengeringan selaput mata (conjunction xerosis). Pengeringan kornea (cornea xerosis).
4. Tanda-tanda pada mata, antara lain pada selaput mata pucat. Keratomalasia, keadaan
permukaan halus/lembut dari keseluruhan bagian tebal atau seluruh kornea.
5. Tanda pada kulit, antara lain : Xerosis, yaitu keadaan kulit yang mengalami
kekeringan tanpa mengandung air.
6. Tanda pada kuku, diantaranya : Koilonychia,, yaitu keadaan kuku bagian bilateral
cacat berbentuk sendok pada kuku orang dewasa atau karena sugestif anemia (kurang
zat besi). Kuku yang sedikit berbentuk sendok dapat ditemukan secara umum hanya
pada kuku jempol dan pada masyarakat yang sering berkaki telanjang.
3. Penyebab KEP

a. Penyebab Langsung

 Penyakit Infeksi : Penyakit infeksi sangat erat kaitannya dengan status gizi yang
rendah. Hal ini dapat dijelaskan melalui mekanisme pertahanan tubuh yaitu pada balita
yang KEP terjadi kekurangan masukan energi dan protein kedalam tubuh sehingga
kemampuan tubuh untuk membentuk protein baru berkurang, hal ini kemudian
menyebabkan pembentukan kekebalan tubuh seluler terganggu, sehingga tubuh
menderita rawan serangan infeksi (Jellife, 1989).
 Konsumsi makan : KEP sering dijumpai pada anak usia 6 bulan hingga 5 tahun
dimana pada usia tersebut tubuh memerlukan zat gizi yang sangat tinggi, sehingga
apabila kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi maka tubuh akan menggunakan cadangan zat
gizi yang ada di dalam tubuh, yang berakibat semakin lama cadangan semakin habis
dan akan menyebabkan terjadinya kekurangan yang menimbulkan perubahan pada
gejala klinis.
 Kebutuhan Energi : Kebutuhan energi tiap anak berbeda-beda. Hal ini ditentukan oleh
metabolisme basal tubuh, umur, aktivitas fisik, suhu, lingkungan serta kesehatannya.
Energi yang dibutuhkan seseorang tergantung pada beberapa faktor, yaitu jenis
kelamin, umru, aktivitas fisik,, dan kondisi psikologis.
b. Penyebab Tidak Langsung
 Pendidikan Orang Tua : Tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi
status gizi pada anak maupun keluarga. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi
konsumsi pangan melalui cara pemilihan pangan. Orang yang memiliki
Pendidikan lebih tinggi cenderung memilih bahan makanan yang lebih baik dalam
kualitas maupun kuantitas. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka
kemungkinan anak berstatus gizi baik semakin besar. Tingakt pendidikan ayah
yang tinggi akan meningkatkan status ekonomi rumah tangga, hal ini karena
tingkat pendidikan ayah erat kaitannya dengan perolehan lapangan kerja dan
penghasilan yang lebih besar sehingga akan meningkatkan daya beli rumah
tangga untuk mencukupi makanan bagi anggota keluarganya.
 Pendapatan Keluarga : Di negara berkembang, termasuk Indonesia masih
banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan merupakan
akar masalah kesehatan dan gizi. Dikatakan bahwa rata-rata persen BB/U pada
kelompok ekonomi rendah selalu lebih rendah daripada kelompok ekonomi
tinggi. Hal ini karena pendapatan mereka tidak cukup untuk membeli makanan
yang bergizi (Budiningsari, 1999).
 Jumlah Anggota Keluarga : Semakin tinggi dan semakin rendah jumlah anggota
keluarga maka semakin baik pertumbuhan anaknya, dengan jumlah anggota
keluarga yang besar dan dibarengi dengan distribusi makanan yang btidak merata
akan menyebabkan balita dalam keluarga tersebut menderita KEP. Rumah tangga
yang mempunyai anggota keluarga besar beresiko mengalami 4 kali lebih besar
dibandingkan dengan rumah tangga yang anggotanya kecil, fan beresiko pula
mengalami kurang gizi sebanyak 5 kali lebih besar dari keluarga yang mempunyai
jumlah anggota keluarga kecil (Berg, 1986).
 Umur : Pravelensi KEP ditemukan pada usia balita dan puncaknya 1-2 tahun. Hal
ini dikarenakan kebutuhan gizi pada usia tersebut meningkat tajam sedangkan
ASI sudah tdiak mencukupi, selain itu makanan sapihan tidak diberikan dalam
jumlah dan frekuensi yang cukup serta adanya penyakit diare karena konsumsi
pada makanan yang diberikan (Abunian dalam Lismartina 2000).
 Jenis Kelamin : Jenis kelamin merupakan salah satu faktor internal yang
menentukan kebutuhan gizi, sehingga jenis kelamin berkaitan erat dengan status
gizi balita. Laki-laki lebih banyak membutuhkan energi dan protein daripada
perempuan, karena laki-laki cenderung lebih aktif dan lebih kuat dibanding
perempuan.
4. Akibat Malnutrisi
a) Marasmus
Marasmus disebabkan oleh kekurangan energi. Marasmus pada umumnya
merupakan penyakit pada bayi (12 bulan pertama), karena terlambat diberi makanan
tambahan. Marasmus merupakan penyakit kelaparan dan terdapat pada kelompok
social ekoomi rendah (Almatsier, 2004).
Marasmus adalah malnutrisi pada pasien yang menderita kehilangan lebih 10%
berat badan dengan tanda-tanda klinis berkurangnya simpanan lemak dan protein
yang disertai gangguan fisiologik. Tanpa terjadinya cedera atau sepsis (Daldiyono
dan Thaha, 1998).
Tanda-tanda dan Gejala Marasmus
1) Sangat kurus, tampak tulang terbungkus kulit
2) Wajah seperti orang tua
3) Cengeng dan rewel
4) Kulit keriput
5) Jaringan lemak sumkutan minimal/tidak ada sering disertai diare kronik dan
penyakit kronik, tekanan darah dan jantung serta pernafasan kurang.
b) Kwashiorkor
Kwashiorkor umumnya terjadi pada pasien yang mengalami hipermetabolik
sesaat mengalami cedera hebat atau sepsis berat bila terjadi edema di seluruh tubuh
dan hypoalbuminemia. Kwashiorkor lebih banyak terdapat pada usia dua hingga tiga
tahun yang sering terjadi pada anak yang terlambat menyapih sehingga komposisi
gizi makanan tidak seimbang terutama dalam hal protein. Kwashiorkor dapat terjadi
pada konsumsi energi yang cukup atau lebih. (Almatsier, 2004).
Tanda-tanda dan Gejala Marasmus
1)Edema yang dapat terjadi di seluruh tubuh
2)Wajah sembab dan membulat
3)Mata sayu
4)Rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung, mudah dicabut dan rontok.
5)Cengeng, rewel, dan apatis
6)Pembesaran hati, otot mengecil (hipotrofi), bercak merah ke coklatan di kulit
dan mudah terkelupas (crazy pavement dermatosis) sering disertai penyakit
infeksi terutama akut, diare dan anemia.
c) Marasmus-Kwashiorkor
Gabugan dari marasmus dan kwashiorkor.
5. Diagnosis
Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik menyeluruh, termasuk pemeriksaan
tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu), serta
antropometri dan status gizi (tinggi/ panjang badan dan berat badan, IMT, dan
persentase lemak tubuh). Untuk memastikan penyebab malnutrisi, dokter akan
meminta pasien untuk melakukan sejumlah tes penunjang berikut.
1) Tes darah, untuk mengidentifikasi penyebab malnutrisi, misalnya infeksi HIV,
serta untuk menilai kadar glukosa, protein (albumin, vitamin, dan mineral di
dalam tubuh penderita.
2) Tes tinja (feses), untuk melihat keberadaan parasite atau cacing yang bisa
menyebabkan malnutrisi energi protein.
3) Rotgen dada, untuk melihat ada tidaknya peradangan dan infeksi pada paru.
6. Pengobatan
 Fase inisial atau akut (fase stabilisasi dan transisi) (2-10 hari)
Fase ini merupakan fase kritis untuk mengenali dan memberikan terapi pada
kondisi-kondisi medis yang mengancam jiwa dengan segera, yaitu hipoglikemia,
hipotermia, dehidrasi, dan infeksi. Asupan nutrisi dapat segera diberikan dan
dilanjutkan hingga fase rehabilitasi. Prioritas terapi fase ini adalah
penalataksanaan pernapasan, kontrol suhu (penghangatan), pemberian antibiotic
empiris untuk infeksi, dan rehidrasi. Pemberian makan dimulai pada fase ini
segera setelah pasien mampu dan kondisi klinis membaik. Selanjutnya, asupan
akan diberikan secara bertahap hingga nafsu makan anak kembali, biasanya
terjadi selama beberapa hari pertama pemberian makan.
 Fase pemulihan atau rehabilitasi (2-6 minggu)
Pada fase ini, terjadi peningkatan jumlah masukan nutrisi dan terjadi peningkatan
berat badan. Selain itu stimulasi emosi dan fisik ditingkatkan, sedangkan ibu atau
pengasuh dilatih untuk melanjutkan pengasuhan di rumah hingga persiapan anak
dipulangkan. Seorang anak dianggap memasuki fase rehabilitasi bila nafsu
makannya telah membaik. Sebaliknya bila pemberian makannya masih tetap
melalui NGT maka ia belum bisa memasuki fase rehabilitasi (WHO, 1999).
7. Pencegahan dan Penanggulangan Kasus KEP
 Mengonsumsi makanan minuman sumber karbohidrat dan protein yang cukup
sejak remaja sesuai siklus daur kehidupan.
 Suplementasi energi dan protein yang tepat sesuai kondisi fisiologis.
 Perilaku hidup bersih dan sehat, cuci tangan dengan sabun setelah buang air besar
dan sebelum makan.
 Menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
 Menggunakan alat perlindungan diri.
 Tidak merokok.
(Laksmi Widajanti, 2014)
Dalam penanggulangan kasus KEP, diperlukan upaya-upaya dalam perbaikan gizi
yang tepat. Menurut Hardinsyah dalam Semnas Pranikah Gizi dan Kesehatan
Reproduksi yang diadakan FKM UNDIP 4 Oktober 2014, upaya-upaya dalam
perbaikan gizi yaitu:
 Perbaikan konsumsi pangan terutama pangan hewani (telur, daging, ikan, dan
susu)
 Perbaikan suplemen gizi makro terutama zat besi, kalsium, zink, magnesium,
tembaga, folat, B12, vitamin A, vitamin C (Tabur Gizi atau suplemen).
 Peningkatan akses ekonomi (peluang usaha dan kerja serta peningkatan
pendapatan).
 Pelayanan kesehatan yang berkualitas.
 Memperbaiki akses air minum, bersih dan sanitasi lingkungan.
 Prioritaskan perbaikan pada ibu dan anak disertai pemberdayaan.
 Peningkatan akses informasi gizi yang baik dan sesuai.
KESIMPULAN

 Kekurangan energi protein merupakan keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh
rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak
memenuhi angka kecukupan gizi.
 Penyebab KEP :
 Penyebab Langsung : penyakit infeksi, konsumsi makan, kebutuhan energi
 Penyeban Tidak Langsung : Pendidikan orang tua, pendapatan keluarga,
jumlah anggota keluarga, umur, dan jenis kelamin
 Secara garis besar tanda klinis berat dari KEP adalah Marasmus, Kwashiorkor, dan
Marasmus-Kwashiorkor.
 Dalam kasus KEP perlu dilakukan upaya preventif, perbaikan gizi, dan
penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai