Anda di halaman 1dari 15

1.

DEFINISI
Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan
nutrisi. Gizi buruk merupakan keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan
oleh rendahnya tingkat konsumsi kalori, protein, karbohidrat serta makanan sehari-
hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama. Status gizi buruk dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu gizi buruk karena kekurangan protein (kwashiorkor), karena
kekurangan karbohidrat atau kalori (marasmus), dan kekurangan kedua-duanya.
Gizi buruk ini biasanya terjadi pada anak balita (dibawah lima tahun) dan
ditampakkan oleh membusungnya perut (busung lapar). Gizi buruk (severe
malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan
gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses
terjadinya kekurangan gizi menahun (Nency, 2005).
Anak balita (bawah lima tahun) sehat atau kurang gizi dapat diketahui
dari pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal 2 tahun
(baduta). Apabila pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur
menurut suatu standar organisasi kesehatan dunia, dia bergizi baik. Kalau
sedikit dibawah standar disebut bergizi kurang yang bersifat kronis. Apabila jauh
dibawah standar dikatakan bergizi buruk. Jadi istilah gizi buruk adalah salah satu
bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau akut (Pardede, J, 2006).
Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-
kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis
dari masing-masing tipe yang berbeda-beda.
Klasifikasi gizi buruk ada 3 yaitu:
1. Marasmus
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala
yang timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak
dan otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah
patah dan kemerahan, gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare),
pembesaran hati dan sebagainya. Anak tampak sering rewel dan banyak
menangis meskipun setelah makan, karena masih merasa lapar. Berikut
adalah gejala pada marasmus adalah (Depkes RI, 2000) :
a) Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan
otot-ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit
b) Wajah seperti orang tua
c) Iga gambang dan perut cekung
d) Otot paha mengendor (baggy pant)
e) Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar
2. Kwashiorkor
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby),
bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein,
walaupun dibagian tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi.
Tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai
seluruh tubuh
a) Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
b) Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah
dicabut, pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut
kepala kusam.
c) Wajah membulat dan sembab
d) Pandangan mata anak sayu
e) Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan
terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.
f) Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah
menjadi coklat kehitaman dan terkelupas
3. Marasmik-Kwashiorkor
Adapun marasmic-kwashiorkor memiliki ciri gabungan dari beberapa
gejala klinis kwashiorkor dan marasmus disertai edema yang tidak mencolok.

2. ETIOLOGI
Banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk. Menurut
Unicef ada dua penyebab langsung terjadinya gizi buruk, yaitu :
1. Kurangnya asupan gizi dari makanan. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah
makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang
dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu kemiskinan.
2. Akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi. Hal ini disebabkan oleh
rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat
makanan secara baik.
Faktor lain yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk yaitu:
1) Faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat
2) Perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh anak
3) Pengelolaan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai.

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada 3 faktor penyebab gizi
buruk pada balita, yaitu:
a. Keluarga miskin
b. Ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak
c. Faktor penyakit bawaan pada anak, seperti: jantung, TBC, HIV/AIDS,
saluran pernapasan dan diare.

3. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala gizi buruk pada umumnya adalah:
1. Kelelahan dan kekurangan energy
2. Pusing
3. System kekebalan tubuh yang rendah
4. Kulit kering dan bersisik
5. Gusi mudah berdarah
6. Sulit untuk berkonsentrasi dan mempunyai reaksi yang lambat
7. Berat badan kurang
8. Pertumbuhan yang lambat
9. Kelemahan otot
10. Perut kembung
11. Tulang mudah patah
12. Terdapat masalah pada fungsi organ tubuh

4. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi gizi buruk pada balita adalah anak sulit makan atau
anorexia bisa terjadi karena penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik seperti
suasana makan, pengaturan makanan dan lingkungan. Rambut mudah rontok
dikarenakan kekurangan protein, vitamin A, vitamin C dan vitamin E. Karena
keempat elemen ini merupakan nutrisi yang penting bagi rambut. Pasien juga
mengalami rabun senja. Rabun senja terjadi karena defisiensi vitamin A dan
protein. Pada retina ada sel batang dan sel kerucut. Sel batang lebih hanya
bisa membedakan cahaya terang dan gelap. Sel batang atau rodopsin ini
terbentuk dari vitamin A dan suatu protein. Jika cahaya terang mengenai sel
rodopsin, maka sel tersebut akan terurai. Sel tersebut akan mengumpul lagi
pada cahaya yang gelap. Inilah yang disebut adaptasi rodopsin. Adaptasi ini
butuh waktu. Jadi, rabun senja terjadi karena kegagalan atau kemunduran adaptasi
rodopsin.
Turgor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Reflek
patella negatif terjadi karena kekurangan aktin myosin pada tendon patella dan
degenerasi saraf motorik akibat dari kekurangn protein, Cu dan Mg seperti gangguan
neurotransmitter. Sedangkan, hepatomegali terjadi karena kekurangan protein.
Jika terjadi kekurangan protein, maka terjadi penurunan pembentukan lipoprotein.
Hal ini membuat penurunan HDL dan LDL. Karena penurunan HDL dan LDL, maka
lemak yang ada di hepar sulit ditransport ke jaringan-jaringan, pada akhirnya
penumpukan lemak di hepar.
Menurut Nelson (2007), penyebab utama marasmus adalah kurang kalori
protein yang dapat terjadi karena : diet yang tidak cukup, kebiasaan makan
yang tidak tepat seperti hubungan orang tua dengan anak terganggu, karena kelainan
metabolik atau malformasi kongenital. Keadaan ini merupakan hasil akhir dari
interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor
lingkungan ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri yang dibawa sejak
lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus. Secara garis besar sebab-
sebab marasmus adalah sebagai berikut :
a. Masukan makanan yang kurang : marasmus terjadi akibat masukan kalori
yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan
akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak, misalnya pemakaian secara luas
susu kaleng yang terlalu encer.
b. Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi
enteral misalnya infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis
dan sifilis kongenital.
c. Kelainan struktur bawaan misalnya: penyakit jantung bawaan, penyakit
Hirschpurng, deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis
pilorus. Hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas
d. Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut pemberian
ASI kurang akibat reflek mengisap yang kurang kuat.
e. Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang
cukup.
f. Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia,
galactosemia, lactose intolerance.
g. Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila
penyebab maramus yang lain disingkirkan
h. Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan yang
kurang akan menimbulkan marasmus.
i. Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya
marasmus, meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan
penyapihan dini dan kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan
susu yang terlalu encer akibat dari tidak mampu membeli susu, dan bila disertai
infeksi berulang terutama gastroenteritis akan menyebabkan anak jatuh dalam
marasmus.

5. KOMPLIKASI
Infeksi berat sering terjadi karena pada KEP sering mengalami gangguan
mekanisme pertahanan tubuh. Sehingga mudah terjadi infeksi atau bila terkena
infeksi beresiko terjadi komplikasi yang lebih berat hingga mengancam jiwa
(Nelson, 2007).

6. PENATALAKSANAAN
Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase
stabilisasi, fase transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil
memilih langkah mana yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini
digunakan baik pada penderita kwashiorkor, marasmus maupun marasmik-
kwarshiorkor.
a. Fase stabilisasi
Fase stabilisasi adalah keadaan ketika kondisi klinis dan metabolisme anak
belum sepenuhnya stabil. Dibutuhkan waktu sekitar 1-2 hari untuk
memulihkannya, atau bahkan bisa lebih, tergantung dari kondisi kesehatan anak.
Tujuan dari fase stabilisasi yakni untuk memulihkan fungsi organ-organ yang
terganggu serta pencernaan anak agar kembali normal. Dalam fase ini, anak
akan diberikan formula khusus berupa F 75 atau modifikasinya, dengan rincian:
 Susu skim bubuk (25 gr)
 Gula pasir (100 gr)
 Minyak goreng (30 gr)
 Larutan elektrolit (20 ml)
 Tambahan air sampai dengan 1000 ml

Fase stabilisasi bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut:


 Pemberian formula khusus dilakukan sedikit demi sedikit tapi dalam
frekuensi yang sering. Cara ini bisa membantu mencegah kadar gula darah
rendah (hipoglikemia), serta tidak membebankan saluran pencernaan, hati,
dan ginjal.
 Pemberian formula khusus dilakukan selama 24 jam penuh. Jika dilakukan
setiap 2 jam sekali, berarti ada 12 kali pemberian. Jika dilakukan setiap 3 jam
sekali, berarti ada 8 kali pemberian.
 Bila anak bisa menghabiskan porsi yang diberikan, pemberian formula
khusus bisa dilakukan setiap 4 jam sekali. Otomatis ada 6 kali pemberian
makanan.
 Jika anak masih mendapatkan ASI, pemberian ASI bisa dilakukan setelah
anak mendapatkan formula khusus.

Bagi orangtua, sebaiknya perhatikan aturan pemberian formula seperti:


 Lebih baik gunakan cangkir dan sendok daripada botol susu, meskipun anak
masih bayi.
 Gunakan alat bantu pipet tetes untuk anak dengan kondisi sangat lemah.

b. Fase transisi
Fase transisi adalah masa ketika perubahan pemberian makanan tidak
menimbulkan masalah bagi kondisi anak. Fase transisi biasanya berlangsung
selama 3-7 hari, dengan pemberian susu formula khusus berupa F 100 atau
modifikasinya.
Kandungan di dalam susu formula F 100 meliputi:
 Susu skim bubuk (85 gr)
 Gula pasir (50 gr)
 Minyak goreng (60 gr)
 Larutan elektrolit (20 ml)
 Tambahan air sampai dengan 1000 ml

Fase transisi bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut:


 Pemberian formula khusus dengan frekuensi sering dan porsi kecil. Paling
tidak setiap 4 jam sekali.
 Jumlah volume yang diberikan pada 2 hari pertama (48 jam) tetap
menggunakan F 75. Namun di hari ketiga, ada perubahan volume menjadi F
100 dengan jumlah disesuaikan kembali tergantung kondisi anak.
 ASI tetap diberikan setelah anak menghabiskan porsi formulanya.
 Jika volume pemberian formula khusus tersebut telah tercapai, tandanya anak
sudah siap untuk masuk ke fase rehabilitasi.

c. Fase rehabilitasi
Fase rehabilitasi adalah masa ketika nafsu makan anak sudah kembali normal
dan sudah bisa diberikan makanan agak padat melalui mulut atau oral. Akan
tetapi, bila anak belum sepenuhnya bisa makan secara oral, pemberiannya bisa
dilakukan melalui selang makanan (NGT).

Fase ini umumnya berlangsung selama 2-4 minggu sampai indiktor status gizin
BB/TB-nya mencapai -2 SD, dengan memberikan F 100. Dalam fase transisi,
pemberian F 100 bisa dilakukan dengan menambah volumenya setiap hari. Hal
ini dilakukan sampai saat anak tidak mampu lagi menghabiskan porsinya.

F 100 merupakan energi total yang dibutuhkan anak untuk tumbuh, serta
berguna dalam pemberian makanan di tahap selanjutnya. Secara bertahap,
nantinya porsi makanan padat anak bisa mulai ditambah dengan mengurangi
pemberian F 100.
Tata laksana 10 langkah gizi buruk
a. Hipoglikemia
b. Hipotermia
c. Dehidrasi
d. Gangguan keseimbangan elektrolit
e. Infeksi
f. Defisiensi zat gizi mikro
g. Pemberian makan awal (initial feeding)
h. Tumbuh kejar
i. Stimulasi sensorik dan emosional
j. Persiapan pulang
7. PATHWAYS
Kegagalan melakukan
Malabsorbsi, sintesis protein dan
Social ekonomi rendah infeksi, anoreksia kalori

Intake kurang dari kebutuhan tubuh

Daya tahan tubuh menurun Asam amino esensial


menurun dan produksi
Keadaan umum melemah albumin menurun

Resiko infeksi Hipertermi


Atrofi atau
pengecilan otot
Resiko infeksi Resiko infeksi
saluran pernafasan saluran pencernaan Keterlambatan
pertumbuhan dan
Inflamasi Inflamasi perkembangan
alveoli gastrointestinal

Bronkopnemonia Anoreksia/diare

Bersihan jalan Nutrisi kurang


nafas tidak dari kebutuhan
efektif tubuh
8. ASUHAN KEPERAWATAN
Identitas pasien dan keluarga

Nama pasien : An. J Nama ayah/ibu : Tn. D/ Ny. N


Usia :3 tahun 9 bulan Usia ayah/ibu : 27th/26th
Jenis kelamin : Perempuan Agama : islam
Anak ke 2 dari 2 bersaudara Alamat : Badamita, Rakit, Banjarnegara
Tanggal masuk : 22/10/2019 Suku bangsa : Indonesia
Tgl. Pengkaian : 30/10/2019 Pendidikan : SMA
Diagnosa medis : Gizi Buruk Pekerjaan : IRT

Pengkajian, Dx Keperawatan dan Intervensi

Data Fokus Diagnosa Keperawatan Intervensi


DS: ibu pasien mengatakan Bersihan jalan nafas tidak 1. Airway Management
pasien batuk terus menerus efektif b/d peningkatan 2. Posisikan pasien untuk
selama kurang lebih 3 bulan produksi sputum memaksimalkan ventilasi
3. Lakukan fisioterapi dada
DO: pasien terlihat batuk- jika perlu
batuk 4. Keluarkan sekret dengan
Hasil rontgen batuk atau suction
bronkopnemonia 5. Auskultasi suara nafas,
Terdapat secret, terdengar catat adanya suara
suara ronki tambahan
RR: 38x/menit 6. Atur intake untuk cairan
N: 144x/menit mengoptimalkan
keseimbangan.
7. Monitor respirasi

DS: ibu pasien mengatakan Ketidakseimbangan nutrisi 1. Nutrition Monitoring


berat badan pasien turun kurang dari kebutuhan tubuh 2. BB pasien dalam batas
terus menerus dan pasien b/d ketidakmampuan normal
tidak mampu mengunyah mengabsorbsi makanan 3. Monitor adanya penurunan
makanan berat badan
4. Jadwalkan pengobatan dan
DO: pasien terdapat tindakan tidak selama jam
labiopalatolisis
Pasien terpasang NGT makan
BB awal pasien 4,9kg 5. Monitor mual dan muntah
BB saat ini 4,6kg 6. Monitor kadar albumin,
PB 68cm total protein, Hb, dan kadar
Ht
7. Monitor pertumbuhan dan
perkembangan
8. Monitor pucat, kemerahan,
dan kekeringan jaringan
konjungtiva
9. Monitor kalori dan intake
nuntrisi
10. Kaji adanya alergi
makanan
11. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien.
12. Anjurkan pasien untuk
meningkatkan protein dan
vitamin C
DS: ibu pasien mengatakan Hipertermi b.d hidrasi 1. Anjurkan pasien untuk
badan anaknya panas menggunakan pakaian
yang longgar
DO: Badan pasien teraba 2. Monitor suhu minimal tiap
panas 2 jam
Pasien tampak gelisah 3. Monitor warna kulit
S: 38 c
o
4. Monitor RR, nadi dan
N: 144x/menit SPO2
RR: 38x/menit 5. Monitor intake dan output
6. Kompres hangat
7. Monitor hidrasi seperti
turgor kulit, kelembapan
dan membran mukosa
8. Kolaborasi dengan dokter
pemberian anti piretik
DO: Ibu pasien mengatakan Keterlambatan pertumbuhan 1. Monitor TD, nadi, dan RR
pasien hanya berbaring dan dan perkembangan b.d 2. Monitor pemberian nutrisi
merengek malnutrisi 3. Monitor BB dan PB
4. Identifikasi kebutuhan
DO: pasien terlihat hanya unik anak
berbaring
Kaki dan tangan pasien
terlihat kaku
Pasien hanya merengek,
belum mampu berbicara
dengan elas
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Ciri-Ciri Kurang Gizi. Diakses 15 Desember 2008: Portal Kesehatan
Online
Anonim. 2008. Kalori Tinggi Untuk Gizi Buruk. Diakses 15 Desember 2008: Republika
Online.
Nency, Y. 2005. Gizi Buruk, Ancaman Generasi Yang Hilang. Inpvasi Edisi Vol.
5/XVII/ November 2005: Inovasi Online
Notoatmojo, S. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan Ke-2.
Jakarta: Rineka Cipta
Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta:
Prima Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
PASIEN DENGAN GIZI BURUK
RUANG KANTHIL RSUD BANYUMAS

SITI ANISAH
1911040012

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019

Anda mungkin juga menyukai