Anda di halaman 1dari 20

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gizi Buruk

Gizi merupakan salah satu faktor penentu utama kualitas sumber daya

manusia. Peran gizi dalam pembangunan kualitas sumber daya manusia telah

dibuktikan dari berbagai penelitian. Gangguan gizi pada awal kehidupan akan

mempengaruhi kehidupan berikutnya. Gizi kurang pada balita tidak hanya

menimbulkan gangguan pertumbuhan fisik, tetapi juga mempengaruhi kecerdasan

dan produktivitas di masa dewasa.

Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi

makro dan kurang gizi mikro. Kurang gizi makro pada dasarnya merupakan

gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan protein.

Masalah gizi makro adalah masalah gizi yang utamanya disebabkan

ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan energi dan protein. Kekurangan zat

gizi makro umumnya disertai dengan kekurangan zat gizi mikro. (Depkes RI, 2002)

Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Takalar oleh Mahaeni pada tahun

2010 bahwa gizi buruk terjadi karena pemenuhan kebutuhan gizi balita masih sangat

minim, akibatnya rendahnya motivasi, kuatnya pengaruh budaya masyarakat, serta

perilaku yang kurang mendukung karena ketidaktahuan, sikap kurang dan ketidak

mampuan bertindak karena ketidak berdayaan ekonomi.

6
Universitas Sumatera Utara
Menurut WHO salah satu masalah gizi buruk terjadi akibat konsumsi

makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena adanya

gangguan kesehatan. Anak disebut gizi buruk apabila berat badannya kurang dari

berat badan normal. Sedangkan menurut Depkes RI (2005), gizi buruk adalah status

gizi menurut berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) dengan Z-score <-3 dan atau

dengan tanda-tanda klinis (marasmus, kwasiorkor dan marasmus-kwasiorkor). Gizi

buruk juga diartikan seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya

konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit

tertentu (Supariasa et al, 2002).

Suhardjo (2003) berpendapat bahwa gizi kurang atau gizi buruk adalah

kurangnya pemasukan energi dan protein sehingga mengakibatkan kelainan yang sulit

atau tidak disembuhkan dan menghambat dalam perkembangan selanjutnya. Menurut

Almatsier (2004), kurang gizi adalah penyakit yang disebabkan kekurangan makanan

sumber energi secara umum dan kekurangan sumber protein. Gizi buruk adalah

keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein

dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG)

dan biasanya juga disertai adanya kekurangan dari beberapa zat gizi lainnya.

Aritonang (2012) menyebutkan salah gizi (malnutrisi) primer bila kejadian

kurang energi akibat kekurangan asupan nutrisi, yang pada umumnya didasari oleh

masalah sosial ekonomi, pendidikan serta rendahya pengetahuan di bidang gizi. Salah

gizi sekunder bila kondisi masalah gizi karena adanya penyakit utama, seperti

kelainan bawaan, infeksi kronis ataupun kelainan percernaan dan metabolik, yang

Universitas Sumatera Utara


mengakibatkan kebutuhan gizi meningkat, penyerapan gizi yang turun dan atau

meningkatnya kehilangan gizi.

2.2 Klasifikasi Status Gizi

2.2.1 Status Gizi Berdasarkan Antropometri WHO 2005

Klasifikasi status gizi dengan pengukuran antropometri dapat dilihat pada

tabel di bawah ini.

Tabel 2.1 Klasisfikasi dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks

Kategori Ambang Batas


Indeks
Status Gizi (Z-Score)
Berat badan menurut Umur Gizi Buruk < - 3 SD
(BB/U) Gizi Kurang -3 SD sampai dengan <-2 SD
Anak umur 0 – 60 bulan Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi Lebih >2 SD
Panjang Badan menurut Umur Sangat Pendek < - 3 SD
(PB/U) atau Tinggi Badan Pendek -3 SD sampai dengan <-2 SD
menurut Umur (TB/U) Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Anak Umur 0-60 Bulan Tinggi >2 SD
Berat Badan menurut Panjang Sangat Kurus < - 3 SD
Badan (PB/BB) atau Berat Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
Badan menurut Tinggi Badan Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
(TB/BB) Gemuk >2 SD
Anak Umur 0-60 bulan
Indeks Massa Tubuh menurut Sangat Kurus < - 3 SD
Umur (IMT/Umur) Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
Anak Umur 0-60 Bulan Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >2 SD
Indeks Massa Tubuh menurut Sangat Kurus < - 3 SD
Umur (IMT/U) Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
Anak Umur 5- 18 Tahun Normal -2 SD sampai dengan 1 SD
Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas >2 SD
Sumber : Kemenkes RI, 2011

Universitas Sumatera Utara


2.2.2 Status Gizi Berdasarkan Antropometri WHO 2005 dengan Gejala Klinis

Status Gizi dengan pengukuran antropomerti WHO 2005 dengan gejala-gejala

klinis yaitu :

1. Marasmus

Marasmus memiliki ciri-ciri:Badan nampak sangat kurus seolah-olah tulang

hanya terbungkus kulit, otot lemah, lunak, wajah tampak tua (monkey face), sering

pada bayi < 12 bulan, mudah menangis/cengeng dan rewel, kulit menjadi keriput,

jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy pant/pakai celana

longgar), perut cekung, dan iga gambang, sering disertai penyakit infeksi (umumnya

kronis berulang), diare kronik atau konstipasi (susah buang air), tidak ada edema,

warna rambut tidak berubah.

2. Kwashiorkhor

Kwasiorkor memiliki ciri-ciri: wajah bulat (moon face), biasa terjadi pada

anak usia 1-3 bulan, edema (pembengkakan), umumnya seluruh tubuh (terutama

punggung kaki dan wajah) membulat dan lembab, pandangan mata sayu, rambut tipis

kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut tanpa rasa sakit dan

mudah rontok, terjadi perubahan status mental menjadi apatis dan rewel, terjadi

pembesaran hati, otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi

berdiri atau duduk, terdapat kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas

dan berubah warna menjadi coklat kehitaman lalu terkelupas (crazy pavement

dermatosis), sering disertai penyakit infeksi yang umumnya akut, anemia dan diare.

Universitas Sumatera Utara


3. Marasmic-Kwashiorkor

Adapun marasmic-kwashiorkor memiliki ciri gabungan dari beberapa gejala

klinis kwashiorkor dan marasmus disertai edema yang tidak mencolok.

2.3 Faktor-Faktor Penyebab Gizi Buruk

Unicef (1998), mengemukan bahwa faktor-faktor penyebab kurang gizi dapat

di lihat dari penyebab langsung, tidak langsung, pokok permasalahan dan akar

masalah. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi yaitu :

a. Faktor Langsung

1. Kurangnya asupan gizi dari makanan. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah

makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang

dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu kemiskinan.

2. Penyakit infeksi. Hal ini disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh

sehingga tidak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik.

b. Faktor tidak Langsung

1. Faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat

2. Perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh anak

3. Pengelolaan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai.

Faktor lain yang dikemukan oleh Adriani & Wirjatmadi ( 2012) dalam buku

mereka pengantar gizi masyarakat bahwa status gizi dipengaruhi oleh faktor-faktor

sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


1. Faktor langsung dipengaruhi oleh :

a. Asupan berbagai makanan

b. Penyakit

2. Faktor tidak langsung

a. Ekonomi keluarga, penghasilan keluarga merupakan faktor yang

memengaruhi kedua faktor yang berperan langsung terhadap status gizi

b. Produksi pangan, peranan pertanian dianggap penting karena kemampuan

menghasilkan produk pangan

c. Pola Asuh, salah satu kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang

d. Budaya, masih ada kepercayaan untuk memantang makanan tertentu yang

dipandang dari segi sebenarnya mengandung zat gizi yang baik.

e. Kebersihan lingkungan, kebersihan lingkungan yang jelek akan memudahkan

anak menderita penyakit tertentu seperti ISPA, infeksi saluran pencernaan.

f. Fasilitas kesehatan sangat penting untuk menyokong status kesehatan dan gizi

anak

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada 3 faktor penyebab gizi

buruk pada balita, yaitu:

1. Keluarga miskin

2. Ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak

3. Faktor penyakit bawaan pada anak, seperti: jantung, TBC, HIV/AIDS, saluran

pernapasan dan diare.

Universitas Sumatera Utara


Faktor lain yang mempengaruhi status gizi di kemukakan oleh Arisman

(2004), menurut beliau status gizi dipengaruhi oleh determinan biologis yang meliputi

jenis kelamin, lingkungan dalam rahim, jumlah kelahiran , berat lahir, ukuran orang

tua, dan konstitusi genetik serta faktor lingkungan seperti keadaan sosial ekonomi

keluarga.

2.3.1 Faktor Langsung

Faktor langsung penyebab gizi buruk adalah :

2.3.1.1 Asupan Makanan

Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan yang tidak

memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang yaitu

beragam, sesuai kebutuhan, bersih dan aman, misalnya bayi tidak memperoleh ASI

Eksklusif.(Menko Kesra RI, 2013)

Gizi buruk banyak terjadi pada anak usia enam bulan hingga lima tahun pada

umur tersebut tubuh anak memerlukan zat gizi yang sangat tinggi, sehingga apabila

kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi maka tubuh akan menggunakan cadangan zat gizi

yang ada dalam tubuh, yang akibatnya semakin lama cadangan semakin habis dan

akan menyebabkan terjadinya kekurangan yang akan menimbulkan perubahan pada

gejala klinis.

Berdasarkan penelitian Arnisam (2006) di Kecamatan Ulee Kareng Kota

Banda Aceh, anak dengan asupan energi yang kurang mempunyai risiko 2,9 kali lebih

besar untuk mengalami status gizi kurang di banding dengan anak yang asupan

energinya cukup, sedangkan anak dengan asupan protein yang kurang mempunyai

Universitas Sumatera Utara


risiko 3,1 kali lebih besar untuk mengalami status gizi kurang di bandingkan dengan

anak yang asupan proteinnya cukup. Faktor utama yang harus diperhatikan dalam

pemberian makanan anak adalah umur, aktivitas, keadaan sakit dan jenis

kelamin.(Adriani & Wirjatmadi, 2012)

2.3.1.2 Penyakit Infeksi

Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan

dengan tingginya kejadian penyakit menular terutama diare, cacingan dan penyakit

pernafasan akut (ISPA).

Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi merupakan hubungan timbal

balik, yaitu hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan

gizi, dan keadaan gizi yang jelek dapat mempermudah terkena infeksi. Penyakit yang

umumnya terkait dengan masalah gizi antara lain diare, tuberkulosis, campak dan

batuk rejan.

Pudjiadi (2000) berpendapat interaksi antara malnutrisi dan penyakit infeksi

sudah lama diketahui. Infeksi dapat mempengaruhi asupan makanan sehinggga akan

kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaiknya malnutrisi berpengaruh negatif

terhadap daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Interaksi sinergistik antara

malnutrisi da penyakit infeksi antara lain :

1. Dampak Penyakit Infeksi terhadap Status Gizi

Dampak penyakit infeksi terhadap pertumbuhan seperti menurunnya berat badan

telah lama diketahui. Keadaan demikian disebabkan karena hilangnya nafsu makan

penderita penyakit infeksi sehingga masukan zat gizi dan energi kurang dari

Universitas Sumatera Utara


kebutuhannya. Pada penderita penyakit infeksi memerlukan kebutuhan energi dan

zat gizi yang meningkat karena katabolisme yang berlebihan dan suhu badan yang

tinggi.

2. Dampak Malnutri terhadap Penyakit Infeksi

Menurunnya status gizi berakibat menurunya imunitas penderita terhadap berbagai

infeksi. Tubuh memiliki tiga macam pertahanan untuk menolak infeksi, yaitu :

a. Melalui sel (imunitas seluler)

b. Melalui cairan (imunitas humoral)

c. Aktivitas leukosit polimorfonukleus

Hasil penelitian Hidayat dan Noviati Fuada (2011) mereka mengungkapkan

bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian penyakit diare dengan

status gizi anak balita berdasarkan indikator BB/U, TB/U dan BB/TB. Balita yang

sering mengalami diare berpeluang satu kali lebih besar akan mengalami status gizi

buruk, pendek dan kurus dibandingkan dengan balita yang normal atau berstatus gizi

baik.

2.3.2 Faktor tidak Langsung

Faktor tidak langsung penyebab gizi buruk antara lain ialah :

2.3.2.1 Ketersedian Pangan

Pertanian berpengaruh terhadap gizi melalui produksi pangan untuk keperluan

rumah tangga dan distribusi hasil tanaman perdagangan, ternak dan jenis pangan lain

yang dijual di pasar lokal atau tempat lain. Jika pangan diproduksi dalam jumlah dan

ragam yang cukup, kemudahan bahan tadi cukup tersedia di tingkat desa atau

Universitas Sumatera Utara


masyarakat dan kalau keluarga memiliki uang yang cukup untuk membeli keperluan

pangan yang tidak ditanam di tempatnya, tidak akan banyak terjadi kurang gizi dan

kurangnya pangan.

Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara timur

menyimpulkan bahwa persediaan pangan yang kurang menjadi penyebab tidak

langsung yang berpengaruh terhadap asupan makanan anak didalam keluarga. (Marut,

2007). Kurangnya pangan yang cukup untuk dimakam merupakan salah satusebab

utama rendahnya keadaan penghidupan keluarga. Cara-cara bertani yang tidak baik

mengakibatkan rendahnya produksi tanaman, ternak dan produksi pertanian lainnya.

Produksi pertanian yang rendah menyebabkan pendapatan petani berkurang.

Kemiskinan dan kurangnya pangan yang tersedia untuk konsumsi rumah tangga

karena rendahnya produksi tanaman biasanya menyebabkan timbulnya kurang

gizi.(Adriani & Wirjatmadi, 2012)

2.3.2.2 Pola Asuh

Asuhan anak atau interaksi ibu dan anak terlihat erat sebagai indikator kualitas

dan kuantitas peranan ibu dalam mengasuh anak. Pola asuh dapat dipakai sebagai

peramal atau faktor risiko terjadinya kurang gizi atau gangguan perkembangan pada

anak. Peran ibu dalam keluarga sangat besar dalam menanamkan kebiasaan makan

pada anak dan proses tumbuh kembang yaitu kebutuhan emosi atau kasih sayang

diwujudkan dengan kontak fisik dan psikis, misalnya dengan menyusui segera setelah

lahir. (Adriani & Wirjatmadi, 2012)

Universitas Sumatera Utara


Penelitian syahbuddin (2003) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara

peran ganda ibu dengan kurang baiknya pola asuh terhadap anak. Terkadang tidak

semua ibu atau pengasuh mengetahui bagaimana mengasuh anak tumbuh dan

berkembang secara optimal, padahal usia balita identik dengan peletakan fondasi

suatu bangunan. Oleh karena itu, pengetahuan gizi dan perannya dalam mendukung

tumbuh kembang anak sangat dibutuhkan oleh orang tua dan pengasuh

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Triwinarti dan Anies

Irawati (2004) di Kabupaten Bogor, mereka menyimpulkan pola asuh berpengaruh

pada gangguan pertumbuhan berat bayi sejak berumur satu bulan, dan berlanjut

sampai bayi berumur sembilan bulan dan menurut mereka juga pola asuh mulai

berpengaruh pada gangguan pertambahan panjang bayi ketika bayi berumur lima

bulan, dan berlanjut sampai bayi berumur sembilan bulan.

2.3.2.3 Sanitasi Lingkungan dan Pelayanan Kesehatan

Kutipan Hidayat dan Noviati Fuada (2011) dalam Soekirman dkk (2010)

mengatakan masalah gizi selain disebabkan oleh kurangnya asupan zat gizi, juga

dapat terjadi akibat buruknya sanitasi lingkungan dan kebersihan diri. Sehingga

memudahkan timbulnya penyakit infeksi. Sanitasi lingkungan sehat secara tidak

langsung mempengaruhi kesehatan anak balita yang pada akhirnya dapat

mempengaruhi kondisi status gizi anak balita.

Hidayat dan Noviati Fuada (2011) dalam penelitian yang mereka lakukan

tentang hubungan sanitasi lingkungan, morbiditas dan status gizi balita di Indonesia,

mereka menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara sanitasi

Universitas Sumatera Utara


lingkungan sehat dengan status gizi anak balita berdasarkan indikator BB/U. Balita

yang tumbuh di lingkungan tidak sehat berpeluang satu kali lebih besar akan

mengalami status gizi buruk di bandingkan dengan balita yang normal atau status gizi

baik.

Fasilitas kesehatan sangat penting untuk menyokong status kesehatan dan gizi

anak. Fasilitas kesehatan harus mampu menampung dan menjangkau masyarakat di

daerah-daerah tertinggal. (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Penelitian dengan metode

kualitatif yang dilakukan oleh Sihotang (2012) pada Keluarga Mandah Di

Kecamatan Pauh Kabupaten Sarolangun Jambi, dari hasil wawancara yang semua

balita jarang dibawa ke Posyandu ataupun ke fasilitas kesehatan lainnya. Ada

beberapa alasan yang membuat balita tersebut jarang dibawa ke Posyandu yaitu

sebagai berikut : pertama adalah akses ke sarana pelayanan kesehatan. Keberadaan

lokasi mandah membuat keluarga kesulitan untuk sewaktu-waktu keluar untuk

sekadar membawa balita mereka menimbang ke Posyandu.

2.3.3 Masalah Utama Penyebab Gizi Buruk

2.3.3.1 Kemiskinan

Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa masalah kemiskinan adalah akar

dari masalah kekurangan gizi. Kemiskinan menyebabkan akses terhadap pangan di

rumah tangga sulit dicapai sehingga orang akan kekurangan berbagai zat gizi yang

dibutuhkan oleh tubuh. .(Menko Kesra RI, 2013)

Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah

sangat rawan terhadap gizi kurang. Mereka mengkonsumsi makanan (energi dan

Universitas Sumatera Utara


protein) lebih rendah dibandingkan anak-anak dari keluarga berada (Khomsan, 2003).

Hal ini terkait dengan kemampuan rumah tangga untuk menyediakan pangan yang

ditentukan oleh faktor ekonomi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Suiraoka dkk (2011) pada keluarga miskin dan tidak miskin di Kecamatan Denpasar

utara, dari hasil analisis mereka menunjukan ada perbedaan status gizi balita pada

keluarga miskin dan tidak miskin. Perbedaan ini dapat disebabkan berbagai faktor

misalnya penyebab langsung yaitu pada balita keluarga miskin asupan zat gizi lebih

rendah dibanding dengan balita keluarga tidak miskin demikian juga halnya dengan

keadaan sanitasi yang kurang baik pada keluarga miskin mengakibatkan terjadinya

penyakit infeksi.

Tingginya angka prevalensi underweight dan stunting akibat kekurangan gizi

erat kaitannya dengan masalah kemiskinan. Kemiskinan dapat menjadi penyebab

penting kekurangan gizi. Sebaliknya kekurang gizi dapat memiskinkan, anak kurus

dan pendek karena kurang gizi mudah sakit, kurang cerdas dan tidak produktif.

Keadaan ini berdampak rendahnya daya saing kerja, tingkat kerja dengan pendapatan

rendah yang dapat memiskinkan. Salah satu ciri kemiskinan adalah ketidak mampuan

untuk memperoleh makanan yang bergizi seimbang sehingga rentan terhadap

berbagai kekurangan gizi.(Menko Kesra RI, 2013)

2.3.3.2 Tingkat Pendapatan

Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang

anak, karena orangtua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer

seperti makanan maupun yang sekunder.(Adriani & Wirjatmadi, 2012)

Universitas Sumatera Utara


Pada penelitian yang juga dilakukan di Manggarai oleh Marut (2007), menyatakan

semakin tinggi pendapatan perkapita maka status gizi anak akan semakin baik. Faktor

pendapatan keluarga mempunyai peranan besar dalam masalah gizi dan kebiasaan

makan.

Tingkat pendapatan akan mempengaruhi pola kebiasaan makan yang

selanjutnya berperan dalam penyediaan prioritas penyediaan pangan berdasarkan nilai

ekonomi dan nilai gizinya. Bagi mereka dengan pendapatan yang sangat rendah

hanya dapat memenuhi kebutuhan pangan berupa sumber karbohidrat yang

merupakan pangan prioritas utama. Jika tingkat pendapatan meningkat maka pangan

merupakan prioritas kedua. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang

menyebabkan seseorang tidak mampu membeli pangan (Suhardjo, 2003).

2.3.3.3 Tingkat Pendidikan

Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam

tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka orangtua dapat

menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang

baik. Pendidikan formal dan informal diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan

gizi ibu. Hasil penelitian yang dilakukan di Sumatera barat oleh Saputra & Rahmah

HN (2013) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua semakin

kecil resiko anak balita terkena gizi buruk.

Pendidikan formal sangat diperlukan oleh ibu rumah tangga dalam

meningkatkan pengetahuan dalam upaya mengatur dan mengetahui hubungan antara

makanan dan kesehatan atau kebutuhan tubuh termasuk kebutuhan zat gizi bagi

Universitas Sumatera Utara


anggota keluarganya. Seorang ibu dengan pendidikan yang tinggi akan mendapat

akan dapat merencanakan menu makanan yang sehat dan bergizi bagi dirinya dan

keluarganya dalam upaya memenuhi zat gizi yang diperlukan. (Adriani &

Wirjatmadi, 2012)

Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Devi (2010) di 7 Provinsi di

Indonesia, bahwa persentase status gizi kurang lebih tinggi daripada status gizi baik

diderita balita dari ayah yang tidak bersekolah dan berpendidikan hanya sampai tamat

SD dan Sekolah Menengah Pertama. Tetapi berbeda dengan pendidikan ibu,

persentase gizi kurang lebih tinggi daripada status gizi baik pada balita dari ibu yang

berpendidikan hanya sampai tingkat SD dan ibu yang tidak bersekolah.

2.3.3.4 Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan ibu tentang cara memperlakukan bahan pangan dalam

pengolahan dengan tujuan membersihkan kotoran, tetapi sering kali dilakukan

berlebihan sehingga merusak dan mengurangi zat gizi yang dikandungnya.

Pengetahuan masyarakat tentang memanfaatkan potensi alam dan biologis untuk

meningkatkan mutu gizi menu makanan keluarga.

Widiastuti dkk (2013) dalam penelitian mereka menyimpulkan bahwa

pengetahuan ibu memiliki hubungan yang positif dengan status gizi balita usia 6-24

bulan, dimana ibu yang memiliki pengetahuan tinggi memiliki kemungkinan

balitanya memiliki status gizi di atas garis merah lebih besar daripada ibu dengan

kategori pengetahuan rendah. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang

Universitas Sumatera Utara


maka semakin diperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperoleh untuk

dikonsumsi.

Pengetahuan merupakan hasil tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan

pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan dapat diperoleh dari

pengalaman diri sendiri maupun pengalaman diri seseorang. Tata cara pemeliharaan

kesehatan dan pengetahuan tentang gizi meliputi: pemilihan bahan-bahan makanan

yang bergizi bagi kesehatan, manfaat makanan bergizi bagi kesehatan, pentingnya

olahraga bagi kesehatan, penyakit-penyakit atau bahaya-bahaya yang ditimbulkan

dari kurangnya asupan zat gizi, pentingnya istirahat yang cukup, rekreasi, relaksasi,

dan sebagainya, bagi kesehatan (Arisman, 2004).

Pengaruh Pengetahuan gizi dalam proses persepsi, sikap dan perilaku orang

atau masyarakat untuk mewujudkan kehidupan dengan status gizi yang baik, sebagai

bagian dalam kesehatan jasmani dan rohani. Pengetahuan gizi memegang peranan

penting dalam menggunakan pangan yang tepat. Pengetahuan tentang gizi juga dapat

diperoleh melalui media cetak, media elektronik, serta ceramah-ceramah dikelompok

sosial. Kurangnya pengetahuan gizi mengakibatkan berkurangnya kemampuan dalam

menerapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan salah satu

penyebab terjadinya gangguan gizi. Pengetahuan bahan makanan perlu sebagai dasar

untuk menyusun hidangan. Selain dipengaruhi besarnya pendapatan. Pendapatan dan

kebiasaan makan memegang peran penting dalam konsumsi bahan makanan

penduduk. Semakin tinggi taraf ekonomi seseorang, pola konsumsi terhadap bahan

makanan bisa berubah (Suhardjo, 2003).

Universitas Sumatera Utara


2.4 Pencegahan Gizi Buruk

Beberapa cara untuk mencegah terjadinya gizi buruk pada anak :

1. Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan. Setelah

itu, anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai pendamping ASI

yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun.

2. Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandunganprotein,

lemak, vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya: untuk lemak

minimal 10% dari total kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan

sisanya karbohidrat.

3. Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program

Posyandu. Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas. Jika

tidak sesuai, segera konsultasikan hal itu ke dokter.

4. Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada

petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang dari rumah

sakit.

5. Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori

yang tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk

proteinnya bisa diberikan setelah sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat

mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan vitamin

penting lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan hasil yang baik. Pada

kondisi yang sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan meningkatkan kondisi

kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan meninggalkan sisa

Universitas Sumatera Utara


gejala kelainan fisik yang permanen dan akan muncul masalah intelegensia di

kemudian hari.

2.5 Perawatan Gizi Buruk

Pengobatan gizi adalah :

1. Pada stadium ringan dengan perbaikan gizi.

2. Pengobatan pada stadium berat cenderung lebih kompleks karena masing-masing

penyakit harus diobati satu persatu. Penderitapun sebaiknya dirawat di Rumah

Sakit untuk mendapat perhatian medis secara penuh. (Lusa, 2009)

2.6 Landasan Teori

Masalah gizi merupakan akibat dari berbagai faktor yang saling terkait.

Terdapat dua faktor langsung yang mempengaruhi status gizi individu, yaitu faktor

makanan dan penyakit infeksi, keduanya saling mempengaruhi. Faktor lain yang

berpengaruh yaitu ketersedian pangan di keluarga. Semuanya itu terkait pada kualitas

pola asuh anak. Pola asuh, sanitasi lingkungan, akses pangan keluarga dan pelayanan

kesehatan, dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pendapatan dan akses informasi

terutama tentang gizi dan kesehatan pada gambar 1 dijelaskan penyebab masalah gizi

anak. (Unicef, 1998)

Universitas Sumatera Utara


STATUS GIZI

Asupan Penyakit Penyebab


Pangan/Gizi Infeksi Langsung

Ketersediaan Sanitasi & Penyebab tidak


Pola
Pangan Pelayanan Langsung
Asuh Kesehatan
Tk. RT

Kemiskinan, Pendidikan, dan Pengetahuan


Masalah
Rendah, Keterampilan, Ketersediaan
Pangan dan Kesempatan Kerja Utama

Krisis Politik, Sosial dan Ekonomi Akar Masalah

Gambar 2.1. Faktor yang Memengaruhi Status Gizi Anak Balita


(UNICEF, 1998)

2.7 Kerangka Pikir

Kerangka pikir penelitian saya tulis berdasarkan asumsi-asumsi yang

diperoleh dari survei awal yang dilakukan dan berdasarkan literatul-literatur

kepustakaan. Kerangka pikir ini mungkin akan mengalami perubahan dalam

pelaksanaan penelitian nantinya. Temuan-temuan baru mungkin akan muncul dalam

mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian gizi buruk di Kota

Lhokseumawe sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


Karakteristik Keluarga Pola Asuh

 Pendidikan  Pola Asuh Makan


 Pengetahuan  Pola Asuh Perawatan
 Pendapatan Kesehatan
 Pekerjaan  Pola Asuh Higiene dan
Sanitasi Lingkungan

Gizi Buruk

Gambar 2.2. Kerangka Pikir Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai