Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Status Gizi

1. Pengertian

Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variable

tertentu, merupakan indeks yang statis dan agregatif sifatnya kurang peka untuk melihat

terjadinya perubahan dalam waktu pendek misalnya bulanan (Suparias dkk, 2001). Status

gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang

digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, pertumbuhan otak,

kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi

kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat esensial

(Almatsier, 2002).

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi

secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transformasi, penyimpanan, metabolisme

dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan,

pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan energi. Status gizi

seseorang erat kaitannya dengan permasalahan kesehatan individu, karena disamping

faktor predisposisi yang dapat memperparah penyakit infeksi, juga dapat menyebabkan

terjadinya gangguan kesehatan (Supariasa dkk, 2001).

2. Klasifikasi

Klasifikasi status gizi sesuai baku rujukan Standar Deviasi (SD) menurut WHO

(Supariasa, 2001) yaitu :


a. BB/U (Berat badan menurut umur)

1) Gizi buruk : < -3 SD

2) Gizi kurang : -3 SD sampai -2 SD

3) Gizi baik : -2 SD sampai +2 SD

4) Gizi lebih : > +3 SD

b. TB/U (Tinggi Badan menurut Umur)

1) Normal : > -2 SD

2) Rendah : < -2 SD

c. BB/TB (Tinggi Badan menurut Berat Badan)

1) Kurus sekali : < -3 SD

2) Kurus : < -2 SD sampai -3 SD

3) Normal : -2 SD sampai +2 SD

4) Gemuk : > +2 SD

Klasifikasi lain menurut Husaini (1997) membagi tingkat status gizi berdasarkan

persen terhadap median yangn dijelaskan dalam tabel 1 :

Tabel 1 :
Klasifikasi status gizi menurut Supariasa (2002).
Status Gizi indeks
BB/U TB/U BB/TB
Gizi baik > 80 % > 90 % > 90 %
Gizi sedang 71 % - 80 % 81 % - 90 % 81 % - 90 %
Gizi kurang 61 % - 70 % 71 % - 80 % 71 % - 80 %
Gizi buruk < 60 % < 70 % < 70 %

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status gizi

a. Penyebab langsung

Menurut Ragil (2007) ada dua penyebab yang secara langsung dapat

mempengaruhi status gizi yaitu asupan makanan dan penyakit infeksi. Timbulnya gizi
kurang tidak hanya karena asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak

yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya akan

menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup

makan maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit.

Anak yang tidak mendapatkan imunisasi secara lengkap tidak memiliki kekebalan

tubuh terhadap serangan penyakit infeksi, sehingga anak akan jatuh sakit yang

mungkin akan menyebabkan turunnya status gizi. Hal ini karena penyakit infeksi

berhubungan erat satu sama lain, dan pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi

berupa penurunan status gizi pada anak.

b. Penyebab tidak langsung

Ragil (2007) menyebutkan bahwa ada tiga penyebab tidak langsung yang dapat

menyebabkan gizi kurang, yaitu ketahanan pangan keluarga, pola pengashan anak,

pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan.

1) Ketahanan pangan keluarga

Ketahanan pangan keluarga adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi

kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah cukup, baik jumlah

maupun mutu gizinya. Ketahanan pangan terkait dengan ketersediaan pangan

(baik dari hasil produksi sendiri maupun dari pasar atau sumber lain), harga

pangan dan daya beli keluarga serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.

2) Pola pengasuhan anak

Pola pengasuhan anak adalah kemampuan keluarga dam masyarakat untuk

menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak, agar dapat tumbuh

kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan social. Pola pengasuhan
anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya

dengan anak, memberikan makan, merawat, menjaga kebersihan, memberi kasih

sayang dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal

kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang

pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau di masyarakat, sifat

pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat dan sebagainya

dari sisi ibu atau pengasuh anak.

3) Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan

Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan adalah tersediaanya air

bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga

yang membutuhkan keterjangkauan anak dan keluarga terhadap air bersih dan

pelayanan kesehatan yang baik seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan,

pertolongan persalinan, penimbangan anak, pendidikan kesehatan anak dan gizi,

serta sarana kesehatan seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter

dan rumah sakit. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga serta makin

dekat dengan jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan

ditambah dengan pemahaman ibu tentang kesehatan, makin kecil resiko anak

terkena penyakit dan kekurangan gizi.

4. Penilaian Status Gizi

Setiadi (2007) menyebutkan ada dua cara dalam menilai status gizi yaitu secara

langsung dan tidak langsung.


a. Penilaian status gizi secara langsung

Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu

biofisik, klinis, biokimia, dan antropometri.

1) Biofisik

Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi

dengan melihat kemampuan fungsi dan melihat perubahan struktur dan jaringan.

Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja

epidemik.

2) Klinis

Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai

status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang

terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat

pada jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-

organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar toroid. Penggunaan

metode ini umumnya untuk survey klinis sacar tepat. Survey ini dirancang untuk

mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau

lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi

seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda dan gejala atau

riwayat penyakit.

3) Biokimia

Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang

diuji di laboratorium yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh.

Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa
jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan

bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi.

Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih

banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik.

4) Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari

sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam

pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan

tingkat gizi. Penggunaan antropometri digunakan untuk melihat

ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat

pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jarinangan tubuh seperti lemak, otot dan

jumlah air dalam tubuh. Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh

manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan

dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari

berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Penggunaan antropometri digunakan untuk

melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini

terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jarinangan tubuh seperti lemak,

otot dan jumlah air dalam tubuh.

Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu Barat Badan

menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan

menurut Tinggi Badan (BB/TB).


a) Berat Badan menurut Umur (BB/U)

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran

massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitive terhadap perubahan-perubahan

yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya

nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat

badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan

normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi

dan kebutuhan gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti

pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal, terdapat dua

kemungkinan perkembangan berat badan yaitu dapat berkembang cepat atau

lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini,

maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara

pengukuran status gizi.

Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih

menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status).


Standar antropometri untuk Berat Badan menurut Umur (BB/U) menurut

Suhardjo (1992) dijelaskan dalam tabel 2 :

Tabel 2 :
Standar antropometri untuk Berat Badan menurut Umur (BB/U)
menurut Suharjo (1992).
Umur Berat (kg)
(bulan) Standar 90 % 80 % 70 % 60 % standar
standar standar standar
12 9.9 8.9 7.9 6.9 6.0
13 10.2 9.1 8.1 7.1 6.2
14 10.4 9.35 8.3 7.3 6.3
15 10.6 9.5 8.5 7.4 6.4
16 10.8 9.7 8.7 7.6 6.6
17 11.0 9.9 8.9 7.8 6.7
18 11.3 10.1 9.0 7.9 6.8
19 11.5 10.3 9.2 8.1 7.0
20 1.7 10.5 9.4 8.2 7.1
21 11.9 10.7 9.6 8.3 7.2
22 12.05 10.9 9.7 8.4 7.3
23 12.3 11.1 9.8 8.6 7.4
24 12.4 11.2 9.9 8.7 7.5

Kelebihan indeks BB/U yaitu :

1) Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum.

2) Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis.

3) Sensitive terhadap perubahan-perubahan kecil.

4) Dapat mendeteksi kegemukan (over weigth).

Kekurangan indeks BB/U :

1) Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat edema

maupun asites.

2) Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak usia dibawah lima

tahun.

3) Sering terjadi kesalahan dalam penngukuran, seperti pengaruh pakaian atau

gerakan anak pada saat penimbangan.


b) Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan

pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan

pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relative

kurang sensitive terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek.

Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu

yang relatif lama.

Berdasarkan karakteristik tersebut diatas, maka indeks ini menggambarkan

status gizi masa lalu. Beaton dan bengoa (1973) menyatakan bahwa indeks TB/U

disamping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat

kaitannya dengan status sosial ekonomi.

Standar antropometri untuk Berat Badan menurut Umur (TB/U) menurut

Suhardjo (1992), dijelaskan pada tabel 3 :

Tabel 3 :
Standar antropometri untuk Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
menurut Suharjo (1992).
Umur Panjang (cm)
(bulan) Standar 90% 80 % 70 % 60 %
Standar Standar Standar Standar
12 74.7 67.2 59.58 52.3 44.8
13 76.0 68.3 60.7 53.1 45.4
14 77.1 69.3 61.6 54.0 46.2
15 78.1 70.3 62.4 54.6 46,.8
16 79.3 71.3 63.3 55.4 47.5
17 80.5 72.3 64.2 56.3 48.2
18 81.4 73.2 65.1 57.0 48.8
19 82.7 74.2 65.8 57.7 49.4
20 83.5 75.1 65.9 58.4 50.0
21 84.4 76.0 67.4 59.0 50.7
22 85.4 76.9 68.3 59.7 51.3
23 86.3 77.7 68.9 60.2 51.8
24 87.1 78.4 69.6 60.9 52.2
Kelebihan TB/U yaitu :

1) Baik untuk menilai status gizi masa lampau.

2) Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa.

Kekurangan TB/U yaitu :

1) Tinggi badan tidak cepat naik bahkan tidak mungkin turun.

2) Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak.

c) Tinggi Badan menurut Berat Badan (BB/TB)

Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam

keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan

tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Jellife pada tahun 1966 telah

memperkenalkan indeks ini untuk menagidentifikasi status gizi. Indeks BB/TB

merupakan indeks yang independent terhadap umur.

Kelebihan BB/TB yaitu :

1) Tidak memerlukan data umur.

2) Dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal dan kurus).

Kekurangan BB/TB yaitu :

1) Membutuhkan dua macam alat ukur.

2) Pengukuran relative lebih lama.

3) Membutuhkan dua orang untuk melakukannya.

4) Sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran, terutama bila

dilakukan oleh kelompok non professional.

d) Lingkar Lengan Atas menurut Umur (LLA/U)

Lingkar lengan ats merupakan gambaran tentang kejadian jaringan otot


dan lapisan lemak dibawah kulit. Lingkar lengan atas berkorelasi dengan indeks

BB/U maupun BB/TB. Lingkar lengan atas merupakan parameter antropometri

yang sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh tenaga yang bukan profesional.

Kader posyandu dapat melakukan pengukuran ini.

Lingkar lengan atas sebagaimana dengan berat badan merupakan

parameter yang labil, dan dapat berubah-ubah dengan cepat. Oleh karena itu,

lingkar lengan atas merupakan indeks status gizi saat ini. perkembangan lingkar

lengan atas yang besarnya hanya terlihat pada tahun pertama kehidupan (5,4 cm),

sedangkan pada umur 2 (dua) tahun sampai 5 (lima) tahun sangat kecil yaitu

kurang lebih 1,5 cm per tahun dan kurang sensitive untuk anak usia selanjutnya

(Jellife, 1966 dalam Supariasa, 2002).

Kelebihan indeks LLA/U yaitu :

1) Indikator yang baik untuk menilai KEP.

2) Alat ukur murah, sangat ringan dan dapat dibuat sendiri.

Kekurangan indeks LLA/U yaitu :

1) Hanya dapat mengidentifikasi anak dengan KEP berat.

2) Sulit untuk menentukan ambang batas.

3) Sulit digunakan untuk melihat pertumbuhan anak terutama anak usia 2 (dua)

sampai 5 ( lima) tahun.

b. Penilaian status gizi secara tidak langsung

Penilaian statuz gizi secara tidak lngsung dapat dibagii menjadi 3 (tiga) yaitu :

1) Survei konsumsi makanan

Survei konsumsi makanan adalah metode penilaian status gizi secara tidak
langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.

Pengumpulan data konsomsi makanan dapat memberikan gambaran tentang

konsusi berbgai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu.

2) Statistik vital

Pengukuran stztus gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis

dari beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka

kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang

berhubungan. Penggunaanya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak

langsung pengukuran status gizi masyarakat.

3) Faktor ekologi

Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa

faktor fisik, biologis, dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia

sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi, dan lain lain.

B. Imunisasi

1. Pengertian

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Anak diimunisasi, berarti

diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau resisten terhadap

suatu penyakit tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit lain (Notoatmojo, 2003).

Depkes (2000) mendefinisikan imunisasi sebagai upaya yang dilakukan dengan sengaja

memberikan kekebalan (imunitas) pada bayi atau anak sehingga terhindar dari penyakit.

Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan

upaya terpenting dalam pemeliharaan anak (Supartini, 2004).

Imunisasi adalah pemberian vaksin kepada seseorang untuk melindunginya dari


beberapa penyakit tertentu. Imunisasi merupakan upaya untuk mencegah penyakit lewat

peningkatan kekebalan tubuh seseorang. Selama ini, imunisasi lebih banyak diberikan

pad masa anak-anak (Ridwan, 2007).

2. Jenis Imunisasi dasar

Anak-anak diharuskan mendapat lima imunisasi dasar terhadap tujuh macam

penyakit yaitu TBC, Difteri, tetanus, batuk rejan (pertusis), polio, campak (measles,

morbili), dan hepatitis B. Sedangkan imunisasi terhadap penyakit lain seperti gondongan

(mumps), rubella, tifus, radang selaput otak (meningitis), hepatitis A, cacar air (chicken

pox, varicella), dan rabies tidak diwajibkan. Berikut ini macam imunisasi yang

diwajibkan oleh pemerintah antara lain :

a. Imunisasi BCG

Penyakit TBC disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis yang sebagian

besar menyerang masyarakat dengan kelas social ekonomi rendah, karena umumnya

masyarakat mengalami gangguan nutrisi sehingga daya tahan tubuhnya rendah.

Masyarakat dengan sosial ekonomi rendah tinggal di pemukiman dengan kepadatan

penduduk yang tinggi sehingga mudah terjadi penularan penyakit (Supartini, 2004).

Penularan penyakit TBC terhadap seorang anak dapat terjadi karena

terhirupnya percikan udara yang mengandung kuman TBC. Kuman ini dapat

menyerang berbagai organ tubuh, seperti paru-paru (paling sering terjadi), kelenjar

getah bening, tulang, sendi, ginjal, hati atau selaput otak (yang terberat) (Theophillus,

2000).

Imunisasi BCG diberikan pada umur 2 (dua) sampai 3 (tiga) bulan (dalam

masa inkubasi) karena imunitas yang diperlukan untuk penyakit tuberculosis terutama
adalah imunitas seluler, sedangkan imunitas seluler tidak diturunkan melewati

plasenta. Pada daerah-daerah bukan endemis tuberculosis, BCG dapat diberikan pada

umur yang lebih tua. Pedoman Departemen Kesehatan RI agar pemberian imunisasi

BCG sebaiknya dilakukan pada bayi baru lahir sampai usia 12 bulan, tetapi sebaiknya

dilakukan sebelum bayi berumur 2 (dua) bulan (Samik, 2002).

Imunisasi BCG cukup diberikan satu kali saja. Imunsasi ini berhasil jika

setelah beberapa minggu di tempat suntikan akan timbul benjolan kecil. Luka

suntikan akan meninggalkan bekas, maka pada bayi perempuan suntikan sebaiknya di

paha kanan atas. Setelah suntikan BCG diberikan biasanya bayi tidak menderita

demam (Theophillus, 2000).

b. Imunisasi DPT

DPT merupakan vaksin yang mengandung tiga elemen, yaitu

Corynebacterium difteriae (difteri), bakteri Bordetella pertusis dan Clostridium tetani

(tetanus) (Samik, 2002). Nama lain dari vaksinasi DPT adalah vaksinasi dipertet atau

tripel vaksin. Vaksinasi ini ditujukan untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit

difteri, pertusis dan tetanus (Effendi, 1998).

Kuman difteri sangat ganas dan mudah menular. Gejalanya adalah demam

tinggi dan tampak adanya selaput putih kotor pada tonsil (amandel) yang dengan

cepat meluas dan menutupi jalan napas. Selain itu racun yang dihasilkan kuman

difteri dapat menyerang otot jantung, ginjal dan beberapa serabut saraf. Racun dari

kuman tetanus merusak sel saraf pusat tulang belakang, mengakibatkan kejang dan

kaku seluruh tubuh. Pertusis (batuk 100 hari) cukup parah bila menyerang anak balita,

bahkan penyakit ini dapat menyebabkan kematian (Theophillus, 2000).


Vaksinasi DPT ini dapat diberikan kepada bayi sebanyak 3 (tiga) kali secara

beruntun. Yang pertama diberikan ketika bayi berumur dua bulan, dan yang kedua

diberikan ketika bayi sudah berumur tiga bulan, sedang yang ketiga diberikan setelah

setahun kemudian (Effendi, 1997). Pemberian imunisasi ini akan memberikan

kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu

bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan

bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat turun panas

(Theophillus, 2000).

c. Imunisasi Polio

Sesuai dengan namanya, penyebabnya adalah virus poliomyelitis yang

menyerang myelin atau serabut otot. Gejala awal tidak jelas, dapat timbul gejala

demam ringan dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), kemudian timbul gejala

paralysis yang mengenai sekelompok serabut otot sehingga timbul kelumpuhan

(Supartini, 2004).

Gejala yang umum terjadi akibat serangan virus polio adalah anak mendadak

lumpuh pada salah satu anggota geraknya setelah demam selama 2 (dua) sampai 5

hari (Theophillus, 2000). Biasanya kelupuhan terjadi pada bagian tungkai, salah satu

tungkai yang terserang virus polio ini akan menjadi kecil disebabkan otot-ototnya

mengalami degenerasi. Kelainan ini mengakibatkan penderita terganggu ketika

berjalan (Effendi, 1998).

Vaksinasi polio dapat diberikan pada bayi setelah beberapa waktu bayi

dilahirkan. Pemberiannya sebanyak empat kali secara beruntun dengan jarak waktu

satu bulan. Cara memberikan imunisasi polio adalah dengan meneteskan vaksin polio
sebanyak dua tetes langsung kedalam mulut anak atau dengan menggunakan sendok

yang dicampur dengan gula manis. Imunisasi ini tidak diberikan kepada anak yang

mengalami diare berat. Efek samping yang mungkin terjadi sangat minimal dapat

berupa kejang-kejang (Theophillus, 2000).

d. Imunisasi Campak (morbili, measles)

Campak adalah penyakit yang sangat menular yang dapat disebabkan oleh

sebuah virus yang bernama Virus Campak. Penularan melalui udara ataupun kontak

langsung dengan penderita. Penderita dapat menularkan penyakit sebelum dan

sesudah timbulnya ruam (bercak-bercak merah pada kulit). Bercak-bercak biasanya

mulai timbul setelah 3 (tiga) sampai 5 (lima) hari anak menderita demam, batuk atau

pilek. Bercak merah ini mula-mula tibul di pipi yang menjalar ke muka, tubuh dan

anggota badan. Bercak merah ini akan menjadi coklat kehitaman dan menghilang

dalam waktu 7 (tujuh) samapai 10 (sepuluh) hari (Theophillus, 2000).

Imunisasi diberikan anak usia 9 (sembilan) bulan dengan rasional kekebalan

dari ibu terhadap penyakit campak berangsur akan hilang sampai usia 9 (sembilan)

bulan. Komplikasi yang harus dicegah adalah otitis media, konjungtivitis berat,

enteritis, dan pneumonia, tyerlebih pada anak dengan status gizi buruk (Supartini,

2004).

Efek samping imunisasi campak diantaranya adalah demam tinggi yang

terjadi 8 (delapan) sampai 10 (sepuluh) hari setelah vaksinasi dan berlangsung selama

1 (satu) sampai 2 (dua) hari (Samik, 2002).

e. Imunisasi Hepatitis B

Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis B yang menyerang kelompok


resiko secara vertical, yaitu bayi dan ibu pengidap. Virus ini menyerang hati dan

dapat menjadi kronik atau menahun yang mungkin berkembang menjadi serosis

hepatic dan kanker hati dikemudian hari. Cara penularan hepatitis B dapat terjadi

melalui mulut, tranfusi darah dan jarum suntik (Supartini, 2004).

Imunisasi dasar hepatitis B diberikan 3 (kali) dengan tenggat waktu 1 (satu)

bulan antara suntikan pertama dan suntikan kedua, dan tenggang waktu 5 (lima) bulan

antara suntikan kedua dan ketiga. Imunisasi ulang diberikan 5 (lima) tahun setelah

pemberian imunisasi dasar. Imunisasi hepatitis B diberikan pada bayi usia 0 (nol)

sampai 11 (sebelas) bulan untuk memutus rantai penularan dari ibu ke bayi (Samik,

2002).

3. Jadwal Imunisasi Dasar

Jadwal imunisasi akan dijelaskan pada tabel 4:

Tabel 4 :
Jadwal imunisasi menurut IDAI (2004)
Imunisasi Umur Pemberian Imunisasi (dalam bulan)
0 1 2 3 4 5 6 9 12
BCG vkkkkkkkkkkkkkk
Hepatitis B 1 yyyyk
2 kkkiiiiii
3 kkkkkk
Polio 0 kkklk
1 kkkkk
2 kkkkkk
3 kkkkkk
DPT 1 kkkkkk
2 kkkkkk
3 kkkkkk
Campak kkkkk
C. Balita

1. Pengertian

Balita adalah kelompok anak usia dibawah lima tahun. Masa balita merupakan

periode penting dalam tumbuh kembang anak. Pertumbuhan dasar pada masa balita ini

akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Perkembangan

kemampuan bahasa, kreatifitas, kesadaran social, emosional dan intelegensinya berjalan

sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya (Soetjiningsih, 1995).

2. Klasifikasi

Lewer GH (1996) membagi tahap perkembangan untuk anak usia balita meliputi

usia bayi (0 - 1 tahun), usia bermain atau toddler (1 – 3 tahun), dan usia pra sekolah (3

– 5 tahun).

a. Usia bayi (0 – 1 tahun)

Bayi memiliki sistem kekebalan tubuh yang primitive dengan kekebalan pasif

yang didapat dari ibunya selama dalam kandungan. Pada saat bayi kontak dengan

antigen yang berbeda ia akan memperoleh antibodynya sendiri. Imunisasi diberikan

untuk memberi kekebalan terhadap penyakit-penyakit yang dapat membahayakan

bayi bila berhubungan secara alamiah (misalnya difteri dan batuk rejan) (Lewer,

1996).

Sementara itu bila dikaitkan dengan status gizi usia bayi memerlukan jenis

makanan ASI, susu formula, dan makanan padat. Kebutuhan kalori bayi antara 100-

200kkal/kg BB. Pada empat bulan pertama, bayi yang lebih baik hanya mendapat ASI

saja (ASI eklusif) tanpa diberikan susu formula. Usia lebih dari enam bulan baru

dapat diberikan makanan pendamping ASI (Suhardjo, 2007).


Pertumbuhan dan perkembangan pada usia bayi yang cepat yaitu aspek

kognitif, motorik dan sosial, juga pembentukan rasa percaya diri anak melalui

perhatian dan pemenuhan kebutuhan dasar dari orang tua.

b. Usia toddler (1-3 tahun)

Anak usia toddler telah mulai menghasilkan antibodinya sendiri untuk

melindungi dirinya dari beberapa infeksi. Program imunisasi harus dapat memberikan

perlindungan terhadap penyakit-penyakit yang parah (Lewer, 1996).

Imunisasi pada anak harus sudah diberikan sesuai anjuran, untuk melindungi

mereka dari infeksi pada masa anak-anak. Kekebalan bayi terhadap penyakit sekecil

apapun sampai sistem kekebalan berkembang sempurna. Mekanisme pengaturan

panas yang buruk dapat merupakan predisposisi mendapatkan penyakit infeksi. Anak

usia toddler meskipun lebih mampu mempertahankan suhu tubuh dengan fisiknya

dibandingkan usia bayi, namun masih beresiko kejang demam (Lewer, 1996).

Tahun kedua kehidupan merupakan umur penuh resiko karena dalam periode

ini banyak berkaitan dengan factor-faktor makanan, imunitas terhadap infeksi dan

ketergantungan psikologis. Menurut jellife (1987), secara fungsional biologis masa

umur 6 bulan hingga 2 atau 3 tahun adalah rawan. Masa itu penuh tantangan karena

konsumsi zat makanan yang kurang, disertai minuman buatan yang encer dan

terkontaminasi kuman menyebabkan diare dan marasmus. Selain itu dapat juga terjadi

sindrom kwashiorkor karena penghentian ASI yang mendadak dan pemberian

makanan padat yang kurang memadai. Imunitas pasif yanng diperoleh melalui ASI

(Air Susu Ibu) akan menurun dan kontak dengan lingkungan akan makin meningkat,
kejadian dari infeksi akan makin bertambah secara cepat dan menetap tinggi selama

tahun kedua dan ketiga kehidupan. Infeksi dan diet yang tidak adekuat akan tidak

banyak berpengaruh pada status gizi yang cukup baik (Akre, 1994). Bagi anak dengan

gizi kurang, setiap episode infeksi akan berlangsung lama dan mempunyai pengaruh

yang cukup besar pada kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan. Anak usia 1 – 3

tahun membutuhkan kalori kurang lebih 100 kkal/kg BB dan bahan mkanan lain yang

mengandung berbagai zat gizi (Supartini, 2004).

c. Usia Pra sekolah (3-5 tahun)

Pertumbuhan anak usia ini semakin lambat. Kebutuhan kalorinya adalah 85

kkl/kg BB. Karakteristik pemenuhan kebutuhan nutrisi pada usia pras ekolah yaitu

nafsu makan berkurang, anak lebih tertarik pada aktivitas bermain dengan teman atau

lingkungannya dari pada makan dan anak mulai sering mencoba jenis makanan yang

baru (Supartini, 2004).

Kenaikan ukuran pertumbuhan fisik selama tahu 3,4,5 bersifat tetap, yaitu

kenaikan berta badan kurang dari 2,0 Kg dan tinggi badan 6-8 cm per tahun.

Dibandingkan dengan bentuk tubuh sebelumnya kebanyakan anak prasekolah akan

menjadi lebih langsing. (Markum, 1991).


D. Kerangka Teori

Status Gizi
Anak

Penyebab langsung Penyebab tidak langsung


1. Asupan makanan 1. Ketahan pangan keluarga,
2. Infeksi 2. Pola pengasuhan anak,
3. Pelayanan kesehatan, dan
kesehatan lingkungan

Kemiskinan, kurang
pendidikan, kurang
keterampilan

Krisis ekonomi

Skema 1.
Faktor yang mempengaruhi status gizi anak
(disesuaikan dari bagan Unicef 1998, dari Soekirman,2000)

Status gizi seorang anak dapat dipengaruhi oleh dua hal yaitu asupan makanan yang

kurang dan adanya penyakit infeksi. Penyakit infeksi dapat meningkat karena dipengaruhi

oleh pelayanan kesehatan dan hygiene sanitasi yang kurang baik meliputi imunisasi dan

tindakan kuratif serta rehabilitatif. Secara tidak langsung imunisasi anak akan berpengaruh

terhadap status gizinya. Imunisasi yang diberikan secara lengkap diharapkan dapat

meningkatkan kekebalan anak dari penyakit infeksi sehingga status gizi anak dapat

meningkat. Seorang anak harus sudah lengkap imunisasinya pada usia 12 bulan (Supariasa

dkk, 2002).
E. Kerangka Konsep

Variabel Independent Variabel Dependent

Kelengkapan Imunisasi Status gizi


Dasar

Skema 2:
Kerangka Konsep Penelitian

F. Hipotesis

Adapun hipotesis yang dapat peneliti rumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut : Ada hubungan antara kelengkapan imunisasi dasar dengan status gizi pada anak usia

12 – 24 bulan di Desa Loning Kecamatan Petarukan Kabupaten Pemalang.

Anda mungkin juga menyukai