PENDAHULUAN
1
Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi balita dan manusia pada
umumnya . Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh
memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga
memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja
dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi
kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat 3 gizi
esensial. Baik pada status gizi kurang, maupun status gizi lebih terjadi
gangguan gizi (Almatsier, 2010)
Saat ini kasus BGM di masyarakat masih tinggi data tersebut diperoleh
dari laporan masyarakat, kader Posyandu, maupun kasus-kasus yang
langsung dibawa ke tempat-tempat pelayanan kesehatan yang ada, seperti
Puskesmas dan rumah sakit (Dinkes, 2013).Balita BGM tidak selalu berarti
menderita gizi buruk tapi dapat menjadi faktor awal bahwa balita tersebut
mengalami masalah gizi. Karena ada sebagian anak yang mempunyai berat
badan dibawah garis merah, pada pita kuning, dan ada juga yang terletak
pada pita hijau, tetapi garis pertumbuhan mereka mengikuti garis
pertumbuhan normal (Depkes,2002). Permasalahan yang dapat muncul pada
anak BGM merupakan masalah kesehatan masyarakat. (Supariasa, 2013)
2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, didapatkan rumusan masalah
berupa : ”Apakah ada hubungan tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu
tentang pemberian MP ASI, dengan kejadian BGM di puskesmas daerah
kedungmundu Semarang.
1.3 Tujuan
a. Tujuan umum
Mengetahui hubungan tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu tentang
pemberian MP ASI dengan kejadian BGM pada balita di Puskesmas
Kedungmundu. Kota Semarang.
b. Tujuan Khusus
1.) Mendiskripsikan tingkat pendidikan ibu.
2.) Mendiskripsikan tingkat pengetahuan ibu tentang pemberian makanan
tambahan (MP-ASI)
3.) Menganalisis hubungan tingkat pendidikan ibu dengan kejadian BGM
4.) Menganalisis hubungan pengetahuan ibu tentang kejadian BGM
1.4 Manfaat Penelitian
1. Masyarakat
a. Untuk memberikan gambaran kepada orang tua akan pentingnya memberikan
MP ASI sesuai umur balita.
b. Untuk menumbuhkan kesadaran orang tua agar memberikan MP ASI yang
tepat dan benar. Dengan cara memberikan edukasi kepada orang tua balita
c. Mengurangi terjadinya kejadian BGM yang berkelanjutan sampai ke gizi
buruk.
2. Tenaga kesehatan (Ahli gizi)
Memberikan masukan dalam rangka meningkatkan pengetahuan sehingga dapat
meningkatkan mutu, serta kualitas tenaga kesehatan .
3. Institusi pendidikan kesehatan
a. Sebagai tolak ukur kepada mahasiswa tentang sejauh mana dapat
melaksanakan tugas dalam pembuatan karya tulis ilmiah tentang Hubungan
tingkat pengetahuan dan pendidikan ibu tentang pemberian MPasi dengan
kejadian BGM pada balita di puskesmas didaerah kedungmundu semarang.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
1. Penilaian status gizi
Penilaian status gizi terdiri dari dua jenis, yaitu :
A. Penilaian langsung
a. Antropometri
Antropometri merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang
berhubungan dengan ukuran tubuh yang disesuaikan dengan umur dan
tingkat gizi seseorang. Pada umumnya antropometri mengukur
dimensi dan komposisi tubuh seseorang (Supariasa, 2001). Metode
antropometri sangat berguna untuk melihat ketidakseimbangan energi
dan protein. Akan tetapi, antropometri tidak dapat digunakan untuk
mengidentifikasi zat-zat gizi yang spesifik (Gibson, 2005).
b. Klinis
Pemeriksaan klinis merupakan cara penilaian status gizi
berdasarkan perubahan yang terjadi yang berhubungan erat dengan
kekurangan maupun kelebihan asupan zat gizi. Pemeriksaan klinis
dapat dilihat pada jaringan epitel yang terdapat di mata, kulit, rambut,
mukosa mulut, dan organ yang dekat dengan permukaan tubuh
(kelenjar tiroid) (Hartriyanti dan Triyanti, 2007)
c. Biokimia
Pemeriksaan biokimia disebut juga cara laboratorium.
Pemeriksaan biokimia pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi
adanya defisiensi zat gizi pada kasus yang lebih parah lagi, dimana
dilakukan pemeriksaan dalam suatu bahan biopsi sehingga dapat
diketahui kadar zat gizi atau adanya simpanan di jaringan yang paling
sensitif terhadap deplesi, uji ini disebut uji biokimia statis. Cara lain
adalah dengan menggunakan uji gangguan fungsional yang berfungsi
untuk mengukur besarnya konsekuensi fungsional daru suatu zat gizi
yang spesifik Untuk pemeriksaan biokimia sebaiknya digunakan
perpaduan antara uji biokimia statis dan uji gangguan fungsional
(Baliwati, 2004).
5
B. Penilaian Tidak Langsung
a. Survei Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan merupakan salah satu penilaian status
gizi dengan melihat jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh
individu maupun keluarga. Data yang didapat dapat berupa data
kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitatif dapat mengetahui
jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi, sedangkan data kualitatif
dapat diketahui frekuensi makan dan cara seseorang maupun keluarga
dalam memperoleh pangan sesuai dengan kebutuhan gizi (Baliwati,
2004).
b. Statistik Vital
Statistik vital merupakan salah satu metode penilaian status gizi
melalui data-data mengenai statistik kesehatan yang berhubungan
dengan gizi, seperti angka kematian menurut umur tertentu, angka
penyebab kesakitan dan kematian, statistik pelayanan kesehatan, dan
angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan kekurangan gizi
(Hartriyanti dan Triyanti, 2007). c. Faktor Ekologi Penilaian status gizi
dengan menggunakan faktor ekologi karena masalah gizi dapat terjadi
karena interaksi beberapa faktor ekologi, seperti faktor biologis, faktor
fisik, dan lingkungan budaya. Penilaian berdasarkan faktor ekologi
digunakan untuk mengetahui penyebab kejadian gizi salah (malnutrition)
di suatu masyarakat yang nantinya akan sangat berguna untuk
melakukan intervensi gizi (Supariasa, 2001).
2.2 BGM
a. Pengertian
Status BGM atau di bawah garis merah adalah keadaan kurang gizi
tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein
dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama. Tanda-
tanda klinis dari gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan marasmus,
kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor (WHO, 2005).
6
b. Faktor yang mempengaruhi terjadinya BGM pada Balita
a. Pendidikan ibu
Penelitian menunjukan sesuai dengan teori Suhardjo (2003) bahwa
tingkat pendidikan menentukan kemampuan seseorang dalam menyerap
dan memahami tentang pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Pendidikan
diperlukan agar seseorang lebih memahami dan tanggap terhadap masalah
gizi yang terjadi di dalam keluarga serta mampu mengambil tindakan
secepatnya. Hal ini didukung oleh Hidayat (2008) yang mengatakan bahwa
tingkat pendidikan berpengaruh pada pengetahuan akan mempengaruhi
konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan pangan dan Khomsan
(2007) mengatakan bahwa tingkat pendidikan ibu sangat berpengaruh
terhadap kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh keluarga
karena ibu memegang peranan penting dalam pengelolaan rumah tangga.
Ibu yang berpendidikan tinggi akan memiliki sikap yang positif terhadap
pemenuhan gizi sehingga kualitas dan kuantitas gizi yang dikonsumsi
keluarga akan semakin baik.
b. Pengetahuan ibu
Pengetahuan membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang
berperilaku sesuai dengan keyakinannya terebut. Pengetahuan gizi adalah
segala sesuatu yang diketahui seorang ibu tentang sikap dan perilaku
seseorang dalam memilih, mengolah, dan menyiapkan makanan (Harsiki,
2003).
7
Ibu yang mempunyai pengetahuan tentang makanan yang bergizi, cenderung
mempunyai anak dengan status gizi yang baik. Tingkat pengetahuan gizi ibu
akan berpengaruh terhadap sikap perawatan anak serta dalam perawatan
memilih makanan, Menurut Suharjo (1996)
Pengetahuan ibu tentang gizi seimbang sangatlah penting. Mengingat peran
ibu dalam keluarga sebagai pengelola makanan. Ibu yang tidak tau gizi
makanan, akan menghidangkan makanan yang tidak seimbang gizinya.
Berbagai faktor yang secara tidak langsung mendorong terjadinya gangguan
gizi terutama pada balita adalah ketidaktahuan akan hubungan makananan dan
kesehatan, prasangka buruk terhadap bahan makananan tertentu, adanya
kebiasaan atau pantangan yang merugikan, kesukaan yang berlebihan terhadap
suatu jenis makanan tertentu, keterbatasan penghasilan keluarga, dan jarak
kelahiran yang rapat (Marimbi, 2010)
faktor yang menyebabkan gangguan gizi adalah kurangnya
pengetahuan tentang gizi dan kemampuan untuk menerapkan informasi
tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Seluruh teori tersebut mendukung hasil
dari penelitian ini yang membuktikan bahwa rendahnya pengetahuan ibu dapat
menyebabkan masalah gizi pada balita Suhardjo (2005).
2.4 Pendidikan ibu
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan
perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan gizi yang lebih tinggi akan
memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan
menerapkan dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari khususnya dalam
kesehatan dan gizi (LIPI, 2000).
Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam
tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik, maka orangtua
dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan
anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya, pendidikan dan
sebagainya. Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting
dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka
orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara
pengasuhan anak yang baik, menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya, dan
sebagainya (Soetjiningsih.2007).
8
Pendidikan ibu merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat
diperlukan untuk mengembangkan diri. Tingkat pendidikan sangat
berpengaruh dalam merespon sesuatu yang datang dari luar, seperti sikap atau
penerimaan anjuran atau nasehat. Orang berpendidikan tidak akan
memberikan respon yang lebih rasional dibandingakn orang yang
berpendidikan rendah maupun yang tidak berpendidikan. Semakin tinggi
pendidikan semakin mudah mengembangkan pengetahuan dan tekhnologi
sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan keluarga
(Hapsari dkk, 2001).
2.5 Pemberian MP ASI
Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) adalah makanan atau
minuman yang mengandung zat gizi yang diberikan kepada bayi atau anak
yang berusia lebih dari 6 bulan guna memenuhi kebutuhan zat gizi selain dari
ASI. 4 Hal ini dikarenakan ASI hanya mampu memenuhi duapertiga
kebutuhan bayi pada usia 6-9 bulan, dan pada usia 9-12 bulan memenuhi
setengah dari kebutuhan bayi. 5 Dalam pemberian MP-ASI, yang perlu
diperhatikan adalah usia pemberian MP-ASI, jenis MPASI, frekuensi dalam
pemberian MP-ASI, porsi pemberian MP-ASI, dan cara pemberian MP-ASI
pada tahap awal. Pemberian MP-ASI yang tepat diharapkan.
(Simanjuntak,2007)
Jenis-jenis MP ASI 6 -36 bulan
Seperti kentang, apel, pisang, avokad, atau melon. Anda juga dapat
memberikan bubur atau nasi yang dihaluskan. Semua diberikan di samping
pemberian ASI. Jika bayi sudah terbiasa dengan buah dan sayur, Anda dapat
memberikan jenis makanan lain yang dihaluskan, misalnya daging ayam, ikan,
roti, atau telur dalam bentuk lunak tidak keras mudah dicerna.
a. Frekuensi pemberian MP ASI
Sebuah penelitian di Semarang menunjukkan bahwa jenis kepadatan
MP-ASI yang diberikan sesuai umur berhubungan erat dengan status gizi.
Selain itu pada penelitian yang sama juga ditunjukkan bahwa ada
hubungan antara frekuensi pemberian MP-ASI dengan status gizi6 .
Penelitian yang dilakukan Simanjuntak (2007)
Frekuensi pemberian MP-ASI hanya 3 kali per hari.
Ketidaksesuaian ini terjadi karena ibu tidak membuat jadwal pemberian
9
MP-ASI yang baik menurut kebutuhan bayinya. Pengaruh frekuensi dalam
pemberian MP-ASI yaitu jika frekuensi pemberian kurang akan berakibat
kebutuhan gizi anak tidak terpenuhi, dan jika berlebihan akan
mengakibatkan bayi mendapatkan zat gizi yang berlebihan. Menurut
Depkes-RI (2006),
Kurangnya frekuensi pemberian MP-ASI dalam sehari akan
berakibat gizi anak tidak terpenuhi, dan pemberian MP-ASI yang melebihi
frekuensi pemberian akan mengarah pada gizi lebih. Simanjuntak (2007)
b. Bentuk menu yang diberikan yang kepada balita
Pada anak usia 6-12 bulan, selain ASI, bayi mulai bisa diberi
makanan pendamping ASI, karena pada usia itu bayi sudah mempunyai
refleks mengunyah dengan pencernaan yang lebih kuat. Dalam pemberian
makanan bayi perlu diperhatikan ketepatan waktu pemberian, frekuensi,
jenis, jumlah bahan makanan, dan cara pembuatannya.
MP-ASI yang diberikan pada anak harus bertahap kepadatannya
disesuaikan dengan perkembangan umurnya sebab hal ini disesuaikan
dengan keadaan fisiologis bayi.7 Jenis makanan yang cocok untuk bayi
usia 0-6 bulan hanyalah ASI. Pemberian makanan tambahan pada anak
usia dini yang tidak sesuai umurnya bisa menyebabkan beberapa akibat,
diantaranya infeksi, kenaikan berat badan (obesitas), dan alergi terhadap
makanan tertentu. Simanjuntak (2007)
c. Cara pemberian sesuai usia balita
Pemberian makanan tambahan pada Balita yang tidak sesuai dengan
umurnya bisa menyebabkan beberapa akibat, diantaranya infeksi, kenaikan
berat badan (obesitas), dan alergi terhadap makanan tertentu. MP-ASI
harus diberikan sesuai umurnya. anak usia 6 bulan MP-ASI yang sesuai
adalah bubur susu. Simanjuntak (2007)
10
2.6 Kerangka teori
Pengetahuan ibu
1. Jenis MP ASI
Kejadian BGM
2. Frekuensi pemberian MP
ASI
3. Bentuk menu MP ASI
4. Pemberian MP ASI sesuai
umur
11
2.7 Kerangka konsep
Kejadian BGM
Pengetahuan ibu
tentang pemberian MP
ASI
2.8 Hipotesis
a. Ada hubungan tingkat pendidikan ibu dengan kejadian BGM pada balita di
puskesmas kedungmundu semarang.
b. Ada hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian BGM pada balita di
puskesmas kedungmundu semarang.
12
BAB III
METODE PENELITIAN
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini menggunakan kriteria Inklusi dan Eklusi. Di
terangkan sebagai berikut
Inklusi ;
a. Balita umur 6-36 bulan
b. Yang bersedia jadi responden
Eklusi :
a. Pindah alamat
13
3.4 Jenis Dan Cara Pengambilan Data
1. Data primer
a. Identitas responden meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan di dapat dengan cara mengisi kuisioner yang dibagikan.
b. Jenis MP ASI yang diberikan kepada balita : di dapat dengan cara melakukan
Recall 3 x 24 jam.
c. Mengukur prngetahuan ibu tentang pemberian MP ASI: di dapat dengan cara
mengisi kuisioner yang dibagikan.
d. Data antropometri : dengan pengukuran BB/U
2. Data sekunder
Data jumlah Balita terbanyak di puskesmas kedungmundu Semarang.
14
DEFINISI OPERASIONAL
15
DAFTAR PUSTAKA
Baliwati,Y,F.(2004). Upaya perbaikan gizi masyarakat di pedesaan kasus di Desa tegal panjang
Kecamatan cariu kabupaten Bogor, Tesis,IPB
Depkes RI. 2005. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan intervensi Dini Tumbuh Depkes RI
Harsiki, T. (2003). Hubungan Pola Asuh Anak dengan Keadaan Gizi Anak Batita Keluarga Miskin di
Pedesaan dan Perkotaan Propinsi Sumatra Barat. Tesis Universitas Indonesia
Hidayat, A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba
Medika.
Istiari. (2000). Teori Pengetahuan dan Sikap. Jakarta: Rhineka Cipta.
Khomsan, A. (2007). Study Implementasi Program Gizi: Pemanfaatan Cakupan Keefektifan dan
Dampak Terhadap Status Gizi. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat Insitut
Pertanian Bogor.
Notoadmodjo S. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta: PT Rineka Cipta; 2007.
Rahmawati, S. 2010. Hubungan Antara Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Seimbang dengan Status Gizi
Balita (1-5 tahun )di Desa Sumurgeneng Wilayah Kerja Puskesmas Jenu-Tuban.
Stikes Nu Tuban.
Samsul. 2011. Dampak Gizi Buruk Bagi Anak-anak penerus bangsa.
http:samsuljoker.blogspot.com.Diakses pada tanggal 10 Oktober
Supriasa., Bachyar, Bakri., Ibnu, Fajar., 2001. Penilaian Status Gizi. EGC: Jakarta. (Sulystyorini, 2007).
Pola asuh anak. 20 (3)
Suhardjo. 2007. Pemberian Makanan pada Bayi dan Anak. Yogyakarta: Kasinius
16