Anda di halaman 1dari 25

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Pengetahuan Gizi Ibu
Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta
interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi dapat
diperoleh dengan melihat, mendengar sendiri atau melalui alat-alat komunikasi, seperti
membaca surat kabar dan majalah, mendengar siaran radio dan menyaksikan siaran
televisi ataupun penyuluhan gizi, baik melalui pendidikan formal maupun informal.
Pengetahuan gizi menjadi landasan penting yang menentukan konsumsi pangan rumah
tangga individu agar dapat tercukupi dengan baik karena individu yang berpengetahuan
gizi baik mempunyai kemampuan untuk menerapkan pengetahuan gizinya didalam
pemilihan maupun pengolahan pangan (Suhardjo, 2003; Khomsan, 2000).
Ibu berperan penting dalam pendampingan proses perkembangan anak termasuk
hal pemilihan makanan yang tepat sesuai dengan kebutuhan anak. Ibu merupakan
pelaku utama dalam keluarga pada proses pengambilan keputusan terutama yang
berhubungan dengan konsumsi pangan. Termasuk pada anak autis, pemberian makanan
yang tepat harus sesuai dengan diet yang dianjurkan dan sesuai dengan kebutuhan anak,
sehingga anak mendapatkan gizi yang cukup. Ibu harus bisa memilah dan memilih jenis
makanan yang diolahnya, bukan hanya dari segi kualitas tetapi juga kandungan gizi
yang ada di dalam bahan makanan tersebut. Dengan memiliki pengetahuan gizi
khusunya gizi yang dibutuhkan bagi anak autisme maka ibu dapat menyusun pola
konsumsi makanan yang baik bagi anak autisme. Ibu harus bersikap lebih selektif dalam
mengatur pola makan bagi anaknya dan dapat dengan tegas melarang atau
memperbolehkan si anak untuk mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Selain itu sikap
ibu dan pola asuh ibu juga berpengaruh dalam proses pemberian dan pemilihan
makanan yang tepat sesuai dengan kebutuhan anak autisme (Mashabi dan Tajudin,
2009).
Sesuai penelitian Mashabi dan Tajudin (2009) terdapat hubungan positif antara
pengetahuan gizi ibu dengan pola makan anak autis, yang berarti bahwa meningkatnya
commit
pengetahuan gizi ibu akan meningkatkan pula to user
pola makan anak autis. Berbeda dengan

7
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

penelitian Martiani et al. (2012) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
pengetahuan orang tua tentang autisme dengan pola konsumsi gluten dan kasein pada
anak autis. Hal ini dapat terjadi karena orang tua memiliki tingkat pengetahuan tinggi
tetapi dalam pelaksanaan diit masih terdapat cukup banyak anak yang mempunyai pola
konsumsi gluten dan kasein yang tidak baik sehingga memberikan hasil yang tidak
signifikan. Cara memberikan makanan yang baik kepada anak sangat terkait pendidikan
umum yang diterima ibu, pengetahuan tentang pengasuhan anak, serta kebiasaan
keluarga dan masyarakat setempat sehingga pada prakteknya ibu masih membiasakan
anak dengan pola makan yang biasa dilakukan oleh keluarga dan masyarakat (Mashabi
dan Tajudin, 2009; Martiani et al., 2012; Masitah et al., 2005).

2. Gluten
Gluten adalah protein yang bersifat khas yang terdapat pada tepung terigu, dan
dalam jumlah kecil dalam tepung serealia lainnya. Gluten terdiri dari dua komponen
protein yaitu gliadin dan glutein. Gandum/terigu, havermuth/oat, dan barley memiliki
protein yang secara alami yang tidak terdapat dibahan pangan lain yaitu gluten. Pada
tepung terigu mengandung gluten sebanyak 80% dari total protein. Untuk menghindari
konsumsi gluten, semua makanan yang bersal dari gandum dan barley harus dihindari
dan dianjurkan mengkonsumsi produk lain yang berasal dari beras, jagung, kedelai,
serta biji bunga matahari. Contoh makanan yang mengandung sumber gluten adalah
tepung terigu, havermouth/oat, sereal, biskuit, kraker, roti, mie, makaroni, spagetti, kue
kering, wafer, dan puding instan. (Mashabi dan Tajudin, 2009; Widya, 2012;
Ambarwati et al., 2014; Martiani et al., 2012).
Tidak semua orang dapat mengkonsumsi dan mencerna gluten dengan baik.
Individu yang memiliki alergi terhadap gluten, penderita Autism Spectrum Disorder
(ASD), dan penyandang celiac disease harus menghindari gluten agar tidak timbul
dampak buruk pada tubuh. Gluten berperan pada penyakit c e l i a c d i s e a s e melalui
jalur deamidasi gliadin. Akibat proses ini menyebabkan inflamasi pada mukosa usus,
atrofi vili usus halus, peningkatan permeabilitasusus, malabsorbsi makronutrien dan
mikronutrien, dan komplikasi celiac disease lainnya. Gejala pada anak autis
ditimbulkan karena gejala penyakit ini, sehingga penyakit autis tergolong dalam celiac
disease ( Yustisia, 2013; Biesiekierski etcommit to user
al., 2011).
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

3. Status Gizi
Status gizi adalah hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang masuk ke
dalam tubuh (nutrition intake) dengan kebutuhan tubuh (nutrition output) akan zat gizi
tersebut. Status gizi merupakan aspek yang dapat dipantau secara reguler dan terus
menerus, karena status gizi dapat dipakai sebagai cerminan kesehatan dan
mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan anak. Status gizi yang baik akan
mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan anak salah satunya dapat
meningkatkan kemampuan intelektual, sehingga anak sangat membutuhkan asupan
makanan yang bergizi untuk menunjang masa pertumbuhan dan perkembangan.
Sedangkan gizi lebih berhubungan langsung dengan kejadian obesitas yang memiliki
resiko tinggi untuk terkena penyakit diabetes tipe 2 dan hipertensi (Purwaningrum dan
Waardani, 2012; Handayani et al., 2012; Lestari, 2016).
Status gizi seseorang tidak selalu sama dari masa ke masa karena merupakan
interaksi dari berbagai faktor. Faktor yang secara langsung mempengaruhi status gizi
adalah konsumsi pangan dan status kesehatan. Konsumsi pangan, salah satunya
dipengaruhi oleh akses terhadap pangan. Menurut Owen et al. (2000), terdapat lima
faktor yang dapat mempengaruhi status gizi seseorang, yaitu faktor sosioekonomi,
perilaku, aktivitas fisik, pelayanan kesehatan, dan faktor genetik. Menurut kerangka
pikir UNICEF (1998) dalam WKNPG VII (2000), baik buruknya status gizi seseorang
disebabkan oleh beberapa faktor yang kemudian diklasifikasikan menjadi penyebab
langsung, tidak langsung, pokok masalah, dan akar masalah. Konsumsi pangan serta
adanya infeksi penyakit merupakan penyebab langsung yang dapat mempengaruhi
status gizi. Penyebab tidak langsung yang dapat mempengaruhi status gizi seseorang
dibagi menjadi 3 faktor, yaitu ketersediaan akses pangan, pola asuh, serta pelayanan
kesehatan. (Riyadi, 2001; Owen et al., 2000).
Penilaian status gizi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu penilaian status
gizi secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dibagi
menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Keunggulan
antropometri adalah prosedur sederhana, aman, dan bisa untuk sampel yang besar,
peralatan murah, mudah dibawa, tahan lama, akurat, dan dapat mendeteksi atau
commit dan
menggambarkan riwayat gizi di masa lampau to user
juga dapat mengevaluasi perubahan
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

status gizi pada periode tertentu. Kelemahan antropometri seperti tidak sensitif, faktor di
luar gizi dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri dan
lain-lain (Supariasa et al., 2001).
Untuk menentukan klasifikasi status gizi digunakan z-score sebagai batas
ambang kategori. Standar deviasi unit (z-score) digunakan untuk meneliti dan
memantau pertumbuhan serta mengetahui klasifikasi status gizi. Pertumbuhan (growth)
berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah ukuran atau dimensi tingkat
sel, organ maupun individu, bersifat kuantitatif sehingga bisa diukur dengan ukuran
berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur, tulang dan
keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh) (Marimbi, 2010).
Kategori ambang batas status gizi anak yaitu pada tabel di bawah ini :
Tabel 2.1 Kategori ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks
Indeks Kategori Ambang Batas
Status Gizi (Z-score)
Gizi Buruk < -3 SD
Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Gizi Kurang -3 SD sampai dengan <-2 SD
Anak umur 0-60 bulan Gizi Baik >2 SD
Gizi Lebih < -3 SD
Panjang Badan Menurut Umur (PB/U) Sangat Pendek < -3 SD
atau Pendek -3 SD sampai dengan <-2 SD
Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Anak umur 0-60 bulan Tinggi >2 SD
Berat Badan Menurut Panjang Badan Sangat Kurus < -3 SD
(BB/PB) atau Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
Berat Badan Menurut Tinggi Badan Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
(BB/TB) Gemuk >2 SD
Anak umur 0-60 bulan
Sangat Kurus < -3 SD
Indeks Masa Tubuh Menurut Umur
Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
(IMT/U)
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Anak umur 0-60 bulan
Gemuk >2 SD
Sangat Kurus < -3 SD
Indeks Masa Tubuh Menurut Umur Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
(IMT/U) Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Anak umur 5-18 tahun Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas >2 SD
Sumber : Kemenkes RI (2011)
Pengukuran berat badan terhadap umur (BB/U) dapat mendeteksi kelebihan
berat badan. Selain itu indeks BB/U lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh
commitstatus
masyarakat umum, bagus untuk mengukur to user
gizi akut, sangat sensitif terhadap
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

perubahan kecil. Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran
masa tubuh. Masa tubuh sangat sensitive terhadap perubahan-perubahan yang
mendadak seperti terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau
menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Pengukuran tinggi badan menurut umur
(TB/U) adalah indeks antropometri yang bagus untuk mengetahui status gizi masa
lampau, murah, mudah dibawa dan dibuat sendiri. Tinggi badan merupakan
antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal atau tulang. Tinggi
badan merupakan pengukuran yang kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi
dalam waktu singkat dibanding berat badan. Sementara kekurangan indeks TB/U adalah
ketepatan umur sulit diperkirakan, tinggi badan tidak pernah turun dan tidak cepat naik,
pengukuran sulit karena anak harus berdiri tegak serta membutuhkan 2 orang pengukur.
Pengukuran berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang
cocok untuk menilai status gizi saat ini karena merupakan indeks yang independen
terhadap umur. Berat badan memiliki hubungan yang searah dengan tinggi badan dan
memiliki kecepatan pertumbuhan tertentu. Kelebihan indeks BB/TB yaitu tidak perlu
data umur, dapat membedakan proporsi badan. Sementara kekurangan indeks BB/TB
yaitu membutuhkan dua jenis alat ukur, pengukuran lebih lama (Supariasa et al. , 2002).
Pengukuran indeks masa tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) adalah
pengukuran yang direkomendasikan untuk mengukur status gizi anak-anak. Pengukuran
IMT dilakukan dengan cara membagi nilai berat badan (kg) dengan nilai kuadrat dari
tinggi badan dalam meter. Nilai ini kemudian diplot pada kurva pertumbuhan anak,
yang disesuaikan dengan jenis kelamin dan usia anak. IMT merupakan meode yang
mudah dan paling banyak digunakan di seluruh dunia untuk menilai timbunan lemak
yang berlebihan di dalam tubuh secara tidak langsung (Wahyu, 2009).

4. Serat
Serat pangan (dietary fiber) tersusun dari karbohidrat yang merupakan bagian
dari tumbuhan yang dapat dikonsumsi dan memiliki sifat resistan terhadap proses
pencernaan dan penyerapan di usus halus manusia serta mengalami fermentasi sebagian
atau keseluruhan di usus besar. Serat pangan adalah sisa dari dinding sel tumbuhan yang
tidak terhidrolisis atau tercerna oleh enzim pencernaan manusia yaitu meliputi selulosa,
commit
hemiselulosa, oligosakarida, lignin, pektin, to user
gum, dan lapisan lilin. Serat tidak dapat
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

dicerna oleh enzim-enzim dalam saluran pencernaan manusia, namun dalam usus besar
terdapat beberapa bakteri yang dapat mencerna serat menjadi komponen serat sehingga
produk yang dilepas dapat diserap ke dalam tubuh dan dapat digunakan sebagai sumber
energi (Santoso, 2011; Amry, 2013).
Secara umum, serat pangan terbagi menjadi dua berdasarkan kelarutannya dalam
air, yaitu serat larut (soluble fiber) dan serat tidak larut (insoluble fiber). Soluble fiber
adalah jenis serat yang dapat larut dalam air, sehingga dapat melewati usus halus
dengan mudah dan difermentasi di mikroflora usus besar. Yang termasuk dalam soluble
fiber adalah pectin, gum dan beberapa jenis hemiselulosa yang merupakan bagian dari
sel pangan nabati. Serat ini banyak terdapat pada buah dan sayur. Sedangkan insoluble
fiber adalah jenis serat yang tidak dapat larut dalam air. Jenis serat ini tidak dapat
membentuk gel ketika melewati usus halus dan sulit difermentasi oleh mikroflora usus
besar manusia, contoh dari serat insoluble adalah lignin, selulosa dan hemiselulosa yang
banyak terdapat pada serealia, kacang-kacangan, dan sayuran (Lattimer dan Haub, 2010;
Santoso, 2011).
Serat makanan bersifat hidrofilik atau pembentuk masa. Peningkatan volume di
usus yang berkaitan dengan bahan padat dan air yang akan menstimulasi motilitas dan
peningkatan transit isi usus melalui kolon, sehingga meningkatkan volume feses yang
dikeluarkan. Efektivitas serat makanan sebagai bahan pembentuk masa tergantung pada
jumlah, kemampuan mengikat air, banyaknya penghancuran oleh proses fermentasi
bakteri dan efektivitas produk fermentasi yang dapat meningkatkan efek laksatif. Serat
makanan memiliki kemampuan mengikat air di dalam kolon membuat volume feses
menjadi lebih besar dan akan merangsang saraf pada rektum sehingga menimbulkan
keinginan untuk defekasi. Pengaruh yang telah dibuktikan adalah bertambahnya volume
feses, melunakkan konsistensi feses dan memperpendek waktu transit di usus (Pijpers et
al., 2010; Amry, 2013).
Kekurangan dan kelebihan serat dapat memberikan dampak negatif bagi tubuh.
Konsumsi serat berlebihan akan berdampak terhadap penyerapan mineral seperti besi,
seng dan magnesium, sedangkan asupan serat yang rendah dapat mengakibatkan
gangguan kolon seperti konstipasi. Konsumsi serat yang cukup akan memberi bentuk,
meningkatkan air dalam feses, menghasilkan feses yang tidak keras (lunak) sehingga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

hanya dengan kontraksi otot yang rendah feses dapat dikeluarkan dengan lancar. Hal ini
berdampak pada fungsi gastrointestinal lebih baik dan sehat (Khomsan, 2008).
Asupan serat makanan harian untuk anak yang direkomendasikan oleh American
Academy of Pediatrics (AAP) adalah dari 0,5-35 gram/kilogram berat badan per hari.
Kebutuhan serat berdasarkan rekomendasi tersebut terlalu besar bagi anak usia muda
sehingga diperbaharui kembali berdasarkan usia. Menurut American Health Foundation
untuk anak di atas usia 2 tahun minimal diberi diet serat dengan formula usia + 5 g/hari
dan maksimal usia + 10 g/hari, namun beberapa penelitian menyatakan saat ini asupan
serat makanan pada anak di negara maju dan berkembang tidak sesuai dengan
rekomendasi (Lee et al., 2008).
Angka kecukupan serat pada anak berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG)
tahun 2013 yang dikelompokkan menurut usia dan jenis kelamin, yaitu sebagai berikut :
Tabel 2.2. Angka kecukupan serat yang dianjurkan di Indonesia pada anak usia 1-18
tahun
Kelompok umur Kecukupan serat (g)
Anak
1-3 tahun 16
4-6 tahun 22
7-9 tahun 26
Laki-laki
10-12 tahun 30
13-15 tahun 35
16-18 tahun 37
Perempuan
10-12 tahun 28
13-15 tahun 30
16-18 tahun 30
Sumber : Kemenkes RI (2013)

5. Cairan
Air merupakan salah satu unsur gizi serta komponen utama dalam tubuh
manusia. Air sebagai salah satu zat gizi makro esensial mempunyai beberapa fungsi
antara lain untuk pelarut dan alat angkut, sebagai katalisator, pelumas, fasilitator
pertumbuhan, pengatur suhu tubuh dan peredam benturan. Air dinyatakan esensial
karena tubuh tidak dapat menghasilkan air untuk memenuhi kebutuhan tubuh, oleh
sebab itu air harus diperoleh dari luar tubuh. Cairan merupakan kebutuhan terpenting
commit to user
dari tubuh manusia karena hampir 90% penyusun tubuh manusia adalah air. Pada anak-
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

anak, air menyumbang hampir 60% berat badan (lebih dari 75% pada bayi usia kurang
dari 1 tahun) dan 77-78% volume otak. Sebesar 55%-60% berat tubuh pria dewasa
adalah air dan 50%-60% pada wanita dewasa. Kandungan air tubuh berbeda antar
manusia tergantung pada proporsi jaringan otot dan jaringan lemak (Armstrong, 2010;
Yuniastuti, 2008).
Konsumsi cairan yang ideal untuk memenuhi kebutuhan harian bagi tubuh
manusia adalah berdasarkan estimasi total jumlah air yang keluar dari dalam tubuh atau
sekitar 1 ml air untuk setiap 1 kkal konsumsi energi tubuh. Konsumsi cairan antara 8-10
gelas (1 gelas = 240 ml) dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pemenuhan kebutuhan
cairan 1 gelas per harinya, dengan estimasi sekitar 1.5 L cairan tubuh keluar melalui
urin, 500 ml melalui keluarnya keringat, 400 ml keluar dalam bentuk uap air melalui
proses respirasi (pernafasan) dan 100 ml keluar bersama dengan feses (tinja) (Kant dan
Graubard., 2010; Pijpers et al., 2010).
Angka kecukupan cairan pada anak berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG)
tahun 2013 yang dikelompokkan menurut usia dan jenis kelamin, yaitu sebagai berikut :
Tabel 2.3 Angka kecukupan cairan yang dianjurkan di Indonesia anak usia 1-18 tahun
Kelompok umur Kecukupan cairan (ml)
Anak
1-3 tahun 1200
4-6 tahun 1500
7-9 tahun 1900
Laki-laki
10-12 tahun 1800
13-15 tahun 2000
16-18 tahun 2200
Perempuan
10-12 tahun 1800
13-15 tahun 2000
16-18 tahun 2100
Sumber : Kemenkes RI (2013)
Semakin tubuh kekurangan air, gerak kolon menjadi semakin lambat dibagian
bawah agar tersedia lebih banyak waktu untuk penyerapan ulang cairan pada sisa
metabolisme. Proses pencegahan hilangnya air ini adalah sebuah mekanisme lain
pencadangan air oleh tubuh. Asupan cairan yang tidak adekuat meningkatkan risiko
feses keras, kering, dan susah dikeluarkan karena cairan berperan dalam menentukan
bentuk dan kosistensi feses. Feses menjadi keras serta tidak cukup air untuk mengalir
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

ketika gerakan di kolon menjadi lambat dan mukosa menyerap banyak air. Proses ini
mengakibatkan pengeluaran tinja akan menjadi sulit (Lee et al., 2008).
Faktor lain yang dapat memperlancar proses defekasi selain serat adalah asupan
cairan, karena jumlah cairan yang dikonsumsi akan mempengaruhi konsistensi feses.
Jumlah cairan yang dibutuhkan pada anak agar feses bertambah lunak diperkirakan 6-8
gelas per hari. Penambahan cairan pada kolon dan masa feses membuat pergerakan usus
menjadi lebih lembut dan mudah dilalui. Oleh karena ini penderita yang mengalami
konstipasi sebaiknya mengkonsumsi banyak cairan setiap hari yaitu sekitar tujuh gelas
setiap hari. Cairan memperlancar fungsi pencernaan, air berfungsi untuk mengangkut
nutrisi dan oksigen melalui darah yang akan segera dikirim ke sel- sel tubuh. Peran air
didalam tubuh sangatlah besar, karena air yang cukup juga akan membantu kerja organ-
organ pencernaan, membuat gerakan-gerakan usus menjadi lebih lancar dan feses pun
dikeluarkan dengan lebih lancar sehingga mencegah konstipasi (susah buang air besar)
(Amry, 2013; Lee et al., 2008).

6. Konstipasi
Konstipasi berasal dari bahasa Latin, yaitu “constipare” yang berarti
berkerumun. Menurut North American Society for Pediatric Gastroenterology
Hepatology and Nutrition (NAPSGAN) 2006, konstipasi adalah kelambatan atau
kesulitan dalam defekasi yang terjadi dalam 2 minggu atau lebih dan cukup membuat
pasien menderita. Konstipasi meliputi berkurangnya frekuensi defekasi atau
meningkatnya konsistensi feses yang menyebabkan nyeri saat defekasi. Sedangkan
konstipasi kronis didefinisikan sebagai gangguan gastrointestinal yang terdiri dari
defekasi kurang dari 3x/minggu, feses keras, dan ketidakmampuan mengeluarkan feses
yang keras maupun lunak yang berlangsung lebih dari 6 minggu. Untuk praktisnya,
seseorang dikatakan menderita konstipasi apabila ia tidak berhasil melakukan defekasi
dengan kekuatan sendiri, sakit saat berdefekasi atau telah terjadi inkontinensia akibat
penumpukan feses (Greenwald, 2010; Jurnalis et al., 2013).
Berdasarkan patofisiologis, konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi konstipasi
fungsional dan akibat kelainan struktural. Konstipasi fungsional berhubungan dengan
gangguan motilitas kolon atau anorectal, sedangkan konstipasi akibat kelainan struktural
commit
terjadi melalui proses obstruksi aliran tinja.to user
Sekitar 97% konstipasi pada anak
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

disebabkan oleh fungsional. Pada 137 anak India (tahun 2001-2006), 85% konstipasi
disebabkan oleh fungsional dan 15% karena kelainan organik. Beberapa penyebab
umum konstipasi adalah asupan serat dan cairan tidak memadai, kegagalan merespons
dorongan buang air besar, dehidrasi, dan kelemahan otot perut. Konstipasi pada anak
merupakan suatu keadaan yang perlu diperhatikan, karena sekitar 24% dapat menetap
hingga usia dewasa. Jika tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan berbagai hal
yang tidak diinginkan seperti enuresis, enkopresis, prolaps rectum, dan sakit perut
berulang. Konstipasi pada anak merupakan masalah dunia dengan prevalensi berkisar
antara 0,7-29,6%. Konstipasi ditemukan pada 3% anak usia prasekolah dan 1-2% anak
usia sekolah. Beberapa aspek yang berhubungan dengan pola defekasi adalah frekuensi
BAB, rasa nyeri ketika BAB, konsistensi feses, dan keluhan konstipasi (Khanna et al.,
2010; Ambarita et al., 2014; Endyarni dan Syarif, 2004).
Pada orang dewasa, buang air besar normal antara tiga kali setiap hari sampai
tiga kali setiap minggu. Frekuensi buang air besar pada anak-anak bervariasi
berdasarkan usia. Bayi yang minum ASI pada awalnya lebih sering buang air besar
dibandingkan bayi yang minum susu formula. Pada usia anak diatas tiga tahun rerata
buang air besar sebanyak dua kali per hari. Frekuensi normal buang air besar pada anak
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 2.4 Frekuensi normal buang air besar pada anak
Usia Defekasi/minggu Defekasi/hari
0-3 bulan
ASI 5-40 2,9
Formula 5-28 2,0
6-12 bulan 5-28 1,8
1-3 tahun 4-21 1,4
>3 tahun 3-14 1,0
Sumber : Jurnalis et al. (2013)
Keinginan berdefekasi muncul pertama kali pada saat tekanan rektum mencapai
18 mmHg, apabila mencapai 55 mmHg maka sfingter ani internus dan eksternus
melemas dan isi feses terdorong keluar. Ketika feses masuk rektum, distensi dinding
rektum menimbulkan sinyal aferen menyebar melalui pleksus mienterikus untuk
menimbulkan gelombang peristaltic dalam kolon desendens, sigmoid, rektum, dan
mendorong feses ke arah anus. Ketika gelombang peristaltik mendekati anus, sfingter
ani interni direlaksasi oleh sinyal penghambat dari pleksus mienterikus dan sfingter ani
commit to user
eksterni dalam keadaan sadar berelaksasi secara volunter sehingga terjadi defekasi. Jadi
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

sfingter melemas sewaktu rektum teregang. Sebelum tekanan yang melemaskan sfingter
ani eksternus tercapai, defekasi volunter dapat dicapai dengan secara volunter
melemaskan sfingter eksternus dan mengontraksikan otot-otot abdomen (mengejan).
Defekasi merupakan suatu reflex spinal yang dengan sadar dapat dihambat dengan
menjaga sfingter eksternus tetap berkontraksi atau melemaskan sfingter dan
megontraksikan otot abdomen. Sebenarnya stimulus dari pleksus mienterikus masih
lemah sebagai refleks defekasi, sehingga diperlukan refleks lain, yaitu refleks defekasi
parasimpatis (segmen sakral medulla spinalis) (Jurnalis et al., 2013).
Mekanisme terjadinya konstipasi disebabkan ketika makanan masuk ke dalam
kolon, kemudian kolon akan menyerap air dan membentuk bahan buangan sisa makanan
atau feses. Kontraksi otot kolon akan mendorong fases ini ke arah rektum. Begitu
mencapai rektum, fases akan berbentuk padat karena sebagian besar airnya telah
diserap. Feses yang keras dan kering pada konstipasi terjadi akibat kolon menyerap
terlalu banyak air sedangkan kontraksi otot kolon terlalu perlahan-lahan yang
menyebabkan fases bergerak ke arah kolon terlalu lama (Gieselman dan Mezoff, 2014)
Pada anak autis gejala yang terjadi bukan hanya berupa gangguan pada perilaku
saja namun juga ada gangguan pada sistem pencernaannya. Pada umumnya anak autis
sering mengalami diare dan sembelit yang sulit diatur, gangguan buang air besar, serta
gangguan pada saluran usus akibat asam lambung yang naik (Rahmadani, 2015).

7. Autisme
Definisi autis pada anak atau Autistic Spectrum Disorder (ASD) merupakan
gangguan perkembangan yang ditandai dengan gangguan komunikasi, gangguan
interaksi sosial, dan perilaku berulang. Sebagian besar anak autis sering memperlihatkan
perilaku seperti hiperaktif, menyakiti diri sendiri, suka bertepuk tangan berulang ulang,
suka mengamuk, tidak mampu dalam menatap lawan bicara. Perilaku-perilaku tersebut
disebabkan oleh berbagai faktor seperti umur, intelegensia, pola asuh orang tua,
intensitas terapi, pola konsumsi pangan dan lain sebagainya (Ratajczak, 2011; Yuwono,
2012).
Berbagai teori tentang autisme banyak dikemukakan berkaitan dengan faktor
genetik, disfungsi metabolik, gangguan perkembangan postnatal dan prenatal dan faktor
lingkungan (Kliegman, 2011). Sampai commit
saat ini to userbelum dapat dipastikan penyebab
masih
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

dari autisme, tetapi terdapat sejumlah teori yang mendukung terkait penyebab autisme,
antara lain sebagai berikut :
a. Genetik
Gangguan autistik diperkirakan sekitarr 90%, dicurigai adanya abnormalitas genetik
pada kromosom 7, 2 dan 15. Hasil penelitian pada keluarga dan anak kembar
menunjukkan adanya faktor genetik yang berperan dalam perkembangan autisme.
b. Faktor perinatal
Komplikasi perinatal yang cukup tinggi ditemukan pada anak-anak dengan gangguan
autistik, walaupun tidak ada komplikasi yang secara langsung dinyatakan sebagai
penyebab. Komplikasi yang sering dilaporkan adalah adanya perdarahan di
trisemester pertama dan adanya mekonium dalam cairan amnion lebih sering
ditemukan pada anak dengan gangguan autistik.
c. Faktor infeksi virus
Peningkatan gangguan autisme pada anak-anak dengan congenital rubella, herpes
simplex, ensefalitis, dan infeksi cytomegalovirus, membuat dugaan bahwa infeksi
virus tersebut juga turut berperan sebagai salah satu penyebab gangguan autistik.
d. Faktor imunologi
Terjadinya penurunan respon imun pada anak dengan gangguan autistik. Beberapa
bukti yang menyatakan bahwa inkompatibilitas antara ibu dan embrio/janin dapat
menyebabkan gangguan autistik
e. Neuroanatomi
Berbagai kondisi neuropatologi diduga dapat mendorong timbulnnya gangguan
perilaku pada anak-anak autistik, ada beberapa daerah di otak anak autistik yang
diduga mengalami disfungsi. Pada otak kecil ditemukan kelainan, terutama pada
lobus ke VI dan VII. Jumlah sel purkinje di otak kecil didapatkan sangat sedikit,
sehingga terjadi gangguan keseimbangan serotonin dan dopamine yang menyebabkan
gangguan impuls di otak. Pada lobus temporalis diperkirakan sebagai bagian penting
dalam otak yang mungkin abnormal. Berdasarkan laporan adanya sindroma yang
mirip gangguan autistik pada orang dengan kerusakan lobus temporalis. Jika daerah
temporalis rusak, perilaku sosial yang diharapkan menghilang, kegelisahan, perilaku
motorik berulang, dan kumpulan perilaku terbatas ditemukan. Ditemukan pula
commit
kelainan khas didaerah sistem limbik to user
yang disebut hipokamus dan amigdala.
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

Akibatnya terjadi gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi, perilaku aneh,
hiperaktif, gangguan sensoris, dan daya ingat pada anak-anak dengan gangguan
autistik (Nurhidayati, 2015.
Gangguan perilaku yang dialami anak autis digolongkan menjadi dua yaitu
perilaku defisit dan perilaku eksesif. Perilaku defisit adalah perilaku yang menimbulkan
gangguan bicara atau kurangnya perilaku sosial seperti tertawa atau menangis tanpa
sebab serta melamun. Perilaku eksesif adalah perilaku yang hiperaktif dan tantrum
seperti menjerit, menggigit, mencakar dan memukul serta menyakiti diri sendiri (self
abuse). Perilaku tersebut muncul karena berbagai sebab yang terkadang terkesan
sederhana dan terjadi secara tiba-tiba. Perilaku agresif pada anak autis berbeda dengan
anak normal karena terjadi secara berlebihan dan terkadang tanpa penyebab yang jelas
serta tiba-tiba. Perilaku agresif pada anak autis yang merupakan suatu tanda dari
gangguan, seperti temper tantrum, memberantakan benda, menggigit orang lain.
Perilaku tersebut diikuti dengan menyakiti diri sendiri seperti membenturkan kepala,
menarik rambut. Perilaku membahayakan tersebut merupakan akibat kurangnya
perasaan bahaya pada anak autis. Banyak anak autis yang memiliki peningkatan ambang
nyeri atau perubahan respon terhadap nyeri. Hal tersebut dikarenakan pada anak autis
terdapat gangguan fungsi sensori (Pratiwi dan Dieny, 2014; Yuwono, 2012).
Ada beberapa jenis tatalaksana terapi yang dapat dilakukan pada anak autis,
yaitu:
1. Terapi Intergrasi Sensoris
Integrasi Sensori berarti kemampuan untuk mengelolah dan mengartikan seluruh
rangsang sensoris yang diterima dari tubuh maupun lingkungan, dan kemudian
menghasilkan respon yang terarah. Terapi ini berguna untuk meningkatkan susunan
syaraf pusat, sehingga lebih mampu memperbaiki struktur dan fungsinya.
2. Terapi Bermain
Terapi bermain dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi, kemampuan bicara
dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain. Anak autisme membutuhkan
hubungan sosial dengan teman-teman sebayanya, maka dari itu anak penderita autis
bisa diberikan terapi bermain.
3. Terapi Perilaku dan metode Applied Behavioral Analysis (ABA)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

ABA adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive
reinforcement (hadiah/pujian) kepadanya atas pencapaian-pencapaian tertentu.
Dengan metode ini orang tua bisa mengukur sejauh mana perkembangan anak autis.
Terapi ini dikenal juga dengan istilah terapi perilaku. Terapi perilaku berupaya untuk
melakukan perubahan pada anak autis dalam arti perilaku yang berlebihan dikurang
dan menambah perilaku yang belum ada. Tujuan dari terapi ini adalah mengurangi
agresivitas pada anak autis, karena anak autis cenderung hiperaktif dan mudah
mengamuk. Selain itu terapi ini juga bertujuan menambahkan perilaku yang kurang
pada anak autis.
4. Terapi Fisik
Penderita autis biasanya mengalami gangguan syaraf motorik. Gejala yang terjadi
seperti jalan yang tidak kuat, atau bahkan belum bisa berjalan pada usia yang
seharusnya sudah bisa berjalan. Hal ini disebabkan karena anak-anak penderita autis
memiliki tonus otot yang lembek sehingga mengalami gejala seperti yang
dicontohkan di atas. Salah satu terapi yang bisa dilakukan orang tua adalah dengan
fisioterapi dan terapi integrasi sensoris.
5. Terapi Wicara
Terapi wicara ini akan melatih anak autistik dalam berkomunikasi dan berbahasa.
Terapi wicara dianggap sebagai terapi wajib bagi anak autis karena hampir semua
anak penderita autis memiliki kesulitan dalam berucap sehingga sulit berkomunikasi
dengan orang lain.
6. Terapi Musik
Terapi Musik adalah terapi yang menggunakan musik yang bersifat terapiutik guna
meningkatkan fungsi perilaku, sosial, fisik, dan psikologisyang mengalami
hambatan. Bagi anak autis musik penting untuk meningkatkan kesadaran akan
dirinya, mengurangi perilaku yang negatif yang tidak di harapkan, membuka
komunikasi, memusatkan perhatian, menciptakan hubungan sosial yang berpengaruh
positif pada pertumbuhan dan perkembangan positif.
7. Terapi Perkembangan
Terapi ini didasari oleh keadaan anak autis yang kebanyakan mengalami atau kurang
dalam kemampuan bersosialisasi. Yang termasuk jenis terapi perkembangan ini
commit
adalah pertama floortime yang dilakukan to orang
oleh user tua untuk membantu melakukan
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

interaksi dan kemampuan berbicara. Yang kedua adalah RDI (Relationship


developmental intervetion) yaitu mencoba untuk membantu anak menjalin interaksi
positif dengan orang lain, meskipun tanpa menggunakan bahasa. Yang ketiga adalah
sonrise, son-rise dan RDI disini adalah terapi untuk mempelajari minat anak,
kekuatannya dan perkembanganya, kemudian ditingkatkan pada kemampuan sosial,
emosional dan intelektualnya.
8. Terapi Visual
Terapi visual ini telah terbukti secara medis dapat meningkatkan kemampuan syaraf
penderita autis dan melatih komunikasi. Anak penderita autis secara umum lebih
mudah belajar dengan cara visual (visual learning). Misalnya dengan video game
atau dengan PECS (Picture Exchange Communication System), atau dengan visual-
visual lain.
9. Terapi Medikamentosa
Terapi ini disebut juga dengan terapi obat-obatan, terapi ini dilakukan dengan
pemberian obat-obatan oleh Dokter yang berwenang. Obat-obatan ini tidak bisa
menyembuhkan Autisme secara utuh, tetapi obat-obatan ini digunakan untuk
menghilangkan gejala autis. Dengan pemakaian obat dan intervensi dini untuk
mengobati anak autis akan cepat berhasil, bila keberhasilan sudah stabil obat bisa di
hentikan. Obat-obatan, dapat meliputi:
a. Antioksidan untuk menurunkan ROS,
b. Secretin, melatonin, oxytocin untuk memperbaiki ketidakseimbangan hormonal
c. Immunomodulator untuk mengatasi penurunan sistem imun,
d. Chelating agent untuk meringankan efek keracunan logam berat,
e. Antipsikotik untuk memperbaiki gangguan neurotransmiter monoaminergik,
f. Antiinflamasi pada kondisi neuroinflamasi kronik.
10. Terapi Melalui Makanan (Diet Teraphy)
Mengingat pasien autis memiliki kecenderungan alergi yang tinggi, pola makan
harus seimbang dan optimal, antara lain :
a. Penggunaan nutrisi bebas gluten dan casein
b. Omega-3
c. Suplementasi vitamin dan mineral (Kusnadi, 2015; Rahardja, 2015)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

Diketahui pada penderita autisme juga terdapat gangguan pencernaan yang


disebut leaky gut syndrome. Hal ini menyebabkan proses pencernaan menjadi tidak
sempurna karena adanya gangguan produksi enzim pencernaan sehingga mengakibatkan
protein-protein kompleks, yaitu gluten dan kasein, tidak dapat tercerna sempurna dan
berubah menjadi peptida. Pada orang normal gluten dan kasein akan dicerna secara
sempurna oleh proses kimiawi dan fisik menjadi asam amino tunggal dan diserap oleh
usus. Sedangkan pada anak autis proses pencernaan gluten dan casein berlangsung
secara tidak sempurna. Peptida tersebut masuk ke dalam darah dan dapat meracuni otak
karena dapat berfungsi sebagai false transmitter yang berikatan dengan reseptor opioid
dan memberikan efek terganggunya fungsi otak (persepsi, kognisi, emosi dan perilaku)
sama seperti efek morfin. Substansi alamiah yang serupa dengan morfin ini cenderung
meracuni dan mempengaruhi motivasi, emosi, persepsi, respon, dan perkembangan
normal dari otak penderita autisme. Opioid peptides menstimulasi sinaps saraf secara
berlebihan dan memblokir transmisi sinyal ke otak (Dewanti dan Machfud, 2014;
Nurhidayati, 2015).
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meringankan autisme di
antaranya adalah penanganan secara medis, terapi psikologis, tata laksana perilaku, dan
pemilihan bahan makanan yang dikonsumsi. Salah satu hal yang harus diperhatikan oleh
penderita autis adalah pemilihan jenis makanan. Pola makan pada anak autis harus
mengandung sejumlah zat gizi, terutama karbohidrat, protein dan kalsium yang tinggi
guna memenuhi kebutuhan fisiologik selama masa pertumbuhan dan perkembangan.
Diet yang biasa dilakukan untuk penderita autis diantaranya diet Gluten Free Casein
Free (GFCF), diet anti yeast/fermentasi dan intoleransi makanan berupa zat pengawet,
zat pewarna makanan dan zat penambah rasa makanan Karena beberapa jenis makanan
yang menyebabkan reaksi alergi pada anak autis seperti susu sapi, gandum, gula, coklat,
telur, kacang maupun ikan (Martiani et al., 2012; Pratiwi dan Dieny, 2014; Mashabi dan
Tajudin, 2009).

8. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Kejadian Konstipasi


Pola pengasuhan orang tua yang kurang tepat diketahui dapat mengganggu
kesehatan anak. Kebiasaan makan keluarga terbentuk dari peranan orang tua terutama
commit
ibu dalam mengatur makanan sang anak, to user
karena ibu merupakan pelaku utama dalam
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

keluarga pada proses pengambilan keputusan terutama yang berhubungan dengan


konsumsi pangan. Latar belakang pendidikan, pekerjaan, pendapatan maupun besar
keluarga berpengaruh terhadap pola konsumsi makanan keluarga, apalagi jika keluarga
tersebut memiliki anak autisme. Pola asuh makan keluarga meliputi pengaturan menu
keluarga, proses pemasakan, penyajian makanan, pendistribusian makanan serta
bagaiamana mengajarkan tata cara makan terhadap anak (Mashabi dan Tajudin, 2009;
Khomsan, 2013).
Kemampuan penanganan konstipasi yang optimal diperlukan pengetahuan dan
perilaku ibu terhadap penanganan konstipasi, seperti meningkatkan konsumsi makanan
mengandung serat dan memberikan pendidikan kepada anak untuk melakukan BAB
secara rutin dan tidak menahan BAB. Pemberian makanan berserat seperti buah dan
sayuran juga tidak diberikan secara rutin setiap hari oleh ibu, dikarenakan anak lebih
menyukai makanan cepat saji dari pada buah dan sayuran. Sikap orang tua serta
hubungan orang tua dan anak telah diakui sebagai pemicu utama keseluruhan
perkembangan perilaku, emosional dan kognitif anak. Pada penelitian Van Djik et al.
(2010) didapatkan bahwa sikap dan cara orang tua dalam mendidik merupakan faktor
penting yang berpengaruh terhadap anak yang mengalami masalah kesulitan buang air
besar atau konstipasi (Van Djik et al., 2010).

9. Hubungan Konsumsi Gluten dengan Kejadian Konstipasi


Konsumsi tinggi gluten mengakibatkan peptide tidak tercerna menjadi makanan
bagi bakteri patogen dan menggangu keseimbangan mikrobakteria usus yang berperan
dalam fermentasi feses. Fermentasi ini sangat mempengaruhi konsistensi feses karena
pada proses ini berperan dalam meningkatkan air dalam feses, menurunkan pH, dan
melunakkan feses. Bakteri anaerob berperan dalam proses fermentasi feses diantaranya
spesies bifidobacterium dan eubacterium. (Adams et al., 2011; Nazni et al., 2008).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Rahmah et al. (2015) menyatakan bahwa
sebanyak 70,97% anak autis masih mengonsumsi makanan sumber gluten. Konsumsi
gluten juga dapat menjadi salah satu pemicu konstipasi pada anak autis karena membuat
peptide yang tidak tercerna masuk ke dalam ileum dan usus besar, kemudian menjadi
makanan flora usus abnormal dan menimbulkan gangguan pencernaan. Pada orang
commit
normal, protein bisa diserap tubuh hanya to user
dalam bentuk asam amino. Penderita autis
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

tidak dapat mencerna gluten karena tidak mempunyai enzim utama DPP-IV
(dipeptidylpeptidase IV) untuk mencerna protein, akibatnya gluten belum dipecah
menjadi asam amino melainkan masih terdiri dari rangkaian beberapa asam amino yang
disebut peptide dan tidak bisa diserap tubuh karena ukurannya yang besar (Ambarwati
et al., 2014; Rahmah et al., 2015).

10. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Konstipasi


Berat badan anak yang berlebih (overweight atau obesitas) yang merupakan
faktor pencetus terjadinya konstipasi pada anak. Loening-Baucke pada studi retrospektif
melaporkan pada anak-anak konstipasi, dijumpai 22% memiliki status gizi obesitas
sedangkan pada kelompok kontrol yang obesitas hanya 11%. Peningkatan angka
prevalensi obesitas dapat diperoleh dari diet, tingkatan aktivitas, atau pengaruh hormon.
Perubahan pola makan seperti kurangnya mengkonsumsi makanan berserat,
aktivitas fisik yang berkurang dan iklan-iklan televisi yang merubah kebiasaan makan
pada anak merupakan penyebab penting terjadinya obesitas. Pashankar et al. pada studi
retrospektif menjelaskan bahwa obesitas memiliki hubungan yang kuat dengan kejadian
konstipasi, 41% anak obesitas mengalami konstipasi. Hal ini diperkuat oleh Fishman et
al pada studi cross sectional, didapati 23% anak obesitas mengalami konstipasi. Etiologi
konstipasi pada anak obesitas belum jelas diketahui. Fishman menjelaskan bahwa
perubahan hormon atau hiperglikemia berperan penting dalam terjadinya konstipasi
pada anak obesitas. Anak dengan obeitas memiliki kecendrungan mengalami konstipasi
fungsional. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya Loening-Baucke dan Fishman,
dimana didapati hubungan yang bermakna antara obesitas dengan kejadian kontipasi
fungsional pada anak (Fishman et al., 2004; Pashankar et al., 2005)

11. Hubungan Asupan Serat dengan Kejadian Konstipasi


Kurangnya asupan serat sering dikaitkan dengan kesulitan buang air besar atau
konstipasi. Sebab makanan yang rendah serat akan menyebabkan fases menjadi keras
dan kering sehingga untuk mengeluarkan fases tersebut dibutuhkan peningkatan tekanan
saluran cerna. Anak-anak penderita autis biasanya hanya menyukai makanan yang
sangat terbatas nilai gizinya. Bahkan hanya sebagian kecil penderita yang suka
commitlainnya,
mengkonsumsi sayuran dan makanan bergizi to user mungkin juga tidak mendapatkan
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

nutrisi yang cukup untuk kebutuhan otaknya karena ketidakmampuan penderita untuk
mencerna, menyerap, dan memfungsikan nutrisi yang masuk kedalam tubuhnya dengan
baik. Anak-anak dengan autisme sering digambarkan sebagai picky eaters atau selektif
dalam pemilihan makanan, menolak untuk mencoba atau makan berbagai makanan yang
baru. Perilaku pilih-pilih makanan tidak jarang terjadi pada anak-anak dalam masa
pertumbuhan baik normal atupun anak autis, pickiness (pilih-pilih makanan) pada anak
dengan gangguan autis karena jenis makanannya lebih sedikit dan sudah terbiasa sejak
usia dini yang makanannya sudah dibatasi (Ramadayanti dan Margawati, 2013; Cermak
et al., 2010).
Kejadian konstipasi sering dikaitkan dengan kurangnya asupan serat. Lee et al.
(2008) menemukan bahwa anak-anak pra sekolah dengan asupan serat yang rendah
secara signifikan menderita konstipasi dibandingkan rata-rata asupan serat anak yang
tidak konstipasi. Kokke et al. (2008) mengemukakan asupan rendah serat telah diakui
sebagai faktor risiko untuk konstipasi. Asupan serat makanan (umur+5 g) mengurangi
risiko konstipasi, tetapi peningkatan lebih lanjut dalam asupan serat tidak memiliki nilai
terapeutik. Pada penelitian Hertanti dan Wirawanni (2014) menyatakan sebanyak 63,3%
asupan serat pada anak autis termasuk kategori kurang dan mengidikasikan adanya
gejala konstipasi dengan 63,3% memiliki frekuensi defekasi <3x per minggu dan 73,3%
konsistensi tinja tergolong keras berdasarkan Bristol Scale termasuk tipe 1-3.
Berdasarkan penelitain Ambarita (2014) terdapat hubungan yang signifikan antara
asupan serat dengan konsistensi feses artinya semakin tercukupi asupan serat maka
membuat konsistensi feses menjadi lunak dan bervolume sehingga memungkinkan
untuk menurunkan transit time feses di dalam usus besar (Lee et al., 2008; Kokke et al.,
2008; Hertanti dan Wirawanni, 2014; Ambarita et al., 2014).

12. Hubungan Asupan Cairan dengan Kejadian Konstipasi


Semakin tubuh kekurangan air, gerak kolon akan menjadi semakin lambat agar
tersedia lebih banyak waktu untuk penyerapan ulang cairan pada sisa metabolisme.
Proses pencegahan hilangnya air ini adalah sebuah mekanisme lain pencadangan air
oleh tubuh. Salah satu bagian tubuh tempat hilangnya air akan dicegah selama
mekanisme pengelolaan kekeringan adalah kolon, melalui penyesuaian konsistensi dan
commit
kecepatan aliran bahan sisa. Feses menjadi to user
keras serta tidak cukup air untuk mengalir
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

ketika gerakan ampas metabolisme di kolon menjadi lambat dan mukosa menyerap
banyak air. Proses ini mengakibatkan pengeluaran tinja akan menjadi sulit. Kebiasaan
menahan buang air besar menyebabkan feses tertahan di kolon, akibatnya air pada feses
diserap oleh kolon sehingga menyebabkan feses kering dan keras dan menimbulkan rasa
nyeri ketika dikeluarkan (Pijpers et al., 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Kant dan Graubard (2010) menggunakan data
National Health and Nutrition Examination Surveys (NHANES) tahun 2005-2010,
menunjukkan bahwa rata-rata asupan air pada anak di Amerika lebih rendah daripada
kebutuhan tubuhnya. Asupan rata-rata air sebesar 1,6 liter untuk perempuan dan sebesar
1,7 liter untuk laki-laki. Penelitian Lee et al. (2008) didapatkan bahwa rata-rata asupan
cairan sehari-hari sedikitnya 7-8 gelas atau 1,5-2 liter per hari yang diperlukan untuk
menjaga dan mempertahankan konsistensi feses agar lebih lunak/lembek. Pendapat yang
sama juga dinyatakan oleh Rasquin et al. (2006) bahwa kecukupan asupan cairan
sedikitnya 2 liter sehari diperlukan untuk mempertahankan pola usus dan
mempertahankan konsistensi dari feses apabila asupan cairan kurang maka konsistensi
feses akan keras (Kant dan Graubard, 2010; Lee et al., 2008; Rasquin et al., 2006).

B. Penelitian yang Relevan


1. Gorrindo et al. (2012)
Judul : Gastrointestinal Dysfunction in Autism: Parental Report, Clinical
Evaluation, & Associated Factors
Metode : 121 anak dibagi menjadi 3 grup, yaitu Anak dengan gangguan autisme
dan pencernaan, anak dengan gangguan autisme saja, dan anak dengan gangguan
pencernaan saja. Kemudian orang tua dari ketiga grup melengkapi kuesioner
mengenai kebiasaan anak, gejala gangguan pencernaan, dan pola makan
Hasil : kejadian konstipasi pada anak dengan gangguan autisme saja (85%),
anak dengan gangguan pencernaan saja (44,4%), dan anak dengan gannguan
autisme dan pencernaan (20%)
2. Chaidez et al. (2014)
Judul : Gastrointestinal Problems in Children with Autism, Developmental
Delays or Typical Development
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

Metode : Peneltian dilakukan untuk membandingkan masalah pencernaan pada


anak yang menderita autism spectrum disorder (ASD), developmental delay
(DD) and (3) typical development (TD) dari 960 anak yang pernah diteliti pada
studi CHildhood Autism Risks from Genetics and Environment (CHARGE)
dengan menggunakan skor Aberrant Behavior Checklist (ABC)
Hasil : Masalah pencernaan lebih sering dialami pada anak dengan ASD dengan
masalah konstipasi 15,5%, diare 13%, nyeri ketika buang air besar 6,2%, buang
air besar berdarah 0,4%
3. Wessel et al. (2016)
Judul : Screening for autism identifies behavioral disorders in children
functional defecation disorders
Metode : Studi cohort yang dilakukan pada 127 anak usia 4-12 tahun yang
menderita FDD (Functional Defecation Disorder) di Nationwide Children’s
Hospital. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi kemudian dilakukan ASD
(Autism spectrum disorder) screening surveys dengan menggunakan metode
SRS (Social Responsiveness Scale) dan SCQ-L (Social Communication
Questionnaire–Lifetime).
Hasil : Dari 97 orang pasien yang masuk kriteria inklusi, sebanyak 16 anak
(16,5%) mengalami gejala gangguan perilaku dan tumbuh kembang, diantaranya
1 orang terdiagnosis ASD, 1 orang suspect ASD, dan sisanya mengalami
gangguan perilaku lainnya termasuk ADHD (Attention Deficit Hyperactivity
Disorder), ODD (Oppositional Defiant Disorder), anxiety disorders, OCD
(Obsessive Compulsive Disorder), dan Disruptive Behavior Disorder
4. Badalyan dan Schwartz (2011)
Judul : Feeding Problems And GI Dysfunction In Children With Asperger
Syndrome or Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified;
Comparison with Their Siblings
Metode : Merupakan penelitian case control dimana 64 anak dengan Asperger
syndrome (AS), 44 anak dengan Pervasive Developmental Disorder (PDD-
NOS), dan 82 orang saudara kandung yang normal. Kemudian dibandingkan
antara frekuensi kebiasaan makannya dan masalah gangguan pencernaan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

Hasil : anak dengan gangguan autisme dibandingkan dengan saudara


kandungnya yang normal memiliki gangguan pencernaa berupa konstipasi (29%
vs 6%), diare (11% vs 3%), nyeri perut (9% vs 4%), alergi makanan (25% vs
13%), celiac disease (4% vs 1%)
5. Hertanti dan Wirawanni (2014)
Judul : Hubungan frekuensi konsumsi gluten, kasein, dan asupan serat dengan
pola defekasi anak autis
Metode : Penelitian dilakukan pada anak autis usia 3-13 tahun di SLB Kasih
Bahagia dan SLB Negeri kota Tarakan. Metode pengukuran konsumsi makanan
menggunakan dietary history, dengan komponen recall 24 jam dan checklist
bahan makanan gluten dan kasein. Data pola defekasi meliputi frekuensi
defekasi dan konsistensi feses diukur dengan menggunakan buku harian pola
defekasi terstandar dikombinasikan dengan Bristol Scale
Hasil :
- Dari 30 subjek, sebanyak 19 subjek (63,3%) dengan frekuensi <3x per minggu
dan mengindikasikan adanya gejala konstipasi
- Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
antara asupan serat dengan frekuensi defekasi (r=0.468, p=0.009) dan sangat
signifikan dengan konsistensi feses (r=0.837, p=0.000), yang artinya semakin
tercukupi asupan serat maka frekuensi defekasi semakin normal dan
konsistensi feses lunak.
6. Ramadayanti dan Margawati (2013)
Judul : Perilaku Pemilihan Makanan dan Diet Bebas Gluten Bebas Kasein pada
Anak Autis
Metode : Penelitian dilakukan di SLB Negeri Semarang. Jenis data yang
dikumpulkan meliputi gambaran kepatuhan diet bebas gluten bebas kasein
dengan menggunakan food frequency semi qualitative (FFSQ) selama 3 bulan
terakhir dan menggunakan food recall 24 jam selama 3 hari secara tidak
berurutan untuk mengetahui kebiasaan makan anak autis dan asupan gizinya
Hasil :
- Berdasarkan hasil wawancara terdapat 47% informan tidak mengetahui istilah
commit
diet bebas gluten bebas kasein, to user
53% mengetahui pengertian diet bebas gluten
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

bebas kasein, 40% belum pernah menerapkan diet bebas gluten bebas kasein,
46,7% sudah menerapkan diet bebas gluten bebas kasein
- Gambaran asupan serat subjek berdasarkan hasil recall 24 jam sebanyak
46,6% memiliki asupan serat kategori kurang, 40% kategori lebih, dan 33,33%
kategori normal
- Semua subjek masih mengkonsumsi sumber gluten berupa tepung terigu
dengan rerata konsumsi 1,11 kali/minggu
7. Martiani et al. (2012)
Judul : Pengetahuan dan Sikap Orang Tua Hubungannya dengan Pola
Konsumsi dan Status Gizi Anak Autis
Metode : Data pengetahuan dan sikap orang tua terhadap anak autis
dikumpulkan dengan melakukan pengisian kuesioner pengetahuan dan sikap
orang tua, sedangkan pola makan dikumpulkan dengan food frequency
questionaire (FFQ)
Hasil : Hasil Fisher exact test menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
antara pengetahuan orang tua tentang autisme dengan pola konsumsi gluten dan
kasein pada anak autis (p>0,05). Hal ini dapat terjadi karena orang tua memiliki
tingkat pengetahuan tinggi tetapi dalam pelaksanaan diit masih terdapat cukup
banyak anak yang mempunyai pola konsumsi gluten dan kasein yang tidak baik
sehingga memberikan hasil yang tidak signifikan.
8. Rahmah et al. (2015)
Judul : Kepatuhan Orang Tua Tentang Diet Gluten Free dan Casein Free
dengan Perilaku Anak Autis
Metode : Konsumsi gluten dan kasein diukur dengan menggunakan formulir
food recall 24 jam, dan lembar observasi perilaku anak autis menggunakan
ATEC (Autism Treatment Evaluation Checklist). Dari daftar makanan dan
minuman yang dikonsumsi oleh anak autis akan dapat diketahui kepatuhan
orang tua dan diklasifikasikan menjadi patuh dan tidak patuh terhadap diet
gluten free dan casein free
Hasil : sebanyak 70,97% orang tua tidak patuh dalam menerapkan diet gluten
free dan casein free yang disebabkan faktor lingkungan yang tidak mendukung
commit to user
sepeti ketersediaann makanan mengandung gluten dan kasein.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 7

C. Kerangka Berpikir

Karakteristik ibu Pengetahuan Gizi Ibu


- usia
- pendidikan
Karakteristik anak autis
- pekerjaan Pola asuh makan
- pendapatan
- usia
anak autis
- jumlah anak - jenis kelamin

Diet ↑ lemak Asupan serat ↓

Pola Konsumsi Gluten Asupan Serat Asupan Cairan


Status Gizi

Peptide tidak tercerna Gizi lebih/obesitas Volume feses Konsistensi feses

Makanan bakteri patogen Jumlah sel Konsentrasi hormon


enterochromaffin ↓ motilin usus ↓
Mengganggu keseimbangan Feses keras Feses lunak
usus untuk fermentasi feses
Motilitas kolon ↓

Mempengaruhi Tidak konstipasi


Waktu transit Konstipasi
konsistensi feses
kolon lebih lambat

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu, Pola Konsumsi Gluten, Status Gizi, Asupan Serat, dan Asupan Cairan
dengan Kejadian Konstipasi pada Anak Penderita Autisme

Keterangan : Diteliti Tidak diteliti


perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

D. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
a. Ada hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan kejadian konstipasi pada anak
penderita autisme
b. Ada hubungan antara pola konsumsi gluten dengan kejadian konstipasi pada anak
penderita autisme
c. Ada hubungan antara satus gizi dengan kejadian konstipasi pada anak penderita
autisme
d. Ada hubungan antara asupan serat dengan kejadian konstipasi pada anak
penderita autisme
e. Ada hubungan antara asupan cairan dengan kejadian konstipasi pada anak
penderita autisme

commit to user

Anda mungkin juga menyukai