Anda di halaman 1dari 22

8

BAB II

KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kajian Teori

1. Stunting Pada Balita

Stunting merupakan salah satu indikator status gizi kronis yang

menggambarkan terhambatnya pertumbuhan terhambat akibat malnutrisi jangka

panjang. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi

Anak, pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks

panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) yang

ekivalen istilah kerdil (pendek) dan kerdil berat (sangat pendek). Zscore untuk

kategori pendek adalah -3 SD sampai dengan <-2 SD dan sangat pendek adalah <-3

SD (Depkes, 2010).

Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kurangya gizi

sehingga anak terlalu pendek untuk usianya atau otak tidak berkembang dengan baik.

Bayi yang kekurangan gizi kronis sejak dalam kandungan serta pada masa awal

kelahiran akan tampak mengalami stunting setelah balita tersebut berusia dua tahun.

Di indonesia stunting termasuk maslah gizi yang belum diselesaikan dan

menyebabkan terganggunya perkembangan fisik, daya kognitif anak, mental, serta

intelektual anak dalam jangka panjang. Anak yang mengalami stunting hingga batas

usia lima tahun akan sangat sulit diperbaiki dan berlanjut sampai dewasa. Hal ini

dapat meningkatkan resiko keturunan dengan berat badan lahir rendah.


9

Stunting dapat menghambat pertumbuhan linier. Terganggunya pertumbuhan

balita disebabkan karna tidak memadainya asupan makanan serta terjadinya penyakit

infeksi berulang, yang mengakibatkan berkurangnya nafsu makan dan meningkatkan

kebutuhan metabolik (Caufield. dkk, 2006)

a. Penilaian Status Gizi

1) Pengukuran antropometri

Antropometri berasal dari kata antropos dan metros. Anthropos

memiliki arti tubuh sedangkan metros adalah ukuran. Secara umum

antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Berbagai jenis ukuran tubuh

antara lain tinggi badan, berat badan lingkar lengan atas, serta tebal lemak

dibawah kulit. Antropometri digunakan untuk mengukur status gizi dari

berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan

terlihat dari pola pertumbuhan fisik serta proporsi jaringan tubuh

(Supariasa, 2016).

Indikator ukuran antropometri digunakan sebagai kriteria utama

dalam menilai kecukupan asupan gizi pertumbuhan bayi dan balita. Berat

badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB),

lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U) merupakan indikator yang

digunakan untuk menilai status gizi balita.

2) Indeks antropometri

Indeks antropometri yang umum digunakan untuk menilai status

gizi adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut

umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).


10

Klasifikasi status gizi berdasarkan tinggi badan menurut umur adalah

sangat pendek, pendek, normal, dan tinggi (Kemenkes, 2011).

Pertumbuhan tinggi badan berbeda dengan berat badan, relativ

kurang sensitif terhadap masalah malnutrisi dalam waktu singkat.

Pengaruh kekurangan unsur hara terhadap tinggi badan akan terlihat

dalam waktu yang relatif lama. Pada keadaan normal, tinggi badan

bertambah sesuai dengan bertambahnya usia. Tinggi badan adalah

antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan kerangka.

(Supariasa, 2016)

a) Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Berat badan merupakan parameter gambaran massa tubuh.

Massa tubuh sangat sensitive terhadap perubahan-perubahan yang

mendadak misalnya jika terserang penyakit infeksi, menurunnya

jumlah makanan yang dikonsumsi serta menurunnya nafsu makan.

Dalam keadaan normal keadaan kesehatan pasti baik karna

seimbangnya antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi yang terjamin.

Berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur sebaliknya

dalam keadaan abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan

berat badan yaitu berkembang lebih lambat dari keadaan yang normal

atau berkembang lebih cepat (Supariasa, 2002).

Indikator Berat badan menurut umur memberikan gejala

masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi

tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat
11

badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Dengan kata

lain, berat badan yang rendah dapat disebabkan karna anaknya

pendek, penyakit infeksi lain ataupun diare (Kemenkes RI, 2013)

b) Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Tinggi badan adalah gambaran keadaan pertumbuhan badan.

Tinggi badan tumbuh seiring dengan bertambahnya umur.

Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang

sensitif terhadap masalah kekurangan gizi terhadap tinggi badan akan

nampak dalam waktu yang relatif lama (Supariasa, 2002).

Indikator tinggi badan menurut umur memberikan indikasi

masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang

berlangsung lama, seperti: perilaku hidup sehat, kemiskinan, serta

pola asuh yaitu pemberian makanan yang kurang bergizi dari sejak

anak dilahirkan sehingga mengakibatkan anak menjadi pendek atau

sangat pendek (Kemenkes RI, 2013)

c) Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi

badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan

searah dengan pertumbuhan berat badan dengan kecepatan tertentu.

Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status

gizi saat ini (Supariasa, 2002).


12

Dari berbagai jenis indeks, untuk menginterpretasikan

dibutuhkan ambang batas. Ambang batas disajikan dalam tiga cara

yaitu persen terhadap median, persentil, dan standar deviasi unit.

Indikator BB/TB dan IMT/U memberikan indikasi masalah

gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi

dalam waktu yang singkat, seperti kelaparan dan wabah sehingga

mengakibatkan anak menjadi kurus. Selain itu masalah kekurusan dan

indikator BB/TB atau IMT/U dapat memberikan indikasi kegemukan.

Masalah kegemukan ataupun kekurusan pada usia dini dapat berakibat

pada rentannya terhadap berbagai penyakit degeneratif pada usia

dewasa (Kemenkes RI, 2010).

b. Klasifikasi Status Gizi

Status gizi adalah keadaan yang disebabkan oleh keseimbangan antara

jumlah asupan zat gizi dengan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk

berbagai fungsi biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan aktifitas serta

pemeliharaan kesehatan (Jahari, 2004).

Pemeliharan gizi atau program perbaikan gizi anak dapat menentukan

kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia dimulai dari pertumbuhan

balita, pada masa inilah proses pertumbuhannya pesat yang memerlukan

perhatian, kasih sayang dari orang tua serta kesehatan lingkungan. Balita

membutuhkan gizi yang seimbang untuk keperluan status gizinya karna balita

merupakan kelompok umur yang paling sering kekurangan gizi sehingga proses

pertumbuhannya tidak terhambat (Santoso & lies, 2010).


13

Kekurangan gizi terutama pada balita dapat menyebabkan lambatnya

pertumbuhan fisik mental, meningkatkan resiko kematian, serta terganggunya

terganggunya kecerdasan. Kekurangan gizi sangat berdampak dan dapat bersifat

secara permanen sulit diperbaiki meslipun pada usia berikutnya kebutuhan

gizinya terpenuhi dengan baik.

Penentuan klasifikasi status gizi menggunakan Z-skor atau standar

deviasi unit (SD) sebagai batas ambang kategori dan digunakan untuk meneliti

dan memantau pertumbuhan serta mengetahui klasifikasi status Gizi Z-skor.

Pengukuran skor simpang baku (Z-score) dapat diperoleh dengan mengurangi

nilai individual subjek (NIS) dengan nilai median baku rujukan (NMBR) pada

umur yang bersangkutan, hasilnya dibagi dengan nilai simpang baku rujukan

(NSBR), atau dengan menggunakan rumus :

Z-score = (NIS – NMBR) / NSBR

Kategori status gizi menurut indeks (BB/U) dan batasan-batasannya,

berdasarkan hasil keputusan menteri kesehatan RI No 920/Menkes/ SK/VIII/2002,

untuk menggunakan rujukan baku world health (Organization-national center for

health statatistic (WHO –NCHS) disajikan pada Tabel 2.1.


14

Tabel 2.1 Klasifikasi Status Gizi Anak Balita

Indeks Status gizi Ambang balita


Gizi Buruk <-3 SD
Berat badan menurut Gizi Kurang ≥ -3 SD sampai dengan <-2SD
umur (BB/U) Gizi Baik ≥ -2 SD sampai dengan ≤-2 SD
Gizi lebih >2SD
Sangat pendek <-3 SD
Tinggi badan menurut
Pendek ≥ -3 SD sampai dengan <-2SD
umur (BB/U)
Normal ≥ -2 SD
Sangat kurus <-3 SD
Berat
Kurus ≥ -3 SD sampai dengan <-2SD
badanmenurutTinggiB
Normal ≥ -2 SD sampai dengan ≤-2 SD
adan (BB/TB)
Gemuk <2SD
Pendek-kurus TB/U < -2 SD dan BB/TB < -2 SD
TB/U < -2 SD dan BB/TB antara -2
Gabungan indikator Pendek-normal
hingga 2 SD
BB/U dan TB/U
Pendek–Gemuk TB/U < -2 SD dan BB/TB > 2 SD
TB Normal–Kurus TB/U < -2 SD dan BB/TB > 2 SD
Sumber : Kementerian Kesehatan, 2010

2. Faktor Sosial Yang Mempengaruhi Stunting

a. Pendidikan Ayah

Menurut Depdiknas (2011), pendidikan merupakan proses pengubahan

sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan

manusia upaya pengajaran dan pelatihan.

Tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi pertumbuhan anak

balita, tingkat pendidikan sangat mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara

pemilihan bahan pangan. Orang berpendidikan tinggi akan cenderung memilih

bahan makanan yang lebih baik dalam segi kualitas maupun kuantitas. Sehingga

Semakin tinggi pendidikan orang tua maka semakin baik status gizi anaknya

(Soekirman, 2009).
15

Status ekonomi rumah tangga akan meningkat jika pendidikan ayahnya

tinggi, hal ini terjadi karna pendidikan ayah sangat erat berkaitan dengan

pencarian lapangan kerja serta pendapatan yang lebih besar sehingga daya beli

pangan untuk pemenuhan kebutuhan anggota rumah tangga tercukupi dan

meningkat (Hidayat, 2009).

b. Pendidikan Ibu

Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pangan

seseorang dalam memilih bahan pangan untuk pemenuhan kebutuhan hidup.

Orang yang memiliki pendidikan tinggi akan cenderung memilih bahan pangan

yang lebih baik dari segi kualitas maupun maupun dibandingkan dengan orang

yang memiliki pendidikan rendah (Sulistjiningsih, 2011).

Rahayu (2014) menyatakan bahwa, rendahnya pendidikan ibu berkaitan

dengan pengetahuan tentang gizi dan mempengaruhi kejadian balita stunting. Ibu

dengan tingkat pendidikan rendah beresiko lima kali lebih besar memiliki anak

stunting. Anak yang terlahir dari orang tua yang memiliki pendidikan tinggi

cenderung tidak mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang lahir dari

orang tua yang tingkat pendidikannya rendah. Hal ini dipertegas dalam penelitian

yang dilakukan di Nepal juga menyatakan bahwa, anak yang terlahir dari orang

tua yang pendidikannya tinggi berpotensi lebih rendah menderita stunting

dibandingkan anak yang memiliki orang tua yang pendidikannya rendah.

Penelitian ini di dukung juga oleh Haile (2016) yang menyatakan bahwa anak

yang lahir dari orang tua yang berpendidikan tinggi lebih mudah dalam

menerima pendidikan kesehatan selama kehamilan, seperti dalam pentingnya


16

memenuhi kebutuhan nutrisi pada masa kehamilan, pemberian ASI eksklusif

selama 6 bulan, kemampuan ibu dalam menyediakan bahan makanan yang

bergizi, serta menjaga kesehatan lingkungan.

c. Pengetahuan Ibu Tentang Gizi dan Stunting

Pengetahuan ibu tentang gizi dapat menentukan sikap dan perilaku

ibu dalam menyediakan bahan makanan untuk anaknya termasuk jenis dan

jumlah yang tepat agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Seseorang yang mempunyai pengetahuan yang baik tentang gizi dan stunting

berbeda dengan orang yang pengetahuannya kurang.

Wulandari dan Indra (2013) menyatakan bahwa, masalah gizi akan

timbul jika pengetahuan ibu kurang baik dari segi penyediaan makan untuk anak,

jenis makanan, pengolahan makanan serta membagikannya kepada anggota

rumah tangga dengan jumlah yang tepat agar anak dapat tumbuh serta

berkembang secara optimal.

3. Faktor Ekonomi Yang Mempengaruhi Stunting

a. Pekerjaan Ayah dan Ibu

Menurut Djaeni (2000), pekerjaan merupakan mata pencaharian yang

dijadikan pokok kehidupan untuk memperoleh nafkah. Seseorang dapat bekerja

dengan baik sampai dengan waktu 40-50 jam dalam seminggu. Ini dapat dibuat

5-6 hari kerja dalam seminggu, sesuai dengan pasal 12 ayat 1. Undang-undang

tenaga kerja No. 14 Tahun 1986.

Status pekerjaan ayah sebagai PNS/swasta cenderung mempunyai anak

dengan status gizi lebih baik dibanding dengan ayah yang memiliki pekerjaan
17

lainnya. Hal ini di dukung oleh Sihadi (2011) yang menyatakan bahwa ayah

dengan pekerjaannya sebagai buruh memiliki balita dengan status gizi buruk

terbesar yaitu sebesar 53%.

Lapangan kerja yang luas, mendorong kaum ibu bekerja pada sektor

swasta. Hal ini berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, tetapi di sisi lain

berdampak negatif terhadap pola asuh anak. Peran ibu dalam keluarga sangat

penting untuk mengasuh anak, mempersiapkan makan dan minum anggota

keluarga sesuai dengan gizi yang seimbang serta memastikan terpenuhinya status

gizi anggota keluarga.

b. Pendapatan Keluarga

Pendapatan merupakan penerimaan yang dinilai dengan satuan mata

uang yang diperoleh seseorang atau suatu bangsa dalam periode tertentu.

Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari

seluruh anggota keluarga yang bergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga

dan anggota keluarga lainnya. Semakin tinggi pendapatan, maka semakin besar

peluang untuk memilih pangan yang baik sebab dengan meningkatya pendapatan

perorangan, maka terjadilah perubahan-perubahan dalam susunan makanan.

Disatu sisi pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pembelian pangan tidak

dapat menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan (Ni’mah, 2015).

Azwar (2000) menyatakan bahwa, pendapatan keluarga merupakan

jumlah uang yang dihasilkan dan jumlah uang yang akan dikeluarkan untuk

membiayai keperluan rumah tangga selama satu bulan. Pendapatan keluarga yang
18

memadai akan menunjang perilaku anggota keluarga untuk mendapatkan

pelayanan kesehatan keluarga yang lebih memadai.

Pendapatan merupakan jumlah penghasilan yang diterima oleh para

anggota masyarakat untuk jangka waktu tertentu sebagai balas jasa atau faktor-

faktor produksi yang telah disumbangkan. Tingginya Pendapatan yang diperoleh

menggambarkan kesejahteraan suatu anggota rumah tangga. Pengeluaran rumah

tangga dapat dibedakan menurut pengeluaran makanan dan bukan makanan.

Pengeluaran untuk konsumsi makanan dan bukan makanan berkaitan erat dengan

tingkat pendapatan masyarakat.

Keluarga dengan pendapatan rendah, biasanya mengkonsumsi makanan

yang lebih murah dan menu yang kurang bervariasi, sebaliknya pendapatan yang

tinggi umumnya mengkonsumsi makanan yang lebih tinggi harganya. Pendpatan

yang tinggi belum menjamin tercapainya gizi yang baik dan meningkatkan

konsumsi zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, tetapi tingginya pendapatan

keluarga akan menambah kesempatan untuk memilih bahan makanan serta

meningkatkan konsumsi makanan yang disukai serta bergizi tinggi.

c. Jumlah Anggota Keluarga

Anggota keluarga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal

dalam suatu keluarga, baik berada di rumah pada saat pencacahan maupun

sementara tidak ada. Orang yang tinggal disuatu keluarga kurang dari 6 bulan

tetapi berniat menetap dikeluarga tersebut, dianggap sebagai anggota keluarga.

Anggota keluarga yang telah berpergian selama 6 bulan atau lebih, dan anggota

keluarga yang berpergian kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan pindah atau akan
19

meninggalkan rumah 6 bulan atau lebih tidak dianggap anggota keluarga. (BPS,

2004).

Banyaknya anggota keluarga akan mengurangi konsumsi pangan. Suharjo

(2003) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan

kurang gizi pada masing-masing keluarga. Besarnya jumlah anggota keluarga

serta kurangnya pendapatan dapat menimbulkan penyebaran konsumsi pangan

yang tidak merata. Pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin hanya

cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. keadaan

yang demikian tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada

keluarga tersebut.

4. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Stunting

a. Kondisi Rumah

Rumah yang sehat memiliki syarat yaitu jenis lantai rumah tidak

berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Lantai

rumah dari tanah agar tidak berdebu maka dilakukan penyiraman air

kemudian dipadatkan. Dari segi kesehatan, lantai ubin atau semen merupakan

lantai yang baik sedangkan lantai rumah dipedesaan cukuplah tanah biasa

yang dipadatkan. Apabila perilaku penghuni rumah tidak sesuai dengan

norma-norma kesehatan seperti tidak membersihkan lantai dengan baik, maka

akan menyebabkan terjadinya penularan penyakit termasuk diare

(Notoatmodjo, 2003).
20

b. Sarana Pembuangan Sampah

Menurut WHO sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak

dipakai,tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang berasal dari kegiatan

manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Jadi Sampah adalah limbah

yang bersifat padat terdiri dari zat organik dan zat anorganik yang dianggap

tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan

dan melindungi investasi pembangunan.

c. Sarana Air Bersih

Air merupakan hal yang sangat penting bagi manusia. Semua mahluk

membutuhkan air khususnya manusia digunakan antara lain untuk mencuci,

minum, masak, mandi dan sebagainya. Kebutuhan yang paling penting

adalah untuk minum. Oleh karena itu, untuk keperluan minum dan memasak

air harus mempunyai syarat khusus agar air yang digunakan tidak

menimbulkan penyakit bagi manusia

Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam penyediaan air bersih

yaitu:

1) Mengambil air dari sumber air yang bersih

2) Mengambil dan menyimpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup,

serta menggunakan gayung khusus untuk mengambil air.

3) Memelihara atau menjaga sumber air dari pencemaran oleh binatang,

anak-anak, dan sumber pengotoran. Jarak antara sumber air minum dengan

sumber pengotoran (tangki septik), tempat pembuangan sampah dan air

limbah harus lebih dari 10 meter


21

4) Menggunakan air yang direbus

5) Mencuci semua peralatan masak dan makan dengan air yang bersih dan

cukup (Depkes RI, 2000).

Kualitas fisik air bersih Air minum yang ideal seharusnya jernih, tidak

berwarna, tidak berasa dan tidak berbau. Menurut Notoatmodjo (2003),

syarat-syarat air minum yang sehat adalah sebagai berikut:

1) Syarat Fisik

Persyaratan fisik untuk air minum yang sehat adalah bening (tidak

berwarna), tidak berasa, tidak berbau, suhu dibawah suhu udara di luarnya,

sehingga dalam kehidupan sehari-hari cara mengenal air yang memenuhi

persyaratan fisik tidak sukar.

2) Syarat Bakteriologis

Air untuk keperluan minum yang sehat harus bebas dari segala bakteri,

terutama bakteri patogen. Air minum yang telah terkontaminasi oleh

bakteri patogen dapat diperiksa dengan cara memeriksa sampel air

tersebut, jika hasil pemeriksaan 100 cc air terdapat kurang dari empat

bakteri E. coli, maka air tersebut sudah memenuhi syarat kesehatan.

3) Syarat Kimia

Air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu di dalam jumlah

tertentu pula. Adanya zat kimia yang kurang atau lebih di dalam air, akan

menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia.


22

d. Saluran Pembuangan Air Limbah

Air Limbah merupakan air buangan yang dihasilkan dari suatu proses

produksi industri maupun domestik, yang kehadirannya sangat berpengaruh

terhadap lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Kehadiran limbah

dalam konsentrasi dan jumlah tertentu dapat berdampak negativ terhadap

lingkungan terutama kesehatan manusia sehingga perlu adanya suatu

penanganan yang serius terhadap limbah.

Air kotor merupakan air bekas yang dipakai dan sudah tidak

memenuhi syarat kesehatan serta harus dibuangsehingga tidak menimbulkan

penyakit. Beberapa hal yang berhubungan dengan pengertian dan kegiatan

limbah cair menurut PP 82 tahun 2001 yaitu : 1). Air adalah semua air yang

terdapat diatas dan dibawah permukaan tanah, kecuali air laut dan fosil. 2);

Sumber air adalah wadah air yang terdapat diatas dan dibawah permukaan

tanah, seperti, mata air, sungai, rawa, danau, waduk, dan muara. 3);

Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai

kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjamin kualitas

tetap dalam kondisi alamiahnya. 4); Pengendalian pencemaran air adalah

upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan

kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air. 5);

Pencemaran air adalah masuknya zat, energi makhluk hidup serta komponen

tertentu kedalam air akibat kegiatan manusia dan menurunnya kualitas air

sampai ketingkat tertentu sehingga menyebabkan air tidak berfungsi lagi

sesuai dengan peruntukannya. 6); Limbah cair merupakan sisa dari hasil
23

kegiatan yang berwujud cair. 7); Baku mutu limbah cair adalah, ukuran batas

atau kadar unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam limbah

cair yang akan dibuang atau dilepas kedalam sumber air dari suatu usaha atau

kegiatan.

e. Sarana Pembuangan Kotoran

Sarana pembuangan kotoran atau dikenal dengan jamban merupakan

sarana yang digunakan masyarakat sebagai tempat pembuangan tinja. Jamban

berpotensi untuk menyebabkan timbulnya berbagai gangguan bagi

masyarakat yang ada di sekitarnya. Gangguan tersebut dapat berupa

gangguan keindahan, kenyamanan dan kesehatan.

Menurut Notoatmodjo (2003), suatu jamban disebut sehat untuk

daerah pedesaan jika memenuhi syarat yaitu : 1); tidak mengotori permukaan

tanah disekeliling jamban tersebut. 2); tidak mengotori air permukaan di

sekitarnya. 3); tidak mengotori air tanah di sekitarnya. 3); tidak dapat

terjangkau oleh serangga terutama lalat, kecoak, dan binatang-binatang

lainnya. 4); tidak menimbulkan bau. 5); mudah digunakan dan dipelihara. 6);

sederhana desainnya. 7); Murah. 8); dapat diterima oleh pemakainya.


24

B. Kajian Hasil Penelitian Relevan

Kajian hasil penelitian yang relevan dalam penelitian disajikan pada Tabel

2.2.

Tabel 2.2 Kajian Hasil Penelitian Relevan


Variabel /
Penulis dan Judul Sasaran
No Metode Hasil Penelitian
Tahun Penelitian Penelitian
Penelitian
1 Suhartono, Faktor Siswa SD Faktor Terdapat hubungan
2013 lingkungan dan kelas 4-6 di lingkungan yang siginifikan
perilaku yang SDN dan perilaku antara riwayat
berhubungan Bulakparen yang pajanan pestisida
dengan 01, MI berhubungan dengan terjadinya
kejadian mujahidin dengan stunting pada siswa
stunting pada KLuwut dan kejadian SD diwiliyah
siswa SD di SDN stunting/ Puskesmas Kluwut
wilayah Dukuhlo 02 Metode case Kecamatan
pertanian control Bulukamba
(Penelitian di Dikabupaten Brebes
Kecamatan
Bulukamba
Kabupaten
Brebes)
2 Shella Monica Gambaran 388 balita Faktor-Faktor Jumlah balita berusia
Dalimunthe, Faktor-Faktor berusia 24-59 Kejadian 24-59 bulan di
2015 Kejadian bulan di Stunting/ provinsi NTB yang
Stunting Pada provinsi NTB Cross mengalami stunting
Balita Usia 24- sectional sebanyak 56.36 %
59 Bulan Di sedangkan balita
Provinsi Nusa normal sebanyak
Tenggara Barat 43.63 %
Tahun 2010
(Analisis Data
Sekunder
Riskesdas
2010)
3 Irviani Hubungan Balita yang faktor sosial Terdapat hubungan
Ibrahim dan faktor sosial berusia 24-59 ekonomi yang signifikan antara
ratih Faramita, ekonomi bulan di keluarga/ tingkat pedidikan ibu
2014 keluarga wilayah kerja penelitian dan pengetahuan gizi
dengan Puskemas kuantitatif &stunting pada ibu
kejadian barombong dengan kejadian
stunting anak stunting anak usia 24-
usia 24-59 59 bulan
bulan diwilayah
kerja
puskesmas
barombong
kota Makasar
tahun 2014
25

Tabel 2.2. Kajian Hasil Penelitian Relevan


Variabel /
Penulis dan Judul Sasaran
No Metode Hasil Penelitian
Tahun Penelitian Penelitian
Penelitian
4 Rahayu Faktor resiko Anak yang Faktor-faktor Tiga variabel yang
Indriasari, 2018 stunting pada berusia 0-23 resiko menunjukan
anak usia 0-23 bulan di stunting/ Cross hubungan yang
bulan di wilayah sectional siginifikan dengan
provinsi provinsi stunting yaitu anak
Kalimantan Kalimantan usia dibawah dua
selatan selatan tahun pendidikan
ayah dan tinggi ibu.
5 Tyas Aisyah Faktor Resiko Balita yang Riwayat 1. Ada hubungan
Putri, 2018 Kejadian berusia 25-59 tingkat riwayat tingkat
Stunting Pada bulan yang pendidikan pendidikan rendah
Balita Usia mengalami ibu, pemberian dengan resiko
25-59 Bulan stunting di ASI, Berat kejadian stunting
Di Wilayah wilayah badan lahir, 2. Ada hubungan
Puskesmas puskesmas dan riwayat riwayat pemberian
Kotagede 1 Kotagede 1 tinggi badan ASI tidak Ekslusif
Kota Kota ibu / metode dengan resiko
Yogyakarta Yogyakarta Penelitian kejadian stunting
Tahun 2018 tahun 2018 analitik 3. Ada hubungan
observasional riwayat tinggi
dengan desain badan ibu pendek
case control dengan Ekslusif
dengan resiko
kejadian stunting
4. Ada hubungan
berat badan lahir
rendah dengan
resiko kejadian
stunting
6 Nadia Nabila Faktor-Faktor Balita usia 25- Penelitian variabel yang
Larasati, 2017 Yang 59 bulan observasional berhubungan dengan
Berhubungan dipuskesmas dengan desain kejadian stunting
Dengan wonosari. case control adalah tinggi badan
Kejadian Sejumlah 152 ibu, pemberian ASI
Stunting Pada sampel Eksklusif, jenis
Balita Usia kelamin. Hasil
25-59 Bulan analisis multivariat
Di Posyandu tinggi badan ibu
Wilayah memiliki besar risiko
Puskesmas paling tinggi terhadap
Wonosari II dengan kejadian
Tahun 2017 stunting dan jenis
kelamin merupakan
faktor yang paling
signifikan terhadap
kejadian stunting
26

C. Kerangka Pikir

Permasalahan yang terjadi di Indonesia khususnya di Gorontalo yaitu

permasalahan kependudukan. Permasalahan kependudukan yang lagi trend yaitu

masalah stunting. Stunting adalah terjadi akibat kekurangan gaji kronis yang dimulai

dari gizi ibu saat hamil. Pada masa kehamilan ibu, tubuh memerlukan vitamin dan

nutrisi untuk pertumbuhan/perkembangan janin. Banyak para ibu yang tidak

mengetahui kehamilan bahkan sering mengabaikan masa kehamilan karna

dipengaruhi berbagai faktor, sehingga menyebabkan bayi yang ada dalam kandungan

kekurangan asupan gizi.

Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal

setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia dua

tahun. Pencegahan penanggulangan stunting dimulai secara tepat sebelum kelahiran

dan berlanjut sampai anak berusia dua tahun. Pencegahan harus dilakukan dengan

mengetahui faktor-faktor penyebab stunting sehingga mudah dalam pencegahannya.

Stunting dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya ada faktor sosial,

ekonomi dan lingkungan. Faktor sosial meliputi pendidikan ayah, pendidikan ibu dan

pengetahuan ibu tentang gizi dan stunting. Pendidikan ayah dijadikan penentu karna

seorang kepala rumah tangga bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan

hidup sehari-hari. Jika pendidikan tinggi maka peluang kerja tinggi dan mudah

memperoleh pekerjaan yang layak. Pendidikan ibu mempengaruhi terjadinya

stunting dilihat dari seorang yang berpendidikan tinggi akan sangat mudah dalam

menerima edukasi kesehatan, mudah dalam menerima informasi sehingga informasi

kesehatan yang diperoleh mudah diterapkan dibanding dengan ibu yang


27

berpendidikan rendah. Ibu yang memiliki pengetahuan yang cukup terkait gizi dan

stunting akan memperhatikan tumbuh kembang anaknya, berapa lama waktu

pemberian ASI ekslusif, pemberian makanan tambahan bagi balita serta jenis

makananan yang harus dimakan oleh balita sehingga sesuai dengan umur dan

pertumbuhannya.

Stunting juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi yaitu pekerjaan ayah,

pekerjaan ibu, pendapatan dan jumlah anggota keluarga. Pekerjaan ayah

mempengaruhi pendapatan. Semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi tingkat

kesejahteraan dan dapat mencegah terjadinya stunting. Banyaknya jumlah anggota

keluarga yang tinggal dalam satu rumah mempengaruhi bagian konsumsi pangan tiap

anggota keluarga.

Faktor lingkungan yang mempengaruhi stunting yaitu kondisi rumah, sarana

pembuangan sampah, sarana air bersih, saluran pembuangan air limbah, sarana

pembuangan kotoran. Dari ketiga faktor sosial ekonomi dan lingkungan, faktor-

faktor inilah yang mempengaruhi terjadinya kejadian stunting dan perlu adanya

analisis sehingga ditemukan jawaban permasalahan kejadian stunting. Selengkapnya

kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 2.1.


28

- Gizi Ibu saat


hamil
- Kesulitan pada
bayi Stunting
- Kurangnya
asupan gizi

Faktor sosial Faktor Ekonomi Faktor Lingkungan

1. Pendidikan 1. Pekerjaan ayah 1. Kondisi rumah sehat


ayah 2. Pekerjaan ibu 2. Sarana pembuangan
2. Pendidikan ibu 3. Pendapatan Sampah
3. Pengetahuan
ibu tentang keluarga 3. Sarana air bersih
gizi dan 4. Jumlah 4. Saluran pembuangan
stunting anggota air limbah (SPAL)
keluarga 5. Sarana pembuangan
kotoran

Analisis data Kejadian Stunting Metode


secara deskriptif
kuantitatif kuantitatif
(wawancara
terstruktur)

Rekomendasi Kebijakan
Peningkatan kesehatan masyarakat yang ditandai dengan
turunnya angka stunting di Kabupaten Gorontalo

Gambar 2.1 Kerangka Pikir


29

D. Hipotesis Penelitian

1. Terdapat pengaruh positif antara faktor sosial (pendidikan ayah, pendidikan ibu

dan pengetahuan ibu tentang gizi dan stunting) terhadap kejadian stunting pada

balita 24-49 bulan di Puskesmas Kabupaten Gorontalo

2. Terdapat pengaruh positif antara faktor ekonomi (pekerjaan ayah, pekerjaan ibu,

pendapatan dan jumlah anggota keluarga) terhadap kejadian stunting pada balita

24-49 bulan di Puskesmas Kabupaten Gorontalo

3. Terdapat pengaruh positif antara faktor lingkungan (kondisi rumah sehat, sarana

air bersih, sarana pembuangan sampah, saluran pembuangan air limbah dan

sarana pembuangan kotoran) terhadap kejadian stunting pada balita 24-49 bulan

di Puskesmas Kabupaten Gorontalo

Anda mungkin juga menyukai