Anda di halaman 1dari 44

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Stunting

1. Definisi

Balita Pendek (Stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada

indeks PB/U atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian

status gizi anak, hasil pengukuran tersebut berada pada ambang batas

(Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD

(sangat pendek / severely stunted). (Adriani, 2014)

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh

asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian

makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat

terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak

berusia dua tahun. (Adriani, 2014)

Stunting yang telah tejadi bila tidak diimbangi dengan catch-up

growth (tumbuh kejar) mengakibatkan menurunnya pertumbuhan,

masalah stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang

berhubungan dengan meningkatnya risiko kesakitan, kematian dan

hambatan pada pertumbuhan baik motorik maupun mental. Stunting

dibentuk oleh growth faltering dan catcth up growth yang tidak

memadai yang mencerminkan ketidakmampuan untuk mencapai

pertumbuhan optimal, hal tersebut mengungkapkan bahwa kelompok

balita yang lahir dengan berat badan normal dapat mengalami stunting

8
bila pemenuhan kebutuhan selanjutnya tidak terpenuhi dengan baik.

(Maryanti dkk, 2011)

2. Diagnosis dan klasifikasi

Penilaian status gizi balita yang paling sering dilakukan adalah

dengan cara penilaian antropometri. Secara umum antropometri

berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan

komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.

Antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan

protein dan energi.16 Beberapa indeks antropometri yang sering

digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan

menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

yang dinyatakan dengan standar deviasi unit z (Z- score).

Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat

badannya dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan

dengan standar, dan hasilnya berada dibawah normal. Jadi secara fisik

balita akan lebih pendek dibandingkan balita seumurnya. Penghitungan

ini menggunakan standar Z score dari WHO. Normal, pendek dan

Sangat Pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang

Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur

(TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely

stunted (sangat pendek).

Berikut klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator tinggi

badan per umur (TB/U).

a. Sangat pendek : Zscore < -3,0

9
b. Pendek : Zscore < -2,0 s.d. Zscore ≥ -3,0

c. Normal : Zscore ≥ -2,0

Dan di bawah ini merupakan klasifikasi status gizi stunting

berdasarkan indikator TB/U dan BB/TB.

a. Pendek-kurus : -Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB <

-2,0

b. Pendek -normal : Z-score TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB

antara -2,0 s/d 2,0

c. Pendek-gemuk : Z-score ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0

(Winarsih, 2018)

3. Pemeriksaan antropometri stunting

Antropometri berasal dari kata “anthropos” (tubuh) dan “metros”

(ukuran) sehingga antropometri secara umum artinya ukuran tubuh

manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi

adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi

tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan gizi.18

Dimensi tubuh yang diukur, antara lain: umur, berat badan, tinggi

badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar

pinggul dan tebal lemak di bawah kulit.18,19 Perubahan dimensi tubuh

dapat menggambarkan keadaan kesehatan dan kesejahteraan secara

umum individu maupun populasi. Dimensi tubuh yang dibutuhkan

pada penelitian ini yaitu umur dan tinggi badan, guna memperoleh

indeks antropometri tinggi badan berdasar umur (TB/U).

10
a. Umur

Umur adalah suatu angka yang mewakili lamanya

kehidupan seseorang. Usia dihitung saat pengumpulan data,

berdasarkan tanggal kelahiran. Apabila lebih hingga 14 hari maka

dibulatkan ke bawah, sebaliknya jika lebih 15 hari maka

dibulatkan ke atas. Informasi terkait umur didapatkan melalui

pengisian kuesioner.

b. Tinggi badan

Tinggi atau panjang badan ialah indikator umum dalam

mengukur tubuh dan panjang tulang. Alat yang biasa dipakai

disebut stadiometer. Ada dua macam yaitu: ‘stadiometer portabel’

yang memiliki kisaran pengukur 840-2060 mm dan ‘harpenden

stadiometer digital’ yang memiliki kisaran pengukur 600-2100

mm.

Tinggi badan diukur dalam keadaan berdiri tegak lurus,

tanpa alas kaki dan aksesoris kepala, kedua tangan tergantung

rileks di samping badan, tumit dan pantat menempel di dinding,

pandangan mata mengarah ke depan sehingga membentuk posisi

kepala Frankfurt Plane (garis imaginasi dari bagian inferior orbita

horisontal terhadap meatus acusticus eksterna bagian dalam).

Bagian alat yang dapat digeser diturunkan hingga menyentuh

kepala (bagian verteks). Sentuhan diperkuat jika anak yang

diperiksa berambut tebal. Pasien inspirasi maksimum pada saat

diukur untuk meluruskan tulang belakang.

11
Pada bayi yang diukur bukan tinggi melainkan panjang

badan. Biasanya panjang badan diukur jika anak belum mencapai

ukuran linier 85 cm atau berusia kurang dari 2 tahun. Ukuran

panjang badan lebih besar 0,5-1,5 cm daripada tinggi. Oleh sebab

itu, bila anak diatas 2 tahun diukur dalam keadaan berbaring

maka hasilnya dikurangi 1 cm sebelum diplot pada grafik

pertumbuhan.

Anak dengan keterbatasan fisik seperti kontraktur dan tidak

memungkinkan dilakukan pengukuran tinggi seperti di atas,

terdapat cara pengukuran alternatif. Indeks lain yang dapat

dipercaya dan sahih untuk mengukur tinggi badan ialah: rentang

lengan (arm span), panjang lengan atas (upper arm length), dan

panjang tungkai bawah (knee height). Semua pengukuran di atas

dilakukan sampai ketelitian 0,1 cm. (Winarsih, 2018)

4. Faktor penyebab stunting

Faktor-faktor penyebab stunting erat hubungannya dengan kondisi-

kondisi yang mendasari kejadian tersebut, kondisi-kondisi yang

mempengaruhi faktor penyebab stunting terdiri atas:

a. Status Gizi Ibu Hamil

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi status gizi ibu

saat hamil. Hal ini disebabkan oleh masalah gizi, masalah gizi

yang sering dihadapi ibu hamil yaitu Kurang Energi Kronik

(KEK) dan anemia gizi. Ibu yang mengalami Kurang Energi

Kronis (KEK) berarti ibu sudah mengalami keadaan kurang

12
gizi dalam waktu yang telah lama, bila ini terjadi kebutuhan

gizi untuk proses tumbuh kembang janin menjadi terhambat

sehingga ibu berisiko melahirkan bayi BBLR.

Pertumbuhan dan perkembangan bayi dipengaruhi

kondisi sejak dalam kandungan ibu. Ibu hamil KEK merupakan

penyebab 25-30 % Intrauterine Growth Retardation (IUGR)

pada janin dan keadaan ini akan diturunkan dari satu generasi

ke generasi dan pertumbuhan anak tidak maksimal di tahun-

tahun berikutnya. (Sukmawati dkk, 2018)

b. BBLR

Anak lahir BBLR akan beresiko mengalami stunting di

masa yang akan datang. Kemungkinan yang menyebabkan

stunting adalah adanya faktor lain yang dialami bayi setelah

lahir yaitu pola asuh ibu yang salah, pada saat bayi mulai

mendapatkan MP-ASI adalah ketahanan pangan rumah tangga

yang kurang, jenis makanan MP-ASI yang tidak berkualitas,

dan frekuensi pemberian tidak tepat. Hal ini akan berpengaruh

juga terhadap asupan zat gizi pada bayi sehingga anak akan

menderita stunting. (Sukmawati dkk, 2018)

c. ASI Ekslusif

Status pemberian ASI eksklusif tidak terdapat hubungan

yang signifikan dengan kejadian stunting. ASI eksklusif bukan

faktor risiko stunting pada anak usia 1-3 tahun. Hal ini

disebabkan oleh keadaan stunting tidak hanya ditentukan oleh

13
faktor status pemberian ASI eksklusif, tetapi juga dipengaruhi

oleh faktor lain seperti: kualitas Makanan Pendamping ASI

(MP-ASI), kecukupan asupan gizi yang diberikan kepada anak

setiap hari, serta status kesehatan bayi. (Eko Setiawan dkk.

2018)

d. Imunisasi Dasar Lengkap

Anak yang tidak diberikan imunisasi dasar yang lengkap

tidak serta-merta menderita penyakit infeksi. Imunitas anak

dipengaruhi oleh faktor lain seperti status gizi dan keberadaan

patogen. Ada istilah “herd immunity” atau “kekebalan

komunitas” dalam imunisasi, yaitu individu yang tidak

mendapatkan program imunisasi menjadi terlindungi karena

sebagian besar individu lain dalam kelompok tersebut kebal

terhadap penyakit setelah mendapat imunisasi. Sebagian

responden yang memiliki anak dengan status imunisasi dasar

tidak lengkap berada pada tingkat pendidikan dan pendapatan

yang tinggi. Hal tersebut memungkinkan anak mendapatkan

pola asuh yang baik dan kebutuhan nutrien yang terpenuhi

sehingga status gizi anak menjadi baik. (Eko Setiawan dkk,

2018)

14
5. Consequences

Stunting memiliki dampak pada kehidupan balita, WHO

mengklasifikasikan menjadi dampak jangka pendek dan dampak

jangka panjang.

a. Concurrent problems & short-term consequences atau dampak

jangka pendek

1) Sisi kesehatan : angka kesakitan dan angka kematian

meningkat Sisi perkembangan : penurunan fungsi kognitif,

motorik, dan perkembangan bahasa

2) Sisi ekonomi : peningkatan health expenditure, peningkatan

pembiayaan perawatan anak yang sakit

b. Long-term consequences atau dampak jangka panjang

1) Sisi kesehatan : perawakan dewasa yang pendek, peningkatan

obesitas dan komorbid yang berhubungan, penurunan

kesehatan reproduksi

2) Sisi perkembangan : penurunan prestasi belajar, penurunan

learning capacity unachieved potensial

3) Sisi ekonomi : penurunan kapasitas kerja dan produktifitas

kerja

B. Status Gizi ibu Hamil

1. Definisi

Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi

untuk ibu hamil. Status gizi juga didefenisikan sebagai status kesehatan

yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan

15
nutrien. Gizi ibu hamil adalah makanan sehat dan seimbang yang harus

dikonsumsi ibu selma masa kehamilannya, dengan porsi dua kali makan

orang yang tidak hamil.

Normalnya, sang ibu mengalami peningkatan berat badan selama

kehamilan berlangsung. Kenaikan berat badan yang optimal akan

berdampak baik pada kehamilan maupun output persalinannya kelak.

Dengan berat badan yang ideal utnuk seorang ibu hamil, pertumbuhan

janin pada umunya akan berlangsung normal. Komplikasi timbulnya

gangguan kesehatan dan penyakit lain juga bisa dihindari. Hal ini dapat

memberikan efek pascapersalinan yaitu kesehatan ibu selama laktasi.

Variasi kenaikan berat badan ibu hamil akan tergantung pada berat

abdan ibu sebelum hamil. Khususnya bisa diketahui dengan menilai body

mass index (BMI). Berikut rekomendasi yang disarankan untuk kenaikan

total berat badan pada ibu hamil berdasrakan berat badan sebelum hamil.

Untuk bisa mencukupi dan menyeimbangkan gizi pada saat ibu hamil dan

menyusui, komposisi zat gizi harus diperhatikan. Kalori perlu dicukupi

sebayak 17%, Protein 25%, serta vitamin dan mineral sebesar 20-100%.

(Hasnita Evi, 2018)

Ibu Hamil seharusnya memiliki kadar hemoglobin (HB) > 11 g/dl.

Pada saat post partum minimal harus 10g/dl. Jika ibu mengalami anemia,

terutama penyebab yang paling sering adalah karena kekurangan zat besi

(FE), risiko persalinan yang abnormal akan meningkatkan. Demikian pula

dengan risiko infeksi ibu dan kecenderungan pendarahan yang akan

berdampak pada morbilitas dan mortalitas ibu dan bayi. Kondisi anemia

16
karena kekurangan zat besi, sering terjadi pada trimester II dan III.

Kondisi tersebut bisa disebabkan karena asupan Fe yang kurang, adanya

infeksi parasit, dan interval kehamilan yang pendek. Keadaan kekuatan

fisik menurun, timbulnya gejala kardiovaskular, predisposisi infeksi, risiko

peripartum blood loss, dan risiko gangguan penyembuhan luka. Sementara

bagi janin, kodisi kekurangan Fe hingga < 9 g/dl meningkatkan risiko

persalinan preterm, intrauterine growthretardation (IUGR), dan

intrauterine fetal death (IUFD). Kondisi semacam ini dapat berimbas pada

plasenta, yaitu bisa mengalami hipoksia kronik dan angiogenesis. Secara

umum, plasenta dan pertumbuhan janin akan memengaruhi risiko

berkembangannya penyakit pada janin, dan pada saat dewasa timbul

penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus.

2. Pengukuran status gizi ibu hamil

Pengukuran status gizi ibu hamil Dapat dilakukan melalui empat

cara yaitu secara klinis, biokimia, biofisik, dan antropometri.

a. Penilaian secara klinis

Penilaian status gizi secara klinis sangat penting sebagai langkah

pertama dalam mengetahui keadaan gizi penduduk. Karena hasil

penilaian dapat memberikan gambaran masalah gizi yang nampak

nyata.

b. Penilaian secara biokimia

Penilaian status gizi secara biokimia di lapangan banyak

menghadapi masalah. Salah satu ukuran yang sangat sederhana dan

17
sering digunakan adalah pemeriksaan haemoglobin sebagai indeks dari

anemia gizi.

c. Penilaian secara biofisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat tanda dan gejala kurang

gizi. Dilakukan oleh dokter atau petugas kesehatan yang

berpengalaman dengan memperhatikan rambut, mata, lidah, tegangan

otot dan bagian tubuh lainnya.

d. Penilaian secara antropometri

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ukuran fisik seseorang

sangat berhubungan dengan status gizi. Atas dasar ini ukuran-ukuran

antropometri diakui sebagai indeks yang baik dan dapat diandalkan

bagi penentuan status gizi untuk negara-negara berkembang. Untuk

mengetahui status gizi ibu hamil digunakan pengukuran secara

langsung dengan menggunakan penilaian antropometri yaitu : Lingkar

Lengan Atas. Pengukuran lingkar lengan atas adalah suatu cara untuk

10 mengetahui risiko kekurangan energi kronis wanita usia subur.

Wanita usia subur adalah wanita dengan usia 15 sampai dengan 45

tahun yang meliputi remaja, ibu hamil, ibu menyusui dan pasangan

usia subur (Supariasa, 2002).

C. Kekurangan Energi Kronik

Kekurangan Energi Kronik (KEK) adalah suatu keadaan patologis

akibat kekurangan atau kelebihan secara relatif maupun absolut atau lebih

zat gizi (malnutrisi). Mekanisme timbulnya kekurangan energi kronik

berawal dari faktor lingkungan dan manusia yang didukung dengan

18
kurangnya konsumsi zat gizi pada tubuh, jika hal itu terjadi maka

simpanan zat-zat pada tubuh akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan

dan bila keadaan ituterus berlangsung lama, maka simpanan zat gizi

tersebut akan habis sehingga berakibat pada kemerosotan jaringan.

KEK pada ibu hamil yaitu kondisi dimana ibu hamil menderita

kekurangan zat gizi yang berlangsung lama (kronis) bisa dalam beberapa

bulan atau tahun yang mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan pada

ibu hamil dan anak yang dikandungnya. Status ngizi rendah pada ibu

hamil selama masa kehamilan dapat menyebabkan ibu melahirkan bayi

BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), anemia pada bayi, mudah terserang

infeksi, abortus, dan terhambatnya pertumbuhan otak janin. Kekurangan

zat gizi pada ibu yang lama dan berkelanjutan selama masa kehamilan

akan berdampak lebih buruk pada janin daripada malnutrisi akut.

Akibat bila ibu hamil kekurangan gizi yaitu ibu lemah dan kurang

nafsu makan, perdarahan dalam masa kehamilan, kemungkinan terjadi

infeksi tinggi, anemia atau kurang darah. Pengaruh pada saat persalinan

juga akan terjadi, antara lain persalinan sulit dan lama, persalinan sebelum

waktunya (prematur) dan perdarahan setelah persalinan. Sedangkan

pengaruh pada janin yaitu keguguran, bayi lahir mati, cacat bawaan,

anemia pada bayi dan berat badan lahir rendah (BBLR). Akibat lain dari

KEK pada janin yaitu kerusakan struktur sistem saraf pusat terutama pada

tahap pertumbuhan otak dalam masa kehamilan pada trimester ke 3 sampai

2 tahun setelah bayi lahir. Defisiensi zat gizi pada saat perkembangan otak

berjalan akan menghentikan sintesis protein dan DNA sehingga terjadi

19
berkurangnya pertumbuhan otak dan otak yang berukuran normal

berjumlah sedikit. Dampaknya akan terlihat pada struktur dan fungsi otak

pada masa kehidupan medatang dan akan berpengaruh pada intelektual

anak.

Ibu hamil yang berisiko KEK dapat diukur melalui Indeks Masa

Tubuh (IMT) dan ukuran lingkar lengan atasnya (LILA). IMT adalah cara

alternatif untuk menentukan kesesuaian berat rasio berat badan dan tinggi

badan untuk melihat keseimbangan antara asupan makanan dengan

kebutuhan gizi seseorang. IMT yang menunjukkan hasil < 17,0 dan LILA

yang menunjukkan hasil < 23,5 cm maka dapat dikatakan berisiko KEK.

Berikut rumus untuk menghitung IMT:

Berat badan
IMT =
tinggi badan ( M ) × tinggi badan( M )

Dengan kategori sebagai berikut :

IMT < 17: berisiko KEK

IMT < 18,5 : underweight

IMT = 18,5 –22,9: normal

IMT = 23,0 –24,9: overweight

IMT = 25,0 –29,9: obese IIMT ≥ 30: obese II

20
D. BBLR

1. Definisi

Manuaba (2007) menyatakan, bayi berat lahir rendah (BBLR)

adalah istilah lain untuk bayi prematur, istilah ini dipakai hingga tahun

1961. Selanjutnya, istilah bayi pre-matur diubah karena tidak semua

bayi dengan berat badan lahir rendah lahir secara prematur. World

Health Organization (WHO) kemudian mengubah istilah bayi

prematur (premature baby) menjadi berat bayi rendah (low birth

weight) dan juga mengubah kriteria BBLR yang 2500 gram menjadi <

2500 gram. Beberapa definisi Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

antara lain:

a. Berat bayi lahir rendah (BBLR) merupakan bayi dengan berat

badan <2500 gram tanpa memandang usia gestasi. Berat bayi

lahir adalah bayi yang ditimbang 1 jam setelah lahir (Manuaba,

2007).

b. Bayi Berat Badan Lahir Rendah adalah bayi baru lahir (BBL),

dengan berat badan lahir <2500 gram (Setyarini dan Suprapti,

2016).

2. Faktor-faktor Penyebab BBLR

Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkab bayi berat lahir

rendah yaitu:

a. Faktor ibu

1) Penyakit

21
Penyakit yang berhubungan langsung dengan

kehamilan misalnya perdarahan antepartum,trauma fisik dan

psikologis, diabetes mellitus, toksemia gravidarum, dan

nefritis akut.

2) Umur ibu

Angka kejadian prematuritas tertinggi ialah pada usia <

20 tahun, dan multi gravida yang jarak kelahiran terlalu

dekat. Kejadian terendah adalah pada usia antara 26 - 35

tahun.

3) Keadaan sosial ekonomi

Keadaan sosial ekonomi sangat berperan terhadap

timbulnya prematuritas. Kejadian tertinggi terdapat

pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal ini disebabkan

oleh keadaan gizi yang kurang baik (khususnya anemia)

dan pelaksanaan antenatal yang kurang. Demikian pula

kejadian prematuritas pada bayi yang lahir dari

perkawinan yang tidak sah. Temyata lebih tinggi bila

dibandingkan dengan bayi yang lahir dari perkawinan yang

sah.

4) Sebab lain

Ibu perokok, ibu peminum alkohol dan pecandu

obat narkotik.

b. Faktor Janin

22
Faktor janin yang berpengaruh terhadap kejadian berat

badan lahir rendah (BBLR) seperti kelainan konginital,

kelainan kromosom dan infeksi. Faktor janin merupakan

salah satu faktor yang mendorong terjadinya berat badan

lahir rendah (BBLR), seperti hidramnion, kehamilan

ganda umumnyaakan mengakibatkab BBLR.

c. Faktor Lingkungan

Lingkungan juga mempengaruhi untuk menjadi

resiko untuk melahirkan BBLR. Faktor lingkungan yaitu bila

ibu bertempat di dataran tinggi seperti pegunungan. Hal

tersebut menyebabkan rendahnya kadar oksigen sehingga

suplai oksigen terhadap janin menjadi terganggu. Ibu yang

tempat tinggalnya di dataran tinggi beresiko untuk

mengalami hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia

neonatorium. Kondsisi tersebut dapat berpengaruh

terhadap janin oleh karena gangguan oksigenasi atau

kadar oksigen udara lebih rendah dan dapat menyebabkan

lahirnya bayi BBLR. Radiasi dan paparan zat-zat racun juga

berpengaruh, kondisi tersebut dikhawatirkan terjadi maturasi

gen sehingga dapat menimbulkan kelainan congenital pada

janin (Purnomo Rizal, 2013).

3. Komplikasi pada Bayi BBLR

Komplikasi yang terjadi pada bayi BBLR antara adalah:

a. Kerusakan bernafas : fungsi organ belum sempuma

23
b. Pneumonia, aspirasi : refleks menelan dan batuk belurn

sempurna

c. Perdarahan intraventrikuler: perdarahan spontan di ventrikel

otak lateral disebabkan anoksiamenyebabkan hipoksia otak

yang dapat menimbulkan terjadinya kegagalan

peredaran darah sistemik.

4. Masalah-masalah pada Bayi BBLR

Masalah-masalah yang muncul pada bayi BBLR adalah sebagai

berikut:

a. Suhu Tubuh

1) Pusat pengatur panas badan belum sempurna

2) Luas badan bayi relatif besar sehingga penguapannya

bertambah

3) Otot bayi masih lemah

4) Lemak kulit dan lemak coklat kurang sehingga cepat

kehilangan panas badan

5) Kemampuan metabolisme panas masih rendah, sehingga bayi

dengan BBLR perlu diperhatikan agar tidak terlalu

banyak kehilangan panas badan dan dapat diperhatikan

sekitar 30 0 c sampai 37 0 c.

b. Pernapasan

1) Pusat pengatur pernafasan belum sempuma

2) Surfaktan paru-paru masih kurang, sehingga

perkembangannya tidak sempurna

24
3) Otot pernafasan dan tulang iga lemah

4) Dapat disertai penyakit-penyakit : penyakit hialin

membran, mudah infeksi paru-paru, gagal pernafasan.

c. Alat pencerna makanan

1) Belum berfungsi sempurna, sehingga penyerapan

makanan kurang baik

2) Aktivitas otot pencernaan makanan masih belum

sempurna sehingga pengosongan lambung berkurang.

3) Mudah terjadinya regurtasi isi lambung dan dapat

menimbulkan aspirasi pneumonia.

d. Hepar yang belum matang (immatur)

Mudah menimbulkan gangguan pemecahan bilirubin,

sehingga mudah terjadi hiperbilirubinemia (kuning) sampai

keroikterus.

e. Ginjal masih belum matang

Kemampuan mengatur pembuangan sisa metabolisme

dan air masih belum sempurna sehingga mudah terjadi edema.

f. Pendarahan dalam otak

1) Pembuluh darah bayi prematur masih rapuh dan mudah

pecah

2) Sering mengalami gangguan pernafasan sehingga

memudahkan terjadi perdarahan dalam otak.

3) Perdarahan dalam otak memperburuk keadaan dan dapat

menyebabkan kematian.

25
4) Pemberian oksigen belum mampu diatur sehingga

memudahkan terjadi perdarahan dan nekrosis. (Manuaba,

2013)

E. ASI Ekslusif

1. Pengertian

ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi

berumur 0 –6 bulan tanpa memberikan makanan atau minuman

lain. Menurut ahli kesehatan, bayi pada usia tersebut sudah

terpenuhi gizinya hanya dengan ASI saja. Manfaat ASI eksklusif

yaitu agar bayi kebal terhadap beragam penyakit pada usia selanjutnya

(Depkes, 2007).

Pendapat yang dikemukakan oleh Utami Roesli (2004), ASI

eksklusif atau lebih tepat pemberian ASI secara eksklusif adalah

bayihanya diberi ASI saja tanpa tambahan cairan lain, seperti susu

formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan

makanan padat seperti pisang, pepaya, bubuk susu, biscuit, bubur nasi

dan tim.

2. Kandungan ASI

Asi memiliki nutrisi yang berperan penting dalam pertumbuhan

dan perkembangan bayi. Hal ini membuat beberapa organisasi

seperti (World Health Organization) WHO, UNICEF, dan (World

Health Assembly) WHA merekomendasikan pemberian ASI saja

selama 6 bulan (Amiruddin, 2007).

26
Departemen kesehatan dunia juga menargetkan cakupan

pemberian ASI eksklusif sebesar 80%.Air Susu Ibu (ASI) merupakan

suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa, dan garam-garam

organik yang dikelurkan oleh kelenjar mamarimanusia. Sebagai satu-

satunya makanan alami yang berasal dari ibu, ASI menjadi

makanan terbaik dan sempurna untuk bayi karena mengandung zat

gizi sesuai kebutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan

bayi(Siregar, 2005).

ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI sedini

mungkin setelah persalinan, diberikan tanpa jadwal dan tidak ada

makanan tambahan sampai dengan bayi berumur 6 bulan. Makanan

tambahan yang dimaksud yaitu susu formula, air matang, jus buah, air

gula, dan madu. Vitamin maupun obat, dalam bentuk tetes atau

sirup tidak termasuk makanan tambahan (Pearl et all, 2004; Dee,

2008).ASI dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bayi 6 bulan karena

kandungan gizinya yang sesuai. Kapasitas lambung bayibaru lahir

hanya dapat menampung cairan sebanyak 10-20 ml (2-4 sendok teh).

ASI memiliki kandungan gizi yang sesuai serta volume yang tepat

sesuai dengan kapasitas lambung bayi yang masih terbatas (Depkes,

2012).

ASI memiliki berbagai kebaikan untuk bayi karena kandungan

nutrisi yang terdapat pada ASI sangat sesuai dengan kebutuhan

bayi. Komposisi ASI berbeda-beda sesuai dengan stadium laktasi,

27
waktu, nutrisi ibu, dan masa gestasi janin saat lahir (Olds et all,

2001).

Berdasarkan faktor yang telah disebutkan, ASI dibagi menjadi

tiga bagian, yaitu kolostrum, ASI transisi, dan ASI matang.Kolostrum

memiliki susu pertama yang keluar berbentuk cairan kekuning-

kuningan yang lebih kental dari ASI matang. Kolostrum

mengandung protein, vitamin yang larut dalam lemak, dan mineral

yang lebih banyak dari ASI matang. Kolostrum sangat penting untuk

diberikan karena selain tinggi akan immunoglobulin A (IgA) sebagai

sumber imun pasif bagi bayi, kolostrum juga berfungsi sebagai

pencahar untuk membersihkan saluran pencernaanbayi baru lahir.

Produksi kolostrum dimulai sejak masa kehamilan sampai beberapa

hari setelah kelahiran. Namun, pada umumnya kolostrum

digantikan oleh ASI transisi dalam dua sampai empat hari setelah

kelahiran bayi (Olds et all, 2001; Roesli, 2004; Brown,2005).ASI

transisi diproduksi mulai dari berhentinya produksi kolostrum

sampai kurang lebih dua minggu setelah melahirkan. Kandungan

protein dalam ASI transisi semakin menurun, namun kandungan

lemak, laktosa dan vitamin larut air, semakin meningkat.

Volume ASI transisi semakin meningkat seiring dengan lama

menyusui dan kemudian digantikan oleh ASI matang (Olds et all,

2001; Roesli, 2004).

ASI matang mengandung dua komponen berbeda berdasarkan

waktu pemberian yaitu foremilk dan hindmilk. Foremilk merupakan

28
ASI yang keluar pada awal bayi menyusu, sedangkan hindmilk

keluar setelah permulaan let-down. Fore milk mengandung vitamin,

protein, dan tinggi akan air. Hindmilk mengandung lemak empat

sampai lima kali lebih banyak dari foremilk(Utama Roesli, 2014).

3. Manfaat ASI Eksklusif

Bagi bayi dan ibu ASI eksklusif menyebabkan mudahnya

terjalin ikatan kasih sayang yang mesra antara ibu dan bayi baru

lahir. Hal ini merupakan keuntungan awal dari menyusui secara

eksklusif. Bagi bayi tidak ada perbedaan yang lebih berharga dari

ASI. Hanya seorang ibu yang dapat memberikan makanan terbaik

bagi bayinya. Selain dapat meningkatkan kesehatan dan kepandaian

secara optimal, ASI juga membuat anak potensial memiliki

perkembangan sosial yang baik (Utami Roesli, 2014)

4. Pengelompokan ASI

Berdasarkan waktu produksinya ASI digolongkan kedalam 3

kelompok :

a. Kolostrum

Kolostrum adalah ASI yang keluar dari hari pertama

sampai hari ke empat setelah melahirkan. Kolostrum

merupakan cairan emas, cairan pelindung yang kaya akan zat

anti infeksi dan berprotein tinggi, merupakan cairan yang

pertama kali disekresi oleh kelenjar payudara, mengandung

tissuedebris dan residual materialyang terdapat dalam alveoli dan

duktus dari kelenjar payudara sebelum dan setelah masa

29
puerperium. Komposisi dari kolostrum ini dari hari ke hari selalu

berubah. Kolostrum merupakan cairan viscouskental denganwarna

kekuning –kuningan, lebih kuning dibandingkan dengan susu

yang matang. Kolostrummerupakan pencahar yang ideal untuk

membersihkan mekonium dari usus bayi yang baru lahir dan

mempersiapkan saluran pencernaan makanan bayi dan

makanan yang akan datang. Selain itu Kolostrum lebih

banyak mengandung protein dibanding dengan ASI yang matur.

Pada kolostrum protein yang utama adalah globulin. (Utama

Roesli, 2014).

Kolostrum memiliki manfaat yaitu Kolostrum mengandung

zat kekebalan terutama IgA untuk melindungi bayi dari

berbagai penyakit infeksi khususnya diare. Jumlah Kolostrum

yang diproduksi bervariasi tergantung dari isapan bayi pada

hari –hari pertama kelahiran, walaupun sedikit namun cukup

untuk memenuhi kebutuhan zat gizi bayi, oleh karena itu harus

diberikan kepada bayi. Kolostrum mengandung protein, vitamin A

yang tinggi, karbohidrat, dan lemak rendah. Sehingga sesuai

dengan kebutuhan zat gizi bayi pada hari –hari pertama setelah

kelahiran. Selain itu membantu pengeluaran mekonium yaitu

kotoran bayi yang pertama berwarna hitam kehijauan (Depkes,

2017).

b. ASI transisi atau ASI peralihan

30
ASI transisi diproduksi pada hari ke empat sampai hari ke

sepuluh kelahiran dari masa laktasi. Tetapi ada pula pendapat

yang mengatakan bahwa, pada kondisi –kondisi tertentu ASI

transisi dapat diproduksi sampai minggu ke 5. ASI transisi

mengandung protein yang lebih rendah dibanding

Kolostrum.Namun, kandungan lemak dan karbohidrat ASI transisi

lebih tinggi dibanding Kolostrum dan volume pada ASI transisi

makin meningkat.

c. Air susu dengan komposisi zat gizi tetap

Setelah bayi berumur 1 bulan, komposisi zat gizi ASI

tidak akan mengalami perubahan (komposisinya tetap). Kondisi

ini akan berlangsung sampai bayi berumur 2 –3 tahun.

Volume ASI yang diproduksi akan mengalami

perubahan seiring dengan bertambahnya umur bayi. Ketika

umur bayi mencapai 3 bulan, seorang ibu dapat memproduksi

ASI 800 ml sehari. Terjadinya perubahan volume ASI sesuai

dengan kebutuhan bayi. Menginjak umur 6 bulan, bayi

membutuhkan makanan tambahan berupa makanan pendamping

ASI karena ASI yang diproduksi ibu mulai menurun dan tidak

mencukupi kebutuhan bayi. ASI tetap boleh diberikan sampai

bayi berumur 2 tahun

F. Imunisasi Dasar Lengkap

1. Pengertian

31
Imunisasi merupakan usaha pemberian kekebalan pada bayi

dan anak dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh agartubuh

membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu.

Imunisasi adalah cara untuk meningkatkan kekebalanseseorang

secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelakia terpajan pada

antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit (Garry S Matondang &

Sjawitri P Siregar,dalam Ranuh,2008, p. 10)

2. Macam-macam imunisasi dasar lengkap

a. Imunisasi BCG (Bacillus Calmette Guerrin)

Vaksin ini mengandung bakteri Bacillus Calmette Guerrin

hidup yang dilemahkan, diberikan secara intra cutan dengan dosis

0,05 ml pada insertio muskulus deltoideus. Kontraindikasi

untuk vaksinasi BCG adalah penderita gangguan sistem

kekebalan(misalnya penderita leukemia, penderita yang menjalani

pengobatan steroid jangka panjang, penderita infeksi HIV). Reaksi

yang mungkin terjadi :

1) Reaksi lokal : 1– 2 minggu setelah penyuntikan, pada

tempatpenyuntikan timbul kemerahan dan benjolan kecil yang

terabakeras. Kemudian benjolan ini berubah menjadi

pustule(gelembung berisi nanah), lalu pecah dan

membentuk lukaterbuka (ulkus). Luka ini akhirnya sembuh

secara spontan dalam waktu 8– 12 minggu dengan

meningkatkan jaringanparut yang disebut scar. Bila tidak

ada scar berarti imunisasi BCG tidak jadi, maka bila

32
akan diulangdan bayi sudah berumur lebih dari 2

bulan harus dilakukan uji Mantoux (tuberkulin).

2) Reaksi regional : pembesaran kelenjar getah bening ketiak atau

leher tanpa disertai nyeri tekan maupun demam yang akan

menghilang dalam waktu 3– 6 bulan.

Komplikasi yang mungkin timbul adalah :

a) Pembentukan abses (penimbunan nanah) di tempat

penyuntikan karena penyuntikan yang terlalu dalam.

Abses ini akan menghilang secara spontan. Untuk

mempercepat penyembuhan, bila abses telah matang,

sebaiknya dilakukan aspirasi (pengisapan abses

dengan menggunakan jarum) dan bukan disayat.

b) limfadenis supurativa, terjadi jika penyuntikan dilakukan

terlaludalam atau dosisnya terlalu tinggi. Keadaan ini akan

membaikdalam waktu 2– 6 bulan.

b. Imunisasi Hepatitis B

Imunisasi hepatitis B adalah imunisasi yang diberikan untuk

menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis B,

yaitu penyakit infeksi yang dapat merusak hati (Maryunani,

2010). Kini paling tidak 3,9% ibu hamil mengidap hepatitis B

aktif dengan risiko penularan kepada bayinya sebesar

45%. Kementerian kesehatan mulai tahun 2005 memberikan

vaksin hepatitis B-0 monovalen (dalam kemasan uniject) saat

33
lahir, dilanjutkan dengan vaksin kombinasi DTwP/Hepatitis B

pada umur 2-3-4 bulan. Tujuan vaksin hepatitis B diberikan

dalam kombinasi dengan DTwP untuk mempermudah

pemberian dan meningkatkan cakupan hepatitis B3 yang masih

rendah (Ranuh et.al, 2011).

Vaksin hepatitis B harus segera diberikan setelah

lahir, mengingat vaksinasi hepatitis B merupakan upaya

pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan rantai

penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.

Vaksin hepatitis B diberikan sebaiknya 12 jam setelah lahir dengan

syarat kondisi bayi dalam keadaan stabil, tidak ada gangguan

pada paru-paru dan jantung (Maryunani, 2010).

Vaksin diberikan secara intramuskular dalam. Pada

neonatus dan bayi diberikan di anterolateral paha, sedangkan pada

anak besar dan dewasa, diberikan di regio deltoid. Interval antara

dosis pertama dan dosis kedua minimal 1 bulan, memperpanjang

interval antara dosis pertama dan kedua tidak akan

mempengaruhi imunogenisitas atau titer antibodi sesudah

imunisasi selesai. (Ranuh et.al, 2011). Untuk ibu dengan HbsAg

positif, selain vaksin hepatitis B diberikan juga hepatitis

immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml di sisi tubuh yang berbeda dalam

12 jam setelah lahir. Sebab, Hepatitis B Imunoglobulin (HBIg)

dalam waktu singkat segera memberikan proteksi meskipun

hanya jangka pendek (3-6 bulan) (Cahyono, 2010).

34
Bila sesudah dosis pertama, imunisasi terputus, segera

berikan imunisasi kedua, sedangkan imunisasi ketiga diberikan

dengan jarak terpendek 2 bulan dari imunisasi kedua. Bila

dosis ketiga terlambat, diberikan segera setelah

memungkinkan. Efek samping yang terjadi umumnya berupa

reaksi lokal yang ringan dan bersifat sementara. Kadang-kadang

dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari (Ranuh et.al,

2011).

c. Imunisasi Diphteria Pertusis Tetanus-Hepatitis B (DPT-HB)

atau Diphteria Pertusis Tetanus- Hepatitis B-Hemophilus

influenza type B (DPT-HB-HiB)

Vaksin DPT-HB-Hib berupa suspense homogeny yang

berisikan difteri murni, toxoid tetanus, bakteri pertusis inaktif,

antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) murni yang tidak

infeksius dan komponen Hib sebagai vaksin bakteri sub unit

berupa kapsul polisakarida Haemophillus influenza tipe b (Hib)

tidak infeksius yang dikonjugasikan kepada protein toksoid tetanus

(Kemenkes, 2013).

Vaksin ini digunakan untuk pencegahan terhadap difteri,

tetanus, pertusis (batuk rejan), hepatitis B dan infeksi

Haemophilus influenza tipe b secara simultan. Strategic

Advisory Group of Expert on Immunization (SAGE)

merekomendasikan vaksin Hib dikombinasi dengan DPT-HB

menjadi vaksin pentavalent (DPT-HB-Hib) untuk mengurangi

35
jumlah suntikan pada bayi. Penggabungan berbagai antigen

menjadi satu suntikan telah dibuktikan melalui uji klinik, bahwa

kombinasi tersebut secara materi tidak akan mengurangi keamanan

dan tingkat perlindungan (Kemenkes, 2013).

Pemberian imunisasi DPT-HB-Hib diberikan sebanyak 3

(tiga) kali pada usia 2, 3 dan 4 bulan. Pada tahap awal hanya

diberikan pada bayi yang belum pernah mendapatkan imunisasi

DPT-HB. Apabila sudah pernah mendapatkan imunisasi DPT-

HB dosis pertama atau kedua, tetap dilanjutkan dengan pemberian

imunisasi DPT-HB sampai dengan dosis ketiga. Untuk

mempertahankan tingkat kekebalan dibutuhkan imunisasi

lanjutan kepada anak batita sebanyak satu dosis pada usia 18

bulan.

Jenis dan angka kejadian reaksi simpang yang berat

tidak berbeda secara bermakna dengan vaksin DPT, Hepatitis

B dan Hib yang diberikan secara terpisah. Untuk DPT, beberapa

reaksi lokal sementara seperti bengkak, nyeri dan kemerahan pada

lokasi suntikan disertai demam dapat timbul. Vaksin hepatitis B

dan vaksin Hib dapat ditoleransi dengan baik. Reaksi lokal dapat

terjadi dalam 24 jam setelah vaksinasi dimana penerima vaksin

dapat merasakan nyeri pada lokasi penyuntikkan. Reaksi ini

biasanya bersifat ringan dan sementara, pada umumnya akan

sembuh dengan sendirinya dan tidak memerlukan tindakan

medis lebih lanjut.

36
Terdapat beberapa kontraindikasi terhadap dosis pertama

DPT, kejang atau gejala kelainan otak pada bayi baru lahir

atau kelainan saraf serius lainnya merupakan kontraindikasi

terhadap komponen pertusis. Dalam hal ini vaksin tidak boleh

diberikan sebagai vaksin kombinasi, tetapi vaksin DT harus

diberikan sebagai pengganti DPT, vaksin Hepatitis B dan Hib

diberikan secara terpisah. Vaksin tidak boleh diberikan pada

anak dengan riwayat alergi berat dan ensefalopalopati pada

pemberian vaksin sebelumnya. Keadaan lain yang perlu

mendapatkan perhatian khusus adalah bila pada pemberian

vaksin sebelumnya. Keadaan lain yang perlu mendapatkan

perhatian khusus adalah bila pada pemberian pertama

dijumpai riwayat demam tinggi, respon dan gerak yang kurang

(hipotonik-hiporesponsif) dalam 48 jam, anak menangis terus

selama 2 jam, dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah

imunisasi DPT. Pemberian vaksin sebaiknya ditunda pada

orang yang berpenyakit infeksi akut. Vaksin DPT, baik bentuk

DtaP maupun DTwP, tidak diberikan pada anak kurang dari

usia 6 minggu. Sebab, respons terhadap pertusis dianggap tidak

optimal. Vaksin pertusis tidak boleh diberikan pada wanita hamil

(Cahyono,2010).

d. Imunisasi Polio

Imunisasi Polio Imunisasi polio merupakan imunisasi yang

bertujuan mencegah penyakit poliomielitis. Vaksin polio telah

37
dikenalkan sejak tahun 1950, Inactivated (Salk) Poliovirus

Vaccine (IPV) mendapat lisensi pada tahun 1955 dan

langsung digunakan secara luas. Pada tahun 1963, mulai

digunakan trivalen virus polio secara oral (OPV) secara luas.

Enhanced potency IPV yang menggunakan molekul yang

lebih besar dan menimbulkan kadar antibodi lebih tinggi mulai

digunakan tahun 1988. Perbedaan kedua vaksin ini adalah IPV

merupakan virus yang sudah mati dengan formaldehid,

sedangkan OPV adalah virus yang masih hidup dan

mempunyai kemampuan enterovirulen, tetapi tidak bersifat

patogen karena sifat neurovirulensinya sudah hilang (Ranuh et.al,

2011). Imunisasi dasar polio diberikan 4 kali (polio I, II, III, IV)

dengan interval tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi polio

ulangan diberikan 1 tahun setelah imunisasi polio IV,

kemudian pada saat masuk SD (5-6 tahun) dan pada saat

meninggalkan SD (12 tahun). Vaksin ini diberikan sebanyak 2

tetes (0,1 ml) langsung kemulut anak. Setiap membuka vial

baru harus menggunakan penetes (dropper) yang baru

(Proverawati dan Andhini, 2010).

Dosis pertama dan kedua diperlukan untuk menimbulkan

respon kekebalan primer, sedangkan dosis ketiga dan keempat

diperlukan untuk meningkatkan kekuatan antibodi sampai pada

tingkat yang tertinggi (Lisnawati, 2011). Pemberian imunisasi

polio tidak boleh dilakukan pada orang yang menderita

38
defisiensi imunitas. Tidak ada efek yang berbahaya yang

ditimbulkan akibat pemberian polio pada anak yang sedang

sakit. Namun, jika ada keraguan, misalnya sedang menderita

diare, maka dosis ulangan dapat diberikan setelah sembuh.

(Proverawati dan Andhini, 2010).

Vaksinasi polio tidak dianjurkan diberikan pada keadaan

ketika seseorang sedang demam (>38,5°C), obat penurun daya

tahan tubuh, kanker, penderita HIV, Ibu hamil trimester pertama,

dan alergi pada vaksin polio. Pernah dilaporkan bahwa penyakit

poliomielitis terjadi setelah pemberian vaksin polio. Vaksin

polio pada sebagian kecil orang dapat menimbulkan gejala

pusing, diare ringan, dan nyeri otot (Cahyono,2010).

e. Imunisasi Campak

Imunisasi campak ditujukan untuk memberikan kekebalan

aktif terhadap penyakit campak. pemberian vaksin campak

diberikan 1 kali pada umur 9 bulan secara subkutan walaupun

demikian dapat diberikan secara intramuskuler dengan dosis

sebanyak 0,5 ml. Selanjutnya imunisasi campak dosis kedua

diberikan pada program school based catch-up campaign, yaitu

secara rutin pada anak sekolah SD kelas 1 dalam program BIAS

(Ranuh et.al, 2011).

Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah vaksinasi,

infeksi aktif, dan kekebalan pasif pada seorang bayi yang

lahir dari ibu yang telah kebal (berlangsung selama 1

39
tahun). Orang-orang yang rentan terhadap campak adalah bayi

berumur lebih dari 1 tahun, bayi yang tidak mendapatkan

imunisasi kedua sehingga merekalah yang menjadi target

utama pemberian imunisasi campak. kadar antibodi campak

tidak dapat dipertahankan sampai anak menjadi dewasa.

Pada usia 5-7 tahun, sebanyak 29,3% anak pernah

menderita campak walaupun pernah diimunisasi. Sedangkan

kelompok 10-12 tahun hanya 50% diantaranya yang

mempunyai titer antibodi di atas ambang pencegahan. Berarti,

anak usia sekolah separuhnya rentan terhadap campak dan

imunisasi campak satu kali saat berumur 9 bulan tidak dapat

memberi perlindungan jangka panjang (Cahyono, 2010).

Efek samping yang timbul dari imunisasi campak seperti

demam lebih dari 39,5°C yang terjadi pada 5%-15% kasus, demam

mulai dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi dan

berlangsung selama 5 hari. Ruam dapat dijumpai pada 5% resipian

timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi dan berlangsung

selama 2-4 hari. Hal ini sukar dibedakan dengan akibat imunisasi

yang terjadi jika seseorang telah memperoleh imunisasi pada saat

inkubasi penyakit alami. Terjadinya kejang demam, reaksi berat

jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti

ensefalitis dan ensefalopati pasca imunisasi.diperkirakan risiko

terjadinya kedua efek samping tersebut 30 hari sesudah

40
imunisasi sebanyak 1 diantara 1 milyar dosis vaksin (Ranuh

et.al, 2011).

Imunisasi tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan

imunodefisiensi primer , pasien TB yang tidak diobati, pasien

kanker atau transplantasi organ, mereka yang mendapat

pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anak

immunocompromised yang terinfeksi HIV. Anak yang

terinfeksi HIV tanpa immunosupresi berat dan tanpa bukti

kekebalan terhadap campak, bisa mendapat imunisasi campak

(Ranuh et.al, 2011)

3. Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar Lengkap

Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar Lengkap Sesuai dengan

Permenkes Nomor 42 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi,

jadwal pemberian imunisasi dasar pada bayi dapat dilihat pada

tabel dibawah ini :

Tabel 2.1 Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar pada Bayi Usia (0-11

bulan)

Waktu pemberian (usia) Jenis imunisasi yang diberikan

0 bulan Hepatitis B0

1 bulan BCG, Polio 1

2 bulan DPT-HB-Hib 1, Polio 2

3 bulan DPT-HB-Hib 2, Polio 3

4 bulan DPT-HB-Hib 3, Polio 4

9 bulan Campak

41
4. Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I)

Secara umum tujuan kegiatan imunisasi sesuai dengan

Progam Pengembangan Imunisasi (PPI) yang mulai dilaksanakan di

Indonesia pada tahun 1977 berfokus pada pencegahan penularan

terhadap beberapa PD3I yaitu Hepatitis B, Tuberkulosis, Difteri,

Pertusis, Tetanus, Polio serta Campak.

42
G. Kerangka Teori

Kerangka teori yang digunakan sebagai dasar dalam penelitian ini

dapat digambarkan sebagai berikut :

Penyebab langsung:

1. Kekurangan energi
kronik
2. BBLR
3. Penyakit infeksi
4. Sanitasi
Kejadian stunting

Penyebab tak langsung :


1. Asi ekslusif
2. Imunisasi dasar
lengkap
3. Pola asuh
4. Pendidikan, sosial
ekonomi dll.

Ket: yang dihitamkan yang diteliti

Bagan 2.1 kerangka teori


Sumber : yang telah dimodifikasikan oleh Sukmawati. 2018, Septiawan Eko.
2018

43
BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Kerangka konsep

Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan

atau kaitan antara konsep satu dan konsep lainnya, atau antara variabel

yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti

(Notoatmodjo, 2012).

Variabel Independen Variabel dependen

Kekurangan Energi Kronik

BBLR Stunting Pada


Balita

Pemberian ASI ekslusif

Imunisasi dasar lengkap

Bagan 3.1 kerangka konsep

B. Definisi Operasional

Untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel

diamati atau diteliti, perlu sesekali variabel-variabel tersebut diberi batasan

atau “definisi operasional” (Notoadmodjo, 2012).

44
Tabel 3.1
Definisi Operasional

N Variabel Definisi Cara Alat ukur Hasil ukur Skla


o operasional ukur ukur
1 Kekuran suatu keadaan Lembar Buku KIA 0: Tidak Kek Interval
g Energi patologis ceklis jika ≥ 23,5
Kronik akibat cm
kekurangan 1: KEK jika
atau kelebihan < 23,5 cm
secara relatif
maupun
absolut atau
lebih zat gizi
(malnutrisi)
2 BBLR merupakan Lembar Buku KIA 0: Normal Ordinal
bayi dengan ceklis jika berat
berat badan badan lahir
<2500 gram 2500-4000
tanpa gram
memandang 1: BBLR
usia gestasi. jika berat
badan lahir <
dari 2500
gram
3 Asi Merupakan KuesioLembar 0: bayi di Ordinal
Ekslusif pemberian ner berikan ASI
ASI sedini ceklis saja pada
mungkin usia 0-6
pada bayi bulan
berusia 0-6 1: bayi
bulan diberikan
MP-ASI
pada usia 0-
6 bulan
4. Imunisas usaha Lembar Buku KIA 0: jika bayi Ordinal
i dasar pemberian ceklis lengkap
lengkap kekebalan imunisasi
pada bayi 1: jika bayi
dan anak tidak
dengan lengkap
memasukkan imunisasi
vaksin ke
dalam tubuh

5 Stunting status gizi Lembar Tibangan 0= Normal Ordinal

45
yang Ceklis digital dan Zscore ≥ -
didasarkan pita cm 2,0
pada indeks 1= stunting
PB/U atau < -2,0
TB/U

C. Hipotesis

1. Ada hubungan signifikan antara Kekurangan Energi Kronik pada ibu

hamil dengan Kejadian Stunting Pada Balita usia 23-59 bulan di

Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi tahun

2019.

2. Ada hubungan signifikan antara BBLR dengan Kejadian Stunting Pada

balita usia 23-59 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang

Kota Bukittinggi tahun 2019

3. Ada hubungan signifikan antara pemberian ASI Ekslusif dengan

Kejadian Stunting Pada Balita usia 23-59 bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi tahun 2019.

4. Ada hubungan signifikan antara Imunisasi Dasar Lengkap dengan

Kejadian Stunting Pada Balita usia 23-59 bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi tahun 2019.

BAB IV

46
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian ini bersifat survey analitik dengan rancangan

cross sectional study yaitu variabel independen dan variabel dependen

yang terjadi pada objek penelitian diukur atau dikumpulkan secara

simultan dalam waktu bersamaan, serta menggambarkan bagaimana

“Hubungan Riwayat Status Gizi ibu hamil Dengan Kejadian Stunting

Pada Balita Usia 23-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang

Kota Bukittinggi Pada Tahun 2019”

B. Waktu dan tempat penelitian

1. Waktu penelitian

Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus tahun

2019

2. Tempat penelitian

Tempat penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas

Guguk Panjang Kota Bukittinggi Tahun 2019

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek yang akan diteliti atau

diamati (Notoadmojo,2012). Populasi dalam penelitian ini adalah ibu

yang mempunyai anak balita. Populasi dalam penelitian ini adalah 534

47
orang ibu yang mempunyai anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Guguk Panjang

2. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diliti

(Arikunto, 2010). Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang

mempunyai anak balita dengan teknik pengambilan sampel Simple

random sampling.

Jumlah sampel yang dijadikan penelitian diambil dengan

menggunakan rumus Slovin:

N
n= 2
1+(N x e )

534
n=
1+(534 x 0,12 )

534
n=
1+(534 x 0 ,01)

534
n=
6,34

= 84, 22 orang

Jadi dari 534 orang ibu yang mempunyai anak balita di

Wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang diambil 84, 22 orang

dibulatkan menjadi 84 orang untuk menjadi sampel penelitian.

Sampel yang diteliti dengan kriteria sebagai berikut:

a. Kriteria inklusi:

1) Bersedia menjadi responden

48
2) Ibu yang mempunyai riwayat kehamilan KEK

3) Ibu yang mempunyai anak balita

4) Ibu yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas

Guguk Panjang

5) Ibu yang mempunyai buku KIA

b. Kriteria ekslusi

1) Ibu yang tidak bersedia menjadi responden

2) Ibu yang mempunyai riwayat kehamilan normal

3) Ibu yang tidak mempunyai anak balita

4) Ibu yang bertempat tinggal diluar wilayah kerja

puskesmas Guguk Panjang

5) Ibu yang tidak mempunyai buku KIA

D. Cara pengumpulan data

1. Data primer

Data primer adalah pengumpulan data secara langsung oleh

peneliti. Pengumpulan data dilakukan dengan cara membagikan

kuesioner yang berisi sejumlah pertanyaan kepada responden yang

dijadikan objek penelitian.

2. Data sekunder

Data sekunder yang dikumpulkan secara tidak langsung yaitu

melalui instansi yang bersangkutan.

49
E. Pengolahan data dan analisis data

1. Teknik pengolahan data

a. Pemeriksaan data (editing)

Setelah pengumpulan data dilakukan dengan mengisi

format pengumpulan data kemudian data diperiksa, data yang

sudah diperiksa sudah dianggap sudah benar.

b. Pengkodean data (coding)

Data yang sudah diperiksa kemudian dilakukan

pengkodean. Kegiatan ini mengklasifikasikan data menurut

kategorinya, langkah pemberian kode pada atribut dan variabel ini

memudahkan peneliti dalam tahap analisis data.

c. Memasukkan data (entry)

Memasukkan data hasil penelitian kedalam master tabel dan

diolah dengan menggunakan komputer.

d. Tabulasi data (tabulating)

Data ditabulasi dan disajikan dalam bentuk distribusi

frekuensi.

e. Membersihkan data (cleaning)

Melakukan pencetakan data yang telah dibuang kembali

dan data sudah tidak ada kesalahan.

2. Teknik Analisis Data

a. Analisis Univariat

50
Analisis Univariat bertujuan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Pada

umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi

frekuensi dan persentase dari tiap variabel.

b. Analisis Bivariat

Analisis yang digunakan untuk melihat hubungan antara

variabel dependen dengan variabel independen. Dengan melakukan

uji Chi-square menggunakan program komputer dengan batas

kemaknaan P value < 0, 05 berarti ada hubungan yang signifikan

antara variabel independen dan variabel dependen, jika p value > 0,

05 berarti tidak ada hubungan variabel independen dan dependen

yang di uji.

51

Anda mungkin juga menyukai