Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Status Gizi


1. Definisi Status Gizi
Status Gizi adalah keadaan tubuh manusia sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Adapun kategori dari status gizi
dibedakan menjadi 3 yaitu gizi lebih, gizi baik, dan gizi buruk
(Mardalena, 2017).
Status Gizi adalah tingkat keadaan gizi seseorang yang dinyatakan
menurut jenis dan beratnya keadaan gizi misalnya gizi lebih, gizi baik,
gizi kurang dan gizi buruk. Status gizi merupakan keseimbangan antara
kebutuhan zat gizi dan konsumsi makanan (Alfiana, 2017).
Status gizi adalah salah satu unsur penting dalam membentuk status
kesehatan. Status gizi (nutritional satus) adalah keadaan yang diakibatkan
oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dari makanan dan kebutuhan zat
gizi oleh tubuh (Wiyono, 2017).
Status gizi dapat didefinisikan sebagai keadaan tubuh sebagai
akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi, yang dibedakan
antara status gizi buruk, kurang, baik dan lebih (Almatsier, 2009).
Jadi kesimpulannya Status Gizi adalah suatu keadaan tingkat gizi
pada tubuh bayi yang diakibatkan dari keseimbangan antara asupan zat
gizi dan kebutuhan zat gizi dari makanan oleh tubuh.

2. Penilaian Status Gizi


Menurut Mardalena (2017) dalam ilmu gizi ada dua metode
penilaian status gizi yaitu penilaian status gizi langsung dan penilaian
status gizi tidak langsung. Penilaian status gizi langsung terdiri dari
antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan penilaian status

7
8

gizi tidak langsung terdiri dari survei, konsumsi makanan, statistik vital,
dan faktor ekologi.

3. Parameter Penilaian Status Gizi


Menurut Wiyono (2017) beberapa contoh ukuran tubuh manusia
sebagai parameter antropometri yang sering digunakan untuk menentukan
status gizi antara lain:
a. Berat badan
Berat badan menggambarkan jumlah protein, lemak, air, dan
mineral yang terdapat di dalam tubuh. Berat badan merupakan
komposit pengukuran ukuran total tubuh. Beberapa alasan mengapa
berat badan digunakan sebagai parameter antropometri. Alasan
tersebut di antaranya adalah perubahan berat badan mudah terlihat
dalam waktu singkat dan menggambarkan status gizi saat ini.
Pengukuran berat badan memerlukan alat yang hasil ukurannya
akurat. Untuk mendapatkan ukuran berat badan yang akurat, terdapat
beberapa persyaratan alat ukur berat di antaranya adalah alat ukur
harus mudah digunakan dan dibawa, mudah mendapatkannya, harga
alat relatif murah dan terjangkau, ketelitian alat ukur sebaiknya 0,1 kg
(terutama alat yang digunakan untuk memonitor pertumbuhan), skala
jelas dan mudah dibaca, cukup aman jika digunakan, dan alat selalu
dikalibrasi. Beberapa jenis alat timbang yang biasa digunakan untuk
mengukur berat badan adalah dacin untuk menimbang berat badan
balita, timbangan detecto, bathroom scale (timbangan kamar mandi),
timbangan injak digital, dan timbangan berat badan lainnya.
b. Tinggi badan
Tinggi badan menggambarkan ukuran pertumbuhan massa
tulang yang terjadi akibat dari asupan gizi. Oleh karena itu tinggi
badan digunakan sebagai parameter antropometri untuk
menggambarkan pertumbuhan linier. Pertambahan tinggi badan atau
panjang terjadi dalam waktu yang lama sehingga sering disebut akibat
9

masalah gizi kronis. Istilah tinggi badan digunakan untuk anak yang
diukur dengan cara berdiri, sedangkan panjang badan jika anak diukur
dengan berbaring (belum bisa berdiri). Anak berumur 0–2 tahun
diukur dengan ukuran panjang badan, sedangkan anak berumur lebih
dari 2 tahun dengan menggunakan microtoise. Alat ukur yang
digunakan untuk mengukur tinggi badan atau panjang badan harus
mempunyai ketelitian 0,1 cm. Tinggi badan dapat diukur dengan
menggunakan microtoise. Kelebihan alat ukur ini adalah memiliki
ketelitian 0,1 cm, mudah digunakan, tidak memerlukan tempat yang
khusus, dan memiliki harga yang relatif terjangkau. Kelemahannya
adalah setiap kali akan melakukan pengukuran harus dipasang pada
dinding terlebih dahulu. Sedangkan panjang badan diukur dengan
infantometer (alat ukur panjang badan).
c. Lingkar kepala
Lingkar kepala dapat digunakan sebagai pengukuran ukuran
pertumbuhan lingkar kepala dan pertumbuhan otak, walaupun tidak
sepenuhnya berkorelasi dengan volume otak. Pengukuran lingkar
kepala merupakan predikator terbaik dalam melihat perkembangan
syaraf anak dan pertumbuhan global otak dan struktur internal. Bayi
laki-laki yang baru lahir ukuran ideal lingkar kepalanya adalah 36 cm,
dan pada usia 3 bulan menjadi 41 cm. Sedangkan pada bayi
perempuan ukuran ideal lingkar kepalanya adalah 35 cm, dan akan
bertambah menjadi 40 cm pada usia 3 bulan. Pada usia 4-6 bulan akan
bertambah 1 cm per bulan, dan pada usia 6- 12 bulan pertambahan 0,5
cm per bulan.
Cara mengukur lingkar kepala dilakukan dengan melingkarkan
pita, pengukur melalui bagian paling menonjol di bagian kepala
belakang (protuberantia occipitalis) dan dahi (glabella). Saat
pengukuran sisi pita yang menunjukkan sentimeter berada di sisi
dalam agar tidak meningkatkan kemungkinan subjektivitas pengukur.
Kemudian cocokkan terhadap standar pertumbuhan lingkar kepala.
10

d. Umur
Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi
kesalahan penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang
salah. Hasil penimbangan berat badan maupun tinggi badan yang
akurat menjadi tidak berarti bila tidak disertai penentuan umur
yang tepat. Kesalahan yang sering muncul adalah adanya
kecenderungan untuk memilih angka yang mudah seperti 1 tahun, 1,5
tahun, 2 tahun. Oleh karena itu penentuan umur anak perlu dihitung
dengan cermat. Ketentuannya adalah 1 tahun adalah 12 bulan, 1 bulan
adalah 30 hari. Jadi perhitungan umur adalah dalam bulan penuh,
yang artinya sisa umur dalam hari tidak diperhitungkan (Prawesti,
2016).

4. Indeks Antropometri
Menurut Mardalena (2017) antroprometri adalah ukuran tubuh
manusia. Pengukuran menggunakan metode ini dilakukan karena manusia
mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan mencakup
perubahan besar, jumlah, ukuran dan fungsi sel, jaringan, organ tingkat
individu yang diukur dengan ukuran panjang, berat, umur tulang, dan
keseimbangan metabolik. Sedangkan perkembangan adalah bertambahnya
kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam
pola yang teratur dan dapat diramalkan. Pertumbuhan dan perkembangan
dipengaruhi oleh faktor internal (genetik) dan faktor eksternal
(lingkungan).
Metode antropometri digunakan untuk melihat ketidak-seimbangan
asupan protein dan energi (karbohidrat dan lemak). Metode ini memiliki
keunggulan dimana alat mudah, dapat dilakukan berulang-ulang dan
objektif, siapa saja bisa dilatih mengukur, relatif murah, hasilnya mudah
disimpulkan, secara ilmiah diakui kebenarannya, sederhana, aman, bisa
sampel besar tepat, akurat, dapat menggambarkan riwayat gizi masa lalu,
bisa untuk skrining, dan mengevaluasi status gizi. Selain dari keunggulan,
11

ada pula kelemahannya antara lain tidak sensitif dan spesifik mengukur
suatu zat gizi, bisa dipengaruhi faktor diluar gizi misalnya penyakit, bisa
terjadi pengukuran.
Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan
mengukur beberapa parameter parameter terdiri dari umur, berat badan,
tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala dll. Setiap indeks
antropometri memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing antara
lain:
a. BB/U
Kelebihan dari BB/U yaitu mudah, cepat dimengerti, bisa
mengukur status akut dan kronis, sensitif terhadap perubahan, dapat
mendeteksi overweight. Sedangkan kelemahannya yaitu dipengaruhi
ascites, harus tahu jelas tanggal lahir, sering salah dalam pengukuran.
b. TB/U
Kelebihan dari TB/U yaitu alat mudah, murah, fleksibel, bisa
mengukur gizi masa lampau. Sedangkan kelemahannya yaitu tinggi
badan lambat berubah, posisi harus tepat, umur harus pasti.
c. BB/TB
Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi
badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan
searah dengan pertumbuhan tinggi badan dan kecepatan tertentu.
Indeks BB/TB adalah merupakan indeks yang independen terhadap
umur. Kelebihan indeks BB/TB adalah tidak memerlukan data umur,
dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal dan kurus).
Sedangkan kelemahannya yaitu tidak memberikan gambaran, apakah
anak tersebut pendek, cukup tinggi badan atau kelebihan tinggi badan
menurut umurnya.
d. LLA/U
Kelebihan dari LLA/U yaitu baik untuk menilai Kekurangan
Energi Protein (KEP) berat, murah, mudah. Sedangkan kelemahannya
12

yaitu sulit menentukan ambang batas, sulit menilai pertumbuhan anak


usia 2-5 tahun.

5. Z-Score
Berdasarkan Riskesdas (2013) Status gizi anak balita diukur
berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Berat badan
anak balita ditimbang menggunakan timbangan digital yang memiliki
presisi 0,1 kg, panjang atau tinggi badan diukur menggunakan alat ukur
panjang/tinggi dengan presisi 0,1 cm. Variabel BB dan TB/PB anak balita
disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri, yaitu BB/U, TB/U, dan
BB/TB. Untuk menilai status gizi anak balita, maka angka berat badan
dan tinggi badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai
terstandar (Zscore) menggunakan baku antropometri anak balita WHO
2005. Pengukuran Skor Simpang Baku (Z-score) dapat diperoleh dengan
mengurangi Nilai Individual Subjek (NIS) dengan Nilai Median Baku
Rujukan (NMBR) pada umur yang bersangkutan, hasilnya dibagi dengan
Nilai Simpang Baku Rujukan (NSBR). Atau dengan menggunakan
rumus:

Z-Score = (NIS-NMBR) / NSBR

6. Kategori Status Gizi


Berdasarkan Kepmenkes No. 1995/MENKES/SK/XII/2010 kategori
status gizi balita adalah sebagai berikut :
a. Sangat kurus : < -3,0 SD
b. Kurus : -3,0 SD s/d < -2,0 SD
c. Normal : -2,0 SD s/d 2,0 SD
d. Gemuk : > 2,0 SD
13

7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Pada Gizi


Menurut Rifatul (2012) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
status gizi balita terbagi menjadi 2 meliputi faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang ada dalam diri anak itu
sendiri, yang meliputi status kesehatan, umur, jenis kelamin, dan ukuran
tubuh. Status kesehatan berkaitan dengan adanya hambatan reaksi
imunologis dan berhubungan dengan terjadinya prevalensi dan beratnya
penyakit infeksi, seperti kwashiorkor atau marasmus sering didapatkan
pada taraf yang sangat berat. Infeksi sendiri mengakibatkan penderita
kehilangan bahan makanan melalui muntah-muntah dan diare. Faktor
umur merupakan faktor yang sangat menentukan banyaknya kebutuhan
protein terutama pada golongan balita yang masih dalam masa
pertumbuhan. Terkait dengan faktor jenis kelamin, jenis kelamin wanita
lebih banyak kasusnya Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi status
gizi yaitu 11 faktor yang datang atau ada dari luar anak itu sendiri. Faktor
ini meliputi pendidikan, pengetahuan, infeksi dan pendapatan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Status Gizi meliputi:
a. Program pemberian makanan tambahan
Merupakan program untuk menambah nutrisi pada balita ini biasanua
diperoleh saat mengikuti posyandu. Adapun pemberian tambahan
makanan tersebut berupa makanan pengganti ASI yang biasa didapat
dari puskesmas setempat.
b. Tingkat pendapatan
Keluarga di negara Indonesia yang jumlah pendapatan penduduk
sebagian rendah adalah golongan rendah dan menengah akan
berdampak pada pemenuhan bahan makanan terutama makanan yang
bergizi.
c. Pemelihara kesehatan
Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan
(health promotion behaviour). Misalnya makan makanan yang
bergizi, olah raga dan sebagainya termasuk juga perilaku pencegahan
14

penyakit (health prevention behavior) yang merupakan respon untuk


melakukan pencegahan penyakit.
d. Pola asuh keluarga
Pola asuh adalah pola pendidikan yang diberikan orang tua kepada
anak-anaknya. Setiap anak membutuhkan cinta, perhatian, kasih
sayang yang akan berdampak terhadap perkembangan fisik, mental
dan emosional.
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih model penilaian
status gizi. Tujuan pengukuran sangat diperhatikan dalam memilih metode,
seperti tujuan ingin melihat fisik seseorang. Maka metode yang digunakan
adalah antropemetri.
Status gizi terutama ditentukan oleh ketersediaan zat-zat gizi pada
tingkat sel dalam jumlah cukup dan dalam kombinasi yang tepat yang
diperlukan tubuh untuk tumbuh, berkembang dan berfungsi normal. Pada
prinsipnya status gizi seseorang secara langsung dipengaruhi oleh
konsumsi makanan dan infeksi penyakit (Saputri, 2010). Faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap status gizi anak dibagi menjadi dua faktor
yaitu: faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor langsung yaitu
asupan makanan dan penyakit infeksi, sedangkan faktor tidak langsung
adalah tingkat pendidikan, sanitasi lingkungan.
a. Faktor konsumsi makanan
Faktor konsumsi makanan dapat diukur dari mutu makanan
sedangkan konsumsi makanan tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor
tidak langsung terhadap seseorang seperti: daya beli keluarga dan
kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan tergantung
dengan besar kecilnya pendapatan keluarga, latar belakang sosial
budaya, tingkat pendidikan dan pengetahuan keluarga (Saputri, 2010).
Tercukupinya kebutuhan pangan antara lain dapat diindikasikan dari
pemenuhan kebutuhan energi dan protein (Merryana, 2013).
15

b. Faktor infeksi penyakit


Kaitan penyakit infeksi dengan gizi kurang mempunyai
hubungan sebab dan akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk
keadaan gizi penderita seperti: diare, tuberkulosis, dan batuk rejan.
Adanya penyakit infeksi tersebut merupakan faktor penyebab
tingginya angka kematian bayi dan balita di Indonesia. Anak-anak
yang sering menderita penyakit infeksi menyebabkan pertumbuhannya
terhambat dan tidak dapat mencapai pertumbuhan yang optimal
(Saputri, 2010).
c. Tingkat pendidikan
Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang penting dalam
tumbuh kembang anak, karena pendidikan yang baik, maka orang tua
dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara
pengasuhan anak yang baik, bagaimana cara menjaga kesehatan anak
dan pendidikannya. Demikian juga wanita yang berkependidikan lebih
rendah atau tidak berkependidikan biasanya mempunyai anak lebih
banyak dibandingkan yang berkependidikan lebih tinggi. Mereka
berkependidikan lebih rendah umumnya sulit diajak memahami
dampak negatif dari bahaya mempunyai anak banyak, sehingga
anaknya kekurangan kasih sayang, kurus dan menderita penyakit
infeksi (Supariasa, 2012).
d. Sanitasi lingkungan
Sanitasi memiliki peranan penting dalam penyediaan lingkungan
mendukung kesehatan anak dan tumbuh kembangnya komponen utama
kesehatan lingkungan yang berhubungan dengan kesehatan dasar pada
manusia adalah rumah, air bersih, jamban, pembuangan sampah dan
limbah rumah tangga. Kebersihan, baik kebersihan perorangan maupun
lingkungan memegang peranan penting dalam timbulnya penyakit.
Akibat kebersihan kurang maka anak menderita infeksi saluran
pencernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu yang
menyebabkan terjadinya kekurangan zat gizi. Seseorang yang
16

kekurangan gizi akan mudah terserang penyakit dan tumbuh


kembangnya terganggu (Supariasa, 2012).
e. Pola pengasuhan
Pengasuhan didefinisikan sebagai cara memberi makanan,
merawat anak, membimbing, dan mengajari anak yang dilakukan oleh
individu dan keluarga. Faktor yang cukup dominan yang menyebabkan
meluasnya keadaan gizi kurang ialah perilaku yang kurang benar di
kalangan masyarakat dalam memilih dan memberikan makanan kepada
anggota keluarganya, terutama kepada anak-anak. Oleh karena itu,
berbagai kegiatan harus dilaksanakan untuk memberikan makanan
(feeding) dan perawatan (caring) yang benar untuk mencapai status
gizi yang baik. Feeding dan caring melalui pola asuh yang dilakukan
ibu kepada anaknya akan memengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak. Peran ibu selaku pengasuh dan pendidik di dalam
keluarga dapat memengaruhi tumbuh kembang anak secara positif
maupun negatif, karena dalam berinteraksi dengan anak sehari-hari,
seorang ibu dapat memainkan peran yang secara langsung akan
berpengaruh pada anak (Istiany dan rusilanti, 2014).
f. Kemiskinan
Kemiskinan sering didefinisikan ketidakmampuan individu atau
rumah tangga dalam mencapai standar hidup yang maksmimal,
sehingga tidak mampu memberikan yang terbaik bagi anggota
keluarganya, baik dari gzi dan kelayakan makanan. Secara garis besar
ada hubungan kemiskinan dan kesehatan, masyarakat yang hidup
dalam garis kemiskinan pada umumnya memiliki kelayakan hidup
yang lebih rendah, lebih rentan terhadap penyakit menular, tingginya
angka kematian pada bayi, ibu hamil dan melahirkan serta proporsi
kesehatan yang sangat rendah. Saat ini kemiskinan merupakan
penyebab pokok terjadinya malnutrisi. Proporsi anak malnutrisi
berbanding terbalik dengan pendapatan, sehingga makin kecil
17

pendapatan penduduk maka semakin banyak anak yang akan menderita


malnutrisi (Indra dan Wulandari, 2013).

8. Gangguan Akibat Kekurangan Gizi


Menurut Mardalena (2017) penyakit akibat malnutrisi adalah:
a. Kekurangan kalori dan protein (KKP)
Kekurangan Kalori dan Protein terjadi jika kebutuhan kalori, protein,
atau keduanya di dalam tubuh tidak tercukupi oleh diet. Kekurangan
kalori dan protein kadangkala terjadi bersamaan walaupun salah satu
akan mendominasi. Penyakit yang dapat ditimbulkan akibat KKP
antara lain:
1) Kwarshiorkor
Kwarshiorkor terjadi ketika tubuh kekurangan protein
dalam jumlah besar. Penderita kwarshiorkor mengalami
penggelembungan pada bagian tubuh dan organ dalam (hati).
Tanda klinis kwarshiorkor yaitu edema di seluruh tubuh, wajah
membulat, otot-otot mengecil tidak mampu berdiri dan duduk
hanya mampu berbaring, cengeng dan mudah rewel, mata sayu,
penderita mengalami perubahan pigmen rambut, kulit terdapat
bercak memerah dengan tepi yang menghitam dan sangat sensitif
sera mudah terkelupas, sering disertai infeksi, anemia dan diare
kronik.
2) Marasmus
Marasmus terjadi ketika tubuh kekurangan kalori dalam
jumlah besar. Tanda-tanda klinis dari marasmus antara lain kulit
kering tidak lentur dan mudah berkerut, wajah seperti orang tua,
cengeng dan mudah rewel, sering diare kronik atau konstipasi,
berat badan hanya sekitar 60% dari seharusnya, rambut tipis,
kusam dan mudah patah bahkan tercabut tanpa rasa sakit, dinding
perut menegang dan dinding limfe mudah sekali diraba.
18

3) Marasmus-Kwarshiorkor
Marasmus-Kwarshiorkor merupakan kondisi gabungan
antara marasmus dan kwarshiorkor yang disertai dengan edema.
Tanda- tanda klinis marasmik-kwarshiorkor antara lain tanda-
tanda klinis marasmus dan kwarshiorkor juga dialami oleh
marasmik- kwarshiorkor, pengecilan otot, kwarshiorkor edema
dengan atau tanpa lesi kulit, pengurangan lemak bawah kulit
seperti marasmus jika edema hilang pada pengobatan awal,
penderita akan tampak seperti marasmus, marasmus dan
kwarshiorkor muncul bersamaan dan didominasi kekurangan
protein yang parah.
4) Gangguan gizi akibat kekurangan vitamin A
Kebutaan yang disebabkan oleh malnutrisi merupakan
akibat dari defisiensi vitamin A yang berkepanjangan. Vitamin A
sendiri sangat penting dalam menopang fungsi tubuh termasuk
penglihatan, inetgritas sel, kompetensi kekebalan serta
pertumbuhan. Kekurangan vitami A seperti ini dapat disimpulkan
sebagai penyakit sistemik yang mempengaruhi dan mengganggu
sel dan jaringan seluruh tubuh. Penyakit mata yang diakibatkan
kekurangan vitamin A disebut xeropahtalmia, penyakit ini
merupakan penyebab kebutaan yang paling sering terjadi pada
anak-anak di Indonesia (Prawesti, 2016).
5) Gangguan gizi akibat kekurangan yodium (GAKY)
Kekurangan yodium ditandai dengan terjadinya pembesaran
kelenjar tiroid di leher. Defisiensi yodium dapat menyebabkan
kretin neurologic atau pertumbuhan cebol yang disertai
keterlambatan perkembangan jiwa serta menurunnya kecerdasan
anak. GAKY dapat terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa.
Penyebab terjadinya GAKY ini meliputi kurang intake yodium,
nutrisi, kondisi air dan tanah yang tidak mengandung yodium dan
keturunan (Prawesti, 2016).
19

6) Obesitas
Timbulnya obesitas dipengaruhi berbagai faktor,
diantaranya faktor keturunan dan lingkungan. Tentu saja faktor
utama adalah asupan energi yang tidak sesuai penggunaan.
Obesitas sering ditemui pada anak-anak sebagai berikut anak yang
setiap menangis sejak bayi diberi susu botol, bayi yang terlalu dini
diperkenalkan dengan makanan padat, anak dari ibu yang terlalu
takut anaknya kekurangan gizi, anak yang selalu hadiah cookie
atau gula-gula jika ia berbuat sesuai keinginan orang tua, anak
yang malas untuk beraktivitas fisik (Marimbi, 2010).

B. Pemberian Makanan Tambahan


1. Definisi Pemberian Makanan Tambahan
Makanan tambahan adalah makanan yang bergizi sebagai
tambahan selain makanan utama bagi balita untuk memenuhi kebutuhan
gizi. Makanan tambahan gizi balita dapat berupa makanan yang dibuat
dengan bahan pangan lokal yang tersedia dan mudah diperoleh
masyarakat dengan harga yang terjangkau atau makanan hasil olahan
pabrikan (Kemenkes RI, 2011).
Menurut Underwood (1983) dalam Veriyal (2010), menyatakan
bahwa pemberian makanan tambahan merupakan suatu program yang
telah lama dikenal dalam bentuk intervensi untuk mengatasi masalah gizi
buruk. Adanya PMT diharapkan dapat memberikan kontribusi total
konsumsi makanan sehari. Namun demikian, PMT hanya dilaksanakan
sebagai program penanggulangan masalah gizi jangka pendek.
Pemberian PMT ditujukan untuk mengatasi penyebab langsung
terjadinya gizi buruk. Sedangkan untuk jangka panjang, dibutuhkan
program berupa pengobatan yang secara tidak langsung dapat mengatasi
akar masalah dari penyebab tersebut. Kegiatan tersebut meliputi usaha
peningkatan pendapatan keluarga, pemanfaatan pekarangan, peningkatan
perilaku hidup bersih dan sehar, penyediaan sumber daya yang
20

mendukung penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan gizi (Depkes RI,


2010).

2. Tujuan Pemberian Makanan Tambahan


Secara umum pemberian makanan tambahan bertujuan untuk
memperbaiki keadaan gizi pada anak golongan rawan gizi yang menderita
kurang gizi, dan diberikan kepada anak balita dengan kriteria tiga kali
berturut-turut tidak naik timbangannya serta yang berat badannya pada
KMS terletak dibawah garis merah. Pemberian makanan tambahan
memiliki tujuan untuk menambah energi dan zat gizi esensial (Kesmas,
2015).
Program PMT dilaksanakan sebagai bentuk intervensi gizi dengan
tujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan status gizi, khususnya
pada kelompok resiko tinggi yaitu bayi, balita, ibu hamil, ibu nifas yang
menderita KEK (Depkes, 2010).

3. Jenis-jenis Pemberian Makanan Tambahan


Jenis-jenis pemberian makanan tambahan (PMT) menurut
Kemenkes RI (2011) terdiri dari PMT-Penyuluhan dan PMT-Pemulihan:
a. Pemberian makanan tambahan penyuluhan
Pemberian makanan tambahan penyuluhan merupakan salah
satu cara untuk memulihkan penderita gizi buruk secara langsung,
PMT penyuluhan lebih merupakan sarana bagi penyuluhan gizi bagi
orang tua dan balita. PMT penyuluhan diselenggarakan sekali sebulan
yaitu sesuai dengan jadwal penimbangan, sasarannya adalah semua
anak balita bukan penderita gizi buruk saja. Dengan tujuan
penyuluhan maka harus diusahakan setiap ibu mendapatkan giliran
memasak makanan untuk PMT. Makanan yang dimasak kemudian
dibagi-bagikan kepada anak-anak yang ditimbang pada saat posyandu
atau diluar jadwal posyandu. Hasil PMT penyuluhan tidak dapat
21

diukur sehingga tidak dapat diketahui secara pasti dampaknya


terhadap pemeliharaan gizi anak balita (Moehji, 2007).
Tujuan PMT-Penyuluhan salah satunya peragaan (demo)
mengenai cara-cara menyiapkan makanan sehat bagi balita yang
dilakukan oleh petugas dibantu kader. Pada kegiatan PMT-Peyuluhan
terdapat beberapa hal yang harus dilakukan yaitu penyuluhan/
penjelasan tentang triguna makanan (makanan pokok sebagai sumber
tenaga, lauk-pauk sebagai zat pembangun, serta sayur dan buah
sebagai zat pengatur), penyuluhan mengenai makanan sehat dan
manfaatnya untuk tubuh serta kesehatan.
b. Pemberian makanan tambahan pemulihan
Program pemberian makanan tambahan pemulihan merupakan
program yang ditujukan kepada balita yang sudah dinyatakan gizi
buruk. Intervensi berupa pemberian makanan yang jumlah dan jenis
kandungan zat gizinya sudah diatur. Jenis makanan yang diberikan
haruslah padat gizi (Moehji, 2007).
Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) merupakan
program/kegiatan pemberian zat gizi yang bertujuan memulihkan gizi
penderita yang buruk dengan jalan memberikan makanan dengan
kandungan gizi yang cukup sehingga kebutuhan gizi penderita dapat
terpenuhi, diberikan setiap hari untuk memperbaiki status gizi dan
diberikan secara gratis kepada balita gizi buruk dari keluarga miskin
(Almatsier, 2009).
Makanan tambahan pemulihan bagi balita adalah makanan
bergizi yang diperuntukkan bagi balita usia 6 – 59 bulan sebagai
makanan tambahan untuk pemulihan gizi (Kemenkes RI, 2011).
PMT-Pemulihan diperuntukkan bagi anak usia 6 – 59 bulan
terutama yang menderita gizi kurang guna mencukupi kebutuhan gizi.
Kegiatan PMT-Pemulihan memiliki tiga aspek, yaitu:
1) Aspek rehabilitasi, karena dengan pemberian makanan tambahan
diharapkan ada perbaikan status gizi balita sasaran.
22

2) Aspek penyuluhan, karena dengan pemberian makanan tambahan


diharapkan ibu balita mendapatkan penyuluhan sehingga
mempunyai pengetahuan gizi yang cukup sebagai salah satu faktor
penting untuk melaksanakan perilaku gizi baik.
3) Aspek peran serta masyarrakat, karena masyarakat turut
melestarikan kegiatan PMT pemulihan dengan mempergunakan
sumber daya yang dimilikinya.

4. Syarat-syarat Pemberian Makanan Tambahan


Menurut Kemenkes RI (2011), terdapat persyaratan dalam
pemberian makanan tambahan, diantaranya yaitu:
a. Makanan tambahan diutamakan berbasis bahan makanan atau
makanan lokal.
b. Makanan tambahan diberikan untuk memenuhi kebutuhan gizi balita
sasaran dengan kandungan energi sebesar 300 – 400 kkal/anak/hari,
protein sebesar 10 – 15 g/hari/anak. Setiap tahapan usia memiliki
anjuran kecukupan gizi, yang dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Perkiraan Kandungan Gizi dalam PMT Berdasarkan
Angka Keckupan Gizi yang Dianjurkan untuk Balita Usia 6 – 59
Bulan Perorang Perhari
Kelompok Energi PMT Protein PMT
Usia (Kkal) (30%) (g) (30%)
6 – 11 Bulan 650 195 16 6,4
1 – 3 Tahun 1000 300 25 10
4 – 6 Tahun 1550 465 39 15,6
Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2011

c. Pemberian makanan tambahan merupakan tambahan makanan untuk


memenuhi kebutuhan gizi balita dari makanan keluarga.Tidak terlalu
panas.
d. Makanan tambahan balita diutamakan berupa sumber hewani maupun
nabati (misalnya telur, ayam, ikan, daging, kacang-kacangan, dan
23

hasil olahan lainnya) serta sumber vitamin mineral dari sayur dan
buah di daerah setempat.
e. Makanan tambahan diberikan berkala biasanya selama 90 hari
berturut-turut.
f. Makanan tambahan berbasis makanan/makanan lokal terdapat 2 jenis
berupa: MP-ASI (untuk usia 6 – 23 bulan) dan makanan tambahan
untuk anak usia 24 – 59 bulan berupa makanan keluarga.
g. Pemberian makanan tambahan untuk balita berbasis makanan lokal
dapat diberikan berupa kudapan lainnya.
h. Bentuk makanan tambahan diberikan sesuai dengan pola makanan,
yang disajikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Pola Makanan Bayi dan Anak Balita
Usia ASI Bentuk Makanan
(Bulan) Makanan Makanan Makanan
Lumat Lembik Keluarga
0 – 6*
6–8
9 – 11
12 – 23
24 – 59
Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2011
Keterangan: 6* = 5 bulan 29 hari

5. Pelaksanaan
Penyelenggaraan PMT perlu didukung dengan penyuluhan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) oleh tenaga kesehatan dan kader kepada
keluarga sasaran. Berikut adalah beberapa alternatif cara penyelenggaraan
PMT yang dapat dipilih sesuai kondisi setempat:
a. Makanan tambahan disiapkan dan dimasak oleh kader bersama ibu
sasaran di rumah kader atau tempat lain sesuai kesepakatan.
b. Makanan tambahan dapat diberikan berupa makanan yang kering dan
mudah didapatkan seperti: telur, abon, peyek kacang, teri kering,
24

biscuit, susu UHT, dan lain-lain yang dapat dibawa pulang ke rumah
untuk dikonsumsi beberapa hari.
c. Pada waktu sasaran makan, kader memberikan penyuluhan tentang
makanan dan manfaatnya baik kepada sasaran dan ibu atau pun
pengasunya.
Menurut Kemenkes RI (2011), pelaksanaan PMT meliputi:
a. Pendistribusian
Makanan tambahan balita ini diutamakan berupa sumber protein
hewani maupun nabati serta sumber vitamin dan mineral yang
terutama berasal dari sayur-sayuran dan buah-buahan. Pemberian
makanan tambahan dilakukan selama 90 hari berturut-turut kepada
balita usia 6-59 bulan yang menderita kekurangan gizi. Pemberian
makanan tambahan dapat dilakukan di puskesmas/PKD
b. Konseling
Konseling adalah kegiatan penyuluhan yang diarahkan agar ibu
balita pengasuh sadar akan masalah gizi buruk anaknya serta
membimbing dan berpartisipasi dalam pelaksanaaan PMT pemulihan.
Kegiatan konseling dapat dilakukan pada saat pemberian PMT
pemulihan atau pada kunjungan balita ke puskesmas atau dengan
mengunjungi rumah keluarga balita. Konseling dilakukan setiap bulan
yaitu pada saat selesai dilakukan pengukuran berat badan.
25

Daftar Pustaka

Alfiana, N. 2017. Hubungan Antara Pengetahuan Ibu Dan Pola Pemberian


Makanan Pendamping Asi Dengan Status Gizi Anak.
http://repository.unimus.ac.id/403/3/BAB%20II.pdf. (Diakses 20 September
2019)
Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia
Indra, D dan Wulandari, Y. 2013. Prinsip – Prinsip Dasar Ahli Gizi. Jakarta:
Dunia Cerdas
Istiany, A dan Rusilanti. 2014. Gizi Terapan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Offset
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Panduan Penyelenggaraan Pemberian
Makanan Tambahan Pemulihan Bagi Balita Gizi Kurang. Jakarta
Kepmenkes No. 1995/MENKES/SK/XII/2010. (2010). Standar Antropometri
Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta
Mardalena, I. 2017. Dasar-Dasar Ilmu Gizi Dalam Keperawatan. Yogyakarta:
Pustaka Baru Press
Marimbi, H. 2010. Tumbuh Kembang, Status Gizi dan Imunisasi Dasar Pada
Balita. Yogyakarta: Nuha Medika
Merryana, A, Bambang W. 2013. Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta: Kencana
Panada Media Group; 273-81
Moehji, Sjahmen. 2007. Ilmu Gizi Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta: Penerbit
Papas Sinar Sinanti
Prawesti, D.R. 2016. Hubungan Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP ASI)
Dini Dengan Status Gizi Pada Bayi Usia 1-6 Bulan Di Puskesmas
Lembeyan Kabupaten Magetan. Skripsi. Program Studi Keperawatan. Stikes
Bhakti Husada Mulia, Madiun. (Diakses 20 September 2019)
Rifatul, N. 2012. Hubungan pola asuh gizi dan pengetahuan gizi ibu dengan
status gizi balita di Posyandu Melati Genuk Semarang.
http://digilib.unimus.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptunimus-
gdl-ninarifatu-6584. (Diakses 20 September 2019)
26

Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Saputri, A. 2010. Hubungan Antara Tekanan Darah Dengan Status Gizi
Berdasarkan CDC 2000 Pada Anak Usia 6-13 Tahun SD Negeri 60900
Medan Johor Tahun 2010.[ Skripsi ]. Medan: Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatra Utara. (Diakses 20 September 2019)
Supariasa, I Dewa Nyoman, Bachyar Bakri & Ibnu Fajar. 2012. Penilaian Status
Gizi. Jakarta: EGC
Veriyal, Nura. 2010. Analisis Pola Asuh Gizi Ibu Terhadap Balita Kurang Energi
Protein (KEP) Yang Mendapatkan PMT-P Di Puskesmas Pagedangan
Kabupaten Tangerang. Skripsi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
(Diakses 20 September 2019)
Wiyono, S., Harjatmo, P.T., dan Par’i, M.H. 2017. Penilaian Status Gizi.
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/11/
PENILAIAN-STATUS-GIZI-FINAL-SC.pdf. (Diakses 20 September 2019)

Anda mungkin juga menyukai