Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MAKALAH

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB STUNTING DI INDONESIA

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................... i

DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang......................................................................................................... 1
b. Tujuan...................................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

a. Pengertian Stunting.................................................................................................. 3
b. Penilaian Stunting.................................................................................................... 4
c. Faktor-faktor Penyebab Stunting............................................................................. 5
d. Akibat Stunting........................................................................................................ 5
e. Upaya Percepatan Penurunan Stunting.................................................................... 7

BAB III PENUTUP

a. Kesimpulan.............................................................................................................. 9
b. Saran........................................................................................................................ 9

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 10

ii
BAB I
PENDAHLUAN

A. Latar Belakang

Stunting merupakan permasalahan gizi di dunia, ada 165 juta balita di dunia dalam kondisi
stunting. Sekitar 802 balita stunting tersebar pada 14 negara di dunia dan Indonesia
menduduki rangking ke lima dengan jumlah stunting terbesar. Data stunting di Indonesia
menunjukkan bahwa prevalensi stunting secara nasional terjadi peningkatan dari 35,6%
(2010) menjadi 37,2 % (tahun 2013). Kondisi tersebut menggambarkan bahwa sekitar 8,9
juta anak Indonesia mengalami pertumbuhan tidak maksimal atau satu dari tiga anak
mengalami stunting. Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010 dan 2013 menunjukan
prevalensi stunting masih tinggi dan tidak menurun mencapai batas ambang WHO. Hasil
Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2017 menunjukkan bahwa persentase balita stunting
pada kelompok balita (29,6%) lebih besar jika dibandingkan dengan usia baduta (20,1%)
(Widyaningsih & Anantanyu, 2018).

Prevalensi stunting di Indonesia menempati peringkat kelima terbesar di dunia. Data Riset
kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi stunting dalam lingkup
nasional sebesar 37,2 persen, terdiri dari prevalensi pendek sebesar 18,0 persen dan sangat
pendek sebesar 19,2 persen. Stunting dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang
berat bila prevalensi stunting berada pada rentang 30-39 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
Indonesia sedang mengalami masalah kesehatan masyarakat yang berat dalam kasus balita
stunting (Setiawan et al., 2018).

Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi yang berdampak serius terhadap kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM). Salah satu masalah gizi yang menjadi perhatian utama saat
ini adalah masih tingginya anak balita pendek (Stunting). Batasan World Health Organization
(WHO) untuk stunting < 20% dan di Indonesia hanya 7 (tujuh) Kabupaten/Kota yang
prevalensi stuntingnya kurang dari 20 % (yakni Kab. Wakatobi-Sultra, Klungkung-Bali, dan
Tana Tidung-Kaltara serta Kota Pangkalpinang-Babel, Tanjungpinang-Riau, Salatiga-Jateng
dan Bitung-Sulut). Hal ini berarti pertumbuhan yang tidak maksimal dialami oleh sekitar 8,9

1
juta anak Indonesia, atau 1 dari 3 anak Indonesia mengalami stunting (Kementrian Desa et
al., 2018).

Data Survei Status Gizi yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi di tahun 2015-
2017 menunjukkan bahwa persentase balita stunting di Kabupaten Maros masing-masing
42,6%, 38,2% dan 41,2%. Angka tersebut jauh di atas rata-rata provinsi. Berdasarkan data
riil jumlah balita sangat pendek di Puskesmas Moncongloe Kabupaten Maros di tahun 208-
2020 masing masing 33 orang, 67 orang dan 71 orang, mengalami peningkatan yang
signifikan.(Manjilala, 2020).

Stunting adalah salah satu keadaan malnutrisi yang berhubungan dengan ketidakcukupan zat
gizi masa lalu sehingga termasuk dalam masalah gizi yang bersifat kronis. Stunting diukur
sebagai status gizi dengan memperhatikan tinggi atau panjang badan, umur, dan jenis
kelamin balita. Kebiasaan tidak mengukur tinggi atau panjang badan balita di masyarakat
menyebabkan kejadian stunting sulit disadari. Hal tersebut membuat stunting menjadi salah
satu fokus pada target perbaikan gizi di dunia sampai tahun 2025. Stunting atau perawakan
pendek (shortness). suatu keadaan tinggi badan (TB) seseorang yang tidak sesuai dengan
umur, yang penentuannya dilakukan dengan menghitung skor Z-indeks Tinggi Badan
menurut Umur (TB/U). Seseorang dikatakan stunting bila skor Z-indeks TB/U- nya di bawah
-2 SD (standar deviasi). Kejadian stunting merupakan dampak dari asupan gizi yang kurang,
baik dari segi kualitas maupun kuantitas, tingginya kesakitan, atau merupakan kombinasi dari
keduanya. Kondisi tersebut sering dijumpai di negara dengan kondisi ekonomi kurang
(Mayasari et al., 2018).

Tingginya prevalensi stunting ini tentunya membutuhkan penanganan serius. Dampak serius
akan mengancam kualitas sumber daya manusia dalam rantai kehidupan yang terjadi terus
menerus. Balita stunting akan tumbuh menjadi dewasa stunting dengan berbagai dampak
yang akan ditimbulkan (Haas et al., 1996)(Da Rocha Neves et al., 2016). Selain akan
melahirkan bayi-bayi dengan permasalahan gizi yang sama misalnya, lahirnya bayi stunting
ataupun bayi dengan berat lahir rendah, kegagalan pertumbuhan ini juga terkait erat dampak

2
jangka panjang yakni peningkatan prevalensi penyakit tidak menular di masa mendatang
(Prentice, 2018).

B. Tujuan
1. Memahami pengertian stunting
2. Memahami penilaian stunting
3. Memahami Faktor-faktor penyebab stunting
4. Memahami akibat Stunting
5. Memahami upaya percepatan penurunan stunting

3
BAB II
TINJUAN PUSTAKA

A. Pengertian Stunting

Senbanjo et al mendefinisikan stunting adalah keadaan status gizi seseorang berdasarkan z-

skor tinggi badan (TB) terhadap umur (U) dimana terletak pada <-2 SD.18 Indeks TB/U

merupakan indeks antropometri yang menggambarkan keadaan gizi pada masa lalu dan

berhubungan dengan kondisi lingkungan dan sosial ekonomi. SK Menkes menyatakan

pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan

menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan

istilah stunting (pendek) dan severely stunting (sangat pendek).19 Pengaruh kekurangan zat

gizi terhadap tinggi badan dapat dilihat dalam waktu yang relatif lama (Stunting et al., 2018).

Stunting adalah suatu kondisi kekurangan gizi kronis yang terjadi pada saat periode
kritisdari proses tumbuh dan kembang mulai janin. Untuk Indonesia, saat ini diperkirakan
ada 37,2% dari anak usia 0-59 bulan atau sekitar 9 juta anak dengan kondisi stunting, yang
berlanjut sampai usia sekolah 6-18 tahun. Stunting didefinisikan sebagai kondisi anak usia
0–59 bulan, dimana tinggi badan menurut umur berada di bawah minus 2 Standar Deviasi
(<-2SD) dari standar median WHO. Lebih lanjut dikatakan bahwa stunting akan berdampak
dan dikaitkan dengan proses kembang otak yang terganggu, dimana dalam jangka pendek
berpengaruh pada kemampuan kognitif. Jangka panjang mengurangi kapasitas untuk
berpendidikan lebih baik dan hilangnya kesempatan untuk peluang kerja dengan pendapatan
lebih baik. Dalam jangka panjang, anak stunting yang berhasil mempertahankan hidupnya,
pada usia dewasa cenderung akan menjadi gemuk (obese), dan berpeluang menderita
penyakit tidak menular (PTM), seperti hipertensi, diabetes, kanker, dan lain-lain (Kemenkes
RI, 2018)

4
B. Penilaian Stunting
Status gizi merupakan gambaran ukuran terpenuhiya kebutuhan gizi yang diperoleh dari
asupan dan penggunaan zat gizi oleh tubuh. Penilaian status gizi dengan menggunakan data
antropometri antara lain berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur
(TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dan ndeks massa tubuh menurut umur
(IMT/U). WHO merekomedasikan pengukuran antropometri pada bayi dan balita
menggunakan grafik yang dikembangkan oleh WHO dan Center for Disease Control and
Prevention (CDC). Grafik tersebut menggunakan indicator z score sebagai standar deviasi
rata-rata dan persentil median.Indikator pertumbuhan digunakan untk menilai pertumbuhan
anak dengan mempertimbangkan faktor umur dan hasil pengukuran tinggi badan dan berat
badan, lingkar kepala dan lingkar lengan atas (Susetyowati, 2016).

Penilaian status gizi balita yang sangat umum digunakan adalah cara penilaian antropometri.
Antropometri berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan
komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh
antara lain berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit.
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal.
Pada keadaan normal , tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur.Pengaruh
defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalamwaktu yang relatif
lama.Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan adalah BB/U, TB/U dan
BB/TB.Untuk kegiatan pemantauan status gizi dalam jangka waktu yang lama (2 tahun atau
lebih) pilihan utama adalah menggunakan indeks TB/U. Indeks ini cukup peka untuk
mengukur perubahan status gizi jangka panjang.Indeks TB/U di samping memberikan
gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan social
ekonomi.Pelaksanaan penilaian status gizi di Indonesia, masing-masing indeks antropometri
yang digunakan memiliki baku rujukan. Baku rujukan yang digunakan di Indonesia adalah
baku rujukan WHO 2005. Standar WHO 2005 mengklasifikasikan status gizi menggunakan
z-scoreatau z (nilai median), yakni suatu angka salah satunya adalah TB terhadap standar
deviasinya, menurut usia dan jenis kelamin (INTAN KUSUMAWARDHANI, 2016).

5
C. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Stunting

Status gizi pada dasarnya ditentukan oleh dua hal yaitu: makanan yang dimakan dan keadaan
kesehatan. Kualitas dan kuantitas makanan seorang tergantung pada kandungan zat gizi
makanan tersebut, ada tidaknya pemberian makanan tambahan di keluarga, daya beli
keluarga dan karakteristik ibu tentang makanan dan kesehatan. Keadaan kesehatan juga
berhubungan dengan karakteristik ibu terhadap makanan dan kesehatan, daya beli keluarga,
ada tidaknya penyakit infeksi dan jangkauan terhadap pelayanan kesehatan (Jordan, 2013)

a. Asupan Zat Gizi


Defisiensi zat gizi yang paling berat dan meluas terutama di kalangan balita ialah akibat
kekurangan zat gizi sebagai akibat kekurangan konsumsi makanan dan hambatan
mengabsorbsi zat gizi. Faktor-faktor yang mempengaruhi asupan zat gizi yaitu :
1. Daya Beli Keluarga
Daya beli keluarga sangat ditentukan oleh tingkat pendapatan keluarga. Orang miskin
biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk makanan.
Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang orang tidak
mampu membeli pangan dalam jumlah yang dibutuhkan. Ada pula keluarga yang
sebenarnya mempunyai penghasilan cukup namun sebagian anaknya berstatus kurang
gizi. Pada umumnya tingkat pendapatan naik jumlah dan jenis makanan cenderung
untuk membaik tetapi mutu makanan tidak selalu membaik. Anak yang tumbuh
dalam suatu keluarga miskin paling rentan terhadap kurang gizi diantara seluruh
anggota keluarga dan yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan

pangan. Jumlah keluarga juga mempengaruhi keadaan.


2. Tingkat Pendidikan Ibu
Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga juga
berperan dalam penyusunan makan keluarga, serta pengasuhaan dan perawatan anak.
Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima
informasi kesehatan khususnya dibidang gizi, sehingga dapat menambah
pengetahuannya dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat
pendidikan yang dimiliki wanita bukan hanya bermanfaat bagi penambahan

6
pengetahuan dan peningkatan kesempatan kerja yang dimilikinya, tetapi juga
merupakan bekal atau sumbangan dalam upaya memenuhi kebutuhan dirinya serta
mereka yang tergantung padanya. Wanita dengan tingkat pendidikan yang lebih
tinggi cenderung lebih baik taraf kesehatannya. Jika pendidikan ibu dan pengetahuan
ibu rendah akibatnya ia tidak mampu untuk memilih hingga menyajikan makanan
untuk keluarga memenuhi syarat gizi seimbang. Hal ini senada dengan hasil
penelitian di Meksiko bahwa pendidikan ibu sangat penting dalam hubungannya
dengan pengetahuan gizi dan pemenuhan gizi keluarga khususnya anak, karena ibu
dengan pendidikan rendah antara lain akan sulit menyerap informasi gizi sehingga
dapat berisiko mengalami resiko stunting.
3. Pengetahuan Gizi Ibu
Gizi kurang banyak menimpa balita sehingga golongan ini disebut golongan rawan.
Masa peralihan antara saat disapih dan mengikuti pola makan orang dewasa atau
bukananak, merupakan masa rawan karena ibu atau pengasuh mengikuti kebiasaan
yang keliru. Penyuluhan gizi dengan bukti-bukti perbaikan gizi pada dapat
memperbaiki sikap ibu yang kurang menguntungkan pertumbuhan anak. Pengetahuan
gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di samping pendidikan yang pernah dijalani,
faktor lingkungan sosial dan frekuensi kontak dengan media masa juga
mempengaruhi pengetahuan gizi. Salah satu penyebab terjadinya gangguan gizi
adalah kurangnya pengetahuan gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi
tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari.Tingkat pengetahuan gizi seseorang besar
pengaruhnya bagi perubahan sikap dan perilaku di dalam pemilihan bahan makanan,
yang selanjutnya akan berpengaruh pula pada keadaan gizi individu yang
bersangkutan. Keadaan gizi yang rendah di suatu daerah akan menentukan tingginya
angka kurang gizi secara nasional. Hasil Penelitian Taufiqurrahman (2013) dan
Pormes dkk (2014) yang menyatakan bahwa pengetahuan orang tua tentang
pemenuhan gizi berpengaruh dengan kejadian stunting (Jordan, 2013).

7
D. Akibat Stunting

Dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek dan jangka
panjang.

1. Dampak Jangka Pendek


a. Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian;
b. Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal;
c. Peningkatan biaya kesehatan.

2. Dampak Jangka Panjang.

a. Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek dibandingkan pada
umumnya)

b. Meningkatnya resiko obesitas dan penyakit lainnya

c. Menurunnya kesehatan reproduksi

d. Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa sekolah
e. Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal (Kemenkes RI, 2019)

E. Upaya Percepatan Penurunan Stunting


a. Intervensi Gizi Spesifik
1. PMT untuk mengatasi KEK pada ibu hamil
2. TTD untuk anemia ibu hamil
3. Konsumsi garam beriodium
4. ASI Eksklusif
5. Pemberian ASI sampai usia 2 tahun didampingi dengan MP ASI ade kuat
6. Imunisasi
7. Suplementasi Zink
8. Fortifikasi zat besi ke dalam makanan
9. Obat cacing
10. Vitamin A
11. Tata laksana gizi buruk

8
12. Penanggulangan malaria
13. Pencegahan dan pengobatan diare
14. Cuci tangan dengan sabun.

b. Intervensi Gizi Sensitif

1. Air bersih - Sanitasi


2. Fortifikasi - Ketahanan Pangan
3. Akses kepada layanan kesehatan dan KB
4. JKN, Jampersal, Jamsos lain
5. Pendidikan pola asuh orang tua
6. Paud HI-SDIDTK
7. Pendidikan gizi masyarakat
8. Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi
9. Gizi pada Remaja (Kemenkes RI, 2019)

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Asupan gizi yang optimal untuk pencegahan stunting dapat dilakukan dengan gerakan
nasional percepatan perbaikan gizi yang didasari oleh komitmen negara untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia agar sehat, cerdas dan produktif, yang merupakan aset sangat
berharga bagi bangsa dan negara Indonesia. Untuk mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas diperlukan status gizi yang optimal dengan cara melakukan perbaikan gizi secara
terus menerus.Adapun sasaran gerakan nasional ini meliputi : a) masyarakat khususnya
remaja, ibu hamil, ibu menyusui, anak di bawah usia dua tahun; b) kader-kader di
masyarakat; c) perguruan tinggi; d) pemerintah dan pemerintah daerah; e) media massa; f)
dunia usaha; dan f) lembaga swadaya masyarakat dan mitra pembangunan internasional.
Sedangkan kegiatannya dilaksanakan melalui: a) kampanye nasional dan daerah; b) advokasi
dan sosialisasi lintas sektor dan lintas lembaga; c) dialog untuk menggalang kerja sama dan
kontribusi; d) pelatihan; e) diskusi; e) intervensi kegiatan gizi langsung (spesifik); f)
intervensi gizi tidak langsung (sensitif); dan g) kegiatan lain.

B. Saran
Intervensi untuk mencegah stunting dimulai sebelum masa konsepsi dan terus dilakukan
setidaknya hingga anak berusia 24 bulan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Desa, K., Tertinggal, P. D., & Sambutan, K. (2018). Buku Saku Desa dalam Penanganan
Stunting.
INTAN KUSUMAWARDHANI. (2016). Poltekkes Kemenkes Yogyakarta. 4(2), 2–3.
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/239/
Izwardy, Doddy. 2019. Kebijakan dan Strategi Penanggulangan Stunting di Indonesia. Jakarta :
Kemenkes RI.

Jordan. (2013). 済無 No Title No Title. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9),
1689–1699. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Kemenkes RI. 2018. Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. Jakarta : Pusat Data dan
Informasi Kemenkes RI.
Mayasari, D., Indriyani, R., Ikkom, B., Kedokteran, F., Lampung, U., Tanjungkarang, P. K., &
Lampung, B. (2018). Stunting , Faktor Resiko dan Pencegahannya Stunting , Risk Factors
and Prevention. 5, 540–545.
Setiawan, E., Machmud, R., & Masrul, M. (2018). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas
Kecamatan Padang Timur Kota Padang Tahun 2018. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(2), 275.
https://doi.org/10.25077/jka.v7i2.813
Stunting, K., Balita, P., Bulan, U., & Larasati, N. N. (2018). FAKTOR-FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN DENGAN DI POSYANDU WILAYAH PUSKESMAS WONOSARI II
TAHUN 2017 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
STUNTING PADA BALITA USIA 25-59 BULAN DI POSYANDU WILAYAH PUSKESMAS
WONOSARI II.
Susetyowati. 2016. Gizi Bayi dan Balita. Ilmu Gizi Teori dan Aplikasi. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.
Widyaningsih, N. N., & Anantanyu, S. (2018). Jurnal Gizi Indonesia Keragaman pangan , pola
asuh makan dan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan. 7(1).

11

Anda mungkin juga menyukai